Anda di halaman 1dari 106

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang,
yang telah memberi rahmat serta karuniaNya kepada kita sehingga saya dapat menyelesaikan
makalah ini dengan judul “Kerajaan-Kerajaan Hindu-Budha di Indonesia”.

Saya menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih banyak kekurangan karena
masih dalam tahap belajar. Oleh karena itu, saya dengan terbuka akan menerima kritik dan
saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini. Saya berharap makalah ini
dapat memberikan manfaat bagi saya sendiri dan para pembaca khususnya.

Maumere, 11 November 2019

Valentina Cecilia Alexandra Djari


DAFTAR ISI

Kata Pengantar ...................................................................................................................... 1

Daftar Isi .............................................................................................................................2

BAB I . Pendahuluan ............................................................................................................ 3

BAB II. Pembahasan .............................................................................................................4

1. Kerajaan Kutai........................................................................................................... 4

2. Kerajaan Tarumanegara............................................................................................. 11

3. Kerajaan Sriwijaya ....................................................................................................18

4. Kerajaan Mataram Kuno ...........................................................................................27

5. Kerajaan Kediri .........................................................................................................42

6. Kerajaan Singasari .................................................................................................... 64

7. Kerajaan Majapahit ...................................................................................................75

8. Kerajaan Pajajaran .................................................................................................... 84

9. Kerajaan Buleleng dan Kerajaan Dinasti Warmadewa di Bali ................................. 99

BAB III. Penutup ..................................................................................................................103

A. Kesimpulan ..............................................................................................................103

B. Saran ........................................................................................................................103
BAB I

PENDAHULUAN

Agama Hindu dan Budha berasal dari India. Kedua agama tersebut masuk dan dianut
oleh penduduk di berbgai wilayah nusantara pada waktu yang hampir bersamaan, sekitar
abad ke empat, bersamaan dengan mulai berkembangnya hubungan dagang antara Indonesia
dengan India dan Cina. Sebelum pengaruh Hindu dan Budha masuk ke Indonesia,
diperkirakan penduduk Indonesia menganut kepercayaan dinamisme dan

animisme.

Agama Budha disebarluaskan ke Indonesia oleh para bhiksu, sedangkan mengenai pembawa
agama Hindu ke Indonesia terdapat 4 teori sebagai berikut :

· Teori ksatria (masuknya agama Hindu disebarkan oleh para ksatria)

· Teori waisya (masuknya agama Hindu disebarkan oleh para pedagang yang berkasta
waisya)

· Teori brahmana (masuknya agama Hindu disebarkan oleh para brahmana)

· Teori campuran (masuknya agama Hindu disebarkan oleh ksatria, brahmana, maupun
waisya)

Bukti tertua adanya pengaruh India di Indonesia adalah ditemukannya Arca Budha dari
perunggu di Sempaga, Sulawesi Selatan. Antara abad ke 4 hingga abad ke 16 di berbagai
wilayah nusantara berdiri berbagai kerajaan yang bercorak agama Hindu dan Budha.
BAB II

PEMBAHASAN

1. Kerajaan Kutai
a) Letak Geografis

Kerajaan Kutai (Martadipura) merupakan kerajaan Hindu tertua di Indonesia.


Kerajaan Kutai diperkirakan muncul pada abad 5 M atau ± 400 M. Kerajaan
ini terletak di Muara Kaman, Kalimantan Timur (dekat kota Tenggarong),
tepatnya di hulu sungai Mahakam. Nama Kutai diambil dari nama tempat
ditemukannya prasasti yang menggambarkan kerajaan tersebut. Nama Kutai
diberikan oleh para ahli karena tidak ada prasasti yang secara jelas
menyebutkan nama kerajaan ini. Karena memang sangat sedikit informasi
yang dapat diperoleh akibat kurangnya sumber sejarah. Keberadaan kerajaan
tersebut diketahui berdasarkan sumber berita yang ditemukan yaitu berupa
prasasti yang berbentuk yupa / tiang batu berjumlah 7 buah. Yupa yang
menggunakan huruf Pallawa dan bahasa sansekerta tersebut, dapat
disimpulkan tentang keberadaan Kerajaan Kutai dalam berbagai aspek
kebudayaan, antara lain politik, sosial, ekonomi, dan budaya. Adapun isi
prasati tersebut menyatakan bahwa raja pertama Kerajaan Kutai bernama
Kudungga. Ia mempunyai seorang putra bernama Asawarman yang disebut
sebagai wamsakerta (pembentuk keluarga). Setelah meninggal, Asawarman
digantikan oleh 4 Mulawarman. Penggunaan nama Asawarman dan nama-
nama raja pada generasi berikutnya menunjukkan telah masuknya pengaruh
ajaran Hindu dalam Kerajaan Kutai dan hal tersebut membuktikan bahwa raja-
raja Kutai adalah orang Indonesia asli yang telah memeluk agama Hindu.

b) Sistem Pemerintahan Kerajaan Kutai Kartanegara


Dalam system ini Sultan/raja membawahi mangkubumi, jabatan yang biasanya
dipegang oleh keluarga dekat raja/sultan misalnya paman. Tugas mangkubumi
mewakili raja dalam sebuah acara apabila raja berhalangan hadir dan memangku
jabatan raja untuk menggantikan kedudukan putra mahkota apabila putra mahkota
tersebut belum berumur 21 tahun dan ini tercantum dalam Undang-Undang pasal 9
(soeton 1975 : 54). Kedudukan di bawah raja yang setara dengan Mangkubumi
adalah majelis orang-orang besar arif dan bijaksana. Majelis berisi kaum bangsawan
dan rakyat biasa yang mengerti adat-istiada Kutai, majelis ini bertugas membuat
rancangan peraturan dan di ajukan pada raja. Apabila peraturan tersebut disetujui
maka akan di berlakukan kepada seluruh rakyat Kutai Kartanegara ing Martadipura
dan ini juga disebut “adat yang diadatkan”. Menteri berkedudukan dibawah raja dan
bertugas sebagai mediator antara raja dan mangkubumi dengan rakyat, punggawa,
dan petinggi (Kepala Kampung). Menteri diangkat dari keluarga dekat raja atau
keturunan bangsawan, kedudukan dan fungsi menteri diatur dalam Undang-Undang
kerajaan yang dikenal dengann “Panji salaten”. Tugas dari menteri ini adalah
menjalankan perintah raja dan mangkubumi, memberikan nasehat kepada raja ketika
menjalankan hokum dan adat bersama senopati, dan punggawa agar hokum berjalan
dengan baiak, menghukum gantung hulubalang dan senopati yang berkhianat pada
kerajaan, menyelenggarakan kesejahteraan rakyat, dan menyanggah pendapat rakyat
yang zalim dan berbuat sewenang-wenang. Senopati kedudukannya berada di bawah
menteri dan bertugas menjaga keamanan dan ketentraman kerajaan, menjalankan
perintah raja, mangkubumi, menteri, dan pelaksana acara adat. 5 Punggawa
merupakan ketua dalam sebuah perkampungan dan berada dibawah menteri dan
sejajar dengan senopati, akan tetapi punggawa lah yang berhubungan langsung
dengan rakyat jadi hubungannya dekat dengan meneri. Sedangkan kedudukan paling
bawah dalam pemerintahan adalah jabatan petinggi atau kepala kampung, dan
diangkat berdasarkan jasa terhadap kerajaan dan berlaku pada kaum biasa, dan
kedudukan berada di bawah punggawa, serta sebagai penyambung inspirasi rakyat
untuk disampaikan kepada punggawa dan di atasnya.
c) Raja-raja Kerajaan Kutai
1. Maharaja Kudungga
Raja pertama yang berkuasa di kerajaan kutai. Nama Maharaja Kudungga
oleh para ahli sejarah ditafsirkan sebagai nama asli orang Indonesia yang
belum terpengaruh dengan nama budaya India.Dapat kita lihat, nama raja
tersebut masih menggunakan nama lokal sehingga para ahli berpendapat
bahwa pada masa pemerintahan Raja Kudungga pengaruh Hindu baru
masuk ke wilayahnya. Kedudukan Raja Kudungga pada awalnya adalah
kepala suku. Dengan masuknya pengaruh Hindu, ia mengubah struktur
pemerintahannya menjadi kerajaan dan mengangkat dirinya sebagai raja,
sehingga penggantian raja dilakukan secara turun temurun.
2. Maharaja Asmawarman
Prasasti yupa menceritakan bahwa Raja Aswawarman adalah raja yang
cakap dan kuat. Pada masa pemerintahannya, wilayah kekuasaan Kutai
diperluas lagi. Hal ini dibuktikan dengan dilakukannya Upacara
Asmawedha pada masanya. Upacaraupacara ini pernah dilakukan di India
pada masa pemerintahan Raja Samudragupta ketika ingin memperluas
wilayahnya. Dalam upacara itu dilaksanakan pelepasan kuda dengan
tujuan untuk menentukan batas kekuasaan Kerajaan Kutai ( ditentukan
dengan tapak kaki kuda yang nampak pada tanah hingga tapak yang
terakhir nampak disitulah batas kekuasaan Kerajaan Kutai ). Pelepasan
kuda-kuda itu diikuti oleh prajurit Kerajaan Kutai.
3. Maharaja Mulawarman
Raja Mulawarman merupakan anak dari Raja Aswawarman yang menjadi
penerusnya. Nama Mulawarman dan Aswawarman sangat kental dengan
pengaruh bahasa Sanskerta bila dilihat dari cara penulisannya. Raja
Mulawarman adalah raja terbesar dari Kerajaan Kutai. Di bawah
pemerintahannya, Kerajaan Kutai mengalami masa kejayaannya. Rakyat-
rakyatnya hidup tentram dan sejahtera hingga Raja Mulawarman
mengadakan upacara kurban emas yang amat banyak.
4. Maharaja Irwansyah
5. Maharaja Sri Aswawarman
6. Maharaja Marawijaya Warman
7. Maharaja Gajayana Warman
8. Maharaja Tungga Warman
9. Maharaja Jayanaga Warman
10. Maharaja Nalasinga Warman
11. Maharaja Nala Parana Tungga
12. Maharaja Gadingga Warman Dewa
13. Maharaja Indra Warman Dewa
14. Maharaja Sangga Warman Dewa
15. Maharaja Singsingamangaraja XXI
16. Maharaja Candrawarman
17. Maharaja Prabu Nefi Suriagus
18. Maharaja Ahmad Ridho Darmawan
19. Maharaja Riski Subhana
20. Maharaja Sri Langka Dewa
21. Maharaja Guna Parana Dewa
22. Maharaja Wijaya Warman
23. Maharaja Indra Mulya
24. Maharaja Sri Aji Dewa
25. Maharaja Mulia Putera
26. Maharaja Nala Pandita
27. Maharaja Indra Paruta Dewa
28. Maharaja Dharma Setia

d) Masa Kejayaan Kerajaan Kutai


Masa kejayaan Kerajaaan Kutai berada pada massa pemerintahan Raja
Mulawarman. Hal ini karena beliau begitu bijaksana dan royal bagi hal-hal
yang religius. Para brahmana dihadiahi emas, tanah, dan ternak secara adil,
pengadaan upacara sedekah di tempat yang dianggap suci atau Waprakeswara.
Dan dibuktikan juga dengan pemberian sedekah kepada kaum Brahmana
berupa 20.000 ekor sapi. Jumlah 20.000 ekor sapi ini membuktikan bahwa
pada masa itu kerajaan Kutai telah mempunyai kehidupan yang makmur dan
telah mencapai massa kejayaannya.

e) Kehidupan Masyarakat Kutai


1. Kehidupan Sosial
Kehidupan sosial di Kerajaan Kutai merupakan terjemahan dari
prasastiprasasti yang ditemukan oleh para ahli. Diantara terjemahan
tersebut adalah sebagai berikut:
1. Masyarakat di Kerajaan Kutai tertata, tertib dan teratur.
2. Masyarakat di Kerajaan Kutai memiliki kemampuan beradaptasi dengan
budaya luar (India), mengikuti pola perubahan zaman dengan tetap
memelihara dan melestarikan budayanya sendiri.

2. Kehidupan Ekonomi
Kehidupan ekonomi di Kutai, tidak diketahui secara pasti, kecuali
disebutkan dalam salah satu prasasti bahwa Raja Mulawarman telah
mengadakan upacara korban emas dan tidak menghadiahkan sebanyak
20.000 ekor sapi untuk golongan Brahmana. Tidak diketahui secara pasti
asal emas dan sapi tersebut diperoleh. Apabila emas dan sapi tersebut
didatangkan dari tempat lain, bisa disimpulkan bahwa kerajaan Kutai telah
melakukan kegiatan dagang. Jika dilihat dari letak geografis, Kerajaan
Kutai berada pada jalur perdagangan antara Cina dan India. Kerajaan Kutai
menjadi tempat yang menarik untuk disinggahi para pedagang. Hal tersebut
memperlihatkan bahwa kegiatan perdagangan telah menjadi bagian dari
kehidupan masyarakat Kutai, disamping pertanian.

3. Kehipudan Budaya
Sementara itu dalam kehidupan budaya dapat dikatakan kerajaan Kutai
sudah maju. Hal ini dibuktikan melalui upacara penghinduan (pemberkatan
memeluk agama Hindu) yang disebut Vratyastoma. Vratyastoma
dilaksanakan sejak pemerintahan Aswawarman karena Kudungga masih
mempertahankan ciriciri keIndonesiaannya, sedangkan yang memimpin
upacara tersebut, menurut para ahli, dipastikan adalah para pendeta
(Brahmana) dari India. Tetapi pada masa Mulawarman kemungkinan sekali
upacara penghinduan tersebut dipimpin oleh kaum Brahmana dari orang
Indonesia asli. Adanya kaum Brahmana asli orang Indonesia membuktikan
bahwa kemampuan intelektualnya tinggi, terutama penguasaan terhadap
bahasa Sansekerta yang pada dasarnya bukanlah bahasa rakyat India sehari-
hari, melainkan lebih merupakan bahasa resmi kaum Brahmana untuk
masalah keagamaan.

f) Runtuhnya Kerajaan Kutai


Kerajaan Kutai berakhir saat Raja Kutai yang bernama Maharaja Dharma
Setia tewas dalam peperangan di tangan Raja Kutai Kartanegara ke-13, Aji
Pangeran Anum Panji Mendapa. Perlu diingat bahwa Kutai ini (Kutai
Martadipura) berbeda dengan Kerajaan Kutai Kartanegara yang ibukotanya
pertama kali berada di Kutai Lama (Tanjung Kute). Kutai Kartanegara inilah,
di tahun 1365, yang disebutkan dalam sastra Jawa Negarakertagama. Kutai
Kartanegara selanjutnya menjadi kerajaan Islam yang disebut Kesultanan
Kutai Kartanegara.

g) Peninggalan Kerajaan Kutai


1. Prasasti Yupa
Prasasti
Yupa
merupakan
salah satu
bukti sejarah
Kerajaan
Kutai yang
paling tua.
Dari prasasti
inilah diketahui tentang adanya Kerajaan Kutai di Kalimantan. Di dalam
prasasti ini terdapat tulisan-tulisan yang menggunakan bahasa
Sansekerta dan juga aksara/huruf Pallawa. Isi dari Prasasti Yupa
mengungkapkan sejarah dari Kerajaan Hindu yang berada di Muara
Kaman, di hulu Sungai Mahakam, Kalimantan Timur. Secara garis
besar prasasti tersebut menceritakan tentang kehidupan politik, sosial
dan budaya Kerajaan Kutai.

2. Ketopong Sultan
Ketopong
adalah mahkota
yang biasa
dipakai oleh
Sultan
Kerajaan Kutai
yang terbuat
dari emas.
Ketopong ini memiliki berat 1,98 kg dan saat ini masih tersimpan di
Museum Nasional Jakarta. Benda bersejarah yang satu ini ditemukan di
Mura Kaman, Kutai Kartanegara pada tahun 1890. Sedangkan yang
dipajang di Museum Mulawarman merupakan ketopong tiruan.

3. Kalung Ciwa
Kalung Ciwa yang ditemukan oleh pemerintahan Sultan Aji
Muhammad
Sulaiman. Kalung
ini ditemukan oleh
seorang penduduk di
sekitar Danau Lipan
Muara Kaman pada tahun 1890. Saat ini 10 Kalung Ciwa masih
digunakan sebagai perhiasan oleh sultan dan hanya dipakai ketika ada
pesta penobatan sultan baru.

4. Kura-kura Emas
Bukti sejarah Kerajaan Kutai yang satu ini cukup unik, karena
berwujud kura-
kura emas.
Benda
bersejarah ini
saat ini berada
di Museum
Mulawarman. Benda yang memiliki ukuran sebesar kepalan tangan ini
ditemukan di daerah Long Lalang, daerah yang berada di hulu Sungai
Mahakam. Dari riwayat yang diketahui benda ini merupakan
persembahan dari seorang pangeran dari Kerajaan China untuk Putri
Raja Kutai, Aji Bidara Putih. Kura-kura emas ini merupakan bukti dari
pangeran tersebut untuk mempersunting sang putri.

5. Keris Bukit Kang


Kering Bukit
Kang merupakan
keris yang
digunakan oleh
Permaisuri Aji
Putri Karang
Melenu, permaisuri Raja Kutai Kartanegara yang pertama. Berdasarkan
cerita dari masyarakat menyebutkan bahwa putri ini merupakan putri
yang ditemukan dalam sebuah gong yang hanyut di atas bambu. Di
dalam gong tersebut terdapat bayi perempuan, telur ayam dan sebuah
kering. Kering ini diyakini sebagai Keris Bukit Kang.
6. Singgasana Sultan
Singgasana
Sultan adalah
salah satu
peninggalan
sejarah
Kerajaan
Kutai yang
masih terjaga sampai saat ini. Benda ini diletakan di Museum
Mulawarman. Pada zaman dahulu Singgasana ini digunakan oleh Sultan
Aji Muhammad Sulaiman serta raja-raja Kutai sebelumnya. Singgasana
Sultan ini dilengkapi dengan payung serta umbul-umbul serta peraduan
pengantin Kutai Keraton.

2. Kerajaan Tarumanegara
a) Sejarah berdirinya Kerajaan Tarumanegara
Kerajaan Terumanegara di bangun oleh raja Jayasinghawarman ketika memimpin
pelarian keluarga kerajaan dan berhasil meloloskan diri dari musuh yang terus
menerus menyerang kerajaan Salakanagara. Di pengasingan, tahun 358 M,
Jayasinghawarman mendirikan kerajaan baru di tepi Sungai Citarum, di Kabupaten
Lebak Banten dan diberi nama Tarumanegara. Nama Tarumanegara diambil dari
nama tanaman yang bernama tarum, yaitu tanaman yang dipakai untuk ramuan
pewarna benang tenunan dan pengawet kain yang banyak sekali terdapat di tempat
ini. Tanaman tarum tumbuh di sekitar Sungai Citarum. Selain untuk pengawet kain,
tanaman ini merupakan komoditas ekspor dan merupakan devisa pemasukan terbesar
bagi Kerajaan Tarumanegara.

