Anda di halaman 1dari 17

Ekonomi Internasional

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Ekonomi internasional adalah ilmu ekonomi yang membahas akibat saling ketergantungan antara negara-negara di dunia, baik dari segi perdagangan internasional maupun pasar kredit internasional. Sumber energi Amerika Serikat, misalnya, sangat bergantung pada produsen luar negeri, sedangkan Jepang mengimpor hampir setengah dari makanan yang di konsumsi oleh penduduknya. Sebaliknya, negara-negara berkembang sangat membutukan teknologi yang dikembangkan dan dihasilkan oleh negara-negara industri. Dalam jangka panjang, pola perdagangan internasional ditentukan oleh prinsip-prinsip keunggulan komparatif.

Pengaruh perdagangan internasional


Pengaruh perdagangan internasional terasa pada harga, pendapatan nasional, dan tingkat kesempatan kerja negara-negara yang terlibat dalam perdagangan internasional tersebut. Ekspor akan meningkatkan permintaan masyarakat, yaitu jumlah barang dan jasa yang diinginkan masyarakat di dalam negeri. Sebaliknya, impor akan menurunkan permintaan masyarakat di dalam negeri. Permintaan masyarakat akan memengaruhi kesempatan kerja dan pendapatan nasional, dan di antara lain akan tergantung pada besarnya ekspor neto, yaitu selisih antara ekspor dan impor. Bila ekspor neto positif, berarti ekspor lebih besar daripada impor, kesempatan kerja dan pendapatan nasional cenderung akan naik. Besarnya ekspor neto sangat ditentukan oleh nilai kurs mata uang negara yang bersangkutan. Misalnya, nilai rupiah turun dibandingkan dengan dolar AS, harga barang ekspor dari Indonesia relatif akan lebih murah di AS, sehingga ekspor akan cenderung meningkat. Sebaliknya, harga barang-barang dari AS relatif menjadi mahal sehingga impor akan akan cenderung menurun. Dengan demikian, penurunan nilai kurs mata uang sendiri akan cenderung meningkatkan ekspor neto, demikian pula sebaliknya. Jadi, kegiatan serta kejadian internasional akan memengaruhi ekonomi dalam negeri, melalui pengaruh nilai kurs mata uang pada impor, ekspor, dan akhirnya permintaan masyarakat.My Dospl

Pengaruh pasar kredit internasional

Pengaruh ini terasa pada ekonomi dalam negeri. Bank-bank serta perusahaanperusahaan besar dan perorangan dapat meminjamkan uangnya di dalam negeri maupun luar negeri, tergantung mana yang lebih menguntungkan. Keuntungan ini tergantung dari tingginya tingkat bunga yang ditawarkan oleh masing-masing negara. Bila di AS lebih tinggi tingkat bunganya, misalnya, maka dana akan mengalir banyak ke AS, begitu pula sebaliknya. Tetapi, mengalirnya banyak dana ke AS akan mengakibatkan penawaran kredit menjadi meningkat, dan hal ini akan menurunkan kembali tingkat bunga disana. Demikian seterusnya sehingga dicapai suau tingkat bunga yang dapat mempertahankan keseimbangan.

Diperoleh dari "http://id.wikipedia.org/wiki/Ekonomi_Internasional" Ekonomi

Globalisasi dan Indonesia 2030


Abad ke-21 adalah abad milik Asia. Pada tahun 2050 separuh lebih produk nasional bruto dunia bakal dikuasai Asia. China, menggusur Amerika Serikat, akan menjadi pemain terkuat dunia, diikuti India di posisi ketiga. Lalu, apa peran dan di mana posisi Indonesia waktu itu?

China dan India dengan segala ekspansinya, berdasarkan sejumlah parameter saat ini dan prediksi ke depan, sudah jelas adalah pemenang dalam medan pertarungan terbuka dunia di era globalisasi, di mana tidak ada lagi sekat-sekat bukan saja bagi pergerakan informasi, modal, barang, jasa, manusia, tetapi juga ideologi dan nasionalisme negara. Globalisasi ekonomi dan globalisasi korporasi juga memunculkan barisan korporasi dan individu pemain global baru. Lima tahun lalu, 51 dari 100 kekuatan ekonomi terbesar sudah bukan lagi ada di tangan negara atau teritori, tetapi di tangan korporasi. Pendapatan WalMart, jaringan perusahaan ritel AS, pada tahun 2001 sudah melampaui produk domestik bruto (PDB) Indonesia sebagai negara. Penerimaan perusahaan minyak Royal Dutch Shell melampaui PDB Venezuela, salah satu anggota Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) yang berpengaruh. Pendapatan perusahaan mobil nomor satu dunia dari AS, General Motor, kira-kira sama dengan kombinasi PDB tiga negara: Selandia Baru, Irlandia, dan Hongaria. Perusahaan transnasional (TNCs) terbesar dunia, General Electric, menguasai aset 647,483 miliar dollar AS atau hampir tiga kali lipat PDB Indonesia. Begitu besar kekuatan uang dan pengaruh yang dimiliki korporasi-korporasi ini sehingga mampu mengendalikan pengambilan keputusan di tingkat pemerintahan dan menentukan arah pergerakan perdagangan dan perekonomian global. Pada awal dekade 1990-an terdapat 37.000 TNCs dengan sekitar 170.000 perusahaan afiliasi yang tersebar di seluruh dunia. Tahun 2004 jumlah TNCs meningkat menjadi sekitar 70.000 dengan total afiliasi 690.000. Sekitar 75 persen TNCs ini berbasis di Amerika Utara, Eropa Barat, serta Jepang, dan 99 dari 100 TNCs terbesar juga dari negara maju. Namun, belakangan pemain kelas dunia dari negara berkembang, terutama Asia, mulai menyembul di sana-sini. Dalam daftar 100 TNCs nonfinansial terbesar dunia (dari sisi aset) versi World Investment Report 2005, ada nama seperti Hutchison Whampoa Limited (urutan 16) dari Hongkong, Singtel Ltd (66) dari Singapura, Petronas (72) dari Malaysia, dan Samsung (99) dari Korea Selatan. Sementara dalam daftar 50 TNCs finansial terbesar dunia, ada tiga wakil dari China, yakni Industrial & Commercial Bank of China (urutan 23), Bank of China (34), dan China Construction Bank (39). Lompatan besar Menurut data United Nations Conference on Trade and Development, pada tahun 2004 China adalah eksportir terbesar ketiga di dunia untuk barang (merchandise goods) dan kesembilan

