PENDAHULUAN
Secara umum batubara dapat dikenal dari kenampakan sifat fisiknya yaitu
berwarna coklat sampai hitam, berlapis, padat, mudah terbakar, kedap cahaya, non
kristalin, berkilap kusam sampai cemerlang, bersifat getas, pecahan kasar sampai
konkoidal. Unsur kimia utama pembentuk batubara adalah karbon (C), hidrogen (H),
nitrogen (N) dan sulfur (S). Pengetahuan lebih lanjut mengenai Karakteristik batubara
akan dikaji pada pembahasan makalah ini.
1
I.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan permasalahan sebagai
berikut:
Sesuai dengan permasalahan yang di atas, tujuan yang hendak dicapai dalam
penyusunan makalah ini adalah :
2
BAB II
PEMBAHASAN
Air yang terikat secara mekanik dengan batubara dan mempunyai tekanan uap
normal dimana kadarnya dipengaruhi oleh pengeringan dan pembasahan selama
penambangan, transportasi, penyimpanan dan lain-lain. Air lembab (moisture in air
3
dried) yaitu air yang terikat secara fisika dalam batubara dan mempunyai tekanan uap
di bawah normal.
Air total adalah jumlah air air permukaan dan inherent moisiture dari batubara
pada waktu analisis. Nama lain dai air total yaitu as-received moisture.
4
2.1.3 Porositas
Batubara mengandung dua sistem pori, yaitu pori dengan ukuran rat-rata
500Ao dan yang lain dengan pori berukuran 5-15Ao (1Ao=10-10 m). Pori yang kecil
lebih sedikit dibandingkan dengan yang besar, tetapi luas permukaannya besar (kira-
kira 200 m2/gr). Pori-pori yang lebih besar mempunyai total luas permukaan pori 1
m2/gr. Pori-pori ini dapat menyerap CH4 yang terbentuk pada tahap akhir dari
pembentukan batubara. Low volatile bituminous coal mempunyai kemampuan
menyrap CH4 lebih besar dan laju difusi rendah, pada btubara yang tidak rusak. Hal
ini berkaitan dengan sering terjadinya ledakan dan kebakaran pada tambang-tambang
Low volatile bituminous coal, bila terbentuk rekahan-rekahan yang memungkinkan
keluarnya gas CH4.
5
2.1.5 Grindability dan Friability
Grindability (Hardgrove index)adalah ukuram mudah sukarnya batubara
digerus menjadi berbutir untuk penggunaan bahan bakar bubuk (pulverized coal)
dibandingkan dengan batubara standar yang dipilh sebagai grindability 100. Dengan
demikian batubara akan lebih sukar digerus bila index grindabillity –nya lebih kecil
dari 100 dan akan slebih sukar digerus bila index grindability-nya lebih besar dari
100.
Friability adalah ukuran kemampuan untuk menahan remuknya material
selama penanganannya (handling). Baik grindability maupun friability tergantung
karakteristik toughnes, elastisitas dan fracture.
2.1.6 Weathering
Weathering adalah kecenderungan batubara untuk pecah bila ia mengering.
Umumnya hampir semua batubara bila kontak dengan atmosfer, cepat atau lambat
akan menunjukkan gejala weathering. Kenyataan lain banyak batubara yang
tersimpan mampu terbakar secara spontan. Bahaya ini timbul bila jumlah panas yang
terbebaskan oleh proses oksidasi lebih besar dari jumlah panas yang tersedia secara
konveksi atau konduksi.
6
usaha yang dilakukan untuk menceegah pengecilan batubara. Semua ini sangat
bervariasi.
2.1.8 Kekuatan
Kekuatan batubara berkepentingan langsung dengan penambangan dan
permukaan. Kekuatan dan mode of failure tergantung pada rank dan kondisi batubara
dan cara-cara menerapkan stress. Kekuatan batubara banyak dipelajari dengan cara
uji kompresi, sebab hasilnya dapat diterapkan dalam memperkirakan kapasitas beban
pilar di dalam tabung.
