Segala puji dan syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang,
yang telah memberi rahmat serta karuniaNya kepada kita sehingga saya dapat menyelesaikan
makalah ini dengan judul “Kerajaan-Kerajaan Hindu-Budha di Indonesia”.
Saya menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih banyak kekurangan karena
masih dalam tahap belajar. Oleh karena itu, saya dengan terbuka akan menerima kritik dan
saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini. Saya berharap makalah ini
dapat memberikan manfaat bagi saya sendiri dan para pembaca khususnya.
1. Kerajaan Kutai........................................................................................................... 4
2. Kerajaan Tarumanegara............................................................................................. 11
A. Kesimpulan ..............................................................................................................103
B. Saran ........................................................................................................................103
BAB I
PENDAHULUAN
Agama Hindu dan Budha berasal dari India. Kedua agama tersebut masuk dan dianut
oleh penduduk di berbgai wilayah nusantara pada waktu yang hampir bersamaan, sekitar
abad ke empat, bersamaan dengan mulai berkembangnya hubungan dagang antara Indonesia
dengan India dan Cina. Sebelum pengaruh Hindu dan Budha masuk ke Indonesia,
diperkirakan penduduk Indonesia menganut kepercayaan dinamisme dan
animisme.
Agama Budha disebarluaskan ke Indonesia oleh para bhiksu, sedangkan mengenai pembawa
agama Hindu ke Indonesia terdapat 4 teori sebagai berikut :
· Teori waisya (masuknya agama Hindu disebarkan oleh para pedagang yang berkasta
waisya)
· Teori campuran (masuknya agama Hindu disebarkan oleh ksatria, brahmana, maupun
waisya)
Bukti tertua adanya pengaruh India di Indonesia adalah ditemukannya Arca Budha dari
perunggu di Sempaga, Sulawesi Selatan. Antara abad ke 4 hingga abad ke 16 di berbagai
wilayah nusantara berdiri berbagai kerajaan yang bercorak agama Hindu dan Budha.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Kerajaan Kutai
a) Letak Geografis
2. Kehidupan Ekonomi
Kehidupan ekonomi di Kutai, tidak diketahui secara pasti, kecuali
disebutkan dalam salah satu prasasti bahwa Raja Mulawarman telah
mengadakan upacara korban emas dan tidak menghadiahkan sebanyak
20.000 ekor sapi untuk golongan Brahmana. Tidak diketahui secara pasti
asal emas dan sapi tersebut diperoleh. Apabila emas dan sapi tersebut
didatangkan dari tempat lain, bisa disimpulkan bahwa kerajaan Kutai telah
melakukan kegiatan dagang. Jika dilihat dari letak geografis, Kerajaan
Kutai berada pada jalur perdagangan antara Cina dan India. Kerajaan Kutai
menjadi tempat yang menarik untuk disinggahi para pedagang. Hal tersebut
memperlihatkan bahwa kegiatan perdagangan telah menjadi bagian dari
kehidupan masyarakat Kutai, disamping pertanian.
3. Kehipudan Budaya
Sementara itu dalam kehidupan budaya dapat dikatakan kerajaan Kutai
sudah maju. Hal ini dibuktikan melalui upacara penghinduan (pemberkatan
memeluk agama Hindu) yang disebut Vratyastoma. Vratyastoma
dilaksanakan sejak pemerintahan Aswawarman karena Kudungga masih
mempertahankan ciriciri keIndonesiaannya, sedangkan yang memimpin
upacara tersebut, menurut para ahli, dipastikan adalah para pendeta
(Brahmana) dari India. Tetapi pada masa Mulawarman kemungkinan sekali
upacara penghinduan tersebut dipimpin oleh kaum Brahmana dari orang
Indonesia asli. Adanya kaum Brahmana asli orang Indonesia membuktikan
bahwa kemampuan intelektualnya tinggi, terutama penguasaan terhadap
bahasa Sansekerta yang pada dasarnya bukanlah bahasa rakyat India sehari-
hari, melainkan lebih merupakan bahasa resmi kaum Brahmana untuk
masalah keagamaan.
2. Ketopong Sultan
Ketopong
adalah mahkota
yang biasa
dipakai oleh
Sultan
Kerajaan Kutai
yang terbuat
dari emas.
Ketopong ini memiliki berat 1,98 kg dan saat ini masih tersimpan di
Museum Nasional Jakarta. Benda bersejarah yang satu ini ditemukan di
Mura Kaman, Kutai Kartanegara pada tahun 1890. Sedangkan yang
dipajang di Museum Mulawarman merupakan ketopong tiruan.
3. Kalung Ciwa
Kalung Ciwa yang ditemukan oleh pemerintahan Sultan Aji
Muhammad
Sulaiman. Kalung
ini ditemukan oleh
seorang penduduk di
sekitar Danau Lipan
Muara Kaman pada tahun 1890. Saat ini 10 Kalung Ciwa masih
digunakan sebagai perhiasan oleh sultan dan hanya dipakai ketika ada
pesta penobatan sultan baru.
4. Kura-kura Emas
Bukti sejarah Kerajaan Kutai yang satu ini cukup unik, karena
berwujud kura-
kura emas.
Benda
bersejarah ini
saat ini berada
di Museum
Mulawarman. Benda yang memiliki ukuran sebesar kepalan tangan ini
ditemukan di daerah Long Lalang, daerah yang berada di hulu Sungai
Mahakam. Dari riwayat yang diketahui benda ini merupakan
persembahan dari seorang pangeran dari Kerajaan China untuk Putri
Raja Kutai, Aji Bidara Putih. Kura-kura emas ini merupakan bukti dari
pangeran tersebut untuk mempersunting sang putri.
2. Kerajaan Tarumanegara
a) Sejarah berdirinya Kerajaan Tarumanegara
Kerajaan Terumanegara di bangun oleh raja Jayasinghawarman ketika memimpin
pelarian keluarga kerajaan dan berhasil meloloskan diri dari musuh yang terus
menerus menyerang kerajaan Salakanagara. Di pengasingan, tahun 358 M,
Jayasinghawarman mendirikan kerajaan baru di tepi Sungai Citarum, di Kabupaten
Lebak Banten dan diberi nama Tarumanegara. Nama Tarumanegara diambil dari
nama tanaman yang bernama tarum, yaitu tanaman yang dipakai untuk ramuan
pewarna benang tenunan dan pengawet kain yang banyak sekali terdapat di tempat
ini. Tanaman tarum tumbuh di sekitar Sungai Citarum. Selain untuk pengawet kain,
tanaman ini merupakan komoditas ekspor dan merupakan devisa pemasukan terbesar
bagi Kerajaan Tarumanegara.
2. Kehidupan Sosial
Kehidupan sosial Kerajaan Tarumanegara sudah teratur rapi, hal ini
terlihat dari upaya raja Purnawarman yang terus berusaha untuk meningkatkan
kesejahteraan kehidupan rakyatnya. Raja Purnawarman juga sangat
memperhatikan kedudukan kaum brahmana yang dianggap penting dalam
melaksanakan setiap upacara korban yang dilaksanakan di kerajaan sebagai
tanda penghormatan kepada para dewa.
3. Kehidupan Ekonomi
Prasasti tugu menyatakan bahwa raja purnawarman memerintahkan
rakyatnya untuk membuat sebuah terusan sepanjang 6122 tombak.
Pembangunan ini mempunyai arti ekonomis yang besar bagi masyarakat,
Karena dapat dipergunakan sebagai sarana pencegah banjir serta sarana lalu-
lintas pelayaran perdagangan antardaerah di kerajaan tarumanegara dengan
dunia luar. Juga dengan daerah-daerah di sekitarnya. Akibatnya, kehidupan
perekonomian masyarakat sudah berjalan teratur.
4. Kehidupan Budaya
Dilihat dari teknik dan cara penulisan huruf-huruf dari prasasti-prasasti
yang ditemukan sebagai bukti kebesaran Kerajaan Tarumanegara, dapat
diketahui bahwa tingkat kebudayaan masyarakat pada saat itu sudah tinggi.
Selain sebagai peninggalan budaya, keberadaan prasasti-prasasti tersebut
menunjukkan telah berkembangnya kebudayaan tulis menulis di kerajaan
Tarumanegara.
3. Prasasti Kebonkopi
Prasasti Kebonkopi
ditemukan di kampung
Muara Hilir kecamatan
Cibungbulang Bogor .
Yang menarik dari
prasasti ini adalah
adanya lukisan tapak
kaki gajah, yang disamakan dengan tapak kaki gajah Airawata, yaitu gajah
tunggangan dewa Wisnu.
6. Prasasti Cidanghiyang
Prasasti Cidanghiyang atau
prasasti Lebak, ditemukan di
kampung lebak di tepi sungai Cidanghiang, kecamatan Munjul kabupaten
Pandeglang Banten. Prasasti ini baru ditemukan tahun 1947 dan berisi 2 baris
kalimat berbentuk puisi dengan huruf Pallawa dan bahasa Sansekerta. Isi
prasasti tersebut mengagungkan keberanian raja Purnawarman.
7. Prasasti Tugu
Prasasti Tugu di Museum
Nasional. Prasasti Tugu di
temukan di daerah Tugu,
kecamatan Cilincing Jakarta
Utara. Prasasti ini dipahatkan
pada sebuah batu bulat
panjang melingkar dan isinya
paling panjang dibanding dengan prasasti Tarumanegara yang lain, sehingga ada
beberapa hal yang dapat diketahui dari prasasti tersebut.
f) Sumber-sumber Kerajaan
Bukti keberadaan Kerajaan Taruma diketahui melalui sumber-sumber yang
berasal dari dalam maupun luar negeri. Sumber dari dalam negeri berupa
tujuh buah prasasti batu yang ditemukan empat di Bogor, satu di Jakarta dan
satu di Lebak Banten. Dari prasasti-prasasti ini diketahui bahwa kerajaan
dipimpin oleh Rajadirajaguru Jayasingawarman pada tahun 358 M dan beliau
memerintah sampai tahun 382 M. Makam Rajadirajaguru Jayasingawarman
ada di sekitar sungai Gomati (wilayah Bekasi). Kerajaan Tarumanegara ialah
kelanjutan dari Kerajaan Salakanagara.
Sedangkan sumber-sumber dari luar negeri yang berasal dari berita
Tiongkok antara lain: Berita Fa-Hsien, tahun 414 M dalam bukunya yang
berjudul Fa-Kao-Chi menceritakan bahwa di Ye-po-ti hanya sedikit dijumpai
orang-orang yang beragama Buddha, yang banyak adalah orang-orang yang
beragama Hindu dan sebagian masih animisme. Berita Dinasti Sui,
menceritakan bahwa tahun 528 dan 535 telah datang utusan dari To- lo-mo
yang terletak di sebelah selatan. Berita Dinasti Tang, juga menceritakan
bahwa tahun 666 dan 669 telah datang utusaan dari To-lo-mo. Dari tiga
berita di atas para ahli menyimpulkan bahwa istilah To-lo-mo secara fonetis
penyesuaian kata-katanya sama dengan Tarumanegara. Maka berdasarkan
sumber-sumber yang telah dijelaskan sebelumnya maka dapat diketahui
beberapa aspek kehidupan tentang kerajaan Tarumanegara. Kerajaan
Tarumanegara diperkirakan berkembang antara tahun 400-600 M.
Berdasarkan prasast-prasati tersebut diketahui raja yang memerintah pada
waktu itu adalah Purnawarman. Wilayah kekuasaan Purnawarman menurut
prasasti Tugu, meliputi hampir seluruh Jawa Barat yang membentang dari
Banten, Jakarta, Bogor dan Cirebon.
3. Kerajaan Sriwijaya
a) Sejarah Berdirinya Kerajaan Sriwijaya
Kerajaan ini menjadi pusat perdagangan dan merupakan negara bahari, namun
kerajaan ini tidak memperluas kekuasaannya di luar wilayah kepulauan Asia Tenggara,
dengan pengecualian berkontribusi untuk populasi Madagaskar sejauh 3.300 mil di barat.
Beberapa ahli masih memperdebatkan kawasan yang menjadi pusat pemerintahan
Sriwijaya, selain itu kemungkinan kerajaan ini biasa memindahkan pusat
pemerintahannya, namun kawasan yang menjadi ibukota tetap diperintah secara langsung
oleh penguasa, sedangkan daerah pendukungnya diperintah oleh datu setempat.