terbesar untuk jasa komersial, dengan pangsa 9 dan 2,8 persen dari total ekspor dunia. Volume ekspor China mencapai 325 miliar dollar AS tahun 2002 dan tahun lalu 764 miliar dollar AS. Manufaktur menyumbang 39 persen PDB China. Output manufaktur China tahun 2003 adalah ketiga terbesar setelah AS dan Jepang. Di sektor jasa, China yang terbesar kesembilan setelah AS, Jepang, Jerman, Inggris, Perancis, Italia, Kanada, dan Spanyol. Sementara India peringkat ke-20 eksportir merchandise goods (1,1 persen) dan peringkat ke22 untuk jasa komersial (1,5 persen). Produk nasional bruto (GNP) China tahun 2050 diperkirakan 175 persen dari GNP AS, sementara GNP India sudah akan menyamai AS dan menjadikannya perekonomian terbesar ketiga dunia, mengalahkan Uni Eropa dan Jepang. Ketika China membuka diri pada dunia dua dekade lalu, orang hanya membayangkan potensi China sebagai pasar raksasa dengan lebih dari semiliar konsumen sehingga sangat menarik bagi perusahaan ritel dan manufaktur dunia. Belakangan, China bukan hanya menarik dan berkembang sebagai pasar, tetapi juga sebagai basis produksi berbagai produk manufaktur untuk memasok pasar global. China awal abad ke-21 ini seperti Inggris abad ke-19 lalu. China tidak berhenti hanya sampai di sini. Jika pada awal 1990-an hanya dipandang sebagai lokasi menarik untuk basis produksi produk padat karya sederhana, dewasa ini China membuktikan juga kompetitif dalam berbagai industri berteknologi maju. Masuknya China dalam keanggotaan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) semakin melapangkan jalan bagi negeri Tirai Bambu ini untuk menjadi kekuatan yang semakin sulit ditandingi di pasar global. Di sektor padat karya, seperti tekstil dan pakaian jadi, diakhirinya rezim kuota di negaranegara maju membuat ekspor China membanjiri pasar dunia dan membuat banyak industri tekstil dan pakaian jadi di sejumlah negara berkembang pesaing harus tutup. Pangsa ekspor pakaian dari China diperkirakan akan melonjak dari sekitar 17 persen dari total ekspor dunia saat ini menjadi 45 persen pada paruh kedua dekade ini. Hal serupa terjadi pada produk-produk berteknologi tinggi. Bagaimana China menginvasi dan membanjiri pasar global dengan produk-produknya, dengan menggusur negara-negara pesaing, bisa dilihat dari data WTO berikut. Pangsa China di pasar elektronik AS meningkat dari 9,5 persen (tahun 1992) menjadi 21,8 persen (1999). Sementara pada saat yang sama, pangsa Singapura turun dari 21,8 persen menjadi 13,4 persen. Kontribusi China terhadap produksi personal computer dunia naik dari 4 persen (1996) menjadi 21 persen (2000), sementara kontribusi ASEAN secara keseluruhan pada kurun waktu yang sama menciut dari 17 persen menjadi 6 persen. Pangsa China terhadap total produksi hard disk dunia juga naik dari 1 persen (1996) menjadi 6 persen (2000), sementara pangsa ASEAN turun dari 83 persen menjadi 77 persen. Pangsa

China untuk produksi keyboard naik dari 18 persen (1996) menjadi 38 persen (2000), sementara pangsa ASEAN tergerus dari 57 persen menjadi 42 persen. Semua gambaran itu jelas memperlihatkan China terus naik kelas, membuat lompatan besar dari waktu ke waktu, dan pada saat yang sama terus memperluas diversifikasi produk dan pasarnya. Gerakan sapu bersih China di berbagai macam industrimulai dari yang berintensitas teknologi sangat sederhana hingga intensitas teknologi dan nilai tambah sangat tinggiini semakin mempertegas posisi China sebagai the worlds factory memasuki abad ke21. Sementara pada saat yang sama, negara-negara tetangganya justru mengalami hollowing out di industri manufaktur berteknologi tinggi dengan cepat. Di industri berintensitas teknologi rendah yang cenderung padat karya, China menekan negara-negara seperti Vietnam dan Indonesia yang basis industrinya masih sempit, yakni teknologi yang tidak terlalu complicated dan bernilai tambah rendah. Sementara di industri yang berintensitas teknologi tinggi, China semakin menjadi ancaman tidak saja bagi negara seperti Taiwan dan Korsel, tetapi juga AS dan Jepang. China tidak hanya membanjiri dunia dengan garmen, sepatu, dan mainan, tetapi juga produk-produk komputer, kamera, televisi, dan sebagainya. China memasok 50 persen lebih produksi kamera dunia, 30 persen penyejuk udara (air conditioners/AC), 30 persen televisi, 25 persen mesin cuci, 20 persen lemari pendingin, dan masih banyak lagi. Inovasi Bagaimana China bisa melakukan itu semua? Ada beberapa faktor. Pertama, perusahaanperusahaan teknologi asing, menurut Deloitte Research, sekarang ini berebut masuk untuk investasi di China, antara lain agar bisa memanfaatkan akses ke pasar China yang sangat besar dan bertumbuh dengan cepat. Kedua, perusahaan-perusahaan lokal yang menarik modal dari investor China di luar negeri (terutama Taiwan) juga semakin terampil memproduksi barang-barang berteknologi tinggi. Tidak statis di industri padat karya yang mengandalkan upah buruh murah, China kini mulai lebih selektif menggiring investasi ke industri yang menghasilkan high end products dan padat modal. Ini antara lain untuk mengurangi ketergantungan pada tenaga kerja murah yang mulai berkurang ketersediaannya. Ketiga, perguruan-perguruan tinggi di China mampu mencetak barisan insinyur baru dalam jumlah besar setiap tahunnya, dengan upah yang tentu relatif murah dibandingkan jika menyewa insinyur asing. Setiap tahun, negara ini menghasilkan 2 juta-2,5 juta sarjana,

