Anda di halaman 1dari 31

BUDAYA ORGANISASI PART II – Des 2017

Minggu ke-8 dan 9

I. Jenis /Type Budaya Perusahaan dalam


praktik Bisnis Global

MEMAHAMI KONTEKS GLOBAL DARI BISNIS


January 30, 2010 by Amelia Setyawati

Globalisasi telah menjadi fenomena yang tidak bisa dihindarkan dalam dunia
bisnis. Perekonomian dunia semakin terbuka dan menjadi suatu kesatuan.
Maraknya bisnis internasional terjadi sebagai akibat dari membaiknya
infrastruktur, kondisi politik dan sosial dunia. Hal ini ditandai dengan
maraknya perusahaan yang beroperasi secara lintas negara.

Dalam konteks bisnis, globalisasi dikaitkan dengan proses


internasionalisasi produksi, perdagangan, dan pasar uang. Globalisasi
dalam pengertian ini merupakan suatu proses yang berada di luar
jangkauan kontrol pemerintah, karena proses tersebut terutama
digerakkan oleh kekuatan pasar global dan bukan oleh sebuah
pemerintahan secara individu (Kohr, 2003: 1)

Dalam banyak hal, globalisasi mempunyai banyak karakteristik yang sama


dengan internasionalisasi sehingga kedua istilah ini sering dipertukarkan.
Sebagian pihak sering menggunakan istilah globalisasi yang dikaitkan dengan
berkurangnya peran negara atau batas-batas negara.

Kata “globalisasi” diambil dari kata global, yang maknanya ialah universal.
Globalisasi belum memiliki definisi yang mapan, kecuali sekedar definisi kerja
(working definition), sehingga tergantung dari sisi mana orang melihatnya.
Ada yang memandangnya sebagai suatu proses sosial, atau proses sejarah,
atau proses alamiah yang akan membawa seluruh bangsa dan negara di dunia
makin terikat satu sama lain, mewujudkan satu tatanan kehidupan baru dengan
menyingkirkan batas-batas geografis, ekonomi dan budaya masyarakat. Di sisi
yang lain, ada yang melihat globalisasi sebagai sebuah proyek yang diusung
oleh negara-negara adikuasa, sehingga bisa saja orang memiliki pandangan
negatif atau curiga terhadapnya. Dari sudut pandang ini, globalisasi tidak
lain adalah kapitalisme dalam bentuknya yang paling mutakhir.

Negara-negara yang kuat dan kaya praktis akan mengendalikan ekonomi


dunia dan negara-negara kecil makin tidak berdaya karena tidak mampu
bersaing. Sebab, globalisasi cenderung berpengaruh besar terhadap
perekonomian dunia, bahkan berpengaruh terhadap bidang-bidang lain seperti
budaya dan agama.

Seperti yang disampaikan oleh Leo Herlambang dalam kuliah perdana di Ordik
Unibraw 2009 tentang Indonesia dalam menghadapi Trend Ekonomi global,
bahwa “globalisasi bisa menjadi bentuk baru dari penjajahan”. Banyak negara
berkembang meragukan arah globalisasi ekonomi saat ini. Terjadinya
ketimpangan ekonomi antar negara di dunia, di mana sebagian besar negara di
dunia adalah negara miskin yang belum terbiasa dengan budaya persaingan
bebas, membuat globalisasi dapat menimbulkan malapetaka. Dengan kata lain,
globalisasi ekonomi layak didukung manakala kekuatan ekonomi negara-negara
dunia sudah agak setara.
Tabel 1

Perusahaan-Perusahaan Terbesar di Dunia Tahun 2002


Penerimaan
Peringkat Perushaan Negara
(milyar US $)
1 Wal-Mart Stores AS 246,5
2 General Motors AS 186,8
3 Exxon Mobil AS 182,5
4 Royal Dutch / Shell Belanda/Inggris 179,4
Group
5 BP Inggris 178,7
6 Ford Motor AS 163,9
7 Dainler Chrysler Jerman 141,4
8 Toyota Motor Jepang 131,8
9 General Electric AS 131,7
10 Mitsubishi Jepang 109,4

Sumber : Fortune, 21 Juli 2003

Salah satu penghambat utama terjadinya kerjasama diatas adalah adanya


larangan-larangan dan kebijakan proteksi dari pemerintah suatu negara. Di
satu sisi, kebijakan ini dapat melindungi produksi dalam negeri, namun di sisi
lain, hal ini akan meningkatkan biaya produksi barang impor sehingga sulit
menembus pasar negara yang dituju.

Para pendukung globalisme tidak setuju akan adanya proteksi dan larangan
tersebut, mereka menginginkan dilakukannya kebijakan perdagangan bebas
sehingga harga barang-barang dapat ditekan, akibatnya permintaan akan
meningkat. Karena permintaan meningkat, kemakmuran akan meningkat dan
begitu seterusnya.

Beberapa kelompok pendukung globalisme juga mengkritik Bank Dunia dan


IMF, mereka berpendapat bahwa kedua badan tersebut hanya mengontrol dan
mengalirkan dana kepada suatu negara, bukan kepada suatu korporasi atau
perusahaan. Hal ini mengakibatkan banyak pinjaman yang mereka berikan
jatuh ke tangan para diktator yang kemudian menyelewengkan dan tidak
menggunakan dana tersebut sebagaimana mestinya, meninggalkan rakyatnya
dalam lilitan hutang negara, dan sebagai akibatnya, tingkat kemakmuran akan
menurun. Karena tingkat kemakmuran menurun, akibatnya masyarakat negara
itu terpaksa mengurangi tingkat konsumsinya; termasuk konsumsi barang
impor, sehingga laju globalisasi akan terhambat dan menurut mereka, hal itu
akan mengurangi tingkat kesejahteraan penduduk dunia.
------

Pembagian Kerja Internasional

Karl Polanyi menyebutkan bahwa proses reproduksi material


berkembang pesat ketika system pembagian kerja (division of
labour) mulai diperkenalkan.
Dalam mekanisme pasar, misalnya, pembagian kerja terjadi
antara produsen dan konsumen. Produsen menjual barang
maupun jasa untuk memperoleh alat pembayaran bagi kebutuhan
hidup dan pengembangan usahanya; sedangkan konsumen
membeli barang sesuai dengan kebutuhan dan daya belinya.
Hubungan transaksional ini ditentukan oleh harga barang atau
jasa yang disepakati bersama dalam sebuah mekanisme pasar.

Dalam konteks perekonomian dunia, system pembagian kerja


diatur sedemikian rupa di mana Negara-negara maju dibelahan
bumi bagian utara berkosentrasi pada produksi barang-barang
industri berat yang padat modal dan teknologi; sementara
Negara-negara miskin dibelahan bumi bagian selatan
memproduksi bahan-bahan mentah, produk pertanian atau
industry ringan.