1. Perjalanan Siddhayatra
Kemaharajaan Sriwijaya telah ada sejak 671 sesuai dengan catatan I Tsing. Dari
prasasti Kedukan Bukit pada tahun 682 di diketahui imperium ini di bawah
kepemimpinan Dapunta Hyang. Bahwa beliau berangkat dalam perjalanan suci
siddhayatra untuk “mengalap berkah”, dan memimpin 20.000 tentara dan 312 orang
di kapal dengan 1.312 prajurit berjalan kaki dari Minanga Tamwan menuju Jambi
dan Palembang. Diketahui, Prasasti Kedukan Bukit adalah prasasti tertua yang
ditulis dalam bahasa Melayu. Para ahli berpendapat bahwa prasasti ini mengadaptasi
ortografi India untuk menulis prasasti ini. Pada abad ke-7 ini, orang Tionghoa
mencatat bahwa terdapat dua kerajaan yaitu Malayu dan Kedah menjadi bagian
kemaharajaan Sriwijaya.
Berdasarkan prasasti Kota Kapur yang berangka tahun 686 ditemukan di pulau
Bangka, kemaharajaan ini telah menguasai bagian selatan Sumatera, pulau Bangka
dan Belitung, hingga Lampung. Prasasti ini juga menyebutkan bahwa Sri Jayanasa
telah melancarkan ekspedisi militer untuk menghukum Bhumi Jawa yang tidak
berbakti kepada Sriwijaya, peristiwa ini bersamaan dengan runtuhnya Tarumanagara
di Jawa Barat dan Holing (Kalingga) di Jawa Tengah yang kemungkinan besar
akibat serangan Sriwijaya. Kemungkinan yang dimaksud dengan Bhumi Jawa adalah
Tarumanegara. Sriwijaya tumbuh dan berhasil mengendalikan jalur perdagangan
maritim di Selat Malaka, Selat Sunda, Laut China Selatan, Laut Jawa, dan Selat
Karimata.
2. Penaklukan Kawasan
Ekspansi kerajaan ini ke Jawa dan Semenanjung Malaya, menjadikan Sriwijaya
mengendalikan simpul jalur perdagangan utama di Asia Tenggara. Berdasarkan
observasi, ditemukan reruntuhan candi-candi Sriwijaya di Thailand dan Kamboja.
Pada abad ke-7, pelabuhan Champa di sebelah timur Indochina mulai mengalihkan
banyak pedagang dari Sriwijaya. Untuk mencegah hal tersebut, Maharaja Dharmasetu
melancarkan beberapa serangan ke kota-kota pantai di Indochina. Kota Indrapura di
tepi sungai Mekong, di awal abad ke-8 berada di bawah kendali Sriwijaya. Sriwijaya
meneruskan dominasinya atas Kamboja, sampai raja Khmer Jayawarman II, pendiri
kemaharajaan Khmer, memutuskan hubungan dengan Sriwijaya pada abad yang sama.
Di akhir abad ke-8 beberapa kerajaan di Jawa, antara lain Tarumanegara dan Holing
berada di bawah kekuasaan Sriwijaya. Menurut catatan, pada masa ini pula wangsa
Sailendra bermigrasi ke Jawa Tengah dan berkuasa di sana. Pada abad ini pula,
Langkasuka di semenanjung Melayu menjadi bagian kerajaan. Pada masa berikutnya,
Pan Pan dan Trambralinga, yang terletak di sebelah utara Langkasuka, juga berada di
bawah pengaruh Sriwijaya. Setelah Dharmasetu, Samaratungga menjadi penerus
kerajaan. Ia berkuasa pada periode 792 sampai 835. Tidak seperti Dharmasetu yang
ekspansionis, Samaratungga tidak melakukan ekspansi militer, tetapi lebih memilih
untuk memperkuat penguasaan Sriwijaya di Jawa. Selama masa kepemimpinannya, ia
membangun candi Borobudur di Jawa Tengah yang selesai pada tahun 825.
2. Kehidupan Sosial
Letak Sriwijaya sangat strategis di jalur perdagangan antara India-Cina. Di
samping itu juga berhasil menguasai Selat Malaka yang merupakan urat nadi
perdagangan di Asia Tenggara, menjadikan Sriwijaya berhasil menguasai
perdagangan nasional dan internasional. Penguasaan Sriwijaya atas Selat Malaka
mempunyai arti penting terhadap perkembangan Sriwijaya sebagai negara maritim,
sebab banyak kapal-kapal asing yang singgah untuk menambah air minum,
perbekalan makanan dan melakukan aktivitas perdagangan. Sriwijaya sebagai pusat
perdagangan akan mendapatkan keuntungan yang besar dan akan berpengaruh
terhadap kehidupan masyarakat yang hidup dari pelayaran dan perdagangan.
3. Kehidupan Ekonomi
Di dunia perdagangan, Sriwijaya menjadi pengendali jalur perdagangan antara India
dan Tiongkok, yakni dengan penguasaan atas Selat Malaka dan Selat Sunda. Orang
Arab mencatat bahwa Sriwijaya memiliki aneka komoditas seperti kapur barus, kayu
gaharu, cengkeh, pala, kepulaga, gading, emas, dan timah, yang membuat raja
Sriwijaya sekaya raja-raja di India. Kekayaan yang melimpah ini telah memungkinkan
Sriwijaya membeli kesetiaan dari vassal-vassal-nya di seluruh Asia Tenggara. Dengan
berperan sebagai entreport atau pelabuhan utama di Asia Tenggara, dengan
mendapatkan restu, persetujuan, dan perlindungan dari Kaisar China untuk dapat
berdagang dengan Tiongkok, Sriwijaya senantiasa mengelola jejaring perdagangan
bahari dan menguasai urat nadi pelayaran antara Tiongkok dan India.
Karena alasan itulah Sriwijaya harus terus menjaga dominasi perdagangannya
dengan selalu mengawasi dan jika perlu memerangi pelabuhan pesaing di negara
jirannya. Keperluan untuk menjaga monopoli perdagangan inilah yang mendorong
Sriwijaya menggelar ekspedisi militer untuk menaklukkan bandar pelabuhan pesaing di
kawasan sekitarnya dan menyerap mereka ke dalam mandala Sriwijaya. Bandar Malayu
di Jambi, Kota Kapur di pulau Bangka, Tarumanagara dan pelabuhan Sunda di Jawa
Barat, Kalingga di Jawa Tengah, dan bandar Kedah dan Chaiya di semenanjung Melaya
adalah beberapa bandar pelabuhan yang ditaklukan dan diserap kedalam lingkup
pengaruh Sriwijaya.
Disebutkan dalam catatan sejarah Champa adanya serangkaian serbuan angkatan laut
yang berasal dari Jawa terhadap beberapa pelabuhan di Champa dan Kamboja.
Mungkin angkatan laut penyerbu yang dimaksud adalah armada Sriwijaya, karena saat
itu wangsa Sailendra di Jawa adalah bagian dari mandala Sriwijaya. Hal ini merupakan
upaya Sriwijaya untuk menjamin monopoli perdagangan laut di Asia Tenggara dengan
menggempur bandar pelabuhan pesaingnya. Sriwijaya juga pernah berjaya dalam hal
perdagangan sedari tahun 670 hingga 1025 M.
Kejayaan bahari Sriwijaya terekam di relief Borobudur yaitu menggambarkan Kapal
Borobudur, kapal kayu bercadik ganda dan bertiang layar yang melayari lautan
Nusantara sekitar abad ke-8 Masehi. Fungsi cadik ini adalah untuk menyeimbangkan
dan menstabilkan perahu. Cadik tunggal atau cadik ganda adalah ciri khas perahu
bangsa Austronesia dan perahu bercadik inilah yang membawa bangsa Austronesia
berlayar di seantero Asia Tenggara, Oseania, dan Samudra Hindia. Kapal layar
bercadik yang diabadikan dalam relief Borobudur mungkin adalah jenis kapal yang
digunakan armada Sailendra dan Sriwijaya dalam pelayaran antarpulaunya,
kemaharajaan bahari yang menguasai kawasan pada kurun abad ke-7 hingga ke-13
Masehi.
Selain menjalin hubungan dagang dengan India dan Tiongkok, Sriwijaya juga
menjalin perdagangan dengan tanah Arab. Kemungkinan utusan Maharaja Sri
Indrawarman yang mengantarkan surat kepada khalifah Umar bin Abdul-Aziz dari Bani
Umayyah tahun 718, kembali ke Sriwijaya dengan membawa hadiah Zanji (budak
wanita berkulit hitam), dan kemudian dari kronik Tiongkok disebutkan Shih-li-fo-shih
dengan rajanya Shih-li-t-‘o-pa-mo (Sri Indrawarman) pada tahun 724 mengirimkan
hadiah untuk kaisar Cina, berupa ts’engchi (bermaksud sama dengan Zanji dalam
bahasa Arab).
Pada paruh pertama abad ke-10, di antara kejatuhan dinasti Tang dan naiknya dinasti
Song, perdagangan dengan luar negeri cukup marak, terutama Fujian, kerajaan Min dan
kerajaan Nan Han dengan negeri kayanya Guangdong. Tak diragukan lagi Sriwijaya
mendapatkan keuntungan dari perdagangan ini. Pada masa inilah diperkirakan rakyat
Sriwijaya mulai mengenal buah semangka (Citrullus lanatus (Thunb.) Matsum. &
Nakai), yang masuk melalui perdagangan mereka.
4. Kehidupan Agama
Sebagai pusat pengajaran Buddha Vajrayana, Sriwijaya menarik banyak peziarah
dan sarjana dari negara-negara di Asia. Antara lain pendeta dari Tiongkok I Tsing, yang
melakukan kunjungan ke Sumatera dalam perjalanan studinya di Universitas Nalanda,
India, pada tahun 671 dan 695, I Tsing melaporkan bahwa Sriwijaya menjadi rumah
bagi sarjana Buddha sehingga menjadi pusat pembelajaran agama Buddha. Selain berita
diatas, terdapat berita yang dibawakan oleh I Tsing, dinyatakan bahwa terdapat 1000
orang pendeta yang belajar agama Budha pada Sakyakirti, seorang pendeta terkenal di
Sriwijaya.
Terdapat lebih dari 1000 pandita Buddhis di Sriwijaya yang belajar serta
mempraktikkan Dharma dengan baik. Mereka menganalisa dan mempelajari semua
topik ajaran sebagaimana yang ada di India; vinaya dan ritual-ritual mereka tidaklah
berbeda sama sekali [dengan yang ada di India]. Apabila seseorang pandita Tiongkok
akan pergi ke Universitas Nalanda di India untuk mendengar dan mempelajari naskah-
naskah Dharma auutentik, ia sebaiknya tinggal di Sriwijaya dalam kurun waktu 1 atau 2
tahun untuk mempraktikkan vinaya dan bahasa sansekerta dengan tepat.
Kerajaan Sriwijaya banyak dipengaruhi budaya India, pertama oleh budaya Hindu
kemudian diikuti pula oleh agama Buddha. Peranannya dalam agama Budha
dibuktikannya dengan membangun tempat pemujaan agama Budha di Ligor, Thailand.
Raja-raja Sriwijaya menguasai kepulauan Melayu melalui perdagangan dan
penaklukkan dari kurun abad ke-7 hingga abad ke-9, sehingga secara langsung turut
serta mengembangkan bahasa Melayu beserta kebudayaannya di Nusantara.
7. Prasasti Ligor
Ditemukan pada tahun 679 SM/775 M di tanah
genting Kra. Menceritakan bahwa Sriwijaya di
bawah kekuasaan Darmaseta.
d) Sumber Sejarah
Terdapat dua sumber utama yang menunjukan berdirnya Kerajaan Mataram
Kuno, yaiut berbentuk Prasasti dan Candi-candi yang dapat kita temui samapi
sekarang ini. Adapun untuk Prasasti, Kerajaan Mataram Kuno meninggalkan
beberapa prasasti, diantaranya:
1. Prasasti Canggal, ditemukan di halaman Candi Guning Wukir di desa Canggal
berangka tahun 732 M. Prasasti Canggal menggunakan huruf pallawa dan
bahasa Sansekerta yang isinya menceritakan tentang pendirian Lingga
(lambang Syiwa) di desa Kunjarakunja oleh Raja Sanjaya dan disamping itu
juga diceritakan bawa yang menjadi raja sebelumnya adalah Sanna yang
digantikan oleh Sanjaya anak Sannaha (saudara perempuan Sanna).
