Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH CMHN

“ Konsep Bencana dan Tindakan Kriris “

Dosen Mata Kuliah :


Ns. Amelia Susanti, M. Kep. Sp. Kep. J

Disusun Oleh :
Ratih indah permata sari (1710105062)
Keperawatan VI B

Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Alifah Padang


Prodi S1 Keperawatan
2020
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat
dan karunia-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah
yang berjudul“ KONSEP BENCANA DAN TINDAKAN KRISIS” Penulisan
makalah ini bertujuan untuk memenuhi salah satu tugas dari Dosen Mata Kuliah
KEPERAWATAN CMHN.

Makalah ini ditulis berdasarkan berbagai sumber yang berkaitan dengan


materi, serta infomasi dari berbagai media yang berhubungan dengan “KONSEP
BENCANA DAN TINDAKAN KRISIS”. Tak lupa penulis sampaikan terima kasih
kepada pengajar mata kuliah Keperawatan CMHN atas bimbingan dan arahan dalam
penulisan makalah ini, dan juga kepada rekan-rekan mahasiswa yang telah
memberikan masukan dan pandangan, sehingga dapat terselesaikannya makalah ini.
Penulis berharap makalah ini dapat menambah wawasan mengenai
Keperawatan CMHN, terutama materi mengenai “KONSEP BENCANA DAN
TINDAKAN KRIRIS”, sehingga saat kita praktik, kita dapat meminimalisir
kesalahan yang akan terjadi. Penulis berharap bagi pembaca untuk dapat memberikan
pandangan dan wawasan agar makalah ini menjadi lebih sempurna.
Akhir kata, penulis mohon maaf apabila dalam penulisan makalah ini
terdapat banyak kesalahan.

Padang, Maret 2020

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang............................................................................................................
B. Tujuan.........................................................................................................................

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Bencana.....................................................................................................
B. Penyebab Bencana......................................................................................................
C. Proses Terjadinya Bencana.........................................................................................
D. Respons Terhadap Bencana........................................................................................
E. Manajemen Bencana...................................................................................................
F. Peran Perawat CMHN.................................................................................................
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan

DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Bencana dapat terjadi dimana saja dan kapan saja di seluruh penjuru
dunia. Bencana dapat berdampak kepada individu, keluarga dan komunitas.
Bencana adalah gangguan serius yang mengganggu fungsi komunikasi atau
penduduk yang menyebabkan manusia mengalami kerugian, baik kerugian
materi, ekonomi atau kehilangan penghidupan yang mana berpengaruh
terhadap kemampuan koping manusia itu sendiri.
Kejadian bencana mengalami peningkatan setiap tahun. Pada tahun
2012 terdapat 1.811 kejadian dan terus meningkat hingga pada tahun 2016
terdapat 1.986 kejadian bencana (Badan Nasional Penanggulangan Bencana
[BNPB], 2013, Gaffar, 2015 ; BNPB, 2016). Sumatera Barat menjadi salah
satu provinsi di Indonesia yang menjadi 5 provinsi tertinggi kejadian bencana.
Kondisi ini disebabkan karena geografis Sumatera Barat yang berada pada
jalur patahan sehingga beresiko terhadap bencana, dan Kota Padang menjadi
urutan pertama daerah yang paling beresiko tinggi (BNPB, 2014).
Besarnya angka kejadian dan dampak yang ditimbulkan oleh bencana
sehingga membutuhkan upaya penanggulangan. Penanggulangan bencana
adalah upaya sistematis dan terpadu untuk mengelola bencana dan
mengurangi dampak bencana, diantaranya penetapan kebijakan dalam
bencana, pengelolaan resiko berupa usaha pencegahan dan mitigasi,
kesiapsiagaan, tanggap darurat serta upaya pemulihan berupa rehabilitasi dan
rekonstruksi. Penanggulangan bencana oleh perawat pada tahap tanggap
darurat meliputi pengkajian bencana oleh perawat pada tahap tanggap darurat
meliputi pengkajian secara cepat dan tepat terhadap korban bencana serta
pemberian bantuan hidup dasar (Loke, 2014; Veenema, 2016).
Untuk memaksimalkan upaya penanggulangan bencana di bidang
kesehatan, pelayanan kesehatan harus mempersiapkan tenaga kesehatan yang
profesional. Tenaga kesehatan dalam sebuah rumah sakit yang paling banyak
adalah perawat. Perawat sebagai tenaga kesehatan memiliki peran sebagai
responden pertama dalam menangani korban bencana di rumah sakit. Semua
perawat mempunyai tanggung jawab dalam perencanaan dan keterlibatan
dalam menangani korban. Perawat harus mengetahui apa yang akan mereka
lakukan baik ketika mereka sedang bekerja atau tidak bekerja sewaktu
bencana terjadi. Perawat harus mengetahui bagaimana mobilisasi bantuan,
mengevakuasi pasien-pasien dan mencegah penyebaran bencana. Perawat
juga harus mengenal diri mereka sendiri dan perencanaan-perencanaan rumah
sakit dalam mengatasi bencana (Rokkas, 2014).
Perawat IGD yang berperan penting dalam tim penyelamatan saat
bencana, secara terus menerus berjuang di garis depan operasi
penanggulangan bencana. Persiapan perencanaan penanggulangan bencana
yang baik adalah kunci dari penanggulangan bencana yang efektif. Derajat
kesiapan perawat IGD dalam menghadapi bencana secara langsung
berhubungan dengan sukses atau tidaknya keperawatan bencana yang mana
berpengaruh besar terhadap respond dan penyembuhan korban bencana di
rumah sakit (Arbon dkk, 2013).
B. Tujuan
Untuk mendapatkan informasi tentang ilmu keperawatan khususnya
pada bidang keperawatan kesehatan jiwa komunitas.
BAB II
TINJAUAN TEORI

