Anda di halaman 1dari 11

TUGAS PAPER EKONOMI MAKRO

CINA, INDIA DAN INDONESIA 2030 DALAM KERJA SAMA


“TRIUMVIRAT ASIA”
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Akhir
Mata Kuliah Ekonomi Makro

UNIVERSITAS ISLAM 45
BEKASI

PENYUSUN:
M.SYAMSUL MA’ARIF EKONOMI/MANAJEMEN
41183402100049
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat serta
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya .
Selanjutnya penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada pihak –
pihak yang telah membantu penulis dalam proses penulisan makalah ini :
1. Ibu dosen mata kuliah Ekonomi Makro yang telah memberikan bimbingan dan
pengarahan kepada penulis .
2. Orang tua penulis yang senantiasa memberikan dukungan baik moril maupun
materil .
3. Selanjutnya kepada pihak – pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu .

Penulis menyadari bahwa makalah yang penulis buat ini masih jauh dari
kesempurnaan, oleh sebab itu penulis mengharapkan kritik dan juga saran demi
kesempurnaan tulisan ini .

Bekasi , 30 April 2011


Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................................................................. i

DAFTAR ISI.................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN
1. Latar Belakang..................................................................................... 
2. Tujuan Pembahasan.............................................................................. 1

BAB II PEMBAHASAN
A. Lompatan Besar.................................................................................... 2
B.Inovasi..................................................................................................4
C. Mengejar Laju Cindia........................................................................... 6

BAB III PENUTUP


1. Kesimpulan...........................................................................................10

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Abad ke-21 adalah abad milik Asia. Pada tahun 2050 separuh
lebih produk nasional bruto dunia bakal dikuasai Asia.China,
menggusur Amerika Serikat, akan menjadi pemain terkuat dunia,
diikuti India di posisi ketiga. Lalu, apa peran dan di mana posisi
Indonesia waktu itu?
China dan India dengan segala ekspansinya, berdasarkan
sejumlah parameter saat ini dan prediksi ke depan, sudah jelas adalah
pemenang dalam medan pertarungan terbuka dunia di era globalisasi,
di mana tidak ada lagi sekat-sekat bukan saja bagi pergerakan
informasi, modal, barang, jasa, manusia, tetapi juga ideologi dan
nasionalisme negara.
Sedangkan Indonesia tertera dalam indeks 60 negara gagal
tahun 2007 (failed state index 2007)ukuran secara umum dalam
pengukurun indeks ini antara lain, pemerintah pusat sangat lemah dan
tak efektif, pelayanan umum sangat jelek, korupsi dan kriminalitas
menyebar, ekonomi rakyat merosot.
Negara paling gagal adalah sudan, irak somalia, afganistan,
zimbawe, timor-timor, myanmar, konggo, ethiopia, haiti, uganda dll.
Dengan kata lain kita disejajarkan dengan negara-negara tersebut,
betapa menyedihkan negara kita saat sekarang ini sedangkan pada
tahun 1990-an kita merupakan salah satu calon macan asia.

B.Tujuan pembahasan

1. Mengetahui Penyebab Pesat Nya Peningkatan Ekonomi Cindia (Cina Dan India)
2. Mengetahui Solusi Atau Terobasan Apa Yang Bisa Kita Capai Di Masa Depan
3. Memberikan Gambaran Peluang Yang Bisa Kita Raih Bersama Cina Dan India
Nantinya
BAB II