2. Prasasti Kalasan, ditemukan di desa Kalasan Yogyakarta berangka tahun
778M, ditulis dalam huruf Pranagari (India Utara) dan bahasa Sansekerta.
Isinya menceritakan pendirian bangunan suci untuk dewi Tara dan biara untuk
pendeta oleh Raja Pangkaran atas permintaan keluarga Syaelendra dan
Panangkaran juga menghadiahkan desa Kalasan untuk para Sanggha (umat
Budha).
3. Prasasti Mantyasih, ditemukan di Mantyasih Kedu, Jawa Tengah berangka
907M yang menggunakan bahasa Jawa Kuno. Isi dari prasasti tersebut adalah
daftar silsilah raja-raja Mataram yang mendahului Rakai Watukura Dyah
Balitung yaitu Raja Sanjaya, Rakai Panangkaran, Rakai Panunggalan, Rakai
Warak, Rakai Garung, Rakai Pikatan, rakai Kayuwangi dan Rakai
Watuhumalang.
4. Prasasti Klurak, ditemukan di desa Prambanan berangka 782M ditulis dalam
huruf Pranagari dan bahasa Sansekerta isinya menceritakan pembuatan Acra
Manjusri oleh Raja Indra yang bergelar Sri Sanggramadananjaya.
Selain Prasasti, Kerajaan Mataram Kuno juga banyak meninggalkan bangunan
candi yang masih ada hingga sekarang. Candi-candi peninggalan Kerajaan
Medang antara lain, Candi Kalasan, Candi Plaosan, Candi Prambanan, Candi
Sewu, Candi Mendut, Candi Pawon, Candi Sambisari, Candi Sari, Candi
Kedulan, Candi Morangan, Candi Ijo, Candi Barong, Candi Sojiwan, dan tentu
saja yang paling kolosal adalah Candi Borobudur.
1. Prasasti Canggal
Prasasti Canggal (juga disebut
Prasasti Gunung Wukir atau
Prasasti Sanjaya) adalah prasasti
berangka tahun 654 Saka atau 732 Masehi yang ditemukan di halaman Candi
Gunung Wukir di desa Kadiluwih, kecamatan Salam, Magelang, Jawa Tengah.
Prasasti ini menggunakan aksara Pallawa dan bahasa Sanskerta. Prasasti ini
dipandang sebagai pernyataan diri Raja Sanjaya pada tahun 732 sebagai seorang
penguasa universal dariKerajaan Mataram Kuno.
2. Prasasti Kelurak
Prasasti Kelurak berangka tahun 782
M dan ditemukan di dekat Candi
Lumbung, Desa Kelurak, di sebelah
utara Kompleks Percandian
Prambanan, Jawa Tengah. Keadaan
prasasti Kelurak sudah sangat aus,
sehingga isi keseluruhannya kurang
diketahui. Secara garis besar, isinya tentang didirikannya sebuah bangunan suci
untuk arca Manjusri atas perintah Raja Indra yang bergelar Sri
Sanggramadhananjaya. Menurut para ahli, yang dimaksud dengan bangunan
tersebut adalah Candi Sewu, yang terletak di Kompleks Percandian Prambanan.
3. Prasasti Mantyasih
Prasasti ini ditemukan di
kampung Mateseh, Magelang
Utara, Jawa Tengah dan
memuat daftar silsilah raja-
raja Mataram sebelum Raja
Balitung. Prasasti ini dibuat
sebagai upaya melegitimasi Balitung sebagai pewaris tahta yang sah, sehingga
menyebutkan raja-raja sebelumnya yang berdaulat penuh atas wilayah kerajaan
Mataram Kuno. Dalam prasasti ini juga disebutkan bahwa desa Mantyasih yang
ditetapkan Balitung sebagai desa perdikan (daerah bebas pajak). Di kampung
Meteseh saat ini masih terdapat sebuah lumpang batu, yang diyakini sebagai
tempat upacara penetapan sima atau desa perdikan.
Selain itu disebutkan pula tentang keberadaan Gunung Susundara dan Wukir
Sumbing (sekarang Gunung Sindoro dan Sumbing). Kata “Mantyasih” sendiri
dapat diartikan “beriman dalam cinta kasih”.
4. Prasasti Sojomerto
Prasasti Sojomerto merupakan peninggalan
Wangsa Sailendra yang ditemukan di Desa
Sojomerto, Kecamatan Reban, Kabupaten
Batang, Jawa Tengah. Prasasti ini beraksara
Kawi dan berbahasa Melayu Kuna. Prasasti
ini tidak menyebutkan angka tahun,
berdasarkan taksiran analisis paleografi diperkirakan berasal dari kurun akhir
abad ke-7 atau awal abad ke-8 masehi. Isi prasasti memuat keluarga dari tokoh
utamanya, Dapunta Selendra, yaitu ayahnya bernama Santanu, ibunya bernama
Bhadrawati, sedangkan istrinya bernama Sampula. Prof. Drs. Boechari
berpendapat bahwa tokoh yang bernama Dapunta Selendra adalah cikal-bakal
raja-raja keturunan Wangsa Sailendra yang berkuasa di Kerajaan Mataram Hindu.
5. Prasasti Tri Tepusan
Prasasti Tri Tepusan menyebutkan bahwa Sri
Kahulunnan pada tahun 842 M menganugerahkan
tanahnya di desa Tri Tepusan untuk pembuatan dan
pemeliharaan tempat suci Kamulan I Bhumisambhara
(kemungkinan besar nama dari candi Borobudur
sekarang). Duplikat dari prasasti ini tersimpan di dalam
museum candi Borobudur.
6. Prasasti Wanua Tengah III
Prasasti ini ditemukan November 1983.
Prasasti ini di sebuah ladang di Dukuh
Kedunglo, Desa Gandulan, Kaloran,
sekitar 4 km arah timur laut Kota
Temanggung. Di dalam prasasti ini
dicantumkan daftar lengkap dari raja-raja yang memerintah bumi Mataram pada
masa sebelum pemerintahan raja Rake Watukara Dyah Balitung. Prasasti ini
dianggap penting karena menyebutkan 12 nama raja Mataram, sehingga
melengkapi penyebutan dalam Prasasti Mantyasih (atau nama lainnya Prasasti
Tembaga Kedu) yang hanya menyebut 9 nama raja saja.
7. Prasasti Rukam
Prasasti ini berangka tahun 829
Saka atau 907 Masehi,
ditemukan pada 1975 di desa
Petarongan, kecamatan
Parakan, Temanggung, Jawa
Tengah. Prasasti ini terdiri atas
dua lempeng tembaga yang berbentuk persegi panjang. Lempeng pertama berisi
28 baris dan lempeng kedua berisi 23 baris. Aksara dan bahasa yang digunakan
adalah Jawa Kuna.
Isi prasasti adalah mengenai peresmian desa Rukam oleh Nini Haji Rakryan
Sanjiwana karena desa tersebut telah dilanda bencana letusan gunung api.
Kemudian penduduk desa Rukam diberi kewajiban untuk memelihara bangunan
suci yang ada di Limwung. Mungkin bangunan suci tersebut adalah Candi
Sajiwan, sebagaimana kata Sanjiwana tadi. Candi Sajiwan yang sering dilafalkan
Sojiwan terletak tidak jauh dari Candi Prambanan.
8. Prasasti Plumpungan
Prasasti ini ditemukan di Dukuh
Plumpungan dan berangka tahun
750 Masehi. Prasasti ini
dipercaya sebagai asal mula kota
Salatiga. Menurut sejarahnya, di
dalam Prasasti Plumpungan berisi
ketetapan hukum, yaitu suatu ketetapan status tanah perdikan atau swantantra
bagi Desa Hampra. Pada zamannya, penetapan ketentuan Prasasti Plumpungan ini
merupakan peristiwa yang sangat penting, khususnya bagi masyarakat di daerah
Hampra.
Penetapan prasasti merupakan titik tolak berdirinya daerah Hampra secara resmi
sebagai daerah perdikan atau swantantra. Desa Hampra tempat prasasti itu berada,
kini masuk wilayah administrasi Kota Salatiga. Dengan demikian daerah Hampra
yang diberi status sebagai daerah perdikan yang bebas pajak pada zaman
pembuatan prasasti itu adalah daerah Salatiga sekarang ini.
9. Prasasti Siwargrha
Dalam prasasti ini tertulis chandrasengkala ”Wwalung
gunung sang wiku” yang bermakna angka tahun 778 Saka
(856 Masehi). Prasasti ini dikeluarkan oleh Dyah Lokapala
(Rakai Kayuwangi) segera setelah berakhirnya
pemerintahan Rakai Pikatan. Prasasti ini menyebutkan
deskripsi kelompok candi agung yang
dipersembahkan untuk dewa Siwa disebut Shivagrha
(Sanskerta: rumah Siwa) yang cirinya sangat cocok dengan
kelompok candi Prambanan.
10.Prasasti Gondosuli
Prasasti ini ditemukan di reruntuhan
Candi Gondosuli, di Desa Gondosuli,
Kecamatan Bulu, Temanggung, Jawa
Tengah. Yang mengeluarkan adalah
anak raja (pangeran) bernama Rakai
Rakarayan Patapan Pu Palar, yang juga adik ipar raja Mataram, Rakai Garung.
Prasasti Gandasuli terdiri dari dua keping, disebut Gandasuli I (Dang pu Hwang
Glis) dan Gandasuli II (Sanghyang Wintang). Ia ditulis menggunakan bahasa
Melayu Kuna dengan aksara Kawi(Jawa Kuna), berangka tahun 792M. Teks
prasasti Gandasuli II terdiri dari lima baris dan berisi tentang filsafat dan
ungkapan kemerdekaan serta kejayaan Syailendra.
11.Prasasti Kayumwungan/Karang Tengah
Prasasti Kayumwungan adalah
sebuah prasasti pada lima buah
penggalan batu yang ditemukan di
Dusun Karangtengah, Kabupaten
Temanggung, Jawa Tengah,
sehingga lebih dikenal juga
dengan nama prasasti
Karangtengah. Isi tulisan pada bagian berbahasa Sanskerta adalah tentang seorang
raja
bernama Samaratungga. Anaknya bernama Pramodawardhani mendirikan
bangunan suci Jinalaya serta bangunan bernama Wenuwana (Sansekerta:
Venuvana, yang berarti “hutan bambu”) untuk menempatkan abu jenazah ‘raja
mega’, sebutan untuk Dewa Indra. Mungkin yang dimaksud adalah raja Indra
atauDharanindra dari keluarga Sailendra.
12.Prasasti Sankhara
Prasasti Raja Sankhara
adalah prasasti yang
berasal dari abad ke-8
masehi yang ditemukan di
Sragen, Jawa Tengah.
Prasasti ini kini hilang
tidak diketahui di mana
keberadaannya. Prasasti ini pernah disimpan oleh museum pribadi, Museum
Adam Malik, namun diduga ketika museum ini
ditutup dan bangkrut pada tahun 2005 atau 2006, koleksi-koleksi museum ini
dijual begitu saja. Dalam prasasti itu disebutkan seorang tokoh bernama Raja
Sankhara berpindah agama karena agama Siwa yang dianut adalah agama yang
ditakuti banyak orang. Raja Sankhara pindah agama ke Buddha karena di situ
disebutkan sebagai agama yang welas asih. Sebelumnya disebutkan ayah Raja
Sankhara, wafat karena sakit selama 8 hari.
Karena itulah Sankhara karena takut akan ‘Sang Guru’ yang tidak benar,
kemudian meninggalkan agama Siwa, menjadi pemeluk agama Buddha
Mahayana, dan memindahkan pusat kerajaannya ke arah timur. Di dalam buku
Sejarah Nasional Indonesia disebutkan bahwa raja Sankhara disamakan dengan
Rakai Panangkaran, sedangkan ayah Raja Sankhara yang dalam prasasti ini tidak
disebutkan namanya, disamakan dengan raja Sanjaya.