2.1.9 Abrasiveness
Abrasiveness dari batubara penting dalam pengertian ekonomi pada
pertambangan, preparasi dan penggunaan. Batubara adalah material abrasif. Oleh
karena itu keausan pada pemboran, cutting (alat tambang) dan alat angkut sangat
tinggi dan sering harus diganti. Demikian juga pada waktu crushing dan grinding
untuk menghasilkan pulverized coal, keausan alat tinggi yang berakibatkan mahalnya
ongkos.
Penelitian menunjukkan, abrasiveness batubara tidak sama. Beberapa keausan
tinggi, yang lain lebih rendah. Hal ini disebabkan karena batubara merupakan
material hiterogen yang mempunyai komponen berbeda-beda sifatnya.
Suatu cara menentukan abrasiveness dari batubara dikembangkan oleh Seattle
Coal Reseaech Laboratory of USBM. Secara garis besar caranya sebagai berikut :
Alat teridiri dari 4 blade besi yang berputar di dalam tempat berisi batubara, diputar
dalam jumlah putar yang tetap dan tentukan kehilangan berat dari blade selama tes.
Penelitian menunjukkan beban abrasiveness lebih ditentukan oleh macam dan
banyaknya impurities di dalam batubara. Dengan demikian, pencucian yang bertujuan
mengurangi impurities juga akan mengurangi abrasiveness.
7
- impurities yang akan membentuk abu
- impurities yang mengandung sulfur
Impurities lain seperti fosfor dan garam tertentu sering juga ada.
Ada beberapa rumus empiris yang dapat digunakan untuk menentukan mineral matter
dar data-data analisis abu dan unsur-unsur lain.
Formula Parr asli (North america)
MM= 1,08 A + 0,55 Stot
Formula Parr Modifikasi (North america)
MM = 1,13 A + 0,47 Spyt + Cl
Formula King-Maris-Crossley (KMC) yang direvisi oleh National Coal Board
(Britain):
MM= 1,13 A + 0,5 Spyt + 0,8 CO2 – 2,8 Sabu +2,8 Ssul + 0,31 Cl
Formula British Coal Utilization Research Association (BCURA):
MM= 1,10 A + 0,53 Stot + 0,74 CO2 – 0,36
8
Formula Standards Association of Australia (Australia)
MM= 1,1 A
Formula National Institute for Coal Research (South africa)
MM= 1,1 A + 0,55 CO2
2.1.10.2 Abu
Abu adalah residu yang berasal dari mineral matter hasil dari perubahan
batubara. Komposisi kimianya berbeda dan beratnya lebih kecil dari mineral matter
yang ada di dalam batubara asalnya.
Abu yang terbentuk pada pembakaran batubara berasal dari mineral-mineral
yang terikat kuat pada batubara seperti silika, alumunium oksida, ferri oksida,
kalsium oksida, titan oksida dan oksida alkali. Mineral-mineral ini tidak menyublim
pada pembakaran di bawah 925 oC. Abu yang terbentuk ini diharapkan akan keluar
sebagai sisa pembakaran.
Komponen unsur-unsur abu yang utama:
Natrium
Kalsium
Magnesium
Kalium
Aluminium
Silikon
9
Besi
Sulfur
Kandungan Abu
Di saat awal proses pengabuan (insinerasi, pembakaran menjadi abu), belerang
organik dan belerang pirit (pyritic sulfur) terbakar menjadi oksida belerang. Dengan
terus melakukan pemanasan sambil mengontrol agar jumlah sulfatnya berada pada
tingkat minimum selama pengabuan, dan ditambah adanya penguraian sempurna dari
karbonat, maka zat sisa anorganik yang terjadi selama sulfat tidak mengalami
penguraian itulah yang disebut kandungan abu.
