Anda di halaman 1dari 31

MASALAH ASPEK GEOMEKANIKA PADA TAHAP PRA

KONSTRUKSI DAN TAHAP KONSTRUKSI TEROWONGAN


PAPER UTS

Disusun oleh :

DANU MIRZA REZKY 212190012

PROGRAM MAGISTER TEKNIK PERTAMBANGAN


KONSENTERASI GEOMEKANIKA
FAKULTAS TEKNOLOGI MINERAL
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”
YOGYAKARTA
2020
RINGKASAN

Masalah aspek geomekanika pada saat tahap pra konstruksi dan konstruksi
selalu ditemukan. Masalah yang ditemukan pada tahap pra konstruksi yaitu tentang
permeabilitasi air di lokasi penerowongan, tegangan insitu, deformasi massa
batuan, monitoring pergerakan massa batuan, dan uji laboratorium. Yang mana data
tentang hal tersebut harus dipenuhi untuk persyaratan rancangan bukaan
terowongandan sistem penyanggannya. Sedangkan pada tahap konstruksi,
pekerjaan pada tahap pra konstruksi bisa saja terulang kembali untuk memvalidasi
pekerjaan tahap pra konstruksi, seperti uji permeabilitas dan monitoring. Ada
kalanya kondisi uji laboratorium dilakukan kembali pada tahap konstruksi, jika data
mengenai massa batuan dan tanah di sekitar bukaan terowongan kurang atau tidak
memadai. Hal ini dilakukan agar pada tahap konstruksi kejadian diluar dugaan bisa
diminimalisir.
Masalah lain yang ditemukan pada saat konstruksi terowongan adalah
pemilihan metode konstruksi penerowongan, yang dalam paper ini metode yang
dibahan ada dua, yaitu NATM (New Austrian Tunneling Method) dan TBM
(Tunneling Boring Machine), masing-masing metode memiliki kelebihan dan
kekurangan, dan pemilihan metode konteruksi ini berdasarkan hasil pengujian yang
dilakukan pada tahap pra konstruksi. Sehingga nantinya dipilih metode yang paling
efektif dan efisien yang sesuai dengan kondisi massa batuan dan tanah pada lokasi
penerowongan.

i
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha


Esa karena dengan izin-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik.
Makalah ini merupakan ulasan tentang Masalah Aspek Geomekanika pada Tahap
Pra Konstruksi dan Tahap Konstruksi Terowongan. Didalam Makalah ini, akan
dijelaskan tentang masalah yang dihadapi pada kegiatan pra konstruksi, masalah
yang dihadapi pada kegiatan konstruksi, serta pemilihan metode konstruksi bukaan
terowngan.
Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu kritik
dan saran penulis harapkan demi sempurnanya makalah ini, sehingga menjadi lebih
baik. Harapan penulis semoga laporan yang disusun ini dapat bermanfaat.

Yogyakarta, Maret 2020

Danu Mirza Rezky

ii
DAFTAR ISI

RINGKASAN ..................................................................................................... i
KATA PENGANTAR ......................................................................................... ii
DAFTAR ISI ....................................................................................................... iii
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... iv
DAFTAR TABEL .............................................................................................. vi
BAB I MASALAH PADA KEGIATAN PRA KONSTRUKSI ...................... 1
1.1 Uji mekanika batuan insitu ........................................................................... 1
1.1.1 Uji kelulusan air (permeability test) ........................................................... 1
1.1.2 Penentuan tegangan insitu .......................................................................... 2
1.1.3 Uji deformasi massa batuan ........................................................................ 5
1.1.4 Pengamatan pergerakan massa batuan ........................................................ 8
1.2 Uji laboratorium ............................................................................................. 12
BAB II MASALAH PADA KEGIATAN KOSTRUKSI ................................ 14
2.1 Uji kelulusan air .............................................................................................. 14
2.2 Pengamatan pergerakan massa batuan (monitoring) ...................................... 14
2.3 Uji laboratorium ............................................................................................. 14
2.4 Metode konstruksi pada terowongan ............................................................. 14
2.4.1 NATM (New Austrian Tunneling Method) ................................................. 14
2.4.2 TBM (Tunneling Boring Machine) ............................................................. 17
BAB III CATATAN PENUTUP ........................................................................ 20
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 22

iii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1 Alat Uji Packer ................................................................................. 1