13.Prasasti Ngadoman
Prasasti Ngadoman ditemukan di desa
Ngadoman, dekat Salatiga, Jawa Tengah.
Prasasti ini penting karena kemungkinan besar
merupakan perantara antara aksara Kawi
dengan aksara Buda.
14.Prasasti Kalasan
Prasasti Kalasan adalah
prasasti peninggalan Wangsa
Sanjaya dari Kerajaan
Mataram Kuno yang
berangka tahun 700 Saka
atau 778M. Prasasti yang
ditemukan di kecamatan Kalasan, Sleman, Yogyakarta, ini ditulis dalam huruf
Pranagari (India Utara) dan bahasa Sanskerta.
Prasasti ini menyebutkan, bahwa Guru Sang Raja berhasil membujuk Maharaja
Tejahpura Panangkarana (Kariyana Panangkara) yang merupakan mustika
keluarga Sailendra (Sailendra Wamsatilaka) atas permintaan keluarga Syailendra,
untuk membangun bangunan suci bagi Dewi Tara dan sebuah biara bagi para
pendeta, serta penghadiahan desa Kalasan untuk para sanggha (umat Buddha).
Bangunan suci yang dimaksud adalah Candi Kalasan.
2. Kehidupan Ekonomi
Perekonomian kerajaan Mataram Kuno saat itu bertumpu pada sektor
pertanian karena letaknya yang cukup disebut sebagai pedalaman dan memiliki
tanah yang subur. Berikutnya, Mataram mulai mengembangkan kehidupan
pelayaran, hal ini terjadi pada masa pemerintahan Balitung yang
memanfaatkan sungai Bengawan Solo sebagai lalu lintas perdagangan menuju
pantai utara Jawa Timur.
3. Kehidupan Agama
Berdasarkan prasasti Canggal yang menceritakan tentang pendirian Lingga
(lambang Siwa), dapat ditarik kesimpulan bahwa masyarakat Mataram Kuno
Wangsa Sanjaya memiliki kepercayaan agama Hindu beraliran Siwa.
b. Dinasti Syailendra
1. Kehidupan Politik
Berdasarkan prasasti yang telah ditemukan dapat diketahui raja-raja yang pernah
memerintah Dinasti Syailendra, di antaranya:
1) Bhanu ( 752- 775 M )
Raja banu merupakan raja pertama sekaligus pendiri Wangsa Syailendra.
2) Wisnu ( 775- 782 M)
Pada masa pemerintahannya, Candi Brobudur mulai di banugun
tempatnya 778.
3) Indra ( 782 -812 M )
Pada masa pemerintahannya, Raja Indra membuat Prasasti Klurak yang
berangka tahun 782 M, di daerah Prambanan. Dinasti Syailendra
menjalankan politik ekspansi pada masa pemerintahan Raja Indra.
Perluasan wilayah ini ditujukan untuk menguasai daerah-daerah di
sekitar Selat Malaka. Selanjutnya, yang memperkokoh pengaruh
kekuasaan Syailendra terhadap Sriwijaya adalah karena Raja Indra
menjalankan perkawinan politik. Raja Indra mengawinkan putranya
yang bernama Samarottungga dengan putri Raja Sriwijaya.
4) Samaratungga ( 812 – 833 M )
Pengganti Raja Indra bernama Samarottungga. Raja Samaratungga
berperan menjadi pengatur segala dimensi kehidupan rakyatnya. Sebagai
raja Mataram Budha, Samaratungga sangat menghayati nilai agama dan
budaya. Pada zaman kekuasaannya dibangun Candi Borobudur. Namun
sebelum pembangunan Candi Borobudur selesai, Raja Samarottungga
meninggal dan digantikan oleh putranya yang bernama Balaputra Dewa
yang merupakan anak dari selir.
5) Pramodhawardhani ( 883 – 856 M )
Pramodhawardhani adalah putri Samaratungga yang dikenal cerdas dan
cantik. Beliau bergelar Sri Kaluhunan, yang artinya seorang sekar
keratin yang menjadi tumpuan harapan bagi rakyat. Pramodhawardhani
kelak menjdi permaisuri raja Rakai Pikatan, Raja Mataram Kuno dari
Wangsa Sanjaya.
6) Balaputera Dewa ( 883 – 850 M )
Balaputera Dewa adalah putera Raja Samaratungga dari ibunya yang
bernama Dewi Tara, Puteri raja Sriwijaya. Dari Prasasti Ratu Boko,
terjadi perebutan tahta kerajaan oleh Rakai Pikatan yang menjadi suami
Pramodhawardhani. Belaputera Dewa merasa berhak mendapatkan tahta
tersebut karena beliau merupakan anak laki-laki berdarah Syailendra dan
tidak setuju terhadap tahta yang diberikan Rakai Pikatan yang keturunan
Sanjaya. Dalam peperangan saudara tersebut Balaputera Dewa
mengalami kekalahan dan melatrikan diri ke Palembang.
2. Kehidupan Sosial
Kehidupan sosial Kerajaan Syailendra tidak diketahui secara pasti. Namun,
melalui bukti-bukti peninggalan berupa candi-candi, para ahli menafsirkan
bahwa kehidupan sosial masyarakat Kerajaan Syailendra sudah teratur. Hal ini
dilihat melalui cara pembuatan candi yang menggunakan tenaga rakyat secara
bergotong-royong. Di samping itu, pembuatan candi ini menunjukkan betapa
rakyat taat dan mengkultuskan rajanya. Dengan adanya dua agama yang
berjalan, sikap toleransi antar pemeluk agama di masyarakat sangat baik.
3. Kehidupan Ekonomi
Mata pencaharian pokok masyarakat adalah petani, pedagang, dan
pengrajin. Dinasti Syailendra telah menetapkan pajak bagi masyarakat
Mataram. Hal ini terbukti dari prasasti Karang tengah yang menyebutkan
bahwa Rakryan Patatpa Pu Palar mendirikan bangunan suci dan memberikan
tanah perdikan sebagai simbol masyarakat yang patuh membayar pajak.
4. Kehidupan Agama
Sebagian besar raja-raja Dinasti Syailendra beragama Budha Mahayana.
Hal ini menunjukkan bahwa agama Buddha telah masuk di Mataram. Dengan
dibangunnya candi-candi Buddha untuk beribadah, maka dapat disimpulkan
pula bahwa rakyatnya beragama Buddha Mahayana.
5. Kerajaan Kediri
a) Awal Mula Berdirinya Kerajaan Kediri
Wilayah kekuasaan dari Kerjaan Kediri
merupakan bagian selaran dari Kerajaan
Kahuripan. Hingga kini, tak banyak yang
mengetahui mengenai peristiwa di masa awal
berdirinya Kerajaan Kediri.
Pada tahun 1116-1136 raja Kameswara menikahi Dewi Kirana yang
merupakan puteri dari Kerajaan Janggala. Dengan demikian, berakhirlah masa
Kerajaan Jenggala yang kembali dipersatukan dengan Kerajaan Kediri.Seiring
bertambahnya waktu, Kerajaan Kediri tumbuh berkembang menjadi besar dan
cukup kuat diwilayah Jawa. Pada masa ini juga dituliskan sebuah kitab bernama
Kakawin Smaradahana yang juga dikenal dalam kesusastraan Jawa sebagai cerita
Panji.
Beberapa pakar menyebutkan, bahwa arti dari nama Kediri berasal dari kata
“Kedi” yang bermakna “Mandul” atau “Wanita yang tidak berdatang
bulan”.Sedangkan menurut kamus Jawa Kuno Wojo Wasito, “Kedi” memiliki
makna Orang Kebiri Bidan atau Dukun.Dalam perlakonan wayang, sang arjuno
juga sempat menyamar menjadi guru tari di Negara Wirata yang bernama “Kedi
Wrakantolo”.Sehingga bila dihubungkan dengan salah seorang tokoh Dewi Kilisuci
yang bertapa di Gua Selomangleng, “Kedi” memiliki arti Suci atau
Wadad.Sedangkan, kata “diri” memiliki arti Adeg, Angdhiri, menghadiri atau
menjadi Raja (bahasa Jawa Jumenengan).Maka dari itu, dapat pula kita temukan
dalam prasasti “WANUA” tahun 830 saka yang berbunyi:” Ing Saka 706 cetra nasa
danami sakla pa ka sa wara, angdhiri rake panaraban” yang berarti pada tahun saka
706 atau 734 Masehi, bertahta Raja Pake Panaraban.
Nama dari Kediri sendiri banyak terdapat dalam kesusatraan Kuno yang
menggunakan bahasa Jawa Kuno, diantaranya: Kitab Samaradana, Pararaton,
Negara Kertagama serta Kitab Calon Arang.Sama halnya dengan prasasti lain yang
juga menyebutkan nama Kediri di dalamnya, seperti: Prasasti Ceber berangka tahun
1109 saka yang berada di Desa Ceker, yang sekarang telah berubah menjadi Desa
Sukoanyar Kecamatan Mojo.Di dalam prasati tersebut juga disebutkan, bahwa
penduduk Ceker juga berjasa kepada Raja, sehingga mereka memperoleh hadiah
berupa “Tanah Perdikan”.Tak hanya itu, dalam prasasti itu juga tertulis “Sri
Maharaja Masuk Ri Siminaninaring Bhuwi Kadiri” yang memiliki arti raja sudah
kembali kesimanya, atau harapannya di dalam Bhumi Kadiri.Prasasti Kamulan yang
berangkat tahun 1116 saka di Desa Kamulan Kabupaten Trenggalek, dan menurut
Damais, tepatnya pada tanggal 31 Agustus 1194, prasasti itu menyebutkan nama
Kediri diserang oleh seorang raja dari kerajaan sebelah timur.“Aka ni satru wadwa
kala sangke purnowo”, maka dari itu raja meninggalkan istananya yang beradad di
Katangkatang (“tatkala nin kentar sangke kadetwan ring katang-katang deni nkir
malr yatik kaprabon sri maharaja siniwi ring bhumi kadiri”).Kemudian, Tatkala
Bagawantabhari mendapatkan anugerah berupa tanah perdikan dari seorang Raja
Rake Layang Dyah Tulodong yang juga tertulis dalam ketiga prasasti yang bernama
Harinjing.Pada awalnya, Kediri merupakan sebuah kerajaan kecil yang kemudian
berkembang dan berubah namanya menjadi Kerajaan Panjalu yang besar dan
dikenal sampai sekarang.
Kedelapan orang raja yang sempat beridiri, diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Sri Jayawarsa
Dalam prasasti Sirah Keting (1104 M) menyebutkan bahwa raja Sri
Jayawarsa sempat memerintah Kerajaan Kediri.
Pada masa pemerintahan beliau, raja Sri Jayawarsa pernah memberikan
hadiah kepada rakyat desa kerajaan sebagai tanda penghargaan, karena
rakyatnya berjasa kepada sang raja.
Dalam prasasti itu juga disebutkan bahwa raja Sri Jayawarsa sangatlah
perhatian kepada rakyatnya dan berupaya dalam meningkatkan kesejahteraan
rakyatnya.
2. Sri Bameswara
Selama memerintah, Raja Bameswara banyak meninggalkan prasasti yang
banyak ditemukan di daerah Tulung Agung dan Kertosono.
Dalam prasasti yang ditemukan, kebanyakan menceritakan mengenai
masalah keagamaan, sehingga dapat disimpulkan juga keadaan
pemerintahannya sangatlah baik.
3. Prabu Jayabaya
Pada masa kepemimpinan Prabu Jayabaya lah Kerajaan Kediri mengalami
puncak kejayaan.
Strategi pemerintahan yang digunakan Prabu Jayabaya untuk kemakmuran
rakyatnya sangatlah mengagumkan. Pada saat itu, ibukota kerajaan terletak di
Dahono Puro.Dahono Puro merupakan daerah yang berada di bawah kaki
Gunung Kelud dengan tanah yang sangat subur, sehingga segala macam
tanaman dapat tumbuh menghijau.Hasil dari perkebunan serta pertanian
melimpah ruah. Di tengah-tengah kota juga terdapat aliran Sungai Brantas
yang airnya sangat bening dan banyak terdapat ikan yang hidup di dalamnya.