Konsep bencana
A. Pengerian bencana
Bencana adalah kejadian yang disebabkan oleh perbuatan manusia
ataupun perubahan alam yang mengakibatkan kerusakan dan kehancuran
sehingga perlu bantuan orang lain untuk memperbaikinya. Bencana akan
selalu menimbulkan kerugian dan penderitaan serta mempengaruhi aspek-
aspek kehidupan seseorang, keluarga, kelompok maupun masyarakat
secara umum sehingga diperlukan cara-cara khusus untuk mencegah dan
mengelolanya.
Bencana yang terjadi dapat dibagi berdasarkan sifatnya sebagai
alamiah maupun buatan manusia dan mengakibatkan penderitaan dan
kesengsaraan sehingga korban bencana membutuhkan bantuan orang lain
untuk memenuhi kebutuhannya. Secara lebih sederhana pengertian
bencana adalah kejadian yang membutuhkan usaha ekstra keras, lebih dari
respons terhadap situasi kedaruratan biasa.
B. Penyebab bencana
Bencana dapat terjadi secara alamiah maupun dibuat oleh manusia.
Beberapa kejadian alam yang menyebabkan bencana antara lain gunung
meletus, gempa bumi, banjir bandang, angin topan, tsunami, angina
putting beliung, dan wabah. Sedangkan kejadian buatan manusiayang
menimbulkan bencan antara lain terror bom, konflik pertikaian yang
berkepanjangan.
Biasanya bencana alam disertai oleh adanya benda-benda secara
kimia, biologis, ataupun fisik dapat mengancam keselamatan, kesehatan,
atau harta benda yang dimiliki manusia. Lahar dan awan panas dari
letusan gunung merapi, air bah akibat banjir, angina yang menyertai topan,
gas-gasyang berbahaya yang muncul dari tanah akibat gempa, asap
beracun akibat kebakaran, dan lain-lain adalah benda-benda yang
menyertai bencana.
C. Proses terjadinya bencana :
a. Non bencana
Kita telah ketahui bersama bahwa daerah-daerah tertentu diindonesia
cenderung mudah mengalami bencana gempa karena Indonesia terletak
pada jalur gempa. Kondisi non-bencana adalah kondisi tidak ada bencana
(stabil) pada lokasi rawan bencana seperti daerah pantai atau pegunungan,
daerah jalur gempa, daerah pinggiran sungai, lokasi pemukiman padat,
gedung-gedung tinggi dan lain-lain.