dengan 60 persennya dari jurusan teknologi (insinyur). Sebagai perbandingan, di Indonesia lulusan jurusan teknologi hanya 18 persen, AS 25 persen, dan India 50 persen. Untuk mendukung pertumbuhan industri teknologi tinggi padat modal yang menghasilkan high end products, pemerintahan China juga sangat agresif mendorong berbagai kegiatan penelitian dan pengembangan (R&D), sejalan dengan ambisinya menjadi The Fastest Growing Innovation Centre of the World, dengan tahapan, strategi, dan implementasi yang sangat jelas untuk sampai ke sana. Hampir di setiap ibu kota provinsi ada R&D centre-nya. Positioning strategy ini mengindikasikan China mulai masuk babak kedua dalam pembangunan ekonominya. Ketiga, negara ini relatif memiliki infrastruktur yang sangat bagus untuk mengangkut komponen dan barang dari luar dan juga di seluruh penjuru negeri. China, dengan 1,3 miliar penduduk, memiliki 88.775 kilometer jalan arteri dan 100.000 kilometer jalan tol, atau rasio panjang jalan per sejuta penduduk 1.384 kilometer. Sebagai perbandingan, Indonesia dengan 220 juta penduduk baru memiliki jalan arteri 26.000 kilometer dan jalan tol 620 kilometer (121 kilometer per sejuta penduduk). Itu pun sebagian besar dalam kondisi rusak. Pelabuhan-pelabuhan di China sudah mampu melayani seperlima volume kontainer dunia dan negara ini terus membangun jalan-jalan tol dan pelabuhanpelabuhan baru. Keempat, kebijakan pemerintah yang sangat mendukung, termasuk perizinan investasi, perpajakan, dan kepabeanan. Kelima, pembangunan zona-zona ekonomi khusus (20 zona) sebagai mesin pertumbuhan ekonomi sehingga perkembangan ekonomi bisa lebih terfokus dan pembangunan infrastruktur juga lebih efisien. Hasilnya, tahun 2004 China berhasil menarik investasi langsung asing 60,6 miliar dollar AS dan 500 perusahaan terbesar dunia hampir seluruhnya melakukan investasi di sana. Bagaimana kompetitifnya China bisa dilihat di tabel. Di sini kelihatan China sudah memperhitungkan segala aspek untuk bisa bersaing dan merebut abad ke-21 dalam genggamannya. Hal serupa terjadi pada India yang mengalami pertumbuhan pesat sejak program liberalisasi dengan membongkar License raj" pada era Menteri Keuangan Manmohan Singh tahun 1991. India kini sudah masuk tahap kedua strategi pembangunan ekonomi dengan menggunakan teknologi informasi (IT) sebagai basis pembangunan ekonominya. Hampir seluruh pemain bisnis IT dunia sudah membuka usahanya di India, terutama di Bangalore. Tahun 2006, pendapatan dari IT India mencapai 36 miliar dollar AS. Malaysia, Thailand, dan Filipina juga beranjak ke produk-produk yang memiliki tingkat teknologi lebih

kompleks dan bernilai tambah tinggi. Singapura dan Korsel mengarah ke teknologi informasi dan perancangan produk. Pragmatisme Bagaimana dengan Indonesia? Prinsip globalisasi adalah adanya pembagian kerja untuk mencapai efisiensi. Sinyalemen bahwa Indonesia dengan tenaga kerja melimpah dan upah buruh murah hanya kebagian industri peluh (sweatshop) seperti pakaian jadi dan alas kaki dalam rantai kegiatan produksi global, terbukti sebagian besar benar. China, India, dan Malaysia juga memulai dengan sweatshop, tetapi kemudian mampu mengupgrade industrinya dengan cepat. Hal ini yang tidak terjadi di Indonesia. Kebijakan Indonesia menghadapi globalisasi sendiri selama ini lebih didasarkan pada sikap pragmatisme. Direktur Eksekutif Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Hadi Soesastro (Globalization: Challenge for Indonesia) mengatakan, kebijakan pemerintah menghadapi globalisasi tidak didasarkan pada pertimbangan ideologis, tetapi lebih pada penilaian obyektif apa yang bisa dicapai negara-negara Asia Timur lain. Apalagi, saat itu di antara negara-negara di kawasan Asia sendiri ada persaingan, berlomba untuk meliberalisasikan perekonomiannya agar lebih menarik bagi investasi global. Momentum ini didorong lagi oleh munculnya berbagai kesepakatan kerja sama ekonomi regional seperti AFTA dan APEC. Pemerintah meyakini melalui liberalisasi pasar, industri dan perusahaan-perusahaan di Indonesia akan bisa menjadi kompetitif secara internasional. Sejak pertengahan tahun 1980an, Indonesia sudah mulai meliberalisasikan dan menderegulasikan rezim perdagangan dan investasinya. Selama periode 1986-1990, tidak kurang dari 20 paket kebijakan liberalisasi perdagangan dan investasi diluncurkan. Indonesia adalah satu-satunya negara di Asia Timur yang memulai program liberalisasi ekonomi dengan liberalisasi rezim devisa. Namun, dalam banyak kasus, paket kebijakan yang ditempuh pemerintah untuk mendorong sektor swasta waktu itu cenderung reaktif dan tak koheren serta diskriminatif karena sering kali tidak menyertakan kelompok atau sektor tertentu dari program deregulasi. Jadi, tidak mendorong terjadinya persaingan yang sehat. Pengusaha tumbuh dan menggurita bukan karena ia efisien dan kompetitif, tetapi karena ia berhasil menguasai aset dan sumber daya ekonomi, akibat adanya privelese atau KKN dengan penguasa.