Gambar 1.2 Alat Hollow Inclusion Strain Cell ..................................................... 3
Gambar 1.3 Jenis baru dari sistem pengukuran stress Hydraulic Fracturing....... 4
Gambar 1.4 Tahap Pengujian Flat Jack ................................................................ 5
Gambar 1.5 Pengukuran Deformasi menggunakan Flat Jack .............................. 6
Gambar 1.6 Plate Loading Test ............................................................................ 7
Gambar 1.7 Kenampakan Plate loading test di lapangan ..................................... 7
Gamnar 1.8 Sketsa peletakan total station di terowongan ................................... 8
Gambar 1.9 Tachymeter, contohnya Leica, TS 09 ............................................... 9
Gambar 1.10 komponen dari monitoring 3D; (1) bi-reflex, (2) prisma, (3) baut,
(4) protecting cap, (5) pre-determined breaking point, (6-7) baut
pemasangan, (8) adaptor ................................................................ 9
Gambar 1.11 Peletakan target (prisma) pada terowongan ................................... 10
Gambar 1.12 Bentuk monitoring 3D di terowongan ............................................ 10
Gambar 1.13 Bentuk dari Extensometer .............................................................. 11
Gambar 1.14 Pengukuran Extensometer dari permukaan ke muka terowongan . 11
Gambar 1.15 Tape Extensometer ......................................................................... 11
Gambar 1.16 Ilustrasi Pengukuran menggunakan Extensometer di dalam
Terowongan .................................................................................... 12
Gambar 1.17 Contoh Pengukuran menggunakan Extensometer di terowongan .. 12
Gambar 2.1 Penggalian terowongan sekuensial, kiri: menunjukkan penampang
dan urutan penggalian; kanan: menunjukkan penggalian
top heading terowongan ................................................................... 15
Gambar 2.2 Tipikal penggalian NATM ................................................................ 16
Gambar 2.3 Kegiatan penggalian terowongan dengan road header ...................... 16
Gambar 2.4 Penggerusan tanah oleh TBM ........................................................... 17
Gambar 2.5 Pembuatan segmen ........................................................................... 18

iv
Gambar 2.6 Pemasangan segmen ......................................................................... 18
Gambar 2.7 Hasil pemasangan segmen (3D) ....................................................... 19
Gambar 2.8 Hasil Pemasangan segmen diterowongan ........................................ 19

v
DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 Kelebihan dan Kelemahan Metode Overcoring.................................... 3


Tabel 1.2 Kelebihan dan Kelemahan Metode Hydraulic fracturing..................... 4
Tabel 1.3 Kelebihan dan Kelemahan metode Flat Jack ....................................... 5
Tabel 1.4 Uji sifat fisik batuan .............................................................................. 13
Tabel 1.5 Uji sifat mekanik batuan ...................................................................... 13
Tabel 3.1 Kelebihan dan Kekurangan NATM ...................................................... 20
Tabel 3.2 Kelebihan dan Kekurangan TBM ........................................................ 21

vi
BAB I
MASALAH PADA KEGIATAN PRA KONSTRUKSI

Ada beberapa kegiatan dalam tahap pra konstruksi yang jika tidak dilakukan
akan menimbulkan masalah ketika kegiatan konstruksi dimulai. Masalah yang
ditemukan pada tahap ini antara lain berkaitan dengan air yang berpotensi
mengganggu terowongan, tegangan insitu, deformasi massa batuan, serta data uji
fisik dan mekanik pada mataterial yang harus dipenuhi. Beberapa komponen
tersebut akan dibahas secara rinci pada bab ini.
1.1. Uji Mekanika Batuan Insitu
Dalam perencanaan terowongan, pengetahuan tentang kondisi massa batuan
sangat diperlukan agar nantinya pada saat konstruksi penerowongan bisa berjalan
dengan baik. Beberapa pengujian insitu dilakukan untuk mengetahui sifat – sifat
mekanik serta karakteristik deformasi massa batuan yang ada di lapangan. Uji
mekanika batuan insitu juga memuat tentang uji kelulusan air pada massa batuan,
untuk mengetahui seberapa besar pengaruh air pada massa batuan di lokasi yang
akan dibangun terowongan nantinya. Berikut beberapa pengujian insitu, antara lain:
1.1.1. Uji kelulusan air ( permeability test)
Merupakan uji yang dilakukan untuk mendapatkan nilai K (konduktivitas
hidrolik) dan nilai Lu (lugeon) yang nanti nya digunakan untuk memperkirakan
pengaruh air yang terjadi pada terowongan, dan cara menanggulanginya. Alat yang
digunakan bernama Packer atau lazim disebut dengan packer test. Standarisasi
pengujian bisa dilihat pada (SNI 2411: 2008).