b. bencana
Tahapan ini meliputi 2 kondisi yaitu prabencana (saat diprediksi akan
terjadi bencana belum benar-benar terjadi) dan bencana (24 pukul pertama
setelah terjadi bencana). Karakteristik fase ini adalah tanda-tanda awal
terjadinya bencana (seperti air yang meninggi, uap panas, dan butiran batu
dari kawah gunung berapi), hingga 24 pukul setelah bencana.
Untuk itu yang dilakukan adalah mengingatkan masayarakat
(peringatan siaga I-III), mobilisasi, dan evakuasi jika perlu.
Segera setelah terjadinya bencana individu atau masyarakat pada area
yang terkena akan mengalami trauma dan berada pada situasi krisis akibat
perubahan yang terjadi secara tiba-tiba ddalam kehidupannya. Perubahan
ini dapat mengakibatkan penderitaan dan kesengsaraan bagi individu
maupun masyarakat yang terkena. Beberapa kondisi yang biasanya
menyertai bencana antara lain adalah kematian, kerusakan dan kehilangan
harta benda, serta perpisahan dengan orang yang dicintai.

c. Pasca bencana
Individu yang mengalami bencana dapat dipastikan akan mengalami
trauma. Trauma adalah cedera fisik yang diisebabkan oleh tindakan
kekerasan, kerusakan ataupun masuknya zat racun kedalam tubuh, atau
cedera psikologis akibat syok emosionl yang berat. Trauma psikologis
sama pentingnya dengan trauma fisik, bahkan dapat meninggalkan “luka
hati” yang tak kunjung sembuh.
Kondisi trauma yang dialami korban bencana menyebabkan kondisi
krisis. Krisis adalah reaksi terhadap kejadian, masalah atau trauma yang
sangat dari individu akibat ketidak mampuan untuk mengurangi
ketegangan dan kecemasan yang dialami. Perubahan yang terjadi secara
tiba-tiba akibat sesuatu kejadian sehingga menimbulkan kegoncangan
(ketidak seimbangan) emosional merupakan kondisi yang menandakan
terjadinya krisis.
Bencana meninggalkan dampak psikologis yang bervariasi pada
individu yang terkena. Dukungan emosional sangat penting untuk
membantu individu memulai proses penyembuhannya dan membantu
mereka mengatasi penderitaan yang dialami akibat bencana.
Untuk mengatasi respons krisis pascatrauma, tindakan yang dilakukan
yang ditunjukan pada kondisi pascabencana meliputi fase emergensi
(segera setelah bencana) dan fase rekonstruksi (mulai diberikan bantuan
yang terkonsentrasi pada perbaikan aspek-aspek kehidupan yaitu
kebutuhan dasar manusia).
D. Respons terhadap bencana
Dampak psikologis yang diakibatkan bencana sangat bervariasi.
Faktor keseimbangan yang memengaruhi respons individu terhadap krisis
adalah persepsi terhadap kejadian, sistem pendukung yang dimiliki
mekanisme koping yang digunakan. Reaksi emosi dapat di obeservasi dari
individu yang menjadi korban. Ada 3 tahap reaksi emosi yang dapat
terjadi setelah bencana :
1. Reaksi individu segera (24 pukul) setah bencana adalah :
a. Tegang, cemas, panic
b. Terpaku, linglung, syok, tidak percaya
c. Gembira atau euphoria, tidak terlalu merasa menderita
d. Lelah, bingung
e. Gelisah, menangis, menarik diri
f. Merasa bersalah
Reaksi ini masih termasuk reaksi normal terhadap situasi yang
abnormal dan memerlukan upaya pencegahan primer.
2. Minggu pertama sampai ketiga setelah bencana :
a. Ketakutan, waspada, sensitif, mudah marah, kesulitan tidur
b. Khawatir, sangat sedih
c. Mengulang-ulang kembali (flashback) kejadian
d. Bersedih
e. Reaksi positif yang masih dimiliki: berharap atau berpikir tentang
masa depan, terlibat dalam kegiatan menolong dan menyelamatkan
f. Menerima bencana sebagai takdir
Kondisi ini masih termasuk respons normal yang membutuhkan
tindakan psikososial minimal, termasuk untuk respons yang