Masalahnya muncul ketika Negara-negara mulai merasakan


bahwa nilai tambah barang-barang berteknologi canggih jauh
lebih besar daripada bahan-bahan mentah, produk pertanian
maupun industry ringan.
Akibatnya, terjadi kesenjangan tingkat pendapatan nasional
(national income) seperti halnya Negara-negara miskin dengan
Negara maju.
Tokoh klasik seperti Adam Smith dan David Ricardo beranggapan
bahwa pertumbuhan kesenjangan ini merupakan sebuah
kosekuensi dari diperkenalkannnya system pembagian kerja
internasional.

Para penggaggas Teori Keadilan, berpendapat, kesenjangan


merupakan sebuah proses alamiah yang wajar karena mereka
yang bekerja keras, menguasai teknologi dan rajin melakukan
inovasi berhak mendapat bagian terbesar dari surplus ekonomi.

Para penganut Teori Ekonomi Neoklasik (liberal), bahwa


kesenjangan geografis merupakan hal yang tidak dapat dihindari.
Mereka menyarankan agar Negara yang kurang diuntungkan di
dalam system pembagian kerja yang ada justru ikut berpartisipasi
dan bukannya menarik diri dari aktivitas perdagangan
internasional agar dapat ikut menikmati kesejahteraan yang
didapatkan oleh Negara-negara kaya.

Beberapa pakar untuk mengatasi persoalan kesenjangan


structural:
Pemikir Marxis seperti Robert Brenner → menyatakan bahwa
eksploitasi terhadap petani di Polandia terus berlangsung karena
para petani memiliki solidaritas untuk menggalang kekuatan serta
meakukan revolusi terhadap kaum bangsawan dan tuan tanah.
Baginya ketimpangan antar Belanda dengan Polandia dapat diatasi
jika kaum petani di Polandia melakukan aksi-aksi revolusioner
menuntut perbaikan system kerja dan penghasilan untuk
meningkatkan harga gandum.
Pemikir Nasionalisasi, Alexander Geschenkron → menekankan
pada pentingnya peran Negara dan lembaga-lembaga yang ada di
alamnya untuk mengelola sistem produksi nasionalnya sedemikian
rupa sehingga merangsang para investor dalam negeri untuk
menjual barang-barang yang lebih memiliki nilai jual di pasar
dunia.
Menurutnya usahanya untuk mengurangi (apalagi menghilangkan)
kesenjangan teknologi dan pendapatan tidak dapat terjadi begitu
saja tanpa peran aktif Negara dalam menciptakan institusi-
institusi dan peraturan-peraturan yang lebih kondusif bagi proses
inovasi dan peningkatan produktivitasnya.

Pemikir Kompetitif, Wallerstein → Negara-negara miskin pada


suatu saat dapat menjadi kaya jika mereka dapat “kompetitif”
dipasaran dunia dengan meniru mentah-mentah strategi dan
kebijakan yang dilakukan oleh Negara-negara maju. Sebelum mereka
menjadi kompetitif , maka ketimpangan akan terus berlangsung.

Konteks Histors dan Politis


Faktor-faktor seperti state (Negara), market (pasar), power
(kekuasaan), dan plenty (kesejahteraan), merupakan topic yang
paling sering dibicarakan karena tumbuhnya Negara modern
bersamaan dengan perkembangan perekonomian internasional
modern.

Dominasi Eropa
Negara-negara Eropa sangat dominan, menurut Herman Schwartz
, menurutnya mereka mengkombinasikan tiga aspek penting
- Lawyers (ahli hukum) → meredam konflik-konflik kepentingan
antara raja, bangsawan dan kaum pedagang.
- Guns (senjata), diperlukan oleh Negara untuk memberikan
penganmanan untuk transaksi bisnis (dari ancaman internal
dan eksternal) dan sekaligus untuk mengekstraksi (secara
paksa) komoditi dari suatu wilayah tertentu untuk kemudian
didistribusikan ke seluruh dunia.
- Money (uang)

Tiga actor penting sebagai pelaku bisnis pada abad pertengahan:


1. Raja-raja
- Pungutan pajak pada pengusaha
- Menyediakan alat tukar
- Kekuatan militer
2. Kaum bangsawan
- Mengeksploitasi surplus produksi dari para petani
3. Kaum pedagang,
- Memegang peran kunci dalam prosos distribusi komoditi
melampau batas-batas Negara.

Pada abad modern transaksi bisnis masih melibatkan tiga aspek


Hanya saja perannya telah tergantikan
1. Peran raja telah digantikan oleh pemimpin politik yang
kekuasaan dan kewenangannya dibatasi oleh undang-undang.
2. Bangsawan mengekploitasi komoditas dan tenaga kerja
digantikan kaum wirausaha (entrepreneurs)
3. Kaum pedagang digantikan oleh MNCs (multinational
corporations).
Sementara lawyers, guns, dan money, hanya sedikit mengalami
perubahan.
Lawyers digantikan oleh GATT atau WTO, mengatur hak dan
kewajiban pelaku bisnis.
Guns, ancaman suatu Negara tidak lagi menggunakan senjata
melainkan dengan memakai isu-isu yang dapat mengundang
“kutukan internasional” (International Condemnation) seperti;
pelanggaran Ham, perusakan lingkungan, hak cipta, dan
sebagainya.
Uang (Money), praktis tidak ada perubahan

Kompetisi antarpelaku Bisnis Kontemporer


Dalam melakukan aktivitas bisnisnya, perusahaan mengemban 2
macam misi:
1. Penguasaan pangsa pasar bagi produk-produk yang
dihasilkannya,
2. Mengembangkan aktivitas yang dapat memaksimalkan
perolehan profit (keuntungan).

Untuk mencapai tujuan tersebut mau tidak mau peruahaan


harus terlibat dalam kompetisi satu ama lain.

Ekonom Adam Smith mendefinisikan kompetisi bisinis sebagai


upaya perusahaan-perusahaan untuk saling bersaing satu sama lain
dalam rangka memperebutkan pembeli produk-produk mereka.
Persaingan dalam konteks ini mengasumsikan bahwa setiap
perusahaan memiliki kapsitas yang setara untuk mempengaruhi
pembeli potensial agar membeli produk-produknya dan bukan
produk-produk perusahaan lain.
Pemikir Ekonomi liberal→ system perekonomian dapat dikatakn
fully competitive (kompetitif sempurna) apabila di dalam satu jenis
komoditi terdapat banyak “pemain” (produsen) masing-masing
memiliki pangsa pasar yang hampir seimbang dimana tidak ada
perusahaan yang benar-benar menguasai konsumen sehingga dapat
menetapkan harga jual produknya secara sepihak (Brenner)

Biasanya perusahaan yg sering melakukan inovasi berani melakukan


spekulasi biasanya lebih berpeluang untuk mengontrol pasar dan
melipat gandakan keuntungan. Perusahaan yang lambat berinovasi
dan pasif memiliki peluang yang lebih kecil. Ini akan memunculkan
monopoli dan oligopoly.