A. LOMPATAN BESAR

Ketika China membuka diri pada dunia dua dekade lalu, orang hanya membayangkan
potensi China sebagai pasar raksasa dengan lebih dari semiliar konsumen sehingga sangat
menarik bagi perusahaan ritel dan manufaktur dunia. Belakangan, China bukan hanya menarik
dan berkembang sebagai pasar, tetapi juga sebagai basis produksi berbagai produk
manufaktur untuk memasok pasar global. China awal abad ke-21 ini seperti Inggris abad ke-
19 lalu.
China tidak berhenti hanya sampai di sini. Jika pada awal 1990-an hanya dipandang
sebagai lokasi menarik untuk basis produksi produk padat karya sederhana, dewasa ini China
membuktikan juga kompetitif dalam berbagai industri berteknologi maju. Masuknya China
dalam keanggotaan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) semakin melapangkan jalan bagi
negeri Tirai Bambu ini untuk menjadi kekuatan yang semakin sulit ditandingi di pasar global.
Di sektor padat karya, seperti tekstil dan pakaian jadi, diakhirinya rezim kuota di
negara-negara maju membuat ekspor China membanjiri pasar dunia dan membuat banyak
industri tekstil dan pakaian jadi di sejumlah negara berkembang pesaing harus tutup. Pangsa
ekspor pakaian dari China diperkirakan akan melonjak dari sekitar 17 persen dari total ekspor
dunia saat ini menjadi 45 persen pada paruh kedua dekade ini.
Hal serupa terjadi pada produk-produk berteknologi tinggi. Bagaimana China
menginvasi dan membanjiri pasar global dengan produk-produknya, dengan menggusur
negara-negara pesaing, bisa dilihat dari data WTO berikut.
Pangsa China di pasar elektronik AS meningkat dari 9,5 persen (tahun 1992) menjadi
21,8 persen (1999). Sementara pada saat yang sama, pangsa Singapura turun dari 21,8
persen menjadi 13,4 persen. Kontribusi China terhadap produksi personal computer dunia naik
dari 4 persen (1996) menjadi 21 persen (2000), sementara kontribusi ASEAN secara
keseluruhan pada kurun waktu yang sama menciut dari 17 persen menjadi 6 persen.
Pangsa China terhadap total produksi hard disk dunia juga naik dari 1 persen (1996)
menjadi 6 persen (2000), sementara pangsa ASEAN turun dari 83 persen menjadi 77 persen.
Pangsa China untuk produksi keyboard naik dari 18 persen (1996) menjadi 38 persen (2000),
sementara pangsa ASEAN tergerus dari 57 persen menjadi 42 persen.
Semua gambaran itu jelas memperlihatkan China terus naik kelas, membuat lompatan
besar dari waktu ke waktu, dan pada saat yang sama terus memperluas diversifikasi produk
dan pasarnya. Gerakan sapu bersih China di berbagai macam industri—mulai dari yang
berintensitas teknologi sangat sederhana hingga intensitas teknologi dan nilai tambah sangat
tinggi—ini semakin mempertegas posisi China sebagai the world’s factory memasuki abad ke-
21.
Sementara pada saat yang sama, negara-negara tetangganya justru mengalami
hollowing out di industri manufaktur berteknologi tinggi dengan cepat. Di industri berintensitas
teknologi rendah yang cenderung padat karya, China menekan negara-negara seperti Vietnam
dan Indonesia yang basis industrinya masih sempit, yakni teknologi yang tidak terlalu
complicated dan bernilai tambah rendah.
Sementara di industri yang berintensitas teknologi tinggi, China semakin menjadi
ancaman tidak saja bagi negara seperti Taiwan dan Korsel, tetapi juga AS dan Jepang. China
tidak hanya membanjiri dunia dengan garmen, sepatu, dan mainan, tetapi juga produk-produk
komputer, kamera, televisi, dan sebagainya.
China memasok 50 persen lebih produksi kamera dunia, 30 persen penyejuk udara (air
conditioners/AC), 30 persen televisi, 25 persen mesin cuci, 20 persen lemari pendingin, dan
masih banyak lagi.
B. INOVASI
Bagaimana China bisa melakukan itu semua? Ada beberapa faktor. Pertama,
perusahaan-perusahaan teknologi asing, menurut Deloitte Research, sekarang ini berebut
masuk untuk investasi di China, antara lain agar bisa memanfaatkan akses ke pasar China
yang sangat besar dan bertumbuh dengan cepat. Kedua, perusahaan-perusahaan lokal yang
