Anda di halaman 1dari 146

GEOLOGI DAN KONTROL AIRTANAH TERHADAP GERAKAN

MASSA DI DAERAH TEMPURAN DAN SEKITARNYA,


KECAMATAN WANAYASA, KABUPATEN BANJARNEGARA,
PROVINSI JAWA TENGAH
4/9 Lembar Peta RBI nomor 1408-432 (Kalibening)

SKRIPSI TIPE-1

Diajukan untuk memenuhi persyaratan akademik tingkat sarjana


pada Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknologi Mineral
Institut Sains & Teknologi AKPRIND Yogyakarta

Oleh:
Fransiskus Lazarus Aduk
131.10.1179

JURUSAN TEKNIK GEOLOGI


FAKULTAS TEKNOLOGI MINERAL
INSTITUT SAINS & TEKNOLOGI AKPRIND YOGYAKARTA
2019
HALAMAN PENGESAHAN

GEOLOGI DAN KONTROL AIRTANAH TERHADAP GERAKAN


MASSA DI DAERAH TEMPURAN DAN SEKITARNYA,
KECAMATAN WANAYASA, KABUPATEN BANJARNEGARA,
PROVINSI JAWA TENGAH
4/9 Lembar Peta RBI nomor 1408-432 (Kalibening)

Diajukan untuk memenuhi persyaratan akademik tingkat sarjana


Pada Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknologi Mineral
Institut Sains & Teknologi AKPRIND Yogyakarta

ii
HALAMAN PERNYATAAN TIDAK MELAKUKAN PLAGIASI

GEOLOGI DAN KONTROL AIRTANAH TERHADAP


GERAKAN MASSA DI DAERAH TEMPURAN DAN
SEKITARNYA, KECAMATAN WANAYASA,
KABUPATEN BANJARNEGARA, PROVINSI JAWA TENGAH

4/9 Lembar Peta RBI nomor 1308-432 (Kalibening)

SKRIPSI TIPE I

Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan dengan sesungguhnya,


bahwa skripsi ini merupakan hasil penelitian yang telah saya lakukan.
Segala kutipan dan bantuan dari berbagai sumber telah diungkapkan sebagaimana
mestinya. Apabila dikemudian hari ternyata pernyataan saya ini tidak benar,
maka saya bersedia menerima akibat hukum dari ketidakbenaran pernyataan
tersebut.

Yogyakarta, Juli, 2019

iii
HALAMAN PENGUJI

GEOLOGI DAN KONTROL AIRTANAH TERHADAP


GERAKAN MASSA DI DAERAH TEMPURAN DAN
SEKITARNYA, KECAMATAN WANAYASA,
KABUPATEN BANJARNEGARA, PROVINSI JAWATENGAH

4/9 Lembar Peta RBI nomor 1408-432 (Kalibening)

iv
PRAKATA

Puji syukur penyusun panjatkan puji dan syukur kepada Tuhan yang Maha Esa

yang telah memberikan rahmat dan hidayahnya kepada penyusun sehingga dapat

menyelesaikan skripsi tipe I, yang berjudul Geologi Dan Kontrol Airtanah

Terhadap Gerakan Massa Di Daerah Tempuran Dan Sekitarnya, Kecamatan

Wanayasa, Kabupaten Banjarnrgara, Provinsi Jawatengah Penyusun

mengucapkan banyak terimakasih untuk semua pihak yang telah membantu

menyelesaikan skripsi tipe I ini, oleh karena itu penulis mengucapkan terimakasih

kepada:

1. Dr. Sri Mulyaningsih, ST., M.T., sebagai Dosen Pembimbing 1, sekaligus

Dekan Fakultas Teknologi Mineral, Institut Sains & Teknologi AKPRIND

Yogyakarta yang telah memberikan bimbingannya serta arahannya dalam

menyelesaikan skripsi tipe I ini.

2. Danis Agoes Wiloso, S.T., M.T., sebagai Dosen Pembimbing 2, sekaligus

Ketua Jurusan.Teknik Geologi, Fakultas Teknologi Mineral, Institut Sains &

Teknologi AKPRIND Yogyakarta yang telah memberikan bimbingannya

serta arahannya dalam menyelesaikan skripsi tipe I ini.

3. Prof. Ir. Sukandarrumidi, M.Sc., Ph.D selaku dosen wali yang selalu

memberikan nasehat dan bimbingannya,

4. Kedua orang tua Bapa Antonius Aduk dan Mama Yosefina Aek yang setiap

saat memberikan dukungan doa, dorongan dan semangat baik moril maupun

materil yang sangat berharga bagi penyusun.

v
5. Keempat saudara kakak Bian, Kakak James, Adik Lhyta, Adik Yeni dan

keluarga besar yang selalu memberikan doa, semangat dan dorongan bagi

penyusun.

6. Kelompok pemetaan Kalibening (Afni, Wina dan Abdu) yang membantu

proses pengambilan data.

7. Teman-teman MELANGE yang telah membantu dalam memberikan doa dan

semangat sehingga penyusunan skripsi ini dapat selesai.

8. HMTG “GAIA” yang selalu memberikan semangat penyusun.

Menyadari bahwa draft ini masih jauh dari sempurna maka penyusun

mengharapkan segala kritik dan saran yang membangun agar laporan ini dapat

lebih sempurna sehingga dapat menjadi perbaikan untuk penyusunan laporan di

masa mendatang.

Yogyakarta, Juli, 2019


Penyusun

Fransiskus Lazarus Aduk

vi
INTISARI
Daerah penelitian secara administratif terletak di daerah Pamutuh dan
sekitarnya, Kecamatan Lebakbarang, Kabupaten Pekalongan, Provinsi Jawa
Tengah. Secara astronomis terletak pada 07o10’00’’-07o15’00’’LS dan
109o40’00”-109o45’00” BT. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui keadaan
geologi daerah penelitian, yang meliputi geomorfologi, stratigrafi, geologi
struktur, sejarah geologi, geologi lingkungannya, dan control airtanah terhadap
gerkan massa
Metode yang digunakan adalah dengan pemetaan geologi permukaan yang
meliputi beberapa tahapan, antara lain tahap pra lapangan yang berupa studi
peneliti terdahulu, tahap lapangan yaitu kolekting data, dan tahap pasca lapangan
berupa analisis laboratorium dan tahap penyusunan laporan.
Geomorfologi daerah penelitian terdiri atas 6 subsatuan geomorfik, yaitu:
subsatuan geomorfik lereng vulkanik Jambangan (V5), subsatuan geomorfik
pegunungan vulkanik curam terdenudasi (V19), subsatuan geomorfik
pegunungan vulkanik sangat curam terdenudasi (V20), subsatuan geomorfik
gunung intrusi andesit (V21), subsatuan geomorfik pegunungan terdenudasi (D2),
subsatuan geomorfik dataran aluvial (F1), Stadia daerah penelitian dari muda
menujuh dewasa. Pola aliran daerah penelitian yaitu pola aliran subdendritik dan
subparalel. Satuan batuan pada daerah penelitian dibagi menjadi 5 satuan batuan
dan endapan campuran, dari yang tertua sampai yang muda berdasarkan umur
kesabandingan dengan peta geologi regional yaitu : satuan lava basalt Jembangan
dengan umur Plistosen, satuan lava andesit horenblenda Jambangan dengan umur
Plistosen, satuan breksi andesit Jambangan dengan umur Plistosen, satuan lava
andesit piroksen Jambangan dengan umur Plistosen, satuan intrusi andesit dengan
umur Plistosen dan endapan campuran yang umumnya berupa material lepas yang
berukuran bongkah–lempung yang ketebalannya 1-10 m dengan umur Holosen.
Struktur geologi daerah penelitian melingkupi struktur sesar turun, dan sesar
mendatar kiri (Sesar Turun diperkirakan Depok, Sesar mendatar kiri diperkirakan
Sirukem, Sesar mendatar kiri diperkirakan Kasimpar, dan Sesar mendatar kiri
diperkirakan Simego). Potensi geologi melingkupi bahan galian golongan
nonlogam berupa sirtu dan andesit. Bencana alam di daerah penelitian adalah
gerakan tanah dengan jenis slump, rayapan maupun rockfall. Studi khusus yang
dilakukan pada Desa Tempuran di dapatkan hasil gerkan massa yang terjadi di
daerah Tempuran dikontrol oleh airtanah dan pelapukan yang lebih dominan atau
sebagaian besarnya dikontrol oleh aliran airtanah mencapai 70% menempati
daerah penelitian

Kata kunci: Geologi, geomorfologi, stratigrafi, struktur geologi, hidrologi.

vii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL i
HALAMAN PENGESAHAN ii
HALAMAN PERNYATAAN iii
HALAMAN PENGUJI iv
PRAKATA v
INTISARI vii
DAFTAR ISI viii
DAFTAR GAMBAR xi
DAFTAR TABEL xiii
BAB I. PENDAHULUAN 1
1.1. Latar Belakang Masalah 1
1.2. Masud dan Tujuan 2
1.3. Asumsi dan Hipotesis 2
1.3.1. Asumsi 2
1.3.2. Hipotesis 3
1.4. Letak, Luas dan Kesampaian Daerah 3
1.5. Batasan Masalah 4
1.6. Tahap Penelitian 5
1.6.1. Tahap pendahuluan 5
1.6.2. Tahap penelitian lapangan 6
1.6.3. Tahap penelitian laboratorium 7
1.6.4. Tahap Sintesis Data 8
1.6.5. Tahap Penyususnan Laporan 9
1.7. Kegunaan Penelitian 10
1.8. Peralatan dan Bahan Penelitian 10
1.9. Kendala Penelitian 11
1.10. Peneliti Terdahulu 11
BAB II. GEOMORFOLOGI 15
2.1 Geomorfologi Regional ........................................................................ 16
2.2 Geomorfologi Daerah Penelitian .......................................................... 17
2.2.1.Subsatuan Geomorfik Lereng Vulkanik Bawah (V5) ................ .20
2.2.2 Subsatuan Geomorfik Pegunungan Vulkanik Curam Terdenudasi
(V19) ......................................................................................... .21
2.2.3.Subsatuan Geomorfik Pegunungan Vulkanik Sangat Curam
Terdenudasi (V20)...................................................................... 22
2.2.4. Subsatuan Geomorfik Gunung Intrusi Diorit (V21) ................... 23
2.2.5. Subsatuan Geomrofik Pegunungan Terdenudasi (D2) ............... 24
2.2.6. Subsatuan Geomorfik Dataran Alluvial (F1) ............................ 25
2.3. Pola Pengaliran Sungai ........................................................................ 26
2.3.1 Pola Pengaliran Daerah Penelitian ..................................................... 29
2.4. Stadia Daerah ....................................................................................... 32
2.5.Stadia Daerah Penelitian ....................................................................... 34

viii
BAB III. STRATIGRAFI 36
3.1. Stratigrafi Regional 36
3.1.1. Formasi Totogan 36
3.1.2. Formasi Rambatan 37
3.1.3. Formasi Halang 37
3.1.4. Formasi Kumbang 38
3.1.5. Formasi Tapak 38
3.1.6. Formasi Kalibiuk 38
3.1.7. Formasi Ligung 39
3.1.8. Formasi Gunungapi Jambangan 39
3.1.9. Endapan Aluvial 39
3.2. Stratigrafi Daerah Penelitian 40
3.2.1. Satuan Lava basalt Jembangan tua 43
3.2.1.1. Dasar penamaan satuan batuan 43
3.2.1.2. Penyebaran dan ketebalan satuan batuan 43
3.2.1.3. Litologi penyusun 43
3.2.1.4. Umur dan lingkungan pengendapan 44
3.2.1.5. Hubungan stratigrafi 44
3.2.2. Satuan Lava andesit hornblenda Jembangan tua 45
3.2.2.1. Dasar penamaan satuan batuan 45
3.2.2.2. Penyebaran dan ketebalan satuan batuan 45
3.2.2.3. Litologi penyusun 46
3.2.2.4. Umur dan lingkungan pengendapan 47
3.2.2.5. Hubungan stratigrafi 48
3.2.3. Satuan Breksi andesit Jembangan tua 49
3.2.3.1. Dasar Penamaan satuan batuan 49
3.2.3.2. Penyebaran dan ketebalan satuan batuan 50
3.2.3.3. Litologi penyusun 50
3.2.3.4. Umur dan lingkungan pengendapan 51
3.2.3.5. Hubungan stratigrafi 51
3.2.4. Satuan Lava andesit piroksen Jembangan muda 52
3.2.4.1. Dasar penamaan satuan batuan 52
3.2.4.2. Penyebaran dan ketebalan satuan batuan 53
3.2.4.3. Litologi penyusun 53
3.2.4.4. Umur dan lingkungan pengendapan 54
4.2.4.5. Hubungan stratigrafi 54
3.2.5. Satuan Intrusi andesit Wirasapu 55
3.2.5.1. Dasar penamaan batuan 55
3.2.5.2. Penyebaran dan ketebalan batuan 55
3.2.5.3. Litologi penyusun 55
3.2.5.4. Umur dan lingkungan pengendapan 56
3.2.5.5. Hubungan stratigrafi 56
3.2.6. Endapan campuran 57
3.2.6.1. Dasar penamaan batuan 57
3.2.6.2. Penyebaran dan ketebalan batuan 57
3.2.6.3. Litologi penyusun 58

ix
3.2.6.4. Umur dan lingkungan pengendapan 58
3.2.6.5. Hubungan stratigrafi 59

BAB IV. STRUKTUR GEOLOGI 62


4.1. Struktur Geologi Regional 62
4.2. Struktur Geologi Daerah Penelitian 68
4.2.1. Struktur sesar 69
4.2.1.1. Sesar Turun diperkirakan Depok 70
4.2.1.2. Sesar Mendatar Kiri diperkirakan Sirukem 72
4.2.1.3. Sesar Mendatar Kiri diperkirakan Kasimpar 73
4.2.1.4. Sesar Mendatar Kiri diperkirakan Simego 73
4.3. Mekanisme dan Genesa Pembentukan Struktur Daerah Penelitian 74
BAB V. SEJARAH GEOLOGI 76
5.1. Sejarah Geologi Daerah Penelitian 76
BAB VI. GEOLOGI LINGKUNGAN 81
6.1. Sesumber 82
6.1.1. Air 82
6.1.2. Bahan galian 84
6.1.3. Lahan 86
6.2. Potensi Bencana Alam 87
BAB VII. STUDI KHUSUS 88
7.1. Latar Belakang 88
7.2. Maksud dan Tujuan 93
7.3. Batasan Masalah 93
7.4. Landasan Teori 94
7.4.1. Siklus Hidrologi 94
7.4.2. Asal Airtanah 96
7.4.3. Aliran Airtanah 99
7.4.3.1. Aliran Permukaan 99
7.4.3.2. Infiltrasi 100
7.4.3.3. Pergerakan Airtanah 100
7.5. Metode Penelitian 101
7.5.1. Pengumpulan data primer 102
7.5.2. Pengumpulan data sekunder 103
7.6. Pengolahan Data 103
7.6.1. Teknik pengolahan data primer 104
7.6.2. Pengolahan data sekunder 105
7.7. Hasil dan Pembahan 105
7.7.1. Hasil analisis 105
7.7.2. Pembahasan 107
7.8. Kesimpulan 112
BAB VIII. KESIMPULAN 113
8.1. Kesimpulan 113
DAFTAR PUSTAKA 116
LAMPIRAN 117

x
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1. Lokasi daerah penelitian ......................................................................................


4
Gambar 1.2. Bagan alir penelitian ............................................................................................
5
Gambar 2.1. Fisiografi Jawa Tengah dan Jawa Timur (modifikasi dari
Bemmelen, 1949 ...................................................................................................
17
Gambar 2.2. Subsatuan geomorfik lereng vulkanik Jambangan (V5), ..................................... 21
Gambar 2.3. Subsatuab geomorfik pegunungan vulkanik curam
terdenudasi (V19) .................................................................................................
22
Gambar 2.4. Subsatuan geomorfik pegunungan vulkanik sangat curam
terdenudasi (V20) .................................................................................................
23
Gambar 2.5. Subsatuan geomorfik gunung intrusi andesit (V21) ............................................ 24
Gambar 2.6. Subsatuan geomorfik pegunungan terdenudasi (D2)............................................ 25
Gambar 2.7. Subsatuan geomorfik dataran aluvial (F1)............................................................
26
Gambar 2.8. Klasifikasi pola aliran sungai yang belum mengalami
perubahan (basic pattern) (Howard, 1967) .........................................................
27
Gambar 2.9. Klasifikasi pola aliran sungai yang telah mengalami
perubahan (modifiet basic pattern) (Howard, 1967) ........................................... 27
Gambar 2.10. Pola pengaliran daerah penelitian ........................................................................
31
Gambar 2.11. Stadia daerah (Lobeck, 1939) ...............................................................................
34
Gambar 2.12. Stadi daerah muda menujuh dewasa, kamera menghadap ke
barat .....................................................................................................................
35
Gambar 3.1. Satuan lava basalt jembangan tua .........................................................................
44
Gambar 3.2. Satuan lava andesit hornblenda jembangan tua ................................................... 46
Gambar 3.3. Satuan breksi andesit ............................................................................................
47
Gambar 3.4. Satuan breksi andesit jembangan tua ...................................................................
51
Gambar 3.5. Satuan lava andesit piroksen jembangan tua ........................................................
53
Gambar 3.6. Satuan intrusi andesit wirasapu ............................................................................
56 .
Gambar 3.7. Endapan Campuran ..............................................................................................
58
Gambar 4.1. Peta regional Jawa memperlihatkan pola struktur, dua sesar
mendatar regional dan implikasi yang disebabkan (Satyana
dan Purwaningsih, 2002) .....................................................................................
63
Gambar 4.2. Fisiografi Zona Serayu (satyana 2004) ................................................................
64
Gambar 4.3. Mekanisme pembentukan struktur akibat vulkanik (Bronto,
2006) ....................................................................................................................
67
Gambar 4.4. Penyebaran struktur pada daerah penelitian ........................................................
70
Gambar 4.5. Sesar Turun Depok dari kenampakan citra DEM ................................................. 71
Gambar 4.6. Sesar Turun Depok Kenampakan berupa gawir ................................................... 71
Gambar 4.7. Sesar Mendatar Kiri Sirukem dan kenampakan kelurusan
sungai ....................................................................................................................
72
Gambar 4.8. Sesar Mendatar Kiri Kasimpar, kenampakan citra DEM .................................... 73
Gambar 4.9. Sesar Mendatar Kiri Simego kenampakan citra DEM ........................................ 74
Gambar 4.10. Mekanisme pertama pembentukan Sesar Turun Depok ...................................... 75
Gambar 5.1. Skema pembentukan tubuh gunungapi Jambangan ............................................. 77
Gambar 5.2. Skema pembentukan satuan batuan lava andesit basalt, lava

xi
andesit hornlende, breksi andesit dan lava andesit piroksen
dan intrusi andesit .................................................................................................
78
Gambar 5.3. Skema proses pelapukan dan pembentukan endapan
campuran pada daerah penelitian ........................................................................
79
Gambar 5.4. Skeme terbentuknya stuktur pada daerah penelitian ............................................ 80
Gambar 6.1. Sumber air dan penampungan air pada Sungai SIngkarang,
gambar A. LP 153, B. LP 146 dan C. penampungan .......................................... 83
Gambar 6.2. Kelimpahan air berupa air terjun pada LP 95 di Desa Curuk
Muncar, arah kamera ke selatan ..........................................................................
84
Gambar 6.3. Bahan galian andesit , berupa lava andesit ..........................................................
85
Gambar 6.4. Sumberdaya lahan pada daerah penelitian, gambar kanan
dimanfaatkan sebagai lading sawah pada bagian lereng dan
gambar kiri sebagai perkebunan jagung ..............................................................
86
Gambar 6.5. Bencana alam berupa longsoran pada LP 1, LP 12 dan LP
25 .........................................................................................................................
87
Gambar 7.1. Tipe Zona berpotensi longsor ..............................................................................
90
Gambar 7.2. Jenis-jenis lonsoran .............................................................................................
93
Gambar 7.3. Siklus hidrologi (https://www.academia.edu/9297518/HIDR
OLOG I _SIKLUS_HIDROLOGI) ...................................................................... 96
Gambar 7.4. Pergerakan Air Bawah Tanah (https://www.google.co.id/sea
rch?q=pergerakan+airtanah&source) ...................................................................
101
Gambar 7.5. Bagan alir studi kasus ..........................................................................................
102
Gambar 7.6. Bagan alir pengolahan data...................................................................................
104
Gambar 7.7. Lokasi pengamatan dan pengambilan data aliran sungai ..................................... 106
Gambar 7.8. Lokasi pengambilan data longsor .........................................................................
107
Gambar 7.9. Longsoran yang dipengaruhi oleh air ...................................................................
109
Gambar 7.10. Longsoran yang dipengaruhi oleh pelapukan ....................................................... 110
Gambar 7.11. Jalan berkelok karena adanya gerakan tanah ........................................................
111

xii
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Klasifikasi lereng (Zuidam, 1983) ............................................................................


18
Tabel 3.1. Stratigrafi regional Lembar Banjarnegara-Pekalongan (Condon,
dkk, 1996) .................................................................................................................
40
Tabel 3.2. Kolom litologi satuan lava basalt jembangan tua tanpa skala ................................... 45
Tabel 3.3. Kolom litologi satuan lava andesit hornblenda jembangan tua
tanpa skala .................................................................................................................
49
Tabel 3.4. Kolom litologi satuan breksi andesit jembangan tua tanpa skala ............................. 52
Tabel 3.5. Kolom litologi satuan lava andesit piroksen jembangan muda
tanpa skala ................................................................................................................
54
Tabel 3.6. Kolom litologi satuan intrusi andesit wirasapu tanpa skala ...................................... 57
Tabel 3.7. Kolom Litologi endapan campuran tanpa skala .......................................................59
Tabel 3.8. Kolom stratigrafi daerah penelitian tanpa skala .......................................................
60
Tabel 3.9. Hubungan stratigragi regional dan stratigrafi daerah penelitian................................ 61
Tabel 7.1. Klasifikasi kelas kelerengan (van Zuidam, 1985) .....................................................
108

xiii
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Geologi Pulau Jawa te1ah banyak dipe1ajari dan bahkan hampir

keseluruhan wilayah telah dipetakan secara sistematik. Penyelidikan geo1ogi, baik

untuk kepentingan eksplorasi migas, mineral ataupun untuk kepentingan ilmiah

te1ah banyak dilakukan. Namun demikian pemahaman secara menyeluruh tentang

geologi Jawa masih terbatas. Banyak aspek yang masih perlu dikaji tentang

perkembangan Pulau Jawa, baik masalah stratigrafi, sedimentasi dan

perkembangan cekungan maupun tektonik dan vulkanisme.

Daerah penelitian merupakan daerah yang cukup menarik, karena daerah

penelitian secara fisiografi terletak pada jalur Pegunungan Serayu Utara bagian

tengah. Pegunungan Serayu Utara merupakan pegunungan lipatan dari suatu

antiklinorium lapisan Neogen yang terlipat kuat berarah barat – timur. Zona

Serayu Utara memiliki lebar 30-50 km. Di selatan Tegal, zona ini tertutupi oleh

produk gunungapi kuarter dari Gunung Slamet. Di bagian tengah ditutupi oleh

produk vulkanik kuarter Gunung Rogojembangan, Gunung Ungaran, dan Gunung

Dieng. Zona ini menerus ke Jawa Barat menjadi Zona Bogor dengan batas antara

keduanya terletak di sekitar Prupuk, Bumiayu hingga Ajibarang, persis di sebelah

barat Gunung Slamet, sedangkan ke arah timur membentuk Zona Kendeng

Penelitian regional telah banyak dilakukan dan menghasilkan berbagai

macam interpretasi, oleh karena itu penulis tertarik untuk melakukan penelitian

geologi dengan harapan nantinya informasi yang didapatkan bisa melengkapi data

1
2

yang ada serta bermanfaat bagi ilmu geologi ke depannya dan juga dapat

menambah pemahaman penulis.