Gambar 1.1 Alat Uji Packer (SNI 2411: 2008)

1
Pada tahap pra konstruksi uji permeabilitas dimaksudkan untuk analisis
kebocoran yang akan terjadi sepanjangn lintasan terowongan. Akan tetapi masalah
yang mungkin terjadi pada uji permeabilitas ini adalah :
1. Paker test dominan atau banyak dipengaruhi oleh kekar horizontal dan
pengaruh anisotropi dari batuan terkekarkan pada uji permeabilitas tidak
signifikan jika rekahan berkembang dengan baik disekitar interval packer.
Karena pada dasarnya asumsi dari uji kelulusan air bertekanan ini adalah
isotrop.
2. Jumlah kekar yang dipengaruhi dapat ditingkatkan dengan menaikkan
interval packer (memperpanjang jarak interval). Akan tetapi dengan kondisi
alat tersedia, akan sulit untuk mengakomodir interval packer packer yang
panjang, oleh karenanya disarankan interval packer sesuai dengan diameter
terowongan, agar hasil yang didapatkan lebih representatif.
3. Uji kelulusan air bertekanan juga dilakukan pada tahap konstruksi untuk
mengevaluasi hasil yang telah dilakukan pada saat pra konstruksi.
1.1.2. Penentuan Tegangan Insitu
Merupakan salah satu aspek penting dari pekerjaan tahap pra konstruksi
penerowongan, untuk mengetahui distribusi tegangan, regangan, dan kekuatan
massa batuan, sehingga dapat menentukan lokasi atau letak terowongan terbaik
berdasarkan distribusi tegangan dan regangan yang ada. Uji tegangan insitu
memiliki beberapa metode, antara lain:
1. Metode Overcoring
Metode Overcoring pertama kali diadopsi oleh N.Hast pada pengukuran
insitu stress di Skandinavia pada tahun 1950-an. Sebuah penelitian menunjukkan
bahwa 70 %- 80% dari data pengukuran insitu stress didunia diperoleh dengan
menggunakan teknik overcoring. Prinsip metode overcoring adalah membebaskan
seluruh tegangan yang ada di massa batuan dengan memanfaat core dari hasil bor.
Kemudian deformasi pada batuan yang disebabkan oleh pembebasan tegangan
tersebut diukur dengan menggunakan sel yang berisi beberapa pasangan strain
gauges. Dengan diketahuinya karakteristik deformasi batuan dari uji laboratorium
maka keadaan tegangan in-situ dalam batuan dapat dihitung. Alat Overcoring bisa
dilihat pada Gambar 1.2.

2
Gambar 1.2 Alat Hollow Inclusion Strain Cell (Diska, 2017)
Tabel 1.1 Kelebihan dan Kelemahan Metode Overcoring
Kelebihan Kekurangan
Pengujian dapat dilakukan
Teknologinya relatif mahal
dilaboratorium
Penggunaan alat praktis, dimana dapat Membutuhkan full coring untuk
merekam data secara otomatis pengukuran yang representatif
Dapat ditentukan pada setiap Keberhasilan pengukuran tergantung
kedalaman kepada hasil pemboran

2. Metode Hydraulic fracturing


Metode Hidraulic Fracturing adalah teknik pengukuran in-situ sress yang
efektif digunakan pada pengukuran stress untuk daerah yang dalam. Terutama
digunakan untuk pengukuran in-situ stress pada rekayasa tenaga air, rekayasa jalan,
kereta api bawah tanah dan lainlain. Tetapi jarang digunakan dalam teknik
pertambangan. Namun dalam beberapa tahun terakhir, metode ini digunakan dalam
teknik pertambangan untuk estimasi in-situ stress pada tahap eksplorasi tambang.
Metode ini berguna pada tambang untuk mendapatkan informasi in-situ stress
sebelum desain dan kontruksi tambang. Metode Hidraulic Fracturing mengukur
tegangan in-situ didalam massa batuan dengan cara menguji perilaku rekahan yang
sudah ada atau rekahan yang baru dibentuk dengan injeksi air atau fluida lain
sampai tekanan yang diperlukan untuk membuka kembali rekahan tersebut didalam
lubang bor. Analisa dari data yang didapat berupa debit air dan tekanan dapat
menentukan besarnya tegangan normal yang ada pada rekahan yang diuji. Dengan
melakukan pengujian pada berbagai rekahan yang ada di dalam massa batuan maka
keadaan tegangan di dalam massa batuan dapat diketahui. (Cai M, 2011).