Kini Indonesia terkesan semakin gamang menghadapi globalisasi, terutama di tengah tekanan sentimen nasionalisme di dalam negeri. Di pihak pemerintah sendiri, karena menganggap sudah sukses melaksanakan tahap pertama liberalisasi (first-order adjustment) ekonomi, pemerintah cenderung menganggap sepele tantangan yang menunggu di depan mata. Ini tercermin dari sikap taken for granted dan cenderung berpikir pendek. Padahal, tantangan akan semakin berat dan kompleks sejalan dengan semakin dalamnya integrasi internasional. Belum jelas bagaimana perekonomian dan bangsa ini menghadapi kompetisi lebih besar yang tidak bisa lagi dibendung. Jika China yang the worlds factory dan India yang kini menjadi surga outsourcing IT dunia berebut menjadi pusat inovasi dunia, manufacture hub, atau mimpi-mimpi lain, Indonesia sampai saat ini belum berani mencanangkan menjadi apa pun atau mengambil peran apa pun di masa depan. Jika Indonesia sendiri tak mampu memberdayakan dan menolong dirinya serta membiarkan diri tergilas arus globalisasi, selamanya bangsa ini hanya akan menjadi tukang jahit dan buruh. Menurut seorang panelis, yang dibutuhkan Indonesia sekarang ini adalah visioning, repositioning strategy, dan leadership. Tanpa itu semua, kita tidak akan pernah beranjak dari transformasi yang terus berputar-putar. Dengan visi jelas, tahapan-tahapan yang juga jelas, dan komitmen semua pihak serta kepemimpinan yang kuat untuk mencapai itu, tahun 2030 bukan tidak mungkin Indonesia juga bisa bangkit kembali menjadi bangsa yang lebih bermartabat dan berdaya sebagai pemenang dalam globalisasi. Oleh: Sri Hartati Samhadi
sumber: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0605/20/sorotan/2658725.htm

Peraturan/Regulasi Perdagangan Internasional


Umumnya perdagangan diregulasikan melalui perjanjian bilateral antara dua negara. Selama berabad-abad dibawah kepercayaan dalam Merkantilisme kebanyakan negara memiliki tarif tinggi dan banyak pembatasan dalam perdagangan internasional. Pada abad ke 19, terutama di Britania, ada kepercayaan akan perdagangan bebas menjadi yang terpenting dan pandangan ini mendominasi pemikiran di antara negara barat untuk beberapa waktu sejak itu dimana hal tersebut membawa mereka ke kemunduran besar Britania. Pada tahun-tahun sejak Perang Dunia II, perjanjian multilateral kontroversial seperti GATT dan WTO memberikan usaha untuk membuat regulasi global dalam perdagangan internasional.

Kesepakatan perdagangan tersebut terkadang berujung pada protes dan ketidakpuasan dengan klaim dari perdagangan yang tidak adil dan tidak menguntungkan secara mutual. Perdagangan bebas biasanya didukung dengan kuat oleh sebagian besar negara yang berekonomi kuat, walaupun mereka terkadang melakukan proteksi selektif untuk industri- industri yang penting secara strategis seperti proteksi tarif untuk agrikultur oleh Amerika Serikat dan Eropa. Belanda dan Inggris Raya keduanya mendukung penuh perdagangan bebas dimana mereka secara ekonomis dominan, sekarang Amerika Serikat, Inggris, Australia dan Jepang merupakan pendukung terbesarnya. Bagaimanapun, banyak negara lain (seperti India, Rusia, dan Tiongkok) menjadi pendukung perdagangan bebas karena telah menjadi kuat secara ekonomi. Karena tingkat tarif turun ada juga keinginan untuk menegosiasikan usaha non tarif, termasuk investasi luar negeri langsung, pembelian, dan fasilitasi perdagangan. Wujud lain dari biaya transaksi dihubungkan dengan perdagangan pertemuan dan prosedur cukai.

General Agreement on Tariff and Trade


GATT (General Agreement on Tarif and Trade) adalah perjanjian internasional multilateral yang mengatur perdagangan internasional. GATT lahir atau dibentuk setelah Perang Dunia II (tahun 1947) atas dasar provisional basis yaitu bersifat sementara. GATT bukan merupakan suatu organisasi atau lembaga. GATT (sekarang disebut WTO) memiliki lima tujuan utama, yaitu:

Menghapus berbagai hambatan tarif maupun non tarif. Menciptakan kondisi perdagangan tanpa diskriminasi. Membentuk dasar perdagangan yang stabil dan mudah diprediksi. Membentuk suatu forum konsultasi. Mendorong kesepakatan perdagangan di tingkat regional.

Untuk mencapai liberalisasi perdagangan, berbagai perundingan perdagangan multilateral atau sering disebut sebagai putaran perundingan perdagangan telah dilaksanakan di bawah pengawasan GATT. Putaran perundingan yang pertama dilaksanakan pada tahun 1947 di Jenewa Annecy Round (1949), (Geneve Round). Kemudian dilanjutkan dengan Torquay Round (1951), Geneve Round (1956), Dillon Round (1960), Kennedy Round (1964/67), Tokyo Round (1973/79), dan Uruguay Round (1987/93). Perjanjianperjanjian tersebut dibuat untuk mendorong dan mewujudkan perdagangan bebas antara negara anggota dengan cara penurunan tarif dalam perdagangan barang dan sebagai mekanisme yang lazim dalam menyelesaikan perselisihan dagang, seperti masalah dumping, quota, penolakan barang impor, dan masalah-masalah perdagangan lainnya.

World Trade Organization


WTO adalah organisasi perdagangan dunia yang mengatur dan menerapkan perjanjian multilateral dan plurilateral dibidang perdagangan. WTO lahir karena kebutuhan akan adanya suatu lembaga atau organisasi internasional yang dapat berfungsi atau sebagai wadah untuk membuat suatu aturan permainan dalam perdagangan internasional. WTO lahir dari hasil perundingan multilateral dalam kerangka GATT (General Agreement on Tariff and Trade), yang dikenal dengan Putaran Uruguay pada tahun 1994.
Gambar 1

WTO Agreement

WTO AGREEMENT

Rules of Origin Pre-shipment Inspection dan prinsip-prinsip WTO. Anti dumping & subsidi Intellectual Property Rights Keterangan: perjanjian WTO yang memuat ketentuan-ketentuan

Kebijakan Ekonomi Internasional


Kebijakan Ekonomi internasional adalah tindakan/kebijakan ekonomi pemerintah yang secara langsung mempengaruhi perdagangan dan pembayaran internasional.
I. Instrumen kebijakan ekonomi internasional meliputi: 1. Kebijakan perdagangan internasional mancakup tindakan/kebiijakan pemerintah terhadap

2.