maladaptif
3. Lebih dari minggu ketiga setelah bencana. Reaksi yang diperlihatkan
dapat menetap dan dimanifestasikan dengan :
a. Kelelahan
b. Merasa panic
c. Kesedihan terus berlanjut, pesimis dan berfikir tidak realistis
d. Tidak beraktifitas, isolasi, dan menarik diri
e. Kecemasan yang dimenifestasikan dengan palpitasi, pusing, letih,
mual, sakit kepala, dll.
Pada sebagian korban bencana yang selamat dapat mengalami
gangguan mental akut yang timbul dari beberapa minggu hingga
berbulan-bulan sesudah bencana. Beberapa bentuk gangguan tersebut
antara lain reaksi akut terhadap stress, berduka dan berkabung,
gangguan mental yang terdiagnosis, gangguan penyesuaian, gangguan
mental yang kambuh kembali atau semakin berat, dan
psikosomatis.Kondisi ini membutuhkan bantuan psikososial dari
tenaga kesehatan profesional.
E. Manajemen bencana
Setelah mempelajari tahapan bencana dan berbagai respons individu
terhadap bencana maka tindakan keperawatan dalam mengelola bencana
sesuai dengan proses terjadinya terbagi dalam 3 tahapan :
1. Program antisipasi untuk kondisi pra-bencana.
Pada tahap ini lingkup tindakan ditunjukan pada kesiapan individu
dan masyarakat untuk mengantisipasi bencana yang akan terjadi. Pada
lokasi-lokasi yang diperkirakan mengalami bencana perlu dilakukan
tindakan antisipasi agar masyarakat dapat melakukan tindakan yang
tepat apabila terjadi bencana.
Secara profesional petugas kesehatan perlu mengetahui secara jelas
rencana penanganan bencana (protap) yang telah disusun dan
berkoordinasi dengan pihak-pihak terkait, terutama Palang Merah
Indonesia. Masyarakat perlu diajarkan beberapa hal yang merupakan
tanda-tanda bencana, mengingatkan bencana yang pernah terjadi
sebelumnya, mengingat tindakan yang perlu dilakukan masyarakat,
mobilisasi, dan evakuasi jika perlu. Beberapa contoh tindakan
antisipatif.
Bila terjadi gempa bumi ingat :
a. Segera berlindung dibawah meja dan lindung kepala saat
berada dalam ruangan.
b. Bila berada dibangunan bertingkat berlari kelantai yang lebih
tinggi.
c. Selamatkan diri terlebih dahulu sebelum menyelamatkan orang
lain.
Tanda-tanda terjadi tsunami :
a. Bila terdengar suara gemuruh tetapi tidak disertai hujan
b. Bila air laut dipantai surut mendadak
c. Bau belerang/garam laut tercium dari jarak yang cukup jauh
d. Bila terjadi gempa berkekuatan besar

2. Tindakan segera untuk kondisi segera setelah bencana


Segera setelah bencana perilaku yang terlihat adalah masyarakat
saling membantu satu sama lain (karena bantuan dari luar belum ada).
Jenis bantuan yang perlu segera diberikan dari luar daerah bencana
antara lain berupa bantuan kesehatan, perbaikan komunikasi dan
transportasi, deteksi terhadap penyakit menular dan gangguan mental
serta evakuasi korban selamat jika diperlukan.
Tindakan yang perlu dilakukan harus sesuai dengan area yang
mengalami bencana dan bantuan yang dibutuhkan :
1. Tingkat I. Bencana pada tingkat ini membutuhkan bantuan
emergensi medik, kepolisian, pemadam kebakaran, SAR dari
daerah setempat. Contoh kebakaran pada sebuah rumah,
tenggelam dan kecelakaan lalu lintas.
2. Tingkat II. Pada tinggat ini dibutuhkan bantuan dengan
cakupan yang lebih luas biasanya melibatkan tim kesehatan,
SAR dan kepolisian satu provinsi karena lokasi bencana yang
lebih luas. Contoh kecelakaan atau bom di sebuah gedung atau
area khusus.
3. Tingkat III. Pada tingkat ini penanganan bencana sudah
membutuhkan bantuan dari berbagai unsur di masyarakat yang
melibatkan satu Negara, seperti gempa bumi, angina rebut,
banjir bandang, dan air bah.