Dari hasil bumi tersebut, juga diekspor ke kota Jenggala, dekat Surabaya
menggunakan perahu dengan menyusuri sungai.Roda perekonomian pada
saat itu sangatlah lancar, sehingga Kerajaan Kediri mendapat medapat
julukan sebagai negara yang “Gemah Ripah Loh Jinawi Tata Tentrem Karta
Raharja”.
Jayabaya memerintah kerajaan sejak tahun 1130 hingga 1157 Masehi. Selain
itu, bidang spiritual dan material pada masa Jayabaya juga tak tanggung-
tanggung.
Beliau memiliki sikap yang bijaksana dan adil terhadap rakyat serta sangat
merakyat dan menjalankan visinya yang menjadikan Prabu Jayabaya layak
dikenang sepanjang masa.
4. Sri Sarwaswera
Kisah dari raja Sri Sarwaswera tercantum dalam sebuah prasasti bernama
Padelegan II (1159) dan prasasti Kahyunan (1161).Beliau merupakan raja
yang taat beragama dan berbudaya serta memegang teguh prinsip “tat wam
asi” yang memiliki arti “dikaulah itu, dikaulah (semua) itu, semua makhluk
adalah engkau”.Menurut pendapat dari sang raja, tujuan dari hidup manusia
yang terakhir adalah moksa, yang berarti pemanunggalan jiwatma dengan
paramatma.Jalan yang benar merupakan sesuatu jalan yang mengarah kepada
kesatuan, sehingga segala sesuatu yang menghalangi kesatuan adalah hal yang
tidak benar.
5. Sri Aryeswara
Kisah Sri Aryeswara termuat dalam prasasti Angin (1171). Beliau
merupakan seorang raja yang memerintah sekitar tahun 1171.Ia memiliki gelar
abhisekanya yaitu Sri Maharaja Rake Hino Sri Aryeswara
Madhusudanawatara Arijamuka.Dalam prasasti itu tidak dijelaskan kapan Sri
Aryeswara diangkat menjadi raja dan kapan masa pemerintahannya berakhir.
Dalam masa pemerintahannya, ia meninggalkan prasasti Angin yang
bertuliskan tanggal 23 Maret 1171.Pada saat itu, lambang dari Kerajaan Kediri
adalah Ganesha. Menurut prasasti, raja yang memerintah setelah Sri
Aryeswara adalah Sri Gandra.
6. Sri Gandra
Sri Gandara memerintah Kerajaan Kediri pada tahun 1181 M yang termuat
dalam prasasti Jaring yang di dalamnya juga menceritakan mengenai
penggunaan nama hewan dalam kepangkatan seperti seperti nama gajah, kebo,
dan juga tikus.Nama dari hewan-hewan tersebut menggambarkan tingkat
tinggi rendahnya pangkat seseorang di dalam wilayah kerajaan.
7. Sri Kameswara
Raja Sri Gandra memerintah pada tahun 1182 yang dapat kita ketahui di
dalam prasasti ceker dan juga Kakawin Smaradhana.Dalam pemerintahannya
sejak tahun 1182 hingga 1185 Masehi, bidang seni sastra mengalami
perkembangan yang sangat pesat.Contohnya Empu Dharmaja yang telah
mampu mengarang kitab Smaradhana. Bahkan pada masa pemerintahannya
juga dikenal cerita-cerita panji seperti cerita Panji Semirang.
8. Sri Kertajaya
Sri Kertajaya memerintah kerajaan pada tahun 1190 sampai 1222 Masehi
yang termuat dalam beberapa prasasti seperti: prasasti Galunggung (1194),
prasasti Kamulan (1194), prasasti Palah (1197), prasasti Wates Kulon (1205),
Nagarakretagama, serta Pararaton.Sri Kertajaya juga dikenal sebagai
“Dandang Gendis”. Dalam masa pemerintahannya, kestabilan dari kerajaan
menurun.
Hal itu dikarenakan Kertajaya ingin mengurangi hak-hak dari kaum
Brahmana. Sontak hal tersebut ditentang oleh kaum Brahmana.Pada waktu itu,
kedudukan dari kaum Brahmana semakin tidak aman, sehingga banyak yang
kabur menuju Tumapel yang pada saat itu dipimpin oleh Ken Arok.Saat Raja
Kertajaya mengetahui hal tersebut, ia mempersiapkan pasukan untuk segera
menyerang Tumapel. Sementara itu, Tumapel yang dimpin oleh Ken Arok
mendapat dukungan penuh oleh kaum Brahmana untuk balik melakukan
serangan ke Kerajaan Kediri.Dan kemudian kedua pasukan tersebut bertemu di
dekat Ganter pada tahun 1222 M.
Letak Kerajaan
Kediri berada di
Jawa Timur, dengan
pusatnya yang ada
di kota Daha yang
sekarang dikenal
dengan nama Kota
Kediri.
Sebelum berpusat di Daha, Kerajaan Kediri berada di wilayah Kahirupan. Hal
tersebut sesuai dengan penjelasan di dalam sebuah prasasti keluaran tahun 1042 dan
berita Serat Calon Arang.
Mapanji Garasakan
merupakan salah satu raja
yang sempat memerintah
Kerajaan Kediri. Namun,
masa pemerintahannya tidak
lama.
Kemudian, ia digantikan oleh Raja Mapanji Alanjung pada tahun 1052 hingga 1059
M. Dan selanjutnya Mapanji Alanjung digantikan oleh Sri Maharaja Samarotsaha.
Namun, pertempuran antara Kerajaan Jenggala dan Panjalu terjadi terus-menerus
selama 60 tahun dan menyebabkan tidak adanya berita yang jelas tentang kedua
kerajaan tersebut hingga munculnya nama Raja Bameswara (1116 – 1135 M) dari
Kediri.Pada saat itu, ibukota Kerajaan Kediri telah berpindah dari Daha menuju
Kediri sehingga kerajaan ini lebih dikenal dengan sebutan Kerajaan Kediri.
Saat masa pemerintahan Raja Bameswara, beliau menggunakan lencana kerajaan
yang menyerupai tengkorak bertaring di atas bulan sabit yang biasa disebut dengan
Candrakapala.
Seusai masa pemerintahan Bameswara , ia digantikan oleh Prabu Jayabaya yang
dalam catatan sejarah beliau mampu mengalahkan Jenggala.
Raja-raja Kediri sejak Prabu Jayabaya memimpin adalah sebagai berikut:
Di tahun 1019 M, Airlangga dinobatkan sebagai menjadi raja Medang Kamulan.
Pada waktu itu, Airlangga berusaha untuk memulihkan kembali kewibawaan
Medang Kamulan.Setelah Airlangga berhasil membawa kebiwaaan kerajaan
kembali, Raja Airlangga memindahkan pusat pemerintahan yang tadinya dari
Medang Kamulan menuju Kahuripan.Berkat kegigihannya dalam memperjuangkan
Medan Kamulan, Medang Kamulan berhasil dalam mencapai puncak kejayaannya.
Menjelang akhir kepemimpinannya, Airlangga memutuskan untuk mengundurkan
diri dari pemerintahan kerajaan dan menjadi seorang pertapa yang disebut Resi
Gentayu. Dan pada akhirnya, Airlangga wafat pada tahun 1049 M.
Pewaris dari tahta Kerajaan Medan Kamulan pada saat itu seharusnya seorang
puteri yang bernama Sri Sanggramawijaya yang juga lahir dari seorang permaisuri
kerajaan.
Namun, ia lebih memilih menjadi seorang pertapa, sehingga tahta kerajaan beralih
kepada putra Airlangga yang lahir di daerah Selir.Dan untuk menghindari
peperangan di dalam kerajaan, Airlangga membagi Kerajaan Kamualan menjadi
dua bagian yaitu kerajaan Jenggala dengan ibu kotanya Kahuripan, serta Kerajaan
Kediri atau yang disebut juga dengan Panjalu yang beribu kotakan Daha. Namun,
upaya untuk menghindari peperangan tersebut mengelami kegagalan.
Hal tersebut dapat dijumpai dalam catatan sejarah di abad ke 12, dimana Kerajaan
Kediri yang menjadi sebuah kerajaan subur namun tidak damai sepenuhnya karena
terbayng oleh kondisi Jenggala yang semakin melemah.Hal tersebut memunculkan
kemunafikan pada setiap golongan kerajaan sehingga memicu pembenuhan
terhadap pangeran dan raja-raja antar kedua negara.
Dan peperangan tersebut dimenangkan oleh Kerajaan Kediri, sebab kedua kerajaan
tersebut dipersatukan kembali di bawah kepemimpinan Kerajaan Kediri.
8. Candi Penataran
Candi ini merupakan candi
termegah dan terluas yang ada di
Jawa Timur dan berada di lereng
barat daya Gunung Kelud, di
sebelah utara Blitar, pada
ketinggian 450 meter dpl. Di perkirakan, candi ini telah dibangun pada masa
pemerintahan Raja Srengga sekitar tahun 1200 M dan berlanjut hingga masa
pemerintahan Wikramawardhana yang merupakan raja dari Kerajaan
Majapahit sekitar tahun 1415.
9. Candi Gurah
Candi Gurah berada di kecamatan
di Kediri, Jawa Timur. Di tahun
1957 juga pernah ditemukan
sebuah candi yang dinamakan
Candi Gurah yang jaraknya kurang
lebih 2 km dari Situs
Tondowongso. Namun sayang, akibat kekurangan dana, candi tersebut dikubur
kembali.
10. Candi Tondowongso
Merupakan situs purbakala yang
telah ditemukan pada awal tahun
2007 di Dusun Tondowongso, Kediri, Jawa Timur. Situs ini memiliki luas
lebih dari satu hektare dan dianggap sebagai penemuan terbesar untuk periode
klasik sejarah Indonesia dalam 30 tahun terakhir (semenjak penemuan di
Kompleks Percandian Batujaya). Dan pada kenyataannya di tahun 1957,
seorang profesor yang bernama Prof.Soekmono juga pernah menemukan satu
arca dilokasi ini. Awal penemuan situs ini dari penemuan sejumlah arca oleh
sejumlah perajin batu bata setempat. Situs ini dipercayai merupakan
peninggalan masa Kerajaan Kediri pada awal abad XI, waktu awal
perpindahan pusat politik dari kawasan Jawa Tengah ke Jawa Timur
berdasarkan bentuk dan gaya tatanan arcanya. Selama ini, Kerajaan Kediri
hanya dikenal beradasarkan karya sastranya saja, namun belum banyak
diketahui peninggalannya baik dalam bentuk bangunan atau hasil pahatan.
11. Arca Buddha Vajrasattva
Arca Buddha Vajrasattva berasa dari
zaman Kerajaan Kediri pada abad
X/XI. Serta sekarang menjadi Koleksi
Museum für Indische Kunst, Berlin-
Dahlem, Jerman.
.
Kitab Gatotkacasraya dan Kitab
Hariwangsa yang merupakan gubahan dari
Empu Panuluh.
6. Kerajaan Singosari
Versi Pararaton
1. Ken Arok alias Rajasa Sang Amurwabhumi (1222-1247)
2. Anusapati (1247-1249)
3. Tohjaya (1249-1250)
4. Ranggawuni alias Wisnuwardhana (1250-1272)
5. Kertanagara (1272-1292)
Versi Nagarakretagama
1. Rangga Rajasa Sang Girinathaputra (1222-1227)
2. Anusapati (1227-1248)
3. Wisnuwardhana (1248-1254)
4. Kertanagara (1254-1292)
c) Kepercayaan Kerajaan Singasari
Bahkan didalam keagamaan terjadi sekatisme antara Agama Hindu dan Budha, dan
melahirkan Agama Syiwa Budha pemimpinya diberi jabatan Dharma Dyaksa
sedangkan Kartanegara menganut Agama Budha Mahayana dengan menjalankan
Upacara keagamaan secara Pestapora sampai mabuk untuk mencapai kesempurnaan
dalam hal ini Kartanegara menyebut dirinya CANGKANDARA (pimpinan dari
semua agama).
d) Pemerintahan Bersama
Pararaton dan Nagarakretagama menyebutkan adanya pemerintahan bersama antara
Wisnuwardhana dan Narasingamurti. Dalam Pararaton disebutkan nama asli
Narasingamurti adalah Mahisa Campaka.Apabila kisah kudeta berdarah dalam
Pararaton benar-benar terjadi, maka dapat dipahami maksud dari pemerintahan
bersama ini adalah suatu upaya rekonsiliasi antara kedua kelompok yang bersaing.