Dalam upaya untuk menguasai pasar, perusahaan-perusahaan


memusatkan pada 2 aspek:
1. Kompetisi Harga, perusahaan memberlakukan strategi-strategi
khusus dalam penetapan harga yang dimaksudkan untuk
mempersempit entry bagi para pesaing.
- Pemenang nobel, Milton Friedman; merupakan mekanisme
transakasi bisinis yang dapat memberikan jaminan anonimitas
hubungan antarpelaku ekonomi. Orang tidak perlu saling
mengenal satu sama lain untuk melakukan transaksi bisnis.
Dengan dasar prinsip saling menghormati.

2. Kompetisi teknologi, upaya perusahan untuk mendominasi


pangsa pasar tidak melalui persaingan harga, tetapi melalui
terobosan-terobosan teknologi dan teknik produksi demi untuk
memperoleh status pemegang monopoli atau oligopoly
produk-produk tertentu.
- Ekonom Robert Heilbroner dan James Galbraith; bahwa
perusahaan pemegang monopoli biasanya beroperasi dalam
skala besar, menggunakan teknologi yang tidak (belum)
dikuasai oleh perusahaan lain, menentukan entry perusahaan-
perusahaan lain di dalam segmen produk tertentu, dan
mempunyai status sebagai price setter (pihak yang menentukan
harga) bagi produk-produk tertentu.

Tampak bahwa faktor-faktor manajerial, kewirausahaan, teknologi


sangat menentukan apakah suatu perusahaan dapat menjadi
pemegang monopoli. Karena faktor-faktor ini berkaitan dengan
keterampilan, bakat, sifat individual para pelaku bisinis, maka tidak
banyak perusahaan yang dapat melakukannya.
Selain memilki the right men (sumber daya manusia yang tepat), the
right moment (momen yang tepat), the right place (tempat yang
tepat sebuah perusahaan dapat menjadi kekuatan monopoli jika
mempatenkan teknologi yang digunakannya.
Conclusion
Bisnis internasional merupakan ajang kompetisi di mana
perusahaan-perusahaan saling bersaing untuk memperebutkan
pangsa pasar yang makin lama makin mengecil akibat munculnya
aktor-aktor baru. Ini bisa dikatakan bahwa transaksi bisnis
cenderung membawa kosekuensi politis.
Yang mampu beradaptasi dengan gaya kompetitif, berani
melakukan teroboson, prediksi, dan spekulasi, akan tampil sebagai
pemenang dan menguasai pangsa pasar terbesar, bagi pihak yang
lambat beradaptasi dengan suasana kompetitif biasanya akan dapat
pangsa pasar yang lebih kecil, bahkan terkadang harus terlempar dari
arena persaingan.
Maka kehadiran lembaga-lembaga di luar mekanisme pasar yaitu;
Negara, lembaga perlindungan konsumen, serikat pekerja, asosiasi
perusahaan, dan organisasi internasional, sangat diperlukan untuk
mencegah dampak negative yang ditimbulkan oleh kompetisi bisnis
yang keras.
Tipe-tipe Budaya Perusahaan

Terdapat beberapa tipe-tipe budaya perusahaan. Gibson (2006),


mengemukakan empat tipe budaya perusahaan, diantaranya yaitu:

Budaya Birokrasi (Bureauractic Culture)


Suatu perusahaan yang mementingkan peraturan, kebijakan, prosedur,
perintah dan pengambilan keputusan yang terpusat memiliki budaya
birokratis. Pihak militer, instansi pemerintah dan perusahaan memulai
dan mengelola dengan manajer yang otokrat merupakan contoh dari
birokratis. Beberapa individual lebih memilih yang pasti, hierarki, dan
perusahaan yang ketat, seperti perusahaan ini.

Budaya Keluarga (Clan Culture)


Menjadi bagian dari keluarga yang bekerja, mengikuti tradisi dan
adaptasi, kerjasama dan semangat, manajemen diri, dan pengaruh
sosial merupakan karakteristik budaya keluarga. Karyawan bersedia
untuk bekerja keras untuk suatu kompensasi yang adil, sesuai dan paket
tunjangan tambahan. Dalam budaya keluarga, karyawan bersosialisasi
dengan karyawan lainnya. Anggota saling menolong sesama dan
sukses bersama.

Budaya Wirausaha (Entrepreneurial Culture)


Inovasi, kreativitas, pengambilan resiko dan secara agresif mencari
kesempatan menggambarkan budaya wirausaha. Karyawan mengerti
akan dinamika perubahan, inisiatif individu dan otonomi dari praktik-
praktik standar.
Budaya Pasar (Market Culture)
Suatu penekanan pada pertumbuhan penjualan, peningkatan pangsa
pasar, stabilitas keuangan dan keuntungan merupakan atribut-atribut
budaya pasar. Karena karyawan mempunyai hubungan yang bersifat
kontrak dengan perusahaan. Hanya terdapat sedikit rasa kerjasama dan
hubungan dalam tipe budaya seperti ini.

Sedangkan menurut Cameron dan Quinn, Handy (dalam Amstrong


2003) yang diterjemahkan oleh Sudarmanto (2009), mengemukakan 4
(empat) tipe budaya perusahaan.
Tipe budaya perusahaan menurut Cameron dan Quinn, Handy
(dalam Amstrong 2003) diantaranya yaitu:

1. Budaya Kekuasaan (Power Culture). Merupakan sumber


kekuatan inti yang menonjolkan kontrol. ada beberapa peraturan
atau prosedur dan atmosfer kompetitif, berorientasi pada
kekuatan, dan politis.

2. Budaya Peran (Role Culture). Pekerjaan dikontrol oleh prosedur


dan peraturan. Peran atau deskripsi jabatan adalah lebih penting
daripada orang yang mengisi jabatan tersebut.

3. Budaya Pendukung (Support Culture). Tujuannya bersama-


sama membawa orang yang tepat dan membiarkan mereka
melakukan tugas. Pengaruhnya lebih didasarkan pada kekuatan
ahli daripada kekuatan posisi atau pribadi.

4. Budaya Orang (People Culture). Individu adalah titik utama,


perusahaan hanya ada untuk melayani individu yang ada dalam
perusahaan.
BUDAYA PERUSAHAAN DALAM PRAKTIK BISNIS GLOBAL

STIE Dharmaputra No. 37 / Th XX / April 2013

Dampak perubahan lingkungan bisnis terhadap perusahaan, organisasi ,


manajemen strategi dan akuntansi manajemen.

Oleh: Hedy Kuswanto.

Dalam memasuki abad 21 telah terjadi perubahan besar yang bersamaan


dalam lingkungan bisnis yaitu era globalisasi dalam bisnis, pasar, teknologi
dan informasi serta manajemen mutu yang berdampak pada munculnya
perusahaan digital yang menguasai dunia sehingga organisasi dan
manajemen perusahaan banyak mengalami perubahan karena masing-
masing berebut dalam keunggulan bersaing. Untuk itu tehnik-tehnik baru
dalam akuntansi manajemen bermunculan untuk menemukan cost paling
rendah dengan hasil produk dan jasa yang berkualitas.