Raja Jayasinghawarman berkuasa dari tahun 358-382 M. Setelah raja mencapai


usia lanjut, raja mengundurkan diri untuk menjalani kehidupan kepanditaan. Sebagai
pertapa, Jayasinghawarman bergelar Rajaresi. Nama dan gelar raja menjadi Maharesi
Rajadiraja Guru Jayasinghawarman.
Kerajaan Tarumanegara banyak meninggalkan Prasasti, sayangnya tidak satupun yang
memakai angka tahun. Untuk memastikan kapan Tarumanegara berdiri terpaksa para
ahli berusaha mencari sumber lain. Dan usahanya tidak sia – sia. Setelahnya ke cina
untuk mempelajari hubungan cina dengan Indonesia di masa lampau mereka
menemukan naskah – naskah hubungan kerajaan Indonesia dengan kerajaan Cina
menyebutnya Tolomo. Menurut catatan tersebut, kerajan Tolomo mengirimkan utusan
ke cina pada tahun 528 M, 538 M, 665 M, 666M. sehingga dapat di simpulkan
Tarumanegara berdiri sejak sekitar abad ke V dan ke VI.

b) Letak dan Wilayah kekuasaan


Sebelum mengetahui letak kraton kerajaan Tarumanegara, dari temuan tempat
prasasti itu dapat diperkirakan luas kerajaan Tarumanegara. Prasasti Ciaruon atau
prasasti Ciareteun, ditemukan di daerah Cimpea, Bogor. Kemudian prasasti kebun
kopi yang ditemukan di daerah kampong hilir kecamatan cibung-bulang. Kemudian
prasasti kebun jambu, ditemukan di daerah bukit koleangkak 30 km sebelah barat
bogor. Kemudian prasasti tugu ditemukan di daerah Tugu, clincing, Jakarta Utara.
Dari temuan letak prasasti tersebut dapat diketahui daerah yang masuk dalam wilayah
kerajaan Tarumanegara. Wilayah kerajaan Tarumanegara meliputi pesisir Jakarta
hingga pedalaman di kaki gunung Gede (lihat gambar 1.). Selain itu dari prasasti
dapat diketahui fungsi dari suatu daerah. Pada prasasti Tugu yang dikatakan bahwa
pembuatan prasasti itu untuk para brahmana yang telah membuat terusan pada kali
candrabhaga yaitu kali Gomati. Sehingga dapat dikatakan bahwa wilayah
dtemukannya prasasti Tugu merupakan daerah para Brahmana. Para Brahmana
kerajaan Tarumanegara tinggal di daerah pesisir pantai. Dapat dikatakan mereka
datang ke Nusantara dengan para pedagang India.
Dapat di duga pula pada prasasti kebun jambu yang ditemukan di dekat sungai
Cisadane, di bukit Koleangkak, Banten selatan. Dalam prasasti itu dapat ditafsirka
sebagai prasasti penaklukan suatu wilayah. Dalam prasasti itu dikatakan bahwa raja
Purnawarman merupakan raja yang disegani oleh musuh-musuhnya. Senantiasa
menggempur kota-kota musuhnya.

c) Kehidupan di Kerajaan Tarumanegara


1. Kehidupan Politik
Berdasarkan tulisan-tulisan yang terdapat pada prasasti diketahui bahwa
raja yang pernah memerintah di tarumanegara hanyalah raja purnawarman dan
raja yang telah berhasil meningkatkan kehidupan rakyatnya. Hal ini dibuktikan
dari prasasti tugu yang menyatakan raja purnawarman telah memerintah untuk
menggali sebuah kali. Oleh karena itu rakyat hidup makmur dalam suasana
aman dan tenteram.

2. Kehidupan Sosial
Kehidupan sosial Kerajaan Tarumanegara sudah teratur rapi, hal ini
terlihat dari upaya raja Purnawarman yang terus berusaha untuk meningkatkan
kesejahteraan kehidupan rakyatnya. Raja Purnawarman juga sangat
memperhatikan kedudukan kaum brahmana yang dianggap penting dalam
melaksanakan setiap upacara korban yang dilaksanakan di kerajaan sebagai
tanda penghormatan kepada para dewa.

3. Kehidupan Ekonomi
Prasasti tugu menyatakan bahwa raja purnawarman memerintahkan
rakyatnya untuk membuat sebuah terusan sepanjang 6122 tombak.
Pembangunan ini mempunyai arti ekonomis yang besar bagi masyarakat,
Karena dapat dipergunakan sebagai sarana pencegah banjir serta sarana lalu-
lintas pelayaran perdagangan antardaerah di kerajaan tarumanegara dengan
dunia luar. Juga dengan daerah-daerah di sekitarnya. Akibatnya, kehidupan
perekonomian masyarakat sudah berjalan teratur.

4. Kehidupan Budaya
Dilihat dari teknik dan cara penulisan huruf-huruf dari prasasti-prasasti
yang ditemukan sebagai bukti kebesaran Kerajaan Tarumanegara, dapat
diketahui bahwa tingkat kebudayaan masyarakat pada saat itu sudah tinggi.
Selain sebagai peninggalan budaya, keberadaan prasasti-prasasti tersebut
menunjukkan telah berkembangnya kebudayaan tulis menulis di kerajaan
Tarumanegara.

d) Raja-raja Kerajaan Tarumanegara


Tarumanagara sendiri hanya mengalami masa pemerintahan 12 orang raja. Pada
tahun 669 M, Linggawarman, raja Tarumanagara terakhir, digantikan menantunya,
Tarusbawa. Linggawarman sendiri mempunyai dua orang puteri, yang sulung
bernama Manasih menjadi istri Tarusbawa dari Sunda dan yang kedua bernama
Sobakancana menjadi isteri Dapuntahyang Sri Jayanasa pendiri Kerajaan Sriwijaya.
Secara otomatis, tahta kekuasaan Tarumanagara jatuh kepada menantunya dari putri
sulungnya, yaitu Tarusbawa. Kekuasaan Tarumanagara berakhir dengan beralihnya
tahta kepada Tarusbawa, karena Tarusbawa pribadi lebih menginginkan untuk
kembali ke kerajaannya sendiri, yaitu Sunda yang sebelumnya berada dalam
kekuasaan Tarumanagara. Atas pengalihan kekuasaan ke Sunda ini, hanya Galuh yang
tidak sepakat dan memutuskan untuk berpisah dari Sunda yang mewarisi wilayah
Tarumanagara.
Raja-raja Tarumanegara:
1. Jayasingawarman 358-382 M
2. Dharmayawarman 382-395 M
3. Purnawarman 395-434 M
4. Wisnuwarman 434-455 M
5. Indrawarman 455-515 M
6. Candrawarman 515-535 M
7. Suryawarman 535-561 M
8. Kertawarman 561-628 M
9. Sudhawarman 628-639 M
10. Hariwangsawarman 639-640 M
11. Nagajayawarman 640-666 M
12. Linggawarman 666-669 MC.

e) Prasasti Kerajaan Tarumanegara


1. Prasasti Ciaruteun
Salinan gambar prasasti
Ciaruteun dari buku The
Sunda Kingdom of West
Java From Tarumanagara
to Pakuan Pajajaran with
the Royal Center of
Bogor.
Prasasti Ciaruteun atau prasasti Ciampea ditemukan ditepi sungai Ciarunteun,
dekat muara sungai Cisadane Bogor prasasti tersebut menggunakan huruf
Pallawa dan bahasa Sansekerta yang terdiri dari 4 baris disusun ke dalam bentuk
Sloka dengan metrum Anustubh. Di samping itu terdapat lukisan semacam laba-
laba serta sepasang telapak kaki Raja Purnawarman.
Gambar telapak kaki pada prasasti Ciarunteun mempunyai 2 arti yaitu:
Cap telapak kaki melambangkan kekuasaan raja atas daerah tersebut (tempat
ditemukannya prasasti tersebut).
Cap telapak kaki melambangkan kekuasaan dan eksistensi seseorang (biasanya
penguasa) sekaligus penghormatan sebagai dewa. Hal ini berarti menegaskan
kedudukan Purnawarman yang diibaratkan dewa Wisnu maka dianggap sebagai
penguasa sekaligus pelindung rakyat
2. Prasasti Jambu
Prasasti Jambu atau prasasti Pasir Koleangkak, ditemukan di bukit Koleangkak
di perkebunan jambu,
sekitar 30 km sebelah barat
Bogor, prasasti ini juga
menggunakan bahwa
Sansekerta dan huruf
Pallawa serta terdapat gambar telapak kaki yang isinya memuji pemerintahan
raja Mulawarman.

3. Prasasti Kebonkopi
Prasasti Kebonkopi
ditemukan di kampung
Muara Hilir kecamatan
Cibungbulang Bogor .
Yang menarik dari
prasasti ini adalah
adanya lukisan tapak
kaki gajah, yang disamakan dengan tapak kaki gajah Airawata, yaitu gajah
tunggangan dewa Wisnu.

4. Prasasti Muara Cianten


Prasasti Muara Cianten,
ditemukan di Bogor, tertulis
dalam aksara ikal yang belum
dapat dibaca. Di samping
tulisan terdapat lukisan telapak
kaki.

5. Prasasti Pasir awi


Prasasti Pasir Awi ditemukan di
daerah Leuwiliang, juga tertulis
dalam aksara ikal yang belum dapat
dibaca.

6. Prasasti Cidanghiyang
Prasasti Cidanghiyang atau
prasasti Lebak, ditemukan di
kampung lebak di tepi sungai Cidanghiang, kecamatan Munjul kabupaten
Pandeglang Banten. Prasasti ini baru ditemukan tahun 1947 dan berisi 2 baris
kalimat berbentuk puisi dengan huruf Pallawa dan bahasa Sansekerta. Isi
prasasti tersebut mengagungkan keberanian raja Purnawarman.

7. Prasasti Tugu
Prasasti Tugu di Museum
Nasional. Prasasti Tugu di
temukan di daerah Tugu,
kecamatan Cilincing Jakarta
Utara. Prasasti ini dipahatkan
pada sebuah batu bulat
panjang melingkar dan isinya
paling panjang dibanding dengan prasasti Tarumanegara yang lain, sehingga ada
beberapa hal yang dapat diketahui dari prasasti tersebut.

Hal-hal yang dapat diketahui dari prasasti Tugu adalah:


Prasasti Tugu menyebutkan nama dua buah sungai yang terkenal di Punjab yaitu
sungai Chandrabaga dan Gomati. Dengan adanya keterangan dua buah sungai
tersebut menimbulkan tafsiran dari para sarjana salah satunya menurut
Poerbatjaraka. Sehingga secara Etimologi (ilmu yang mempelajari tentang
istilah) sungai Chandrabaga diartikan sebagai kali Bekasi.Prasasti Tugu juga
menyebutkan anasir penanggalan walaupun tidak lengkap dengan angka
tahunnya yang disebutkan adalah bulan phalguna dan caitra yang diduga sama
dengan bulan Februari dan April.Prasasti Tugu yang menyebutkan
dilaksanakannya upacara selamatan oleh Brahmana disertai dengan seribu ekor
sapi yang dihadiahkan raja.

f) Sumber-sumber Kerajaan
Bukti keberadaan Kerajaan Taruma diketahui melalui sumber-sumber yang
berasal dari dalam maupun luar negeri. Sumber dari dalam negeri berupa
tujuh buah prasasti batu yang ditemukan empat di Bogor, satu di Jakarta dan
satu di Lebak Banten. Dari prasasti-prasasti ini diketahui bahwa kerajaan
dipimpin oleh Rajadirajaguru Jayasingawarman pada tahun 358 M dan beliau
memerintah sampai tahun 382 M. Makam Rajadirajaguru Jayasingawarman
ada di sekitar sungai Gomati (wilayah Bekasi). Kerajaan Tarumanegara ialah
kelanjutan dari Kerajaan Salakanagara.
Sedangkan sumber-sumber dari luar negeri yang berasal dari berita
Tiongkok antara lain: Berita Fa-Hsien, tahun 414 M dalam bukunya yang
berjudul Fa-Kao-Chi menceritakan bahwa di Ye-po-ti hanya sedikit dijumpai
orang-orang yang beragama Buddha, yang banyak adalah orang-orang yang
beragama Hindu dan sebagian masih animisme. Berita Dinasti Sui,
menceritakan bahwa tahun 528 dan 535 telah datang utusan dari To- lo-mo
yang terletak di sebelah selatan. Berita Dinasti Tang, juga menceritakan
bahwa tahun 666 dan 669 telah datang utusaan dari To-lo-mo. Dari tiga
berita di atas para ahli menyimpulkan bahwa istilah To-lo-mo secara fonetis
penyesuaian kata-katanya sama dengan Tarumanegara. Maka berdasarkan
sumber-sumber yang telah dijelaskan sebelumnya maka dapat diketahui
beberapa aspek kehidupan tentang kerajaan Tarumanegara. Kerajaan
Tarumanegara diperkirakan berkembang antara tahun 400-600 M.
Berdasarkan prasast-prasati tersebut diketahui raja yang memerintah pada
waktu itu adalah Purnawarman. Wilayah kekuasaan Purnawarman menurut
prasasti Tugu, meliputi hampir seluruh Jawa Barat yang membentang dari
Banten, Jakarta, Bogor dan Cirebon.

g) Keruntuhan Kerajaan Tarumanegara


Kerajaan Tarumanegara diperkirakan runtuh pada sekitar abad ke-7 Masehi.
Hal ini didasarkan pada fakta bahwa setelah abad ke-7, berita mengenai kerajaan
ini tidak pernah terdengar lagi baik dari sumber dalam negeri maupun luar
negeri . Para ahli berpendapat bahwa runtuhnya Kerajaan Tarumanegara
kemungkinan besar disebabkan karena adanya tekanan dari Kerajaan Sriwijaya
yang terus melakukan ekspansi wilayah.

3. Kerajaan Sriwijaya
a) Sejarah Berdirinya Kerajaan Sriwijaya
Kerajaan ini menjadi pusat perdagangan dan merupakan negara bahari, namun
kerajaan ini tidak memperluas kekuasaannya di luar wilayah kepulauan Asia Tenggara,
dengan pengecualian berkontribusi untuk populasi Madagaskar sejauh 3.300 mil di barat.
Beberapa ahli masih memperdebatkan kawasan yang menjadi pusat pemerintahan
Sriwijaya, selain itu kemungkinan kerajaan ini biasa memindahkan pusat
pemerintahannya, namun kawasan yang menjadi ibukota tetap diperintah secara langsung
oleh penguasa, sedangkan daerah pendukungnya diperintah oleh datu setempat.

1. Perjalanan Siddhayatra
Kemaharajaan Sriwijaya telah ada sejak 671 sesuai dengan catatan I Tsing. Dari
prasasti Kedukan Bukit pada tahun 682 di diketahui imperium ini di bawah
kepemimpinan Dapunta Hyang. Bahwa beliau berangkat dalam perjalanan suci
siddhayatra untuk “mengalap berkah”, dan memimpin 20.000 tentara dan 312 orang
di kapal dengan 1.312 prajurit berjalan kaki dari Minanga Tamwan menuju Jambi
dan Palembang. Diketahui, Prasasti Kedukan Bukit adalah prasasti tertua yang
ditulis dalam bahasa Melayu. Para ahli berpendapat bahwa prasasti ini mengadaptasi
ortografi India untuk menulis prasasti ini. Pada abad ke-7 ini, orang Tionghoa
mencatat bahwa terdapat dua kerajaan yaitu Malayu dan Kedah menjadi bagian
kemaharajaan Sriwijaya.
Berdasarkan prasasti Kota Kapur yang berangka tahun 686 ditemukan di pulau
Bangka, kemaharajaan ini telah menguasai bagian selatan Sumatera, pulau Bangka
dan Belitung, hingga Lampung. Prasasti ini juga menyebutkan bahwa Sri Jayanasa
telah melancarkan ekspedisi militer untuk menghukum Bhumi Jawa yang tidak
berbakti kepada Sriwijaya, peristiwa ini bersamaan dengan runtuhnya Tarumanagara
di Jawa Barat dan Holing (Kalingga) di Jawa Tengah yang kemungkinan besar
akibat serangan Sriwijaya. Kemungkinan yang dimaksud dengan Bhumi Jawa adalah
Tarumanegara. Sriwijaya tumbuh dan berhasil mengendalikan jalur perdagangan
maritim di Selat Malaka, Selat Sunda, Laut China Selatan, Laut Jawa, dan Selat
Karimata.

2. Penaklukan Kawasan
Ekspansi kerajaan ini ke Jawa dan Semenanjung Malaya, menjadikan Sriwijaya
mengendalikan simpul jalur perdagangan utama di Asia Tenggara. Berdasarkan
observasi, ditemukan reruntuhan candi-candi Sriwijaya di Thailand dan Kamboja.
Pada abad ke-7, pelabuhan Champa di sebelah timur Indochina mulai mengalihkan
banyak pedagang dari Sriwijaya. Untuk mencegah hal tersebut, Maharaja Dharmasetu
melancarkan beberapa serangan ke kota-kota pantai di Indochina. Kota Indrapura di
tepi sungai Mekong, di awal abad ke-8 berada di bawah kendali Sriwijaya. Sriwijaya
meneruskan dominasinya atas Kamboja, sampai raja Khmer Jayawarman II, pendiri
kemaharajaan Khmer, memutuskan hubungan dengan Sriwijaya pada abad yang sama.
Di akhir abad ke-8 beberapa kerajaan di Jawa, antara lain Tarumanegara dan Holing
berada di bawah kekuasaan Sriwijaya. Menurut catatan, pada masa ini pula wangsa
Sailendra bermigrasi ke Jawa Tengah dan berkuasa di sana. Pada abad ini pula,
Langkasuka di semenanjung Melayu menjadi bagian kerajaan. Pada masa berikutnya,
Pan Pan dan Trambralinga, yang terletak di sebelah utara Langkasuka, juga berada di
bawah pengaruh Sriwijaya. Setelah Dharmasetu, Samaratungga menjadi penerus
kerajaan. Ia berkuasa pada periode 792 sampai 835. Tidak seperti Dharmasetu yang
ekspansionis, Samaratungga tidak melakukan ekspansi militer, tetapi lebih memilih
untuk memperkuat penguasaan Sriwijaya di Jawa. Selama masa kepemimpinannya, ia
membangun candi Borobudur di Jawa Tengah yang selesai pada tahun 825.

b) Kehidupan Politik, Sosial, Ekonomi, dan Politik Kerajaan Sriwijaya


1. Kehidupan Politik
Kehidupan politik kerajaan Sriwijaya dapat ditinjau dari raja-raja yang
memerintah, wilayah kekuasaan, dan hubungannya dengan pihak luar negeri. Setelah
berhasil menguasai Palembang, ibukota Kerajaan Sriwijaya dipindahkan dari Muara
Takus ke Palembang. Dari Palembang, Kerajaan Sriwijaya dengan mudah dapat
menguasai daerah-daerah di sekitarnya seperti Pulau Bangka yang terletak di
pertemuan jalan perdagangan internasional, Jambi Hulu yang terletak di tepi Sungai
Batanghari dan mungkin juga Jawa Barat (Tarumanegara). Maka dalam abad ke-7
M, Kerajaan Sriwijaya telah berhasil menguasai kunci-kunci jalan perdagangan yang
penting seperti Selat Sunda, Selat Bangka, Selat Malaka, dan Laut Jawa bagian
barat. Pada abad ke-8 M, perluasan Kerajaan Sriwijaya ditujukan ke arah utara, yaitu
menduduki Semenanjung Malaya dan Tanah Genting Kra.
Pendudukan pada daerah Semenanjung Malaya memiliki tujuan untuk menguasai
daerah penghasil lada dan timah. Sedangkan pendudukan pada daerah Tanah
Genting Kra memiliki tujuan untuk menguasai lintas jalur perdagangan antara Cina
dan India. Hubungan dengan luar negeri. Kerajaan Sriwijaya menjalin hubungan
baik dengan kerajaan-kerajaan di luar wilayah Indonesia, terutama dengan kerajaan-
kerajaan yang berada di India, seperti Kerajaan Pala/Nalanda di Benggala. Raja
Nalanda, Dewapala Dewa menghadiahi sebidang tanah untuk pembuatan asrama
bagi pelajar dari nusantara yang ingin menjadi ‘dharma’ yang dibiayai oleh
Balaputradewa.