3.

perdagangan luar negerinya, khususnya mengenai ekspor dan impor barang/jasa,misalnya pengenaan tariff terhadap barang impor, bilateral, trade agreement,pengenaan quota impor dan ekspor dll. Kebijakan pembayaran internasional adalah mencakup tindakan pemerintah terhadap pembayaran internasional, misalnya pengawasan terhadap lalu lintas devisa, pengaturan lalu lintas modal jangka panjang. Kebijakan bantuan luar negeri adalah tindakan pemerintah yang berhubungan dengan bantuan (grants), pinjaman/hutang (loans), bantuan untuk rehabilitasi serta pembangunan, dll.

II. Tujuan kebijakan ekonomi internasional 1. Autarki: tujuan ini sebenarnya bertentangan dengan prinsip perdagangan internasional. Tujuan

2.

autarki bermaksud untuk menghindarkan dari pengaruh- pengaruh Negara lain baik pengaruh ekonomi,politik atau militer. Kesejahteraan (welfare): tujuan ini bertentangan dengan autarki di atas. Dengan mengadakan perdagangan internasional suatu Negara akan memperoleh keuntungan dari adanya spesialisasi dan kesejahteraan meningkat. Maka untuk mendorong perdagangan internasional, hambatan/ restriksi dalam perdagangan internasional seperti tariff, quota, dsb akan dihilangkan atau paling tidak dikurangi. Hal ini berati mengarah ke perdagangan bebas.

3. 4.

5.

Proteksi : tujuannya untuk melindungi industry dalam negeri dari persaingan barang impor. Kebijakan dapat berupa tariff atau quota impor. Keseimbangan neraca pembayaran: terutama bagi Negara yang mengalami defisit dalam neraca pembayarannya, posisi cadangan valuta asingnya lemah. Maka diperlukan kebijakan ekonomi internasional guna menyeimbangkan neraca pembayaran internasionalnya. Kebijakan ini ummnya berbentuk pengawasan devisa (exchange control). Pengawasan devisa tidak hanya mengatur/mengawasi lalu lintas tapi juga modal. Pembangunan ekonomi: untuk menunjang pembangunan ekonomi suatu Negara pemerintah dapat mengarahkan perdagangan internasionalnya dengan kebijakan seperti: - perlindungan terhadap industri dalam negeri yang baru tumbuh (infant industries) - mengurangi impor barang-barang yang nonessensial dan mendorong impor barang-barang yang lebih esensial. - mendorong ekpor

Restriksi/Pembatasan Perdagangan Tariff


A. Definisi tariff

Tariff dapat difenisikan sebagai pajak atu cukai yang dikenakan pada suatu komoditi yanf diperdagangkan dalam hal ini yang diimpor dan diekspor. Pembebanan pajak ini diberlakukan terhadap produk-produk yang melewati batas-batas Negara.
B. Alasan- alasan pembebanan tariff

Beberapa alasan yang dikemukakan mengenai pembebanan tariff ini untuk: 1. Melindungi tenaga kerja dan produsen dalam negeri 2. Stabilitasi harga barang 3. Mengurangi penganggguran dalam negeri. 4. Menghilangkan deficit neraca pembayarn nasional 5. Memperbaiki kesejahteraan nasional 6. Mendorong sector industry dalam negeri untuk bersaing denganprodusen luar negeri. 7. Melindungi industry penting nasional.
Dari alasan di atas,dapat kita lihat betapa bagusnya tujuan dari pemberlakuan restriksi tariff ini. Namun pada kenyataannya hal tersebut lebih bertolak pada kepentingan invidu atau kelompokkelompok tertentu. Hanya sekelompok oranglah yang mengalami kejumlah besar keuntungan. Alasan

lain diberlakukannya pembebanan tariff adalah:


a. Secara ekonomis: 1). Memperbaiki nilai tukar. 2). Infant-industri, dalam hal ini merupakan perlindungan bagi industry-industri terhadap persaingan luar negeri. 3). Diversivikasi, penitikberatan produksi Negara pada satu atau bebrapa barang saja. 4). Employment, pembebanan tariff akan menurunkan import dan menaikkan produksi dalam negeri sehingga akan terbuka banyak lapangan kerja di dalam negeri. 5). Anti dumping atau penjualan produk keluar negeri dengan harga murah daripada di dalam negeri. b. Secara non ekonomis:

1). Pertahanan nasional. 2). Cita-cita membangun suatu perekonomin nasional yang tangguh dan mandiri. 3). Perlindungan terhadap kegiatan- kegiatan tertentu yang mempunyai nilai social budaya yang ingin dilestarikan. 4). Menunjang tujuan politik luar negeri tertentu.
C. Penggolongan tariff

Penggolongan tariff dapat dilakukan ke dalam kategori.


1. Menurut aspek komoditi dibagi atas:

a. Bea ekspor, adalah bea yang dikenakan terhadap barang yang diangkut menuju Negara lain.

b. Bea transito, adalah bea yang dikenakan terhadap barang-barang yang melalui wilayah suatu Negara dengan tujuan lain.
c. Bea impor, adalah bea yang dikenakan terhadap barang- barang yang masuk ke dalam suatu Negara, di mana Negara tersebut adalah tujuan akhirnya.

2. Menurut mekanisme perhitungannya, dibagi atas: a. Ad valorem duties, yakni biaya pabean yang tingginya dinyatakan dalam presentasi dari nilai barang yang dikenakan bea tersebut. b. Specific duties, yakni biaya pabean yang tingginya dinyatakan untuk setiap ukuran fisik dari barang yang dikenakan bea tersebut. c. Compound duties, yakni biaya pabean yang tingginya adlah hasil kombinasi dari ad valorem dan specific duties.
D. Sistem tariff

Ada beberapa system tariff:


1. Single column tariffs.

System di mana untuk masing-masing barang hanya mempunyai 1 macam tariff atau sifatnya autonomous tariffs.
2. Double- column tariffs.