Wisnuwardhana merupakan cucu Tunggul Ametung sedangkan Narasingamurti
adalah cucu Ken Arok.
Anusapati
Memerintah dari tahun 1227 – 1248 M. Peristiwa kematian Ken Arok akhirnya
terbongkar & didengar oleh Tohjaya, putra Ken Arok dengan Ken Umang.
Dimakamkan di Candi Kidal.
Tohjaya
Memerintah tahun 1248 dan pemerintahannya tidak berlangsung lama, karena
putra Anusapati yang bernama Ranggawuni yang dibantu Mahesa Cempaka
menuntut hak atas tahta kepada Tohjaya.
Wisnuwardhana (Ranggawuni)
Naik tahta pada tahun 1248 dengan gelar Wisnuwardhana, dibantu oleh
Mahesa Cempaka dengan gelar Narashimbamurti. Pemerintahan keduanya
sering disebut dengan pemerintahan Ratu Angabaya. Pada tahun 1254
Wisnuwardhana mengangkat putranya sebagai Yuva raja (Raja muda), dengan
maksud mempersiapkan putranyaq yang bernama Kertanegara sebagai Raja di
Kerajaan Singasari. Pada tahun 1268 Wisnuwardhana meninggal dan tahta
kerajaan dipegang oleh Kertanegara.
Kertanegara
Memerintah tahun 1268 – 1292 M. Ia merupakan Raja terbesar dan terkemuka
Kerajaan Singasari. Setelah naik tahta, ia bergelar Sri Maharajadhiraja Sri
Kertanegara. Pada masa pemerintahannya datang utusan dari Cina atas
perintah Kaisar Khubilai Khan agar Raja Kertanegara tunduk terhadap Kaisr
Cina, namun Kertanegara menolak dan menghina utusan tersebut.
Khubilai Khan marah, sehingga mempersiapkan untuk menyerang Kerajaan
Singasari, tetapi sebelum serangan itu datang Raja Kertanegara mengadakan
Ekspedisi Pamalayu tahun 1275 M, menguasai Kerajaan Melayu dengan
tujuan menghadang serangan Cina agar peperangan tidak terjadi di Singasari.
Karena pasukan Singasari sebagian menghadang serangan Cina, maka
Jayakatwang keturunan Kerajaan Kediri menyerang Kerajaan Singasari.
Ken Arok
Ketika di pusat Kerajaan Kediri terjadi pertentangan antara raja dan kaum
Brahmana, semua pendeta melarikan diri ke Tumapel dan dilindungi oleh Ken
Arok. Pada 1222, para pendeta Hindu kemudian menobatkan Ken Arok
sebagai raja di Tumapel dengan gelar Sri Ranggah Rajasa Bhatara Sang
Amurwabhumi.Adapun nama kerajaannya ialah Kerajaan Singasari. Berita
pembentukan Kerajaan Singasari dan penobatan Ken Arok menimbulkan
kemarahan raja Kediri, Kertajaya. la kemudian memimpin sendiri pasukan
besar untuk menyerang Kerajaan Singasari. Kedua pasukan bertempur di Desa
Ganter pada 1222. Ken Arok berhasil memenangkan pertempuran dan sejak itu
wilayah kekuasaan Kerajaan Kediri dikuasai oleh Singasari.
Kertanegara
Ken Arok memerintah Kerajaan Singasari hanya lima tahun. Pada 1227 ia
dibunuh oleh Anusapati, anak tirinya (hasil perkawinan Tunggul Ametung dan
Ken Dedes). Sepuluh tahun kemudian Anusapati dibunuh oleh saudara tirinya,
Tohjaya (putra Ken Arok dengan Ken Umang).Kematian Anusapati
menimbulkan kemarahan Ranggawuni, putra Anusapati. Ranggawuni
langsung menyerang Tohjaya. Pasukan Tohjaya kalah dalam pertempuran dan
meninggal dunia dalam pelarian. Pada 1248 Ranggawuni menjadi raja
Singasari bergelar Sri Jaya Wisnuwardhana. Ranggawuni memerintah
Kerajaan Singasari selama 20 tahun (1248-1268) dan dibantu oleh Mahisa
Cempaka (Narasingamurti).Ranggawuni wafat pada 1268 dan digantikan oleh
putranya, Kertanegara. la memerintah Kerajaan Singasari selama 24 tahun
(1268-1292).
Ekspedisi Pamalayu
Kertanegara terus memperluas pengaruh dan kekuasaan Kerajaan Singasari.
Pada 1275 ia mengirim pasukan untuk menaklukkan Kerajaan Sriwijaya
sekaligus menjalin persekutuan dengan Kerajaan Campa (Kamboja). Ekspedisi
pengiriman pasukan itu dikenal dengan nama Pamalayu.Kertanegara berhasil
memperluas pengaruhnya di Campa melalui perkawinan antara raja Campa
dan adik perempuannya. Kerajaan Singasari sempat menguasai Sumatera,
Bakulapura (Kalimantan Barat), Sunda (Jawa Barat), Madura, Bali, dan Gurun
(Maluku).
Serangan Pasukan Mongol
Pasukan Pamalayu dipersiapkan Kertanegara untuk menghadapi serangan
kaisar Mongol, Kubilai Khan, yang berkuasa di Cina. Utusan Kubilai Khan
beberapa kali datang ke Singasari untuk meminta Kertanegara tunduk di
bawah Kubilai Khan. Apabila menolak maka Singasari akan diserang.
Permintaan ini menimbulkan kemarahan Kertanegara dengan melukai utusan
khusus Kubilai Khan, Meng Ki, pada 1289. Kertanegara menyadari
tindakannya ini akan dibalas oleh pasukan Mongol. la kemudian memperkuat
pasukannya di Sumatera. Pada 1293 pasukan Mongol menyerang Kerajaan
Singasari. Namun Kertanegara telah dibunuh oleh raja Kediri, Jayakatwang,
setahun sebelumnya. Singasari kemudian dikuasai oleh Jayakatwang.
Arca Dwarapala merupakan salah satu peninggalan Kerajaan Singasari.
Kidal dibangun di Rejokidal, Tumpang, Malang, yang dipersembahkan kepada
Anusapati, raja kedua dan anak tiri Ken Arok.
3. Candi Sumberawan
Candi Sumberawan merupakan satu-
satunya stupa yang ditemukan di
Jawa Timur. Dengan jarak sekitar 6
km dari Candi Singosari, Candi ini
merupakan peninggalan Kerajaan
Singasari dan digunakan oleh umat
Buddha pada masa itu. Pemandangan di sekitar candi ini sangat indah karena
terletak di dekat sebuah telaga yang sangat bening airnya. Keadaan inilah yang
memberi nama Candi Rawan.
4. Arca Dwarapala
Arca ini berbentuk Monster dengan
ukuran yang sangat besar. Menurut
penjaga situs sejarah ini, arca Dwarapala
merupakan pertanda masuk ke wilayah
kotaraja, namun hingga saat ini tidak
ditemukan secara pasti dimanan letak
kotaraja Singhasari.
5. Prasasti Manjusri
Prasasti Manjusri merupakan manuskrip yang dipahatkan pada bagian belakang
Arca Manjusri, bertarikh 1343, pada awalnya ditempatkan di Candi Jago dan
sekarang tersimpan di Museum Nasional Jakarta.
7. Prasasti Singasari
Prasasti Singosari, yang bertarikh tahun 1351 M,
ditemukan di Singosari, Kabupaten Malang, Jawa
Timur dan sekarang disimpan di Museum Gajah
dan ditulis dengan Aksara Jawa.
Prasasti ini ditulis untuk mengenang pembangunan sebuah caitya atau candi
pemakaman yang dilaksanakan oleh Mahapatih Gajah Mada. Paruh pertama
prasasti ini merupakan pentarikhan tanggal yang sangat terperinci, termasuk
pemaparan letak benda-benda angkasa. Paruh kedua mengemukakan maksud
prasasti ini, yaitu sebagai pariwara pembangunan sebuah caitya.
8. Candi Jawi
Candi ini terletak di pertengahan jalan
raya antara Kecamatan Pandaan –
Kecamatan Prigen dan Pringebukan.
Candi Jawi banyak dikira sebagai
tempat pemujaan atau tempat
peribadatan Buddha, namun sebenarnya
merupakan tempat pedharmaan atau penyimpanan abu dari raja terakhir Singhasari,
Kertanegara.
Sebagian dari abu tersebut juga disimpan pada Candi Singhasari. Kedua candi ini
ada hubungannya dengan Candi Jago yang merupakan tempat peribadatan Raja
Kertanegara.
9. Prasasti Wurare
Prasasti Wurare adalah sebuah
prasasti yang isinya memperingati
penobatan arca Mahaksobhya di
sebuah tempat bernama Wurare
(sehingga prasastinya disebut
Prasasti Wurare). Prasasti ditulis
dalam bahasa Sansekerta, dan bertarikh 1211 Saka atau 21 November 1289. Arca
tersebut sebagai penghormatan dan perlambang bagi Raja Kertanegara dari
kerajaan Singhasari, yang dianggap oleh keturunannya telah mencapai derajat Jina
(Buddha Agung). Sedangkan tulisan prasastinya ditulis melingkar pada bagian
bawahnya.
7. Kerajaan Majapahit
a) Sejarah Singkat Kerajaan Majapahit
b) Sebenarnya kerajaan Majapahit berdiri sebab adanya serangan dari
Jayaketwang (Adipati Kediri) yang berhasil membunuh penguasa Kerajaan
Singasari yang terakhir yaitu Kertanegara dikarenakan menolak pembayaran
upeti.
Majapahit berasal dari kata ”buah maja” dan “rasa pahit”. Tidak lama kemudian
pasukan Mongolia yang dipimpin oleh Shis-Pi, Ike-Mise dan juga Kau Hsing datang
ke tanah Jawa. Yang tak lain adalah dengan tujuan untuk menghukum Kertanegara
karena menolak pembayaran upeti terhadap pasukan Mongolia.
Dalam situasi tersebut Raden Wijaya memanfaatkan kerja sama dengan pasukan
Mongolia untuk menyerang pasukan Jayaketwang. Dan pada akhirnya pasukan
Mongolia dengan bantuan Raden Wijaya menang dengan terbunuhnya Jayaketwang.
Tidak berselang lama, kemudian Raden Wijaya mengusir pasukan Mongolia dari
tanah Jawa.
Pengusiran tersebut terjadi ketika para pasukan Mongolia sedang berpesta untuk
merayakan kemenangannya atas pasukan Jayaketwang. Saat situasi yang lengah
tersebutlah Raden Wijaya memanfaatkannya untuk melakukan penyerangan kepada
Pasukan Mongolia.
Akhirnya Raden Wijaya berhasil untuk mengusir pasukan Mongolia dari tanah Jawa
dan kemudian naik tahta dan bergelar Sri Kertajasa Jayawardhana tahun 1293.
Menurut para ahli, berdirinya Kerajaan Majapahit adalah ketika Raden Wijaya
dinobatkan sebagai raja Majapahit tanggal 15 bulan Kartika 1215 atau pada tanggal
10 November 1293.
Sebagaimana disinggung di atas bahwa Kerajaan Majapahit berada di Propinsi Jawa
Timur yang mana ibu kotanya di sebuah desa yang saat ini bernama Triwulan di
Mojokerto. Yang mana kerajaan Majapahit berdiri dari tahun 1293 hingga 1500 M.
Kehidupan di Kerajaan Majapahit
Ada beberapa faktor kehidupan yang menjadi maju serta runtuhnya Kerajaan
Majapahit, diantaranya yaitu:
2. Kehidupan Ekonomi
Dengan lokasi kerajaan yang
sangat strategis tersebut, saat
itu Kerajaan Majapahit dapat
menjadi pusat perdagangan
di tanah Jawa. Kerajaan
Majapahit merupakan salah
satu kerajaan yang mayoritas
masyarakatnya sebagai pedagang.
Selain berdagang, masyarakat Majapahit juga banyak yang yang menjadi pengrajin
emas, pengrajin perak dan lain-lain. Untuk komoditas ekspor dari kerajaan Majapahit
berupa barang alam seperti: lada, garam, kain serta burung kakak tua.