1.2. Maksud dan Tujuan Penelitian

Maksud dari pemetaan geologi di daerah Tempuran dan sekitarnya,

Kecamatan Wanayasa, Kabupaten Banjarnegara, Propinsi Jawa Tengah, adalah

untuk memenuhi persyaratan kurikulum tingkat Sarjana pada Jurusan Teknik

Geologi, Fakultas Teknologi Mineral, Institut Sains & Teknologi AKPRIND

Yogyakarta.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kondisi dan

perkembangan geologi daerah penelitian yang meliputi aspek geomorfologi,

stratigrafi, struktur geologi dan sejarah geologi dalam satu kesatuan ruang dan

waktu geologi khususnya mengetahui tingkat gerakan massa yang dikotrol

airtanah di daerah penelitian.

1.3. Asumsi dan Hipotesis

1.3.1. Asumsi

Asumsi yang digunakan dalam pelaksanaan penelitian ini antara lain:

1. Daerah penelitian berada pada Zona Serayu Utara, dimana tersusun

atas produk vulkanik.

2. Daerah penelitian dikontrol oleh gaya endogen dan gaya eksogen, dilihat

dari kenampakan pola kelurusan topografi dan morfologi perbukitan

bergelombang sedang–kuat.
3

1.3.2. Hipotesis

Berdasarkan studi pustaka dan studi geologi regional yang terkait dengan

daerah penelitian maka perkiraan awal dari penelitian ini adalah:

1. Geomorfologi berupa perbukitan bergelombang sedang – kuat, dilihat dari

elevasi yang cukup tinggi karena merupakan perbukitan gunungapi dan

berada di dataran ketinggian. Sungai – sungai berstadia muda – dewasa.

2. Stratigrafi dari tua ke muda berupa produk vulkanik kuarter Gunung

Rogojembangan, Gunung Unggaran dan Gunung Dieng.

3. Struktur geologi yang berkembang antara lain kekar, lipatan dan sesar.

Dilihat dari pola kelurusan morfologi dan pola kelurusan sungai.

1.4. Letak, Luas, dan Kesampaian Daerah

Secara administratif, daerah penelitian terletak kurang lebih 148 km ke

arah Barat laut dari pusat kota Yogyakarta yang dapat ditempuh dengan waktu ±5

jam dengan menggunakan kendaraan beroda dua maupun kendaraan beroda

empat, dan terletak pada Kabupaten Banjarnegara dan Kabupaten Pekalongan,

Propinsi Jawa Tengah. Secara astronomis daerah penelitian terletak pada posisi

07010’00’’LS-07015’00’’LS dan 109040’00” BT -109045’00” BT (Gambar 1.1).


4

Gambar 1.1. Peta lokasi penelitian dan jalur kesampaian daerah

Daerah penelitian mempunyai skala peta 1 : 25.000, terletak pada 4/9

lembar peta RBI No. 1408-432 Kalibening, dengan luas daerah penelitian adalah

9 km x 9 km atau sama dengan 81 km2

1.5. Batasan Masalah

Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini hanya terbatas pada

permasalahan geologi yang secara umum meliputi geologi daerah penelitian,

geomorfologi, stratigrafi, struktur geologi, sejarah geologi dan geologi

lingkungan.

Adapun Permasalahan khusus yang diangkat oleh penyusun adalah kontrol

airtanah terhadap gerakan massa, dimana lokasi penelitian merupakan lokasi

rawan gerakan tanah dan longsor.


5

1.6. Tahapan Penelitian

Tahap penelitian terbagi atas 5 tahap, yaitu Studi Pustaka, penelitian

lapangan, penelitian laboratorium, dan penyusunan draft laporan. Tahap-tahap

tersebut saling berkaitan antara yang satu dengan yang lainnya dan susunannya

saling melengkapi (Gambar 1.2 ).

Gambar 1.2. Bagan Alir Penelitian

1.6.1. Tahap Pendahuluan

Tahap Pendahuluan dilakukan untuk mempelajari segala sesuatu yang

berhubungan dengan daerah penelitian yang akan dilakukan. Pencarian data

sekunder dapat diperoleh dari interpretasi peta topografi, pembuatan peta geologi

tentatif, dan pembuatan peta geomorfologi tentatif. Penelitian ini tetap


6

memperhatikan hasil dari peneliti-peneliti terdahulu yang telah melaksanakan

penelitian di daerah penelitian untuk mempermudah dalam melaksanakan

pemetaan geologi secara cepat dan tepat.

1.6.2. Tahap Penelitian lapangan

Penelitian lapangan dibagi menjadi 3 urutan pelaksanaan, yaitu

perencanaan lintasan, jalur jalan atau sungai dan pemetaan detil.

1. Perencanaan lintasan

Perencanaan ini dilakukan dengan mengadakan pengenalan medan

(recognize) dan mencari segala singkapan yang dapat digunakan dalam penelitian

lebih lanjut.

2. Jalur jalan atau jalur sungai

Lintasan tersebut dapat melalui jalur jalan yang telah tersedia dan apabila

memungkinkan untuk melalui jalur sungai, maka hal itu akan lebih baik dilakukan

karena singkapan yang terdapat di sungai merupakan singkapan hasil dari

pengelupasan tanah oleh air. Tahap ini disertai dengan pengeplotan jalur yang

akan digunakan untuk stratigrafi.

3. Pemetaan detil

Pelaksanaan pemetaan detil dilakukan dengan pencarian data litologi,

struktur geologi, mataair dan pengeplotan lokasi pada peta topografi. Pencarian

data tersebut disertai dengan pengeplotan data litologi, dan pengambilan sampel

batuan yang akan dianalisis di laboratorium sesuai kebutuhan, pengambilan foto

kenampakan struktur geologi, struktur sedimen, litologi, bentangalam, bahan-


7

bahan galian, sesumber, bencana geologi, dan segala sesuatu yang berkaitan

dengan penelitian.

1.6.3. Tahap Penelitian laboratorium dan Studio

Penelitian laboratorium dilakukan selama dan setelah penelitian lapangan

selesai. Penelitian ini berupa interpolasi batas satuan dan pembuatan sayatan

geologi/analisis petrografi. Analisis petrografi dilakukan untuk mengetahui

tekstur batuan, struktur batuan, dan mineral-mineral penyusunnya. Hasil analisis

petrografi dapat dipakai sebagai pendukung dalam menentukan nama batuan dan

petrogenesa batuannya.

1. Interpolasi batas satuan batuan

Dari hasil pemetaan detil, dengan pengeplotan data pada setiap stasiun

pengamatan dan lokasi pengamatan, selanjutnya dibuat interpolasi batas satuan

batuan dengan menghubungkan setiap titik yang mempunyai ciri-ciri satuan

batuan yang sama dengan berpedoman pada stratigrafi terukur yang telah dibuat

dan atau dengan menggunakan metode three point problem. Selain pembuatan

peta geologi, dibuat juga peta geomorfologi berdasarkan data bentangalam yang

digabungkan dengan data yang terdapat pada peta geologi.

2. Pembuatan sayatan geologi

Pembuatan sayatan geologi bertujuan untuk membuat interpretasi lapisan

batuan serta struktur geologi yang terdapat pada permukaan dan bawah

permukaan. Selain itu, sayatan juga bertujuan untuk mengetahui urutan batuan

dari tua ke muda dan ketebalan lapisan batuan, sehingga dapat dibuat legenda
8

pada peta geologi dan secara geologi yang tercermin pada sayatan geologi dapat

mendukung penjelasan lebih baik.

1.6.4. Tahap sintesis data

Data sintesis yang didapatkan antaran lain seperti:

1. Data geomorfologi

Data geomorfologi didapatkan dari hasil pengamatan langusung di

lapangan (pandangan burung dan pandangan katak), kemiringan lereng

(Slope), morfologi dan proses eksogen yang bekerja pada daerah

penelitian kemudian diinterpretasi dan dianalisis untuk menghasilkan peta

geomorfologi.

2. Data stratigrafi

Data stratigrafi didapatkan dari hasil penelitian langsung di lapangan

seperti data litologi di setiap lokasi pengamatan, pembuatan kolom litologi

di setiap lokasi pengamatan, penentuan batas satuan batuan dan pembuatan

peta lintasan. Dari data yang ada kemudian dianalisis paleontologi dan

petrografi untuk mengetahui umur, lingkungan pengendapan dan

penamaan batuan dari setiap satuan batuan.

3. Data struktur geologi

Data struktur geologi yang didapatkan di lapangan seperti data kekar

(shear joint), lipatan (sinklin dan antiklin) dan sesar (gores – garis, shear

fracture, gash fracture, bidang sesar, rake, pola kelurusan sungai atau

morfologi dan lain sebagainya. Dari data tersebut kemudian dianalisis


9

untuk mengetahui arah umum gaya yang bekerja dan penentuan nama

lipatan dan sesar pada daerah penelitian.

4. Sejarah geologi

Berdasarkan hasil analisis stratigrafi dan struktur geologi maka dapat

digunakan untuk interpretasi sejarah geologi yang terjadi pada daerah

penelitian yang dikontrol dari proses endogen dan proses eksogen.

5. Geologi lingkungan

Data geologi lingkungan yang didapatkan di daerah penelitian berupa

sesumber (sumber daya air, lahan dan bahan galian industi) serta bencana

alam (Debris flow).

6. Studi khusus

Data yang diambil untuk studi khusus berupa pengambilan data koordinat

airtanah meliputi mataair ataupun air yang menggenang pada daerah

penelitian kemudian dibuat peta hidrologi.

7. Laporan

Berdasarkan hasil dari data–data di atas kemudian dibuat dalam satu laporan akhir

untuk dipertanggungjawabkan.

1.6.5. Penyusunan laporan penelitian

Penyusunan draft laporan ini berdasarkan atas data lapangan dan data

laboratorium. Draft laporan tersebut disajikan dalam bentuk peta lokasi lintasan

dan lokasi pengamatan, peta geomorfologi, peta geologi, kolom stratigrafi terukur,

serta dalam bentuk uraian disertai dengan hasil pembahasan studi khusus yang

diambil.
10

Peralatan yang digunakan dalam analisis laboratorium terdiri dari:

a. Mikroskop polarisasi batuan dengan pembesaran 40x untuk analisis

petrografi

1.7. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini berguna untuk ilmu pengetahuan terutama dalam ilmu

kebumian karena akan mengkaji lebih dalam mengenai fenomena geologi yang

meliputi aspek geomorfologi, stratigrafi, struktur geologi, sejarah geologi serta

kondisi lingkungan di daerah sekitarnya.

Kegunaan yang lain adalah hasil dari penelitian ini dapat memberikan

gambaran atau informasi untuk pemerintah mengenai potensi geologi yang

terdapat di daerah tersebut, baik itu potensi yang berdampak positif seperti

sumberdaya alam maupun potensi yang berdampak negatif seperti gerakan massa

dan lain sebagainya.

1.8. Peralatan dan Bahan Penelitian

Peralatan dan bahan yang akan digunakan selama mengadakan penelitian

di lapangan dan di laboratorium adalah:

a. Alat dan bahan Pemetaan Geologi:

1.Peta topografi skala 1 : 25.000

2. Peta rupa bumi skala 1 : 25.000 lembar Kalibening (1408-432)

3. kompas geologi tipe Brunton sistem azimut 0o-360o

4. GPS merk Garmin GPSMAP 64s

5. Palu geologi batuan beku dan sedimen merk Estwing


11

6. loupe dengan pembesaran 20x

7. Larutan HCl 0,1 N

8. Kamera digital

9. Pita ukur 50 m

10. Alat tulis

11. Kantong sampel batuan

12. Seperangkat computer

13. Perlengkapan pribadi, obat-obatan.

b. Alat dan bahan analisis laboratorium:

1. Mikroskop polarisasi merk Olympus dengan pembesaran 40x, sebagai alat

deskripsi sayatan tipis batuan

2. Sampel petrografis yang telah disayat dengan ukuran 0,03 mm, untuk

pengecekan kandungan mineral yang lebih teliti

3. Buku catatan dan alat tulis

1.9. Kendala Penelitian

Dalam pelaksanaan pemetaan geologi ada beberapa kendala yang

dihadapi, seperti medan yang sulit dijangkau, karena terlalu terjal dan curam,

singtkapan batuan yang lapuk, tertutup soil dan dijadikan pemukiman.

1.10. Peneliti Terdahulu

Dalam penelitian Tjahjono (2002), daerah Banjanegara umumnya dapat

dikelompokan hasil penelitianya menjadi tiga yaitu :


12

1. Hasil pengukuran singkapan batuan di Kali Tulis, diketahui bahwa tebal

Formasi Rambatan yang terukur di daerah tersebut adalah lebih dari 370 meter,

serta dapat dibagi menjadi tiga sekuensial sedimentasi, yaitu sekuen

sedimentasi bagian bawah yang didominasi dengan endapan lempung

menyerpih, tebal lebih dari 150 meter Sekuen sedimentasi bagian tengah

merupakan perselingan antara lapisan batupasir gampingan dengan lapisan

batulempung menyerpih yang diperkirakan mengandung endapan

bitumen padat, tebal sekitar 120 meter. Sekuen sedimentasi

bagian atas didominasi dengan endapan batupasir sangat kasar, tebal

lebih dari 100 meter.

2. Hasil analisis organik petrografi dari cotoh batulempung menyerpih,

menunjukkan adanya kandungan bahan organik pembentuk endapan

bitumen padat, yang sangat sedikit dan jarang ( < 0,1% ), dan hampir tidak

dijumpai adanya fosil atau rombakan fosil.

3. Hasil analisis bakar ( retort analysis ) dari contoh batuan pada Formasi

Rambatan, terdapat kandungan minyak sekitar 0-5 Liter minyak per Ton

batuan, maka kandungan minyak yang terdapat dalam endapan

batulempung meyerpih, pada Formasi Rambatan di daerah Banjarnegara,

berarti kurang ekonomis dan tidak prospek, sehingga sumberdaya yang ada

hanyalah berupa endapan batulempung menyerpih yang tersingkap

sepanjang 26 Km, dengan lebar sekitar 2 Km. Dalam penelitian Widagdo (2014)

Struktur Geologi Daerah Banjarnegara, Jawa Tengah.


13

Struktur geologi yang dijumpai di daerah penelitian berupa bidang

perlapisan batuan, kekar gerus dan bidang kontak ketidakselarasan menyudut.

Struktur kemiringan bidang perlapisan dan kekar yang intensif dijumpai pada

batulepung-batupasir. Struktur ini telah mempercepat pelapukan fisik dan

erosi batulempung-batupasir. Erosi vertikal dan lateral pada batulempung-

batupasir telah mengganggu kestabilan lereng pada breksi. Pada gilirannya

untuk menjaga kelerengan maka breksi akan longsor

Dalam penelitian Wanardi (2012) hasil penelitian dapat menyimpulkan

bahwa Banjarnegara memiliki ketinggian yang bervariasi, meskipun kebanyakan

pada ketinggian 100 mdpl hanya seluas 9,82% saja. Adapun ketinggian topografi

setiap Daerah di Banjarnegara adalah sebagai berikut:

1. Kurang dari 100 mdpl meliputi luas 9,82% dari luas Kabupaten yang

meliputi Kecamatan Susukan, Purworejo Klampok, Mandiraja,

Purwonegoro, dan Bawang.

2. Antara 100-500 mdpl, meliputi luas 37,04% luas wilayah Kabupaten

Banjarnegara yang meliputi Kecamatan Susukan, Purworejo Klampok,

Mandiraja, Purwonegoro, dan Bawang, Banjarmangu, Banjarnegara dan

Wanadadi.

3. Antara 500-1.000 mdpl, meliputi luas 28,74% dari luas Kabupaten

Banjarnegara yang meliputi Kecamatan Banjarmangu, Singalu dan

sebagian Banjarnegara.
14

4. Lebih dari 1.000 mdpl, meliputi luas 24,4% dari luas Kabupaten

Banjarnegara yang meliputi Kecamatan Karangkobar, Wanayasa,

Kalibening, Pagentan, Pewajaran dan Bantur.


BAB 2
GEOMORFOLOGI

Geomorfologi berasal dari bahasa Yunani yang lebih kurang dapat

diartikan “perubahan-perubahan pada bentuk muka bumi”. Akan tetapi secara

umum didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari tentang alam, yaitu meliputi

bentuk-bentuk umum roman muka bumi serta perubahan-perubahan yang terjadi

sepanjang evolusinya dan hubungannya dengan keadaan struktur di bawahnya,

serta sejarah perubahan geologi yang diperlihatkan atau tergambar pada bentuk

permukaan itu. Dalam bahasa Indonesia banyak orang memakai kata bentangalam

sebagai terjemahan geomorfologi, sehingga kata geomorfologi sebagai ilmu dapat

diterjemahkan menjadi Ilmu Bentangalam

Dalam geomorfologi sasaran yang dipelajari pada dasarnya dibagi menjadi

3 unsur yaitu:

a. Relief : besar kecilnya perbedaan tinggi rendahnya suatu tempat yang relatif

berdekatan pada suatu daerah.

b. Drainase (penyaluran): yang meliputi semua bentuk, kerapatan, pola-pola

serta hubungan dari penyaluran air yang menoreh permukaan bumi.

c. Culture: semua kenampakan permukaan bumi yang merupakan hasil budaya

manusia seperti gedung-gedung, persawahan, pedesaan, serta bangunan-

bangunan lain.

15
16

2.1 Geomorfologi Regional

Menurut Van Bemmelen (1949), secara fisiografi Jawa bagian tengah

dibagi menjadi 7 (tujuh) zona fisiografi berturut-turut dari Utara hingga Selatan

adalah sebagai berikut: (Gambar 2.1)

a. Endapan Gunungapi Kuarter

b. Dataran Aluvium Jawa Utara

c. Atiklinorium Rembang - Madura

d. Antiklinorium Bogor, Rangkaian Pegunungan Serayu Utara serta Kendeng

e. Kubah dan Pegunungan Pusat Depresi, Rangkaian Pegunungan Serayu

Selatan

f. Zona Pusat Depresi Jawa Tengah dan Randublatung

g. Pegunungan Selatan

Berdasarkan pembagian ini, daerah penelitian termasuk ke dalam

rangkaian Pegunungan Serayu Utara, dimana pegunungan Serayu Utara ini pada

bagian utara dibatasi oleh Gunung Slamet dan dibagian timur dibatasi oleh produk

volkanik mudah Rogojembangan, Kompleks Vulkanik Dieng dan Ungaran. Garis

yang memisahkan dengan Zona bogor berada di Prupuk-Bumiayu-Adjibarang

(Van Bammelen,1949).
17

Gambar 2.1. Peta fisiografi Jawa Tengah dan Jawa Timur


(modifikasi dari Bemmelen, 1949)

2.2. Geomorfologi Daerah Penelitian

Dalam mempertimbangkan keadaan geomorfologi daerah penelitian maka

penulis membagi satuan geomorfologi daerah penelitian didasarkan pada relief,

litologi, proses pembentukan, serta struktur geologi yang berkembang di daerah

penelitian. Klasifikasi geomorfologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah

klasifikasi Verstappen (1985) yang telah dimodifikasi sesuai dengan kondisi

daerah penelitian.

Aspek-aspek geomorfologi yang berpengaruh dalam faktor deskripsi

geomorfologi adalah:

1. Morfologi, yaitu faktor relief secara umum yang meliputi aspek:

a. Morfografi, yaitu aspek yang bersifat pemerian pada suatu daerah, seperti

bukit, punggungan, lembah dan dataran.


18

b. Morfometri, yaitu aspek penggolongan kenampakan geomorfik yang

didasarkan pada segi kuantitatif, dengan melihat ketinggian dan

kemiringan lereng. (Tabel 2.1.)

Tabel 2.1. Klasifikasi lereng (Zuidam, 1983)


Kemiringan Kemiringan
No. Relief
Lereng (%) Lereng ( °)
1 Datar atau hampi datar 0-2 0-2
2 Miring landai 2-7 2–4
3 Miring 7 -15 4-8
4 Curam menengah 15 - 30 8 – 16
5 Curam 30 - 70 16 – 35
6 Sangat curam 70 - 140 35 – 55
7 Amat sangat curam > 140 > 55

2. Morfogenesa, yaitu proses geomorfologi yang menyebabkan terjadinya

perubahan bentuk lahan, meliputi aspek :

a. Morfostruktur aktif, mencakup gaya-gaya endogen atau tektonik dan

vulkanisme. Bentang alam yang dapat terbentuk oleh proses-proses

endogenik antara lain : pegunungan lipatan, pegunungan blok atau

patahan dan gunungapi.

b. Morfostruktur pasif, yaitu aspek material penyusun (litologi) dan struktur

geologinya.

c. Morfostruktur dinamik, yaitu aspek yang mencakup gaya-gaya eksogen;

seperti proses denudasional, fluvial, pelarutan/karstifikasi, pantai,

angin/eolian, dan glasial, yang disebabkan oleh faktor topografi, batuan,


19

iklim, vegetasi, organism, dan waktu, serta kaitannya dengan umur

bentuk lahan secara relatif dan absolut (morfokronologi).

Dalam pembagian subsatuan geomorfologi daerah penelitian, langkah-

langkah yang di tempuh adalah :

1. Analisis peta topografi daerah penelitian dengan skala 1:25.000, yaitu

dengan menafsirkan pola dan pelamparan bentang alam sesuai dengan pola

dan sifat garis kontur yang ada.

2. Pengkajian langsung di lapangan, yaitu untuk melakukan pengumpulan data

dari setiap satuan geomorfiknya, meliputi litologi penyusun, ada tidaknya

pengaruh struktur geologi, dan proses-proses eksogenik yang bekerja pada

setiap satuan geomorfik tersebut.

3. Analisis di studio, yaitu meliputi proses penggabungan data dari analisis

peta topografi dan kajian lapangan, serta lebih terperinci lagi dalam analisis

kualitatif, kuantitatif, dan penggolongan satuan hingga subsatuan

geomorfik. Analsis kualitatif adalah dengan melihat pola-pola kontur,

kemudian dilanjutkan analisis secara kuantitatif, yaitu dengan membuat

sayatan pada peta topografi. Pembuatan sayatan topografi ini bertujuan

untuk mengelompokan pada klasifikasi relief dengan menggunakan satuan

geomorfologi yang didasarkan pada morfometri dan morfogenesa.

Penelitian geomorfologi ini harus tetap memperhatikan aspek-aspek geologi

lain yang berkaitan dalam penggolongan satuan dan subsatuan geomorfologi

yang didasarkan pada kelerengan dan beda tinggi.


20

Berdasarkan dasar-dasar aspek geomorfologi yang telah disebutkan, maka

daerah penelitian di kelompokkan berdasarkan aspek relief, litologi, dan

genetiknya terbagi menjadi 5 subsatuan geomorfik yaitu:

1. Lereng vulkanik (V5)

2. Pegunungan vulkanik curam terdenudasi (V19)

3. Pegunungan vulkanik sangat curam terdenudasi (V20)

4. Gunung intrusi andesit (V21)

5. Pegunungan terdenudasi (D2)

6. Dataran alluvial (F1)

2.2.1.Subsatuan geomorfik lereng vulkanik bawah (V5)

Subsatuan geomorfik menempati ±38% dari keseluruhan luasan daerah

penelitian, merupakan daerah kaki gunung Rogojembangan meliputi wilayah

Sidakangen, Karanganyar, Simego, Gumelem, Sirukem, yang dicirikan dengan

perbukitan yang bergelombang kuat dominan lereng-lereng terjal dengan vegetasi

berupa pohon pinus, albasia, dan sebagian semak belukar, dengan ketinggian

minimum 1050 mdpl sampai ketinggian maksimum 1250 mdpl. Memiliki

kemiringan lereng curam sampai sangat curam dengan slope dalam presentase

10º-25º, dengan litologi penyusun subsatuan geomorfik ini yaitu batuan lava

andesit hornblende yang merupakan produk endapan gunung api Rogojembangan.


21

Gambar 2.2. Subsatuan geomorfik lereng vulkanik bawah Jembangan (V5)


Kamera menghadap, utara.

2.2.2.Subsatuan Geomorfik Pegunungan Vulkanik Curam Terdenudasi (V19)

Subsatuan geomorfik ini menempati 13 % dari keseluruhan luasan daerah

penelitian, meluputi wilayah Desa Depok, Desa Wonosido, Desa Senggodadi, dan

Desa Curukmuncar. Subsatuan ini merupakan daerah bertopografi perbukitan

bergelombang lemah hingga sedang dengan ketinggian minimum 800 mdpl

hingga ketinggian maksimum 1300 mdpl dan kemiringan lereng 20°-45° dengan

bentuk lereng V tajam sampai U.

