Disusun oleh :
i
KATA PENGANTAR
ii
DAFTAR ISI
RINGKASAN ..................................................................................................... i
KATA PENGANTAR ......................................................................................... ii
DAFTAR ISI ....................................................................................................... iii
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... iv
DAFTAR TABEL .............................................................................................. v
BAB I MASSA BATUAN DAN DISKONTINUITAS .................................... 1
1.1 Batuan utuh dan massa batuan ....................................................................... 1
1.2 Bidang diskontinuitas ..................................................................................... 2
1.2.1 Lipatan (fold)................................................................................................ 2
1.2.2 Kekar (joint) ................................................................................................. 2
1.2.3 Sesar (fault) ................................................................................................. 3
1.2.4 Bidang perlapisan (bedding plane) ............................................................. 4
BAB II KLASIFIKASI MASSA BATUAN ...................................................... 6
2.1 Rock mass rating (RMR) ................................................................................ 6
2.2 Q-system. ......................................................................................................... 10
BAB III CATATAN PENUTUP ........................................................................ 19
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 22
iii
DAFTAR GAMBAR
iv
DAFTAR TABEL
v
BAB I
MASSA BATUAN DAN DISKONTINUITAS
1
1.2. Bidang diskontinuitas
Bidang diskontinuitas atau bidang lemah pada terowongan bisa terbentuk
karena faktor alami dan buatan. Faktor alami bisa terbentuk karena pengaruh gaya
yang bekerja di dalam bumi, yaitu tektonik, vulkanik, dan seismic (gempa).
Sedangkan faktor buatan bisa disebabkan karena penggalian, yang mana dapat
menyebabkan terjadinya bidang lemah yang baru. Keterdapatan bidang lemah ini
dapat menyebabkan penurunan kekuatan batuan serta berpotensi menyebabkan
ambrukan pada terowongan. Jenis – jenis bidang lemah antara lain:
1.2.1. Lipatan (Fold)
Lipatan adalah kelengkungan atau kenampakan mennyerupai gelombang
pada batuan berlapis (Hammersley, et.al., 2016). Lipatan batuan biasanya terjadi
pada batuan yang bersifat ductile yaitu material yang memiliki sifat elastis sudah
melewati batas elastisitasnya sehingga ketika dikenai gaya maka akan mengalami
deformasi dan tidak kembali ke bentuk semula.
2
Gambar 1.3 Joint sets (Hammersley, et.al., 2016)
Jenis- jenis kekar berdasarkan pergerakannya di bagi 3, yaitu kekar gerus (shear
joint), Tensional joint, dan Extension joint.
(a) (b)
Gambar 1.4 (a) Shear joint, (b) tensional joint (Noor, 2009)
1.2.3. Sesar (fault)
Menurut Billings (1960), sesar didefinisikan sebagai bidang rekahan yang
disertai oleh adanya pergeseran (displacement) satu blok terhadap blok batuan
lainnya. Jarak pergeseran tersebut dapat hanya beberapa milimeter hingga puluhan
kilometer, sedangkan bidang sesarnya mulai dari yang berukuran beberapa
centimeter hingga puluhan kilometer. Ilustrasi sesar bisa dilihat pada (Gambar 1.5).
3
Gambar 1.5 Contoh zona patahan (Hammersley, et.al., 2016)
1.2.4. Bidang Perlapisan (bedding plane)
Bidang perlapisan terdapat pada batuan sedimen, yang mana bidang ini
membagi batuan sedimen menjadi beberapa lapisan (strata). Bidang perlapisan
dikategorikan sebagai bidang lemah karena ketidakseragaman material penyusun
antar lapisan yang menyebabkan perbedaan kekuatan massa batuan antar lapisan.
Contoh bidang perlapisan (bedding plane) bisa dilihat pada (Gambar 1.6).
Gambar 1.6 Bidang perlapisan dan sesar pada brittle rock (Brady & Brown, 2005)
4
Untuk contoh kenampakan bidang diskontinuitas (bidang lemah) di lubang
bukaan / terowongan bisa dilihat pada gambar berikut.