Tsunami dan bencana di Aceh dan Nias termasuk pada bencana


tingkat III.Saat terjadi bencana dimana masyarakat mengalami krisis
maka keterlibatan tenaga kesehatan sangat diperlukan. Relawan
kesehatan mental dibutuhkan segera setelah terjadinya bencana,
terutama di tempat-tempat yang bermasalah seperti rumah sakit dan
tempat pengungsian. Gunakan metode “ jemput bola “ (mendatangi
para korban) dalam memberikan bantuan pada korban. Jika melakukan
penanganan pada kondisi tersebut di atas penanganan dilakukan di
tempat pasien berada, di RS, puskesmas, atau pengungsian.
Bila menemukan korban-korban dengan kondisi mental yang berat
(gangguan orientasi realita [ halusinasi, waham, bicara kacau]) segera
rujuk ke pelayanan kesehatan ( puskesmas, RSU, RS) agar
memperoleh perawatan atau pengobatan yang lebih tepat oleh perawat
kesehatan jiwa kesehatan jiwa masyarakat, psikolog dan psikiater.
Bentuk tindakan keperawatan yang lain yang dapat dilakukan adalah
melatih para korban untuk mengatasi rasa berdukanya atau
memberikan penyuluhan massal tentang manajemen stress.
3. Tindakan pemulihan pascabencana
Tindakan pada tahap pemulihan (recovery)adalah keterlibatan
seluruh pihak untuk bergerak bersama memperbaiki kondisi ekonomi
dan kehidupan masyarakat. Kondisi yang menunjukan kondisi
perbaikan diantaranya adalah adanya penanganan masalah-masalah
kesehatan oleh departemen kesehatan atau dinas kesehatan bersama
dengan LSM yang terkait, pembangunan perumahan dan jalan-jalan
oleh departemen pekerjaan umum dan lembaga terkait, keamanan oleh
tentara atau polisi, air bersih oleh PAM, makanan, minuman, pakaian
oleh kementrian kesejahteraan rakyar, dan lain-lain.
Tindakan yang dilakukan pada fase ini adalah perbaikan, penataan
kembali dan mitigasi. Tindakan yang termasuk ke dalam fase
perbaikan meliputi pembangunan kembali sarana fisik yang rusak,
kembali sekolah dan bekerja serta melanjutkan kehidupan sesuai
dengan kondisi saat ini.
Pada pelayanan kesehatan prevensi primer \ditujukan bagi
masyarakat yang tidak terganggu sedangkan pada masyarakat yang
menunjukkan masalah psikososial dan gangguan jiwa pemulihan
dilaksanakan melalui prevensi sekunder.
F. Peran perawat CMHN
Peran perawat diharapkan dalam setiap bencana yang terjadi.
Peranperawat menurut fase bencana :
1. Fase pre impact
a. Perawat mengikuti pendidikan dan pelatihan bagi tenaga
kesehatan dalam penanggulangan ancaman bencana untuk
setiap fasenya.
b. Perawat ikut terlibat dalam berbagai kegiatan pemerintah,
organisasi lingkungan, Palang Merah Nasional, maupun
lembaga-lembaga kemasyarakatan dalam memberikan
penyuluhan dan simulasi memberikan tanggapan bencana.
c. Perawat terlibat dalam promosi kesehatan dalam rangka
meningkatkan tanggap bencana, meliputi usaha pertolongan
diri sendiri, pelatihan pertolongan pertama dalam keluarga dan
menolong anggota keluarga yang lain, pembekalan informasi
cara menyiapkan makanan dan minuman untuk persediaan,
perawat memberikan nomer telepon penting seperti nomer
telepon pemadam kebakaran, ambulans, rumah sakit,
memberikan informasi peralatan yang perlu dibawa (pakaian,
senter).
2. Fase impact
a. Bertindak cepat.
b. Perawat tidak memberikan janji apapun atau memberikan
harapan palsu pada korban bencana.