3
Gambar 1.3 Jenis baru dari sistem pengukuran stress Hydraulic Fracturing
Tabel 1.2 Kelebihan dan Kelemahan Metode Hydraulic fracturing
Kelebihan Kekurangan
Pengumpulan data dapat dilakukan
Sifatnya destruktif
secara otomatis
Umumnya dilakukan pada tahap Membutuhkan fluida yang banyak
eksplorasi dalam penentuan teganga
Untuk moving alat kini dapat
Pengukuran relatif mahal dan terfokus
dibongkar pasang secara mekanis
pada rekahan pada lubang bor
sehingga lebih praktis

3. Metode Flat Jack


Teknik Flat-Jack a. Pengujian Flat-Jack Pengujian flat jack adalah metode
pengujian langsung dan in-situ yang hanya membutuhkan pembuatan slot pada
dinding. Hal ini dianggap tidak merusak karena kerusakan bersifat sementara dan
mudah diperbaiki setelah pengujian.Pengujian flat jack dapat digunakan untuk
masalah teknik guna mengevaluasi struktur, dimana metode ini juga digunakan
untuk menentukan insitu stress dan compressive strength (Parivallal. Et al 2011) .
Oleh karena itu pengukuran flat jack adalah suatu teknik pengukuran yang sifatnya
insitu test atau langsung di lapangan yang bertujuan untuk mengetahui stress dan
deformasi struktur batuan pada trowongan dan tambang.

4
Tabel 1.3 Kelebihan dan Kelemahan metode Flat Jack
Kelebihan Kekurangan
Pengukuran dilakukan setelah bukaan
atau penggalian
Pengujiannya sederhana dan relatif Dapat terjadi kesalahan dalam
murah pembacaaan hasil pengukuran karena
Non destruktif pembacaan dilakukan secara manual
Moving alat dapat dilakukan dengan
mudah

Gambar 1.4 Tahap Pengujian Flat Jack (Laurenco, 2000)


Masalah yang ditimbulkan pada saat pengukuran tegangan insitu adalah
berkaitan dengan alat yang digunakan, yaitu bagaimana mendapatkan kondisi yang
aktual dengan alat yang memiliki keterbatasan. Karena penentuan tegangan insitu
ini nantinya akan dijadikan acuan untuk menentukan letak lubang bukaan
(terowongan) dan dimensi lubang bukaan berdasarkan distribusi tegangan dan
regangannya.
1.1.3. Uji Deformasi Massa Batuan
Dilakukan pada tahap pra konstruksi untuk mendapatkan nilai modulus
deformasi massa batuan insitu (langsung dilapangan), biasanya nilai modulus
deformasi masa batuan didapatkan lewat pengujian laboratorium, dan hasilnya akan
di konversi untuk mendapatkan nilai modulus deformasi massa batuan. Akan tetapi,
pada tahap pra konstruksi, pengujian insitu dan laboratorium dilakukan untuk

5
memperoleh nilai deformasi massa batuan terkoreksi. Pada uji deformasi massa
batuan, alat yang digunakan antara lain:
1. Flat Jack
Flat Jack selain digunakan untuk menentukan tegangan insitu juga dapat
digunakan untuk mengukur deformasi massa batuan. Yaitu dengan metode flat jack
ganda. Prinsip pengujian ini mirip dengan pengujian flat jack tunggal (tegangan
insitu). Perbedaannya adalah bahwa pengujian dilakukan dengan dua buah flat
jackyang digunakan untuk menerapkan beban. Dengan memotong dua slot paralel,
bagian dari dinding batuan terisolasi dari batuan sekitarnya yang membentuk jarak
(spesimen). Flat jack kemudian diterapkan pada ke kedua slot, dan jarak antara titik
awal diukur. Oleh tekanan hidraulic, beban diterapkan pada spesimen ini akan
menciptakan daerah sekitar tegangan. Dengan peningkatan tekanan di flat jack,
jarak antara titik ukur yang dipasang menurun. Dengan bertahap meningkatkan
tekanan, hubungan tegangan-regangan dapat ditentukan. Kegiatan pemasangan dan
pelepasan juga dapat dilakukan. Berdasarkan kurva percobaan tegangan-regangan,
nilai tekan modulus young dapat dihitung. Jelas, ini hanya bisa dilakukan jika
kekuatan batuan lebih rendah dari tekanan maksimum untuk flat jack.
Selama pengujian gambaran rengangan dipantau, dan ketika pengujian
menjadi sangat non linear atau menunjukkan tanda-tanda kegagalan, maka
pemberian tekanan biasanya diakhiri. Bahkan dalam kasus ini untuk
memperkirakan puncak kuat tekan yaitu dengan ekstrapolasi dari kurva tegangan-
regangan yang diperoleh. Contoh pengukuran deformabilitas atau regangan dapat
dilihat pada Gambar 1.5

Gambar 1.5 Pengukuran Deformasi menggunakan Flat Jack

6
2. Plate Loading Test
Uji beban pelat didasarkan pada penentuan modulus deformasi dengan mengukur
perpindahan massa batuan yang disebabkan oleh pemuatan sebuah (piring bundar) dengan
diameter yang sesuai. Prosedur pengujian, peralatan yang sesuai untuk pengujian dan
perhitungan untuk modulus deformasi atas dasar hasil yang diukur disajikan secara rinci
dalam ISRM (1979). Saat merancang terowongan bawah tanah di mana itu diperlukan
untuk mengidentifikasi modulus deformasi bergantung kedalaman, tes ini dilakukan
langsung di terowongan.