2. Kehidupan Sosial
Letak Sriwijaya sangat strategis di jalur perdagangan antara India-Cina. Di
samping itu juga berhasil menguasai Selat Malaka yang merupakan urat nadi
perdagangan di Asia Tenggara, menjadikan Sriwijaya berhasil menguasai
perdagangan nasional dan internasional. Penguasaan Sriwijaya atas Selat Malaka
mempunyai arti penting terhadap perkembangan Sriwijaya sebagai negara maritim,
sebab banyak kapal-kapal asing yang singgah untuk menambah air minum,
perbekalan makanan dan melakukan aktivitas perdagangan. Sriwijaya sebagai pusat
perdagangan akan mendapatkan keuntungan yang besar dan akan berpengaruh
terhadap kehidupan masyarakat yang hidup dari pelayaran dan perdagangan.

3. Kehidupan Ekonomi
Di dunia perdagangan, Sriwijaya menjadi pengendali jalur perdagangan antara India
dan Tiongkok, yakni dengan penguasaan atas Selat Malaka dan Selat Sunda. Orang
Arab mencatat bahwa Sriwijaya memiliki aneka komoditas seperti kapur barus, kayu
gaharu, cengkeh, pala, kepulaga, gading, emas, dan timah, yang membuat raja
Sriwijaya sekaya raja-raja di India. Kekayaan yang melimpah ini telah memungkinkan
Sriwijaya membeli kesetiaan dari vassal-vassal-nya di seluruh Asia Tenggara. Dengan
berperan sebagai entreport atau pelabuhan utama di Asia Tenggara, dengan
mendapatkan restu, persetujuan, dan perlindungan dari Kaisar China untuk dapat
berdagang dengan Tiongkok, Sriwijaya senantiasa mengelola jejaring perdagangan
bahari dan menguasai urat nadi pelayaran antara Tiongkok dan India.
Karena alasan itulah Sriwijaya harus terus menjaga dominasi perdagangannya
dengan selalu mengawasi dan jika perlu memerangi pelabuhan pesaing di negara
jirannya. Keperluan untuk menjaga monopoli perdagangan inilah yang mendorong
Sriwijaya menggelar ekspedisi militer untuk menaklukkan bandar pelabuhan pesaing di
kawasan sekitarnya dan menyerap mereka ke dalam mandala Sriwijaya. Bandar Malayu
di Jambi, Kota Kapur di pulau Bangka, Tarumanagara dan pelabuhan Sunda di Jawa
Barat, Kalingga di Jawa Tengah, dan bandar Kedah dan Chaiya di semenanjung Melaya
adalah beberapa bandar pelabuhan yang ditaklukan dan diserap kedalam lingkup
pengaruh Sriwijaya.
Disebutkan dalam catatan sejarah Champa adanya serangkaian serbuan angkatan laut
yang berasal dari Jawa terhadap beberapa pelabuhan di Champa dan Kamboja.
Mungkin angkatan laut penyerbu yang dimaksud adalah armada Sriwijaya, karena saat
itu wangsa Sailendra di Jawa adalah bagian dari mandala Sriwijaya. Hal ini merupakan
upaya Sriwijaya untuk menjamin monopoli perdagangan laut di Asia Tenggara dengan
menggempur bandar pelabuhan pesaingnya. Sriwijaya juga pernah berjaya dalam hal
perdagangan sedari tahun 670 hingga 1025 M.
Kejayaan bahari Sriwijaya terekam di relief Borobudur yaitu menggambarkan Kapal
Borobudur, kapal kayu bercadik ganda dan bertiang layar yang melayari lautan
Nusantara sekitar abad ke-8 Masehi. Fungsi cadik ini adalah untuk menyeimbangkan
dan menstabilkan perahu. Cadik tunggal atau cadik ganda adalah ciri khas perahu
bangsa Austronesia dan perahu bercadik inilah yang membawa bangsa Austronesia
berlayar di seantero Asia Tenggara, Oseania, dan Samudra Hindia. Kapal layar
bercadik yang diabadikan dalam relief Borobudur mungkin adalah jenis kapal yang
digunakan armada Sailendra dan Sriwijaya dalam pelayaran antarpulaunya,
kemaharajaan bahari yang menguasai kawasan pada kurun abad ke-7 hingga ke-13
Masehi.
Selain menjalin hubungan dagang dengan India dan Tiongkok, Sriwijaya juga
menjalin perdagangan dengan tanah Arab. Kemungkinan utusan Maharaja Sri
Indrawarman yang mengantarkan surat kepada khalifah Umar bin Abdul-Aziz dari Bani
Umayyah tahun 718, kembali ke Sriwijaya dengan membawa hadiah Zanji (budak
wanita berkulit hitam), dan kemudian dari kronik Tiongkok disebutkan Shih-li-fo-shih
dengan rajanya Shih-li-t-‘o-pa-mo (Sri Indrawarman) pada tahun 724 mengirimkan
hadiah untuk kaisar Cina, berupa ts’engchi (bermaksud sama dengan Zanji dalam
bahasa Arab).
Pada paruh pertama abad ke-10, di antara kejatuhan dinasti Tang dan naiknya dinasti
Song, perdagangan dengan luar negeri cukup marak, terutama Fujian, kerajaan Min dan
kerajaan Nan Han dengan negeri kayanya Guangdong. Tak diragukan lagi Sriwijaya
mendapatkan keuntungan dari perdagangan ini. Pada masa inilah diperkirakan rakyat
Sriwijaya mulai mengenal buah semangka (Citrullus lanatus (Thunb.) Matsum. &
Nakai), yang masuk melalui perdagangan mereka.

4. Kehidupan Agama
Sebagai pusat pengajaran Buddha Vajrayana, Sriwijaya menarik banyak peziarah
dan sarjana dari negara-negara di Asia. Antara lain pendeta dari Tiongkok I Tsing, yang
melakukan kunjungan ke Sumatera dalam perjalanan studinya di Universitas Nalanda,
India, pada tahun 671 dan 695, I Tsing melaporkan bahwa Sriwijaya menjadi rumah
bagi sarjana Buddha sehingga menjadi pusat pembelajaran agama Buddha. Selain berita
diatas, terdapat berita yang dibawakan oleh I Tsing, dinyatakan bahwa terdapat 1000
orang pendeta yang belajar agama Budha pada Sakyakirti, seorang pendeta terkenal di
Sriwijaya.
Terdapat lebih dari 1000 pandita Buddhis di Sriwijaya yang belajar serta
mempraktikkan Dharma dengan baik. Mereka menganalisa dan mempelajari semua
topik ajaran sebagaimana yang ada di India; vinaya dan ritual-ritual mereka tidaklah
berbeda sama sekali [dengan yang ada di India]. Apabila seseorang pandita Tiongkok
akan pergi ke Universitas Nalanda di India untuk mendengar dan mempelajari naskah-
naskah Dharma auutentik, ia sebaiknya tinggal di Sriwijaya dalam kurun waktu 1 atau 2
tahun untuk mempraktikkan vinaya dan bahasa sansekerta dengan tepat.
Kerajaan Sriwijaya banyak dipengaruhi budaya India, pertama oleh budaya Hindu
kemudian diikuti pula oleh agama Buddha. Peranannya dalam agama Budha
dibuktikannya dengan membangun tempat pemujaan agama Budha di Ligor, Thailand.
Raja-raja Sriwijaya menguasai kepulauan Melayu melalui perdagangan dan
penaklukkan dari kurun abad ke-7 hingga abad ke-9, sehingga secara langsung turut
serta mengembangkan bahasa Melayu beserta kebudayaannya di Nusantara.

c) Masa Keemasan Kerajaan Sriwijaya


Berdasarkan sumber catatan sejarah dari Arab, Sriwijaya disebut dengan nama
Sribuza. Pada tahun 955 M, Al Masudi, seorang musafir (pengelana) sekaligus
sejarawan Arab klasik menulis catatan tentang Sriwijaya. Dalam catatan itu,
digambarkan Sriwijaya adalah sebuah kerajaan besar yang kaya raya, dengan tentara
yang sangat banyak. Disebutkan kapal yang tercepat dalam waktu dua tahun pun tidak
cukup untuk mengelilingi seluruh pulau wilayahnya. Hasil bumi Sriwijaya adalah
kapur barus, kayu gaharu, cengkeh, kayu cendana, pala, kapulaga, gambir dan
beberapa hasil bumi lainya.
Catatan lain menuliskan bahwa Sriwijaya maju dalam bidang agraris. Ini
disimpulkan dari seorang ahli dari Bangsa Persia yang bernama Abu Zaid Hasan yang
mendapat keterangan dari Sujaimana, seorang pedagang Arab. Abu Zaid menulis
bahwasanya Kerajaan Zabaj (Sriwijaya -sebutan Sriwijaya oleh bangsa Arab pada
masa itu-) memiliki tanah yang subur dan kekuasaan yang luas hingga ke seberang
lautan.

1. Hubungan dengan Wangsa Sailendra


Dari catatan sejarah dan bukti arkeologi, pada abad ke-9 Sriwijaya telah melakukan
kolonisasi di hampir seluruh kerajaan-kerajaan Asia Tenggara, antara lain: Sumatera,
Jawa, Semenanjung Malaya, Thailand, Kamboja, Vietnam, dan Filipina. Dominasi
atas Selat Malaka dan Selat Sunda, menjadikan Sriwijaya sebagai pengendali rute
perdagangan rempah dan perdagangan lokal yang mengenakan bea dan cukai atas
setiap kapal yang lewat. Sriwijaya mengumpulkan kekayaannya dari jasa pelabuhan
dan gudang perdagangan yang melayani pasar Tiongkok, dan India.

2. Sriwijaya Berkuasa di Jawa


Setelah Dharmasetu, Samaratungga menjadi Maharaja Sriwijaya berikutnya. Dia
memerintah sebagai penguasa pada kurun 792-835. Berbeda dari Dharmasetu yang
ekpansionis, Samaratungga tidak terjun dalam kancah ekspansi militer, melainkan
lebih suka untuk memperkuat pemerintahan dan pengaruh Sriwijaya atas Jawa. Dia
secara pribadi mengawasi pembangunan candi agung Borobudur; sebuah mandala
besar dari batu yang selesai pada 825, di masa pemerintahannya. Menurut George
Coedes, “pada paruh kedua abad kesembilan, Jawa dan Sumatra bersatu di bawah
kekuasaan wangsa Sailendra yang memerintah di Jawa.
Dengan pusat perdagangan di Palembang.” Samaratungga seperti Rakai Warak,
tampaknya sangat dipengaruhi oleh kepercayaan Buddha Mahayana yang cinta damai.
Beliau berusaha untuk menjadi seorang penguasa yang welas asih. Penggantinya
adalah Putri Pramodhawardhani yang bertunangan dengan Rakai Pikatan yang
menganut aliran Siwa. Dia adalah putra Rakai Patapan, seorang rakai (penguasa
daerah) yang cukup berpengaruh di Jawa Tengah. Langkah politik ini tampaknya
sebagai upaya untuk mengamankan perdamaian dan kekuasaan Sailendra di Jawa,
dengan cara mendamaikan hubungan antara golongan Buddha aliran Mahayana
dengan penganut Hindu aliran Siwa.

d) Masa Penurunan Kerajaan Sriwijaya


1. Serbuan Kerajaan Chola
Tahun 1017 dan 1025, Rajendra Chola I, raja dari dinasti Chola di Koromandel,
India selatan, mengirim ekspedisi laut untuk menyerang Sriwijaya. Berdasarkan
prasasti Tanjore bertarikh 1030, Kerajaan Chola telah menaklukan daerah-daerah
koloni Sriwijaya, seperti wilayah Nikobar dan sekaligus berhasil menawan raja
Sriwijaya yang berkuasa waktu itu Sangrama-Vijayottunggawarman. Selama
beberapa dekade berikutnya, seluruh imperium Sriwijaya telah berada dalam
pengaruh dinasti Chola. Meskipun demikian Rajendra Chola I tetap memberikan
peluang kepada raja-raja yang ditaklukannya untuk tetap berkuasa selama tetap
tunduk kepadanya. Hal ini dapat dikaitkan dengan adanya berita utusan San-fo-ts’i
ke Cina tahun 1028.
Faktor lain kemunduran Sriwijaya adalah faktor alam. Karena adanya
pengendapan lumpur di Sungai Musi dan beberapa anak sungai lainnya, sehingga
kapal-kapal dagang yang tiba di Palembang semakin berkurang. Akibatnya, Kota
Palembang semakin menjauh dari laut dan menjadi tidak strategis. Akibat kapal
dagang yang datang semakin berkurang, pajak berkurang dan memperlemah
ekonomi dan posisi Sriwijaya.
Kerajaan Tanjungpura dan Nan Sarunai di Kalimantan adalah kerajaan yang
sezaman dengan Sriwijaya, namun Kerajaan Tanjungpura disebutkan dikelola oleh
pelarian orang Melayu Sriwijaya, yang ketika pada saat itu Sriwijaya diserang
Kerajaan Chola mereka bermigrasi ke Kalimantan Selatan. Namun pada masa ini
Sriwijaya dianggap telah menjadi bagian dari dinasti Chola. Kronik Tiongkok
menyebutkan bahwa pada tahun 1079, Kulothunga Chola I (Ti-hua-ka-lo) raja
dinasti Chola disebut juga sebagai raja San-fo-ts’i, yang kemudian mengirimkan
utusan untuk membantu perbaikan candi dekat Kanton.
Selanjutnya dalam berita Cina yang berjudul Sung Hui Yao disebutkan bahwa
kerajaan San-fo-tsi pada tahun 1082 masih mengirimkan utusan pada masa Cina di
bawah pemerintahan Kaisar Yuan Fong. Duta besar tersebut menyampaikan surat
dari raja Kien-pi bawahan San-fo-tsi, yang merupakan surat dari putri raja yang
diserahi urusan negara San-fo-tsi, serta menyerahkan pula 227 tahil perhiasan,
rumbia, dan 13 potong pakaian. Kemudian juga mengirimkan utusan berikutnya
pada tahun 1088. Pengaruh invasi Rajendra Chola I, terhadap hegemoni Sriwijaya
atas raja-raja bawahannya melemah. Beberapa daerah taklukan melepaskan diri,
sampai muncul Dharmasraya dan Pagaruyung sebagai kekuatan baru yang kemudian
menguasai kembali wilayah jajahan Sriwijaya mulai dari kawasan Semenanjung
Malaya, Sumatera, sampai Jawa bagian barat.

2. Munculnya Malayu Dharmasraya


Pada tahun 1079 dan 1088, catatan Cina menunjukkan bahwa Sriwijaya
mengirimkan duta besar pada Cina. Khususnya pada tahun 1079, masing-masing
duta besar tersebut mengunjungi Cina. Ini menunjukkan bahwa ibu kota Sriwijaya
selalu bergeser dari satu kota maupun kota lainnya selama periode tersebut.
Ekspedisi Chola mengubah jalur perdagangan dan melemahkan Palembang, yang
memungkinkan Jambi untuk mengambil kepemimpinan Sriwijaya pada abad ke-11.
Berdasarkan sumber Tiongkok pada buku Chu-fan-chi yang ditulis pada tahun
1178, Chou-Ju-Kua menerangkan bahwa di kepulauan Asia Tenggara terdapat dua
kerajaan yang sangat kuat dan kaya, yakni San-fo-ts’i dan Cho-po (Jawa). Di Jawa
dia menemukan bahwa rakyatnya memeluk agama Budha dan Hindu, sedangkan
rakyat San-fo-ts’i memeluk Budha, dan memiliki 15 daerah bawahan yang meliputi;
Si-lan (Kamboja), Tan-ma-ling (Tambralingga, Ligor, selatan Thailand), Kia-lo-hi
(Grahi, Chaiya sekarang, selatan Thailand), Ling-ya-si-kia (Langkasuka), Kilantan
(Kelantan), Pong-fong (Pahang), Tong-ya-nong (Terengganu), Fo-lo-an (muara
sungai Dungun daerah Terengganu sekarang), Ji-lo-t’ing (Cherating, pantai timur
semenanjung malaya), Ts’ien-mai (Semawe, pantai timur semenanjung malaya), Pa-
t’a (Sungai Paka, pantai timur Semenanjung Malaya), Lan-wu-li (Lamuri di Aceh),
Pa-lin-fong (Palembang), Kien-pi (Jambi), dan Sin-t’o (Sunda).
Namun, istilah San-fo-tsi terutama pada tahun 1178 tidak lagi identik dengan
Sriwijaya, melainkan telah identik dengan Dharmasraya. Dari daftar 15 negeri
bawahan San-fo-tsi tersebut, ternyata adalah wilayah jajahan Kerajaan Dharmasraya.
Walaupun sumber Tiongkok tetap menyebut San-fo-tsi sebagai kerajaan yang berada
di kawasan Laut Cina Selatan. Hal ini karena dalam Pararaton telah disebutkan
Malayu. Kitab ini mengisahkan bahwa Kertanagara raja Singhasari, mengirim
sebuah ekspedisi Pamalayu atau Pamalayu, dan kemudian menghadiahkan Arca
Amoghapasa kepada raja Melayu, Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa di
Dharmasraya sebagaimana yang tertulis pada prasasti Padang Roco. Peristiwa ini
kemudian dikaitkan dengan manuskrip yang terdapat pada prasasti Grahi. Begitu
juga dalam Nagarakretagama yang menguraikan tentang daerah jajahan Majapahit,
juga sudah tidak menyebutkan lagi nama Sriwijaya untuk kawasan yang sebelumnya
merupakan kawasan Sriwijaya.

e) Peninggalan Kerajaan Sriwijaya


Kerajaan Sriwijaya meninggalkan beberapa prasasti, diantaranya :
1. Prasasti Kedukan Bukit
Prasati ini ditemukan di Palembang
pada tahun 605 SM/683 M. Isi dari
prasasti tersebut yakni ekspansi 8 hari
yang dilakukan Dapunta Hyang
dengan 20.000 tentara yang berhasil
menaklukkan beberapa daerah
sehingga Sriwijaya menjadi makmur.

2. Prasasti Talang Tuo


Prasasti yang ditemukan pada tahun 606
SM/684 M ini ditemukan di sebelah barat
Palembang. Isinya tentang Dapunta Hyang Sri
Jayanaga yang membuat Taman Sriksetra demi
kemakmuran semua makhluk.

3. Prasasti Kota Kapur


Prasasti ini bertuliskan tahun 608 SM/686 M
yang ditemukan di Bangka. Isiny mengenai
permohonan kepada Dewa untuk keselamatan
Kerajaan Sriwijaya beserta rakyatnya.

4. Prasasti Karang Birahi


Prasasti yang ditemukan di Jambi ini isinya sama
dengan prasasti Kota Kapur tentang permohonan
keselamatan. Prasasti Karang Birahi ditemukan
pada tahun 608 SM/686 M.

5. Prasasti Talang Batu


Prasasti ini ditemukan di Palembang, namun
tidak ada angka tahunnya. Prasasti Talang
Batu berisi tentang kutukan terhadap pelaku
kejahatan dan pelanggar perintah raja.

6. Prasasti Palas di Pasemah


Prasasti ini juga tidak berangka tahun.
Ditemukan di Lampung Selatan yang berisi
tentang keberhasilan Sriwijaya menduduki
Lampung Selatan.