Pada satuan geomorfik ini banyak terjadi gerakan massa dengan erosi yang

sangat tinggi dan memiliki litologi yaitu lavabasalt. Daerah ini memiliki vegetasi

berupa pohon pinus, dan albasia. Tata guna lahan pada subsatuan geomorfik ini

dimanfaatkan untuk perkebunan pinus, pemukiman, tambang rakyat dan sebagian

untuk berladang.
22

Gambar 2.3. Subsatuan geomorfik perbukitan vulkanik curam terdenudasi (V19)


Kamera menghadap timur

2.2.3.Subsatuan geomorfik pegunungan vulkanik sangat curam terdenudasi

(V20)

Subsatuan geomorfik menempati ±28% dari keseluruhan luasan daerah

penelitian, menempati bagian utara lokasi penelitian meliputi wilayah Kasimpar,

Jatilawang, Wanaraja, Kasinoman, Plorengan. Subsatuan ini dicirikan dengan

perbukitan yang bergelombang kuat dominan lereng-lereng terjal dengan vegetasi

berupa pohon pinus, albasia, dan sebagian semak belukar, dengan ketinggian

minimum ±1100 mdpl dan ketinggian maksimum 1850 mdpl, dan memiliki

kemiringan lereng sangat curam sampai sangat curam dengan slope 35º-55º,

litologi penyusun subsatuan geomorfik ini yaitu batuan lava andesit piroksen,

breksi andesit, dan lava andesit hornblenda.


23

Gambar 2.4. Subsatuan geomorfik pegunungan vulkanik sangat


curam terdenudasi (V20). Kamera menghadap utara

2.2.4. Subsatuan geomorfik gunung intrusi andesit (V21)

Subsatuan geomorofik gunung intrusi diorit ini menempati 2% dari

keseluruhan luasan daerah penelitian, subsatuan geomorfik ini meliputi wilayah

Gunung Wirasapuh. Subsatuan ini merupakan daerah bertopografi gunung intrusi

andesit dengan memiliki ketinggian 1150 mdpl hingga ketinggian maksimum

1400 mdpl dengan kemiringan lereng >55° dan memiliki litologi penyusun bataun

andesit. Tata guna lahan pada subsatuan ini dimanfaatkan lahan pertanian.
24

Gambar.2.5.Subsatuan geomorfik gunung intrusi andesit


(V21) Kamera menghadap barat dan kamera menghadap utara

2. 2.5. Subsatuan geomorofik pegunungan terdenudasi (D2)

Subsatuan geomorofik pegunungan terdenudasi ini menempati 14% dari

keseluruhan luasan daerah penelitian, meliputi wilayah Desa Balun dan Desa

Kalisatkidul dengan topografi berupa pegunungan bergelombang lemah hingga

sedang yang pada beberapa tempat terdapat longsoran. Subsatuan geomorfik ini

memiliki ketinggian minimum 850 mdpl hingga ketinggian maksimum 1100 mdpl

dengan kemiringan lereng 8°-16° dengan vegetasi penutup berupa pinus dan

sebagian semak belukar, dan tata gunalahan dimanfaatkan sebagai lahan

pertanian, lahan perkebunan pinus, dan sebagain untuk pemukiman. Subsatuan

geomorfik ini tersusun oleh batuan lava andesit hornblenda.


25

Gambar.2.6. Subsatuan geomrofik pegunungan terdenudasi (D2)


kamara menghadap barat

2.2.6. Subsatuan geomorfik dataran alluvial (F1)

Subsatuan geomorfik ini menempati ±5% dari keseluruhan luasan lokasi

penelitian, meliputi wilayah Desa Balun. Subsatuan geomorfik ini merupakan

daerah dengan topografi dataran dengan kemiringan lereng 0º-2º dengan yang di

manfaatkan untuk persawahan dan pemukiman oleh masyarakat, dengan

ketinggian minimum 1000 mdpl dan ketinggian maksimum 1050 mdpl dan

memiliki litologi penyusun berupa maeterial berukuran lempung, pasir, kerikil,

serta bongkahan yang belum terkompaksi.


26

Gambar 2.7. Subsatuan geomorfik dataran aluvial (F1)


Kamera menghadap timur

2.3. Pola Pengaliran Sungai

Menurut Howard (1967), pola pengaliran didefinisikan sebagai suatu

kumpulan dari alur-alur sungai pada suatu daerah tanpa mempedulikan apakah

alur-alur tersebut merupakan alur yang permanen (permanent stream). Menurut

Zuidam (1983), perkembangan pola pengaliran pada suatu daerah dipengaruhi

oleh kelerengan, jenis batuan dasar, kerapatan vegetasi, serta iklim di daerah yang

bersangkutan.

Dalam proses geologi maupun pembentukan morfologi, air memegang

peranan yang sangat penting, karena mempunyai kemampuan sebagai agen atau

media dalam proses pelapukan, erosi, transportasi dan proses sedimentasi. Dalam

hal ini proses erosi oleh air tersebut yang pada umumnya dominan melalui tubuh

sungai, akan menyebabkan sungai bertambah lebar, dalam, dan panjang, sehingga

membentuk pola sungai (stream pattern) dan selanjutnya membentuk pola


27

pengaliran (drainage pattern). Howard (1967), membuat klasifikasi pola

pengaliran menjadi 2 macam, yaitu:

1. Pola dasar (basic pattern): merupakan sebuah pola aliran yang mempunyai

karakteristik yang khas yang dapat secara jelas dibedakan dengan pola aliran

lainnya. Pola dasar ini umumnya berasal dari perkembangan pola dasar yang

lain dan kebanyakan dikontrol oleh struktur regional (Gambar 2.9).

2. Pola ubahan (modified basic pattern): merupakan sebuah pola pengaliran yang

berbeda dari bentuk pola dasar dalam beberapa aspek regional. Pola ubahan

biasanya merupakan ubahan dari salah satu pola dasar (Gambar 2.10).

Gambar 2.8. Klasifikasi pola aliran sungai yang belum mengalami perubahan
(basic pattern) (Howard, 1967)

Gambar.2.9. Klasifikasi pola aliran sungai yang telah mengalami perubahan


(modified basic pattern) (Howard, 1967)
28

Beberapa pola aliran mengacu pada pola pengaliran dasar dan ubahan dari

Howard (1967), sebagai berikut:

(1). Dendritik, berbentuk serupa cabang-cabang pohon dan cabang-cabang

sungai (anak sungai) berhubungan dengan sungai induk membentuk

sudut-sudut yang runcing. Biasanya terbentuk pada batuan yang

homogen dengan sedikit atau tanpa pengendalian struktur, maupun

dikontrol oleh struktur baik lipatan maupun sesar. Contoh: pada batuan

beku atau lapisan horisontal.

(2). Paralel, pola aliran yang mempunyai arah relatif sejajar, mengalir pada

daerah dengan kemiringan lereng sedang sampai curam, dapat pula pada

daerah dengan morfologi yang paralel dan memanjang. Pola ini

mempunyai kecenderungan berkembang ke arah dendritik atau trellis.

Contoh: Pada lereng-lereng gunungapi atau sayap antiklin.

(3). Trellis, menyerupai bentuk tangga dan sungai-sungai sekunder (cabang

sungai) membentuk sudut siku-siku dengan sungai utama, mencirikan

daerah pegunungan lipatan (antiklin, sinklin) dan kekar.

(4). Rectangular, pola aliran yang dibentuk oleh pencabangan sungai-sungai

yang membentuk sudut siku-siku, lebih banyak dikontrol oleh faktor

kekar-kekar yang saling berpotongan dan juga sesar.

(5). Radial, pola ini dicirikan oleh suatu jaringan yang memancar keluar dari

satu titik pusat, biasanya mencirikan daerah gunungapi atau kubah.


29

(6). Annular, bentuknya melingkar mengikuti batuan lunak suatu kubah yang

tererosi puncaknya atau struktur basin dan mungkin intrusi stock, bertipe

subsekuen, cabangnya dapat obsekuen atau resekuen.

(7). Multibasinal, pola yang terbentuk oleh banyaknya cekungan-cekungan

atau danau-danau kecil, biasanya terbentuk pada daerah rawa atau karst

topografi.

(8). Contorted, merupakan pola yang berbentuk tidak beraturan, kadang

terlihat ada pola trellis. Biasanya berkembang di daerah metamorf yang

bertekstur kasar, batuan beku atau pada batuan berlapis yang memiliki

resistensi yang sama.

2.3.1. Pola Pengaliran Daerah Penelitian

Dalam pembahasan mengenai pola aliran penulis melakukan pendekatan

dengan menggunakan interpretasi peta topografi dan pengamatan lapangan.

Berdasarkan sifat alirannya sungai induk bersifat permanen yaitu sifat aliran

airnya sepanjang tahun, sedangkan pada aliran anak sungai ada yang bersifat

permanen dan ada yang bersifat periodik, yaitu ada aliran air hanya pada musim

hujan saja .

Berdasarkan pengamatan dilapangan dan analisis peta topografi yang

kemudian dilakukan pendekatan dengan model pola pengaliran menurut

klasifikasi dari Howard (1967), maka daerah penelitian (Gambar 2.10) memiliki 2

pola pengaliran yaitu subdendritik dan subparalel.

Pola pengaliran subdendritik mempunyai arah relatif sejajar yang

kemudian menyebar membentuk cabang pohon, merupakan ubahan dari pola


30

dendritik karena pengaruh topografi dan struktur akibat pengaruh kekar secara

perlahan.

pola pengaliran subparalel yang mempunyai arah relatif sejajar, mengalir

pada daerah dengan kemiringan lereng sedang sampai curam, dapat pula pada

daerah dengan morfologi yang dikontrol oleh subparalel, lereng litologi dan

struktur. lapisan batuan relatif seragam resistensinya.


31

Gambar 2.11. Pola aliran lokasi penelitian


32

2.4. Stadia Daerah

Stadia daerah merupakan gambaran dari kondisi suatu daerah, bagaimana

proses suatu daerah telah mengalami perubahan morfologi dari morfologi aslinya.

Tingkat kedewasaan suatu daerah dapat ditentukan dengan melihat keadaan

bentang alam dan stadia sungai yang terdapat di daerah tersebut. Pembentukan

morfologi suatu daerah biasanya dikontrol oleh beberapa faktor seperti struktur

geologi, litologi, dan proses geomorfologi, baik berupa proses endogen maupun

eksogen.

Proses endogen yang mempengaruhi suatu daerah penelitian yaitu proses

pengangkatan dan pengendapan, kemudian setelah itu proses pengendapan itu

selesai seiring dengan proses pengangkatan tersebut proses erosi juga bekerja

pada secara bersamaan. Proses erosi akan bekerja secara terus–menerus sampai

pada proses pendataran. Kenampakan morfologi saat ini merupakan hasil proses–

proses endogen dan eksogen yang bekerja, terutama proses eksogen yang

berhubungan langsung dengan proses erosi. Proses erosi juga dapat digunakan

untuk mengetahui bentuk sungai dan tingkat erosi.

Faktor yang mempengaruhi tingkat erosi sungai yaitu diantaranya tingkat

resistensi batuan terhadap pelapukan dan erosi, kemiringan lereng (slope), tingkat

ketebalan vegetasi, aktivitas organisme (terutama manusia, dan tumbuhan) iklim

(curah hujan) waktu (lamanya proses erosi yang bekerja), dan permebilitas batuan.

Perkembangan stadia geomorfologi suatu daerah erat kaitannya dengan tingkat

erosi dan tingkat kedewasaan sungai daerah tersebut dimana semakin tinggi

tingkat erosinya maka akan memberikan kenampakan pada bentuk lahan menuju
33

stadia geomorfologi tua. Lobeck (1939), mengelompokkan stadia daerah menjadi

empat, yaitu :

a. Stadia muda

Stadia ini dicirikan oleh gradien sungai yang besar, arus sungai masih

deras, lembah sungai atau chanel berbentuk “V”, erosi vertikal lebih besar

dari pada erosi lateral sehingga sungai masih mengalami proses pendalaman,

masih sering di temui air terjun akibat adanya sesar, kadang-kadang terdapat

danau, keadaan permukaan yang masih rata, pada umumnya sedikit sekali

perajangan sungai serta susunan stratigrafinya relatif teratur serta lembahnya

sempit dan dangkal. Sungai-sungai masih relative lurus.

b. Stadia dewasa

Stadia dewasa dicirikan oleh gradien sungai yang sedang, aliran

sungai sudah mulai agak berkelok-kelok atau sungai memiliki meander

meander, sudah tidak dijumpai air terjun maupun danau, erosi vertikal

berimbang dengan erosi lateral, lembahnya sudah mulai berbentuk “U”,

lembah yang besar dan dalam, reliefnya relatif curam, stratigrafinya sudah

agak kacau serta proses erosi yang dominan. Divede sungai mulai terbentuk

dan membentuk relief yang kuat.

c. Stadia tua

Stadia ini dicirikan oleh erosi lateral lebih kuat daripada vertikal,

lembah bebentuk “U” dan semakin bertambah lebar, tidak dijumpai meander

lagi karena kelokan sungainya telah tersambung dan terbentuk danau tapal

kuda, arus sungai tidak kuat. Kelanjutan dari proses–proses yang bekerja pada
34

stadia dewasa yaitu keadaan permukaan semakin rendah, reliefnya relatif

datar serta lembah sungai lebar dan dangkal.

d. Stadia rejuvinasi (muda kembali)

Stadia ini dicirikan oleh perkembangan permukaan yang relatif datar

kembali dan terlihat adanya perajangan – perajangan sungai kembali.

Kemudian akan terjadi proses yang sama lagi seperti proses yang terjadi

mulai dari stadia muda sampai stadia tua.

Gambar 2.11. Stadia daerah menurut Lobeck (1939),


sebagai model pedekatan penentuan stadia sungai di daerah penelitian.
2. 5. Stadia Daerah Penelitian

Morfologi daerah penelitian sebagian besar di dominasi oleh perbukitan

bergelombang sedang-kuat, dimana beda tinggi secara keseluruhan yaitu kurang


35

lebih 100 – 500 meter, dan kemiringan lereng yang sangat curam yaitu berkisar

dari 20 – 550.

Sungai di daerah penelitian digolongkan dalam sungai berstadia muda ke

dewasa. Sungai muda ke dewasa (Gambar 2.12) dicirikan dengan kemampuan

mengikis alur secara vertikal lebih besar dari pada erosi lateral sehingga sungai

masih mengalami proses pendalaman, dengan penampang sungai berbentuk “V”,

arus sungai masih deras, pada beberapa aliran anak sungai banyak di temui air

terjun akibat adanya sesar. Maka berdasarkan hasil dari pengamatan dilapangan

yang telah dipaparkan penulis menyimpulkan bahwa stadia daerah penelitian yaitu

stadia muda ke dewasa.

Gambar 2.12. Penampang sungai utama berbentuk V dengan arus


yang deras, alur sungai masih sempit dan dalam, tidak dijumpai
adanya meander, dataran banjir, pada sisi lereng mengalami longsoran,kamera
menghadap utara
BAB 3
STRATIGRAFI

Stratigrafi secara umum didefinisikan sebagai suatu ilmu yang

mempelajari hubungan serta gambaran suatu lapisan batuan dengan batuan yang

lain. Gambaran tentang bermacam-macam unsur stratigrafi, seperti pemerian

batuan, penamaan batuan, jenis perlapisan, struktur sedimen, hubungan antara

lapisan satu dengan lainya, penyebaran batuan vertikal maupun rateral, serta

dinamika pengendapan dan lingkungan pengendapan. Dalam sandi stratigrafi

Indonesia (1996), pengertian Stratigrafi dalam arti luas adalah ilmu yang

membahas aturan, hubungan dan kejadian (genesa) macam-macam batuan di alam

dalam ruang dan waktu

3.1. Stratigrafi Regional

Stratigrafi regional telah ditulis oleh para peneliti terdahulu, yang tersusun

oleh urutan batuan tertua pada Zaman Tersier hingga batuan termuda Zaman

Kwarter. Menurut Condon, dkk, (1996) Geologi Regional Lembar Banjarnegara-

Pekalongan termasuk kedalam Zona Serayu Utara tersusun oleh beberapa formasi

diantaranya Formasi Totogan, Formasi Rambatan, FormasiHalang, Formasi

Kumbang, Formasi Tapak, Formasi Kalibiuk, Formasi Ligung, Formasi Batuan

Gunungapi Jambangan dan Endapan Aluvial (Tabel 3.1)

3.1.1. Formasi Totogan

Formasi Totogan terdiri dari breksi, batulempung, napal, batupasir,

konglomerat, dan tuf. Pada formasi ini ditemukan fosil Foraminifera plankton

36
37

yang menunjukkan kisaran umur Oligosen-Miosen Awal, dengan lingkungan

pengendapan Bathyal Atas. Formasi ini ditindih tidak selaras oleh Formasi

Rambatan, dan dibagian bawahnya menjari dengan bagian atas satuan

batugamping terumbu (Condon, dkk, 1996).

3.1.2. Formasi Rambatan

Formasi rambatan terdiri dari dua bagian yaitu, bagian atas dan bagian

bawah. Bagian atas terdiri dari batupasir gampingan berselang-seling dengan

batulempung gampingan, sisipan konglomerat, lanau, dan batugamping. Bagian

atas terdiri dari batulempung gampingan, sempat terdapat sisipan lanau, dan

serpih (Kartanegara, dkk, 1987). Formasi ini berumur Miosen Awal-Miosen

Tengah, banyak terdapat Fosil Foraminifera dengan mencapai ketebalan 300 m

dan diendapkan pada lingkungan dengan mekanisme arus turbidit sistem kipas

bawah laut (Djuri, dkk, 1996).

3.1.3. Formasi Halang

Formasi Halang terdiri dua bagian, yaitu bagian bawah dan atas. Bagian

bawah tersusun atas batupasir kehijauan. Bagian atas terdiri dari batupasir tufan

berselang-seling dengan batulempung. Formasi ini memiliki umur Miosen Tengah

(Djuri, dkk, 1996). Proses diendapkannya Formasi Halang dalam mekanisme arus

turbidit pada sistem kipas bawah laut yang mempengaruhi kegiatan vulkanisme,

diatasnya diendapkan secara tidak selaras dengan Formasi Kumbang

(Kertanegara, dkk, 1987).


38

3.1.4. Formasi Kumbang

Formasi Kumbang terdiri dari breksi dengan komponen yang menyudut,

ditemukan lapisan lava andesit, sedangkan diatasnya terdiri dari tuf yang

berselang-seling dengan breksi dan batupasir tufan. Formasi ini berumur Miosen

Tengah dan memiliki ketebalan 750 m (Djuri, dkk, 1996)

3.1.5. Formasi Tapak

Formasi Tapak memiliki litologi penyusun berupa batupasir kasar

berwarna kehijauan dan konglomerat, setempat dijumpai breksi. Formasi Tapak

menganduang dua anggota, yaitu Anggota Breksi dan Anggota Batugamping.

Anggota Breksi terdiri dari breksi gunungapi dengan massa dasar batupasir tufan,

dibeberapa tempat terdapat kalsit yang mengisi celah-celah. Anggota

Batugamping terdiri dari lensa-lensa berwarna kelabu kekuningan, tidak berlapis.

Formasi ini memiliki umur Pliosen Awal, dan diendapkan pada lingkungan laut

dangkal-laut dalam (Kertanegara, dkk, 1987).

3.1.6. Formasi Kalibiuk

Formasi Kalibiuk tersusun oleh batulempung kebiruan dan napal

berselang-seling dengan batupasir, pada bagian tengah terdapat zona dengan lensa

batupasir kehijauan dan kaya moluska. Formasi Tapak dan kalibiuk setara dengan

Bodas Series ( neritic Molasse Facies) terdiri dari batugamping napalan dengan

komposisi batugamping terdiri dari Koral dan Moluska. Formasi ini diperkirakan

berumur Pliosen Akhir (Djuri, dkk, 1996).


39

3.1.7. Formasi Ligung

Anggota Breksi Formasi Ligung, terdiri atas satuan batuan breksi

gunungapi (aglomerat) yang besusunan andesit, lava andesit horenblenda dan tufa,

berumur Plistosen, diendapkan secara tidak selaras di atas Formasi Kalibiuk, di

atasnya diendapkan undak sungan dan batuan Gunungapi Jambangan, tersebar di

sepanjang Serayu Utara.

3 1.8. Formasi Batuan Gunungapi Jembangan

Batuan Gunungapi Jambangan, terdiri atas satuan batuan lava andesit

hiperstein-augit, stempat mengandung horenblenda dan juga basa olivine, klastika

gunungapi, lahar dan alluvium(Qjo dan Qjm). berumur Plistosen. Di atasnya

diendapakn batuan Gunungapi Dieng berumur sama yaitu Plistosen terdiri atas

satuan batuan lava andesit dan andesit quarsa serta batuan klastika gunungapi.

3.1.9 Endapan Aluvial

Endapan aluvial, berumur Holosen, berupa endapan pasir, kerikil, lanau,

lempung serta endapan sungai dan rawa, yang diendapkan tidak selaras di atas

satuan batuan yang berada di bawahnya. selain endapan batuan sedimen, terdapat

juga batuan terobosan yang berkomposisi diorit, yang terjadi pada Kala Miosen

dan Pliosen serta menembus sebaran endapan dari Formasi Rambatan dan

Formasi Tapak.
40

Tabel 3.1 Stratigrafi regional Lembar Banjarnegara-Pekalongan (Condon, dkk, 1996)

3.2. Stratigrafi Daerah Penelitian

Pada penyusun stratigrafi daerah penelitian, penyusun berpedoman pada

data yang diperoleh di lapangan berupa ciri-ciri fisik batuan, variasi litologi, dan

dominasi litologi di lapangan, dan didasarkan atas konsep litostratigrafi yang

dikembangkan dalam Sandi Stratigrafi Indonesia (SSI) tahun 1996 (Martodjojo

dan Djuheini, 1996), kemudian dikelompokkan menjadi beberapa satuan batuan.


41

Penamaan satuan batuan didasarkan pada susunan batuan yang dominan,

kedudukan stratigrafi dan ciri khas yang terdapat pada satuan batuan tersebut.

Satuan litostratigrafi daerah penelitian didasarkan pada pengamatan fisik

litologi di lapangan dan laboratorium melalui deskripsi lapangan dan analisis

petrografi di bawah microscop untuk pemerian nama batuan. Untuk penentuan

umur dan lingkungan pengendapan penyusun melakukan analisis

mikropaleontologi dan juga menggunakan data kesebandingan yang diambil dari

regional daerah penelitian. Urutan stratigrafi daerah penelitian disusun secara

sistematis berdasarkan data pengukuran di lapangan dan analisis dalam peta

geologi, meliputi jenis dan urutan perlapisan, ketebalan, hubungan stratigrafi,

umur dan lingkungan pengendapannya.

Pada penentuan hubungan antar satuan batuan penyusun menggunakan

konsep fasies gunungapi menurut Bogie dan Mackenzie (1998):

a. Fasies sentral merupakan bukaan keluarnya magma dari dalam bumi ke

permukaan. Oleh sebab itu daerah ini dicirikan oleh asosiasi batuan beku yang

berupa kubah lava dan berbagai macam batuan terobosan semi gunungapi

(subvolcanic intrusions) seperti halnya volcanic necks, sill, retas, dan kubah

bawah permukaan (cryptodomes). Batuan terobosan dangkal tersebut dapat

ditemukan pada dinding kawah atau kaldera gunungapi masa kini, atau pada

gunungapi purba yang sudah tererosi lanjut.

b. Fasies proksimal merupakan kawasan gunungapi yang paling dekat dengan

lokasi sumber atau fasies pusat. Asosiasi batuan pada kerucut gunungapi
42

komposit sangat didominasi oleh perselingan aliran lava dengan breksi

piroklastika dan aglomerat.

c. Fasies medial, karena sudah lebih menjauhi lokasi sumber, aliran lava dan

aglomerat sudah berkurang, tetapi breksi piroklastika dan tuf sangat dominan,

dan breksi lahar juga sudah mulai berkembang. Sebagai daerah pengendapan

terjauh dari sumber.

d. Fasies distal didominasi oleh endapan rombakan gunungapi seperti halnya

breksi lahar, breksi fluviatil, konglomerat, batupasir, dan batulanau. Endapan

primer gunungapi di fasies ini umumnya berupa tuf. Ciri-ciri litologi secara

umum tersebut tentunya ada pengecualian apabila terjadi letusan besar

sehingga menghasilkan endapan aliran piroklastika atau endapan longsoran

gunungapi yang melampar jauh dari sumbernya.