Gambar 1.6 Plate Loading Test (Hoek, Diwderichs 2006)

Gambar 1.7 Kenampakan Plate loading test di lapangan

7
1.1.4. Pengamatan Pergerakan Massa Batuan
Pengamatan (monitoring) pergerakan massa batuan biasanya dilakukan dari
tahap pra konstruksi sampai tahap konstruksi. Pada tahap pra konstruksi monitoring
dilakukan untuk mendapatkan besarnya perpindahan (displacement) massa batuan
per satuan waktu. Yang nantinya hasil ini bisa dilakukan untuk menilai penyangga
yang efektif digunakan berdasarkan perpindahan (displacement) massa batuan.
1. Absolute 3D Displacement Monitoring
Selama dua dekade terakhir, pemantauan perpindahan 3D telah menjadi
praktik yang lazim dan tepat waktu dengan akurasi yang tinggi, secara bertahap
telah menggantikan teknik (metode) lain. Pengukuran dilakukan dengan
menggunakan total station (tachymeter) dan target prisma serta target bireflex
(reflektor) digunakan dan posisi spasialnya di dalam sistem koordinat global atau
proyek yang ditentukan. Perpindahan tiga dimensi diskrit pengukuran dilakukan
dengan pengukuran berulang (umumnya setiap hari). Sebagai pemantauan lengkap
umumnya tidak dapat dilakukan dari satu posisi, pengamatan yang saling terkait
diperlukan skema, yang dibangun menggunakan titik referensi identik (Gambar
1.8). Stabil titik referensi dibedakan dari titik yang masih bergerak. Poin dengan
yang ditentukan tingkat perpindahan maksimum (umumnya <1mm / bulan) dapat
digunakan sebagai titik referensi

Gambar 1.8 Sketsa peletakan total station di terowongan (OGG, 2014)

8
Persyaratannya untuk monitoring ini antara lain : (OGG, 2014)
a. Jarak antara instrumen dan titik referensi terdekat: 10 - 30 m
b. Jarak minimum ke titik referensi terjauh: 90 m
c. Jarak maksimum ke titik pemantauan: 80 m
d. Jarak maksimum antara posisi instrumen: 110 m
e. Latakkan alat pada daerah yang stabil
f. Mulai pengukuran dari titik terjauh

Gambar 1.9 Tachymeter, contohnya Leica, TS 09


Target atau prisma yang akan di tembak (shoot) koordinatnya adalah seperti gambar
berikut.

Gambar 1.10 komponen dari monitoring 3D; (1) bi-reflex, (2) prisma, (3) baut, (4)
protecting cap, (5) pre-determined breaking point, (6-7) baut pemasangan, (8)
adaptor.

9
Posisi peletakan target pada terowongan adalah seperti gambar berikut.

Gambar 1.11 Peletakan target (prisma) pada terowongan (OGG, 2014)

Gambar 1.12 Bentuk monitoring 3D di terowongan


2. Extensometer
Extensometer digunakan untuk menentukan gerakan tanah/batuan dengan
mengukur pemendekan atau perpanjangan (perpindahan relatif) antara dua titik,
yang menghasilkan penilaian perkembangan strain dan stabilisasi gerakan di
tanah/batuan sekitarnya. Instrumen Ini dapat dipasang baik dari permukaan tanah
(sebelum permukaan terowongan mencapai area instrumen) atau dari dalam
terowongan (secara radial dari dinding terowongan atau sepanjang sumbu
terowongan di depan permukaan galian. Ketepatan pengukuran adalah dari urutan
0,01 mm. Pengukuran ini dapat digunakan untuk menilai luas zona pengaruh di
sekitar terowongan. Pertama lubang bor dibuat pada lokasi yang dipilih dan
kemudian ekstensometer dimasukkan dengan semua aksesori yang serumpun
(gambar 1.13). Tindakan ekstensometer gerakan regangan batu dan simpan dalam
memori bawaan. Data dikumpulkan melalui komputer. Data kemudian diplotkan
melalui perangkat lunak untuk mendapatkan titik kritis deformasi batuan/tanah
(gambar 1.14).

10
Gambar 1.13 Bentuk dari Extensometer (Riaz, 2015)

Gambar 1.14 Pengukuran Extensometer dari permukaan ke muka terowongan


Dan untuk monitoring pergerakan dari massa batuan didalam terowongan bisa
diihat pada gambar berikut.