5
BAB II
KELASIFIKASI MASSA BATUAN
6
Tabel 2.1 Strenghth of Intact Rock Material (Bieniawski, 1989 ;
ISO14689-1, 2003)
Tabel 2.3. Spasi bidang diskontinuitas (Bieniawski, 1989 ; ISO 14689-1, 2003)
7
Tabel 2.4 Condition of Discontinuities (Bieniawski, 1989)
8
Tabel 2.6. Kondisi Air tanah (Bieniawski, 1989)
9
Tabel 2.9 Design parameter and engineering properties of rock mass (Bieniawski,
1993)
2.2. Q-system
Barton, Lien, dan Lunde (1974) dari Norwegian Geotechnical Institute (NGI)
awalnya mengusulkan Q-sistem klasifikasi massa batuan berdasarkan sekitar 200
10
kasus sejarah terowongan dan gua. Mereka mendefinisikan kualitas massa batuan
(Q) dengan beberapa faktor penyebab dari persamaan:
dimana RQD = Deere’s Rock Quality Designation ≥ 10 cm, 𝐽𝑛 = Jumlah set kekar,
𝐽𝑟 = kekasaran kekar, 𝐽𝑎 = alterasi pada kekar, 𝐽𝑤 = faktor reduksi air pada kekar,
𝑆𝑅𝐹 = (stress reduction factor) untuk mempertimbangkan tegangan institu pada
terowongan yang diamati.
Untuk berbagai kondisi batuan, Kelas batuan harus diperoleh melalui enam
parameter diatas. Target dari Q-system adalah untuk mengkarakterisasi massa
batuan dan desain empiris awal dari sistem penyanggaan untuk terowongan dan gua
(lihat bagian Desain tentang Dukungan di bagian selanjutnya dalam hal ini bab).
Ada 1.260 catatan kasus untuk membuktikan kemanjuran pendekatan desain ini; ini
sistem klasifikasi terbaik untuk dukungan terowongan (Kumar, 2002). Keenam
parameter dari Q-system bisa dilihat pada (Tabel 2.11 – 2.16)
11
Tabel 2.12 Jumlah set kekar (𝐽𝑛 )
12
Tabel 2.14 Alterasi pada kekar (𝐽𝑎 )
13
Tabel 2.15 Faktor reduksi air pada kekar (𝐽𝑤 )
14
Dari enam parameter diatas, nilai yang didapatkan dimasukkan pada
(persamaan 2.1), Sehingga didapatkan kelas batuan berdasarkan Q-system pada
tabel 2.17.
Tabel 2.17 Rock Mass Quality System
15
Q-system juga digunakan untuk menentukan desain sistem penyanggaan.
Akan tetapi, Selain nilai Q, ada dua faktor lain yang menentukan desain penyanggan
di bukaan bawah tanah dan gua. Faktor-faktor ini adalah (safety requirement) yang
ditunjukkan lewat nilai ESR (Excavation Support Ratio) dan dimensi. misalnya:
lebar atau ketinggian bukaan bawah tanah.
Lebar atau tinggi dinding ESR dapat digunakan untuk mendapatkan
"Equivalent dimension" dengan persamaan:
Span or Height in m
= Equivalent dimension
ESR
Tabel 2.18 Nilai ESR
16
Gambar 2.1 Desain penyanggaan berdasarkan klasifikasi massa batuan Q-system
17
Gambar 2.2 Penyangga permanen berdasarkan nilai Q dan span/ESR
18
BAB III
CATATAN PENUTUP
Sebagian besar deformasi atau runtuhan yang terjadi di lubang bukaan di kontrol
oleh keberadaaan kekar, oleh karenanya banyak sistem klasifikasi massa batuan yang
memasukkan unsur kekar dalam setiap penentuan kelas batuan, karena keberadaan
kekar hampir selalu ditemukan dalam massa batuan. Sebut saja sistem klasifikasi massa
batuan seperti RMR, Q-system, RMI, ketiganya memasukkan unsur kekar sebagai salah
satu parameter penentuan kelas batuan.