System di mana untuk masing-masing barang mempunyai dua tariff. Kedua tariff ini ditentukan sendri oleh undang-undang. Namanya bentuk maksimum dan minimum.
3. Triple- column tariffs

System ini digunakan oleh suatu Negara yang menjajah Negara lain. System ini merupakan perluasan dari sistem double- column tariffs. Di sini ditambah dengan satu macam tariff preference.
E. Efek tariff

Pembebanan tariff atas suatu barang dapat mempunyai efek terhadap perekonomian suatu Negara. Khususnya di dalam pasar barang tersebut. Beberapa efek yang terjadi karena diberlakukannya tariff dalam perdagangan. 1. Efek terhdap harga, dapat menyebabkan naik turunyya harga suatu barang di dalam negeri. 2. Efek terhadap konsumsi, dapat menyebabkan naik turunnya jumlah konsumsi atas suatu barang di dalam negeri.

3. Efek terhadap produk, dapat menyebabkan naik turunnya jumlah produksi suatu barang dalam negeri. 4. Efek terhadap distribusi pendapatan, dapat menyebabkan perubahan pola dalam pendapatan masyarakat di dalam negeri.

Hubungan Kerjasama Internasional


ASEAN FREE TRADE AREA (AFTA)

Pembentukan ASEAN Free Trade Area - AFTA tujuan utamanya adalah untuk: a. Meningkatkan perdagangan intra ASEAN dengan cara mengurangi hambatan tarif dan non tarif, sehingga sektor-sektor manufaktur ASEAN akan lebih efisien dan lebih kompetitif b. Untuk meningkatkan investasi di negara-negara anggota ASEAN;

c. Dengan pasar yang lebih luas, investasi langsung dari luar akan masuk dalam kawasan regional. Hal ini akan merangsang pertumbuhan industri di kawasan.
Pada mulanya ada 6 negara anggota AFTA, yaitu Brunai Darussalam, Indonesia, Malaysia, Filippina, Singapore, dan Thailand. Kemudian negara anggotanya bertambah, dan sekarang ada 10 negara anggota AFTA termasuk 4 negara baru yaitu Vietnam (tahun 1995), Laos dan Myanmar (tahun 1997), serta Kamboja (tahun 1999). Untuk mencapai AFTA, negara-negara ASEAN sepakat untuk menyusun skedul penurunan tarif Bea Masuk terhadap barang-barang yang diimpor dari negara anggota. Skedul penurunan tersebut dikenal dengan sebutan CEPT for AFTA (Common Effective Prefential Tariff) yaitu skema yang berisi pemberian konsesi tarif yang efektif dan sama untuk pasar ASEAN terhadap produk-produk yang sama yang dihasilkan oleh negara ASEAN. Konsepnya adalah penurunan tarif dan hambatan non tarif dalam kurun waktu 15 tahun yang dimulai dari 1 Januari 1993. Namun pada tahun 1994 negara-negara anggota sepakat untuk mempercepat realisasi dari AFTA dari 15 tahun menjadi 10 tahun. Bahkan dengan adanya kecenderungan penurunan tarif bea masuk sesuai kesepakatan antar negara (misalnya perjanjian dalam GATT, ASEAN, APEC) untuk menuju ke perdagangan bebas, kebijakan non tarif cenderung digunakan oleh negara-negara untuk melindungi industri dalam negerinya, termasuk produk-produk pertanian. Hal ini terjadi oleh karena kebijakan tarif tidak bisa dilaksanakan karena terikat dengan perjanjian internasional, sehingga untuk menaikkan tarif bea masuk atas suatu komoditi menjadi tidak dapat dilakukan
Kasus 1

Sebagai salah satu komoditas strategis di Indonesia, Industri gula nasional kini mendapat perlindungan dan dukungan yang cukup memadai dari pemerintah Indonesia. Kebijakan-kebijakan tersebut antara lain mencakup kebijakan tarif impor, kebijakan tataniaga impor, dan dukungan terhadap program akselerasi pergulaan nasional. Untuk tarif impor, pemerintah tetap mempertahankan kebijakan tarif impor gula sebesar Rp 700/kg. Kebijakan tataniaga impor membatasi membatasi jumlah importir yaitu hanya importir produsen dan importir terdaftar. Untuk program akselerasi, pemerintah menyediakan dana sekitar Rp 65 miliar untuk tahun 2003. Dari tiga kebijakan tersebut, kebijakan tataniaga impor yang tertuang dalam Kepmenperindag No. 43/MPP/Kep/9/2002, tertanggal 23 September 2002 merupakan kebijakan yang paling mendapat sorotan. Esensi dari kebijakan ini, disamping membatasi pelaku importir yaitu hanya importir produsen dan importir terdaftar impor dapat dilakukan bila harga di tingkat petani adalah minimal Rp 3100/kg. Kebijakan yang pada dasarnya membatasi penawaran gula impor diharapkan dapat memberi dorongan pertumbuhan industri gula serta peningkatan dan sekaligus stabilitas pendapatan petani tebu.

