BAB II
PERMASALAHAN
UU 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Status, Mengubah
Berlaku, dan Mengubah. Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas
Undang-Uundang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Latar Belakang
Pertimbangan UU 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU 23 tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak adalah:
a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia menjamin kesejahteraan tiap warga
negaranya, termasuk perlindungan terhadap hak anak yang merupakan hak asasi manusia;
b. bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak
atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi sebagaimana diamanatkan dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
c. bahwa anak sebagai tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan
bangsa memiliki peran strategis, ciri, dan sifat khusus sehingga wajib dilindungi dari
segala bentuk perlakuan tidak manusiawi yang mengakibatkan terjadinya pelanggaran
hak asasi manusia;
d. bahwa dalam rangka meningkatkan perlindungan terhadap anak perlu dilakukan
penyesuaian terhadap beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c,
dan huruf d perlu membentuk Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak;
Dasar Hukum
Dasar hukum UU 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU 23 tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak adalah:
1. Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28B ayat (2), Pasal 28G ayat (2), dan Pasal 28I ayat
(2), Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 109, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4235);
3. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 153, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5332);
Penjelasan Perubahan UU Perlindungan Anak
Anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia dan
keberlangsungan sebuah bangsa dan negara. Agar kelak mampu bertanggung jawab dalam
keberlangsungan bangsa dan negara, setiap Anak perlu mendapat kesempatan yang seluas-
luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental, maupun sosial. Untuk
itu, perlu dilakukan upaya perlindungan untuk mewujudkan kesejahteraan Anak dengan
memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya tanpa perlakuan diskriminatif.
Negara menjunjung tinggi hak asasi manusia, termasuk di dalamnya hak asasi Anak yang
ditandai dengan adanya jaminan perlindungan dan pemenuhan Hak Anak dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan beberapa ketentuan peraturan perundang-
undangan baik yang bersifat nasional maupun yang bersifat internasional. Jaminan ini dikuatkan
melalui ratifikasi konvensi internasional tentang Hak Anak, yaitu pengesahan Konvensi Hak
Anak melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention On
The Rights Of The Child (Konvensi Tentang Hak-Hak Anak).
Kerap kita membaca berita anak-anak dipukul, ditampar, disiksa. Terjadi pula kasus ekstrem
seperti pemerkosaan bahkan pembunuhan terhadap anak. Pelakunya bisa siapa saja, termasuk
orang paling dekat dengan korban seperti guru, keluarga, terutama orangtua. Menghukum anak
dengan kekerasan pun bisa diimbuhi pembenaran bahwa yang dilakukan adalah "pukulan
sayang" atau "hukuman yang masuk akal." Dianggap sebagai hal yang galib, tindakan kekerasan
terhadap anak menembus batas kelas, status sosial, ekonomi, dan budaya di seluruh dunia.
Menurut dokumen Convention on the Rights of the Child (1989), kekerasan terhadap anak
mencakup semua bentuk kekerasan fisik atau mental, cedera dan pelecehan, pengabaian atau
perlakuan lalai, penganiayaan atau eksploitasi, termasuk pelecehan seksual. Kekerasan terhadap
anak tak cuma mencakup kekerasan fisik dan seksual, tetapi juga kekerasan emosional,
pengabaian ,dan eksploitasi.
Baca selengkapnya di artikel "73,7 Persen Anak Indonesia Mengalami Kekerasan di Rumahnya
Sendiri".
Berdasarkan penelitian Hillis, et.al (2016) berjudul "Global Prevalence of Past-Year Violence
Against Children: A Systematic Review and Minimum Estimates," angka kekerasan terhadap
anak tertinggi pada 2014 terjadi di Asia. Ada lebih dari 714 juta, atau 64 persen dari populasi
anak-anak di Asia, mengalami setidaknya satu bentuk kekerasan berat. Jika kekerasan yang
dinilai lebih ringan seperti memukul pantat dan menampar wajah ikut dihitung, angkanya lebih
besar lagi: 888 juta anak-anak atau setara 80 persen populasi anak di Asia.
Khusus wilayah Asia-Pasifik, kekerasan emosional dilaporkan oleh hampir satu dari tiga anak
perempuan (32 persen) dan satu dari empat anak laki-laki (27 persen). Angka ini terdapat dalam
penelitian "The Burden of Child Maltreatment in the East Asia and Pacific Region, Child Abuse
& Neglect" dari Fang. et al, (2015) yang diolah dalam studi D. Fry (2016) "Preventing Violence
Against Children and How This Contributes to Building Stronger Economies." Sementara itu,
prevalensi pengabaian yang dialami anak laki-laki sebesar 26 persen dan 27 persen pada anak
perempuan. Dalam hal kekerasan fisik, anak laki-laki cenderung mengalami lebih banyak dengan
prevalensi sebesar 17 persen, sedangkan anak perempuan sebesar 12 persen.