5 Kata Kunci: Perubahan lingkungan bisnis saat memasuki abad 21 terdapat


perubahan-perubahan yang besar secara bersamaan baik secara internal
maupun ekternal yaitu munculnya 1. era bisnis global , 2. era pasar global, 3.
era globalisasi informasi , 4. era teknologi informasi, dan 5. era manajemen
strategik mutu .

1. ERA BISNIS GLOBAL.

Munculnya globalisasi ekonomi ditandai oleh jumlah persentase


pertumbuhan ekonomi Amerika dan ekonomi industri lain terdepan di
Eropa dan Asia yang bergantung pada impor dan ekspor barang.
(Perdagangan luar negeri, baik ekspor maupun impor barang, meliputi
lebih dari 25 persen jasa dan barang yang diproduksi di Amerika Serikat,
dan bahkan lebih lagi, misalnya yang terjadi di negara-negara seperti
Jepang dan Jerman. Perusahaan juga mendistribusikan fungsi bisnis inti
dalam desain produk, pemanufakturan, finansial, dan dukungan pelanggan
ke berbagai lokasi di negara-negara lain di mana pekerjaan dapat dilakukan
secara lebih efektif dan efisien.) Jadi tingkat kesuksesan perusahaan
dewasa ini dan di masa datang tergantung pada kemampuan mereka
untuk beroperasi secara global.

2. ERA PASAR GLOBAL .

Globalisasi pasar merupakan gejala dunia yang perlu diikuti. Sebagai


contoh, penyatuan Masyarakat Ekonomi Eropah (European Economic
Community) pada tahun 1987, terbukti telah mempengaruhi kekuatan
negosiasi isu perdagangan dan investasi dari negara anggota EEC dengan
Negara Sedang Berkembang. Dalam banyak kasus hasilnya cenderung
merugikan di pihak terakhir. EEC menjadi European Union ( EU) November
tahun 1992
Bentuk kerjasama perekonomian lainnya antara lain, Asosiasi Kelompok
Produsen Minyak Bumi (OPEC), kerjasama Perekonomian Negara-Negara
Asia Tenggara (ASEAN) dan kerjasama Perekonomian Negara-Negara Asia
Pasifik (APEC) .
Kluster kerjasama mereka telah mendorong dan membuat pasar barang,
jasa, dan keuangan semakin luas (globalise) dengan pengurangan berbagai
hambatan (borderless) dalam birokrasi perijinan, dan lalulintas modal,
pekerja dan transfer teknologi.
Globalisasi pasar internasional sekarang ini cenderung meluas, menjadi
rumit dan sulit dilacak. Proses ini terjadi sedemikian cepat dengan
kecenderungan aksi dari berbagai perusahaan raksasa multinasional
(MNCs) dan dunia (global firms) mengadakan strategi usaha melalui
integrasi, merger maupun kegiatan usaha patungan dengan melintasi
batas-batas teritorial antar negara. Kepentingan bisnis mereka secara
keseluruhan seringkali mengalahkan kepentingan dari perusahaan-
perusahaan cabang yang mereka miliki maupun kepentingan partner
dagang di negara berkembang.
3. Era informasi Global.

Dalam sejarah evolusi teknologi informasi. Fenomena yang terlihat adalah


bahwa sejak pertengahan tahun 1980-an, perkembangan di bidang teknologi
informasi (komputer dan telekomunikasi) sedemikian pesatnya, sehingga kalau
digambarkan secara grafis, kemajuan yang terjadi terlihat secara eksponensial.
Tidak ada yang dapat menahan lajunya perkembangan teknologi informasi.
Keberadaannya telah menghilangkan garis-garis batas antar negara dalam hal
flow of information. Tidak ada negara yang mampu untuk mencegah
mengalirnya informasi dari atau keluar negara lain, karena batasan antara
negara tidak dikenal dalam virtual world of computer. Penerapan teknologi
seperti LAN, WAN, GlobalNet, Intranet, Internet, Ekstranet, BB, WA, LINE,
dsb, semakin hari semakin merata dan membudaya di masyarakat. Terbukti
sangat sulit untuk menentukan perangkat hukum yang sesuai dan terbukti
efektif untuk menangkal segala hal yang berhubungan dengan penciptaan
dan aliran informasi. Perusahaan-perusahaan pun sudah tidak terikat pada
batasan fisik lagi. Melalui virtual world of computer, seseorang dapat mencari
pelanggan di seluruh lapisan masyarakat dunia yang terhubung dengan
jaringan internet. Sulit untuk dihitung besarnya uang atau investasi yang
mengalir bebas melalui jaringan internet. Transaksi-transaksi perdagangan
dapat dengan mudah dilakukan di cyberspace melalui electronic transaction
dengan mempergunakan electronic money. Tidak jarang perusahaan yang
akhirnya harus mendefinisikan kembali visi dan misi bisnisnya, terutama yang
bergelut di bidang pemberian jasa. Kemudahan-kemudahan yang ditawarkan
perangkat canggih teknologi informasi telah merubah mindset manajemen
perusahaan sehingga tidak jarang terjadi perusahaan yang banting stir
menggeluti bidang lain.

4. Era Teknologi informasi global.

Kemajuan teknologi digital yang dipadu dengan telekomunikasi telah


membawa komputer memasuki masa-masa “revolusi”-nya. Di awal tahun
1970-an , teknologi PC atau Personal Computer mulai diperkenalkan
sebagai alternatif pengganti mini computer. Dengan seperangkat komputer
yang dapat ditaruh di meja kerja (desktop), seorang manajer atau teknisi
dapat memperoleh data atau informasi yang telah diolah oleh komputer
(dengan kecepatan yang hampir sama dengan kecepatan mini computer,
bahkan mainframe). Kegunaan komputer di perusahaan tidak hanya untuk
meningkatkan efisiensi, namun lebih jauh untuk mendukung terjadinya
proses kerja yang lebih efektif. Tidak seperti halnya pada era komputerisasi
dimana komputer hanya menjadi “milik pribadi”.
Divisi EDP (Electronic Data Processing) di era kedua ini setiap individu di
organisasi dapat memanfaatkan kecanggihan komputer, seperti untuk
mengolah database, spreadsheet, maupun data processing (end-user
computing). Pemakaian komputer di kalangan perusahaan semakin marak,
terutama didukung dengan alam kompetisi yang telah berubah dari
monompoli menjadi pasar bebas. Secara tidak langsung, perusahaan yang
telah memanfaatkan teknologi komputer sangat efisien dan efektif
dibandingkan perusahaan yang sebagian prosesnya masih dikelola secara
manual. Pada era inilah komputer memasuki babak barunya, yaitu sebagai
suatu fasilitas yang dapat memberikan keuntungan kompetitif bagi
perusahaan, terutama yang bergerak di bidang pelayanan atau jasa.