menarik modal dari investor China di luar negeri (terutama Taiwan) juga semakin terampil
memproduksi barang-barang berteknologi tinggi.
Tidak statis di industri padat karya yang mengandalkan upah buruh murah, China kini
mulai lebih selektif menggiring investasi ke industri yang menghasilkan high end products dan
padat modal. Ini antara lain untuk mengurangi ketergantungan pada tenaga kerja murah yang
mulai berkurang ketersediaannya.
Ketiga, perguruan-perguruan tinggi di China mampu mencetak barisan insinyur baru
dalam jumlah besar setiap tahunnya, dengan upah yang tentu relatif murah dibandingkan jika
menyewa insinyur asing. Setiap tahun, negara ini menghasilkan 2 juta-2,5 juta sarjana,
dengan 60 persennya dari jurusan teknologi (insinyur). Sebagai perbandingan, di Indonesia
lulusan jurusan teknologi hanya 18 persen, AS 25 persen, dan India 50 persen.
Untuk mendukung pertumbuhan industri teknologi tinggi padat modal yang
menghasilkan high end products, pemerintahan China juga sangat agresif mendorong berbagai
kegiatan penelitian dan pengembangan (R&D), sejalan dengan ambisinya menjadi The Fastest
Growing Innovation Centre of the World, dengan tahapan, strategi, dan implementasi yang
sangat jelas untuk sampai ke sana.
Hampir di setiap ibu kota provinsi ada R&D centre-nya. Positioning strategy ini
mengindikasikan China mulai masuk babak kedua dalam pembangunan ekonominya.
Ketiga, negara ini relatif memiliki infrastruktur yang sangat bagus untuk mengangkut
komponen dan barang dari luar dan juga di seluruh penjuru negeri. China, dengan 1,3 miliar
penduduk, memiliki 88.775 kilometer jalan arteri dan 100.000 kilometer jalan tol, atau rasio
panjang jalan per sejuta penduduk 1.384 kilometer.
Sebagai perbandingan, Indonesia dengan 220 juta penduduk baru memiliki jalan arteri
26.000 kilometer dan jalan tol 620 kilometer (121 kilometer per sejuta penduduk). Itu pun
sebagian besar dalam kondisi rusak. Pelabuhan-pelabuhan di China sudah mampu melayani
seperlima volume kontainer dunia dan negara ini terus membangun jalan-jalan tol dan
pelabuhan-pelabuhan baru.
Keempat, kebijakan pemerintah yang sangat mendukung, termasuk perizinan
investasi, perpajakan, dan kepabeanan. Kelima, pembangunan zona-zona ekonomi khusus (20
zona) sebagai mesin pertumbuhan ekonomi sehingga perkembangan ekonomi bisa lebih
terfokus dan pembangunan infrastruktur juga lebih efisien.
Hasilnya, tahun 2004 China berhasil menarik investasi langsung asing 60,6 miliar
dollar AS dan 500 perusahaan terbesar dunia hampir seluruhnya melakukan investasi di sana.
Bagaimana kompetitifnya China bisa dilihat dari hasil yang dicapai tersebut. Dimana China
kelihatan sudah memperhitungkan segala aspek untuk bisa bersaing dan merebut abad ke-21
dalam genggamannya.
Hal serupa terjadi pada India yang mengalami pertumbuhan pesat sejak program
liberalisasi dengan membongkar ”License raj" pada era Menteri Keuangan Manmohan Singh
tahun 1991. India kini sudah masuk tahap kedua strategi pembangunan ekonomi dengan
menggunakan teknologi informasi (IT) sebagai basis pembangunan ekonominya.
Hampir seluruh pemain bisnis IT dunia sudah membuka usahanya di India, terutama di
Bangalore. Tahun 2006, pendapatan dari IT India mencapai 36 miliar dollar AS. Malaysia,
Thailand, dan Filipina juga beranjak ke produk-produk yang memiliki tingkat teknologi lebih
kompleks dan bernilai tambah tinggi. Singapura dan Korsel mengarah ke teknologi informasi
dan perancangan produk.
C. MENGEJAR LAJU CINDIA
1. Ekonomi
Bangkitnya perekonomian Cina dan India dapat kita golongkan sebagai
gelombang kebangkitan negara-negara Asia setelah Jepang dan Korea. Perbedaan
fundamental dari lahirnya kedua gelombang tersebut yaitu bangkitnya industri Jepang
dan Korea pasca Perang Dunia II ditempuh melalui dorongan ekspor, sedangkan bagi
Cina dan India lebih banyak dipengaruhi oleh masuknya investasi asing yang begitu
besar. Pola ekspor ke luar negeri merupakan strategi yang sangat penting manakala