Evaluasi sementara menunjukkan bahwa kebijakan tersebut cukup efektif dalam mencapai sasarannya. Kebijakan tersebut secara langsung telah meningkatkan harga gula di tingkat petani. Kalau sebelum kebijakan tersebut diterapkan harga di tingkat petani jarang diatas Rp 3100/kg; setelah kebijakan tersebut diterapkan harga di tingkat petani umumnya diatas nilai tersebut, bahkan sering sudah mendekati Rp 3500/kg. Hasil analisis menunjukkan bahwa dalam jangka panjang kebijakan tersebut akan mendorong perluasan areal tebu secara nasional sekitar 8.21% lebih tinggi bila dibandingkan dengan tanpa kebijakan tersebut. Hal yang sama berlaku juga terhadap produksi yang diperkirakan akan menjadi sekitar 7.23% lebih tinggi bila dibandingkan dengan tanpa kebijakan tersebut. Kebijakan tersebut diperkirakan menyebabkan impor menjadi lebih rendah sekitar 7.35%. Di balik dampak positifnya, kebijakan tersebut mempunyai sisi-sisi kelemahan. Seperti disebutkan oleh Erwidodo (2003), kebijakan tersebut dapat menciptakan strukur pasar yang mengarah pada pasar monopolistik bila terbentuk sejenis kartel, mengingat jumlah importir terdaftar sampai saat ini hanya empat importir. Oleh beberapa kalangan, situsi ini dinilai telah melanggar UU Persaingan Usaha. Kedua, kebijakan ini akan menyuburkan prilaku pemburu rente ekonomi. Lonjakan harga gula di dalam negeri yang pernah terjadi pada periode Januari-April 2003, merupakan indiaktor dari kelemahan kebijakan tersebut. Salah satu alterantif kebijakan untuk mengatasi masalah tersebut adalah mencari alternatif kebijakan impor gula yang lebih tepat. Terkait dengan upaya ini, tariff-rate quota (TRQ) dapat menjadi salah satu alternatif untuk di pertimbangkan. Kebijakan TRQ pada dasarnya mengenakan tarif rendah sampai dengan volume impor tertentu. Di atas volume impor tesebut, tarif impor yang dikenakan biasanya jauh lebih tinggi (tarif tinggi). Beberapa negara telah menerapkan kebijakan tersebut sebagai bentuk kompromi untuk melindungi industri gula dalam negeri dan konsemen, termasuk industri yang menggunakan gula sebagai bahan baku (Tabel 1). Kebijakan ini merupakan salah satu kebijakan yang paling banyak diterapkan oleh negara-negara yang berperan penting dalam perdagangan gula, seperti Eropa Barat, Amerika, dan China. Di samping itu, kebijakan ini masih sejalan dengan komitmen yang berkaitan dengan WTO. Sebagai ilustrasi dapat dilihat bagaimana Amerika menggunakan TRQ untuk mengandalikan pasokan gula di pasar domestik. Untuk volume impor sampai dengan 1.3 juta ton pada tahun 2003 (berubah-ubah tiap tahun), Amerika mengenakan tarif impor sebesar US$c 0.625/pound. Di atas volume tersebut, tarif impor yang dikenakan adalah US$c 15.36/pound. Implikasi dari kebijakan ini adalah bahwa Amerika secara tidak langsung membatasi impor hanya sampai dengan 1.3 juta ton untuk tahun 2003. Kebijakan ini terbukti efektif untuk mengendalikan pasokan gula di pasar dalam negeri Amerika. Salah satu kelebihan TRQ dibandingkan dengan kebijakan tata niaga impor adalah bahwa TRQ tidak perlu membatasi pelaku impor, sehingga TRQ diharapkan dapat menciptakan persiangan yang sehat dan tidak menyalahi UU Persaingan Usaha. Yang perlu dibatasi atau dihitung secara cermat adalah adalah batas volume impor yang dikenakan tarif rendah. Untuk Indonesia, volume TRQ dapat ditentukan dengan memperhatikan kemampauan produksi gula secara nasional dan ditetapkan setiap tahun. Sebagai contoh, Untuk 3-5 tahun mendatang, TRQ sekitar 1.5 jua ton dapat menjadi salah satu pilihan. Tingkat tarif impor rendah dan tarif impor tinggi perlu mempertimbangkan beberapa aspek/faktor pergulaan nasional, terutama yang berkaitan dengan aspek sosial dan ekonomi. Untuk tarif rendah, beberapa faktor penting yang perlu dipetimbangkan antara lain target harga yang wajar untuk petani dan konsumen dan kecendrungan perkembangan harga di pasar internasional. Makin tinggi target harga di tingkat petani, makin tinggi tingkat tarif rendah. Di sisi lain, tarif impor tinggi seyogyanya mampu melindungi pasar domestik dari lonjakan impor sebagai akibat harga gula di pasar

internasional yang sangat distortif. Untuk Indonesia, tarif impor tngigi yang dapat diterapka adalah 95%, sesuai dengan komitmen yang tertuang dalam Putaran Uruguay. Sebagai pembahasannya dapat disimpulkan bahwa bebagai kebijakan pergulan nasional yang diterapkan pemerintah sudah cukup memberi perlindungan dan kondisi yang kondusif untuk perkembangan pergulaan nasional. Namun demikian, kebijakan tersebut masih memiliki sisi-sisi kelemahan yag harus diperbaiki. Dalam hal ini, TRQ merupakan salah satu alternatif kebijakan yang perlu dipertimbangkan. Untuk dapat diterapkan, kebijakan TRQ tentu memerlukan pengkajian/analisis yang komprehensif baik pada sisi teoritis, emperis, maupun praktis. Yang terpenting, upaya-upaya untuk mencari kebijakan terbaik bagi perkembangan pergulaan nasional harus terus-menerus dilakukan, sehingga Industri gula nasional dapat berkembang secara dinamis dan antisipatif bagi ksejahteraan masyarakatan pergulaan dan mampu memeberi kontribusi dalam mewujudkan tujuan pembangunan nasional
Kasus 2 RI Menangkan Sengketa Anti Dumping Kertas di WTO (Kapanlagi.com)

Indonesia memenangkan sengketa anti dumping produk kertas yang digugat Korea di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), kata Menteri Perdagangan Mari Pangestu dalam jumpa pers di Jakarta, Senin (31/10). "Dispute Settlement Body WTO secara resmi telah menerbitkan laporan panel mengenai sengketa dagang Indonesia-Korea menyangkut pengenaan bea masuk anti dumping atas produk kertas di Korsel," katanya. Menurut dia, dalam laporan tersebut, panel DSB mengabulkan dan menyetujui gugatan Indonesia bahwa pemerintah Korsel melakukan berbagai pelanggaran terhadap ketentuan agreement on anti dumping WTO dalam mengenakan tindakan anti dumping terhadap produk kertas Indonesia. "Korsel telah melakukan kesalahan dalam pembuktian dan menentukan kerugian yang dialami industri domestik Korsel akibat praktek dumping produk kertas Indonesia," katanya. Pada Mei 2003 Korsel memberlakukan BM (bea masuk) anti dumping atas produk kertas Indonesia, namun pada November 2003 mereka menurunkan BM anti dumping terhadap produk kertas Indonesia ke Korsel. BM anti dumping pada November 2003 yang diberlakukan pada tiga eksportir produk kertas yaitu PT Tjiwi Kimia, PT Pindo Deli, PT Indah Kiat, PT April Pine. PT Pindo Deli, PT Tjiwi Kimia dan PT Indah Kiat dikenakan BM dumping 8,22%, sedangkan PT April Pine dan perusahaan lainnya 2,8%. Sedangkan pada Mei 2003, BM dumping pada Tjiwi Kimia dan Pindo Deli masing-masing sebelumnya sebesar 51,61% dan 11,56%. Industri kertas Korsel melakukan petisi anti dumping terhadap produk kertas Indonesi pada tanggal 30 September 2002. Sementara itu, Dirjen Kerjasam Perdagangan Internasional Deperdag Harry Soetanto mengatakan bahwa Korsel bisa saja melakukan banding atas keputusan WTO tersebut, namun mereka harus segera mencabut penerapan BM anti dumping terhadap produk kertas Indonesia. Menurut dia, nilai ekspor produk kertas Indonesia ke Korsel pada 2002 mencapai US$139,1 juta.