Berdasarkan uraian di atas dan setelah melalui berbagai pekerjaan

lapangan, pekerjaan laboratorium serta pekerjaan studio, daerah penelitian dapat

dibagi menjadi 6 satuan litostratigrafi tidak resmi. Berurutan dari satuan paling tua

sampai ke satuan yang paling muda adalah:

1. Satuan lava basalt Jembangan

2. Satuan lava andesit hornblenda Jembangan

3. Satuan breksi andesit Jambangan

4. Satuan lava andesit piroksen Jembangan

5. Satuan intrusi andesit Wirasapu

6. Endapan campuran
43

3.2.1. Satuan Lava Basalt Jembangan Tua

Satuan ini dinamakan satuan lava basalt karena dari hasil data lapangan

ditemukan secara keseluruhan tersusun oleh lava basalt pada lokasi penelitian.

3.2.1.1 Dasar penamaan batuan


Satuan batuan ini terdiri dari lava basalt. Dasar penamaan satuan ini

berdasarkan penamaan tidak resmi, atas litologi penyusunnya yang dominan yaitu

lava basalt dan formasi asal batuan yaitu Formasi Batuan Gunungapi Jembangan.

3.2.1.2 Penyebaran dan ketebalan satuan batuan


Penyebaran satuan batuan ini tersingkap pada beberapa lokasi di daerah

penelitian yaitu pada Desa Depok, Desa Curuk Muncar dan Desa Sirukem

tersingkap pada daerah penelitian. Ketebalan satuan batuan ini berdasarkan

pengukuran dilapangan yaitu ±10-20 meter. Sedangkan berdasarkan pengukuran

dari penampang (E-F), ±250-650 meter.

3.2.1.3 Litologi penyusun

Litologi penyusun satuan lava basalt Jembangan Tua ini secara

keseluruhan yaitu terdiri dari lava basalt, yang secara megaskopis berwarna segar

abu-abu kehitaman, warna lapuk coklat kemerahan dengan struktur vesikuler pada

sayatan dan struktur skoria pada singkapan, hipokristalin,porfiritik fanerik, bentuk

anhedral-euhedral, ukuran (0,2-0,4 mm) inequigranular, komposisi berupa

plagioklas 58%, piroksen 20%, opak 2%, dan massa dasar berupa plagiokas dan

gelas 20% serta rongga 5% (Gambar 3.1).


44

Gambar 3.1 Satuan lava basalt Jembangan, LP 95 di Desa


Songgodadi kamera menghadap ke selatan.

3.2.1.4 Umur dan lingkungan pengendapan

Umur satuan lava basalt ditentukan dengan cara membandingkan terhadap

stratigrafi regional daerah penelitian yaitu Lembar Banjarnegara-Pekalongan

(Condon dkk, 1996) diketahui umur satuan lava andesit basalt yaitu Kala

Plistosen, sebanding dengan batuan Gunungapi Jembangan (Qj) yang berumur

plistosen, sedangkan untuk lingkungan pengendapan yakni berada pada

lingkungan darat.

3.2.1.5 Hubungan stratigrafi

Hubungan stratigrafi antara satuan lava basalt Jembangan dengan satuan

batuan dibawahnya tidak diketahui, karena tidak adanya data pendukung untuk

menentukanstratigrafinya. .(Tabel 3.2.).


45

Tabel 3.2. Kolom litologi satuan basalt Jembangan tanpa skala

3.2.2. Satuan Lava Andesit Hornblenda Jembangan Tua

3.2.2.1. Dasar penamaan satuan batuan

Satuan batuan ini terdiri dari lava andesit piroksen, breksi andesit. Dasar

penamaan satuan ini berdasarkan penamaan tidak resmi, atas litologi penyusunnya

yang dominan yaitu lava andesit hornblenda dan formasi asal batuan yaitu

Formasi Batuan Gunungapi Jembangan.

3.2.2.2. Penyebaran dan ketebalan satuan batuan

Satuan lava andesit hornblenda Jambangan ini penyebaran hampir

dominan pada daerah penelitian yang tersingkap pada bagian timur daerah

penelitian sampai dengan bagian barat, dengan persentase ±40 % dari luas daerah

penelitian, mecakup beberapa wilayah seperti Desa Sirukun, Desa Karanganyar,

Desa Kertasari, Desa Jatilawang sampai dengan Desa Kasimpar. Ketebalan satuan

batuan di lapangan berkisar 1-4 m, tetapi berdasarkan rekonstruksi penampang


46

geologi (E-F) ketebalan satuan lava andesit hornblenda Jembangan berkisar

±250-750 m.

3.2.2.3. Litologi penyusun

Litologi penyusun satuan ini antara lain lava andesit piroksen, breksi

andesit.

a. Lava andesit hornblenda secara megaskopis berwarna abu-abu kehijauan,

dengan struktur masif, skoria, aliran dan di sebagian tempat platy joint dan

sheeting joint hipokristalin, anhedral-euhedral, afanitik, dan ekuigranular.

Komposisi secara petrografis fenokris plagioklas, piroksen dan hornblenda

dengan kandungan plagioklas 48%, hornblenda 11%, piroksen 6%, opak

1% dan massa dasar 34% (Gambar 3.2)

Gambar 3.2 Satuan lava andesit horenblenda Jembangan , LP 60


di Desa Timbangsari kamera menghadap ke utara

b. Lava andesit piroksen, berwarna hitam keabuan, berstruktur skoria,

hipokristalin, bentuk anhedral-euhedral, equigranular, komposisi terdiri


47

dari plagioklas, piroksen,massa dasar gelas. Secara petrografis terdiri dari

plagioklas 55%, piroksen 22%, opak 3% dan massa dasar 20%.

c. Breksi andesit, berwarna segar hitam keabu-abuan, sebagian tempat

berwarna kuning kehitaman, struktur masif, tekstur berukuran pasir sampai

kerakal, bentuk menyudut tanggung, kemas terbuka, sortasi buruk,

komposisi fragmen andesit, matriks pasir dan tuf, semen silica. Secara

petrografis breksi ini di dapat fragmen berupa andesit dengan komposisi

plagioklas 35%, amphibol 6%, Piroksen 1%, opak 3%, dan masa dasar

55%. (Gambar 3.4).

Gambar 3.3 Breksi andesit di LP 43 di daerah Plorengan, kamera


menghadap ke utara

3.2.2.4. Umur dan lingkungan pengendapan

Umur satuan lava andesit hornblenda Jambangan ditentukan dengan cara

membandingkan terhadap stratigrafi regional daerah penelitian yaitu Lembar


48

Banjarnegara-Pekalongan (Condon dkk, 1996) diketahui umur satuan lava andesit

piroksen Jembangan yaitu Plistosen, sebanding dengan batuan Gunungapi

Jembangan (Qj) yang berumur Plistosen, dijumpai di beberapa titik lokasi

pengamatan, sedangkan untuk lingkungan pengendapan diyakini berada pada

lingkungan darat.

3.2.2.5. Hubungan Stratigrafi

Hubungan stratigrafi antara satuan lava andesit hornblenda Jambangan

dengan satuan batuan lava basalt Jembangan yang lebih tua di bawahnya yaitu

comformity atau selaras tegas, hal ini sesuai dengan hukum stratigrafi yang

berlaku dan menyebandingkan dengan data yang didapatkan dilapangan, serta

disesuaikan dengan stratigrafi vulkanik yang mana berasal dari satu sumber yang

sama, tanpa melewati jeda waktu pengendapan yang lama (Tabel 3.3.).
49

Tabel 3.3. Kolom litologi satuan lava andesit hornblenda Jembangan tanpa skala

3.2.3. Satuan Breksi Andesit Jembangan Tua

3 2.3.1. Dasar penamaan satuan batuan

Satuan breksi andesit Jembangan terdiri atas breksi andesit memiliki

kenampakan aliran. Dasar penamaan satuan ini secara tidak resmi atas litologi

penyusunnya yang dominan yaitu breksi andesit dengan tambahan keterangan

sumber batuan dari Formasi Gunungapi Jembangan.


50

3.2.3.2 Penyebaran dan ketebalan satuan batuan

Satuan breksi andesit Jambangan tersingkap pada bagian tengah daerah

penelitian dengan persentase ±11% pada luas daerah penelitian, mencakup pada

Desa Sirukun dan Desa Plorengan. Ketebalan satuan breksi andesit Jembangan di

lapangan berkisar 1-2 m, tetapi berdasarkan rekonstruksi penampang geologi (A-

B) satuan breksi andesit Jembangan memilik ketebalan berkisar ±450 m.

3.2.3.3 Litologi penyusun

Litologi penyusun satuan batuan ini yaitu breksi andesit.

a. Breksi andesit, secara megaskropis memiliki ciri dengan warna segar

hitam keabuan, warna lapuk coklat, strukur masif, bentuk butir menyudut-

menyudut tanggung, ukuran butir krakal-pasir,kemas terbuka, sortasi

buruk, komposis: fragmen berupa batuan andesit yang ada beberapa telah

mengalami oksidasi, batuan andesit (berwarna segar abu-abu, warna lapuk

coklat kehitaman, struktur masif asif, bentuk kristal anhedral, derajt

kristalisasi hipokristalin, equigranular, granularitas afanitik, komposisi:

plagioklas 35%, amphibol 6%, Piroksen 1%, opak 3%, dan masa dasar

55% (Gambar 3.4.).


51

Gambar 3.4. Satuan breksi andesit Jambangan LP 75


di Desa Sirukem,kamera menghadap ke barat laut

3.2.3.4 Umur dan lingkungan pengendapan

Umur satuan breksi andesit Jembangan Tua ditentukan dengan cara

membandingkan terhadap stratigrafi regional daerah penelitian yaitu Lembar

Banjarnegara-Pekalongan (Condon dkk, 1996) diketahui umur satuan breksi

andesit Jembangan bersamaan dengan satuan lava andesit horenblenda

Jambangan yaitu Plistosen, sebanding dengan batuan Gunungapi Jembangan (Qj)

yang berumur Plistosen, sedangkan untuk lingkungan pengendapan yakini berada

pada lingkungan darat.

3.2.3.5 Hubungan stratigrafi

Hubungan stratigrafi antara satuan breksi andesit Jembangan dengan

satuan batuan lava andesit horenblenda Jembangan yaitu selaras menjari, hal ini

sesuai dengan data lapangan dan disebandingkan dengan regional Lembar


52

Banjarnegara-Pekalongan. Berada pada umur yang sama dengan kenampakan di

lapangan (Tabel 3.4)

Tabel 3.4. Kolom litologi satuan breksi andesit Jembangan tanpa skala

3.2.4. Satuan lava andesit piroksen Jembangan Muda

3.2.4.1 Dasar penamaan satuan batuan

Satuan batuan ini terdiri dari lava andesit masif berwarna abu-abu yang

tersingkap di daerah penelitian. Dilihat dari susunan stratigrafi vulkanik dan

komposisi penyusun batuan, serta daerah keterdapatan batuan tersebut dan

disebandingan dengan regional. Dasar penamaan satuan berdasarkan penamaan

yang tidak resmi atas litologi penyusunnya yang dominan yaitu satuan andesit

piroksen Jembangan
53

3.2.4.2 Penyebaran dan ketebalan satuan batuan

Satuan lava andesit Jembangan tersingkap pada bagian tengah daerah

penelitian, dengan kenampakan aliran. Penyebaran ±25% pada daerah penelitian

dengan cakupan wilayah Desa Kasinoman dan Desa Simego. Ketebalan satuan

batuan ini jika dilihat dari lapangan berkiras 1-3 m, setelah melakukan rekontruksi

secara penampang geologi (E-F) satuan lava andesit Jembangan didapatkan

ketebalan berkisar ± 250-650 m.

3.2.4.3 Litologi Penyusun

Satuan lava andesit piroksen Jembangan Muda terdiri dari batuan andesit

piroksen yang secara megaskropis berwarna segar abu-abu, dengan warna lapuk

abu-abu kekuningan dengan struktur singkapan berupa aliran sedangkan

berdasarkan hand spaciemen berstruktur masif, dengan tekstur bentuk kristal

anhedral-euhedral, derajat kristalisasi hipokristalin, Eequigranular, granularitas

afanitik, Komposisi: Plagioklas 55%, Piroksen 22%, Opak 3%, dan massa dasar

terdiri dari gelas 20%. (Gambar 3.9.).

Gambar 3.5. Satuan lava andesit piroksen Jembangan di Desa Sirukem LP 21,
54

3.2.4.4 Umur dan lingkungan pengendapan

Umur satuan lava andesit piroksen Jembangan ditentukan dengan cara

membandingkan terhadap stratigrafi regional daerah penelitian yaitu Lembar

Banjarnegara-Pekalongan (Condon dkk, 1996), diketahui umur satuan lava andesit

piroksen Jambangan pada kala Plistosen, sebanding dengan batuan Gunungapi

Jambangan (Qjya) yang berumur Plistosen, sedangkan untuk lingkungan

pengendapan yakni berada pada lingkungan darat.

3.2.4.5 Hubungan stratigrafi

Berdasarkan pengamatan dan data lapangan satuan lava andesit

Jambangan memiliki hubungan stratigrafi selaras dengan satuan breksi andesit

Jambangan yang lebih tua di bawahnya. (Tabel 3.5)

Tabel 3.5. Kolom litologi satuan lava andesit piroksen Jembangan tanpa skala
55

3.2.5 Satuan Intrusi Andesit


Satuan ini dinamakan satuan intrusi andesit karena dari hasil data lapangan

ditemukan secara keseluruhan tersusun oleh intrusi andesit pada lokasi penelitian.

3.2.5.1 Dasar penamaan batuan

Satuan batuan ini merupakan satuan tertua yang tersingkap di daerah

penelitian. Dlihat dari susunan stratigrafi vulkanik dan komposisi penyusun

batuan, serta daerah keterdapatan batuan tersebut dan disebandingan dengan

regional. Dasar penamaan satuan berdasarkan penamaan yang tidak resmi atas

litologi penyusunnya yang dominan yaitu satuan intrusi andesit Wirasapu.

3.2.5.2 Penyebaran dan ketebalan satuan batuan

Penyebaran satuan batuan ini tersingkap pada satu lokasi di daerah desa

Kalisat Kidul tersingkap membentuk Gunung Wirasapu. Ketebalan satuan batuan

ini berdasarkan pengukuran dilapangan yaitu pada gunung Wirasapu ±6-8 meter.

Sedangkan berdasarkan pengukuran dari penampang (E-F), intrusi andesit pada

Gunung Wirasapu ±600 meter.

3.2.5.3 Litologi penyusun

Litologi penyusun satuan batuan ini keseluruhannya tersusun oleh intrusi

andesit (Gambar 3.3). Singkapan intrusi andesit ini berwarna putih keabu-abuan

dengan struktur masif, tekstur anhedral-euhedral, hipokristalin, equigranular,

fanerik, dengan komposisi plagioklas 70%, hornblende 30%, opak 5%, dan gelas

10%
56

Gambar 3.6 Satuan intrusi andesit Wirasapu, LP 33 di Desa Kalisatkidul


kamera menghadap ke selatan

3.2.5.4 Umur dan lingkungan pengendapan

Umur satuan intrusi andesit Wirasapu ditentukan dengan cara

membandingkan terhadap stratigrafi regional daerah penelitian yaitu Lembar

Banjarnegara-Pekalongan (Condon dkk, 1996) diketahui umur satuan intrusi

andesit wirasapu yaitu berumur Pliosen, sebanding dengan batuan intrusi (Tpd)

yang berumur Pliosen, sedangkan untuk lingkungan pengendapan yakni berada

pada lingkungan darat.

3.2.5.5 Hubungan stratigrafi

Berdasarkan pengamatan dan data lapangan satuan lava andesit

Jambangan memiliki hubungan stratigrafi tidak selaras dengan satuan lava

andesit piroksen Jambangan yang lebih tua di bawahnya. Hubungan stratigrafi

yaitu non conforminity karena sumber satuan intrusi andesit Wirasapu berbeda

dengan batuan terdahulunya (Tabel 3.6.)


57

Tabel 3.6. Kolom litologi satuan intrusi andesit tanpa skala

3.2.6. Endapan campuran

3.2.6.1 Dasar penamaan satuan batuan

Dasar penamaan batuan secara tidak resmi, dilihat kondisi lapangan

dominan keberadaannya, yaitu endapan campuran hasil dari pelapukan batuan

yang ada sebelumnya yang telah mengalami transportasi dan terendapkan pada

daerah tersebut.

3.2.6.2 Penyebaran dan ketebalan satuan batuan

Penyebaran endapan campuran berada pada bagian selatan dari

lokasi penelitian dengan persentase ±9% dari luas daerah penelitian, dimanfaatkan

sebagai lahan persawahan, ketebalannya berkisar 1-2 m. setelah melakukan


58

rekontruksi secara penampang geologi (C-D) satuan lava andesit Jembangan

didapatkan ketebalan berkisar ± 125 m.

3.2.6.3 Litologi penyusun

Endapan campuran merupakan material lepas hasil rombakan dari batuan

yang lebih tua dengan ukuran lempung sampai dengan bongkah andesit yang

belum tekonsolidasi (Gambar 3.10)

Gambar 3.7. Endapan Campuran LP 122, Kamera menghadap ke barat

3.2.6.4. Umur dan lingkungan pengendapan

Umur endapan campuran ditentukan dengan cara membandingkan

terhadap stratigrafi regional daerah penelitian yaitu Lembar Banjarnegara-

Pekalongan (Condon dkk, 1996) diketahui umur endapan campuran yang

termasuk pada Formasi Endapan Danau dan aluvium berada pada Kala Holosen,

untuk lingkungan pengendapan yakni berada pada lingkungan darat.


59

3.2.6.5 Hubungan stratigrafi

Endapan campuran termasuk ke dalam Kala Holosen yang belum

mengalami litifikasi keseluruhan dari material penyusunnya masih lepas-lepas,

memiliki umur termuda dalam urutan stratigrafi daerah penelitian. Hubungan

dengan satuan lava andesit piroksen yang berada di bawahnya yaitu tidak selaras

dikarenakan perbedaan umur dan asal material yang berbeda sumbernya ketidak

selarasannya yaitu non-confirmity (Tabel 3.7)

Tabel 3.7. Kolom litologi endapan campuran tanpa skala

Dari kesemua satuan batuan yang telah dijelaskan di atas, dapat dibuat

stratigrafi daerah penelitian (Tabel 3.8)


60

Tabel. 3.8 Kolom stratigrafi daerah penelitian tanpa skala

Setelah diketahui umur, ciri fisik, litologi penyusun serta hubungan

stratigrafi regional dan stratigrafi daerah penelitian maka dengan cara

kesebandingan dibuat tabel sebagai berikut (Tabel 3.8)


61

Tabel. 3.9 Kesebandingan stratigrafi daerah penelitian dengan stratigrafi regional


BAB 4
STRUKTUR GEOLOGI

Geologi struktur adalah studi mengenai tubuh batuan dan permukaannya

yang datar ataupun terlipat, beserta susunan internalnya. Geologi struktur

mencakup bentuk permukaan yang juga dibahas pada studi geomorfologi. Dengan

mempelajari struktur geologi yang berkerja pada batuan, dapat dibuat kesimpulan

mengenai sejarah tektonik, lingkungan geologi pada masa lampau.

4.1. Struktur Geologi Regional

Pembentukan struktur regional daerah penelitian tidak dapat dilepas dari

proses tektonika Lempeng yang menghasilkan Pulau Jawa, Pulau Jawa menempati

posisi tepi aktif interaksi antara lempeng-lempeng, yaitu lempeng Benua Eurasia

dengan lempeng Samudera Hindia yang telah berinteraksi sejak Kapur Akhir.

Menurut Asikin (1992) interaksi ini terjadi dengan Lempeng Samudera Hindia-

Australia bergerak ke utara yang menunjam ke bawah tepian Benua Eurasia yang

relatif tidak bergerak. Interaksi konvergen ini menyebabkan terjadinya Evolusi

tektonik dan membentuk sistem busur kepulauan dan jalur gunungapi aktif, serta

pola-pola kelurusan.

Pola struktur Pulau Jawa telah banyak diteliti dengan banyak data, yaitu

dengan data geologi permukaan, gaya berat magnetik, foto udara, citra satelit serta

radar dan seismik (Pulungguno dan Martodjojo, 1992 dalam Satya dan

Purwaningsih, 2002). Berdasarkan hasil penelitian Pulunggono dan Martodjojo

(1994), Pulau Jawa terdapat empat arah kelurusan struktur yang dominan

(Gambar 4.1.):

62
63

Gambar 4.1. Peta regional Jawa memperlihatkan pola struktur, dua sesar
mendatar regional dan implikasi geologi yang disebabkan (Satyana dan
Purwaningsih, 2002).

1. Pola Meratus yang berarah timurlaut-baratdaya, merupakan pola tertua di Jawa

yang terbentuk pada 80-53 juta tahun yang lalu (Kapur Akhir-Eosen Awal).

Wakil dari pola Meratus ini diantaranya Sesar Cimandiri di Jawa Barat, yang

dapat diikuti ke timur laut sampai batas timur Cekungan Zaitun dan Cekungan

Biliton, Sesar naik Rajamandala serta sesar-sesar lainnya di daerah Purwakarta.

2. Pola Sunda yang berarah utara-selatan,terbentuk pada Eosen Awal sampai

dengan Oligosen Akhir atau diperkirakan sekitar 53-52 juta tahun lalu. Pola ini

diwakili oleh sesar-sesar yang membatasi Cekungan Asri, Cekungan Sunda,

dan Cekungan Arjuna.

3. Pola Struktur Sumatera yang berarah baratlaut-tenggara, membentuk

Pegunungan Bukit Barisan yang arah sumbu sepanjang Pulau Sumatera.

Diwakili oleh Sesar Baribis, sesar-sesar di Lembah Cimandiri dan Gunung

Walat.
64

4. Pola Jawa yang berarah barat-timur, merupakan pola yang paling muda yang

diperkirakan terbentuk sejak 32 juta tahun yang lalu. Pola Jawa ini memotong

dan merelokasi Pola Struktur Meratus dan Pola Struktur Sunda.

Daerah penelitian sendiri termasuk bagian Jawa Tengah, yang mana di

Jawa Tengah hampir semua sesar di jalur Serayu Utara dan Serayu Selatan

mempunyai arah yang sama yaitu arah barat-timur.

Satyana dkk, 2004 menjelaskan Zona Pegunungan Serayu Utara termasuk

kedalam zona laut dalam Bogor-Serayu Utara Kendeng yang terletak sebagai

cekungan belakang busur yang relatif terhadap busur volkanik Oligosen-Miosen

yang berkembang hingga sekarang pada bagian selatan Pulau Jawa. Pembentukan

cekungan tersebut dimulai dari Oligosen Akhir saat berkembangnya busur

volkanik di Zona Serayu Selatan akibat adanya segmentasi tektonik sejak Eosen

Tengah. (Gambar 4.2)

Gambar 4.2. Fisiografi Zona Serayu (Satyana dkk, 2004)


65

Cekungan mulai terbentuk Oligosen akhir dengan material asal

gravitisional Wora-Wari kelompok dari Formasi Totogan. Dilanjutkan dengan

maerial asal Formasi rambatan berupa batupasir karbonatan dan konglomerat

dengan perselingan serpih, napal dan tuf, material sedimen ini mulai mengisi

cekungan pada Miosen Awal. Sedimentasi asal Formasi Rambatan ikut tergelincir

(gravity gliding), akibat berkembangnya busur volkanik Serayu Selatan yang

menghasilkan lereng berarah utara kedalama Serayu Utara. Sedimentasi ulang

atau reworking menyebabkan struktur slump dan sesar anjak (toe-thrust) yang

nantinya akan terdeformasi sebagai lipatan di Serayu Utara.