suatu negara tidak mempunyai pasar domestik yang mencukupi. Oleh karenanya, bagi
Cina maupun India yang memiliki pasar domestik terbesar di dunia, mereka mencoba
untuk lebih memanfaatkan potensi tersebut sebagai titik pangkal dalam membangun
perekonomiannya.
Cindia yang baru saja memulai perjalanan panjangnya kini menyandang gelar
sebagai “laboratorium dunia”, dengan Cina sebagai laboratorium manufaktur dan
India sebagai laboratorium jasa serta pelayanan IT. Namun demikian, sebagaimana
negara-negara industri maju yang telah ada sebelumnya, seiring berjalanannya waktu
Cina akan segera mengalihkan kegiatan manufakturnya dengan cara outsourcing
kepada negara-negara ekonomi berkembang lainnya di Asia Tenggara, Karibia,
Afrika, ataupun Eropa Timur. Salah satu yang sudah terjadi yaitu ketika Haier mulai
membangun aplikasinya di Indonesia, Malaysia dan Yugoslavia, serta Shanghai
Baosteel yang mulai melakukan operasinya di Brasil. Sementara itu, produk-produk
manufaktur tekstil Cina juga telah dialihkan ke negara-negara Afrika.
Begitu pula dengan India, bisnis call center dan outsourcing sebagai jantung
dari pelayanan dan jasa IT lambat laun akan mulai beralih ke negara lain karena
beberapa alas an utama, yaitu adanya perbedaan jam kerja yang begitu kontras,
pelayanan yang kurang prima dari tenaga kerja India, serta adanya keinginan negara
maju untuk mengurangi terciptanya ketergantungan terhadap satu negara tertentu.
Peluang bisnis dalam bidang ini amatlah menjanjikan. Berdasarkan catatan yang
terhimpun, sejak tahun 2003 Amerika Serikat telah memindahkan satu juta white-
collar job dengan cara offshore dan Inggris telah memindahkan sebanyak 250.000
industri pelayanannya ke negara-negara lain. Pada tahun 2008, McKinsey Global
Institute memperkirakan bahwa Amerika direncanakan akan kembali memindahkan
sekitar 2,3 juta pekerjaan pelayanan industri ke berbagai negara dan Inggris akan
melakukan offshoring sebanyak 650.000 pekerjaan ke berbagai negara.
Melihat situasi seperti tersebut di atas, Indonesia bisa pula memanfaatkan
kesempatan ini untuk mengangkat roda perekonomian nasional sekaligus membangun
kerjasama profesional dengan negara-negara maju dunia. Terlebih lagi, Cina, India
dan ASEAN telah dan terus bekerjasama untuk meingkatkan infrastruktur dasar
ekonomi Asia, serta berencana untuk menciptakan integrasi ekonomi dan mata uang
layaknya Uni Eropa, sebagaimana pernah diutarakan oleh Manmohan Singh dalam
Asian Summit 2005 di Kuala Lumpur dengan menggagas Pan-Asian Economic
Community.
Cindia menyadari bahwa pola pekerjaan yang dilakukannya saat ini tidaklah
akan berlangsung selamanya. Oleh karenanya, mereka kini akan menghadapi
tantangan berikutnya, yaitu dengan menjadi mesin pencetak para ilmuwan, ahli, dan
pakar di berbagai bidang.
Indonesia dengan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia dan jumlah
tenaga kerja tebesar kedua di masa yang akan datang, harus mampu mengambil alih
posisi mereka sebagai awal mula partisipasi persaingan global sekaligus membuka
lapangan kerja sementara waktu bagi jutaan anak bangsa.
Sumber : ekonomist inteligen unit 2007
2. Pendidikan
Dengan semakin meningkatnya kuantitas dan kualitas lulusan yang dimiliki
oleh Cina dan India, kini pengembangan ilmu dan teknologi tingkat tinggi tidak lagi
dimonopoli oleh negara-negara tertentu saja. Di tahun 2006, Cina memproduksi
lulusan universitas sebanyak 4,1 juta orang dengan 800.000 lulusan diantaranya
berasal dari bidang ilmu alam dan teknologi. Sedangkan India menghasilkan lulusan
sekitar 2,7 juta orang, dimana sekitar 500.000 diantaranya merupakan lulusan dengn
kualitas yang siap dipekerjakan oleh perusahaan-perusahaan besar dari Amerika dan
Inggris.
Pada masa yang lalu, banyak para elit Cindia di bidang pendidikan memilih
untuk melanjutkan studi atau berkarir di Amerika, Inggris ataupun negara-negara
lainnya guna memperoleh penghasilan yang lebih menjanjikan. Namun dengan seiring