Kandungan Abu Bawaan:
Kandungan abu bawaan diperoleh dari abu yang terkandung pada tumbuh-tumbuhan
yang menjadi batubara, jumlahnya sedikit, dan sulit untuk diambil melalui proses
pemisahan. Pada batubara kilap (bright coal) atau vitrite yang berasal dari proses
pembatubaraan zat kayu pada tumbuhan, jumlah kandungan abunya sedikit.
Kandungan Abu Serapan:
Kandungan abu serapan terjadi akibat adanya intrusi lumpur dan pasir saat
tetumbuhan tersedimentasi. Atau bisa pula terjadi setelah proses pembatubaraan
berlangsung, dimana akibat adanya retakan dan sebagainya, menyebabkan lumpur
dan pasir ikut tercampur masuk (intrusi). Abu jenis ini terdistribusi secara tidak
merata di dalam batubara, dan banyak mengandung zat-zat seperti batu lanau (shale),
pirit, gipsum, silikat, karbonat, sulfat dan sebagainya, dimana kandungan asam silikat
dan alumina-nya banyak.
10
Sulfur Piritik biasanya berjumlah sekitar 20% - 80% dari total sulfur yang terdapat
dalam makrodeposit (lensa, urat, kekar, dan bola) dan mikrodeposit (partikel halus
yang menyebar).
Sulfur Organik
Sulfur Organik biasanya berjumlah sekitar 20% - 80% dari total sulfur, biasanya
berasosiasi dengan konsentrasi sulfat selama pertumbuhan endapan.
Sulfat Sulfur
Sulfat terutama berupa kalsium dan besi, jumlahnya relatif kecil dari seluruh jumlah
sulfurnya.
11
Swelling properties diukur dengan free swelling index (FSI) yaitu ukuran
pembesaran volume batubara apabila ia dipanaskan dibawah kondisi pemanasan
tertentu. Pembesaran volume ini ada kaitannya dengan sifat plastis batubara.
Batubara yang tidak menunjukkan sifat plastis pada waktu pemanasan juga tidak
menunjukkan sifat pemuaian. Sungguhpun hubungan antara pemuaian dan plastisitas
sangat komplek dan sulit dipelajari, yakni diyakini bahwa gas yang terbentuk selama
batubara berada dalam bentuk plastis atau semi plastis, bertanggung jawab akan
terjadinya pemuaian.
Free Swelling Index digunakan untuk meramalkan kecenderungan batubara
membentuk kokas bila dipanaskan pada alat tertentu. Batubara yang FSI-nya 2 atau
kurang, bukan merupakan coking coal yang baik, sedangkan yang menujukkan index
antara 4 sampai 8 akan menunjukkan sifat coking yang baik (FSI dapat mulai dari 0-
9).
Sifat fisik batubara tergantung kepada unsur kimia yang membentuk batubara
tersebut, semua fisik yang dikemukakan dibawah ini mempunyai hubungan erat satu
sama lain.
Berat jenis
Berat jenis (specific gravity) batubara berkisar dari 1,25g/cm3 sampai 1,70 g/cm3,
pertambahannya sesuai dengan peningkatan derajat batubaranya. Tetapi berat jenis
batubara turun sedikit dari lignit (1,5g/cm3) sampai batubara bituminous (1,25g/cm3),
kemudian naik lagi menjadi 1,5g/cm3 untuk antrasit sampai grafit (2,2g/cm3). Berat
jenis batubara juga sangat bergantung pada jumlah dan jenis mineral yang dikandung
abu dan juga kekompakan porositasnya. Kandungan karbon juga akan mempengaruhi
kualitas batubara dalam penggunaan. Batubara jenis yang rendah menyebabkan sifat
pembakaran yang baik.
Kekerasan
12
Kekerasan batubara berkaitan dengan struktur batubara yang ada. Keras atau
lemahnya batubara juga terkandung pada komposisi dan jenis batubaranya. Uji
kekerasan batubara dapat dilakukan dengan mesin Hardgrove Grindibility Index
(HGI). Nilai HGI menunjukan niali kekersan batubara. Nilai HGI berbanding terbalik
dengan kekerasan batubara. Semakin tinggi nilai HGI , maka batubara tersebut
semakin lunak. Dan sebaliknya, jika nilai HGI batubara tersebut semakin rendah
maka batubara tersebut semakin keras.