c. Konsentrasi penuh pada hal yang dilakukan.
d. Berkoordinasi dengan baik dengan tim lain.
e. Bersama pihak yang terkait mendiskusikan dan merancang
master plan revitalizing untuk jangka panjang.
Perawat harus melakukan pengkajian secara cepat untuk
memutuskan tindakan pertolongan pertama. Ada saat dimana
“seleksi” pasien untuk penanganan segera (emergency) akan lebih
efektif. (Triase).
TRIASE :
a. Merah : paling penting, prioritas utama, keadaan yang
mengancam kehidupan sebagian besar pasien mengalami
hipoksia, syok, trauma dada, perdarahan internal, trauma
kepala dengan kehilangan kesadaran, luka bakar derajat I-II.
b. Kuning : penting, prioritas kedua. Prioritas kedua meliputi
injury dengan efek sistemik namun belum jatuh ke keadaan
syok karena dalam keadaan ini sebenarnya pasien masih dapat
bertahan selama 30-60 menit. Injury tersebut antara lain fraktur
tulang multipel, fraktur terbuka, cedera medulla spinalis,
laserasi, luka bakar derajat II.
c. Hijau : prioritas ketiga. Yang termasuk kategori ini adalah
fraktur tertutup, luka bakar minor, minor laserasi, kontusio,
abrasion, dan dislokasi.
d. Hitam : meninggal. Ini adalah korban bencana yang tidak dapat
selamat dari bencana, ditemukan sudah dalam keadaan
meninggal.
3. Fase post-impact
a. Memberikan terapi bagi korban bencana untuk mengurangi
trauma.
b. Selama masa perbaikan perawat membantu korban bencana
alam untuk kembali ke kehidupan normal.
c. Beberapa penyakit dan kondisi fisik yang memerlukan
pemulihan dalam jangka waktu lama memerlukan bekal
informasi dan pendampingan.
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Di beberapa daerah di Indonesia merupakan daerah yang rawan bencana.
Dengan banyaknya bencana, kesiagaan dan pelaksanaan tanggapan bencana harus
dilakukan dengan baik. Karena dampak yang ditimbulkan bencana tidaklah
sederhana, maka penanganan korban bencana harus dilakukan dengan terkoordinasi
dengan baik sehingga korban yang mengalami berbagai sakit baik fisik, sosial, dan
emosional dapat ditangani dengan baik dan manusiawi.
Perawat sebagai kaum yang telah dibekali dasar-dasar kejiwaan kebencanaan dapat
melakukan berbagai tindakan tanggap bencana. Seharusnya modal itu dimanfaatkan
oleh mahasiswa keperawatan agar secara aktif turut melakukan tindakan tanggap
bencana.
DAFTAR PUSTAKA

Arbon, P., Ranse, J., Cusack, L., Concidine, J., Shaban, R, Z., Woodman, R, J.,
Mitchell, B. (2013). Australasian Emergency Nurses’ Willingness To Attend Work
In A Disaster: A survey. Australian Emergency Nursing Journal 16:103-109.
BNPB. (2014). Data & Informasi Bencana Indonesia. Diakses tanggal 20 Mei 2017
dari http://dibi.bnpb.go.id
Keliat, Budi Anna. 2011. Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas CMHN Basic.
Jakarta : EGC.
Loke, A. Y., & Olivia W. M. (2014). Nurse’s Competencies in Disaster Nursing
:Implication For Curriculum Development and Public Health. Jurnal Advance
Nursing.
Rokkas P, Cornell V & Steenkamp M. (2014). Disaster Preparedness and response :
Challenges for Australian Public Health Nurses – a literature review. Jurnal of
Nurse Health Science 16 : 60-66.
Veenema, T. (2016). Nurses as Leaders in Disaster Preparedness and Respone-A call
to Action. Jurnal of Nurse Scholarship, 48 (2), 187-200.

Anda mungkin juga menyukai