7. Prasasti Ligor
Ditemukan pada tahun 679 SM/775 M di tanah
genting Kra. Menceritakan bahwa Sriwijaya di
bawah kekuasaan Darmaseta.

4. Kerajaan Mataram Kuno


a) Sejarah Kerajaan Mataram Kuno
Kerajaan Mataram Kuno terletak di Jawa
Tengah dengan intinya yang sering disebut
Bumi Mataram. Daerah ini dikelilingi oleh
pegunungan dan gununggunung, seperti Gunung
Tangkuban Perahu, Gunung Sindoro, Gunung
Sumbing, Gunung Merapi-Merbabu, Gunung
Lawu, dan Pegunungan Sewu. Daerah ini juga dialiri oleh banyak sungai, seperti
Sungai Bogowonto, Sungai Progo, Sungai Elo dan Sungai Bengawan Solo. Itulah
sebabnya daerah ini sangat subur.
Kerajaan Mataram Kuno atau juga yang sering disebut Kerajaan Medang
merupakan kerajaan yang bercorak agraris. Tercatat terdapat 3 Wangsa (dinasti)
yang pernah menguasai Kerjaan Mataram Kuno yaitu Wangsa Sanjaya, Wangsa
Syailendra dan Wangsa Isana. Wangsa Sanjaya merupakan pemuluk Agama Hindu
beraliran Syiwa sedangkan Wangsa Syailendra merupakan pengikut agama Budah,
Wangsa Isana sendiri merupakan Wangsa baru yang didirikan oleh Mpu Sindok.
Raja pertama Kerajaan Mataram Kuno adalah Sanjaya yang juga merupakan
pendiri Wangsa Sanjya yang menganut agama Hindu. Setelah wafat, Sanjaya
digantikan oleh Rakai Panangkaran yang kemudian berpindah agama Budha
beraliran Mahayana. Saat itulah Wangsa Sayilendra berkuasa. Pada saat itu baik
agama Hindu dan Budha berkembang bersama di Kerajaan Mataram Kuno. Mereka
yang beragama Hindu tinggal di Jawa Tengah bagian utara, dan mereka yang
menganut agama Buddha berada di wilayah Jawa Tengah bagian selatan.
Wangsa Sanjaya kembali memegang tangku kepemerintahan setelah anak Raja
Samaratungga, Pramodawardhani menikah dengan Rakai Pikatan yang menganut
agama Hindu. Pernikahan tersebut membuat Rakai Pikatan maju sebagai Raja dan
memulai kembali Wangsa Sanjaya. Rakai Pikatan juga berhasil menyingkirkan
seorang anggota Wangsa Sailendra bernama Balaputradewa yang merupakan
saudara Pramodawardhani. Balaputradewa kemudian mengungsi ke Kerajaan
Sriwijaya yang kemduian menjadi Raja disana.
Wangsa Sanjaya berakhir pada masa Rakai Sumba Dyah Wawa. Berakhirnya
Kepemerintahan Sumba Dyah Wawa masih diperdebatkan. Terdapat teori yang
mengatakan bahwa pada saat itu terjadi becana alam yang membuat pusat Kerajaan
Mataram Hancur. Mpu Sindok pun tampil menggantikan Rakai Sumba Dyah
Wawa sebagai raja dan memindahkan pusat Kerajaan Mataram Kuno di Jawa
Timur dan membangun wangsa baru bernama Wangsa Isana.
Pusat Kerajaan Mataram Kuno pada awal berdirinya diperkirakan terletak di
daerah Mataram (dekat Yogyakarta sekarang). Kemudian pada masa pemerintahan
Rakai Pikatan dipindah ke Mamrati (daerah Kedu). Lalu, pada masa pemerintahan
Dyah Balitung sudah pindah lagi ke Poh Pitu (masih di sekitar Kedu). Kemudian
pada zaman Dyah Wawa diperkirakan kembali ke daerah Mataram. Mpu Sindok
kemudian memindahkan istana Medang ke wilayah Jawa Timur sekarang.

b) Letak dan Wilayah


Kerajaan Mataram Kuno terletak di Jawa Tengah dengan intinya yang sering
disebut Bumi Mataram. Daerah ini dikelilingi oleh pegunungan dan
gununggunung, seperti Gunung Tangkuban Perahu, Gunung Sindoro, Gunung
Sumbing, Gunung Merapi-Merbabu, Gunung Lawu, dan Pegunungan Sewu.
Daerah ini juga dialiri oleh banyak sungai, seperti Sungai Bogowonto, Sungai
Progo, Sungai Elo dan Sungai Bengawan Solo. Itulah sebabnya daerah ini sangat
subur.

c) Raja-Raja Kerajaan Mataram Kuno


Daftar raja-raja Medang menutur teori Slamet Muljana adalah sebagai berikut:
1. Sanjaya, (merupakan pendiri Kerajaan Medang)
2. Rakai Panangkaran, (awal berkuasanya Wangsa Syailendra)
3. Rakai Panunggalan alias Dharanindra
4. Rakai Warak alias Samaragrawira
5. Rakai Garung alias Samaratungga
6. Rakai Pikatan suami Pramodawardhani, (awal kebangkitan Wangsa Sanjaya)
7. Rakai Kayuwangi alias Dyah Lokapala
8. Rakai Watuhumalang
9. Rakai Watukura Dyah Balitung
10. Mpu Daksa
11. Rakai Layang Dyah Tulodong
12. Rakai Sumba Dyah Wawa
13. Mpu Sindok, awal periode Jawa Timur
14. Sri Lokapala (merupaka suami dari Sri Isanatunggawijaya)
15. Makuthawangsawardhana
16. Dharmawangsa Teguh, (berakhirnya Kerajaan Medang)
Pada daftar di atas hanya Sanjaya yang memakai gelar Sang Ratu, sedangkan
raja sesudahnya memakai gelar Sri Maharaja.

d) Sumber Sejarah
Terdapat dua sumber utama yang menunjukan berdirnya Kerajaan Mataram
Kuno, yaiut berbentuk Prasasti dan Candi-candi yang dapat kita temui samapi
sekarang ini. Adapun untuk Prasasti, Kerajaan Mataram Kuno meninggalkan
beberapa prasasti, diantaranya:
1. Prasasti Canggal, ditemukan di halaman Candi Guning Wukir di desa Canggal
berangka tahun 732 M. Prasasti Canggal menggunakan huruf pallawa dan
bahasa Sansekerta yang isinya menceritakan tentang pendirian Lingga
(lambang Syiwa) di desa Kunjarakunja oleh Raja Sanjaya dan disamping itu
juga diceritakan bawa yang menjadi raja sebelumnya adalah Sanna yang
digantikan oleh Sanjaya anak Sannaha (saudara perempuan Sanna).
2. Prasasti Kalasan, ditemukan di desa Kalasan Yogyakarta berangka tahun
778M, ditulis dalam huruf Pranagari (India Utara) dan bahasa Sansekerta.
Isinya menceritakan pendirian bangunan suci untuk dewi Tara dan biara untuk
pendeta oleh Raja Pangkaran atas permintaan keluarga Syaelendra dan
Panangkaran juga menghadiahkan desa Kalasan untuk para Sanggha (umat
Budha).
3. Prasasti Mantyasih, ditemukan di Mantyasih Kedu, Jawa Tengah berangka
907M yang menggunakan bahasa Jawa Kuno. Isi dari prasasti tersebut adalah
daftar silsilah raja-raja Mataram yang mendahului Rakai Watukura Dyah
Balitung yaitu Raja Sanjaya, Rakai Panangkaran, Rakai Panunggalan, Rakai
Warak, Rakai Garung, Rakai Pikatan, rakai Kayuwangi dan Rakai
Watuhumalang.
4. Prasasti Klurak, ditemukan di desa Prambanan berangka 782M ditulis dalam
huruf Pranagari dan bahasa Sansekerta isinya menceritakan pembuatan Acra
Manjusri oleh Raja Indra yang bergelar Sri Sanggramadananjaya.
Selain Prasasti, Kerajaan Mataram Kuno juga banyak meninggalkan bangunan
candi yang masih ada hingga sekarang. Candi-candi peninggalan Kerajaan
Medang antara lain, Candi Kalasan, Candi Plaosan, Candi Prambanan, Candi
Sewu, Candi Mendut, Candi Pawon, Candi Sambisari, Candi Sari, Candi
Kedulan, Candi Morangan, Candi Ijo, Candi Barong, Candi Sojiwan, dan tentu
saja yang paling kolosal adalah Candi Borobudur.

e) Peninggalan Kerajaan Mataram Kuno


Sebagai salahsatu kerajaan terbesar di Indonesia, mataram banyak sekali
meninggalkan benda-benda bersejarah, termasuk juga prasasti. Dan berikut
diantaranya:

1. Prasasti Canggal
Prasasti Canggal (juga disebut
Prasasti Gunung Wukir atau
Prasasti Sanjaya) adalah prasasti
berangka tahun 654 Saka atau 732 Masehi yang ditemukan di halaman Candi
Gunung Wukir di desa Kadiluwih, kecamatan Salam, Magelang, Jawa Tengah.
Prasasti ini menggunakan aksara Pallawa dan bahasa Sanskerta. Prasasti ini
dipandang sebagai pernyataan diri Raja Sanjaya pada tahun 732 sebagai seorang
penguasa universal dariKerajaan Mataram Kuno.
2. Prasasti Kelurak
Prasasti Kelurak berangka tahun 782
M dan ditemukan di dekat Candi
Lumbung, Desa Kelurak, di sebelah
utara Kompleks Percandian
Prambanan, Jawa Tengah. Keadaan
prasasti Kelurak sudah sangat aus,
sehingga isi keseluruhannya kurang
diketahui. Secara garis besar, isinya tentang didirikannya sebuah bangunan suci
untuk arca Manjusri atas perintah Raja Indra yang bergelar Sri
Sanggramadhananjaya. Menurut para ahli, yang dimaksud dengan bangunan
tersebut adalah Candi Sewu, yang terletak di Kompleks Percandian Prambanan.

3. Prasasti Mantyasih
Prasasti ini ditemukan di
kampung Mateseh, Magelang
Utara, Jawa Tengah dan
memuat daftar silsilah raja-
raja Mataram sebelum Raja
Balitung. Prasasti ini dibuat
sebagai upaya melegitimasi Balitung sebagai pewaris tahta yang sah, sehingga
menyebutkan raja-raja sebelumnya yang berdaulat penuh atas wilayah kerajaan
Mataram Kuno. Dalam prasasti ini juga disebutkan bahwa desa Mantyasih yang
ditetapkan Balitung sebagai desa perdikan (daerah bebas pajak). Di kampung
Meteseh saat ini masih terdapat sebuah lumpang batu, yang diyakini sebagai
tempat upacara penetapan sima atau desa perdikan.
Selain itu disebutkan pula tentang keberadaan Gunung Susundara dan Wukir
Sumbing (sekarang Gunung Sindoro dan Sumbing). Kata “Mantyasih” sendiri
dapat diartikan “beriman dalam cinta kasih”.
4. Prasasti Sojomerto
Prasasti Sojomerto merupakan peninggalan
Wangsa Sailendra yang ditemukan di Desa
Sojomerto, Kecamatan Reban, Kabupaten
Batang, Jawa Tengah. Prasasti ini beraksara
Kawi dan berbahasa Melayu Kuna. Prasasti
ini tidak menyebutkan angka tahun,
berdasarkan taksiran analisis paleografi diperkirakan berasal dari kurun akhir
abad ke-7 atau awal abad ke-8 masehi. Isi prasasti memuat keluarga dari tokoh
utamanya, Dapunta Selendra, yaitu ayahnya bernama Santanu, ibunya bernama
Bhadrawati, sedangkan istrinya bernama Sampula. Prof. Drs. Boechari
berpendapat bahwa tokoh yang bernama Dapunta Selendra adalah cikal-bakal
raja-raja keturunan Wangsa Sailendra yang berkuasa di Kerajaan Mataram Hindu.
5. Prasasti Tri Tepusan
Prasasti Tri Tepusan menyebutkan bahwa Sri
Kahulunnan pada tahun 842 M menganugerahkan
tanahnya di desa Tri Tepusan untuk pembuatan dan
pemeliharaan tempat suci Kamulan I Bhumisambhara
(kemungkinan besar nama dari candi Borobudur
sekarang). Duplikat dari prasasti ini tersimpan di dalam
museum candi Borobudur.
6. Prasasti Wanua Tengah III
Prasasti ini ditemukan November 1983.
Prasasti ini di sebuah ladang di Dukuh
Kedunglo, Desa Gandulan, Kaloran,
sekitar 4 km arah timur laut Kota
Temanggung. Di dalam prasasti ini
dicantumkan daftar lengkap dari raja-raja yang memerintah bumi Mataram pada
masa sebelum pemerintahan raja Rake Watukara Dyah Balitung. Prasasti ini
dianggap penting karena menyebutkan 12 nama raja Mataram, sehingga
melengkapi penyebutan dalam Prasasti Mantyasih (atau nama lainnya Prasasti
Tembaga Kedu) yang hanya menyebut 9 nama raja saja.
7. Prasasti Rukam
Prasasti ini berangka tahun 829
Saka atau 907 Masehi,
ditemukan pada 1975 di desa
Petarongan, kecamatan
Parakan, Temanggung, Jawa
Tengah. Prasasti ini terdiri atas
dua lempeng tembaga yang berbentuk persegi panjang. Lempeng pertama berisi
28 baris dan lempeng kedua berisi 23 baris. Aksara dan bahasa yang digunakan
adalah Jawa Kuna.
Isi prasasti adalah mengenai peresmian desa Rukam oleh Nini Haji Rakryan
Sanjiwana karena desa tersebut telah dilanda bencana letusan gunung api.
Kemudian penduduk desa Rukam diberi kewajiban untuk memelihara bangunan
suci yang ada di Limwung. Mungkin bangunan suci tersebut adalah Candi
Sajiwan, sebagaimana kata Sanjiwana tadi. Candi Sajiwan yang sering dilafalkan
Sojiwan terletak tidak jauh dari Candi Prambanan.
8. Prasasti Plumpungan
Prasasti ini ditemukan di Dukuh
Plumpungan dan berangka tahun
750 Masehi. Prasasti ini
dipercaya sebagai asal mula kota
Salatiga. Menurut sejarahnya, di
dalam Prasasti Plumpungan berisi
ketetapan hukum, yaitu suatu ketetapan status tanah perdikan atau swantantra
bagi Desa Hampra. Pada zamannya, penetapan ketentuan Prasasti Plumpungan ini
merupakan peristiwa yang sangat penting, khususnya bagi masyarakat di daerah
Hampra.
Penetapan prasasti merupakan titik tolak berdirinya daerah Hampra secara resmi
sebagai daerah perdikan atau swantantra. Desa Hampra tempat prasasti itu berada,
kini masuk wilayah administrasi Kota Salatiga. Dengan demikian daerah Hampra
yang diberi status sebagai daerah perdikan yang bebas pajak pada zaman
pembuatan prasasti itu adalah daerah Salatiga sekarang ini.
9. Prasasti Siwargrha
Dalam prasasti ini tertulis chandrasengkala ”Wwalung
gunung sang wiku” yang bermakna angka tahun 778 Saka
(856 Masehi). Prasasti ini dikeluarkan oleh Dyah Lokapala
(Rakai Kayuwangi) segera setelah berakhirnya
pemerintahan Rakai Pikatan. Prasasti ini menyebutkan
deskripsi kelompok candi agung yang
dipersembahkan untuk dewa Siwa disebut Shivagrha
(Sanskerta: rumah Siwa) yang cirinya sangat cocok dengan
kelompok candi Prambanan.
10.Prasasti Gondosuli
Prasasti ini ditemukan di reruntuhan
Candi Gondosuli, di Desa Gondosuli,
Kecamatan Bulu, Temanggung, Jawa
Tengah. Yang mengeluarkan adalah
anak raja (pangeran) bernama Rakai
Rakarayan Patapan Pu Palar, yang juga adik ipar raja Mataram, Rakai Garung.
Prasasti Gandasuli terdiri dari dua keping, disebut Gandasuli I (Dang pu Hwang
Glis) dan Gandasuli II (Sanghyang Wintang). Ia ditulis menggunakan bahasa
Melayu Kuna dengan aksara Kawi(Jawa Kuna), berangka tahun 792M. Teks
prasasti Gandasuli II terdiri dari lima baris dan berisi tentang filsafat dan
ungkapan kemerdekaan serta kejayaan Syailendra.
11.Prasasti Kayumwungan/Karang Tengah
Prasasti Kayumwungan adalah
sebuah prasasti pada lima buah
penggalan batu yang ditemukan di
Dusun Karangtengah, Kabupaten
Temanggung, Jawa Tengah,
sehingga lebih dikenal juga
dengan nama prasasti
Karangtengah. Isi tulisan pada bagian berbahasa Sanskerta adalah tentang seorang
raja
bernama Samaratungga. Anaknya bernama Pramodawardhani mendirikan
bangunan suci Jinalaya serta bangunan bernama Wenuwana (Sansekerta:
Venuvana, yang berarti “hutan bambu”) untuk menempatkan abu jenazah ‘raja
mega’, sebutan untuk Dewa Indra. Mungkin yang dimaksud adalah raja Indra
atauDharanindra dari keluarga Sailendra.
12.Prasasti Sankhara
Prasasti Raja Sankhara
adalah prasasti yang
berasal dari abad ke-8
masehi yang ditemukan di
Sragen, Jawa Tengah.
Prasasti ini kini hilang
tidak diketahui di mana
keberadaannya. Prasasti ini pernah disimpan oleh museum pribadi, Museum
Adam Malik, namun diduga ketika museum ini
ditutup dan bangkrut pada tahun 2005 atau 2006, koleksi-koleksi museum ini
dijual begitu saja. Dalam prasasti itu disebutkan seorang tokoh bernama Raja
Sankhara berpindah agama karena agama Siwa yang dianut adalah agama yang
ditakuti banyak orang. Raja Sankhara pindah agama ke Buddha karena di situ
disebutkan sebagai agama yang welas asih. Sebelumnya disebutkan ayah Raja
Sankhara, wafat karena sakit selama 8 hari.
Karena itulah Sankhara karena takut akan ‘Sang Guru’ yang tidak benar,
kemudian meninggalkan agama Siwa, menjadi pemeluk agama Buddha
Mahayana, dan memindahkan pusat kerajaannya ke arah timur. Di dalam buku
Sejarah Nasional Indonesia disebutkan bahwa raja Sankhara disamakan dengan
Rakai Panangkaran, sedangkan ayah Raja Sankhara yang dalam prasasti ini tidak
disebutkan namanya, disamakan dengan raja Sanjaya.
13.Prasasti Ngadoman
Prasasti Ngadoman ditemukan di desa
Ngadoman, dekat Salatiga, Jawa Tengah.
Prasasti ini penting karena kemungkinan besar
merupakan perantara antara aksara Kawi
dengan aksara Buda.
14.Prasasti Kalasan
Prasasti Kalasan adalah
prasasti peninggalan Wangsa
Sanjaya dari Kerajaan
Mataram Kuno yang
berangka tahun 700 Saka
atau 778M. Prasasti yang
ditemukan di kecamatan Kalasan, Sleman, Yogyakarta, ini ditulis dalam huruf
Pranagari (India Utara) dan bahasa Sanskerta.
Prasasti ini menyebutkan, bahwa Guru Sang Raja berhasil membujuk Maharaja
Tejahpura Panangkarana (Kariyana Panangkara) yang merupakan mustika
keluarga Sailendra (Sailendra Wamsatilaka) atas permintaan keluarga Syailendra,
untuk membangun bangunan suci bagi Dewi Tara dan sebuah biara bagi para
pendeta, serta penghadiahan desa Kalasan untuk para sanggha (umat Buddha).
Bangunan suci yang dimaksud adalah Candi Kalasan.

f) Kehidupan pada Masa Kerajaan Mataram Kuno


a. Dinasti Sanjaya
1. Kehidupan Politik
Berdasarkan prasasti Metyasih, Rakai Watukumara Dyah Balitung (Wangsa
Sanjaya ke-9) telah memberikan hadiah tanah kepada 5 orang patihnya yang
berjasa besar kepada Mataram. Dalam prasasti Metyasih juga disebutkan raja-
raja yang memerintah pada masa Dinasti Sanjaya. Raja-raja itu adalah
 Rakai Sri Mataram sang Ratu Sanjaya (732-760 M)
Masa Sanjaya berkuasa adalah masa-masa pendirian candi-candi
siwa di Gunung Dieng. Sri Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya mangkat
kira-kira pertengahan abad ke-8 M. Ia digantikan oleh putranya Rakai
Panangkaran.
 Sri Maharaja Rakai Panangkaran (760-780 M)
Rakai Panangkaran yang berarti raja mulia yang berhasil
mengambangkan potensi wilayahnya. Menurut Prasati Kalasan, pada
masa pemerintahan Rakai Panangkaran dibangun sebuah candi yang
bernama Candi Tara, yang didalamnya tersimpang patung Dewi Tara.
Terletak di Desa Kalasan, dan sekarang dikenal dengan nama Candi
Kalasan.