5. Era Manajemen Mutu Terpadu atau Total Quality Management.

Total Quality Management (TQM) dimulai pada tahun 1980 – an, era ini
menekankan pada manajemen stratejik. TQM merupakan suatu system
yang berfokus kepada orang yang bertujuan untuk meningkatkan secara
berkesinambungan kepuasan pelanggan pada titik penekanan biaya agar
sama dengan biaya yang sesungguhnya untuk menghasilkan dan
memberikan pelayanan. TQM juga sebuah upaya untuk mencapai
keunggulan kompetitif serta mengutamakan kebutuhan pasar dan
konsumen yang dilakukan oleh setiap orang dalam organisasi dengan
leadership yang kuat dari pimpinan.
Secara garis besar perkembangan Quality Management adalah sebagai
berikut :
a. Era Tanpa Mutu , merupakan era dimana persaingan belum terjadi
oleh karena produsen atau pemberi pelayanan belum banyak, sehingga
pelanggan pun belum diberi kesempatan untuk memilih.
b. Era Inspeksi, Era ini dimulai oleh perusahaan – perusahaan yang
memproduksi barang, hal ini terjadi karena mulai adanya persaingan
antar produsen. Dengan demikian tiap perusahaan mulai melakukan
pengawasan terhadap produknya. Mulai dilakukan pemilahan mutu
barang yang dilakukan melalui inspeksi.
c. Era Pengendalian Mutu, Era Pengendalian Mutu dimulai sekitar tahun
1930 an. Era ini disebut juga era stastical control, yang lebih
menekankan pada pengendalian, keseragaman produk dan pengurangan
aktivitas inspeksi serta dilakukan Departemen Teknis dan Departemen
Inspeksi. Pada era ini pula diperkenalkan pandangan baru terhadap
konsep Walter A Shewart, .Menurut pandangan ini mutu produk
merupakan serangkaian karakteristik yang melekat pada produk yang
dapat diukur secara kuantitatif.
d. Era Sistem Manajemen Mutu, Era ini dimulai pada sekitar tahun 1943
yaitu pada masa perang dunia II, dimana sekutu mulai mengalami
kesulitan dalam mendapatkan bahan peledak Hal ini terkait dengan
mutu bahan peledak untuk keperluan militer terutama oleh pasukan
Inggris. Berdasarkan keadaan tersebut pihak militer Inggris
mengembangkan serangkaian standar yang secara umum dapat
menunjukkan kemampuan suatu perusahaan dalam menyediakan
produk bermutu tinggi serta konsisten bagi kepentingan bahan militer .
e. Era Jaminan Mutu (Quality assurance), Era jaminan mutu ini dimulai
pada sekitar tahun 1960-an yang menekankan pada koordinasi,
pemecahan masalah secara proaktif. Pada era ini mulai dikenal adanya
konsep total Quality Control (TQC) yang diperkenalkan oleh Armand F
pada tahun 1950. Jaminan mutu merupakan seluruh perencanaan dan
kegiatan sistimatik yang diperlukan untuk memberikan suatu keyakinan
yang memadai bahwa suatu barang atau jasa dapat memenuhi
persyaratan mutu.
DAMPAK PERUBAHAN LINGKUNGAN BISNIS TERHADAP MUNCULNYA
PERUSAHAAN BERKELAS DUNIA

Teknologi yang digunakan berkelas dunia, yaitu penggunaan teknologi


informasi secara intensif dalam perusahaan bisnis sejak pertengahan 1990,
bersama dengan desain ulang organisatoris yang sama pentingnya, telah
menciptakan kondisi untuk munculnya fenomena baru di masyarakat
industri — yaitu perusahaan digital.
Dapat didefinisikan melalui beberapa dimensi. Suatu perusahaan digital
adalah suatu perusahaan yang hampir seluruh hubungan bisnis penting
dari organisasi dengan pelanggan, para pemasok, dan karyawannya
dimungkinkan dan dijembatani secara digital.
Proses bisnis inti dijalankan melalui jaringan digital yang menjangkau
keseluruhan organisasi atau menghubungkan berbagai organisasi.
Beberapa perusahaan, seperti Cisco atau Dell Computer Corporation,
merupakan contoh-contoh perusahaan yang akan menjadi perusahaan
digital secara penuh; menggunakan Internet untuk mengemudikan tiap-
tiap aspek/bagian dari bisnis mereka.
Ada pula pada perusahaan lain, bentuk perusahaan digital masih lebih
merupakan angan-angan ketimbang kenyataan. Tetapi angan-angan atau
visi ini sedang mengarahkan mereka kepada integrasi secara digital.
Namun, walaupun ada beragam kendala pada investasi teknologi dan bisnis
dot com; perusahaan tetap melanjutkan investasi besar untuk sistem
informasi yang mengintegrasikan proses bisnis internal dan membangun
hubungan erat dengan para pemasok dan pelanggan, Perusahaan Toyota
Motor, sedang bergerak ke arah organisasi perusahaan digital sewaktu ia
secara elektronik mengintegrasikan proses pokok bisnisnya dengan para
pemasok dan pelanggan.

1. Produk dan jasa yang dihasilkan berstandar kelas dunia yaitu proses
bisnis merupakan cara yang unik di mana pekerjaan terorganisasi,
terkoordinasi, dan terfokus untuk menghasilkan suatu produk atau
layanan yang bernilai. Mengembangkan produk baru, melayani
pesanan, atau merekrut karyawan merupakan contoh-contoh proses
bisnis, dan cara organisasi memenuhi proses bisnisnya bisa menjadi
sumber kekuatan kompetitif. Aset perusahaan utama — hak milik
intelektual, kemampuan inti, dan aset keuangan serta aset manusia —
terkelola secara digital. Di dalam perusahaan digital, informasi sekecil
apapun yang diperlukan untuk mendukung keputusan bisnis, dapat
tersedia kapanpun dan di manapun pada perusahaan tersebut. Daya
rasa dan respons perusahaan digital terhadap lingkungannya jauh lebih
cepat dilakukan dibanding perusahaan tradisional, sehingga secara
fleksibel ia mampu bertahan dalam suasana yang bergolak.
Dengan demikian perusahaan digital mempunyai potensi untuk
mencapai tingkat daya saing dan profitabilitas yang mungkin belum
dialami sebelumnya.

2. Sistem manajemen yang digunakan berkelas dunia yaitu,

a. Sistem manajemen rantai persediaan berfungsi mengotomasi hubungan


antara para pemasok dengan perusahaan untuk mengoptimalkan
perencanaan, sourcing, pabrikasi, dan pengiriman produk atau jasa.
b. Sistem manajemen hubungan pelanggan mencoba untuk
mengembangkan suatu sudut pandang yang koheren dan terpadu atas
semua bentuk relasi dengan pelanggan yang dimiliki oleh perusahaan.
c. Sistem enterprise menciptakan sistem informasi perusahaan secara
terintegrasi untuk mengkoordinasi proses internal pokok menyangkut
perusahaan; mengintegrasikan data dari pabrikasi dan distribusi, penjualan,
keuangan, dan sumber daya manusia.
d. Sistem manajemen pengetahuan berfungsi menciptakan, mengambil-
alih, menyimpan, dan menyebarluaskan pengetahuan dan keahlian
perusahaan. Secara bersama-sama.