Gambar 1.15 Tape Extensometer (Riaz, 2015)

11
Gambar 1.16 Ilustrasi Pengukuran menggunakan Extensometer di dalam
terowongan (Riaz, 2015)

Gambar 1.17 Contoh Pengukuran menggunakan Extensometer di terowongan


(Riaz, 2015)
1.2. Uji Laboratorium
Uji laboratorium sangat penting dilakukan untuk menilai perilaku batuan
dilapangan secara komprehensif atau menyeluruh. Selain uji insitu yang digunakan
untuk mengetahui perilaku asli batuan dilapangan. Uji lab berguna untuk menilai
perilaku batuan apabila dikenai tekanan dan suhu yang berbeda. Dan juga Hasil uji
lab akan digunakan untuk menentukan bukaan atau dimensi terowongan, serta

12
sistem penyanggaan yang akan digunakan. Beberapa uji laboratorium yang
dilakukan dalam perencanaan terowongan adalah :
Tabel 1.4 Uji sifat fisik batuan
No Pengujian Parameter
1 Sifat fisik Berat jenis (G), Bobot isi (𝛾), Porositas (n), Void ratio (e),
Kandungan air alami (w), Kandungan air jenuh, Derajat saturasi
(S), dan permeabilitas (k)

Tabel 1.5 Uji sifat mekanik batuan


No Pengujian Parameter
1 Kuat tekan uniaksial Kuat tekan uniaksial, modulus elastisitas, poisson ratio
2 Kuat Tarik Kuat tarik
3 Kuat geser Kuat geser, kohesi, sudut geser dalam
4 Uji teriaksial Kohesi, sudut geser dalam, kuat geser, kurva intriksik

Akan menjadi masalah dikemudian hari apabila uji laboratorium tidak


dilakukan pada tahap pra konstruksi, karena dari uji inilah bisa ditentukan bukaan
terowongan yang akan digunakan, serta sistem perkuatan/penyanggaan yang
diterapkan, bahkan pada tahap konstruksi pun uji laboratorium masih digunakan,
apabila terjadi hal diluar dugaan, atau ada kekurangan data yang mengharuskan uji
laboratorium kembali dilakukan.

13
BAB II
MASALAH PADA KEGIATAN KONSTRUKSI

Masalah pada tahap konstruksi muncul ketika data yang tidak valid atau
kurang pada saat tahap pra konstruksi, atau terjadi hal diluar dugaan yang
sebelumnya tidak terprediksi pada saat tahap pra konstruksi. Beberapa kegiatan
yang dilakukan pada tahap konstruksi dikarenakan kekurangan data pada saat tahap
pra konstruksi dan untuk memvalidasi hasil tahap pra konstruksi.
2.1. Uji Kelulusn Air (permeabilitas)
Biasanya uji ini dilakukan pada tahap konstruksi untuk memvalidasi hasil
pada tahap pra konstruksi. Jika nilai lugeon yang didapatkan lebih besar dari 3 (rule
of thumb), maka massa batuan tersebut memerlukan perbaikan yang dilakukan
dengan grouting.
2.2. Pengamatan Pergerakan Massa Batuan (monitoring)
Dilakukan pada tahap konstruksi untuk mengevaluasi hasil monitoring yang
dilakukan pada tahap pra konstruksi. Dan juga memberi informasi mengenai
kestabilan terowongan pada saat konstruksi, serta memberikan infomasi tentang
seberapa efektif kinerja penyangga terhadap perpindahan (displacement) massa
batuan di sekitar terowongan.
2.3. Uji Laboratorium
Uji laboratorium menjadi penting untuk dilakukan apabila pada saat
konstruksi kontraktor kekurangan data tentang massa batuan yang akan digunakan
untuk pembuatan terowongan. Kontraktor bisa mengevaluasi sekaligus merevisi
data yang telah diberikan pemilik proyek berdasarkan hasil pra konstruksi.
2.4. Metode Konstruksi pada terowongan
Hal ini juga menjadi perhatian khusus dalam tahap konstruksi terowongan.
Pemilihan metode konstruksi juga melihat kondisi massa batuan dan tanah di lokasi
yang akan di buat terowongan. Metode konstruksi terowongan antara lain :
2.4.1. NATM (New Austrian Tunneling Method)
Metode tunneling Austria Baru (NATM), juga dikenal sebagai metode
penggalian sekuensial (SEM) adalah metode desain dan konstruksi terowongan
modern. Teknik ini pertama kali mendapat perhatian pada 1960-an berdasarkan