 Sri Maharaja Rakai Panunggalan (780-800 M)


Rakai Pananggalan yang berarti raja mulia yang peduli terhadap
siklus waktu. Beliau berjasa atas sistem kalender Jawa Kuno. Visi dan
Misi Rakai Panggalan yaitu selalu menjunjung tinggi arti penting ilmu
pengetahuan. Perwujudan dari visi dan misi tersebut yaitu Catur Guru.
Catur Guru tersebut adalah
 Guru Sudarma, orang tua yang melairkan manusia.
 Guru Swadaya, Tuhan
 Guru Surasa, Bapak dan Ibu Guru di sekolah
 Guru Wisesa, Pemerintah pembuat undang-undang untuk
kepentingan bersama
 Sri Maharaja Rakai Warak (800-820 M)
Pada masa pemerintahannya, kehidupan dalam dunia militer
berkembang dengan pesat.
 Sri Maharaja Rakai Garung (820-840 M)
Garung memiliki arti raja mulia yang tahan banting terhadap segala
macam rintangan. Demi memakmurkan rakyatnya, Sri Maharaja Rakai
Garung bekerja siang hingga malam.
 Sri Maharaja Rakai Pikatan (840 – 856 M)
Dinasti Sanjaya mengalami masa gemilang pada masa pemerintahan
Rakai Pikatan.Pada masa pemerintahannya, pasukan Balaputera Dewa
menyerang wilayah kekuasaannya. Namun Rakai Pikatan tetap
mempertahankan kedaulatan negerinya dan bahkan pasukan Balaputera
Dewa dapat dipukul mundur dan melarikan diri ke Palembang.Pada
zaman Rakai Pikatan inilah dibangunnya Candi Prambanan dan Candi
Roro Jonggrang.
 Sri Maharaja Rakai Kayuwangi (856-882 M)
Prasasti Siwagraha menyebutkan bahwa Sri Maharaja Rakai
Kayuwangi memiliki gelar Sang Prabu Dyah Lokapala.
 Sri Maharaja Rakai Watuhumalang (882-899 M)
Sri Maharaja Rakai Watuhumalang memiliki prinsip dalam
menjalankan pemerintahannya. Prinsip yang dipegangnya adalah Tri
Parama Arta
 Sri Maharaja Rakai Watukura Dyah Balitong (898-915 M)
Masa pemerintahannya juga menjadi masa keemasan bagi Wangsa
Sanjaya. Sang Prabu aktif mengolah cipta karya untuk
mengembangkan kemajuan masyarakatnya.
 Sri Maharaja Rakai Daksottama (915 – 919 M)
Pada masa pemerintahan Dyah Balitung, Daksottama dipersiapkan
untuk menggantikannya sebagai raja Mataram Hindu.
 Sri Maharaja Dyah Tulodhong (919 – 921 M)
Rakai Dyah Tulodhong mengabdikan dirinya kepada masyarakat
menggantikan kepemimpinan Rakai Daksottama. Keterangan tersebut
termuat dalam Prasasti Poh Galuh yang berangka tahun 809 M. Pada
masa pemerintahannya, Dyah Tulodhong sangat memperhatikan kaum
brahmana.
 Sri Maharaja Dyah Wawa ( 921 – 928 M)
Beliau terkenal sebagai raja yang ahli dalam berdiplomasi, sehingga
sangat terkenal dalam kancah politik internasional.

2. Kehidupan Ekonomi
Perekonomian kerajaan Mataram Kuno saat itu bertumpu pada sektor
pertanian karena letaknya yang cukup disebut sebagai pedalaman dan memiliki
tanah yang subur. Berikutnya, Mataram mulai mengembangkan kehidupan
pelayaran, hal ini terjadi pada masa pemerintahan Balitung yang
memanfaatkan sungai Bengawan Solo sebagai lalu lintas perdagangan menuju
pantai utara Jawa Timur.

3. Kehidupan Agama
Berdasarkan prasasti Canggal yang menceritakan tentang pendirian Lingga
(lambang Siwa), dapat ditarik kesimpulan bahwa masyarakat Mataram Kuno
Wangsa Sanjaya memiliki kepercayaan agama Hindu beraliran Siwa.
b. Dinasti Syailendra
1. Kehidupan Politik
Berdasarkan prasasti yang telah ditemukan dapat diketahui raja-raja yang pernah
memerintah Dinasti Syailendra, di antaranya:
1) Bhanu ( 752- 775 M )
Raja banu merupakan raja pertama sekaligus pendiri Wangsa Syailendra.
2) Wisnu ( 775- 782 M)
Pada masa pemerintahannya, Candi Brobudur mulai di banugun
tempatnya 778.
3) Indra ( 782 -812 M )
Pada masa pemerintahannya, Raja Indra membuat Prasasti Klurak yang
berangka tahun 782 M, di daerah Prambanan. Dinasti Syailendra
menjalankan politik ekspansi pada masa pemerintahan Raja Indra.
Perluasan wilayah ini ditujukan untuk menguasai daerah-daerah di
sekitar Selat Malaka. Selanjutnya, yang memperkokoh pengaruh
kekuasaan Syailendra terhadap Sriwijaya adalah karena Raja Indra
menjalankan perkawinan politik. Raja Indra mengawinkan putranya
yang bernama Samarottungga dengan putri Raja Sriwijaya.
4) Samaratungga ( 812 – 833 M )
Pengganti Raja Indra bernama Samarottungga. Raja Samaratungga
berperan menjadi pengatur segala dimensi kehidupan rakyatnya. Sebagai
raja Mataram Budha, Samaratungga sangat menghayati nilai agama dan
budaya. Pada zaman kekuasaannya dibangun Candi Borobudur. Namun
sebelum pembangunan Candi Borobudur selesai, Raja Samarottungga
meninggal dan digantikan oleh putranya yang bernama Balaputra Dewa
yang merupakan anak dari selir.
5) Pramodhawardhani ( 883 – 856 M )
Pramodhawardhani adalah putri Samaratungga yang dikenal cerdas dan
cantik. Beliau bergelar Sri Kaluhunan, yang artinya seorang sekar
keratin yang menjadi tumpuan harapan bagi rakyat. Pramodhawardhani
kelak menjdi permaisuri raja Rakai Pikatan, Raja Mataram Kuno dari
Wangsa Sanjaya.
6) Balaputera Dewa ( 883 – 850 M )
Balaputera Dewa adalah putera Raja Samaratungga dari ibunya yang
bernama Dewi Tara, Puteri raja Sriwijaya. Dari Prasasti Ratu Boko,
terjadi perebutan tahta kerajaan oleh Rakai Pikatan yang menjadi suami
Pramodhawardhani. Belaputera Dewa merasa berhak mendapatkan tahta
tersebut karena beliau merupakan anak laki-laki berdarah Syailendra dan
tidak setuju terhadap tahta yang diberikan Rakai Pikatan yang keturunan
Sanjaya. Dalam peperangan saudara tersebut Balaputera Dewa
mengalami kekalahan dan melatrikan diri ke Palembang.

2. Kehidupan Sosial
Kehidupan sosial Kerajaan Syailendra tidak diketahui secara pasti. Namun,
melalui bukti-bukti peninggalan berupa candi-candi, para ahli menafsirkan
bahwa kehidupan sosial masyarakat Kerajaan Syailendra sudah teratur. Hal ini
dilihat melalui cara pembuatan candi yang menggunakan tenaga rakyat secara
bergotong-royong. Di samping itu, pembuatan candi ini menunjukkan betapa
rakyat taat dan mengkultuskan rajanya. Dengan adanya dua agama yang
berjalan, sikap toleransi antar pemeluk agama di masyarakat sangat baik.

3. Kehidupan Ekonomi
Mata pencaharian pokok masyarakat adalah petani, pedagang, dan
pengrajin. Dinasti Syailendra telah menetapkan pajak bagi masyarakat
Mataram. Hal ini terbukti dari prasasti Karang tengah yang menyebutkan
bahwa Rakryan Patatpa Pu Palar mendirikan bangunan suci dan memberikan
tanah perdikan sebagai simbol masyarakat yang patuh membayar pajak.

4. Kehidupan Agama
Sebagian besar raja-raja Dinasti Syailendra beragama Budha Mahayana.
Hal ini menunjukkan bahwa agama Buddha telah masuk di Mataram. Dengan
dibangunnya candi-candi Buddha untuk beribadah, maka dapat disimpulkan
pula bahwa rakyatnya beragama Buddha Mahayana.

g) Kejayaan Kerajaan Mataram Kuno


Kerajaan Mataram Kuno mencapai puncak kejayaan pada masa pemerintahan
Raja Balitung (898-910 M). Di masa kekuasaannya, daerah-daerah di sebelah
timur Mataram berhasil ditaklukkannya. Oleh karena itu, daerah kekuasaan
Mataram semakin luas, yang meliputi Bagelen (Jawa Tengah) sampai Malang
(Jawa Timur).
Penyebab kejayaan kerajaan Mataram Kuno:
 Naik tahtanya Sanjaya yang sangat ahli dalam peperangan
 Pembangunan sebuah waduk Hujung Galuh di Waringin Sapta
(Waringin Pitu) guna mengatur aliran Sungai Berangas, sehingga
banyak kapal dagang dari Benggala, Sri Lanka, Chola, Champa,
Burma, dan lain-lain datang ke pelabuhan itu.
 Pindahnya kekuasaan dari Jawa Tengah ke Jawa Timur yang didasari
oleh:
 Adanya sungai-sungai besar, antara lain Sungai Brantas dan Bengawan
Solo yang sangat memudahkan bagi lalu lintas perdagangan.
 Adanya dataran rendah yang luas sehingga memungkinkan penanaman
padi secara besar-besaran.
 Lokasi Jawa Timur yang berdekatan dengan jalan perdagangan utama
waktu itu, yaitu jalur perdagangan rempah-rempah dari Maluku ke
Malaka.

h) Keruntuhan Kerajaan Mataram Kuno


Runtuhnya kerajaan Mataram disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama,
disebabkan oleh letusan gunung Merapi yang mengeluarkan lahar. Kemudian
lahar tersebut menimbun candi-candi yang didirikan oleh kerajaan, sehingga
candi-candi tersebut menjadi rusak. Kedua, runtuhnya kerajaan Mataram
disebabkan oleh krisis politik yang terjadi tahun 927-929 M. Ketiga, runtuhnya
kerajaan dan perpindahan letak kerajaan dikarenakan pertimbangan ekonomi. Di
Jawa Tengah daerahnya kurang subur, jarang terdapat sungai besar dan tidak
terdapatnya pelabuhan strategis. Sementara di Jawa Timur, apalagi di pantai
selatan Bali merupakan jalur yang strategis untuk perdagangan, dan dekat dengan
daerah sumber penghasil komoditi perdagangan.
Mpu Sindok mempunyai jabatan sebagai Rake I Hino ketika Wawa menjadi
raja di Mataram, lalu pindah ke Jawa timur dan mendirikan dinasti Isyana di sana
dan menjadikan Walunggaluh sebagai pusat kerajaan . Mpu Sindok yang
membentuk dinasti baru, yaitu Isanawangsa berhasil membentuk Kerajaan
Mataram sebagai kelanjutan dari kerajaan sebelumnya yang berpusat di Jawa
Tengah. Mpu Sindok memerintah sejak tahun 929 M sampai dengan948 M.
Sumber sejarah yang berkenaan dengan Kerajaan Mataram di Jawa Timur
antara lain prasasti Pucangan, prasasti Anjukladang dan Pradah, prasasti Limus,
prasasti Sirahketing, prasasti Wurara, prasasti Semangaka, prasasti Silet, prasasti
Turun Hyang, dan prasasti Gandhakuti yang berisi penyerahan kedudukan putra
mahkota oleh Airlangga kepada sepupunya yaitu Samarawijaya putra Teguh
Dharmawangsa.

5. Kerajaan Kediri
a) Awal Mula Berdirinya Kerajaan Kediri
Wilayah kekuasaan dari Kerjaan Kediri
merupakan bagian selaran dari Kerajaan
Kahuripan. Hingga kini, tak banyak yang
mengetahui mengenai peristiwa di masa awal
berdirinya Kerajaan Kediri.
Pada tahun 1116-1136 raja Kameswara menikahi Dewi Kirana yang
merupakan puteri dari Kerajaan Janggala. Dengan demikian, berakhirlah masa
Kerajaan Jenggala yang kembali dipersatukan dengan Kerajaan Kediri.Seiring
bertambahnya waktu, Kerajaan Kediri tumbuh berkembang menjadi besar dan
cukup kuat diwilayah Jawa. Pada masa ini juga dituliskan sebuah kitab bernama
Kakawin Smaradahana yang juga dikenal dalam kesusastraan Jawa sebagai cerita
Panji.
Beberapa pakar menyebutkan, bahwa arti dari nama Kediri berasal dari kata
“Kedi” yang bermakna “Mandul” atau “Wanita yang tidak berdatang
bulan”.Sedangkan menurut kamus Jawa Kuno Wojo Wasito, “Kedi” memiliki
makna Orang Kebiri Bidan atau Dukun.Dalam perlakonan wayang, sang arjuno
juga sempat menyamar menjadi guru tari di Negara Wirata yang bernama “Kedi
Wrakantolo”.Sehingga bila dihubungkan dengan salah seorang tokoh Dewi Kilisuci
yang bertapa di Gua Selomangleng, “Kedi” memiliki arti Suci atau
Wadad.Sedangkan, kata “diri” memiliki arti Adeg, Angdhiri, menghadiri atau
menjadi Raja (bahasa Jawa Jumenengan).Maka dari itu, dapat pula kita temukan
dalam prasasti “WANUA” tahun 830 saka yang berbunyi:” Ing Saka 706 cetra nasa
danami sakla pa ka sa wara, angdhiri rake panaraban” yang berarti pada tahun saka
706 atau 734 Masehi, bertahta Raja Pake Panaraban.
Nama dari Kediri sendiri banyak terdapat dalam kesusatraan Kuno yang
menggunakan bahasa Jawa Kuno, diantaranya: Kitab Samaradana, Pararaton,
Negara Kertagama serta Kitab Calon Arang.Sama halnya dengan prasasti lain yang
juga menyebutkan nama Kediri di dalamnya, seperti: Prasasti Ceber berangka tahun
1109 saka yang berada di Desa Ceker, yang sekarang telah berubah menjadi Desa
Sukoanyar Kecamatan Mojo.Di dalam prasati tersebut juga disebutkan, bahwa
penduduk Ceker juga berjasa kepada Raja, sehingga mereka memperoleh hadiah
berupa “Tanah Perdikan”.Tak hanya itu, dalam prasasti itu juga tertulis “Sri
Maharaja Masuk Ri Siminaninaring Bhuwi Kadiri” yang memiliki arti raja sudah
kembali kesimanya, atau harapannya di dalam Bhumi Kadiri.Prasasti Kamulan yang
berangkat tahun 1116 saka di Desa Kamulan Kabupaten Trenggalek, dan menurut
Damais, tepatnya pada tanggal 31 Agustus 1194, prasasti itu menyebutkan nama
Kediri diserang oleh seorang raja dari kerajaan sebelah timur.“Aka ni satru wadwa
kala sangke purnowo”, maka dari itu raja meninggalkan istananya yang beradad di
Katangkatang (“tatkala nin kentar sangke kadetwan ring katang-katang deni nkir
malr yatik kaprabon sri maharaja siniwi ring bhumi kadiri”).Kemudian, Tatkala
Bagawantabhari mendapatkan anugerah berupa tanah perdikan dari seorang Raja
Rake Layang Dyah Tulodong yang juga tertulis dalam ketiga prasasti yang bernama
Harinjing.Pada awalnya, Kediri merupakan sebuah kerajaan kecil yang kemudian
berkembang dan berubah namanya menjadi Kerajaan Panjalu yang besar dan
dikenal sampai sekarang.

b) Silsilah Kerajaan Kediri


Dalam perkembangannya, Kerajaan Kediri sempat dipimpin oleh 8 orang raja.
Namun dari 8 raja tersebut, yang mampu membawa Kerajaan Kediri kepada masa
keemasan adalah Prabu Jayabaya yang namanya sangat terkenal hingga sekarang.