Empat sistem ini mengintegrasikan informasi dan menciptakan investasi


utama atas sistem informasi.
Disamping itu, dampak pada Prinsip-prinsip manajemen kontemporer
dimana manajemen berfungsi membuat keputusan, dan merumuskan
rencana aksi untuk memecahkan masalah organisasi.
Para manajer menghadapi tantangan bisnis dalam lingkungannya, mereka
menetapkan strategi organisasi untuk menjawab dan mengalokasikan
sumber daya manusia dan keuangan untuk mencapai strategi dan
mengkoordinasi pekerjaan.

Secara singkat dampak pada prinsip –prinsip manajemen antara lain;

a. Pusat tidak lagi bekuasa penuh. Semua perusahaan, baik besar maupun
kecil, akan menjadi perusahaan global dalam operasi bisnis mereka.
b. Perusahaan akan memfokuskan semua struktur dan proses sistem
manajemen mereka ke customer,
c. Posisi kompetitif perusahaan hanya dapat dicapai melalui improvement
berkelanjutan terhadap sistem dan proses yang digunakan oleh
perusahaan untuk menghasilkan value bagi customer.
d. Pencarian jalan bebas hambatan (by passing) mewarnai operasi
perusahaan di jaman globalisasi ekonomi ini.
e. Pergeseran dari responsibility-at-the- top organization ke
responsibility-based organization Karyawan diberdayakan untuk
mengambil keputusan atas pekerjaan yang menjadi tanggung jawab
mereka.
f. Karyawan menjadi pemakai informasi keuangan untuk perencanaan
dan pengendalian kegiatan yang menjadi tanggung jawab mereka.
g. Sistem manajemen strategic, Sistem perencanaan strategik dengan
rerangka Balanced Scorecard, Activity-based budgeting, Activity-based
management dan Activity-based cost system menandai perusahaan
berkelas dunia.
Daftar Pustaka

Ari Kuncoro, 2004, “Perbaikan Iklim Investasi”, Warta Ekonomi, 14 Desember.


Ari Kuncoro, 2005, “Pembangunan Infrastruktur sebagai Prioritas Pemulihan
Ekonomi”, Warta Ekonomi, 11 Februari.
Astuti, Runik Sri dan Banu Astono (2007), “Kinerja Ekspor Kuncinya di Tangan
Pemerintah”, Kompas, 16 Agustus.
Aswicaksono, Haryo, Raymond Atje & Thee Kian Wie (2005), Indonesia’s Industrial
Competitiveness – A Study of Garment, Autopart, and Elctronics Industries, Report for
the Development Economics Research Group, The Wolrd Bank, Jakarta, March.
BI, 2008, Outlook Ekonomi Indonesia 2008-2012, Integrasi Ekonomi ASEAN, dan
Prospek Perekonomian Nasional, Januari, Jakarta: Bank Indonesia.
Goodpaster, G. and Ray, D, 2000, “Trade and Citizenship Barriers and
decentralization”, The Indonesian Quarterly, Vol. 28 No. 3 (Third Quarter).

Griffin, Ricky W. & Pustang, Michael W., 2005, Bisnis Tnternasional, Jilid 1, Edisi
keempat, PT Indera, Jakarta

Guspiabri Sumowigeno, 2009, Kebangkitan Asia, Kebangkitan Indonesia

ILO, 2007, Labor and Social Trends in ASEAN 2007 : Integration, Challenges and
Opportunities, Geneva: International Labour Organization.
Kiatikomol, Prapan and Thaicharoen, Yunyong, 2001, ASEAN Macroeconomic
Overview and Outlook, Paper submitted to the 26th Annual Meeting of the Federation
of ASEAN Economic Association, Bangkok – Thailand, December 20-21.

Leo Herlambang dalam kuliah perdana di Ordik Unibraw 2009 tentang Indonesia dalam
menghadapi Trend Ekonomi global,bahwa “globalisasi bisa menjadi bentuk baru dari
penjajahan”

Pirrita Sorsa, 2003, “Special Investment Incentives May Come at a High Cost to the
Economy”, Capital Issue, No. 9, 8-14 March.
Elly Erawati, Meningkatkan Investasi Asing di Negara-negara Berkembang, Kajian
Terhadap Fungsi dan Peran Dari “The Multilateral Investment Guarantee Agency” Pusat
Studi Hukum UNPAR.
Donal A. Ball, Wendel H. McCulloch, Jr., Paul L. Frantz, J. Michael Geringer, Michael S
Minor, International Business, tantangan persaingan global, Mc Graw Hill, Salemba
Empat, 2005.

Arnoldo C. Hax dan Nicolas S. Majluf, 1984. Strategic Management : An Integrative


Perspective, New Yersey : Prentice-Hall.
John Naisbitt & Patricia Aburdene, 1990. Mega Trends 2000, New York :
William Morrow and Company Inc Earnest W Deavepart, 2002. Eastman Chemical
Company.Newcoman Society, USA Heene dan Sanches, 1997 .
A Focused Issue On Identifying, Building, and Linking Competences,
Johnson and Kaplan R, 1987. The Rise and Fall of Management Accounting , Harvard
Business Press. Michael E. Porter. 1985. The Competitive Advantage of Nations. New York:
The Free Press.
Mulyadi, 2000, “Menyongsong Pergeseran Peran Profesi Akuntan Manajemen dalam Era
Teknologi Informasi “ JIEB Volume 15, No.2, April 2000.
Anthony Roberta N., John Dearden dan Vijay Govindarajan, (1992). Management Control
System, 7 th edition, Homewood: Ricard D. Irwin, Inc. Laudon, Kenneth C. and Laudon,
Jane, 2013. Management Information Systems, 13th, Prentice Hall. Richard I. Mann. 1994.
The Culture of Business in Indonesia, Toronto : Gateway Books.
Wahyudi Prakarsa, (1994). Sistem Pengukuran Kinerja - Pendekatan Kontemporer, Strategi
Pembiayaan dan Regrouping BUMN, Jakarta: FE-UI.
Zipkin,2001. Consumer-Driven Demand and Operations Management Models: A Systematic
Study of information,Technology enabled sales mechanism. Stanford University, CA USA.
II. CASE STUDY…

 Warning Corporate Culture


Experience Inside The Asian
Telecommunication Industry
 … anything about the changes of
Enterprise Culture in the Global
Business Era…
Degradasi lingkungan sebagai isu global
Periode 1970-1980 telah terjadi pengurangan besar-besaran persediaan sumber-
sumber alam yang, antara lain

1. Persediaan minyak bumi mengalami penurunan sebesar 50%


2. Persediaan air bersih berkurang 35%
3. Persediaan kayu berkurang 47%
4. Jumlah areal hutan tropis berkurang 40%
5. Jumlah spesies flora dan fauna berkurang sekitar 15-20%
6. Kosentrasi gas karbon di atmosfir bumi meningkat sebanyak 3 kali lipat.