Seperti di Asia Pasifik, kekerasan terhadap anak di Indonesia pun masih cukup tinggi. "Survei
Kekerasan Terhadap Anak Indonesia 2013" dari Kementerian Sosial memperlihatkan bahwa
kekerasan yang dialami anak laki-laki lebih besar dibandingkan anak perempuan. Jumlahnya
mencapai hampir separuh populasi anak laki-laki, tepatnya 7.061.946 anak atau 47,74 persen.
Pada anak perempuan, prevalensinya mencapai 17,98 persen (2.603.770 anak).
Dilihat berdasarkan jenisnya, anak-anak Indonesia cenderung mengalami kekerasan emosional
dibandingkan fisik. Sebanyak 70,98 persen anak laki-laki dan 88.24 persen anak perempuan
pernah mengalami kekerasan fisik. Untuk kategori kekerasan emosional, sebanyak 86,65 persen
anak laki-laki dan 96,22 persen anak perempuan menyatakan pernah mengalaminya.
Ironisnya, pelaku yang cukup besar melakukan kekerasan pada anak adalah orang terdekat, yaitu
keluarga dan pengasuh. Selain dilakukan dan dialami secara rutin, kekerasan juga diterima secara
sosial, dan akhirnya dianggap sebagai bagian normal dari pertumbuhan dan perkembangan anak.
Baca juga: Jangan Ajarkan Disiplin dengan Kekerasan Berdasarkan laporan "Global Report
2017: Ending Violence in Childhood" sebanyak 73,7 persen anak-anak Indonesia berumur 1-14
tahun mengalami pendisiplinan dengan kekerasan (violent discipline) atau agresi psikologis dan
hukuman fisik di rumah. Hal ini diperkuat data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)
yang mencatat sebanyak 4.294 kasus kekerasan pada anak dilakukan oleh keluarga dan pengasuh
(2011-2016). Kasus terbanyak terjadi pada 2013, yaitu 931 kasus kekerasan anak. Namun,
jumlah ini terus menurun menjadi 921 kasus di 2014, 822 kasus di 2015, dan 571 kasus di 2016.
Kasus kekerasan yang terjadi di rumah dan tempat pengasuhan ini berada di urutan kedua teratas,
setelah persoalan anak terlibat kasus hukum yang tercatat sebanyak 7.698 kasus. Bila dirincikan,
di 2016, misalnya, sebanyak 186 anak menjadi korban perebutan Hak Kuasa Asuh. Selain itu,
312 anak dilarang bertemu dengan orangtuanya dan 124 anak menjadi korban penelantaran
ekonomi. Di lingkungan yang seharusnya menjadi tempat paling aman, anak justru sangat rentan
menjadi korban kekerasan. Baca juga: Gunung Es Kekerasan pada Anak "Survei Kekerasan
terhadap Anak Indonesia 2013" juga menunjukkan bahwa kekerasan yang dilakukan oleh ayah
cenderung ditujukan kepada anak laki-laki. Sebanyak 41,1 persen anak laki-laki mendapatkan
kekerasan fisik dari ayahnya. Selain fisik, sebanyak 35,6 persen anak laki-laki mendapatkan
kekerasan.
Mengikuti pola kesamaan gender, kekerasan fisik dan emosional pada anak perempuan pun
cenderung dilakukan oleh ibu. Hal ini terlihat dari 66,34 persen anak perempuan mendapatkan
kekerasan fisik dari ibu. Selain itu, 49,81 persen anak perempuan juga mendapat kekerasan
emosional dari ibu. Hal ini perlu mendapat perhatian. Penelitian "Gender-Specific Linkages of
Parents’ Childhood Physical Abuse and Neglect with Children’s Problem Behaviour: Evidence
from Japan" yang dilakukan oleh Oshio and Umeda (2016) menunjukkan bahwa perilaku
orangtua berpengaruh lebih besar terhadap perkembangan anak-anak bergender sama. Artinya,
perilaku bermasalah seorang anak perempuan terkait erat dengan kekerasan yang dilakukan
ibunya ketimbang kekerasan oleh ayah. Begitu pula perilaku anak laki-laki yang terkait erat
dengan pengalaman mereka bersama ayahnya. Dampak kekerasan terhadap anak, apa pun
tujuannya, sama sekali tidak bisa dianggap sepele. Kita bisa melihatnya dari penelitian UNICEF
yang mengumpulkan dan menyusun berbagai dampak perlakuan kejam terhadap anak dari 178
studi. Penyusunan itu kemudian digolongkan ke dalam empat area, yaitu kesehatan fisik,
kesehatan mental, keluaran kekerasan, dan dampak terhadap pendidikan dan ketenagakerjaan.
Rincian Data Kasus Berdasarkan Klaster Perlindungan Anak 2011-2016
b. SARAN
Dengan adanya undang-undang tentang anak yang telah diatur semestinya dan telah ada
didalam konvensi-konvensi internasional, orang tua, pemerintah,serta masyarakat lebih
berupaya untuk menyadarkan diri, membuka mata serta hati untuk tidak berdiam diri, dan
menolong bila ada kasus kekerasan terhadap anak yang terjadi disekelilingnya.