Kemudian pada Kala Miosen Akhir, berkembanglah volkanisme Serayu

Utara yang bersamaan dengan reaktivasi volkanisme Serayu Selatan (sebelumnya

berkurang intensitasnya pada Miosen Tengah akibat efek reorientasi Sundaland

berlawanan jarum jam). Pada periode inilah dapat dianggap bahwa cekungan

belakang busur Serayu Utara telah berubah menjadi busur volkanik. Pada Kala

Pliosen, aktivitas volkanisme Serayu Selatan berhenti dan volkanisme Serayu

Utara berkurang intensitasnya yang diduga akibat efek fase akhir rotasi Sundaland

(Hall, 2012).

Bemmelen (1949) menjelaskan pada Kala Plio-Pleistosen geosinklin

Serayu Utara terlipat menjadi geatiklin. Pengangkatan tersebut tidak hanya

menyebabkan denudasi kuat pada bagian tengah punggungan dan deposisi

konglomerat polimik serta batupasir silang siur pada kakinya, namun juga

menghasilkan penyebaran ququaversal dari inti plastis, dengan lipatan

concomitant (Bemmelen, 1949).


66

Memasuki zaman Kuarter, terjadi reaktivasi busur volkanik Serayu Utara

akibat magma keluar secara insidental melalui naiknya geantiklin yang dicirikan

oleh aktivitas volkanik Ungaran (Middle Damar beds), Korakan (Ligung beds)

dan Slamet Tua (Mengger horizon). Kemudian aktivitas volkanik semakin

menyebar yang dicirikan oleh breksi Linggopodo di sebelah barat (dari

Gunungapi Slamet Tua atau Gunungapi Cowet), Gunungapi Jembangan di bagian

tengah, dan Gunungapi Ungaran Tua (Notopuro Beds) di bagian timur

(Bemmelen, 1949). Selanjutnya terjadi pula volkanisme oleh Dieng, Sumbing,

dan Sindoro di bagian timur. Tingginya aktivitas volkanisme di Zona Serayu

Utara menyebabkan pembebanan yang besar sehingga menghasilkan isostasi

berupa pengangkatan pada Zona Serayu Selatan. Pembebanan yang besar tersebut

juga menyebabkan penyebaran gravitasional lebih lanjut yang memicu runtuhnya

kerucut gunungapi dan tersesarkan secara normal. Massa sedimen gravitasional

kemudian meluncur, tertekan secara kompresif, dan melipatkan breksi pada kaki –

kaki gunung (Bemmelen, 1949).

Struktur geologi regional pada daerah penelitian dijumpai berupa lipatan,

sesar, kekar, dan kelurusan yang merupakan batuan berumur Kapur-Holosen.

Lipatan yang terdapat di daerah penelitian berarah baratlaut-tenggara. Sesar yang

dijumpai umumnya berarah jurus barat baratlaut-timur tenggara sampai utara

baratlaut-selatan tenggara, dengan beberapa berarah timutlaut-baratdaya. Jenis

sesar berupa sesar turun, sesar nauk, dan sesar geser menganan. Kelurusan yang

sebagian diduga sesar mempunyai pola penyebaran seperti pola sesar, dan

umumnya berarah jurus baratlaut-timur tenggara serta baratlaut-tenggara, dengan


67

beberapa timurlaut-baratdaya. Kekar umumnya dijumpai pada batuan Tersier dan

Pra-Tersier. Kekar berkembang baik pada batuan berumur Kapur (Condon, dkk,

1996).

Berdasarkan pembelajaran ilmu gunung api, proses vulkanisme ternyata

dapat juga menghasilkan struktur geologi. Pendekatan ini mengutamakan pola

struktur geologi yang ada, seperti jurus dan kemiringan perlapisan batuan, serta

struktur rekahan dan perlipatan. Jurus perlapisan batuan gunung api berpola

konsentris mengelilingi sumber erupsi gunung api, sementara kemiringannya

melandai dan memancar semakin menjauhi sumber erupsi (Bronto, 2006)

(Gambar 4.3.).

4.3. Mekanisme Pembentukan Struktur Akibat Vulkanik


(Bronto, 2006)

Struktur berkembang pada daerah vulkanik dikarenakan adanya

kemeringan yang selaras dengan kemiringan lereng gunung api, yang juga

melandai dari lereng atas menuju lereng bawah dan kaki kerucut gunung api. Pada

lereng atas kemiringan perlapisan batuan dapat mencapai 35º, yang kemudian

secara berangsur melandai hingga kurang dari 5º atau bahkan horisontal sama
68

sekali pada kaki sampai dengan dataran. Pada waktu inflasi, diameter kawah

melebar sehingga pematang kawah robek/membuka membentuk rekahan/kekar

radier. Karena perbedaan rapat massa perlapisan batuan, efek gravitasi, alterasi

hidrotermal, dan gaya vertikal setiap magma naik ke permukaan, maka untuk

kesetimbangan dapat terjadi sesar normal melalui bidang rekahan tersebut.

Struktur rekahan, baik kekar maupun sesar akan berpola memancar

menjauhi pusat erupsi (Gambar 4.3.). Struktur ini disebabkan oleh gerakan magma

yang naik ke permukaan bumi, dan dipandang sebagai gaya berarah vertikal

sehingga terjadi inflasi dan deflasi tubuh gunung api

4.2. Struktur Geologi Daerah Penelitian

Pada subbab ini lebih menjelaskan mengenai struktur geologi yang

terbentuk selama atau setelah proses pembentukan struktur geologi akibat gaya

yang dihasilkan oleh aktivitas vulkanik. Untuk menyelesaikan masalah tentang

bentuk, posisi, arah gaya yang bekerja dan arah pergerakannya, penyusun

menggunakan data sekunder berupa interpretasi citra satelit dilengkapi dengan

data primer berupa data yang diambil langsung di lapangan.

Untuk penamaan sesar di daerah penelitian, menggunakan nama daerah

yang dilewati struktur tersebut, terlebih lagi lokasi yang paling baik kondisi

struktur geologinya. Struktur geologi yang berkembang di daerah penelitian

adalah Sesar Turun diperkirakan Depok, Sesar Mendatar Kiri diperkirakan

Sirukem, Sesar Mendatar Kiri diperkirakan Kasimpar dan Sesar Mendatar Kiri

diperkirakan Simego.
69

4.2.1. Struktur sesar

Sesar adalah suatu zona rekahan pada batuan yang telah mengalami

pergeseran, arah pergeseran sejajar terhadap bidang rekahan baik di sepanjang

garis lurus (translasi) ataupun secara memutar (rotasi). Unsur-unsur atau tanda-

tanda geologi yang mengindikasikan adanya sesar pada suatu daerah antara lain

bidang sesar, gawir, kelurusan topografi, kelurusan sungai, perbedaan offset

litologi dan topografi, penjajaran mata air, air terjun, breksiasi,gores garis, cermin

sesar dan milonit, namun tanda-tanda tersebut dapat sebagian tidak ditemukan

kenampakannya di lapangan.

Sesar-sesar yang tersingkap didaerah penelitian tidak selalu mempunyai

gejala-gejala atau tanda-tanda yang lengkap, bahkan ada yang mempunyai

beberapa gejala saja, seperti hanya berupa kenampakan morfologi berupa gawir

sesar, punggungan dan aliran sungai. Dengan demikian analisis struktur geologi

daerah penelitian dilakukan dengan 2 metode yaitu secara tidak langsung melalui

interpretasi kelurusan pada citra satelit berupa analisis Digital Elevation Model

(DEM) dan peta topografi yang merupakan data sekunder, serta secara langsung

yang dilakukan dengan pengamatan unsur-unsur struktur geologi di lapangan

yang merupakan data primer

Berdasarkan hasil penelitian lapangan dan interpretasi citra satelit ,

struktur geologi daerah penelitian digambarkan dalam peta geologi meliputi sesar

kanan turun dan sesar turun (Gambar 4.4.).


70

Gambar 4.4. Penyebaran struktur pada daerah penelitian

4.2.1.1. Sesar Turun diperkirakan Depok

Penamaan Sesar Turun diperkirakan Depok ini berdasarkan nama

wilayah yang dilewati yaitu daerah Desa Depok. Dari data sekunder yaitu

dengan peta geologi regional terlihat adanya struktur yang berkembang pada

daerah tersebut. Pada pengamatan lapangan Sesar Turun Depok batuan yang

tersesarkan adalah lava basalt, dicirikan dengan kenampakan di lapangan

melalui pandangan burung terlihat dengan jelas dan dari kelurusan topografi

pada peta topografi, citra DEM seperti pada Gambar 4.5, dimulai dari Desa

Pamutuh disebelah barat hingga Desa Gumelem disebelah timur. Jenis

patahan yang mensesarkan lava andesit adalah Sesar Turun diperkirakan

Depok. air terjun pada beberapa titik lokasi pengamatan yaitu pada LP 94 dan

LP 95 yang menunjukkan adanya patahan yang melewati daerah tersebut.


71

Gambar 4.5. Sesar Turun diperkirakan Depok dari kenampakan citra DEM

Kenampakan di lapangan dari Desa Pamutuh ke bagian selatan terlihat

tebing dengan kemiringan curam yang menandakan ada blok batuan yang

bergerak atau turun karena berat serta gravitasi seperti pada Gambar 4.6.

Gambar 4.6. Sesar Turun depok kenampakan berupa gawir,


kamera menghadap ke selatan
72

4.2.1.2. Sesar Mendatar Kiri diperkirakan Sirukem

Penamaan Sesar Mendatar Kiri diperkirakan Sirukem ini berdasarkan

nama wilayah yang dilewati yaitu daerah Sirukem. Dari data sekunder yaitu

dengan peta geologi regional terlihat adanya struktur yang berkembang pada

daerah tersebut. Pada pengamatan lapangan Sesar Mendatar Kiri diperkirakan

Sirukem batuan yang tersesarkan adalah lava andesit dan dicirikan Penamaan

dan penentuan sesar ini berdasarkan indikasi dari kelurusan sungai dari pola

aliran dan kelurusan topografi pada peta topografi, citra DEM seperti pada

Gambar 4.7. Jenis patahan yang mensesarkan lava andesit adalah Sesar

Mendatar Kiri Sirukem. Adanya sungai yang cukup curam yang dilihat dengan

pandangan burung pada lokasi pengamatan yaitu pada LP 114 yang

menunjukkan adanya patahan yang melewati daerah tersebut (Gambar 4.7).

Gambar 4.7. Sesar Mendatar Kiri diperkirakan Sirukem dan kenampakan kelurusan
suangai LP 114
73

4.2.1.3. Sesar Mendatar Kiri diperkirakan Kasimpar

Penamaan Sesar Mendatar Kiri Kasimpar ini berdasarkan nama

wilayah yang dilewati yaitu Desa Kasimpar. Penamaan dan penentuan sesar ini

berdasarkan indikasi dari kelurusan topografi pada peta topografi, citra DEM .

Pada pengamatan lapangan Sesar Mendatar Kiri diperkirakan Sirukem terdapat

kenampakan hancuran pada batuan yang tersesarkan yaitu lava andesit dan

dicirikan dengan terbentuknya kelurusan topografi seperti Gambar 4.10 Jenis

patahan yang mensesarkan andesit adalah sesar mendatar kiri (Gambar 4.10)

Gambar 4.8. Sesar Mendatar Kiri diperkirakan Kasimpar,


kenampakan citra DEM,

4.2.1.4. Sesar Mendatar Kiri diperkirakan Simego

Penamaan Sesar Mendatar Kiri diperkirakan Simego ini berdasarkan

nama wilayah yang dilewati yaitu daerah Simego. Penamaan dan penentuan

sesar ini berdasarkan indikasi dari kelurusan topografi pada peta topografi,

citra DEM. Pada pengamatan lapangan Sesar Mendatar Kiri Sirukem batuan
74

yang tersesarkan adalah lava andesit dan dicirikan dengan terbentuknya

kelurusan topografi seperti Gambar 4.9. Jenis patahan yang mensesarkan lava

andesit adalah sesar mendatar kiri diperkirakan Simego.

Gambar 4.9. Sesar Mendatar Kiri diperkirakan Simego, kenampakan citra DEM

4.3 Mekanisme dan Genesa Pembentukan Struktur Daerah Penelitian

Sesar yang berkembang pada daerah penelitian Pembentukan pertama

yaitu pada pergelakan blok sesar turun diperkirakan depok dengan kenampakan

berupa kawah dari data litologi dan morfologi serta data DEM sebagai data

tambahan menjelaskan bahwa daerah tersebut merupakan bagian proksimal

gunung api, yang mana rapat masa serta kemringan lereng dan gravitasi

menyebabkan pergerakan blok batuan. Arah pergerakan tidak sejurus melainkan

radial atau memutar utara selatan dan sampai barat timur (Gambar 4.10).
75

Gambar 4.10. Mekanisme pertama pembentukan Sesar Turun diperkirakan Depok

Pembentukan kedua yaitu pada struktur Sesar Mendatar Kiri diperkirakan

Sirukem, struktur Sesar Mendatar Kiri diperkirakan Kasimpar dan struktur Sesar

Mendatar Kiri diperkirakan Simego, terjadi pergerakan akibat aktivitas

Gunungapi Jembangan yang berarah barat laut- tenggara. Mekanisme terjadi

akibat pembebanan batuan dari endapan baru dari Gunungapi Rogojambangan

serta kerapatan massa, gravitasi dan kemiringan lereng.


BAB 5
SEJARAH GEOLOGI

Geologi sejarah merupakan salah satu cabang ilmu geologi yang

mempelajari sejarah terjadinya bumi dan peristiwa-peristiwa yang pernah terjadi

padanya (Sukandarrumidi,2005). Sejarah geologi darah penelitian dapat disusun

berdasarkan kesebandingan dengan peta geologi regional Banjarnegara dan

Pekalongan (Condon,dkk,1996), perbandingan dengan geologi regional karena

daerah penelitian tidak terdapat fosil foraminifera untuk penunjuk umur dan

lingkungan suatu batuan. Penentuan ejarah geologi akan dilihat dari kenampakan

batuan yang paling tua sampai dengan batuan yang termuda pada daerah

penelitian, selain itu perkembangan struktur geologi dan geomorfologi juga dapat

digunakan dalam penulisan sejarah geologi ini.

Untuk menentukan sejarah geologi penelitian penyusun, melakukan

pendekatan dengan data geologi regional berupa penentuan umur dengan

kesebandingan pada batuan vulkanik dan konsep stratigrafi batuan vulkanik serta

didukung oleh data-data penelitian terdahulu.

5. 1. Sejarah Geologi Daerah Penelitian

Sejarah regional bahwa daerah Serayu terjadi satu kali aktivitas

vulkanisme yaitu pada Zaman Kuarter. Berdasarkan data tersebut daerah

penelitian termasuk pada aktivitas vulaknik pada Zaman Kuarter yang terjadi pada

Kala Plistosen Awal sampai dengan Plistosen Atas hingga Kala Holesen yang

menghasilkan endapan campuran (Gambar 5.1.).

76
77

Kegiatan vulkaniseme mulai terjadi dimana pada fase ini pembentukan

tubuh gunung api yang terus menerus terjadi . (Gambar 5.1).

Gambar 5.1. Skema pembentukan tubuh gunungapi jembangan

Aktivitas Gunungapi Jambangan berlanjut dengan adanya fase efusif yang

menghasilkan urutan-urutan satuan batuan dari yang paling tua hingga batuan

yang paling muda. Keluarnya satuan batuan lava basalt jembangan yang

kemudian diikuti dengan satuan batuan lava andesit hornblende, terbentuk secarah

terus menerus dan mulai mengembangkan tubuh gunungapi jembangan tersebut,

lava andesit hornblende mengalir mengikuti topografi lembah yang tersebar dari

bagian utara sampai dengan selatan dan diikuti dengan breksi andesit, begitupun
78

juga Lava andesit piroksen yang keluar dan menyebar mengikuti topografi daerah

penelitian dan diikuti dengan terjadinya intrusi andesit wirasapu.

Tipe lava yang menghasilkan batuan yang berbeda pada lokasi penelitian

dikarenakan adanya kontak dengan batuan samping yang dilalui lava tersebut.

(Gambar 5.2).

Gambar 5.2. Skema pembentukan satuan batuan lava andesit basalt, lava andesit
hornlende, breksi andesit dan lava andesit piroksen

Aktivitas vulkanik mulai meningkat dan pertumbuhan tubuh gunungapi

tersebut semakin intens. Hasil material vulkanik dari Gunungapi Jembangan

menambah beban dalam pembangunan tubuhnya, selain itu gaya gravitasi dan

kemiringan lereng akan menghasilkan pathan-patahan normal dalam tubuh

gunungapi. Pada Kala Pleistosen Awal sampai dengan Pleistosen Atas


79

peningkatan material dari Gunungapi Jembangan semakin tinggi, Kemudian pada

Kala Holosen terjadi juga proses pelapukan dan erosi sehingga menyebabkan

terbentuknya endapan campuran yang berlangsung sampai sekarang pada daerah

penelitian (Gambar 5.3.)

Gambar 5.3. Skema proses pelapukan dan pembentukan endapan campuran


pada daerah penelitian

Proses pembentukan dan aktivitas gunungapi telah berhenti dan aktivitas

endogen semakin dominan, sehingga lokasi penelitian trus mengalami pelapukan

dan menghasilakan material hasil ubahan dari batuan- batuan yang lebih tua.

Proses pembentukan gunungapi disertai dengan proses tektonik karena

adanya aktivitas pembentukan gunungapi jembangan maupun karena aktivitas

tektonik secara global. Dilihat dari kenampakan morfologi yang ada saat ini.

Penghancuran tubuh gunungapi tersebut menyebabkan terjadinya Sesar Turun


80

depok, akibat dari inflasi dan deflasi pada kawah gunungapi kemudian terjadilah

sesar mendatar kiri kasimpar, sesar mendatar kiri sirukem dan sesar mendatar kiri

simego (Gambar, 5.4)

Gambar 5.4. Skema terbentuknya stuktur pada daerah penelitian


BAB 6
GEOLOGI LINGKUNGAN

Geologi lingkungan merupakan salah satu cabang ilmu geologi yang

mempelajari tentang interaksi antara manusia dengan alam lingkungannya, serta

pelestarian dan pemanfaatan bumi oleh manusia. Interaksi tersebut meliputi

pemanfaatan dan pengembangan sumber daya alam. Dampak yang ditimbulkan

oleh adanya kegiatan pemanfaatan dan pengembangan sumber daya alam tersebut,

serta adaptasi terhadap bencana alam. Geologi lingkungan juga dapat diartikan

ilmu yang membahas tentang keadaan lingkungan suatu daerah yang ditinjau dari

berbagai aspekilmu geologi.

Aspek dalam geologi lingkungan dapat bersifat positif maupun negatif,

aspek positif berupa sesumber yang dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan

masyarakat sehari-hari, sedangkan aspek negatif dapat berupa bencana alam yang

merusak liongkungan sekitar. Sumber-sumber alam akan mempunyai bobot

tertentu yang juga merupakan bagian dari ekosistem, yaitu tatanan kesatuan secara

utuh dan menyeluruh antara segenap unsur lingkungan hidup yang saling

mempengaruhi. Pengaruh ini dapat berupa pengaruh positif maupun negatif bagi

manusia sehingga untuk pengaruh positif akan selalu dipelihara dan diusahakan

keberadaannya, sedangkan untuk pengaruh yang bersifat negatif perlu diambil

suatu tindakan pencegahan agar keseimbangan ekosistem dapat terjaga menurut

Sampoerno (1979). Jadi, pembahasan geologi lingkungan ditujukan untuk

81
82

mengenal dampak lingkungan yang ditimbulkan oleh aspek geologi sebagai akibat

dari adanya ketergantungan dan interaksi antara manusia dan ekosistem.

Secara umum geologi lingkungan mencakup 2 aspek, yaitu sesumber dan

bencana alam. Perencanaan dengan tinjauan geologi lingkungan diharapkan akan

membantu dalam pemanfaatan lingkungan seoptimal mungkin dan membantu

mengurangi dan mencegah semaksimal mungkin pengaruh negatif dari

pemanfaatan lingkungan.

6.1. Sesumber

Sesumber adalah semua kekayaan alam yang terdapat di laut maupun di

darat yang dapat dimanfaatkan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan

hidupnya baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Pada pembahasan

geologi lingkungan ini sesumber yang ada pada daerah penelitian terbagi atas 3,

yaitu air, bahan galian sirtu (pasir dan batu), dan lahan.

6.1.1. Air

Air merupakan kebutuhan pokok manusia yang sangat dibutuhkan untuk

mempertahankan hidup, seperti untuk kebutuhan sehari-hari dan untuk pertanian.

Secara umum kondisi perairan di daerah penelitian cukup baik, dengan curah

hujan yang hampir merata setiap tahun, serta kondisi vegetasi yang lebat dan

masih terjaga sebagai media penahan air hujan yang meresap ke dalam tanah.

Potensi air yang dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar daerah penelitian berasal

dari air permukaan, yaitu pada air sungai yang berada di sekitar pemukiman

penduduk dan airtanah pada air sumur.


83

Besarnya debit air sungai yang ada di daerah penelitian sangat dipengaruhi

oleh curah hujan. Masyarakat yang berada di pada daerah penenlitian umumnya

memanfaatkan air sungai yang berasal dari aliran air terjun yang ditampung dan

disalurkan menggunakan pipa-pipa untuk keperluan sehari-hari, seperti mencuci,

mandi,air minum dan irigasi.

Sungai pada daerah penelitian (Gambar 6.1) umumnya merupakan sungai

yang bersifat permanen atau perennial dimana sungai tersebut dialiri air sepanjang

tahun (Sungai Balun). Sifat aliran pada anak-anak sungai bersifat periodik atau

ephimeral yaitu sungai yang dipengaruhi oleh musim, sehingga debit airnya akan

berkurang (kecil) pada musim kemarau dan melimpah (besar) pada musim

penghujan.
84

Gambar 6.1. Sumber air dan penampungan air untuk kebutuhan masyarakat pada sungai
Balun , gambar A. LP 27 , B. LP 27 dan C. Penampungan

Selain itu juga banyak anak-anak sungai yang bersifat intermiten, yaitu

sungai yang hanya dialiri air pada saat hujan saja. Selain air sungai pada daerah

penelitian melimpah air permukaan seperti air terjun, yang tersingkap dari bagian

utara daerah penelitian sampai dengan bagian selatan daerah penelitian. Air terjun

dimanfaatkan oleh masyarakat untuk kebutuhan sehari-hari mereka, seperti pada

Gambar 6.2. air terjun pada Desa Balun di LP 113.


85

Gambar 6.2. Kelimpahan air berupa air terjun pada LP 95


di Desa Curuk Muncar, arah kamera ke selatan

6.1.2. Bahan galian

Bahan galian sangat erat kaitannya dengan kehidupan manusia sehari-hari.

Bahan galian merupakan salah satu aspek geologi yang sangat berguna bagi

masyarakat, bahan galian ini sering dimanfaatkan sebagai bahan dasar bangunan,

jalan, jembatan, perabotan rumah, dan juga sebagai mata pencaharian warga di

daerah penelitian maupun di luar daerah penelitian. Bahan galian yang terdapat

pada daerah penelitian adalah bahan galian golongan C yaitu bahan galian yang

dapat dimanfaatkan oleh manusia dengan menggunakan alat sederhana.

Bahan galian berupa sirtu (pasir dan batu) dengan potensi bahan galian

yang paling banyak pada daerah penelitian yaitu berupa penambangan rakyat

batuan andesit, penambangan batuan andesit yang dilakukan masih dengan cara

sederhana. Beberapa penambangan batuan andesit terdapat pada daerah Desa

Sirukem, (Gambar 6.3).


86

Gambar 6.3. Bahan galian andesit, berupa lava andesit di Desa Sirukem
LP 11 Arah kamera utara

Penambangan rakyat berupa andesit berasal dari material gunungapi. Lava

andesit dan breksi andesit dimanfaatkan dalam memenuhi kebutuhan masyarakat

sekitar. Hasil tambang rakyat digunakan untuk membuat bangunan, jalan maupun

jembatan pada daerah penelitian (Gambar 6.3.). Batuan lapuk yang terdapat

dilokasi penelitian biasa dijadikan sebagai penambangan tanah, merupakan hasil

lapukan dari lava andesit, dijadikan oleh masyrakat sebagai tanah penyampur

semen untuk bangunan.