Sedangkan untuk komoditas impornya yaitu mutiara, emas, perak, keramik, serta
barang-barang yang terbuat dari besi. Selain itu dari segi mata uang, Kerajaan
Majapahit membuat mata uangnya dengan campuran perak, timah putih, timah hitam
serta tembaga.
Kemakmuran ekonomi dari Kerajaan Majapahit bisa dikatakan sebab adanya 2 faktor,
yaitu dari lembah sungai Brantas dan sungai Bengawan Solo yang berada di dataran
rendah jadi sangat cocok bertani. Berbagai sarana infrastruktur juga dibangun supaya
lebih memudahkan warganya dalam bertani seperti dibangunnya irigasi.
Faktor kedua yaitu dengan adanya pelabuhan-pelabuhan Majapahit yang berada di
pantai utara pulau Jawa memiliki peran dalam perdagangan remah-rempah dari
Maluku. Kerajaan Majapahit memakai sistem pungut pajak dari setiap kapal-kapal
yang mengadakan perjalanan ataupun singgah di pelabuhan Majapahit.
3. Kehidupan Kebudayaan
Kebudayaan masyarakat
Majapahit sudah termasuk
sangat maju pada masanya.
Hal tersebut ditandai dengan
adanya berbagai perayaan-perayaan keagamaan pada tiap tahunnya. Dibidang seni
dan sastra juga tidak kalah majunya, bahkan berperan di dalam kehidupan budaya di
Majapahit.
Menurut seorang pendeta dari Italia bernama Mattiusi dimana ia pernah menetap di
Majapahit, ia melihat bahwa Kerajaan Majapahit yang sangat luar biasa. Bahkan ia
sangat kagum dengan istana kerajaan yang sangat luas dan tangga serta bagian dalam
ruangan yang berlapiskan emas dan perak. Selain itu, menurutnya atapnya juga
bersepuh emas.
Dalam sejarah Kerajaan Majapahit ada beberapa raja yang pernah memimpin di
Majapahit, di antaranya yaitu:
Raden Wijaya (1293-1309)
Raden Wijaya merupakan pendiri Kerajaan Majapahit dan sekaligus raja
pertama Majapahit. Raden Wijaya naik tahta Kerajaan Majapahit dengan diberi
gelar Kertarajasa Jayawardhana. Pada masa kepemimpinan Raden Wijaya
tersebut merupakan masa awal Kerajaan Majapahit.
Raden Wijaya terlihat lebih mengutamakan melakukan konsolidasi serta
memperkuat pemerintahan. Hal tersebut perlu dilakukan sebab pada waktu awal
tersebut merupakan merupakan transisi dari kerajaan sebelumnya yaitu kerajaan
Singasari menuju kerajaan baru yakni Kerajaan Majapahit.
Beberapa strategi dilakukan oleh Raden Wijaya untuk memperkuat
pemerintahan, misalnya dengan menjadikan Majapahit sebagai pusat
pemerintahan. Kemudian memberikan posisi penting terhadap para pengikut
setianya, serta menikahi keempat putri Kertanegara (raja Singasari). Raden
Wijaya meninggal tahun 1309 dan dimakamkan di Candi Sumberjati atau Candi
Simping.
Jayanegara (1309-1328)
Jayanegara adalah raja kedua Majapahit. Jayanegara yaitu putra Raden Wijaya
tetapi dari selir. Sebab Raden Wijaya tidak mempunyai putra dari permaisuri,
maka Jayanegara yang merupakan putra dari selir tersebut yang kemudian
menjadi raja Majapahit.
Jayanegara memerintah kerajaan Majapahit di usia yang masih sangat muda
yaitu usia 15 tahun. Pemerintahan Jayanegara tidak kuat sehingga muncul
banyak pemberontakan. Dan pemberontakan tersebut di inisiasi oleh orang-
orang di lingkaran Istana Majapahit yang dahulunya adalah orang kepercayaan
ayahnya.
Pemberontakan tersebut di antaranya pemberontakan Ronggolawe,
pemberontakan Lembu Sura, Nambi, serta ada beberapa pemberontakan lainnya.
Tribuana Tungga Dewi (1328-1350)
Raja berikutnya yaitu Tribuana Tungga dewi yaitu adik dari Jayanegara yang
merupakan seorang wanita, sebab Jayanegara meninggal dalam keadaan tidak
memiliki keturunan. Sebenarnya tahta Jayanegara diberikan kepada Gayatri atau
Rajapatni yang tak lain adalah permaisuri Raden Wijaya.
Namun karena Gayatri sudah menjadi Bhiksuni, maka diwakilkan kepada
putrinya yang bernama Tribuana Tungga dewi. Masa pemerintahan Tribuana
Tungga dewi tersebut dapat dikatakan sebagai awal kejayaan Kerajaan
Majapahit.
Meski masih ada beberapa pemberontakan di dalamnya, tetapi secara umum
berhasil ditumpas. Suami Tribuana Tungga dewi yaitu Cakradhara dan menjabat
sebagai Bhre Tumapel dengan gelar Kertawardana. Pemerintahan Tribuana
Tungga dewi lebih kuat lagi dengan adanya Mahapatih Gajah Mada.
Pada masa pemerintahan Tribuana Tungga dewi, Majapahit melakukan
perluasan kekuasaan besar-besaran di berbagai daerah di Nusantara.
Hayam Wuruk (1350-1389)
Raja Majapahit selanjutnya yaitu Prabu Hayam Wuruk. Prabu Hayam Wuruk
merupakan raja yang berhasil membawa masa kejayaan Majapahit. Dengan
diawali oleh Tribuana Tungga dewi dalam ekspansi ke berbagai daerah,
selanjutnya Hayam Wuruk menyempurnakan dengan tata kelola yang baik.
Gelar Hayam Wuruk yaitu Rajasanegara. Salah satu faktor penunjang
kesuksesan Hayam Wuruk di dalam memerintah Majapahit yaitu keberadaan
para pembantunya yang sangat mumpuni. Sebut saja Mahapatih Gajah Mada,
selanjutnya Adityawarman dan juga Mpu Nala.
Orang-orang tersebut mempunyai kapasitas yang sangat mumpuni dalam
menjalankan sebuah negara dalam mencapai kemajuan. Mpu Nala merupakan
sebagai pimpinan armada laut juga sangat mahir dalam menjalankan strategi.
Dengan kebesaran Kerajaan Majapahit, maka tak sulit bagi Majapahit untuk
menjalin kerjasama dengan beberapa kerajaan tetangga yang disebut dengan
Mitrekasatat.
Kusumawardani-Wikramawardhana (1389-1399)
Raja selanjutnya yaitu Kusumawardani atau lebih tepatnya yaitu ratu Majapahit.
Kusumawardani dijadikan sebagai ratu di pusat Majapahit sedangkan putra laki-
laki dari selir Prabu Hayam Wuruk yaitu Bhre Wirabumi (Minak Jingga)
dijadikan sebagai raja kecil di Blambangan.
Bhre Wirabumi atau Minak Jingga tersebut menjadi raja di Blambangan tetapi
tetap berada di bawah kekuasaan Majapahit atau tetap tunduk kepada Majapahit.
Suhita (1399-1429)
Setelah masa pemerintahan Kusumawardani berakhir, kemudian jatuh kepada
Suhita yaitu putra dari Wikramawardhana dengan selir. Dari sinilah selanjutnya
muncul konflik yang akan membawa kepada keruntuhan Majapahit.
Bhre Wirabumi atau Minak Jinggo merasa dirinya lebih berhak atas tahta
Kerajaan Majapahit daripada Suhita kemudian terjadi perang saudara yaitu
Perang Paregreg (1401-1406). Wirabumi akhirnya dibunuh oleh Damar Wulan.
Perang Paregreg tersebut kemudian membuat banyak daerah di bawah
kekuasaan Majapahit akhirnya memisahkan diri dan membuat Majapahit
semakin terpuruk.
Bhre Tumapel (Kertawijaya)- (1447-1451)
Rajasawardhana (1451—1453)
Purwawisesa (1456-1466)
Kartabumi (1466-1478)
Masa Kejayaan Kerajaan Majapahit.
Dengan dibantu Mahapatih Gajah Mada Hayam Wuruk hampir menaklukkan
seluruh wilayah Nusantara, dan menjadikan Majapahit sebagai kerajaan terbesar
serta terkuat pada masanya. Seiring dengan perkembangan zaman Kerajaan
Majapahit juga dapat menguasai wilayah luar Nusantara seperti Thailand,
Singapura dan Malaysia.
e) Runtuhnya Kerajaan Majapahit
Sejak sepeninggalan Mahapatih Gajah Mada serta Hayam Wuruk, Kerajaan Majapahit
mengalami kemunduran drastis. Apalagi saat itu ada banyak serangan dari kerajaan-
kerajaan Islam yang belum lama berdiri. Selain itu keruntuhan Kerajaan Majapahit
terjadi saat pemerintahan Patih Udara tahun 1518.
Candi Tikus
8. Kerajaan Pajajaran
a) Sejarah Kerajaan Sunda
Kerajaan Sunda merupakan
kerajaan yang terletak di bagian
Barat pulau Jawa (provinsi
Banten, Jakarta, dan Jawa Barat
sekarang), antara tahun 932 dan
1579 Masehi. Berdasarkan sumber
sejarah berupa prasasti dan naskah-naskah berbahasa Sunda Kuno dikatakan bahwa
pusat kerajaan Sunda telah mengalami beberapa perpindahan. Kerajaan Sunda (669–
1579 M), menurut naskah Wangsakerta merupakan kerajaan yang berdiri
menggantikan kerajaan Tarumanagara. Kerajaan Sunda didirikan oleh Tarusbawa
pada tahun 591 Caka Sunda (669 M). Menurut sumber sejarah primer yang berasal
dari abad ke-16, kerajaan ini merupakan suatu kerajaan yang meliputi wilayah yang
sekarang menjadi Provinsi Banten, Jakarta, Provinsi Jawa Barat , dan bagian barat
Provinsi Jawa Tengah.Berdasarkan naskah kuno primer Bujangga Manik (yang
menceriterakan perjalanan Bujangga Manik, seorang pendeta Hindu Sunda yang
mengunjungi tempat-tempat suci agama Hindu di Pulau Jawa dan Bali pada awal abad
ke-16), yang saat ini disimpan pada Perpustakaan Boedlian, Oxford University,
Inggris sejak tahun 1627), batas Kerajaan Sunda di sebelah timur adalah Ci Pamali
(“Sungai Pamali”, sekarang disebut sebagai Kali Brebes) dan Ci Serayu (yang saat ini
disebut Kali Serayu) di Provinsi Jawa Tengah.
Tome Pires (1513) dalam catatan perjalanannya, Suma Oriental (1513 – 1515),
menyebutkan batas wilayah Kerajaan Sunda di sebelah timur sebagai berikut:
“Sementara orang menegaskan bahwa kerajaan Sunda meliputi setengah pulau Jawa.
Sebagian orang lainnya berkata bahwa Kerajaan Sunda mencakup sepertiga Pulau
Jawa ditambah seperdelapannya lagi. Katanya, keliling Pulau Sunda tiga ratus legoa.
Ujungnya adalah Ci Manuk.”
d) Sumber Sejarah
Dari catatan-catatan sejarah yang ada, baik dari prasasti, naskah kuno, maupun catatan
bangsa asing, dapatlah ditelusuri jejak kerajaan ini; antara lain mengenai wilayah
kerajaan dan ibukota Pakuan Pajajaran. Mengenai raja-raja Kerajaan Sunda yang
memerintah dari ibukota Pakuan Pajajaran, terdapat perbedaan urutan antara naskah-
naskah Babad Pajajaran, Carita Parahiangan, dan Carita Waruga Guru.
1. Kerajaan Galuh
Sejarah di Jawa
Barat setelah
Tarumanegara
tidak banyak
diketahui.
Kegelapan itu sedikit tersingkap oleh Prasasti Canggal yang ditemukan di
Gunung Wukir, Jawa Tengah berangka tahun 732 M. Prasasti Canggal
dibuat oleh Sanjaya sebagai tanda kebesaran dan kemenangannya. Prasasti
Canggal menyebutkan bahwa Sanjaya adalah anak Sanaha, saudara
perempuan Raja Sanna. Dalam kitab Carita Parahyangan juga disebutkan
nama Sanjaya. Menurut versi kitab Carita Parahyangan, Sanjaya adalah
anak Raja Sena yang berkuasa di Kerajaan Galuh.