Raymond Mikesell empat macam dimensi degradasi lingkungan yang terkait


dengan perkembangan ekonomi global:

Pertama; jenis kerusakan yang paling umum dijumpai adalah polusi terhadap
atmosfir bumi, air, dan tanah yang dalam jangka pendek dapat merusak
kenyamanan dan jangka panjang dapat mengganggu kesehatan manusia.

Kedua; pengenalan metode baru dalam pemanfaatan sumber alam yang dapat
merusak keseimbangan ekologis.

Ketiga; proses komersialisasi yang menuntut produktivitas tinggi juga telah ikut
memperburuk kondisi lingkungan karena teknik-teknik yang dipergunakan
kebanyakan tidak ramah lingkungan.

Keempat; aktivitas produksi yang tidak mengindahkan prinsip sustainability


(kesinambungan) sehingga kerusakan lingkungan tidak dapat dihindarkan.

Konsep pembangunan berkelanjutan (sustanable development)

Akhir dekade 1980-an muncul gagasan sustainable development (pembangunan


berkelanjutan), pada dasarnya menghimbau para pelaku pembangunan lebih
memperhatikan faktor keterbatasan sumber-sumber alam dalam mendesain
konsep pembangunan, yang terdiri dari;

1. tanah/daratan dan berbagai makhluk yang hidup didalamnya, tumbuh-


tumbuhan dan hewan,
2. habitat air (seperti lautan, danau sungai dll) serta berbagai organisme
akuatik seperti ikan, rumput laut, plankton, dll

3. udara serta atmotsfir yamg mendukung kehidupan organisme dan mikro


organisme.

Menurutnya, hampir setiap aktivitas ekonomi yang dilakukan manusia terutama


konsumsi cenderung menghasilkan limbah yang mempengaruhi kualitas
sumber-sumber alam yakni; air, udara, dan tanah.

Perbedaan konsep Sustainable Development dengan konsep pembangunan


konvensional

Sustainable Development Pembangunan Konvensional

1. cenderung untuk menganggap 1. Menganggap bahwa faktor yang


bahwa satu-satunya faktor yang membatasi produksi hanyalah
membatasi produksi adalah persediaan kapital (modal)
keterbatasan persediaan sumber-
sumber alam
2. Pembangunan konvensional
2. Pembangunan berkelanjutan
cenderung melihat pembangunan
mendasarkan pada moralitas bahwa
dalam lingkup satu generasi saja.
sumber-sumber alam perlu untuk
dipertahankan kelestariannya agar
dapat di konsumsi oleh generasi-
generasi selanjutnya
3. Pembangunan konvensional tidak
3. Pembangunan berkelanjutan
berpendapat bahwa prosedur akunting sedikitpun memasukkan faktor
pembangunan seharusnya lingkungan kedalam kakulasinya
memasukkan faktor kerusakan
lingkungan sebagai bagian dari biaya
biaya sosial yang harus di pikul oleh
para pelaku ekonomi

4. Pembangunan berkelanjutan 4. Pembangunan konvensional merasa


menganggap bahwa keterbatasan
kapasitas alam dalam menyerap optimis bahwa alam dapat sendirinya
limbah industri harus diperhitungkan mengatasi permasalahan limbah
oleh para pelaku bisnis untuk secara
sukarela mengurangi pembuangan
limbah (terutama yang beracun)

Ada beberapa kesulitan untuk menganggap sektor bisnis sebagai pihak yang
dapat memprakarsai konservasi lingkungan.

1. Tugas pertama pelaku bisnis lebih terpusat pada aktivitas akumulasi


modal serta penyediaan lapangan kerja dan bukannya konservasi
lingkungan.

2. Pelaku bisnis tidak mempunyai kepentingan maupun otoritas untuk


mengeluarkan peraturan perlindungan lingkungan.

3. Dari segi prinsip wirausaha, para pelaku bisnis tidak dapat dibenarkan
untuk melakukan scaling down (penurunan aktivitas) dan pengurangan
produktivitas demi alasan apapun termasuk konservasi lingkungan.

Untuk mengatasi keempat macam persoalan tersebut para pemikir negara


bersepakat untuk membentuk suatu rezim internasional yang di harapkan dapat
menjalankan empat macam agenda.

1. Mengatasi proses eksploitasi sumber-sumber alam agar lebih ramah


lingkungan

2. Mengatur dan mengawasi pelaksanaan hak milik (property right)

3. Mengerahkan pengetahuan lokal (Local Knowledge) dalam mengatasi


persoalan lingkungan.

4. Melibatkan Stakeholders yang tepat dalam program konservasi


lingkungan.
MNC/Perusahaan Multinasional
Secara umum perspektif Neo-klasik menganggap bahwa kehadiran PMN di
Negara berkembang sangat positif untuk membuat mekanisme pasar berfungsi
secara lebih efisien. Karena perekonomian Negara-negara berkembang sangat
rentan terhadap campur tangan pemerintah dan ketidaklancaran system
distribusi, maka kehadiran PMN yang memiliki motivasi serta kapabilitas untuk
memaksimalkan fungsi pasar akan sangat menguntungkan Negara berkembang.

Dengan mengundang PMN, maka Negara-negara berkembang menurut


pemikiran Neo-Klasik dapat memperoleh keuntungan langsung dari masuknya
modal asing, alih teknologi, dan system distribusi produk yang lebih baik
sehingga kecenderungan distorsi mekanisme pasar pun dapat dihindarkan.

Jadi Neo-Klasik cenderung berpendapat bahwa satu-satunya jalan bagi Negara


sedang berkembang untuk memacu pertumbuhan ekonominya adalah dengan
mengundang investasi asing yang dibawa oleh PMN.

Perspektif Global Reach (Jangkauan Global)


Global Reach memandang PMN dalam konteks perekonomian yang tidak
seimbang dimana produksi dan distribusi barang maupun jasa di dominasi oleh
satu atau beberapa pelaku.

PMN memiliki kecenderungan besar untuk melakukan monopoli dan oligopoly


didalam maupun diluar negeri “konglomerasi” merupakan strategi uatama
mereka.