membaiknya perekonomian dan iklim usaha di dalam negeri, kini mereka secara
hampir bersamaan kembali hijrah ke negaranya masing-masing. Sebagi contoh,
terdapat lebih dari 40.000 warga negara India yang kembali dan mulai bekerja di kota
Bangalore selama beberapa tahun terakhir ini.
Tentunya kondisi-kondisi di atas terjadi setelah kedua negara berhasil
menciptakan atmosfer pendidikan yang sangat baik, mulai dari tingkat pendidikan
dasar hingga tingkat pendidikan tinggi. Pada tingkat pendidikan dasar,
diundangkannya UU tentang Wajib Belajaroleh pemerintah Cina di tahun 1986
dengan target seluruh anak yang berumur enam tahun diwajibkan untuk memperoleh
pendidikan dasar sembilan tahun, telah membawa perubahan meningkatnya
persentase melek huruf dari sebesar 66 persen di tahun 1950-an menjadi 80 persen di
tahun 1990-an.
Untuk memacu hasil riset dan teknologi yang menunjang terciptanya
kemakmuran suatu bangsa, UNDP telah mensyaratkan angka minimal 1% dari GDP
masing-masing negara. Oleh karenanya, baik Cina maupun India hampir setiap
tahunnya selalu berusaha menaikkan anggaran di bidang Research and Development
(R&D). Di akhir tahun 1990-an, Cina hanya mengalokasikan anggaran R&D kurang
dari 1% dari total GDP, namun saat ini anggaran telah meningkat menjadi 1,5% dan
direncanakan akan terus meningkat hingga mencapai angka 2,5% di tahun 2020.
Inovasi ilmu pengetahuan yang telah diciptakan oleh Cina telah turut mendongkrak
terjadi permohonan aplikasi paten sebesar lebih dari 130.000 di tahun 2004. Menurut
laporan Paris-based Organization for Economic Cooperation and Development
(OECD), Cina menghabiskan lebih dari US$ 136 miliar khusus untuk R&D di tahun
2006, melewati anggaran yang dialokasikan oleh Jepang sebesar US$ 130 miliar
Saat ini, kebanyakan dari perusahaan multinasional besar telah mempunyai
pusat R&D secara khusus dan tersendiri di kota-kota Cina dan India, sehingga locus
pengembangan teknologi secara otomatis juga berpindah ke dalam dua negara
tersebut. Menilik keberhasilan India di bidang ITC, tentunya tidak dapat pula
dipisahkan dari peran human capital yang ditelurkan dari tujuh institut elit di bidang
ilmu alam dan teknik yang dikenal dengan Indian Institute of Technology (IITs).
Keterlibatan yang tidak kalah pentingnya yaitu berasal dari organisasi-organisasi
profesi diaspora India, seperti halnya Silicon Valley
Indian Professionals Association (SIPA) yang telah menjadi organisasi dunia
dalam menjembatani pernyediaan informasi dan kontak bagi perusahan-perusahaan
besar yang ingin melakukan outsourcing terhadap para ahli IT asal India.
Melihat persaingan global yang begitu ketat, Indonesia mau tidak mau harus
segera memberikan perhatian yang lebih serius pada dunia pendidikan. Setiap
kebijakan nasional harus pula bermuara pada dorongan terhadap peningkatan mutu,
kualitas, anggaran pendidikan dan riset, serta penuntasan program buta huruf dan
wajib belajar sembilan tahun. Investasi di bidang pendidikan merupakan suatu hal
yang tidak dapat ditawar-tawar lagi.
Selain terus memacu peningkatan anggaran di bidang Research and
Development (R&D), setidaknya terdapat empat hal yang patut dipertimbangkan
dengan melihat kebijakan umum pemerintah India terhadap dunia pendidikannya:
1. Pendidikan yang murah, terjangkau dan berkualitas disediakan bagi seluruh anak
bangsa, baik dari tingkat sekolah dasar hingga tingkatan Universitas;
2. Kebijakan harga dasar kertas dan buku-buku, khususnya buku pelajaran dikontrol
secara ketat oleh National Book Trust of India (NBT) agar selalu sesuai dengan
kemampuan daya beli masyarakat, khususnya bagi kalangan terpelajar dan
akademisi;
3. Perhatian khusus pemerintah melalui University Grant Commission (UGC) untuk
memberikan beasiswa sebesar satu hingga dua bulan gaji rata-rata di India kepada
setiap mahasiswa S-3 yang terdaftar. Hal ini maksudkan untuk memacu para calon
mahasiswa S-3 lainnya dan penelitian yang dikerjakan benar-benar terfokus;
4. Kesejahteraan dan fasilitas yang memadai disedikan bagi para tenaga pendidik