3. Kelompok Ekonomi
Kelompok ekonomi adalah orang-orang yang melakukan kegiatan ekonomi.
Misalnya, juru lukis (pelukis), pande mas (perajin emas), pande dang (pembuat
perabot rumah tangga), pesawah (petani), dan palika (nelayan).Kehidupan
masyarakat Kerajaan Sunda adalah peladang, sehingga sering berpindah-pindah.
Oleh karena itu, Kerajaan Sunda tidak banyak meninggalkan bangunan yang
permanen, seperti keraton, candi atau prasasti. Candi yang paling dikenal dari
Kerajaan Sunda adalah Candi Cangkuang yang berada di Leles, Garut, Jawa
Barat.
Prasasti Batutulis
Keterangan tentang Raja Sri Baduga dapat kita jumpai
dalam prasasti Batutulis yang ditemukan di Bogor. Ia
adalah putra dari Ningrat Kancana. Sri Baduga
merupakan raja yang besar. Ia membuat sebuah telaga
yang diberi nama Telaga Rena Mahawijaya. Ia
memerintahkan membangun parit di sekeliling ibukota
kerajaannya yang bernama Pakwan Pajajaran. Raja Sri
Baduga memerintah berdasarkan kitab hukum yang berlaku saat itu sehingga kerajaan
menjadi aman dan tenteram.
5. Prasasti Ulubelu
Prasasti Ulubelu adalah salah satu dari prasasti yang diperkirakan merupakan
peninggalan Kerajaan Sunda dari abad ke-15 M, yang ditemukan di Ulubelu, Desa
Rebangpunggung, Kotaagung,Lampung pada tahun 1936.Meskipun ditemukan di
daerah lampung (Sumatera bagian selatan), ada sejarawan yang menganggap aksara
yang digunakan dalam prasasti ini adalah aksara Sunda Kuno, sehingga prasasti ini
sering dianggap sebagai peninggalan Kerajaan Sunda. Anggapan sejarawan tersebut
didukung oleh kenyataan bahwa wilayah Kerajaan Sunda mencakup juga wilayah
Lampung. Setelah Kerajaan Sunda diruntuhkan oleh Kesultanan Banten maka
kekuasaan atas wilayah selatan Sumatera dilanjutkan oleh Kesultanan Banten. Isi
prasasti berupa mantra permintaan tolong kepada kepada dewa-dewa utama, yaitu
Batara Guru (Siwa), Brahma, dan Wisnu, serta selain itu juga kepada dewa penguasa
air, tanah, dan pohon agar menjaga keselamatan dari semua musuh.
7. Situs Karangkamulyan
Situs Karangkamulyan adalah sebuah situs
yang terletak di Desa Karangkamulyan,
Ciamis, Jawa Barat. Situs ini merupakan
peninggalan dari zaman Kerajaan Galuh
yang bercorak Hindu-Buddha. Legenda situs
Karangkamulyan berkisah tentang Ciung
Wanara yang berhubungan dengan Kerajaan Galuh. Cerita ini banyak dibumbui
dengan kisah kepahlawanan yang luar biasa seperti kesaktian dan keperkasaan yang
tidak dimiliki oleh orang biasa namun dimiliki oleh Ciung Wanara.Kawasan yang
luasnya kurang lebih 25 Ha ini menyimpan berbagai benda-benda yang diduga
mengandung sejarah tentang Kerajaan Galuh yang sebagian besar berbentuk batu.
Batu-batu ini letaknya tidaklah berdekatan tetapi menyebar dengan bentuknya yang
berbeda-beda. Batu-batu ini berada di dalam sebuah bangunan yang strukturnya
terbuat dari tumpukan batu yang bentuknya hampir sama. Struktur bangunan ini
memiliki sebuah pintu sehingga menyerupai sebuah kamar.Batu-batu yang ada di
dalam struktur bangunan ini memiliki nama dan menyimpan kisahnya sendiri, begitu
pula di beberapa lokasi lain yang berada di luar struktur batu. Masing-masing nama
tersebut merupakan pemberian dari masyarakat yang dihubungkan dengan kisah atau
mitos tentang kerajaan Galuh seperti pangcalikan atau tempat duduk, lambang
peribadatan, tempat melahirkan, tempat sabung ayam dan Cikahuripan.
Sri Baduga Maharaha pada masa kejayaannya membangun sebuah telaga besar yang
dia beri nama Maharena Wijaya. Selain itu, dia juga berhasil membangun sebuah
jalan yang menghubungkan antara ibu kota dengan wilayah Wanagiri. Dari sana Sri
Baduga Maharaha membangun banyak aspek Spiritual seperti menyarankan agar
kegiatan-kegiatan agama dilakukan di tengah-tengah masyarakat.Selain itu, dia juga
membangun asrama para prajurit, kaputren, tempat pagelaran, memperkuat benteng
pertahanan, merencanakan dan mengatur masalah upeti, dan menyusun peraturan atau
undang-undang kerajaan.Semua kegiatan dan pembangunan yang dilakukan oleh Sri
Baduga Maharaha ini terukir di dalam dua buah prasasti bersejarah yaitu prasasti
Batutulis dan Prasasti Kabantenan. Di sana di tulis tentang bagaimana Sri Baduga
Maharaha membangun seluruh aspek kehidupan kerajaannya. Sejarah tersebut pun
diceritakan dengan pantun dan kisah Babad.
I Gusti Anglurah Panji Sakti, yang sewaktu kecil bernama I Gusti Gede Pasekan
adalah putra I Gusti Ngurah Jelantik dari seorang selir bernama Ni Luh Pasek berasal
dari Desa Panji wilayah Den Bukit. I Gusti Panji memiliki kekuatan supra natural dari
lahir. I Gusti Ngurah Jelantik merasa khawatir kalau I Gusti Ngurah Panji kelak akan
menyisihkan putra mahkota. Dengan cara halus I Gusti Ngurah Panji yang masih
berusia 12 tahun disingkirkan ke Den Bukit, ke desa asal ibunya, Desa Panji. I Gusti
Ngurah Panji menguasai wilayah Den Bukit dan menjadikannya Kerajaan Buleleng,
yang kekuasaannya pernah meluas sampai ke ujung timur pulau Jawa (Blambangan).
Setelah I Gusti Ngurah Panji Sakti wafat pada tahun 1704, Kerajaan Buleleng mulai
goyah karena putra-putranya punya pikiran yang saling berbeda.
Kerajaan Buleleng
Kerajaan Buleleng tahun 1732 dikuasai Kerajaan Mengwi namun kembali merdeka
pada tahun 1752. Selanjutnya jatuh ke dalam kekuasaan raja Karangasem 1780. Raja
Karangasem, I Gusti Gde Karang membangun istana dengan nama Puri Singaraja.
Raja berikutnya adalah putranya bernama I Gusti Pahang Canang yang berkuasa
sampai 1821. Kekuasaan Karangasem melemah, terjadi beberapa kali pergantian raja.
Tahun 1825 I Gusti Made Karangsem memerintah dengan Patihnya I Gusti Ketut
Jelantik sampai ditaklukkan Belanda tahun 1849. Pada tahun 1846 Buleleng diserang
pasukan Belanda, tetapi mendapat perlawanan sengit pihak rakyat Buleleng yang
dipimpin oleh Patih / Panglima Perang I Gusti Ketut Jelantik.Pada tahun
1848 Buleleng kembali mendapat serangan pasukan angkatan laut Belanda di Benteng
Jagaraga. Pada serangan ketiga, tahun 1849 Belanda dapat menghancurkan benteng
Jagaraga dan akhirnya Buleleng dapat dikalahkan Belanda. Sejak itu Buleleng
dikuasai oleh pemerintah kolonial Belanda.
Kisah dari sosok Ki Barak
Kisah dari hasil hubungan gelap antara Dalem Sagening (Raja Gelgel= I Gusti
Ngurah Jelantik) dengan pembantu istana yang bernama Ni Luh Pasek. Bayi
tersebut lahir tahun 1599 M kemudian dinamakan Ki Barak karena ketika lahir
seluruh tubuhnya berwarna merah darah (keajaiban fisik serta kekuatan magis
terpancar dari anak itu dalam pertumbuhan selanjutnya). Untuk menutupi
aibnya, anak tersebut diserahkan kepada I Gusti Jelantik Bogol sebagai anak
angkat, kemudia Ki Barak di kasih nama “Gusti Gede Kepasekan”. Dalem
Sagening khawatir bila keperkasaan Gusti Gede Kepasekan dapat menyaingi
putra mahkota I Dewa Dimade. Maka tahun 1611 Gusti Gede Kepasekan
(umur 12 tahun) di buang ke Den Bukit bersama ibunya (Ni Luh Pasek). 5
tahun kemudian tepatnya tahun 1616 tepat usia 17 tahun Ki Barak berhasil
membunuh penguasa Den Bukit (Pungakan Gendis). Sejak saat itu, ia
dinobatkan menjadi Raja dengan Gelar “I Gusti Anglurah Panji Sakti”.
Wilayah kerajaan pada saat dia menjadi raja wilayahnya membentang dari
Gilimanuk sampai ke menguwi di selatan dan blambangan (Jawa) kerajaan
tersebut terkenal dengan nama “BULELENG”
k) Raja-Raja Buleleng
Wangsa Panji Sakti
Gusti Anglurah Panji Sakti
Gusti Panji Gede Danudarastra
Gusti Alit Panji
Gusti Ngurah Panji
Gusti Ngurah Jelantik
Gusti Made Singaraja
Wangsa Karangasem
Anak Agung Rai
Gusti Gede Karang
Gusti Gede Ngurah Pahang
Gusti Made Oka Sori
Gusti Ngurah Made Karangasem
Wangsa Panji Sakti
Gusti Made Rahi
Gusti Ketut Jelantik
Anak Agung Putu Jelantik
Anak Agung Nyoman Panji Jelantik
Anak Agung Ngurah Ketut Jelantik
Mayoritas penduduk bali di kerajaan Buleleng, hidup dari penghasilan sektor agraris
seperti pertanian, peternakan, perikanan dan mengumpulkan hasil hutan. Sebagian
kecil melakukan perdagangan, seperti pengepul hasil bumi terutama beras untuk di
jual kepada saudagar-saudagar Cina. Seperti asem, bawang, kemiri, kapas
A. Kesimpulan
Masuk dan berkembangnya agama dan kebudayaan Hindu-Budha membawa
pengaruh besar di berbagai bidang. Kerajaan-kerajaan yang bercorak Hindu-Budha
merupakan salah satu bukti adanya pengaruh kebudayaan Hindu-Budha di Indonesia.
Setiap kerajaan dipimpin oleh seorang raja yang memiliki kekuasaan mutlak dan
turun-temurun. Kerajaan-kerajaan itu antara lain : Kerajaan Kutai, Kerajaan
Tarumanegara, Kerajaan Sriwijaya, Mataram Kuno, Kerajaan Singhasari, Kerajaan
Majapahit, Kerajaan tulang Bawang, Kerajaan Kota Kapur, Kerajaan Buleleng, dan
Kerajaan Dinasti Warmadewa. Masuknya kebudayaan India ke Indonesia telah
membawa pengaruh besar terhadap perkembangan kebudayaaan di Indonesia. Namun
kebudayaan asli Indonesia tidak begitu luntur. Kebudayaan yang datang dari India
mengalami proses erajaan penyesuaian dengan kebudayaan, maka terjadilah proses
akulturasi kebudayaan.
B. SARAN
Dengan keberadaan kerajaan-kerajaan yang terlahir di Indonesia, kita harus bisa
mengapresiasi peninggalan-peninggalan yang menjadi sumber ilmu pendidikan dari
generasi ke generasi. Upaya pengapresiasian itu sendiri dapat dengan
melestarikannya, memeliharanya, dan tidak merusaknya. Jika kita dapat berpartisipasi
dalam upaya tersebut, berarti kita mengangkat derajat dan jati diri bangsa. Dengan
begitu kita dapat menanamkan rasa nasionalisme terhadap negara Indonesia.