Kedelapan orang raja yang sempat beridiri, diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Sri Jayawarsa
Dalam prasasti Sirah Keting (1104 M) menyebutkan bahwa raja Sri
Jayawarsa sempat memerintah Kerajaan Kediri.
Pada masa pemerintahan beliau, raja Sri Jayawarsa pernah memberikan
hadiah kepada rakyat desa kerajaan  sebagai tanda penghargaan, karena
rakyatnya berjasa kepada sang raja.
Dalam prasasti itu juga disebutkan bahwa raja Sri Jayawarsa sangatlah
perhatian kepada rakyatnya dan berupaya dalam meningkatkan kesejahteraan
rakyatnya.
2. Sri Bameswara
Selama memerintah, Raja Bameswara banyak meninggalkan prasasti yang
banyak ditemukan di daerah Tulung Agung dan Kertosono.
Dalam prasasti yang ditemukan, kebanyakan menceritakan mengenai
masalah keagamaan, sehingga dapat disimpulkan juga keadaan
pemerintahannya sangatlah baik.
3. Prabu Jayabaya
Pada masa kepemimpinan Prabu Jayabaya lah Kerajaan Kediri mengalami
puncak kejayaan.
Strategi pemerintahan yang digunakan Prabu Jayabaya untuk kemakmuran
rakyatnya sangatlah mengagumkan. Pada saat itu, ibukota kerajaan terletak di
Dahono Puro.Dahono Puro merupakan daerah yang berada di bawah kaki
Gunung Kelud dengan tanah yang sangat subur, sehingga segala macam
tanaman dapat tumbuh menghijau.Hasil dari perkebunan serta pertanian
melimpah ruah. Di tengah-tengah kota juga terdapat aliran Sungai Brantas
yang airnya sangat bening dan banyak terdapat ikan yang hidup di dalamnya.
Dari hasil bumi tersebut, juga diekspor ke kota Jenggala, dekat Surabaya
menggunakan perahu dengan menyusuri sungai.Roda perekonomian pada
saat itu sangatlah lancar, sehingga Kerajaan Kediri mendapat medapat
julukan sebagai negara yang “Gemah Ripah Loh Jinawi Tata Tentrem Karta
Raharja”.
Jayabaya memerintah kerajaan sejak tahun 1130 hingga 1157 Masehi. Selain
itu, bidang spiritual dan material pada masa Jayabaya juga tak tanggung-
tanggung.
Beliau memiliki sikap yang bijaksana dan adil terhadap rakyat serta sangat
merakyat  dan menjalankan visinya yang menjadikan Prabu Jayabaya layak
dikenang sepanjang masa.
4. Sri Sarwaswera
Kisah dari raja Sri Sarwaswera tercantum dalam sebuah prasasti bernama
Padelegan II (1159) dan prasasti Kahyunan (1161).Beliau merupakan raja
yang taat beragama dan berbudaya serta memegang teguh prinsip “tat wam
asi” yang memiliki arti “dikaulah itu, dikaulah (semua) itu, semua makhluk
adalah engkau”.Menurut pendapat dari sang raja, tujuan dari hidup manusia
yang terakhir adalah moksa, yang berarti pemanunggalan jiwatma dengan
paramatma.Jalan yang benar merupakan sesuatu jalan yang mengarah kepada
kesatuan, sehingga segala sesuatu yang menghalangi kesatuan adalah hal yang
tidak benar.
5. Sri Aryeswara
Kisah Sri Aryeswara termuat dalam prasasti Angin (1171). Beliau
merupakan seorang raja yang memerintah sekitar tahun 1171.Ia memiliki gelar
abhisekanya yaitu Sri Maharaja Rake Hino Sri Aryeswara
Madhusudanawatara Arijamuka.Dalam prasasti itu tidak dijelaskan kapan Sri
Aryeswara diangkat menjadi raja dan kapan masa pemerintahannya berakhir.
Dalam masa pemerintahannya, ia meninggalkan prasasti Angin yang
bertuliskan tanggal 23 Maret 1171.Pada saat itu, lambang dari Kerajaan Kediri
adalah Ganesha. Menurut prasasti, raja yang memerintah setelah Sri
Aryeswara adalah Sri Gandra.
6. Sri Gandra
Sri Gandara memerintah Kerajaan Kediri pada tahun 1181 M yang termuat
dalam prasasti Jaring yang di dalamnya juga menceritakan mengenai
penggunaan nama hewan dalam kepangkatan seperti seperti nama gajah, kebo,
dan juga tikus.Nama dari hewan-hewan tersebut menggambarkan tingkat
tinggi rendahnya pangkat seseorang di dalam wilayah kerajaan.
7. Sri Kameswara
Raja Sri Gandra memerintah pada tahun 1182 yang dapat kita ketahui di
dalam prasasti ceker dan juga Kakawin Smaradhana.Dalam pemerintahannya
sejak tahun 1182 hingga 1185 Masehi, bidang seni sastra mengalami
perkembangan yang sangat pesat.Contohnya Empu Dharmaja yang telah
mampu mengarang kitab Smaradhana. Bahkan pada masa pemerintahannya
juga dikenal cerita-cerita panji seperti cerita Panji Semirang.
8. Sri Kertajaya
Sri Kertajaya memerintah kerajaan pada tahun 1190 sampai 1222 Masehi
yang termuat dalam beberapa prasasti seperti: prasasti Galunggung (1194),
prasasti Kamulan (1194), prasasti Palah (1197), prasasti Wates Kulon (1205),
Nagarakretagama, serta Pararaton.Sri Kertajaya juga dikenal sebagai
“Dandang Gendis”. Dalam masa pemerintahannya, kestabilan dari kerajaan
menurun.
Hal itu dikarenakan Kertajaya ingin mengurangi hak-hak dari kaum
Brahmana. Sontak hal tersebut ditentang oleh kaum Brahmana.Pada waktu itu,
kedudukan dari kaum Brahmana semakin tidak aman, sehingga banyak yang
kabur menuju Tumapel yang pada saat itu dipimpin oleh Ken Arok.Saat Raja
Kertajaya mengetahui hal tersebut, ia mempersiapkan pasukan untuk segera
menyerang Tumapel. Sementara itu, Tumapel yang dimpin oleh Ken Arok
mendapat dukungan penuh oleh kaum Brahmana untuk balik melakukan
serangan ke Kerajaan Kediri.Dan kemudian kedua pasukan tersebut bertemu di
dekat Ganter pada tahun 1222 M.

c) Letak Kerajaan Kediri

Letak Kerajaan
Kediri berada di
Jawa Timur, dengan
pusatnya yang ada
di kota Daha yang
sekarang dikenal
dengan nama Kota
Kediri.
Sebelum berpusat di Daha, Kerajaan Kediri berada di wilayah Kahirupan. Hal
tersebut sesuai dengan penjelasan di dalam sebuah prasasti keluaran tahun 1042 dan
berita Serat Calon Arang.

 Kitab atau Sistem Perundang-undangan Kediri


Sistem Perundang-undangan yang digunakan oleh Kerajaan Kediri pada waktu itu
disusun oleh seorang ahli hukun yang sudah tergabung dalam Dewan Kapujanggan
Istana.
Sebelum melakuan tugasnya, para pakar hukum akan melakukan studi banding
dalam hal mengenai penyusunan hukum serta konstitusi dari negeri lain.
Dari hasil studi banding tersebut, terciptalah sebuah produk hukum yang bernama
Kitab Darmapraja.Kitab tersebut adalah karya pustaka yang di dalamnya berisi Tata
Tertib Penyelenggaraan Pemerintahan dan Kenegaraan.
Dalam soal pengadilan, sang Raja selalu mengikuti Undang-undang yang terdapat
dalam kitab tersebut, sehingga nantinya akan adil dalam menentukan keputusan
yang akan diambil, serta dapat membuat puas semua pihak (Brandes, 1896:88).
Dalam kitab tersebut, pasal-pasal kitab yang terdapat kata “agama” ditafsirkan
menjadi Undang-undang atau Kitab Perundang-undangan.
Kadang yang membuatnya berbeda adalah perumusannya saja, sebab yang satu
lebih panjang dibandingkan yang lain serta merupakan kelengkapan sekaligus
penjelasan dari pasal sejenis yang pendek.
Kitab Perundang-undangan Agama merupakan kitab utama mengenai Kitab
Undang-undang Hukum Pidana. Namun disamping itu, juga tedapat Undang-
undang Hukum Perdata.
Tata cara jual-beli, pembagian warisan, pernikahan dan perceraian masuk dalam
Undang-undang Hukum Perdata (Hazeu, 1987:87).
Memang, pada masa Kerajaan Kediri belum terdapat perincian tegas antara
Undang-undang Hukum Pidana dan Hukum Perdata.
Namun, menurut sejarah per Undang-undangan Hukum Perdata yang tumbuh dari
Hukum Pidana, jadi percampuran Hukum Perdata dan juga Hukum Pidana dalam
Kitab Perundang-undangan Agama di atas bukanlah suatu keganjilan ditinjau dari
segala segi sejarah hukum.

 Sistem Peradilan Kerajaan Kediri


Sistem peradilan Kerajaan Kediri pada waktu itu memiliki tujuan untuk mencapai
kepastian hukum dalam penyelenggaraan pemerintahan  serta kerajaan (Stutterheim,
1930:254).Terdaptnya kepastian hukum, maka hak serta kewajiban seluruh rakyat
kerajaan bisa terjamin. Keseimbangan antara hak serta kewajiban rakyat kerajaan
telah membuahkan ketentraman lahir dan batin di dalam kehidupan kerajaan.
Antara aparat dan juga rakyat kerjaan turut serta dalam menghormati hukum atau
darma semata-mata guna terjaganya kepentingan bersama.
Semua keputusan yang nantinya diambil dalam pengadilan didarkan atas nama Raja
yang disebut Sang Amawabhumi yang berarti orang yang memiliki atau menguasai
negara.
Dalam Mukadimah Darmapraja ditegaskan bahwa:
Semoga Sang Amawabhumi teguh hatinya dalam menerapkan besar kecilnya
denda, jangan sampai salah trap. Jangan sampai orang yang bertingkah salah,
luput dari tindakan. Itulah kewajiban Sang Amawabhumi, jika beliau
mengharapkan kerahayuan negaranya  (Moedjanto, 1994:56).
Dalam masalah pengadilan, seorang raja dibantu oleh dua orang Adidarma Dyaksa.
Seorang Adidarma Dyaksa Kasiwan serta seorang Adidarma Dyaksa Kabudan,
yaitu kepala agama Siwa dan juga kepala agama Buda yang disebut dengan Sang
Maharsi, sebab kedua agama itu adalah agama utama dalam Kerajaan Kadiri dan
segala Perundang-undangan didasarkan oleh agama.Pada saat itu, kedudukan dari
Adidarma Dyaksa dapat disetarakan dengan kedudukan Hakim Tinggi.
Mereka semua dibantu oleh lima orang upapati yang berarti: pembantu di dalam
pengadilan merupakan pembantu Adidarma Dyaksa.Mereka juga dikenal sebagai
Pamegat atau Sang Pamegat yang berarti Sang Pemutus alias Hakim. Baik
Adidarma Dyaksa ataupun Upapati bergelar Sang Maharsi.Pada awalnya,
jumlahnya hanya lima orang, yaitu: Sang Pamegat Tirwan, Sang Pamegat
Kandamuhi, Sang Pamegat Manghuri, Sang Pamegat Jambi, dan Sang Pamegat
Pamotan.Mereka semua merupakan golongan kasiwan, sebab agama siwa
merupakan agama yang resmi bagi negara Kediri serta memiliki pasukan yang
paling banyak.
Pada masa pemerintahan Jayabaya, jumlah upapati ditambah dua sehingga ada 7
upapati. Keduanya masuk dalam golongan Kabudan, sehingga terdapat lima
Upapati Kasiwan dan juga dua Upapati Kabudan.Perbandingan seperti itu sudah
sangatlah bagus, sebab jumlah dari pemeluk agama siwa lebih banyak dibandingkan
dengan agama Budha.Dua Upapati Kabudan itu merupakan Sang Pamegat
Kandangan Tuha serta Sang Pamegat Kandangan Rare.Saat Prabu Jayabaya sedang
memerintah diwilayah Mamenang, ia dihadapkan oleh pelbagai pembesar, sepert:
Dyaksa, Upapati dan Para Panji yang paham tentang Undang-undang (Rassers,
1959:243).
Dalam penjelasan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa Para Panji merupakan
pembantu para Upapati mengenai hal dalam melakukan pengadilan di daerah-
daerah.
Di dalam kesultanan Yogyakarta, pangkat panji masih dikenal sampai tahun 1940.
Para Panji di dalam Kesultanan Yogya diberikan tugas pengadilan. sehingga tidak
berbeda dengan Para Panji pada masa Kadiri.
Di dalam bidang Lembaga peradilan, kerajaan bertanggung jawab kepada para raja
secara langsung, namun segala sengketa yang terjadi antara keluarga dan raja
menggunakan peradilan khusus.Sehingga dengan demikian, intervensi dan
kontaminasi terhadapt hasil keputusan sidang dapat terhindar.Dalam hal ini juga,
sang raja memiliki staf hukum yang mumpuni, profesional serta tidak diragukan
lagi akan integritas san juga kredibilitasnya.

 Hukum Positif dan Budaya Simbolik


Pada masa kepempimpinan Prabu Jayabaya, Prinsip dari pelaksanaan tatanan
kenegaraan dibagi menjadi dua yaitu hukum positif dan budaya simbolik.
Hukum positif adalah hukum yang berlaku berdasarkan peraturan tertulis yang telah
disepakati bersama. Pada umumnya, hukum ini memiliki sifat yang praktis, teknis
dan mikro.Segala transaksi serta kegiatan kehidupan yang menyangkut jual-beli,
dagang, ekonomi, politik, karier, birokrasi, organisasi, serta erkawinan diatur secara
terperinci.Tak hanya itu, dalam hukum positif, setiap pelanggaran hukum yang
terjadi terdapat sanksi dan denda yang diatur secara detail.
Dalam hal penataan kehidupan masyarakat, Prabu Jayabaya juga menggunakan
pendekatan budaya simbolik.Dalam menunjang program tersebut, Prabu Jayabaya
memerintah para pujangga agar menulis karya cipta dengan tujuan supaya aparat
dan rakyat patuh terhadap norma susila.Namun berbeda dengan sebelumnya, jika
nantinya terdapat pelanggaran hukum, maka sanksi yang diberikan bersifat ghaib
spiritual.Pujangga yang telah diberikan tugas untuk menulis kitab spiritual itu di
antaranya: Empu Sedah dan Empu Panuluh.Empu Sedah sendiri merupakan
penyusun Kakawin Baratayudha di tahun 1157 Masehi atau tahun 1079 Saka,
dengan sangkalannya yang berbunyi Sangha Kuda Suddha Candrama.Namun
sayang, sebelum karayanya selesai, Empu Sedah wafat.
Dan kemudian kakawin Baratayudha dipersembahkan untuk Prabu Jayabhaya,
Mapanji Jayabhaya, dan Jayabhaya Laksana atau Sri Warmeswara.Tingkat
kecerdasan masyarakat kerajaan berbeda-beda pada kala itu, sehingga hukum
positif yang diciptakan oleh kalangan elit kerajaan ada yang tidak dapat dipahami
oleh masyarakat awam kerajaan.Hal itupun disadari oleh pihak Kerajaan Kediri.
Oleh sebab itu, agar tercipta susasana yang harmonis, maka dibuatlah nasehat-
nasehat simbolis yang bersifat mistis.Dan pada prakteknya, nasehat yang dibuat
oleh Prabu Jayabaya dipercayai oleh masyarakat.Digunakan sebagai pengiring
sekaligus pelengkap dari hukum positif, maka budaya simbolik itu mampu
diterapkan untuk mencapai ketertiban sosial.
Prabu Jayabaya merupakan raja besar laksana Dewa Keadilan yang angejawantah
ing madyapada. Baliau dikenal memiliki sikap yang sangat bijaksana.
Serta sikap wibawanya juga mampu membawa kehidupan masyarakat kerajaan
hidup tentram dan nyaman sehingga membuat Kerajaan Kadiri mencapai masa
kejayaan dan keemasan.
Selama masa pemerintahan Jayabaya, beliau memegang kendali pemerintahan dan
juga tata praja, sisitem di Nusantara sungguh-sungguh diperhitungkan di dalam
kawasan Asia Tenggara, Asia Tengah serta Asia Selatan.Beliau telah sukses
mewujudkan cita-cita negara yang Gedhe Obore, Padhang Jagade, Dhuwur Kukuse,
Adoh Kuncarane, Ampuh Kawibawane.Sehingga, masyarakat kerajaan pun dapat
merasakan negara yang Gemah Ripah Loh Jinawi, Tata Tentrem Karta Raharja.
Pada saat itu, terdapat konsep Saptawa yang digunakan dalam program utama Prabu
Jayabaya, yaitu:
1. Wastra (sandang)
2. Wareg (pangan)
3. Wisma (papan)
4. Wasis (pendidikan)
5. Waras (kesehatan)
6. Waskita (keruhanian)
7. Wicaksana (kebijaksanaan).
Masyarakat jawa yakin, bahwa Prabu Jayabaya selalu bersikap arif serta bijaksana
dan juga menjunjung tinggi  hukum yang berlaku.Semua golongan rakyat kerajaan
mendukung sistem pemerintahannya. Refleksi kearifan warisan dari para leluhur
raja Jawa menjadi referensi untuk membawa kebesaran dari bumi Nusantara.Selain
faktor kepemimpinan raja yang selalu mengutamakan kepentingan bersama,
kejayaan Kerajaan Kediri juga didukung oleh kejeliannya dalam hal penyusunan
Undang-undang dasar yang mengikat.Kepatuhan rakyat kerajaan telah membawa
perdamaian dan juga ketertiban di seluruh kawasan wilayah Kerajaan Kediri.
Aparat kerajaan yang terdiri atas pejabat sipil serta militer yang bekerja sesuai
dengan amanat konstitusi, sehingga seluruh kebijakan kerajaan membuahkan
ketentraman dan kemakmuran rakyat.

1. Kehidupan Politik Dan Pemerintahan Kerajaan Kediri

Mapanji Garasakan
merupakan salah satu raja
yang sempat memerintah
Kerajaan Kediri. Namun,
masa pemerintahannya tidak
lama.
Kemudian, ia digantikan oleh Raja Mapanji Alanjung pada tahun 1052 hingga 1059
M. Dan selanjutnya Mapanji Alanjung digantikan oleh Sri Maharaja Samarotsaha.
Namun, pertempuran antara Kerajaan Jenggala dan Panjalu terjadi terus-menerus
selama 60 tahun dan menyebabkan tidak adanya berita yang jelas tentang kedua
kerajaan tersebut hingga munculnya nama Raja Bameswara (1116 – 1135 M) dari
Kediri.Pada saat itu, ibukota Kerajaan Kediri telah berpindah dari Daha menuju
Kediri sehingga kerajaan ini lebih dikenal dengan sebutan Kerajaan Kediri.
Saat masa pemerintahan Raja Bameswara, beliau menggunakan lencana kerajaan
yang menyerupai tengkorak bertaring di atas bulan sabit yang biasa disebut dengan
Candrakapala.
Seusai masa pemerintahan Bameswara , ia digantikan oleh Prabu Jayabaya yang
dalam catatan sejarah beliau mampu mengalahkan Jenggala.
Raja-raja Kediri sejak Prabu Jayabaya memimpin adalah sebagai berikut:
Di tahun 1019 M, Airlangga dinobatkan sebagai menjadi raja Medang Kamulan.
Pada waktu itu, Airlangga berusaha untuk memulihkan kembali kewibawaan
Medang Kamulan.Setelah Airlangga berhasil membawa kebiwaaan kerajaan
kembali, Raja Airlangga memindahkan pusat pemerintahan yang tadinya dari
Medang Kamulan menuju Kahuripan.Berkat kegigihannya dalam memperjuangkan
Medan Kamulan, Medang Kamulan berhasil dalam mencapai puncak kejayaannya.
Menjelang akhir kepemimpinannya, Airlangga memutuskan untuk mengundurkan
diri dari pemerintahan kerajaan dan menjadi seorang pertapa yang disebut Resi
Gentayu. Dan pada akhirnya, Airlangga wafat pada tahun 1049 M.
Pewaris dari tahta Kerajaan Medan Kamulan pada saat itu seharusnya seorang
puteri yang bernama Sri Sanggramawijaya yang juga lahir dari seorang permaisuri
kerajaan.
Namun, ia lebih memilih menjadi seorang pertapa, sehingga tahta kerajaan beralih 
kepada putra Airlangga yang lahir di daerah Selir.Dan untuk menghindari
peperangan di dalam kerajaan, Airlangga membagi Kerajaan Kamualan menjadi
dua bagian yaitu kerajaan Jenggala dengan ibu kotanya Kahuripan, serta Kerajaan
Kediri atau yang disebut juga dengan Panjalu yang beribu kotakan Daha. Namun,
upaya untuk menghindari peperangan tersebut mengelami kegagalan.
Hal tersebut dapat dijumpai dalam catatan sejarah di abad ke 12, dimana Kerajaan
Kediri yang menjadi sebuah kerajaan subur namun tidak damai sepenuhnya karena
terbayng oleh kondisi Jenggala yang semakin melemah.Hal tersebut memunculkan
kemunafikan pada setiap golongan kerajaan sehingga memicu pembenuhan
terhadap pangeran dan raja-raja antar kedua negara.
Dan peperangan tersebut dimenangkan oleh Kerajaan Kediri, sebab kedua kerajaan
tersebut dipersatukan kembali di bawah kepemimpinan Kerajaan Kediri.