6.1.3. Lahan

Tanah di daerah penelitian mengandung unsur hara yang sangat baik bagi

tanaman, sehingga pemanfaatan lahan ini digunakan untuk bercocok tanam, yaitu

sebagai lahan pertanian dan lahan perkebunan. Daerah yang landai dan dekat

dengan tubuh sungai maupun dataran aluvial sering dimanfaatkan untuk lahan

pertanian dimana umumnya dijadikan lahan persawahan, sedangkan tempat yang


87

tinggi, sering dimanfaatkan untuk lahan pekebunan pinus, untuk diambil getahnya

baik untuk dijual maupun untuk digunakan sebagai bahan campuran industry

(Gambar 6.4).

Gambar 6.4. Sumberdaya lahan pada daerah penelitian, gambar kanan


dimanfaatkan sebagai lading sawah pada bagian lereng dan gambar
kiri sebagai pekebunan jagung

VI.2 Bencana Alam

Bencana alam adalah suatu proses yang dapat menimbulkan kerugian bagi

makhluk hidup, karena adanya aktivitas geologi yang memberi dampak negatif

bagi kehidupan manusia, baik langsung maupun tidak langsung. Bencana alam

adalah suatu gejala yang berhubungan dengan proses geologi yang menimbulkan

kerugian secara materi bahkan yang menyebabkan adanya korban jiwa.

Hasil observasi dilapangan, peneliti menemukan beberapa potensi bencana

geologi. Bencana alam yang terjadi di daerah penelitian adalah gerakan tanah,

yang terjadi karena proses pelapukan batuan yang tinggi dan juga keadaan
88

topografi yang memiliki kemiringan lereng yang curam. Gerakan tanah yang

terjadi di daerah penelitian pada umumnya yaitu berupa longsoran, bencana ini di

sebabkan oleh faktor kemiringan lereng, tingkat pelapukan batuan yang tinggi,

maupun curah hujan. Longsor yang terjadi memiliki arah yang berebeda-beda

serta jenis longsor yang beda-beda seperti rayapan, rockfall dan slump (Gambar

6.5)

Gambar 6.5. Bencana alam berupa longsoran pada a. LP 01, b, LP 12 dan c LP 25,
BAB 7
KONTROL AIRTANAH TERHADAP GERAKAN MASSA
DI DAERAH TEMPURAN DAN SEKITARNYA,
KECAMATAN WANAYASA, KABUPATEN BANJARNEGARA,
PROVINSI JAWA TENGAH

7.1. Latar Belakang

Gerakan tanah merupakan gejala alami yakni suatu proses perpindahan

massa tanah atau batuan pembentuk lereng dengan arah miring dari kedudukan

semula,sehingga terpisah dari massa yang mantap karena pengaruh gravitasi,

dengan jenis gerakan berbentuk translasi dan/atau rotasi. Proses terjadinya longsor

dapat dijelaskan secara singkat sebagai berikut: air meresap ke dalam tanah

sehingga menambah bobot tanah, air menembus sampai ke lapisan kedap yang

berperan sebagai bidang gelincir, kemudian tanah menjadi licin dan tanah

pelapukan diatasnya bergerak mengikuti lereng dan keluar dari lereng.

Pada umumnya kawasan rawan bencana longsor merupakan kawasan

dengan curah hujan rata-rata yang tinggi (di atas 2500 mm/tahun), kemiringan

lereng yang curam (lebih dari 40%), dan/atau kawasan rawan gempa. Pada

kawasan ini sering dijumpai alur air dan mata air yang umumnya berada di

lembah-lembah yang subur dekat dengan sungai. Di samping kawasan dengan

karakteristik tersebut, kawasan lain yang dapat dikategorikan sebagai kawasan

rawan bencana longsor adalah:

1. Lereng-lereng pada kelokan sungai, sebagai akibat proses erosi atau

penggerusan oleh aliran sungai pada bagian kaki lereng.

2. Daerah teluk lereng, yakni peralihan antara lereng curam dengan lereng

landai yang di dalamnya terdapat permukiman. Lokasi seperti ini merupakan

89
90

zona akumulasi air yang meresap dari bagian lereng yang lebih curam.

Akibatnya daerah tekuk lereng sangat sensitif mengalami peningkatan

tekanan

air pori yang akhirnya melemahkan ikatan antar butir-butir partikel tanah dan

memicu terjadinya longsor.

3. Daerah yang dilalui struktur patahan/sesar yang umumnya terdapat hunian.

Dicirikan dengan adanya lembah dengan lereng yang curam (di atas 30%),

tersusun dari batuan yang terkekarkan (retakan) secara rapat, dan munculnya

mata air di lembah tersebut. Retakan batuan dapat mengakibatkan

menurunnya kestabilan lereng, sehingga dapat terjadi jatuhan atau luncuran

batuan apabila air hujan meresap ke dalam retakan atau saat terjadi getaran

pada lereng.

Dengan mengidentifikasi sifat, karakteristik dan kondisi unsur-unsur iklim dan

hidrogeomorfologi suatu kawasan dapat diantisipasi kemungkinan terjadinya

longsor. Terhadap kawasan yang mempunyai kemungkinan terjadinya longsor

atau rawan bencana longsor ini diperlukan penataan ruang berbasis mitigasi

bencana longsor yang prosesnya diawali dengan penetapan kawasan rawan

bencana longsor (Pedoman Penataan Ruang Kawasan Bencana Longsor Peraturan

Menteri Pekerjaan Umum No.22/PRT/M/2007).

Kawasan rawan bencana longsor dibedakan atas zona-zona berdasarkan

karakter dan kondisi fisik alaminya sehingga pada setiap zona akan berbeda dalam

penentuan struktur ruang dan pola ruangnya serta jenis dan intensitas kegiatan

yang dibolehkan, dibolehkan dengan persyaratan, atau yang dilarangnya. Zona


91

berpotensi longsor adalah daerah/kawasan yang rawan terhadap bencana longsor

dengan kondisi terrain dan kondisi geologi yang sangat peka terhadap gangguan

luar, baik yang bersifat alami maupun aktifitas manusia sebagai faktor pemicu

gerakan tanah, sehingga berpotensi terjadinya longsor. Berdasarkan

hidrogeomorfologinya dibedakan menjadi tiga tipe zona (sebagaimana

diilustrasikan pada Gambar 7.1) sebagai berikut:

Gambar 7.1. Tipe zona berpotensi longsor (Pedoman Menteri Pekerjaan Umum, 2007)

1. Zona Tipe A

Zona berpotensi longsor pada daerah lereng gunung, lereng pegunungan,

lereng bukit, lereng perbukitan, dan tebing sungai dengan kemiringan lereng

lebih dari 40%, dengan ketinggian di atas 2000 meter di atas permukaan

laut.

2. Zona Tipe B
92

Zona berpotensi longsor pada daerah kaki gunung, kaki pegunungan, kaki

bukit, kaki perbukitan, dan tebing sungai dengan kemiringan lereng berkisar

antara 21% sampai dengan 40%, dengan ketinggian 500 meter sampai

dengan 2000 meter di atas permukaan laut.

3. Zona Tipe C

Zona berpotensi longsor pada daerah dataran tinggi, dataran rendah, dataran,

tebing sungai, atau lembah sungai dengan kemiringan lereng berkisar antara

0% sampai dengan 20%, dengan ketinggian 0 sampai dengan 500 meter di

atas permukaan laut (Pedoman Penataan Ruang Kawasan Bencana Longsor

Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.22/PRT/M/2007).

Penelitian dilakukan pada batuan beku lava andesit yang tersingkap atau

menutupi hampir keseluruhan lokasi penelitian yang sebagian besar telah

mengalami pelapukan dan dilakukan analisis yang berkaitan dengan hidrologi dan

gerakan massa. Oleh karena itu, dengan kondisi geologi seperti diuraikan diatas,

penyusun tertarik untuk mengangkat pembahasan dengan judul “Kontrol airtanah

terhadap gerakan massa Desa Tempuran, Kecamatan Wanayasa, Kabupaten

Banjarnegara, Provinsi Jawa Tengah”. Selain itu dari hasil analisis ini bisa di

ketahui daerah mana saja yang tingkat gerakan massanya dikontrol oleh airtanah

atau yang terjadi karena pelapukan batuan, sehingga di kemudian dapat dihimbau

dan disosialisasikan kepada warga sekitar agar terhindar dari bencana gerakan

massa.

Adapun Jenis-jenis gerakan tanah antara lain sebagai berikut:

1. Longsoran Translasi
93

Longsoran translasi adalah ber-geraknya massa tanah dan batuan pada

bidang gelincir berbentuk rata atau menggelombang landai.

2. Longsoran Rotasi

Longsoran rotasi adalah bergerak-nya massa tanah dan batuan

pada bidang gelincir berbentuk cekung.

3. Pergerakan Blok

Pergerakan blok adalah perpindahan batuan yang bergerak pada bidang

gelincir berbentuk rata. Longsoran ini disebut juga longsoran translasi blok

batu.

4. Runtuhan Batu

Runtuhan batu terjadi ketika sejum-lah besar batuan atau material lain

bergerak ke bawah dengan cara jatuh bebas. Umumnya terjadi pada lereng

yang terjal hingga menggantung terutama di daerah pantai. Batu-batu besar

yang jatuh dapat menyebabkan kerusakan yang parah.

5. Rayapan Tanah

Rayapan Tanah adalah jenis tanah longsor yang bergerak lambat. Jenis

tanahnya berupa butiran kasar dan halus. Jenis tanah longsor ini hampir tidak

dapat dikenali. Setelah waktu yang cukup lama longsor jenis rayapan ini bisa

menyebabkan tiang-tiang telepon, pohon, atau rumah miring ke bawah.

6. Aliran Bahan Rombakan

Jenis tanah longsor ini terjadi ketika massa tanah bergerak didorong oleh

air. Kecepatan aliran tergantung pada kemiringan lereng, volume dan tekanan

air, dan jenis materialnya. Gerakannya terjadi di sepanjang lembah dan mampu
94

mencapai ratusan meter jauhnya. Di beberapa tempat bisa sampai ribuan meter

seperti di daerah aliran sungai di sekitar gunungapi. Aliran tanah ini dapat

menelan korban cukup banyak.

Gambar 7.2. Jenis-jenis longsoran

7.2. Maksud dan Tujuan

Maksud dari kontrol airtanah terhadap gerakan massa Desa Tempuran,

Kecamatan Wanayasa Kabupaten Banjarnegara, Provinsi Jawa Tengah sebagai

bahan penelitian khusus bagi penyusun dalam melaksanakan skripsi tipe I pada

jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknologi Mineral, Institut Sains dan Teknologi

AKPRIND Yogyakarta.

Kontrol airtanah terhadap gerkan massa ini bertujuan untuk mengetahui

gerakan massa yang terjadi dipengaruhi oleh airtanah atau karena proses

pelapukan pada Desa Tempuran, Kecamatan Wanayasa, Kabupaten Banjarnegara

dengan melakukan pemetaan hidrologi .

7.3. Batasan Masalah


95

Batasan masalah pada penelitian ini hanya akan membahas pengaruh

airtanah terhadap gerkakan massa. Selain dari aspek-aspek tersebut, batasan

masalah penelitian ini terbatas pada Desa Tempuran dan sekitarnya, Kecamatan

Wanayasa, Kabupaten Banjarnegara, Provinsi Jawa Tengah.

7.4. Landasan Teori

Air merupakan kebutuhan utama bagi kehidupan manusia. Pada zaman

dahulu kehidupan berada di sekitar air, sungai, mata air atau danau. Namun

dengan bertambahnya populasi manusia dan kemajuan industri menyebabkan

kebutuhan akan air bersih sangat meningkat. Pemanfaatan air untuk berbagai

kepentingan harus di lakukan secara bijaksana, dengan mementingkan

kepentingan generasi sekarang maupun generasi mendatang. Aspek pengematan

dan pelestarian sumber daya air harus di tanamkan pada segenap pengguna air

(Effendi, 2003:11), sedangkan sumber daya air merupakan bagian dari sumber

daya alam yang mempunyai sifat yang berbeda dengan sumber daya alam lainnya

(kodoatie, 2001:27).

Airtanah merupakan air yang bergerak di dalam tanah, yang terdapat di

dalam ruang antara butir-butir tanah, yang meresap ke dalam tanah dan bergabung

membentuk lapisan tanah pembawa air yang disebut dengan akuifer. Keterdapatan

airtanah erat kaitannya dengan siklus hidrologi, sehingga semua airtanah dapat

sebagai bagian dari daur hidrologi, termasuk air permukaan dan atmosfer.

7.4.1. Siklus Hidrologi


96

Varshney, dalam Kaspuri (2001: 23) menjelaskan siklus hidrologi sebagai

suksesi tahapan yang dilalui air dari atmosfir ke bumi dan kembali lagi ke

atmosfir, evaporasi dari tanah atau laut maupun air pedalaman, kondensasi untuk

membentuk awan, presipitasi, akumulasi di dalam tanah maupun di dalam tubuh

air, dan evaporasi kembali. Energi panas matahari menyebabkan terjadinya

evaporasi di laut dan di badan air lainnya. Uap air tersebut akan terbawa oleh

angin melintasi daratan yang bergunung maupun datar dan apabila keadaan

atmosfir memungkinkan, sebagian dari uap air akan turun menjadi hujan. Sebelum

mencapai permukaan tanah air hujan tersebut akan tertahan oleh tajuk vegetasi.

Sebagian dari air hujan tersebut akan tersimpan dipermukaan daun selama proses

pembahasan daun dan sebagian lainnya akan jatuh di atas permukaan tanah

melalui sela-sela daun (througfall). Atau mengalir ke bawah melalui permukaan

batang pohon (streamfall).

Sebagian kecil air hujan tidak akan pernah sampai dipermukaan tanah

melainkan terevaporasi kembali ke atmosfer. Air hujan yang dapat mencapai

permukaan tanah, sebagian akan masuk terserap kedalam tanah (infiltrate).

Sedangkan air hujan yang tidak terserap ke dalam tanah akan tertampung

sementara dalam cekungan-cekungan permukaan tanah (surface detection) untuk

kemudian mengalir di atas permukaan tanah yang rendah (run off) untuk

selanjutnya masuk ke sungai. Air resapan akan tertahan di dalam tanah oleh gaya

kapiler yang selanjutnya akan membentuk kelembapan tanah. Apabila tingkat

kelembapan air tanah telah cukup jenuh maka air hujan yang baru masuk ke dalam

tanah akan bergerak secara lateral (horisontal) untuk selanjutnya pada tempat
97

tertentu akan keluar lagi ke permukaan tanah (subsurfaceflow) dan akhirnya

mengalir ke sungai. Alternatif lainnya, air hujan yang masuk ke dalam tanah

tersebut akan bergerak vertikal ke tanah yang lebih dalam dan menjadi bagian air

tanah (ground water). Air tanah tersebut, terutama pada musim kemarau akan

mengalir ke sungai, danau atau tempat penampungan air alamiah lainnya.

Menurut Asdak C., (1995), tidak semua air resapan (air tanah) mengalir ke sungai

atau danau, melainkan ada sebagian air infiltrasi yang tetap tinggal dalam lapisan

tanah bagian atas (top soil) untuk kemudian diuapkan kembali ke atmosfir melalui

permukaan tanah (evaporation) dan melalui permukaan tajuk vegetasi.

Gambar 7.3. siklus hidrologi (Asdak C.1995)

7.4.2. Asal Airtanah

Airtanah berasal dari bermacam sumber. Airtanah yang berasal dari

peresapan air permukaan di sebut air meteorik (meteoric water). Selain berasal
98

dari air permukaan, airtanah juga dapat berasal dari air yang terjebak pada waktu

pembentukan batuan sedimen. Airtanah jenis ini disebut air konat (connate

water). Aktivitas magma di dalam bumi dapat pula membentuk airtanah, karna

adanya unsur hidrogen dan oksigen yang menyusun magma. Airtanah yang

berasal dari aktivitas magma ini disebut dengan air juvenil (juvenile water). Dari

ketiga sumber airtanah tersebut air meteorik merupakan sumber airtanah terbesar.

Endapan pasir, krikil, kipas alivial dataran banjir dan endapan delta pasir

semuanya merupakan sumber-sumber airtanah yang sangat baik. Berdasarkan

material penyusunnya, maka terdapatnya airtanah dapat di bedakan menjadi dua,

yaitu:

1. Material lepas (unconsolidated materials)

2. Material kompak (consolidated materials)

Kira-kira 90 % airtanah terdapat pada material lepas misalnya pasir,

kerikil, campuran pasir dan kerikil, dan lain sebagainya. Sisanya 10 % terdapat

pada material kompak dimana air terdapat pada lubang-lubang bekas keluarnya

gas dan batuan kompok yang terdapat rekahan-rekahan yang banyak dan saling

berhubungan. Pada material lepas airtanah terdapat pada:

a. Daerah aliran airtanah (water course)

Daerah aliran air terdiri dari aluvial yang terletak di kanan dan kiri sungai

yang mengalir. Potensi airtanah cukup brsar apabila muka air sungainya

lebih tinggi dari muka airtanah. Faktor ini menyebabkan daerah ini sangat

potensial sebab materialnya lepas dan air sungai mensuplai airtanah

(influence).
99

b. Daerah lembah mati

Potensial airtanah di daerah ini cukup besar akan tetapi suplai air yang di

terima tidak sebesar daerah aliran air.

c. Daerah dataran

Daerah ini adalah dataran yang luas dengan endapan yang belum mengeras

misalnya pasil, kerikil.

d. Daerah lembah antara gunung

Lembah yang dikelilingi oleh pegunungan biasanya terdiri dari material

lepas yang jumlahnya sangat besar, material ini berasal dari pegunungan

sekitarnya. Materialnya berupa pasir kerikil dan sifatnya akan menerima

air dari pengisian di atasnya. Pada dataran antara gunung yang di batasi

oleh kaki-kaki gunung api akan mempunyai perbedaan besaran pada butir

setiap tahak kegiatan gunung api tersebut sehingga dapat menyebabkan

terbentuknya kondisi airtanah tertekan, terutama yang terletak tidak

seberapa jauh dari bagian kaki gunung api. Lembah tersebut di batasi oleh

lipatan, sangat perlu di perhatikan akan luasnya penyebaran litologi yang

diperkirakan dapat bertindak sebagia akuifer, karna sifatnya seperti yang

disebutkan di atas merupakan lapisan batuan yang sangat penting dalam

usaha penyerapan airtanah. Litologi atau penyusun batuan di lapisan

akuifer di Indonesia yang penting adalah:


100

1) Endapan aluvial: merupakan endapan hasil rombakan dari batuan

yang telah ada. Airtanah pada endapan ini mengisi ruang antara

butir. Endapan ini tersebar di darah dataran..

2) Endapan vulkanik muda: merupakan endapan hasil kegiatan

gunung api, yang terdiri dari batuan lepas maupun padat. Airtanah

pada batuan ini menempati baik ruangan antara butir pada

material lepas maupun rekahan-rekahan atau rongga batuan padat.

Endapan ini tersebar di sekitar wilayah gunung api.

3) Batugamping: merupakan endapan laut yang mengandung

karbonat karna proses geologis atau pengankatan oleh gaya

endogen sehingga dapat terangkat dan tersingkap di permukaan.

Airtanah di sini mengisi terbatas pada rekahan rongga, maupun

saluran-saluran hasil pelarutan batuan. Endapan ini tersebar di

tempat-tempat yang dahulu berwujud lautan karna proses geologi,

fisik dan kimia. Di beberapa sebaran endapan batuan ini

membentuk suatu morfologi karst.

7.4.3. Aliran Airtanah (sub- Surface Run Off)

Aliran airtanah adalah air yang meresap kedalam tanah, mencapai permukaan

airtanah dan bergerak menuju sungai dalam hitungan waktu. Aliran ini juga

disebut sebagai debit aliran dasar yang hanya beruba sedikit selama musim kering

dan basa sepanjang waktu. Didalam aliran airtanah terdapat beberapa sub-bagian

yaitu:
101

7.4.3.1 Aliran permukaan (Surface Run Off)

Aliran permukaan adalah pergerakan aliran air di atas permukaan tanah,

jumlahnya banyak, dan merupakan sisa atau kelebihan air yang tidak meresap ke

dalam tanah. Aliran ini akan terus menujuh ke daerah-daerah yang rendah, masuk

ke dalam sungai-sungai dan akhirnya masuk ke laut. Volume air yang mengalir

tidak seluruhnya kembali ke laut, sebagian akan menguap ke udara. Perlu

diketahui bahwa aliran permukaan hanya terjadi olah curah hujan dengan curah

hujan yang lebih.

7.4.3.2. Infiltrasi

Infiltrasi adalah proses resapan atau pergerakan air ke dalam tanah melalui

pori-pori tanah dengan arah vertikal. Kapasitas infiltrasi curah hujan dari

permukaan tanah ke dalam tanah sangat berbeda-beda tergantung pada kondisi

tanah di tempat bersangkutan. Infiltrasi sangat berpengaruh terhadap besarnya

potensi airtanah. Semakin tinggi infiltrasi, maka semakin besar potensi

airtanahnya.

7.4.3.3. Pergerakan Airtanah

Air yang meresap kedalam tanah akan mengalir mengikuti gaya gravitasi

bumi. Akibat adanya gaya adhesi butiran tanah pada zona tidak jenuh air,

menyebabkan pori-pori tanah terisi air dan udara dalam jumlah yang berbeda-

beda. Setelah hujan, air bergerak kebawah melalui zona tidak jenuh air. Sejumlah

air beredar didalam tanah dan ditahan oleh gaya-gaya kapiler pada pori-pori yang

kecil atau tarikan molekuler disekeliling partikel-partikel tanah. Bila kapasitas


102

retensi dari tanah telah habis, air akan bergerak ke bawah, ke dalam daerah

dimana pori-pori tanah atau batuan terisi air. Air didalam zona jenuh air ini

disebut Airtanah (Gambar 7.4).

Gambar 7.4. Pergerakan Air Bawah Tanah (Asdak C., 1995)

7.5. Metode Penelitian

Metode penelitian atau teknik pengumpulan data untuk analisis ini dibagi

menjadi dua metode, yaitu motede pengumpulan data primer yang berdasarkan

dari data pengamatan di lapangan dan metode pengumpulan data sekunder yang

berdasarkan hasil studi pustaka dari literatur yang relevan dengan judul studi

khusus ini. Kedua metode ini saling barkaitan untuk menyelesaikan dan

menyempurnakan studi khusus yang diangkat oleh penyusun. Tahapan penelitian

dapat dilihat dari began alir dibawah ini (Gambar 7.5).


103

Gambar 7.5. Bagan alir studi khusus.

7.5.1. Pengumpulan data primer

Data primer yang digunakan pada studi khusus ini yaitu terbagi dari

beberapa tahap, diantaranya tahap penelitian lapangan dan tahap pengolahan data.

1. Penelitian lapangan

Penelitian lapangan ini bertujuan untuk mengamatani kondisi lapangan

secara langsung dan juga mengumpulkan data primer yang dijadikian bahan

penelitian. Data primer didapatkan dengan pengamatan secara langsung di

lapangan dengan melihat beberapa aspek yang berkaitan dengan penelitian ini.

Penelitian lapangan dibagi beberapa antara lain:

a. Penentuan lokasi pengambilan data gerakan massa yaitu menentukan

lokasi yang potensial untuk dijadikan lokasi pengambilan data lapangan

yang akan diuji, yang sesuai dengan judul dalam penelitian. Dan dalam

penentuan lokasi pengambilan data gerakan massa ini untuk

mengumpulkan data primer dari lapangan berupa vegetasi, struktur


104

geologi yang berkembang pada daerah tersebut serta morfologinya,

bertujuan untuk menjadi bahan perbandingan dengan hasil penelitian

nantinya.

b. Pengambilan data arah aliran sungai untuk dianalisis. Pengambilan data

arah aliran sungai ini dilakukan pada sungai utama maupun pada anak

sungai pada daerah penelitian yang degan jumblah yang tak terbatas lebi

banyak data lapangan yang diambil maka lebih bagus data yang akan

dihasilkan .

c. Pembuatan peta dasar atau peta topografi dan pembuatan peta hydrologi .