Steve Hymer mengaitkan ekspansi perusahaan kemancanegara dengan dua hal:

1. Untuk memanfaatkan keunggulan komparitifnya dalam penguasaan


teknologi dan pasar vis-à-vis perusahaan-perusahaan local diluar negeri.
2. Untuk menghindari persaingan tidak sehat dengan sesama perusahaan
besar di dalam negeri.
Global Reach menganggap bahwa kecenderungan PMN untuk melakukan
monopoli dan oligopoly membuat mereka lebih tepat untuk dianggap sebagai
“penyebab” daripada “penyelamat” perekonomian suatu Negara dari jeratan
distorsi pasar

Bagi penganut perspektif ini, system operasi PMN membawa beberapa


kosekuensi negative bagi perekonomian Negara-negara tuan rumah;
1. PMN cenderung untuk lebih menciptakan “kosentrasi” daripada
“distribusi” produk yang akhirnya dapat menghambat aliran barang.
2. Karena kapasitasnya dalam menguasai pasar, maka PMN cenderung
memonopoli keuntungan yang diperolehnya di suatu Negara.
3. Secara individual maupun kolektif PMN memiliki kecenderungan dan
kemampuan untuk mempersempit jalan masuk (entry point) bagi
perusahaan-perusahaan local yang merupakan calon pesaing bagi mereka.
4. Dengan memanfaatkan control terhadap pasar, PMN cenderung untuk
“menciptakan” permintaan bagi produk-produk unggulan mereka tidak
mempedulukan preferensi konsumen.

Global Reach merekomendasikan agar Negara-negara sedang berkembang


tidak segan-segan untuk membatasi kegiatan PMN dengan cara membuat
kebijakan yang jelas dan tegas dalam mengatur pembagian keuntungan,
pembayaran lisensi, pengaturan hak kelola, pembayaran pajak, penggunaan
tenaga kerja local, pengaturan hak sewa tanah, pembayaran royalty, dan
bahkan ketentuan-ketentuan untuk memonitor aktivitas PMN.

Perspektif Neo-Imperialisme

Bagi perspektif ini investasi asing merupakan mekanisme yang dapat


memblokade perkembangan ekonomi Negara berkembang dan sekaligus
juga penghambat bagi proses perkembangan menuju kesebuah “masyarakat
sosialis”.
Baginya ekspansi PMN kemancanegara merupakan konsekuensi logis dari
proses monopoli keuntungan dan kebutuhan untuk mengurangi kemungkinan
menggelembungnya perusahaan yang hanya dapat diselesaikan dengan cara
ekspansi internasional.
Beberapa tokoh coba mengaitkan ekspansi modal asing yang dibawa oleh
PMN dengan fenomena “blockade pembangunan” dan “keterbelakangan”.
Paul Baran → “kejahatan terbesar dalam sejarah keterbelakangan
perekonomian Negara berkembang adalah fakta bahwa peusahaan asing
melakukan penghisapan surplus ekonomi secara sistematis dari Negara-
negara tersebut.
Perspektif ini merekomendasikan agar masyarakat Negara berkembang
melakukan revolusi social untuk menentang beroperasinya perusahaan-
peruahaan asing diwilayah mereka masing-masing. Negara berkembang
harus berani mesmisahkan diri dari system kapitalisme dunia untuk
menyelamatkan dari penghisapan oleh PMN. Tidak lebih dari proses
pembangunan semu.

Perspektif Neo-Fundamentalisme

Bahwa aktivitas PMN tidak menyebabkan terjadinya ketergantungan, tetapi


justru sebaliknya, PMN memberikan sumbangan besar bagi proses
diversifikasi penguatan struktur ekonomi Negara berkembang.
Jangka panjang PMN dapat mengurangi ketergantungan ekonomi Negara
berkembang.

Kerangka analisis Warren dkk mengacu pada struktur kelas, sejalan dengan
argument yang dikembangkan Neo-Klasik tentang investasi asing. Ada tiga
hal, yakni:
1. Modal asing tidak dilihat sebagai antithesis bagi modal didalam
negeri, tetapi sebagai factor komplementer atau pelengkap yang
secara simultan mengembangkan perekonomian nasional.
2. Meningkatkan kompetisi antar PMN dalam upaya mereka untuk
menanamkan modal diluar negeri secara tidak langsung telah
menaikan posisi tawar-menawar Negara-negara berkembang vis-à-vis
PMN.
3. PMN tidak saja melengkapi sumber-sumber (bahan mentah, tenaga
kerja, teknologi, dll) didalam negeri dengan sumber-sumber yang
dibawanya dari Negara maju, dan membantu proses penemuan
sumber-sumber baru dan optimalisasi penggunaan sumber-sumber
yang tadinya tidak banyak terpakai.
Perpektif ini cenderung untuk merekomendasi dukungan pemerintah
Negara berkembang bagi ekspansi PMN di Negara mereka masing-
masing.

PMN dan Negara Berkembang

Beberapa pertimbangan PMN untuk memilih daerah investasi yakni:


kemampuan Negara untuk untuk menyerap teknologi asing, daya beli
masyarakat, kebijakan pemerintah terhadap investasi asing, stabilitas
politik, dan sebagainya.

Ada dua macam fenomena peningkatan daerah operasi PMN ke Negara-


negara berkembang;

Konvergensi Kepentingan Negara dan PMN


Beberapa pakar politik-ekonomi internasional seperti Joh Stopford, Susan
Strange, dan John Henley mengemukakan gagasan tentang adanya
konvergensi kepentingan yang dapat melahirkan kolaborasi antara PMN
dengan Negara didalam pengembangan sector industry:
1. Dalam suatu situasi dimana kelangsungan suatu Negara ditentukan
oleh kemampuannya untuk menciptakan iklim ekonomi yang
berorientasi pada pertumbuhan.
2. Mengingat bahwa tugas paling utama suatu Negara adalah
pengupayaan proses akumulasi kesejahteraan untuk seluruh warganya.
3. Karena baik Negara maupun PMN mempunyai kepentingan yang
sama untuk mengakumulasi surplus ekonomi, maka upaya untuk
mengkoordinasikan kebijakan Negara dengan strategi korporatis PMN
menjadi sangat penting.

Pengembangan kemitran dengan PMN merupakan pilihan yang bagus


bagi Negara berkembang untuk menyambut proses demokratisaasi dan
liberalisasi dunia.

Pola kemitraan yang paling umum adalah Negara melakukan spesialisasi


dengan pembuatan peraturan disektor pertanahan, infrastruktur,
perburuhan dan industry yang kondusif bagi pengembangan investasi;
sementara itu PMN bertanggung jawab dalam pendanaan riset dan
pengembangan teknologi baru serta pendistribusian modal yang dapat
menjamin kemakmuran bersama.

Dampak Positif Aktivitas PMN bagi Negara berkembang

Dampak positif yang ditimbulkan PMN menurut Sanjaya Lall, Casson


dan Pearce dan Jenkins manfaat langsung yang dirasakan Negara
berkembang dari kehadiran PMN, yaitu:

1. PMN memberikan kontribusi pada pertumbuhan perekonomian suatu


Negara melalui proses linkage creation (penciptaan keterkaitan) yang
meliputi; forward linkage dan backward linkage.

2. Kehadiran PMN menciptakan lapangan kerja baru, baik didalam


maupun di luar lingkungan PMN

3. Sejumlah pengamat bahkan menyatakan bahwa modal yang dibawa


PMN dapat memperbaiki neraca pembayaran Negara berkembang.

Anda mungkin juga menyukai