2. Kehidupan Ekonomi Kerajaan Kediri


Strategi kepemimpinan yang digunakan Prabu Jayabaya memang layak diacungi
jempol (Gonda, 1925 : 111).Pada saat itu, pusat kerajaan berada di Dahanapura di
bawah kaki Gunung Kelud yang dimana tanahnya memiliki kualitas yang sangat
subur, sehingga sektor pertanian dan perkebunan berlimpah ruah.Di tenagh-tenagh
kotanya juga terdapat aliran sungai brantas, yang airnya sangat bening serta banyak
dihidupi oleh ikan air tawar yang kaya akan protein dan juga gizi yang tinggi.
Hasil bumi dari Kerajaan Kediri tak hanya dimanfaatkan sendiri, hasil tersebut juga
telah diekspor ke Kota Jenggala, dekat Surabaya dengan menggunakan perahu
untuk menyusuri sungai.Roda perekonomin dari Kerajaan Kediri memang sungguh
lancar, sehingga Kerajaan Kediri disebut sebagai negara yang Gemah Ripah Loh
Jinawi Tata Tentrem Karta Raharja.Dalam kehidupan ekonomi Kerajaan Kederi
juga dinyatakan bahwa perekonomian kerajaan berasal dari usaha perdagangan,
peternakan, dan pertanian.Kerajaan Kediri juga terkenal sebagai kawasan penghasil
beras, kapas, dan pemelihara ulat sutra. Oleh karena itu, perekonomian Kerajaan
Kediri sudah dipandang cukup makmur.Hal tersebut juga dijumpai dalam
kemampuan dari pihak kerajaan dalam program memberikan penghasilan tetap
kepada para pegawai atau rakyat walaupun hanya dibayar dengan menggunakan
hasil bumi.
Hal itu berdasarkan keterangan yang tercantum dalam kitab Chi-Fan-Chi dan
kitab Ling-wai-tai-ta.Dan untuk wadah penghasilan kerajaan, maka
diberlakukanlah pajak untuk seluruh anggota wilayah kerajaan.Komoditas dagang
Kerajaan Kediri pada saat itu yakni: beras, emas, perak, daging, dan kayu cendana.
Adapun bentuk pajak berupa beras, kayu, serta palawija.

3. Kehidupan Agama dan Spiritual Kerajaan Kediri


Agama yang tumbuh dan berkembang sangat baik dalam Kerajaan Kediri adalah
agama hindu aliran Waisnawa ( Airlangga titisan Wisnu).Dan dalam bidang
spiritualnya, Kerajaan Kediri juga sangatlah maju (Pigeaud, 1924:67). Terdapat
tempat peribadatan dimana-mana.
Seseorang yang disebut dengan guru kebatinan juga memiliki tempat yang
terhormat. Bahkan sang prabu juga kerap melakukan kegiatan tirakat, tapa brata dan
semedi.
Prabu Jayabaya memang suka bermeditasi di dalam hutan yang sepi. Laku prihatin
dengan cegah dhahar lawan guling, mengurangi makan tidur.
Hal tersebut juga menjadi salah satu rutinitas ritual sehari-hari. Maka tak heran, jika
Prabu Jayabaya mengerti mengenai sadurunge winarah (Tahu sebelum terjadi) yang
dapat meramal owah gingsire jaman.Dan ramalan yang disebutkannya pun relevan
untuk digunakan dalam membaca tanda-tanda jaman saat ini.
Masa pemerintahan Prabu Jayabaya sejak antara 1130 – 1157 M. Dalam masa
pemerintahannya, ia tak tanggung-tanggung dalam memberikan dukungan spiritual
dan material dalam hal hukum dan pemerintahannya.Tak luput, sikapnya yang
dermawan dan merakyat juga turut dikenang sepanjang masa. Karena sikap beliau
yang terkenal sangat bijaksana dan adil dalam memerintah.Dalam kehidupan
beragama pun sudah tertata di dalam undang-undang. Dalam setiap bab, telah
memuat pasal-pasal yang sejenis, sehingga dalam penulisannya terdapat sistematika
tertentu.Jadi dapat dipastikan bahwa pada awalnya, susunan dari undang-undang
menganut pada suatu sistem.
Adapun kitab hukum per Undang-undangan yang disusun sebagai berikut ini:
 Bab I: Sama Beda Dana Denda, berisi mengenai ketentuan diplomasi,
aliansi, konstribusi dan sanksi.
 Bab II: Astadusta, berisi mengenai sanksi delapan kejahatan (penipuan,
pemerasan, pencurian, pemerkosaan, penganiayaan, pembalakan,
penindasan dan pembunuhan)
 Bab III: Kawula, berisi mengenai hak-hak dan kewajiban masyarakat sipil.
 Bab IV: Astacorah, berisi mengenai delapan macam penyimpangan
administrasi kenegaraan.
 Bab V: Sahasa, berisi mengenai sistem pelaksanaan transaksi yang
berkaitan pengadaan barang dan jasa.
 Bab VI: Adol-atuku, berisi mengenai hukum perdagangan.
 Bab VII: Gadai atau Sanda, berisi mengenai tata cara pengelolaan lembaga
pegadaian.
 Bab VIII: Utang-apihutang, berisi mengenai aturan pinjam-meminjam
 Bab IX: Titipan, berisi mengenai sistem lumbung dan penyimpanan barang.
 Bab X: Pasok Tukon, berisi mengenai hukum perhelatan.
 Bab XI: Kawarangan, berisi mengenai hukum perkawinan.
 Bab XII: Paradara, berisi mengenai hukum dan sanksi tindak asusila.
 Bab XIII: Drewe kaliliran, berisi mengenai sistem pembagian warisan.
 Bab XIV: Wakparusya, berisi mengenai sanksi penghinaan dan pencemaran
nama baik.
 Bab XV: Dendaparusya, berisi mengenai sanksi pelanggaran administrasi
 Bab XVI: Kagelehan, berisi mengenai sanksi kelalaian yang menyebabkan
kerugian publik.
 Bab XVII: Atukaran, berisi mengenai sanksi karena menyebarkan
permusuhan.
 Bab XVIII: Bumi, berisi mengenai tata cara pungutan pajak
 Bab XX: Dwilatek, berisi mengenai sanksi karena melakukan kebohongan
publik.
4. Kehidupan Sosial Dan Budaya 
Kondisi kehidupan sosial dan budaya Kerajaan Kediri pada saat itu sudah sangat
teratur. Rakyat kerajaan dalam kesehariannya telah menggunakan kain sampai di
bawah lutut, rambut diurai, serta rumahnya bersih dan rapi.
Di dalam perkawisanan, pihak perempuan menerima mas kawin berupa emas. Dan
orang yang sakit pada waktu itu meminta kesembuhan terhadap dewa dan Buddha.
Perhatian raja kepada rakyatnya sangatlah tinggi. Hal itu tertera dalam kitab
Lubdaka yang berisi mengenai kehidupan sosial rakyat kerajaan pada masa itu.
Tinggi derajat seseorang tidak didasarkan kepada pangkat dan harta bendanya,
melainkan moral serta tingkah laku seseirang itu.Pada masa itu, raja juga sangat
menghargai dan juga menghormati hak yang dimiliki oleh rakyta, sehingga rakyat
kerajaan bebas melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari.Pada masa Kerajaan
Kediri, karya sastra juga berkembang dengan pesat. Sehingga banyak dari karya
sastra yang dihasilkan pada waktu itu.Bahkan, masa kepemimpinan Jayabaya juga
mengutus Empu Sedah untuk mengubah bahasa dari ikitab Bharatayuda ke dalam
bahasa Jawa Kuno.Namun dalam pembuatannya, Empu Sedah wafat. Sehingga,
karyanya diteruskan oleh Empu Panuluh.Dalam kita itu, nama Prabu Jayabaya
sering disebut sebagai bentuk sanjungan terhadap sang raja. Kita tersebut
bertuliskan angka tahun dalam bentuk candrasangkala, sangakuda suddha candrama
(1079 Saka atau 1157 M).Tak hanya itu, Empu Panuluh juga menulis untuk kitab
Gatutkacasraya dan Hariwangsa.
Di masa pemerintahan Kameswara juga terdapat beberapa karya sastra, diantaranya
sebagai berikut:
 Kitab Wertasancaya, berisi mengenai petunjuk mengenai cara untuk
membuat syair yang baik. Kitab tersebut ditulis oleh Empu Tan Akung.
 Kitab Smaradhahana, merupakan sebuah kakawin yang digubah oleh Empu
Dharmaja. Kitab tersebut berisi mengenai pujian kepada sang raja sebagai
seorang titisan Dewa Kama. Kitab terssebut juga menceritakan bahwa nama
ibu kota kerajaannya ialah Dahana.
 Kitab Lubdaka, penulisnya adalah Empu Tan Akung. Kitab tersebut berisi
mengenai kisah Lubdaka sebagai seorang pemburu yang pada mestinya
masuk neraka. Sebab pemujaannya yang istimewa, ia ditolong dewa serta
rohnya diangkat menuju surga.
Tak hanya karya sastra tersebut, ada kasya sastra lain yang juga ditulis pada
masa Kerajaan Kediri berlangsung, diantaranya sebagai berikut:
 Kitab Kresnayana merupakan karangan dari Empu Triguna yang isinya
menceritakan mengenai riwayat Kresna sebagai anak nakal, namun tetap
dikasihi setiap orang sebab ia suka menolong dan juga sakti. Kresna pada
akhirnya menikah dengan Dewi Rukmini.
 Kitab Samanasantaka merupakan karangan dari Empu Managuna yang
menceritakan mengenai kisah Bidadari Harini yang terkena kutukan dari
Begawan Trenawindu.
Tak hanya berupa kitab, adapula karya sastra yang dijumpai dalam rupa
relief di suatu candi. Contohnya, cerita dari Kresnayana yang dapat kita
jumpai pada relief Candi Jago bersamaan dengan relief Parthayajna dan
juga Kunjarakarna.
Pelajari juga mengenai Kerajaan Bali yang tentunya lengkap dari sumber
sejarah hingga raja-raja terkenal di dalamnya!

 Karya di Bidang Hukum Tata Negara


Pada masa pemerintahan Prabu Jayawarsa, hiduplah Empu Triguna di daerah
Panjalu pada tahun 1026 Saka atau 1104 Masehi (Poerbatjaraka, 1957: 18).
Raja Jayawarsa juga menjadi patron untuk para pujangga dalam hal
mengembangkan dinamika ilmu hukum serta tata praja.Pada saat itu, cendakiawan
yang memiliki bakat diberikan fasilitas guna mengaktualisasikan
idealismenya.Pernyataan itu juga didukung yang sebenarnya telah digarisbawahi
oleh pujangga terdahulu. Karya hukum dan tata praja yang telah diciptakan
oleh Empu Triguna adalah Kakawin Kresnayana.Karya hukum serta tata praja yang
suda diciptakan oleh seseorang sastrawan beranama Empu Triguna dengan
karyanya yang disebut Kakawin Kresnayana.Kakawin Kresnayana tersebut berisi
mengenai ilmu hukum dan juga pemerintahan. Sebagai orang yang humanis, Prabu
Jayawarsa juga sangat peduli tentang kehidupan ilmu pengetahuan.Empu Triguna
juga mempunyai seorang rekan bernama Empu Manoguna. Dan keduanya
merupakan pujangga istana jaman Prabu Jayawarsa di dalam Kerajaan
Kadiri.Dilihat dari nama Empu Manoguna dan Triguna terdapat bagian yang sama,
yang memungkinkah bahwa mereka masih memiliki hubungan kerabat atau
seperguruan.Namun yang pasti, mereka berdua merupakan konsultan dan penasehat
utama dari Prabu Jayawarsa.Manoguna juga menciptakan Karya hukum dan tata
praja yang bernama akawin Sumanasantaka dengan ceritanya yang bersumber dari
Kitab Raguwangsa karya dari Sang Kalisada seorang pujangga besar dari India.
Dalam perkembangannya, Kerajaan Kediri mendapatkan pengaruh yang besar dari
India yang sebagian besar bersifat Hindu maupun Budha.Hal tersebut didukung
dalam ungkapan yang menggunakan bahasa Sansekerta yang juga masuk dalam
kosakata ilmu pengetahuan Jawa Kuno.Sumanasantaka berasal dari kata sumanasa
= kembang dan antaka = mati. Yang berarti mati oleh kembang. Serat dari
Sumanasantaka juga mengisahkan kebijaksanaan dari seorang raja dalam upaya
memimpin rakyatnya.Empu Dharmaja juga turut menciptakan karya hukum dan tata
praja yang terkenal yang diberi nama Kakawin Smaradahana dan Kakawin
Bomakawya.Kakawin Smaradahana mengisahkan Batara Kamajaya yang memiliki
sifat keagungan. Sedangkan, kakawin Bomakawya menurut Teeuw (1946:97)
mengisahkan mengenai cara memimpin berdasarkan pada nilai keadilan serta
perdamaian.Pada masa kepemimpinan Prabu Jayabaya, Kerajaan Kediri mengalami
puncak kejayaan.Kesuksesan kerajaan juga tak lepas dari dukungan cendekiawan
terkemuka Empu Sedah, Empu Panuluh, Empu Darmaja, Empu Triguna dan Empu
Manoguna yang dijuluki sebagai jalma sulaksana.
Jalma Sulaksana merupakan manusia paripurna yang telah mendapatkan derajat
oboring jagad raya.Kesuksesesan pemerintahan Jayabaya juga terbukti dalam
adanya kitab-kitab hukum dan kenegaraan sebagaimana yang telah terhimpun
dalam karya-karya Kakawin Bharatayuda karangan Empu Sedah dan Empu Panuluh
, Gathotkacasraya dan Hariwangsa karangan Empu Panuluh yang sampai sekarang
merupakan warisan ruhani bermutu tinggi.

f) Masa Kejayaan Kerajaan Kediri


Seperti yang telah yuksinau.id
jelaskan, puncak dari kejayaan
Kerajaan Kediri ada pada saat
masa pemerintahan Prabu
Jayabaya.
Saat masa kepemimpinannya, wilayah kerajaan meluas hingga hampir ke segala
penjuru Pulau Jawa. Tak hanya itu, pengaruh dari Kerajaan Kediri juga berhasil
masuk ke dalam Pulau Sumatera yang pada ssat itu sedang dikuasai Kerajaan
Sriwijaya.
Kesuksesaan Kerajaan Kediri juga semakin diperkuat oleh catatan dari kronik Cina
yang bernama Chou Ku-fei pada tahun 1178 M yang menceritakan mengenai
Negeri yang paling kaya di masa kerajaan Kediri dengan pimpinannya Raja Sri
Jayabaya.
Tak hanya daerahnya saja yang besar, namun perkembangan karya sastranya pada
saat itu juga sangat mendapatkan perhatian.Sehingga, Kerajaan Kediri semakin
disegani pada kala itu.

g) Masa Keruntuhan Kerajaan Kediri


Kerajaan Kediri atau yang disebut juga sebagai Kerajaan Panjalu mulai mengalami
kemunduran pada masa pemerintahan Kertajaya dengan sebutannya yaitu Dandang
Gendis.Hal tersebut juga telah dikisahkan di dalam ”Pararaton” dan
”Nagarakretagama”.Di tahun 1222, Kertajaya mengalami perselisihan dengan kaum
brahmana. Sebab, hak-hak dari kaum brahmana ditiadakan, sehingga membuat
keberadaan kaum brahmana menjadi tidak aman.Kemudian, kaum brahmana
banyak yang melarikan diri dan meminta bantuan kepada Tumapel yang pada waktu
itu diperintahkan oleh Ken Arok.Hal tersebut diketahui oleh Kertajaya, sehingga ia
mengirim pasukannya untuk melakukan penyerangan kepada Tumapel.
Sedangakn, Tumapel pada saat itu mendapatkan dukungan penuh dari kaum
brahmana untuk melakukan serangan balik ke Kerajaan Kediri.
Kemudian, kedua pasukan kerajaan tersebut bertemu di ekat Genter , sekitar
Malang pada tahun 1222 M. Dan perlawanan dimenangkan oleh pihak Ken Arok.
Namun, Raja Kertajaya berhasil meloloskan diri.
Dengan demikianlah, akhir dari kekuasaan Kerajaan Kediri. Dan pada akhirnya
Kerajaan Kediri menjadi daerah kekuasaan Kerajaan Tumapel. Kemudian berdirilah
Kerajaan Singasari dengan Ken Arok sebagai raja pertamanya.

h) Sumber Sejarah Kerajaan Kediri


Sumber sejarah kerajaan Kediri bisa kita telusuri dari berbagai prasasti dan juga
berita asing yang dapat kita jumpai hingga sekarang, diantaranya sebagai berikut:
1. Prasasti Banjaran bertuliskan angka tahun 1052 M
yang menceritakan kemenangan Panjalu  atas
Jenggala.

2. Prasasti Hantang bertuliskan angka tahun 1052 M


yang menceritakan Panjalu pada masa Jayabaya.

3. Prasasti Sirah Keting (1104 M), berisi cerita mengenai


pemberian hadiah tanah kepada rakyat desa oleh raja
Jayawarsa.

4. Prasasti lain yang ditemukan di Tulungagung dan


Kertosono berisi masalah keagamaan, yang
dikeluarkan oleh raja Bameswara.
5. Prasasti Ngantang (1135M),

Menceritakan raja Jayabaya  telah memberikan hadiah kepada rakyat desa


Ngantang sebidang tanah yang bebas pajak.

6. Prasasti Jaring (1181M),


Dikeluarkan oelh raja Gandra yang menceritakan
sejumlah nama pejabat dengan penggunaan nama
hewan seperi Kebo Waruga dan Tikus Jinada.

7. Prasasti Kamulan (1194M)


Menceritakan waktu pemerintahan Kertajaya yang
berhasil mengalahkan musuh yang telah
memusuhi istana Katang-Katang.

8. Candi Penataran
Candi ini merupakan candi
termegah dan terluas yang ada di
Jawa Timur dan berada di lereng
barat daya Gunung Kelud, di
sebelah utara Blitar, pada
ketinggian 450 meter dpl. Di perkirakan, candi ini telah dibangun pada masa
pemerintahan Raja Srengga sekitar tahun 1200 M dan berlanjut hingga masa
pemerintahan Wikramawardhana yang merupakan raja dari Kerajaan
Majapahit sekitar tahun 1415.
9. Candi Gurah
Candi Gurah berada di kecamatan
di Kediri, Jawa Timur. Di tahun
1957 juga pernah ditemukan
sebuah candi yang dinamakan
Candi Gurah yang jaraknya kurang
lebih 2 km dari Situs
Tondowongso. Namun sayang, akibat kekurangan dana, candi tersebut dikubur
kembali.
10. Candi Tondowongso
Merupakan situs purbakala yang
telah ditemukan pada awal tahun
2007 di Dusun Tondowongso, Kediri, Jawa Timur. Situs ini memiliki luas
lebih dari satu hektare dan dianggap sebagai penemuan terbesar untuk periode
klasik sejarah Indonesia dalam 30 tahun terakhir (semenjak penemuan di
Kompleks Percandian Batujaya). Dan pada kenyataannya di tahun 1957,
seorang profesor yang bernama Prof.Soekmono juga pernah menemukan satu
arca dilokasi ini. Awal penemuan situs ini dari penemuan sejumlah arca oleh
sejumlah perajin batu bata setempat. Situs ini dipercayai merupakan
peninggalan masa Kerajaan Kediri pada awal abad XI, waktu awal
perpindahan pusat politik dari kawasan Jawa Tengah ke Jawa Timur
berdasarkan bentuk dan gaya tatanan arcanya. Selama ini, Kerajaan Kediri
hanya dikenal beradasarkan karya sastranya saja, namun belum banyak
diketahui peninggalannya baik dalam bentuk bangunan atau hasil pahatan.
11. Arca Buddha Vajrasattva
Arca Buddha Vajrasattva berasa dari
zaman Kerajaan Kediri pada abad
X/XI. Serta sekarang menjadi Koleksi
Museum für Indische Kunst, Berlin-
Dahlem, Jerman.