7.5.2. Pengumpulan data sekunder

Data sekunder yaitu data yang didapat tidak secara langsung dari objek

penelitian. Data sekunder ini meliputi tahap studi pustaka. Studi pustaka

dilakukan untuk mendapatkan data sekunder yang berkaitan dengan bahasan

penelitian. Dalam Penelitian ini data sekunder yang digunakan berupa data studi

geologi regional daerah penelitian, dan studi pustaka tentang penelitian dengan

parameter geohidrologi dan gerakan massa sebagai penentuan aspek pengontrol

gerakan massa yang terjadi pada daerah penelitian.

7.6. Pengolahan Data

Pengolahan data pada penelitian ini berdasarkan atas pengambungan data

primer dan data sekunder. Data primer yang terdiri atas data longsor berupa arah

longor, slope dan arah aliran airtanah yang terdapat pada lokasi gerakan massa,
105

arah aliran sungai . Tahapan dalam pengolahan data digambarkan dalam alur

penelitian di bawah ini (Gambar 7.6).

Gambar 7.6. Bagan alir pengolahan data.

7.6.1. Teknik pengolahan data primer

Pengolahan data primer yaitu data hasil penelitian di lapangan , data

dikelola untuk pembahasan pada studi khusus ini. Tahapan pengolahandata primer

diantaranya:

1. Pembuatan peta dasar, berupa peta topografi, dalam pembuatan peta topografi

koordinat yang dimasukan mencakup daerah studi kasus yaitu Desa

Tempuran dan sekitarnya, Kecamatan Wanayasa. Kabupaten Banjarnegara,

Propinsi Jawa Tengah, dengan skala peta 1:12.500.


106

2. Masukan data longsor pada peta dasar yang telah dibuat data longkor yang

dimasukan dengan sibol longoran sesuai dengan arah longsoran yang terjadi

seperti pada lokasi pengamatan yang ada pada daerah penelitian sehingga

pada proses akhirnya dapat akurat sesuai dengan data primer yang diambil.

7.6.2. Teknik pengolahan data sekunder

Data sekunder yang berupa pustaka kemudian disusun menjadi karya tulis

ilmiah yang isinya merupakan dasar teori dari anlisisis yang dilakukan dalam

naskah skripsi ini. Data sekunder ini disusun dalam tinjauan pustaka dan

digunakan sebagai materi tambahan dalam penyusunan naskah skripsi.

7.7 Hasil dan Pembahasan

Hasil dan pembahasan ini merupakan pengabungan dari data lapangan dan

data sekunder dari beberapa literatur yang berkaitan dengan judul studi khusus

kontol airtanah terhadap gerakan massa.

7.7.1. Hasil analisis

Hasil analisi merupakan hasil pengambilan data lapangan. Hasil

pengamatan lapangan berupa data morfologi, litologi, struktur geologi, vegetasi

dan lainnya.

Hasil lapangan yaitu pengambilan pengamatan kondisi lapangan dan

pengambilan data hidrologi berupa data aliran sungai, elevasi, slope, vegetasi dan

jenis suangai kemudian akan dilakukan analisis yang sesuai judul pembahasan

dari penelitian ini. Salah satu lokasi pengambilan data aliran sungai berada di
107

Desa Tempuran , Kecamatan Wanayasa, Banjarnegara, Provinsi Jawa Tengah.

Data yang telah diambil selanjutnya akan dilakukan analisis dalam pembuatan

peta hidrologi. (Gambar 7.7)

Gambar 7.7. Lokasi pengamatan dan pengambilan data aliran sungai

Tidak jauh dari lokasi pengambilan data hidrologi diambil juga data

longsoran atau data gerkan massa dengan morfologi bergelombang kuat, dengan

vegetasi sedang yang didominasi oleh pohon pinus, pada lokasi gerakan massa ini

merupakan salah satu gerakan massa yang dipengaruhi oleh airtanah dan

airresapan dimana dari hasil material gerkan massanya terdapat sedikt aliran air

yang keluar searah dengan arah lonsoran dan material longsoran merupakan hasil

dari pelapukan lava andesit. Pada lokasi ini tataguna lahan digunakan sebagai

perkebunan pinus dan juga ada dibagian selatan darih longsoran ini digunakan

sebagai areah pemukiman masyarakat seperti yang diketahui di daerah Tempuran

ini memiliki kelimpahan air dan juga rawan gerakan massa dengan kondisi batuan
108

yang telah mengalami pelapukan dan juga tinggkat kelembaban tanah yang sangat

tinggi sehingga gampang untuk terjadinya gerakan massa pada daerah Tempuran

dan sekitarnya. (Gambar 7.11.)

Gambar 7.8. pengambilan data longor yang berada pada daerah


penelitian Desa Tempuran

7.7.2 Pembahasan

Lokasi penelitian memilki litologi yang hasil dari aktivitas tektonik berupa

breksi andesit , lava andesit, intrusi andesit dan ada pengendapan sebelum ada

tektonik dan vulcanik dahulunya yaitu lautan dan sekarang tersingkap

dipermukaan akibat pengangkatan.

A. Hasil analisi data

Berdasarkan data yang didapat dan sudah di analisa dapan disimpulkan

bahwa daerah penilitian memili variasi morfologi yang sangat beragam, mulai
109

dari landai sampai curam dengan perbukitan bergelombang lemah sampai kuat.

Dengan mengacu pada klasifikasi kelas kelerengan menurut Van Zuidam tahun

1985, dapat disimpukan bahwa daerah penelitian memiliki potensi gerakan tahah

yang cukup besar dengan nilai rata-rata 25%-33%. Pada klasifikasi Van Zuidam

1985 nilai tersebut masuk pada kategori pada lereng curam sampai terjal sering

terjadi erosi dan gerakan tanah, dengan kecepatan perlahan dan merupakan daerah

rawan gerekan tanah dan longsor.

Tabel 7.1. Klasifikasi kelas kelerengan (van Zuidam, 1985)


110

B. Tipe gerakan tanah daerah penelitian

1. Longsoran yang dipengaruhi oleh airtanah

Pada lokasi penelitian ini memiliki pergerakan tanah di daerah

Tempuran, dan sekitarnya dengan kemiringan slope 29°-36°, pada saat musim

hujan daerah penelitian memiliki tingkat gerakan tanah yang lebih tinggi

karena tipe batuan daerah tersebut merupakan lapukan batuan lava andesit

sehingga menghasilkan soil/tanah yang mudah bergerak, terlebih lagi jika

terjadi hujan yang mengakibatkan bertambah massa batuan bertambah karena

adanya resapan air hujan, sehingga mudah untuk bergerak (Gambar 7.9).

Gambar 7.9. longsoran yang dipengaruhi oleh air

2. Longsoran yang terjadi karena pelapukan batuan

Pada lokasi penelitian ini terdapat longsoran yang terjadi karena proses

pelapukan yang tinggi jenis longsoran atau pergerakan tanah ini terjadi pada

litologi lava andesit yang telah mengalami tingkat pelapukan yang tinggi dan
111

faktor kemiringan lereng sehingga menyebabkan terjadinya gerakan massa

berbeda dengan sebelumnya pada longsoran ini tidak dijumpai adanya tanda-tanda

aliran air ataupun kelembaban pada material longsoran sehingga gerkana massa

yang terjadi pada lokasi ini terjadi karena proses pelapukan batuan (Gambar 7.10).

Gambar 7.10. Longsoran yang terjadi karena pelapukan

3. Rayapan tanah

Pada lokasi penelitian yang tidak jauh dari lokasi studi kasus daerah

Tempuran ini memiliki pergerakan tanah di daerah Sirukem, dengan

kemiringan slope 9°-16°, terdapat bukti pergerakan tanah yang masih berlanjut,

di lokasi tersebut dari waktu kewaktu tanah tersebut semakin bergeser kearah

selatan yang menyebabkan infrastruktur seperti jalan dan tiang kabel listrik

bergerak dan berubah (Gambar 7.11).


112

Gambar 7.11. Jalan berkelok karena gerakan tanah

Dari hasil penelitian lapangan dan pengolahan data hingga pembutan peta

hidrologi faktor utama yang mempengaruhi gerakan massa pada derah Tempuran

dipengaruhi oleh airtanah dan pelapukan dimana dari pengamatan hasil longsoran

yang ada hampir sebagian besar dipengaruhi oleh airtanah ataupun air resapan

menyebabkabkan tingkat kelembaban yang tinggi pada batuan yang telah lapuk

sehingga memudahkan untuk terjadinya gerakan massa.

Hasil pengambilan data longsoran arah longsoran relatif menuju ke arah

sungai hal ini juga sangat berpengaruh besar terhadap proses gerkan massa hampir

sebagian besar longsoran yang terjadi memiliki arah yang sama dengan

karakteristik yang sama maka proses gerakan massa atau longsoran yang terjadi

pada daerah tempuran didominasi oleh airtanah.


113

C. Aliran airtanah pada daerah penelitian

Daerah aliran air terdiri dari lava andesit yang sebangian besar telah

mengalami proses pelapukan yang terletak di kanan dan kiri sungai yang

mengalir. Potensi airtanah cukup besar muka air sungainya lebih rendah dari

muka airtanah. Faktor ini menyebabkan daerah ini sangat potensial terjadinya

gerakan massa sebab materialnya lepas dan airtanah mensuplai air sungai

(efluence).

7.8. Kesimpulan

Dari hasil pengambilan data lapangan, proses pengolahan data dan

pembahasan diatas dapat ditarik kesimpulan, dari peta hidrologi yang dibuat di

Desa Tempuran , Kecamatan Wanayasa, Banjarnegara, Provinsi Jawa Tengah,

Gerakan massa yang terjadi pada daerah pada daerah Tempuran sebagian besar

dikontrol oleh air menempati kurang lebih 70% dari luas daerah penelitian,

dimana seperti yang telah diketahui material longor atau gerakan massa memiliki

tingkat kelembaban yang tinggi pada hasil material longsorannya, hal ini

disebabkan oleh tingkat curah hujan yang tinggi pada daerah penelitian.

Adapun gerkan massa yang terjadi pada daerah Tempuran , Kecamatan

Wanayasa, Banjarnegara, Provinsi Jawa Tengah, dipengaruhi oleh pelapukan

batuan karena daerah penelitian sendri berada di atas 1000-2000 meter diatas

permukaan laut dan kenampakan dilapangan hampir sebagian batuan pada daerah

penelitian telah mengalamai proses pelapukan, gerakan massa yang terjadi akibat

proses peapukan sendiri menempati kurang lebih 20% dari luas daerah penelitian.
BAB 8
KESIMPULAN

8.1. Kesimpulan

Daerah penelitian terletak kurang lebih 145 km ke arah baratlaut dari Kota

Yogyakarta, dan secara administrasi terletak di Kabupaten Banjarnegara-

Pekalongan. Secara astronomis daerah penelitian terletak pada koordinat

07o10’00”–07o15’00”LS dan 109o40’00”–109o45’00” BT. Daerah penelitian

mempunyai skala peta 1:25000, terletak pada 4/9 lembar peta RBI No Lembar

1408-432 (Kalibening), dengan luas daerah penelitian adalah 9 km x 9 km atau

sama dengan 81 km2.

Berdasarkan kondisi geologi di lapangan dan hasil pengolaha data, maka

dapat disimpulkan mengenai kondisi geologi daerah penelitian. Geomorfologi

daerah penelitian terdiri atas 6 subsatuan geomorfik, yaitu: subsatuan geomorfik

lereng vulkanik bawah (V5), subsatuan geomorfik pegunungan vulkanik curam

terdenudasi (V19), subsatuan geomorfik pegunungan vulkanik sangat curam

terdenudasi (V20), subsatuan geomorfik gunung intrusi andesit (V21), subsatuan

geomorfik pegunungan terdenudasi (D2) dan subsatuan geomorfik dataran aluvial

(F1). Stadia daerah penelitian dari muda menuju dewasa. Pola aliran pada daerah

penelitian dibagi 2 yaitu: pola aliran subdendritik, dan subparalel.

Satuan batuan pada daerah penelitian dibagi menjadi 5 satuan batuan dan

endapan campuran, dari yang tertua sampai yang mudah berdasarkan umur

kesebandingan dengan geologi regional yaitu : satuan lava basalt Jambangan

dengan umur Pleistosen, selaras dengan satuan lava andesit hornblende

114
115

Jambangan dengan umur Pleistosen, menjari dengan satuan breksi andesit

Jambangan dengan umur Pleistosen, selaras dengan satuan lava andesit piroksen

dengan umur pleistosen, tidak selaras dengan satuan lava andesit piroksen dan

tidak selaras dengan endapan campuran yang umumnya berupa material lepas

yang berukuran dari bongkah-lempung memiliki ketebalan 1-10 m.

Struktur yang terbentuk pada daerah penelitian dilihat dari keadaan

lapangan dan disebandingkan dengan peta regional serta data citra DEM,

didapatkan 5 pola struktur, melingkupi sesar turun dan sesar mendatar kiri yaitu:

Sesar Turun diperkirakan Depok, Sesar Mendatar Kiri diperkirakan Sirukem,

Sesar Mendatar Kiri diperkirakan Kasimpar dan Sesar Mendatar Kiri diperkirakan

Simego.

Sesumber yang ada pada daerah penelitian adalah sungai dan air terjun.

Potensi bahan galian yaitu pemanfaatan pasir batu dan andesit. Serta potensi lahan

untuk perkebunan dan pertanian, yaitu persawahan pada tepi bukit dan penanaman

pohon pinus yang dimanfaatkan getahnya bagi masyarakat dan untuk bahan

campuran industri. Bencana alam di daerah penelitian adalah gerakan tanah

berupa rockfall, slump dan rayapan.

Pengolahan data dan pembuatan peta hidrologi dapt disimpulkan bahwa

gerakan massa yang terjadi karena aliran airtanah dan proses pelapukan batuan

sedangkan pada daerah penelitian sebagian besar dipengaruhi oleh airtanah

dimana mencapai kurang lebih 70% dari luas daerah penelitian, hal ini karena

material hasil longsoran kebanyakn memiliki kelmebaban tanah yang tinggi dan

adanya aliran air disekitar lokasi gerkan massa, adapun gerakan massa yang
116

terjadi kaerena proses pelapukan batuan yang mencapai kurang lebih 20% dari

luas daerah penelitian . Maka dapat disimpulkan bahwa sebagian besar gerakan

massa dipengaruhi oleh aliran airtanah yang melimpah pada daerah penelitian.
DAFTAR PUSTAKA

Asdak, C., 1995. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta.

Asikin, S., 1974, Evolusi Geologi Jawa Tengah dan Sekitarnya Ditinjau dari Segi
Teori Tektonik Dunia yang Baru, Disertasi Doktor, Departemen Teknik
Geologi ITB, Tidak Dipublikasikan.

Bakosurtanal, 2000, Peta Rupa Bumi Digital Indonesia Lembar Kalibening Skala
1:25.000, Bakosutarnal, Bogor.

Bemmelen, R.W., 1949, The Geology of Indonesia, Vol. IA: General Geology of
Indonesia and Adjacent Archipelagoes, The Hague, Martinus Nijhoff, vol.
1A, Netherlands.

Bogie, I., and Mackenzie, K.M., 1998, The Application of A Volcanic Facies
Model to An Andesitic Stratovolcano Hosted Geothermal System at
Wayang Windu, Java, Indonesia, Proceedings 20th, NZ Geothermal
Workshop.

Bronto, S., 2006, Fasies Gunung Api Dan Aplikasinya, Jurnal Geologi Indonesia
Vol.1 No.2, Pusat Survei Geologi, Jln. Diponegoro 57 Bandung, Indonesia.

Condon, W.H., Pardyanto, L., Ketner, K, B., Amin, T, C., Gafoer, S., dan
Samodra, H., 1996, Peta Geologi Regional Lembar Banjarnegara-
Pekalongan (1408-4 & 1409-1) Skala 1:100.000.

Djuri, M., Samodra H., Amin, T.C., dan Gafoer, S., 1996, Peta Geologi Regional
Lembar Purwokerto dan Tegal (1309-3 & 1300-6) Skala 1:100.000, Jawa,
Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Bandung.

Efendi, Hefni. 2003. Telah Kualitas Air. Yogyakarta: KANISIUS

Howard, A.D., 1967, Drainage Analysis in Geologic Interpretation, AAPG


Bulletin, vol.51.

Kartanegara, L., Uneputty, H., dan Asikin, S., 1987, Tatanan Stratigrafi dan Posisi
Tektonik Cekungan Jawa Tengah Utara Selama Jaman Tersier, PIT IAGI
ke-16, Bandung.

Kodoatie, J.R. dan R. Syarief, 2005. Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu.
Andi Offset, Yogyakarta
Lobeck, A.K., 1939, Geomorphology, An Introduction to The Study of Landscape,
Mc Graw-Hill Book Co., Inc., New York and London.

Martodjojo, S., 1996, dan Djuhaeni, Sandi Stratigrafi Indonesia, Ikatan Ahli
Geologi Indonesia.

Permen PU No.22/PRT/M/2007Tentang Zona Kerentanan Gerakan Tanah,


Jakarta.

Sampurno, 1979.Geologi Teknik Daerah Semarang, Suatu Pendekatan,


DariObservasi Permukaan ke Arah Pembuatan Unit Geologi Teknik
Dengan Karakteristik Lingkungan Keteknikan. PIT IAGI VIII. Bandung:
IAGI.

Satyana, dan Purwaningsih, 2002. Lekukan Struktur Jawa Tengah, Suatu


Segmentasi Sesar Mendatar, Prosiding Ikatan Hali Geologi, Yogyakarta.

Satyana, A.H., dan Armandita, C., 2004, Deepwater plays of Java, Indonesia :
Regional evaluation on opportunities and risks, IPA Annual Convention
Proceedings, DFE04- OR-002, p 27

Smyth, H., Hall, R., Hamilton, J., dan Kanny, P., 2005, East Java: Cenozoic
Basins, Volcanoes and Ancient Basement, Indonesian Petroleum
Association, Proceedings 30th Annual Convention, hal 251-266.

Verstappen., H. Th. 1983. Applied Geomorphology.Geomorphological Sureys for


Environmental Management. Amsterdam: Elsivier.

Wiliams, H., F.J. Turner, C. M. Gilbert., 1954. Petrography, An Introduction to


The Study of Rockin Thin Sections, W.H. Freeman and Company, New
York.

Winardi., 2012, Teori Organisasi dan Pengorganisasian, Jakarta: Rajawali Pres.

Zuidam, R. A., 1983, Guide to Geomorphologic Aerial Photographic


Interpretation and Mapping, ITC, Netherlands.

Zuidam, R.A., 1985, Aerial Photo-Interpretation in Terrain Analysis an


Geomorphologic Mapping, Smith Publisher, The Hague, ITC.
LAMPIRAN HASIL ANALISIS PETROGRAFI

1. Nomer sayatan : LP 11
- Litologi : Andesit piroxin
- Satuan batuan: Lava andesit piroxin
Pengamatan : Nikol sejajar dan Nikol silang , dengan perbesaran 40 x

Pengamatan Petrografis :

Sayatan tipis batuan beku , warna abu-abu keputihan, tekstur Diabasic / Porfiritik.
Tampak pola penyebaran plagioklasnya radier – sub radier. Plagioklasnya meng
inklusi piroksin sedemikian rupa sehingga kenampakkan piroksinnya dibeberapa
tempat tidak begitu jelas . Komposisi terdiri dari Plagioklas, Piroksin, Olivin,
Hornblenda dan opak .

Pemerian Komposisi :
1. Plagioklas ( 56 % ) : warna putih relief rendah sampai sedang , indek bias n <
n Kb sampai n > n Kb . Kembaran Karlbad Albit ( An 54 - An 58 ), Bentuk
mineral subhedral sampai anhedral . Ukuran pada Fenokris 0,20 mm -0,60 mm .
Pada massa dasar berukuran 0,05mm - 0,10 mm
2. Pyroxin ( 28 % ) : warna kekuningan – abuabu , relief sedang , indek bias n >
n Kb , Pleokroisme sedang , ukuran mineral 0,10 mm sampai 0,50 mm . Bentuk
subhedral - anhedral .
3..Hornblenda ( 12 % ) : warna coklat – kecoklatan , relief sedang , indek bias n
> n Kb, Pleokroisme kuat , ukuran mineral 0,10 mm sampai 0,40 mm . Bentuk
mineral subhedral – anhedral.
4. Opak (2 % ) : warna hitam / kedap cahaya , relief sedang , bentuk mineral
subhedral sampai anhedral . Ukuran mineral 0,05 mm – 0,20 mm.

Nama Mikroskopis : “ Pyroxine Andesite “ ( William, Turner, Gilbert. 1954 )


2. Nomer sayatan : LP 18
- Litologi : Andesit piroxin
- Satuan batuan: Lava andesit piroxin
Pengamatan : Nikol sejajar dan Nikol silang , dengan perbesaran 40 x

Pengamatan Petrografis :

Sayatan tipis batuan beku , warna abu-abu keputihan, tekstur Porfiro afanitik .
Ukuran pada fenokris 0,2 mm - 1,60 mm , bentuk subhedral , terdiri dari mineral
Plagioklas , Hornblenda,Piroksin, Opak ., tertanam dalam massa dasar berupa
mineral plagioklas, opak , Black glas .

Pemerian Komposisi :
1. Plagioklas ( 54 % ) : warna putih relief rendah sampai sedang , indek bias n <
n Kb sampai n > n Kb . Kembaran Karlbad Albit ( An 32 - An 40 ), Bentuk
mineral subhedral sampai anhedral . Ukuran pada Fenokris 0,20 mm - 1,20 mm ,
pada massa dasar berukuran 0,08 mm – 0,1 mm . Plagioklas tampak terkorosi
2. Hornblenda ( 4 % ) : warna coklat – kecoklatan , relief sedang , indek bias n >
n Kb, Pleokroisme kuat , ukuran mineral 0,20 mm sampai 0,40 mm . Bentuk
mineral subhedral .
3. Pyroxin ( 22 % ) : warna kekuningan – abuabu , relief sedang , indek bias n >
n Kb , Pleokroisme sedang , belahan dua arah relatif tegak lurus , ukuran mineral
0,40 mm sampai 1,60 mm . Bentuk subhedral .
4. Opak ( 1 % ) : warna hitam / kedap cahaya , relief sedang , bentuk mineral
subhedral sampai anhedral . Ukuran mineral 0,05 mm – 0,20 mm.
5. Gelas ( 19 % ) : warna hitam (black glass) , relief rendah , pada pengamatan
dengan nikol silang menjadi tambah gelap .

Nama Mikroskopis : “ Pyroxine Andesite “ ( William, Turner, Gilbert. 1954 )


3. Nomer sayatan : LP 56
- Litologi : Andesit piroxin
- Satuan batuan: Lava andesit piroxin
Pengamatan : Nikol sejajar dan Nikol silang , dengan perbesaran 40 x

Pengamatan Petrografis :

Sayatan tipis batuan beku , warna abu-abu keputihan, tekstur Porfiro afanitik .
Ukuran pada fenokris 0,2 mm - 0,8 mm , bentuk subhedral , terdiri dari mineral
Plagioklas , Hornblenda,Piroksin, Opak ., tertanam dalam massa dasar berupa
mineral plagioklas, opak , gelas .

Pemerian Komposisi :
1. Plagioklas ( 51 % ) : warna putih relief rendah sampai sedang , indek bias n <
n Kb sampai n > n Kb . Kembaran Karlbad Albit ( An 30 - An 40 ), Bentuk
mineral subhedral sampai anhedral . Ukuran pada Fenokris 0,20 mm -0,80 mm ,
pada massa dasar berukuran 0,08 mm – 0,1 mm . Sebagian menampakkan struktur
zonasi (zoning).
2. Hornblenda ( 7 % ) : warna coklat – kecoklatan , relief sedang , indek bias n >
n Kb, Pleokroisme kuat , ukuran mineral 0,20 mm sampai 0,40 mm . Bentuk
mineral subhedral .
3. Pyroxin ( 22 % ) : warna kekuningan – abuabu , relief sedang , indek bias n >
n Kb , Pleokroisme sedang , belahan dua arah relatif tegak lurus , ukuran mineral
0,40 mm sampai 0,60 mm . Bentuk subhedral .
4. Opak ( 2 % ) : warna hitam / kedap cahaya , relief sedang , bentuk mineral
subhedral sampai anhedral . Ukuran mineral 0,05 mm – 0,20 mm.
5. Gelas ( 18 % ) : keputihan – kekuningan , relief rendah , pada pengamatan
dengan nikol silang menjadi gelap, dan dimasukkan keping gips warnanya
berubah menjadi ungu muda berkabut .