Warna
Warna batubara bervariasi mulai dari berwarna coklat pada lignit sampai warna
hitam legam pada antrasit. Warna variasi litotipe (batubara yang kaya akan vitrain)
umumnya berwarna cerah.
Goresan
Goresan batubara warnanya berkisar antara terang sampai coklat tua. Pada lignit,
mempunyai goresan hitam keabu-abuan, batubara berbitumin mempunyai warna
goresan hitam, batubara cannel mempunyai warna goresan dari coklat sampai hitam
legam.
Pecahan
Pecahan dari batubara memperlihatkan bentuk dari potongan batubara dalam
sifat memecahnya. Ini dapat pula memeperlihatkan sifat dan mutu dari suatu batubara.
Antrasit dan batubara cannel mempunyai pecahan konkoidal. Batubara dengan zat
terbang tinggi, cenderung memecah dalam bentuk persegi, balok atau kubus.
13
Jumlah karbon yang terdapat dalam batubara bertambah sesuai dengan peningkatan
derajat batubaranya. Kenaikan derajatnya dari 60% sampai 100%. Persentase akan
lebih kecil daripada lignit dan menjadi besar pada antrasit dan hamper 100% dalam
grafit. Unsur karbon dalam batubara sangat penting peranannya sebagai penyebab
panas. Karbon dalam batubara tidak berada dalam unsurnya tetapi dalam bentuk
senyawa. Hal ini ditunjukkan dengan jumlah karbon yang besar yang dipisahkan
dalam bentuk zat terbang.
Hidrogen
Hidrogen yang terdapat dalam batubara berangsur-angsur habis akibat evolusi metan.
Kandungan hidrogen dalam liginit berkisar antara 5%, 6% dan 4.5% dalam batubara
berbitumin serta sekitar 3% smpai 3,5% dalam antrasit.
Oksigen
Oksigen yang terdapat dalam batubara merupakan oksigen yang tidak reaktif.
Sebagaimana dengan hidrogen kandungan oksigen akan berkurang selam evolusi atau
pembentukan air dan karbondioksida. Kandungan oksigen dalam lignit sekitar 20%
atau lebih, dalam batubara berbitumin sekitar 4% sampai 10% dan sekitar 1,5%
sampai 2% dalam batubara antrasit
Nitrogen
Nitrogen yang terdapat dalam batubara berupa senyawa organik yang
terbentuk sepenuhnya dari protein bahan tanaman asalnya jumlahnya sekitar 0,55%
sampai 3%. Batubara berbitumin biasanya mengandung lebih banyak nitrogen
daripada lignit dan antrasit.
Sulfur
Sulfur dalam batubara biasanya dalam jumlah yang sangat kecil dan
kemungkinan berasal dari pembentuk dan diperkaya oleh bakteri sulfur. Sulfur dalam
batubara biasanya kurang dari 4%, tetapi dalam beberapa hal sulfurnya bisa
mempunyai konsentrasi yang tinggi. Sulfur terdapat dalam tiga bentuk, yaitu :
14
Sulfur Piritik (piritic Sulfur)
Sulfur Piritik biasanya berjumlah sekitar 20% - 80% dari total sulfur yang terdapat
dalam makrodeposit (lensa, urat, kekar, dan bola) dan mikrodeposit (partikel halus
yang menyebar).
Sulfur Organik
Sulfur Organik biasanya berjumlah sekitar 20% - 80% dari total sulfur, biasanya
berasosiasi dengan konsentrasi sulfat selama pertumbuhan endapan.
Sulfat Sulfur
Sulfat terutama berupa kalsium dan besi, jumlahnya relatif kecil dari seluruh jumlah
sulfurnya.
15
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
16
17