14
karya Ladislaus von Rabcewicz, Leopold Müller, dan Franz Pacher antara 1957 dan
1965 di Austria. Nama NATM dimaksudkan untuk membedakannya dari
pendekatan tunneling Austria lama. Perbedaan mendasar antara metode tunneling
baru ini, berbeda dengan metode sebelumnya, berasal dari keuntungan ekonomi
yang tersedia dengan mengambil keuntungan dari kekuatan geologis yang melekat
yang tersedia dalam massa batuan di sekitarnya untuk menstabilkan terowongan.
Golser (1979) menekankan bahwa tunneling yang hemat biaya
membutuhkan penggunaan yang cepat, peralatan modern untuk penggalian penuh
muka terowongan pada sayatan melintang yang besar. Namun, untuk alasan
stabilitas baiknya menggali bagian yang lebih kecil terlebih dahulu, misalnya upper
heading dan benching, lengkungan bagian atas, bagian inti dan invert arch secara
berurutan sperti pada Gambar 2.1.

Gambar 2.1 Penggalian terowongan sekuensial, kiri: menunjukkan penampang


dan urutan penggalian; kanan: menunjukkan penggalian top heading terowongan.
(Amberg, Cristini, 1986)
Pada kondisi tanah yang khususnya tidak stabil, pembagian lebih lanjut dari
bagian ini bisa sangat penting, menggali alternatif zona yang diilustrasikan
misalnya pada Gambar 2.1 yang di adopsi dari jalan raya terowongan dekat dengan
Florence, digali di sekat lempung di mana prosedur penggalian berikut diterapkan:
1. Dalam lengkungan (I) meninggalkan inti pusat untuk menopang dinding dan
atap. Sesaat setelah penggalian, eksekusi lapisan pertama yang diperkuat
dengan shotcrete, Asosiasi antar light ribs dan peningkatan lebih lanjut dari
ketebalan shotcrete sampai nilai final (II).

15
2. Penggalian inti terowongan (III) dan paritan samping dengan bertahahap (IV),
kemudian penguatan dengan lapisan shotcrete dan rusuk baja (V).
3. Penggalian parit bagian bawah (VI), kemudia eksekusi invert arch. Begitu
seterusnya tahap ini dilakukan berurutan dan berulang untuk setiap kemajuan
penggalian.

Gambar 2.2 Tipikal penggalian NATM (Prof..Helmut F. Schweiger)

Gambar 2.3 Kegiatan penggalian terowongan dengan road header

16
2.4.2. TBM (Tunneling Boring Machine)
Tunnel boring machine (TBM) adalah alat penggali terowongan. Karena
bentuk mesin yang menyerupai silinder, permuka terowongan yang terbentuk jadi
seperti lingkaran. Sebuah Tunnel Boring Machine (TBM) adalah suatu system yang
tidak dapat berdiri sendiri- sendiri. TBM yang lengkap bisa mencapai panjang 300
meter yang terdiri dari alat pemotong, alat penggali, system kemudi, gripping,
pengebor, pengontrol, dan penyokong tanah, pemasang lining, alat pemindah
material, system ventilasi serta sumber tenaga. Sedangkan pekerjaan rel,
pembangkit tenaga dan saluran ventilasi dikerjakan pada bagian belakang TBM
merupakan pekerjaan pendukung. (JSCE, 2001)
TBM dapat digunakan pada batuan lunak hingga batuan keras. Diamater alat
ini bervariasi mulai dari semeter hingga 19 meter. TBM dilengkapi dengan mata
bor yang tersebar di permukaan kepala bor. Kepala bor yang berbentuk silinder ini
kemudian berputar dan menggerus batuan. Begitu seterusnya sambil TBM bergerak
maju. TBM digunakan sebagai alternatif metode drilling and blasting (D&B).
Drilling and blasting merupakan metode konvensional untuk membuat terowongan
yang terdiri dari beberapa tahap dengan drilling (membor) dan blasting
(meledakkan) sebagai dua tahap paling utama.
Cara kerja TBM sebagai berikut :
1. Penggerusan tanah
Kepala bor yang berbentuk silinder ini akan berputar dan menggerus tanah
dan batuan. Begitu seterusnya sambil TBM bergerak maju. Tanah yang masuk pada
silinder akan dialirkan ke belakang melalui screw conveyor dan conveyor-conveyor
yang lain.

Gambar 2.4. Penggerusan tanah oleh TBM

17
2. Pemasangan segmen
Setelah penggerusan tanah kemudian dipasanglah segmen-segmen untuk
dinding terowongan. Segment-segment tersebut telah dibuat sebelumnya bisa di site
langsung atau di tempat lainnya.