"Kerugian atas BM anti dumping yang dikumpulkan oleh Pemerintah Korsel mencapai US$500 ribu per bulan," katanya. Pada kesempatan Managing Director Sinar Mas Group yang menangungi Indah Kiat, Pindo, dan Tjiwi Kimia, Sulistiyanto menjelaskan sebelum adanya penerapan BM anti dumping ekspor perusahaannya ke Korsel mencapai US$100 juta per tahun, namun kemudian turun menjadi sekitar US$60 juta per tahun sejak ada penerapan BM anti dumping itu. "Dengan kemenangan ini diharapkan ekspor kami bisa kembali meningkat hingga mencapai US$120 juta per tahun," katanya. Adapun produk Indonesia yang terkena BM dumping ada 16 jenis antara lain yang tergolong dalam uncoated paper and paperboard used for writing dan printing or other grafic purpose. (*/lpk)
Pembahasan

Dalam persetujuan anti dumping pemerintah diperbolehkan untuk mengambil tindakan sebagai reaksi terhadap dumping jika benar benar terbukti terjadi kerugian (material injury) terhadap industri domestik. Untuk melakukan hal ini, pemerintah harus dapat membuktikan terjadinya dumping dengan memperhitungkan tingkat dumping, yaitu membandingkannya terhadap tingkat harga ekspor suatu produk dengan harga jual produk tersebut di negara asalnya. Praktek dumping merupakan praktek dagang yang tidak fair, karena bagi negara pengimpor, praktek dumping akan menimbulkan kerugian bagi dunia usaha atau industri barang sejenis dalam negeri, dengan terjadinya banjir barang-barang dari pengekspor yang harganya jauh lebih murah daripada barang dalam negeri akan mengakibatkan barang sejenis kalah bersaing, sehingga pada akhirnya akan mematikan pasar barang sejenis dalam negeri, yang diikuti munculnya dampak ikutannya seperti pemutusan hubungan kerja massal, pengganguran dan bangkrutnya industri barang sejenis dalam negeri. Sebagai negara yang telah menjadi anggota WTO yaitu dengan meratifikasinya Agreement Establishing the WTO melalui Undang Undang Nomor. 7 Tahun 1994 tentang Pembentukan WTO, maka Indonesia juga harus melaksanakan prinsip - prinsip pokok yang dikandung dalam General Agreement on Tariff and Trade/GATT 1947 (Persetujuan Umum mengenai Tarif dan Perdagangan Tahun 1947), berikut persetujuan susulan yang telah dihasilkan sebelum perundingan Putaran Uruguay. GATT dimaksudkan sebagai upaya untuk memperjuangkan terciptanya perdagangan bebas, adil dan menstabilkan sistem perdagangan internasional, dan memperjuangkan penurunan tarif bea masuk serta meniadakan hambatan-hambatan perdagangan lainnya. Pada tanggal 4 Juni 2004, Indonesia membawa Korea Selatan untuk melakukan konsultasi penyelesaian sengketa atas pengenaan tindakan anti-dumping Korea Selatan terhadap impor produk kertas asal Indonesia. Hasil konsultasi tersebut tidak membuahkan hasil yang memuaskan kedua belah pihak. Indonesia kemudian mengajukan permintaan ke DSB WTO agar Korea Selatan mencabut tindakan anti dumpingnya yang melanggar kewajibannya di WTO dan menyalahi beberapa pasal dalam ketentuan Anti-Dumping. Pada tanggal 28 Oktober 2005, DSB WTO menyampaikan Panel Report ke seluruh anggota dan menyatakan bahwa tindakan anti-dumping Korea Selatan tidak konsisten dan telah menyalahi ketentuan Persetujuan Anti-Dumping. Kedua belah pihak yang bersengketa pada akhirnya mencapai kesepakatan bahwa Korea harus mengimplementasikan rekomendasi DSB dan menentukan jadwal waktu bagi pelaksanaan rekomendasi DSB tersebut (reason- able period of time/RPT).

Penutup
Dapat dibaca pada kasus-kasus tersebut bahwa dalam melakukan hubungan perdagangan (khususnya bilateral) sangat rentan akan berbagai masalah yang ujungnya akan merugikan negara kita. Pihak-pihak terkait dengan hal-hal semacam itu harus jeli dalam melihat apa yang terjadi dan dapat melakukan negosiasi dengan baik, dengan maksud agar hubungan luar negeri yang terbina tetap berjalan dengan baik. Dengan keikutsertaan Indonesia pada WTO, maka siap atau tidak siapstakeholders harus mempersiapkan diri dengan sebaik mungkin. Dan pemerintahpun dituntut untuk dapat menyusun dan menerapkan sistem perekonomian khususnya dalam hal perdagangan dengan sebaik mungkin agar industri kecil dan UKM dapat terus bernafas dan tidak tersapu gelombang pasar bebas yang telah memutuskan penerapan tariff 0%.

Sumber/Referensi
Rafianti, Laina, 2005. Unpad Journal of International Law : Tindakan Anti Dumping Dalam Kegiatan Perdagangan Internasional. Bandung. Kartadjoemena, H.S. 1996. GATT dan WTO Sistem, Forum dan Lembaga Internasional di Bidang Perdagangan. Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia.

Modul Kebijakan Ekonomi Internasional Data indikator dari International Trade Center (ITC) Modul Kepabeanan Internasional

h ttp ://b u le ti n bi sn i s. w ord p re ss. co m www.wikipedia.com www.kapanlagi.com w ww . k o n tan . co . id

Anda mungkin juga menyukai