Nama Mikroskopis : “ Pyroxine Andesite “ ( William, Turner, Gilbert. 1954 )


4. Nomer sayatan : LP 88
- Litologi : Andesit piroxin
- Satuan batuan: Lava andesit piroxin
Pengamatan : Nikol sejajar dan Nikol silang , dengan perbesaran 40 x

Pengamatan Petrografis :

Sayatan tipis batuan beku , warna abu-abu keputihan, tekstur Porfiro afanitik .
Ukuran pada fenokris 0,2 mm - 1,80 mm , bentuk subhedral , terdiri dari mineral
Plagioklas , Hornblenda,Piroksin, Opak ., tertanam dalam massa dasar berupa
mineral plagioklas, opak , gelas .

Pemerian Komposisi :
1. Plagioklas ( 36 % ) : warna putih relief rendah sampai sedang , indek bias n <
n Kb sampai n > n Kb . Kembaran Karlbad Albit ( An 36 - An 40 ), Bentuk
mineral subhedral sampai anhedral . Ukuran pada Fenokris 0,20 mm -0,40 mm ,
pada massa dasar berukuran 0,08 mm – 0,1 mm .
2. Hornblenda ( 6 % ) : warna coklat – kecoklatan , relief sedang , indek bias n >
n Kb, Pleokroisme kuat , ukuran mineral 0,20 mm sampai 0,40 mm . Bentuk
mineral subhedral .
3. Pyroxin ( 24 % ) : warna kekuningan – abuabu , relief sedang , indek bias n >
n Kb , Pleokroisme sedang , belahan dua arah relatif tegak lurus , ukuran mineral
0,20 mm sampai 1,80 mm . Bentuk subhedral .
4. Opak ( 3 % ) : warna hitam / kedap cahaya , relief sedang , bentuk mineral
subhedral sampai anhedral . Ukuran mineral 0,10 mm – 0,20 mm.
5. Gelas ( 31 % ) : keputihan – kekuningan , relief rendah , pada pengamatan
dengan nikol silang menjadi gelap, dan dimasukkan keping gips warnanya
berubah menjadi ungu muda berkabut .

Nama Mikroskopis : “ Pyroxine Andesite “ ( William, Turner, Gilbert. 1954 )


5. Nomer sayatan : LP 93
- Litologi : Andesit piroxin
- Satuan batuan: Lava andesit piroxin
Pengamatan : Nikol sejajar dan Nikol silang , dengan perbesaran 40 x

Pengamatan Petrografis :
Sayatan tipis batuan beku , warna abu-abu keputihan, tekstur Porfiro afanitik .
Ukuran pada fenokris 0,20 mm – 1,80 mm , bentuk subhedral - anhedral, terdiri
dari mineral Plagioklas , Hornblenda,Piroksin, dan Xenolith , tertanam dalam
massa dasar berupa mineral plagioklas, opak , gelas .

Pemerian Komposisi :
1. Plagioklas ( 30 % ) : warna putih – abu abu, relief rendah sampai sedang ,
indek bias n < n Kb sampai n > n Kb . Kembaran Karlbad Albit ( An 34 - An
40 ), Bentuk mineral subhedral sampai anhedral . Ukuran pada Fenokris 0,20
mm - 1,80 mm , pada massa dasar berukuran 0,05 mm – 0,1 mm . Kenampakkan
umum plagioklas nya terkorosi , dan terlihat sebagian berstruktur zonasi (zoning).
2..Hornblenda ( 8 % ) : warna coklat – kecoklatan , relief sedang , indek bias n >
n Kb, Pleokroisme kuat , ukuran mineral 0,30 mm sampai 0,50 mm . Bentuk
mineral subhedral – anhedral.
3. Pyroxin ( 12 % ) : warna kekuningan – abuabu , relief sedang , indek bias n >
n Kb , Pleokroisme sedang , belahan dua arah relatif tegak lurus , ukuran mineral
0,30 mm sampai 1,80 mm . Bentuk subhedral .
4. Opak ( 2 % ) : warna hitam / kedap cahaya , relief sedang , bentuk mineral
subhedral sampai anhedral . Ukuran mineral 0,05 mm – 0,20 mm.
5. Gelas ( 44 % ) : warna hitam (black glass) , relief rendah , pada pengamatan
dengan nikol silang menjadi gelap, dan dimasukkan keping gips warnanya
berubah menjadi ungu muda berkabut .

Nama Mikroskopis : “ Piroxine Andesite “ ( William, Turner, Gilbert. 1954 )


6. Nomer sayatan : LP 113
- Litologi : Andesit piroxin
- Satuan batuan: Lava andesit piroxin
Pengamatan : Nikol sejajar dan Nikol silang , dengan perbesaran 40 x

Pengamatan Petrografis :

Sayatan tipis batuan beku , warna abu-abu keputihan, tekstur Porfiro afanitik .
Ukuran pada fenokris 0,2 mm - 0,60 mm , bentuk subhedral , terdiri dari mineral
Plagioklas , Hornblenda,Piroksin, Opak ., tertanam dalam massa dasar berupa
mineral plagioklas, opak , gelas .

Pemerian Komposisi :
1. Plagioklas ( 39 % ) : warna putih relief rendah sampai sedang , indek bias n <
n Kb sampai n > n Kb . Kembaran Karlbad Albit ( An 32 - An 40 ), Bentuk
mineral subhedral sampai anhedral . Ukuran pada Fenokris 0,20 mm -0,60 mm ,
pada massa dasar berukuran 0,08 mm – 0,1 mm .
Sebagian telah terubah menjadi serisit.
2. Hornblenda ( 9 % ) : warna coklat – kecoklatan , relief sedang , indek bias n >
n Kb, Pleokroisme kuat , ukuran mineral 0,20 mm sampai 0,30 mm . Bentuk
mineral subhedral .
3. Pyroxin ( 28 % ) : warna kekuningan – abuabu , relief sedang , indek bias n >
n Kb , Pleokroisme sedang , belahan dua arah relatif tegak lurus , ukuran mineral
0,20 mm sampai 0,60 mm . Bentuk subhedral . Sebagian telah terubah menjadi
klorit.
4. Opak ( 2 % ) : warna hitam / kedap cahaya , relief sedang , bentuk mineral
subhedral sampai anhedral . Ukuran mineral 0,05 mm – 0,20 mm.
5. Gelas ( 22 % ) : keputihan – kekuningan , relief rendah , pada pengamatan
dengan nikol silang menjadi gelap, dan dimasukkan keping gips warnanya
berubah menjadi ungu muda berkabut .

Nama Mikroskopis : “ Pyroxine Andesite “ ( William, Turner, Gilbert. 1954 )


7. Nomer sayatan : LP 1
- Litologi : Andesit
- Satuan batuan: Lava andesit hornblende
Pengamatan: Nikol sejajar dan Nikol silang , dengan perbesaran 40 x

Pengamatan Petrografis :

Sayatan tipis batuan beku , warna abu-abu keputihan, tekstur Porfiro afanitik .
Ukuran pada fenokris 0,20 mm – 1,40 mm , bentuk subhedral - anhedral, terdiri
dari mineral Plagioklas , Hornblenda,Piroksin, tertanam dalam massa dasar
berupa mineral plagioklas, opak , gelas .

Pemerian Komposisi :
1. Plagioklas ( 48 % ) : warna putih – abu abu, relief rendah sampai sedang ,
indek bias n < n Kb sampai n > n Kb . Kembaran Karlbad Albit ( An 28 - An
40 ), Bentuk mineral subhedral sampai anhedral . Ukuran pada Fenokris 0,20
mm - 1,40 mm , pada massa dasar berukuran 0,05 mm – 0,1 mm . Kenampakkan
umum plagioklas nya terkorosi , dan terlihat sebagian berstruktur zonasi (zoning).
2..Hornblenda ( 11 % ) : warna coklat – kecoklatan , relief sedang , indek bias n
> n Kb, Pleokroisme kuat , ukuran mineral 0,20 mm sampai 0,40 mm . Bentuk
mineral subhedral – anhedral.
3. Pyroxin ( 6 % ) : warna kekuningan – abuabu , relief sedang , indek bias n > n
Kb , Pleokroisme sedang , belahan dua arah relatif tegak lurus , ukuran mineral
0,20 mm sampai 0,40 mm . Bentuk subhedral ..Tampak sebagian permukaannya
terkorosi..
4. Opak ( 1 % ) : warna hitam / kedap cahaya , relief sedang , bentuk mineral
subhedral sampai anhedral . Ukuran mineral 0,04 mm – 0,2 mm.
5. Gelas ( 34 % ) : warna hitam (black glass) , relief rendah , pada pengamatan
dengan nikol silang menjadi gelap, dan dimasukkan keping gips warnanya
berubah menjadi ungu muda berkabut .

Nama Mi kroskopis : “ Andesite “ ( William, Turner, Gilbert. 1954 )


8. Nomer sayatan : LP 10
- Litologi : Andesit
- Satuan batuan: Lava andesit hornblende
Pengamatan : Nikol sejajar dan Nikol silang , dengan perbesaran 40 x

Pengamatan Petrografis :

Sayatan tipis batuan beku , warna abu-abu keputihan, tekstur Porfiro afanitik .
Ukuran pada fenokris 0,20 mm – 0,80 mm , bentuk subhedral - anhedral, terdiri
dari mineral Plagioklas , Hornblenda,Piroksin , tertanam dalam massa dasar
berupa mineral plagioklas, opak , gelas .

Pemerian Komposisi :
1. Plagioklas ( 40 % ) : warna putih – abu abu, relief rendah sampai sedang ,
indek bias n < n Kb sampai n > n Kb . Kembaran Karlbad Albit ( An 30 - An
40 ), Bentuk mineral subhedral sampai anhedral . Ukuran pada Fenokris 0,20
mm - 0,80 mm , pada massa dasar berukuran 0,05 mm – 0,1 mm .
2..Hornblenda ( 8 % ) : warna coklat – kecoklatan , relief sedang , indek bias n >
n Kb, Pleokroisme kuat , ukuran mineral 0,20 mm sampai 0,40 mm . Bentuk
mineral subhedral – anhedral.
3. Pyroxin ( 6 % ) : warna kekuningan – abuabu , relief sedang , indek bias n > n
Kb , Pleokroisme sedang , belahan dua arah relatif tegak lurus , ukuran mineral
0,20 mm sampai 0,40 mm . Bentuk subhedral .
4. Opak ( 2 % ) : warna hitam / kedap cahaya , relief sedang , bentuk mineral
subhedral sampai anhedral . Ukuran mineral 0,05 mm – 0,20 mm.
5. Gelas ( 44 % ) : warna hitam (black glass) , relief rendah , pada pengamatan
dengan nikol silang menjadi gelap, dan dimasukkan keping gips warnanya
berubah menjadi ungu muda berkabut .

Nama Mikroskopis : “ Andesite “ ( William, Turner, Gilbert.1954 )


9. Nomer sayatan : LP 15
- Litologi : Andesit
- Satuan batuan: Lava andesit hornblenda
Pengamatan : Nikol sejajar dan Nikol silang , dengan perbesaran 40 x

Pengamatan Petrografis :

Sayatan tipis batuan beku , warna abu-abu keputihan, tekstur Porfiro afanitik .
Ukuran pada fenokris 0,20 mm – 0,50 mm , bentuk subhedral - anhedral, terdiri
dari mineral Plagioklas , Hornblenda,Piroksin, tertanam dalam massa dasar
berupa mineral plagioklas, opak , gelas .

Pemerian Komposisi :
1. Plagioklas ( 62 % ) : warna putih – abu abu, relief rendah sampai sedang ,
indek bias n < n Kb sampai n > n Kb . Kembaran Karlbad Albit ( An 30 - An
40 ), Bentuk mineral subhedral sampai anhedral . Ukuran pada Fenokris 0,20
mm - 0,50 mm , pada massa dasar berukuran 0,05 mm – 0,1 mm . Sebagian
menampakkan struktur zonasi (zoning).
2..Hornblenda ( 8 % ) : warna coklat – kecoklatan , relief sedang , indek bias n >
n Kb, Pleokroisme kuat , ukuran mineral 0,20 mm sampai 0,30 mm . Bentuk
mineral subhedral – anhedral.
3. Pyroxin ( 4 % ) : warna kekuningan – abuabu , relief sedang , indek bias n > n
Kb , Pleokroisme sedang , belahan dua arah relatif tegak lurus , ukuran mineral
0,20 mm sampai 0,30 mm . Bentuk subhedral .
4. Opak ( 3 % ) : warna hitam / kedap cahaya , relief sedang , bentuk mineral
subhedral sampai anhedral . Ukuran mineral 0,05 mm – 0,30 mm.
5. Gelas ( 23 % ) : warna abu abu , relief rendah , pada pengamatan dengan nikol
silang menjadi gelap, dan dimasukkan keping gips warnanya berubah menjadi
ungu muda berkabut .

Nama Mikroskopis : “ Andesite “ ( William, 1954 )


10. Nomer sayatan : LP 41
- Litologi : Andesit
- Satuan batuan: Lava andesit hornblenda
Pengamatan : Nikol sejajar dan Nikol silang , dengan perbesaran 40 x

Pengamatan Petrografis :

Sayatan tipis batuan beku , warna abu-abu keputihan, tekstur Porfiro afanitik .
Ukuran pada fenokris 0,20 mm – 0,40 mm , bentuk subhedral - anhedral, terdiri
dari mineral Plagioklas , Hornblenda,Piroksin, tertanam dalam massa dasar
berupa mineral plagioklas, opak , gelas .

Pemerian Komposisi :
1. Plagioklas ( 41 % ) : warna putih – abu abu, relief rendah sampai sedang ,
indek bias n < n Kb sampai n > n Kb . Kembaran Karlbad Albit ( An 28 - An
40 ), Bentuk mineral subhedral sampai anhedral . Ukuran pada Fenokris 0,20
mm - 0,40 mm , pada massa dasar berukuran 0,05 mm – 0,1 mm .
2..Hornblenda ( 14 % ) : warna coklat – kecoklatan , relief sedang , indek bias n
> n Kb, Pleokroisme kuat , ukuran mineral 0,20 mm sampai 0,30 mm . Bentuk
mineral subhedral – anhedral.
3. Pyroxin ( 5 % ) : warna kekuningan – abuabu , relief sedang , indek bias n > n
Kb , Pleokroisme sedang , belahan dua arah relatif tegak lurus , ukuran mineral
0,20 mm sampai 0,40 mm . Bentuk subhedral ..Tampak sebagian permukaannya
terkorosi..
4. Opak ( 1 % ) : warna hitam / kedap cahaya , relief sedang , bentuk mineral
subhedral sampai anhedral . Ukuran mineral 0,05 mm – 0,2 mm.
5. Gelas ( 39 % ) : warna abu abu , relief rendah , pada pengamatan dengan nikol
silang menjadi gelap, dan dimasukkan keping gips warnanya berubah menjadi
ungu muda berkabut .

Nama Mikroskopis : “ Andesite “ ( William, Turner, Gilbert. 1954 )


11. Nomer sayatan : LP 43
- Litologi : Breksi andesit (fragmen)
- Satuan batuan: Lava andesit hornblenda
Pengamatan : Nikol sejajar dan Nikol silang , dengan perbesaran 40 x

Pengamatan Petrografis :
Sayatan tipis batuan beku , warna abu-abu keputihan, tekstur Porfiro afanitik .
Ukuran pada fenokris 0,20 mm – 0,60 mm , bentuk subhedral - anhedral, terdiri
dari mineral Plagioklas , Hornblenda,Piroksin , tertanam dalam massa dasar
berupa mineral plagioklas, opak , gelas .

Pemerian Komposisi :
1. Plagioklas ( 42 % ) : warna putih – abu abu, relief rendah sampai sedang ,
indek bias n < n Kb sampai n > n Kb . Kembaran Karlbad Albit ( An 30 - An
40 ), Bentuk mineral subhedral sampai anhedral . Ukuran pada Fenokris 0,20
mm - 0,60 mm , pada massa dasar berukuran 0,05 mm – 0,1 mm . Kenampakkan
umum plagioklas nya terkorosi , dan terlihat sebagian berstruktur zonasi (zoning).
2..Hornblenda ( 11 % ) : warna coklat – kecoklatan , relief sedang , indek bias n
> n Kb, Pleokroisme kuat , ukuran mineral 0,20 mm sampai 0,40 mm . Bentuk
mineral subhedral – anhedral.
3. Pyroxin ( 8 % ) : warna kekuningan – abuabu , relief sedang , indek bias n > n
Kb , Pleokroisme sedang , belahan dua arah relatif tegak lurus , ukuran mineral
0,30 mm sampai 0,60 mm . Bentuk subhedral .
4. Opak ( 2 % ) : warna hitam / kedap cahaya , relief sedang , bentuk mineral
subhedral sampai anhedral . Ukuran mineral 0,05 mm – 0,20 mm.
5. Gelas ( 37 % ) : warna hitam (black glass) , relief rendah , pada pengamatan
dengan nikol silang menjadi gelap, dan dimasukkan keping gips warnanya
berubah menjadi ungu muda berkabut .

Nama Mikroskopis : “ Andesite “ ( William, Turner, Gilbert. 1954 )


12. Nomer sayatan : LP 60
- Litologi : Andesit
- Satuan batuan: Lava andesit hornblenda
Pengamatan : Nikol sejajar dan Nikol silang , dengan perbesaran 40 x

Pengamatan Petrografis :
Sayatan tipis batuan beku , warna abu-abu keputihan, tekstur Porfiro afanitik .
Ukuran pada fenokris 0,20 mm – 0,60 mm , bentuk subhedral - anhedral, terdiri
dari mineral Plagioklas , Hornblenda,Piroksin , tertanam dalam massa dasar
berupa mineral plagioklas, opak , gelas .

Pemerian Komposisi :
1. Plagioklas ( 42 % ) : warna putih – abu abu, relief rendah sampai sedang ,
indek bias n < n Kb sampai n > n Kb . Kembaran Karlbad Albit ( An 30 - An
40 ), Bentuk mineral subhedral sampai anhedral . Ukuran pada Fenokris 0,20
mm - 0,60 mm , pada massa dasar berukuran 0,05 mm – 0,1 mm . Kenampakkan
umum plagioklas nya terkorosi , dan terlihat sebagian berstruktur zonasi (zoning).
2..Hornblenda ( 10 % ) : warna coklat – kecoklatan , relief sedang , indek bias n
> n Kb, Pleokroisme kuat , ukuran mineral 0,20 mm sampai 0,40 mm . Bentuk
mineral subhedral – anhedral.
3. Pyroxin ( 7 % ) : warna kekuningan – abuabu , relief sedang , indek bias n > n
Kb , Pleokroisme sedang , belahan dua arah relatif tegak lurus , ukuran mineral
0,30 mm sampai 0,60 mm . Bentuk subhedral .
4. Opak ( 2 % ) : warna hitam / kedap cahaya , relief sedang , bentuk mineral
subhedral sampai anhedral . Ukuran mineral 0,05 mm – 0,20 mm.
5. Gelas ( 39 % ) : warna hitam (black glass) , relief rendah , pada pengamatan
dengan nikol silang menjadi gelap, dan dimasukkan keping gips warnanya
berubah menjadi ungu muda berkabut .

Nama Mikroskopis : “ Andesite “ ( William, Turner, Gilbert. 1954 )


13. Nomer sayatan : LP 99
- Litologi : Basalt
- Satuan batuan: Lava basalt
Pengamatan : Nikol sejajar dan Nikol silang , dengan perbesaran 40 x

Pengamatan Petrografis :

Sayatan tipis batuan beku , warna abu-abu , tekstur Porfiro afanitik .


Ukuran pada fenokris 0,20 mm – 0,80 mm , bentuk subhedral , terdiri dari
mineral Plagioklas , Piroxin , Olivin , Hornblenda, Opak ., tertanam dalam massa
dasar berupa mineral plagioklas, opak , gelas.
Kenampakkan mineral dalam sayatan ini sebagian besar terkorosi dan terdapat
lubang lubang bekas keluarnya gas.
Pemerian Komposisi :

1. Plagioklas ( 40 % ) : warna putih relief rendah sampai sedang , indek bias n <
n Kb sampai n > n Kb . Kembaran Karlbad Albit ( An 44 - An 58 ), Bentuk
mineral subhedral sampai anhedral . Ukuran pada Fenokris 0, 20 mm – 0,80 mm
, pada massa dasar berukuran 0,05 mm – 0,10 mm Sebagian telah terubah menjadi
serisit.
2. Pyroxin ( 11 % ) : warna kekuningan – abuabu , relief sedang , indek bias n >
n Kb , Pleokroisme sedang , belahan dua arah relatif tegak lurus , ukuran mineral
0,20 mm sampai 0,40 mm . Sebagian telah terubah menjadi klorit.
3. Olivin ( 2 % ), warna kehijauan –abuabu, relief sedang , indeks bias n > n Kb,
Pleokroisme sedang, pecahan tidak teratur, bentuk granular / membutir . Ukuran
0,20 mm – 0,30 mm.
4. Hornblenda ( 5 % ) : warna coklat – kecoklatan , relief sedang , indek bias n >
n Kb, Pleokroisme kuat , ukuran mineral 0, 2 mm - 0,3 mm . Bentuk mineral
subhedral – anhedral
5. Gelas ( 42 % ) : warna hitam (black glass) , relief rendah , pada pengamatan
dengan nikol silang menjadi tambah gelap .

Nama Mikroskopis : “ Basalt “ ( William, Turner, Gilbert. 1954)


14. Nomer sayatan : LP 109
- Litologi : Basalt
- Satuan batuan: Lava Basalt
Pengamatan : Nikol sejajar dan Nikol silang , dengan perbesaran 40 x

Pengamatan Petrografis :

Sayatan tipis batuan beku , warna abu-abu , tekstur Porfiro afanitik .


Ukuran pada fenokris 0,20 mm – 0,50 mm , bentuk subhedral , terdiri dari mineral
Plagioklas , Piroxin , Olivin , Hornblenda, Opak ., tertanam dalam massa dasar berupa
mineral plagioklas, opak , gelas.

Pemerian Komposisi :
1. Plagioklas ( 38 % ) : warna putih relief rendah sampai sedang , indek bias n < n Kb
sampai n > n Kb . Kembaran Karlbad Albit ( An 42 - An 55 ), Bentuk mineral
subhedral sampai anhedral . Ukuran pada Fenokris 0, 20 mm – 0,50 mm , pada massa
dasar berukuran 0,05 mm – 0,10 mm .
Sebagian menampakkan struktur zonasi (zoning).
2. Pyroxin ( 22 % ) : warna kekuningan – abuabu , relief sedang , indek bias n > n Kb ,
Pleokroisme sedang , belahan dua arah relatif tegak lurus , ukuran mineral 0,20 mm
sampai 0,40 mm
3. Olivin ( 3 % ), warna kehijauan –abuabu, relief sedang , indeks bias n > n Kb,
Pleokroisme sedang, pecahan tidak teratur, bentuk granular / membutir . Ukuran 0,20 mm
– 0,30 mm.
4. Hornblenda ( 5 % ) : warna coklat – kecoklatan , relief sedang , indek bias n > n Kb,
Pleokroisme kuat , ukuran mineral 0,20 mm sampai 0,30 mm . Bentuk mineral
subhedral .
5. Opak ( 2 % ) : warna hitam / kedap cahaya , relief sedang , ukuran 0,05 mm – 0,20
mm Bentuk butir menyudut tanggung sampai membulat tanggung.

6. Gelas ( 30 % ) : warna abu abu , relief rendah , pada pengamatan dengan nikol silang
menjadi gelap dan dimasukkan keping gips warnanya berubah menjadi ungu muda
berkabut.
Nama Mikroskopis : “ Basalt “ ( William, Turner, Gilbert. 1954 )

Anda mungkin juga menyukai