Gambar 2.5 Pembuatan segmen

Gambar 2.6. Pemasangan segmen

18
Gambar 2.7 Hasil pemasangan segmen (3D)

Gambar 2.8 Hasil Pemasangan segmen diterowongan

19
BAB III
CATATAN PENUTUP

Masalah aspek geomekanika pada saat tahap pra konstruksi dan konstruksi
selalu ditemukan. Masalah yang ditemukan pada tahap pra konstruksi yaitu tentang
permeabilitasi air di lokasi penerowongan, tegangan insitu, deformasi massa
batuan, monitoring pergerakan massa batuan, dan uji laboratorium. Yang mana data
tentang hal tersebut harus dipenuhi untuk persyaratan rancangan bukaan
terowongandan sistem penyanggannya. Sedangkan pada tahap konstruksi,
pekerjaan pada tahap pra konstruksi bisa saja terulang kembali untuk memvalidasi
pekerjaan tahap pra konstruksi, seperti uji permeabilitas dan monitoring. Ada
kalanya kondisi uji laboratorium dilakukan kembali pada tahap konstruksi, jika data
mengenai massa batuan dan tanah di sekitar bukaan terowongan kurang atau tidak
memadai. Hal ini dilakukan agar pada tahap konstruksi kejadian diluar dugaan bisa
diminimalisir.
Selanjutnya untuk metode konstruksi pada terowongan, dimana pada paper
ini yang dibahas hanya NATM dan TBM. Contoh Konstruksi terowongan dengan
NATM di Indonesia adalah Tol Cisumdawu, dan contoh konteruksi terowongan
dengan TBM di Indonesia adalah proyek MRT di Jakarta. Kelebihan dan
kekurangan NATM dan TBM bisa dilihat di Tabel 3.1 dan Tabel 3.2.
Tabel 3.1. Kelebihan dan Kekurangan NATM (Palmstrom, 1993)
Kelebihan Kekurangan
Relatif lebih murah Kurang cocok untuk batuan rapuh (brittle)
Penyesuaian perkuatan kondisi
Dalam massa batuan tidak homogen di mana
massa batuan sekitar terowongan
konsentrasi tegangan pada lapisan dapat
dengan shotcrete dan perkuatan
keruntuhan.
lainnya.
Di beberapa terowongan dengan anisotropik
Fleksibel dalam mobilisasi alat tinggi, batuan akan menekankan atap di mana
efek melengkung (arch) tidak berkembang.

20
Tabel 3 2. Kelebihan dan Kekurangan TBM
Kelebihan Kekurangan
TBM dapat digunakan pada Harganya yang mahal, perlu infrastruktur
batuan lunak hingga batuan keras penunjang dilapangan
Terowongan yang digali dengan
TBM akan langsung memiliki Mobilisasi alat yang susah, alat dikirim
permukaan rata hingga tidak lagi terpisah dan di rakit lagi di lokasi
diperlukan pekerjaan finishing penerowongan.

TBM bekerja layaknya robot Data mengenai kondisi massa batuan harus
yang tidak hanya melakukan dipersiapkan dengan baik sebelum
pengeboran namun juga penerowongan, untuk mengurangi dampak
menyemen dan membeton negatif, sebelum konstruksi bisa dilakukan
terowongan pilot tunnel.

21
DAFTAR PUSTAKA

1. Amberg, W. dan Cristini, F. (1986). The new Austrian tunnelling method in


railway tunnel construction. Rasegna dei lavori pubblici, No 5, pp. 241 – 252.
2. Austrian Society for Geomechanics. (2014). Geothecnical monitoring in
conventional tunneling. Salzburg: OGG.
3. Brady, B.H.G dan Brown, E.T. (2004). Rock Mechanics For Underground
Mining. US : Kluwer Academic Publishers.
4. Diska, Mhd Hafiz dan Murad, MS. (2020). Analisis Kestabilan Lubang
Bukaan Dengan Pengujian Flat Jack Pada Dinding Tunnel 1 Tambang
Bawah Tanah PT Allied Indo Coal Jaya, Sawahlunto. Jurnal Bina Tambang,
Vol. 5, No. 2.
5. Golser, J. (1979). Another view of the NATM. Tunnels & Tunnelling, March
1979,pp. 41.
6. Haak, A. (1987). Where are the limis if the new Austrian tunnelling
method?. Extracts from a discussion in Tunnel 3187, pp. 126-128.
7. JSCE. (2001). Japanese standard for shield tunneling, third edition, 1996.
Doboku Gakkai.
8. Palmstrom A. (1993). The New Austrian Tunneling Method.
Fjellsprengingsteknikk, Bergmekanikk/Geoteknikk 1993.

22

Anda mungkin juga menyukai