sehingga mereka dapat berkonsentrasi penuh untuk mengajar tanpa harus
melakukan aktivitas lain guna menambah pendapatannya yang dirasakan kurang
layak.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Kebangkitan Cindia haruslah disikapi secara bijak oleh kita semua, karena
dampaknya terhadap Indonesia bisa saja merugikan namun bisa pula justru
menguntungkan. Dengan adanya keterbatasan tempat, tulisan singkat ini tentu saja belum
sampai pada uraian terperinci mengenai keunggulan dan kekurangan dari kedua negara
tersebut. Pun tulisan ini juga bukan bermaksud untuk membandingkan konsep manakah
yang terbaik dari kedua negara tersebut untuk dapat diterapkan di Indonesia. Hanya
berbagai kelebihan dan energi positifnya sajalah yang harus kita ambil, untuk kemudian
kita gunakan dalam membangun bangsa Indonesia dengan pola dan karakter kita sendiri.
Kurangnya perhatian terhadap dunia pendidikan, khususnya pendidikan bagi anak
dan perempuan, diyakini sebagai salah satu alasan utama mengapa bangsa Indonesia
sangat sulit untuk keluar dari keterpurukannya. Untuk itu, sementara struktur pendidikan
nasional terus dibenahi guna membangun infrastruktur dasar para intelektual, brain-power
secara cepat dapat diperoleh dengan melakukan technology transfer. Selain dapat menjadi
saluran yang tepat agar terciptanya transfer teknologi, pola pengembangan Special
Economic Zones (SEZs) juga dapat menciptakan lapangan pekerjaan di bidang
manufaktur, pelayanan jasa, serta modernisasi di bidang pertanian. Untuk itu, jiwa
kewirausahaan dan bisnis harus pula mulai ditumbuhkembangkan sejak dini di setiap
sanubari anak negeri.
Dengan nilai indeks yang lebih baik dari Cina di ranah demokrasi sipil dan politik,
serta infrastruktur pembangunan fisik yang lebih mumpuni dibandingkan dengan India,
Indonesia sudah selayaknya masuk dalam jajaran pemain kelas atas di Asia. The new
Chindian dapat menjadi jembatan emas untuk meraih cita-cita tersebut, sebab agresifitas
mereka memiliki karakter yang berbeda dengan negara-negara superpower lainnya.
Esensi kerjasama dengan Cindia berangkat bukan dari nilai “power politics” tetapi
“economy partnership”, bukan pula melalui pola “exploitation” melainkan dengan
“cooperation”.
Persaingan yang terjadi antara Cina dan India dapat pula kita ibaratkan sebagai
dongeng tentang perlombaan sang kura-kura. India seringkali disematkan dengan simbol
gajah dalam pembangunannya. Ia tidak mempunyai kecepatan tinggi, tetapi akan selalu
mempunyai stamina yang konstan dan akhirnya akan memenangkan perlombaan. Dengan
gaya otoritariannya, Cina tentu akan sangat mudah memenangkan pertandingan lari cepat,
namun India sebagai negara demokrasi akan tampil sebagai pemenang dalam
pertandingan marathon.
Cina, India, dan Indonesia (Cindonesia) yang diikat dalam satu regional benua
yang sama dan menjadi tempat hunian dari hampir separuh umat manusia di muka bumi,
sudah seyogyanya saling bekerjasama dan belajar satu sama lainnya. Dengan memberikan
perhatian lebih khusus terhadap Cindia seraya memperkuat hubungan kerjasama dengan
keduanya, mulai dari sektor perdagangan, ilmu pengetahuan, kebudayaan, hingga militer,
Indonesia diprediksi akan menjelma menjadi “Macan” Asia berikutnya untuk kemudian
bergabung menjadi pemain utama dunia bersama dengan Cina dan India membentuk
kekuatan baru, “Triumvirat Asia”.
DAFTAR PUSTAKA
Faiz, Pan Mohamad, Brain Drain dan Sumber Daya Manusia Indonesia: Studi Analisa
terhadap Reversed Brain Drain di India, disampaikan pada International
Conference for Indonesian Students di Sydney, Australia, September 2007.
Nasution, amran, surat untuk presiden, jakarta, tani merdeka edisi april 2008.
Faiz, Pan Mohamad, “Menanti Political Will Pemerintah di Sektor Pendidikan”, Jurnal Visi
No.1 Vol. VIII, 2006.
Faiz, Pan Mohamad, “Meneropong Visi Bangsa: Analisa Kritis Visi Indonesia 2030 vis-a-vis
Visi India 2020”, Jurnal Visi, No. 1 Vol IX, 2007.

Anda mungkin juga menyukai