Ada sebuah studi kasus yang bisa dijadikan acuan tentang penerapan klasifikasi
massa batuan pada terowongan. Studi kasus ini dilakukan di Terowongan eksplorasi
uranium Eko Remaja, Kalan, Kalimantan Barat yang merupakan salah satu sarana
penelitian cebakan uranium yang sangat penting. Terowongan ini dibangun tahun 1980
dengan panjang 618 meter dan menembus Bukit Eko di kedua sisinya. Walau batuan
di terowongan tersebut relatif kompak, tetapi memiliki zona lemah di beberapa
bagiannya. Penyanggaan merupakan metode yang digunakan untuk menanggulangi
keruntuhan tanah dan batuan yang terjadi pada zona lemah di terowongan. Pemasangan
penyangga yang selama ini dilakukan berdasarkan pola keruntuhan yang terjadi pada
saat pembukaan terowongan tanpa melalui studi khusus menyangkut karakterisasi
massa batuan dan kebutuhan sistem penyangga. Dan dilakukannya Penelitian ini untuk
mengevaluasi tingkat keselamatan terowongan Eko-Remaja dan kesesuaian lokasi
penyangga. Evaluasi dilakukan dengan membandingkan karakteristik massa batuan
menggunakan metode Rock Mass Rating (RMR) antara lokasi penyangga batuan
terpasang dan lokasi penyangga batuan tidak terpasang. Berdasarkan hasil analisis,
nilai RMR pada lokasi terpasang penyangga diklasifikasikan ke dalam kelas IV atau
batuan buruk. Sementara itu, di lokasi tidak terpasang penyangga batuan
diklasifikasikan ke dalam kelas II atau batuan baik. Berdasarkan korelasi antara hasil
perhitungan RMR dengan roof span terowongan Eko-Remaja disimpulkan bahwa
posisi penyanggaan terowongan yang diwakili oleh lokasi pengamatan pada kedalaman
19
38 m, 73 m, dan 165 m sudah sesuai dengan sistem karakterisasi massa batuan
menggunakan metode RMR.
Berikut gambar tentang kenampakan terowongan dan hasil dari klasifikasi massa
batuannya
Gambar 3.1 Muka terowongan dan sistem penyangga terowongan (Kamajati, 2016)
Gambar 3.2 Pola diskontinuitas kekar pada batuan metalanau di LP1 (kamajati, 2016)
20
Gambar 3.3 menyatakan bahwa lokasi yang membutuhkan penyangga berada
pada LP1, yang mana penentuan hasil ini berdasarkan hubungan antara roof span dan
nilai RMR, dan didapatkan juga stand up time untuk LP1 lebih pendek dibanding LP2
dan LP3, olrh karenanya dibutuhkan penyanggaan untuk lokasi LP1.
Gambar 3.3 Hasil analisis antara RMR dengan roof span pada masing-masing lokasi
(Kamajati, 2016)
21
DAFTAR PUSTAKA
1. Barton, N., Lien, R., & Lunde, J. (1974). Engineering classification of rock
masses for the design of rock support. In Rock mechanics (Vol. 6, pp. 189–
236). New York: Springer-Verlag.
2. Bieniawski, Z. T. (1978). Determining rock mass deformability, experience
from case histories. International Journal of Rock Mechanics and Mining
Sciences-Geomechanics Abstracts, 15, 237–247.
3. Bieniawski, Z. T. (1973). Engineering classification of jointed rock masses.
Transactions of the South African Institution of Civil Engineers, 15(12),
335–344.
4. Bieniawski, Z. T. (1989). The geomechanics classification in rock
engineering applications. In Proceedings of the 4th Congress of the
International Society for Rock Mechanics (Vol. 2, pp. 41–48). ISRM
Montreux, September 2–8.
5. Hammersley, L., Carlson, D.H., Plummer, C.C., 2016. Physical Geology 15th
Edition. New York: McGraw-Hill Education.
6. ISO 14689-1. (2003). (E). Geotechnical investigation and testing-
Identification and classification of rock-Part 1: Identification and
description (pp. 1–16). Geneva: International Organization for
Standardization.
7. Kamajati, D., Syaeful, H., Garwan, Mirna Berliana. (2016). Evaluasi masssa
batuan terowongan eksplorasi uranium Eko-Remaja, Kalan, Kalimantan
Barat. Eksplorium volume 37 no, 2 (2016) : 89-100.
8. Kumar, N. (2002). Rock mass characterisation and evaluation of supports for
tunnels in Himalaya (p. 295). Ph.D. Thesis. Uttarakhand, India: WRDM,
ITT, Roorkee.
9. NGI. (2015). Using the Q-system. Oslo : Allkopi AS.
10. Panthee, S., Singh, P.K., Kanithola, A., Singh, T.N. (2016). Control of rock
joint parameters on deformation of tunnel opening. Journal of Rock
Mechanics and Geotechnical Engineering 8 (2016) 489-498.
11. Singh, B., & Goel, R. K. (1999). Engineering Rock mass classification:
tunneling, foundations, and landslides. United Kingdom : Elsevier Science
Ltd.
22