12. Prasasti Galunggung:


Prasasti Galunggung
mempunyai tinggi sekitar 160
cm, dengan lebar atas 80 cm,
dan lebar bawah sepanjang 75
cm. Prasasti ini berada di
Rejotangan, Tulungagung.
Prasasti ini dikelilingi  oleh  tulisan yang menggunakan huruf Jawa kuno
dengan penulisan yang sangat rapi. Jumlah total tulisan terdapat 20 baris yang
masih dapat dilihat dengan jelas. Sementara di sisi lain prasasti, beberapa
bagian hurufnya telah hilang lantaran rusak dimakan oleh usia. Di sisi depan,
terdapat sebuah lambang dengan bentuk lingkaran. Di tengah lingkaran
tersebut terdapat gambar persegi panjang dengan beberapa logo. Tertulis juga
angka 1123 C di salah satu bagian prasasti.
13. Candi Tuban
Di temuakan pada tahun
1967, saat gelombang tragedi
1965 yang melanda
Tulungagung. Aksi
Ikonoklastik, yakni aksi
menghancurkan ikon-ikon
kebudayaan serta benda yang dianggap berhala terjadi. Candi Mirigambar
luput dari pengrusakan sebaba terdapat petinggi desa yang melarang untuk
merusak candi ini serta kawasan candi yang dianggap angker.Massa pun
beralih menuju Candi Tuban, penamaan candi letaknya yang ada di Dukuh
Tuban, Desa Domasan, Kecamatan Kalidawir, Kabupaten Tulungagung. Candi
ini berada di sekitar 500 meter dari lokasi Candi Mirigambar. Namun, Candi
Tuban hanya tersisa kaki candinya saja. Seusai dirusak, candi ini kemudian
dipendam dan saat ini pada bagian atas candi telah berdiri kandang kambing,
ayam dan bebek. Menurut pendapat dari Pak Suyoto, jika warga setempat mau
menggalinya, maka kira-kira setengah hingga satu meter dari dalam tanah,
pondasi Candi Tuban bisa terungkap dan relatif masih utuh. Pengrusakan atas
Candi Tuban juga didasarkan pada legenda bahwa Candi Tuban yang
mengisahkan tokoh laki-laki bernama Aryo Damar, yang di dalam legenda
Angling Dharma meneybutkan jika tokoh tersebut dihancurkan, maka dapat
dianggap sebagai sebuah kemenangan.
14. Prasasti Panumbangan:
Di tanggal 2 Agustus tahun 1120
Maharaja Bameswara membuat prasasti
Panumbangan mengenai permohonan
penduduk dari desa Panumbangan
supaya piagam mereka yang tertulis di
atas daun lontar kemudian ditulis
kembali di atas batu. Prasasti itu berisi
mengenai penetapan desa Panumbangan sebagai sima swatantra pada raja
sebelumnya yang telah dimakamkan di Gajapada. Raja sebelumnya yang
disebutkan dalam prasasti ini diyakini adalah Sri Jayawarsa.
15. Prasasti Talan
Prasasti Talan atau juga disebut Prasasti
Munggut berada di Dusun Gurit,
Kabupaten Blitar. Prasasti ini
bertulisakan angka tahun 1058 Saka atau
tahun 1136 Masehi. Cap prasasti ini
merupakan bentuk dari
Garudhamukalancanadi sisi atas prasasti
dalam badan manusia dengan bentuk kepala seperti burung garuda serta
bersayap. Isi prasasti ini bersamaan dengan anugerah sima kepada Desa Talan
yang juga termasuk ke dalam wilayah Panumbangan memperlihatkan sebuah
prasasti di atas daun lontar dengan cap kerajaan Garudamukha yang sudah
mereka dapatkan dari Bhatara Guru di tahun 961 Saka tepatnya pada tanggal
27 Januari 1040 Masehi serta menetapkan daerah Desa Talan sebagai sima
yang bebas dari kewajiban iuran pajak sehingga mereka memohon supaya
prasasti tersebut dapat dipindahkan diatas batu dengan cap kerajaan
Narasingha. Raja Jayabaya kemudian mengabulkan permintaan rakyat Talan
sebab kesetiaannya terhadap raja serta menambah anugerah berupa berbagai
hak istimewa.

i) Peninggalan Kitab Kerajaan Kediri


Pada masa Kerajaan Kediri
berlangusng, perkembangan
karya sastra sangatlah pesat,
sehingga terdapat banyak sekali
karya sastra yang dihasilkan.
Karya sastra peninggalan
Kerajaan Kediri diantaranya sebagai berikut:
 Kitab Wertasancaya karangan dari Empu Tan Akung yang berisi mengani
petunjuk mengenai cara pembuatan syair yang baik.
 Kitab Smaradhahana merupakan gubahan oleh
Empu Dharmaja yang berisi pujian untuk raja
sebagai titisan Dewa Kama. Kitab ini juga
menjelaskan mengenai nama ibu kota
kerajaannya ialah Dahana.

 Kitab Lubdaka merupakan karangan Empu Tan Akung yang berisi mengenai


kisah Lubdaka sebagai seorang pemburu yang semestinya masuk neraka.
Sebab pemujaannya yang istimewa, ia kemudian ditolong oleh dewa serta
rohnya diangkat ke surga.
 Kitab Kresnayana merupakan karangan
dari Empu Triguna yang berisi mengenai
riwayat Kresna sebagai anak nakal,
namun ia dikasihi semua orang sebab
kerap menolong dan juga memiliki
kesaktian.

 Kitab Samanasantaka merupakan karangan


dari Empu Monaguna yang menceritakan
Bidadari Harini yang terkenal kepada
Begawan Trenawindu.

 Kitab Baharatayuda meruapakan gubahan


dari Empu Sedah dan juga Empu Panuluh

.
 Kitab Gatotkacasraya dan Kitab
Hariwangsa yang merupakan gubahan dari
Empu Panuluh.
6. Kerajaan Singosari

Kerajaan Singasari (1222-


1293) adalah salah satu
kerajaan besar di
Nusantara yang didirikan
oleh Ken Arok. Sejarah
Kerajaan Singasari
berawal dari daerah
Tumapel, yang di kuasai
oleh seorang akuwu (bupati). Letaknya di daerah pegunungan yang subur di wilayah
Malang dengan pelabuhan bernama Pasuruan.Dari daerah inilah Kerajaan Singasari
berkembang dan bahkan menjadi sebuah kerajaa besar di Jawa Timur. Perkembangan
pesat yang di alami oleh kerajaan Singasari ini setelah berhasil mengalahan Kerajaan
Kendiri dalam pertempuran di dekat Ganter tahun 1222 M. Kerajaan Singasari
mencapai puncak kejayaan ketika dipimpin oleh Raja Kertanegara (1268-1292) yang
bergelar Maharajadhiraja Kertanegara Wikrama Dharmottunggadewa.Ken Arok
merebut daerah Tumapel, salah satu wilayah Kerajaan Kediri yang dipimpin oleh
Tunggul Ametung, pada 1222. Ken Arok pada mulanya adalah anak buah Tunggul
Ametung, namun ia membunuh Tunggul Ametung karena jatuh cinta pada istrinya,
Ken Dedes. Ken Arok kemudian mengawini Ken Dedes. Pada saat dikawini Ken
Arok, Ken Dedes telah mempunyai anak bernama Anusapati yang kemudian menjadi
raja Singasari (1227-1248). Raja terakhir Kerajaan Singasari adalah Kertanegara.

a) Sejarah Kerajaan Singasari


Menurut Pararaton, Tumapel semula hanya sebuah daerah bawahan Kerajaan Kediri.
Yang menjabat sebagai akuwu (setara camat) Tumapel saat itu adalah Tunggul
Ametung. Ia mati dibunuh dengan cara tipu muslihat oleh pengawalnya sendiri yang
bernama Ken Arok, yang kemudian menjadi akuwu baru. Ken Arok juga yang
mengawini istri Tunggul Ametung yang bernama Ken Dedes. Ken Arok kemudian
berniat melepaskan Tumapel dari kekuasaan Kadiri. Pada tahun 1222 terjadi
perseteruan antara Kertajaya raja Kadiri melawan kaum brahmana. Para brahmana
lalu menggabungkan diri dengan Ken Arok yang mengangkat dirinya menjadi raja
pertama Tumapel bergelar Sri Rajasa Sang Amurwabhumi. Perang melawan Kadiri
meletus di desa Ganter yang dimenangkan oleh pihak Tumapel.Nagarakretagama juga
menyebut tahun yang sama untuk pendirian Kerajaan Tumapel, namun tidak
menyebutkan adanya nama Ken Arok. Dalam naskah itu, pendiri kerajaan Tumapel
bernama Ranggah Rajasa Sang Girinathaputra yang berhasil mengalahkan Kertajaya
raja Kadiri.Prasasti Mula Malurung atas nama Kertanagara tahun 1255, menyebutkan
kalau pendiri Kerajaan Tumapel adalah Bhatara Siwa. Mungkin nama ini adalah gelar
anumerta dari Ranggah Rajasa, karena dalam Nagarakretagama arwah pendiri
kerajaan Tumapel tersebut dipuja sebagai Siwa. Selain itu, Pararaton juga
menyebutkan bahwa, sebelum maju perang melawan Kadiri, Ken Arok lebih dulu
menggunakan julukan Bhatara Siwa.

Nama Ibu Kota


Berdasarkan prasasti Kudadu, nama resmi Kerajaan Singasari yang sesungguhnya
ialah Kerajaan Tumapel. Menurut Nagarakretagama, ketika pertama kali didirikan
tahun 1222, ibu kota Kerajaan Tumapel bernama Kutaraja.

Pada tahun 1254, Raja Wisnuwardhana mengangkat putranya yang bernama


Kertanagara sebagai Yuwaraja dan mengganti nama ibu kota menjadi Singhasari.
Nama Singhasari yang merupakan nama ibu kota kemudian justru lebih terkenal
daripada nama Tumapel. Maka, Kerajaan Tumapel pun terkenal pula dengan nama
Kerajaan Singhasari.

b) Silsilah Kerajaan Singasari


Wangsa Rajasa yang didirikan oleh Ken Arok, keluarga kerajaan ini menjadi
penguasa Singasari dan berlanjut pada kerajaan Majapahit. Terdapat perbedaan antara
Pararaton dan Nagarakretagama dalam menyebutkan urutan raja-raja Singasari.

Versi Pararaton
1. Ken Arok alias Rajasa Sang Amurwabhumi (1222-1247)
2. Anusapati (1247-1249)
3. Tohjaya (1249-1250)
4. Ranggawuni alias Wisnuwardhana (1250-1272)
5. Kertanagara (1272-1292)
Versi Nagarakretagama
1. Rangga Rajasa Sang Girinathaputra (1222-1227)
2. Anusapati (1227-1248)
3. Wisnuwardhana (1248-1254)
4. Kertanagara (1254-1292)

1. Kehidupan Politik Dalam Negeri dan Luar Negeri Kerajaan Singasari


Berbuat baik terhadap lawan-lawan politiknya seperti mengangkat Jayakatwang ( Raja
Kendiri ) yang bernama Ardharaja menjadi menantunya, juga Raden Wijaya ( cucu
Mahesa Cempaka ) sebagai menantunya. Lalu memperkuat angkatan perang. Raja
Kertanegara membangun dan memperkuat angkatan petang baik angkatan darat
maupun angkatan laut untuk menciptakan keamanan dan ketertiban di dalam negeri,
serta untuk mewujudkan persatuan Nusantara.Sebagai raja besar Raja Kertanegara
dalam politik luar negerinya bercita-cita mempersatukan seluruh Nusantara di bawah
Panji Kerajaan Singasari. Ia berusaha memperkuat partahanan kerjaan dalam
menghadapi serangan kerajaan Cina-Mongol ( Kaisar Khubilai Kahn ). Kertanegara
mengirimkan utusan ke Melayu yang dikenal dengan nama Ekspedisi Pamalayu 1275
yang berhasil menguasai Kerajaan Melayu. Hal ini ditandai dengan pengirimkan Arca
Amogapasa ke Dharmasraya atas perintah Raja Kertanegara. Selain menguasai
Melayu, Singasari juga menaklukan Pahang, Sunda, Bali, Bakulapura (Kalimantan
Barat), dan Gurun (Maluku). Kertanegara juga menjalin hubungan persahabatan
dengan raja Champa, dengan tujuan untuk menahan perluasaan kekuasaan Kubilai
Khan dari Dinasti Mongol.Kubilai Khan menuntut raja-raja di daerah selatan
termasuk Indonesia mengakuinya sebagai yang dipertuan. Kertanegara menolak
dengan melukai nuka utusannya yang bernama Mengki. Tindakan Kertanegara ini
membuat Kubilai Khan marah besar dan bermaksud menghukumnya dengan
mengirimkan pasukannya ke Jawa.Mengetahui sebagian besar pasukan Singasari
dikirim untuk menghadapi serangan Mongol maka Jayakatwang (Kediri)
menggunakan kesempatan untuk menyerangnya. Serangan dilancarakan dari dua arah,
yakni dari arah utara merupakan pasukan pancingan dan dari arah selatan merupakan
pasukan inti. Pasukan Kediri dari arah selatan dipimpin langsung oleh Jayakatwang
dan berhasil masuk istana dan menemukan Kertanagera berpesta pora dengan para
pembesar istana. Kertanaga beserta pembesar-pembesar istana tewas dalam serangan
tersebut. Ardharaja berbalik memihak kepada ayahnya (Jayakatwang), sedangkan
Raden Wijaya berhasil menyelamatkan diri dan menuju Madura dengan maksud minta
perlindungan dan bantuan kepada Aria Wiraraja. Atas bantuan Aria Wiraraja, Raden
Wijaya mendapat pengampunan dan mengabdi kepada Jayakatwang. Raden Wijaya
diberi sebidang tanah yang bernama Tanah Tarik oleh Jayakatwang untuk ditempati.
Dengan gugurnya Kertanegara maka Kerajaan Singasari dikuasai oleh Jayakatwang.
Ini berarti berakhirnya kekuasan Kerajaan Singasari. Sesuai dengan agama yang
dianutnya, Kertanegara kemudian didharmakan sebagai Siwa––Buddha (Bairawa) di
Candi Singasari. Arca perwujudannya dikenal dengan nama Joko Dolog yang
sekarang berada di Taman Simpang, Surabaya.

2. Kehidupan Kebudayaan Kerajaan Singasari


 Kehidupan kebudayaan masyarakat Singasari dapat diketahui dari peninggalan candi-
candi dan patung-patung yang berhasil dibangunnya. Candi hasil peninggalan
Singasari, di antaranya adalah Candi Kidal, Candi Jago, dan Candi Singasari.
Adapun arca atau patung hasil peninggalan Kerajaan Singasari, antara lain Patung
Ken Dedes sebagai perwujudan dari Prajnyaparamita lambang kesempurnaan ilmu
dan Patung Kertanegara dalam wujud Patung Joko Dolog di temuakan di dekat
Surabaya, dan patung Amoghapasa juga merupakan perwujudan Raja Kertanegara
yang dikirim ke Dharmacraya ibukota kerajaan melayu.
Kudua perwujudan patung Raja Kertanegara baik patung Joko Dolog maupun patung
Amoghapasa menyatakan bahwa Raja Kertanegara menganut agama Budha beraliran
Tantrayana ( Tantriisme ).

3. Kehidupan Ekonomi Kerajaan Singasari


Kehidupan ekonomi semenjak berdirinya Kerajaan Singasari tidak jelas diketahui.
Akan tetapi, mengingat Kerajaan Singasari berpusat di Jawa timur yaitu di tepi sungai
Brantas, kemungkunan masalah perekonomian tidak jauh berbeda dengan kerajaan-
kerajaan terdahulu, yaitu secara langsung maupun tidak langsung rakyatnya ikut
mengambil bagian dalam dunia pelayaran. Keadaan ini juga di dukung oleh hasil-hasil
bumi yang sangat besar hasilnya bagi rakyat Jawa Timur.Raja Kertanegara berusaha
untuk menguasai jalur perdagangan di selat Malaka. Penguasaan jalur pelayaran
perdagangan atas selat Malaka itu, bertujuan untuk membangun dan mengembangkan
aktivitas perekonomian kerajaannya. Dengan kata lain, Raja Kertanegara berusaha
menarik perhatian para pedagang untuk melakukan kegiatannya di wilayah kerajaan
singasari.

c) Kepercayaan Kerajaan Singasari
 Bahkan didalam keagamaan terjadi sekatisme antara Agama Hindu dan Budha, dan
melahirkan Agama Syiwa Budha pemimpinya diberi jabatan Dharma Dyaksa
sedangkan Kartanegara menganut Agama Budha Mahayana dengan menjalankan
Upacara keagamaan secara Pestapora sampai mabuk untuk mencapai kesempurnaan
dalam hal ini Kartanegara menyebut dirinya CANGKANDARA (pimpinan dari
semua agama).

d) Pemerintahan Bersama
Pararaton dan Nagarakretagama menyebutkan adanya pemerintahan bersama antara
Wisnuwardhana dan Narasingamurti. Dalam Pararaton disebutkan nama asli
Narasingamurti adalah Mahisa Campaka.Apabila kisah kudeta berdarah dalam
Pararaton benar-benar terjadi, maka dapat dipahami maksud dari pemerintahan
bersama ini adalah suatu upaya rekonsiliasi antara kedua kelompok yang bersaing.
Wisnuwardhana merupakan cucu Tunggul Ametung sedangkan Narasingamurti
adalah cucu Ken Arok.

e) Prasasti Mula Malurung


Mandala Amoghapāśa dari masa Singhasari (abad ke-13), perunggu, 22.5 x 14 cm.
Koleksi Museum für Indische Kunst, Berlin-Dahlem, Jerman. Penemuan prasasti
Mula Malurung memberikan pandangan lain yang berbeda dengan versi Pararaton
yang selama ini dikenal mengenai sejarah Tumapel.
Kerajaan Tumapel disebutkan didirikan oleh Rajasa yang dijuluki “Bhatara Siwa”,
setelah menaklukkan Kadiri. Sepeninggalnya, kerajaan terpecah menjadi dua,
Tumapel dipimpin Anusapati sedangkan Kadiri dipimpin Bhatara Parameswara (alias
Mahisa Wonga Teleng). Parameswara digantikan oleh Guningbhaya, kemudian
Tohjaya.
Sementara itu, Anusapati digantikan oleh Seminingrat yang bergelar Wisnuwardhana.
Prasasti Mula Malurung juga menyebutkan bahwa sepeninggal Tohjaya, Kerajaan
Tumapel dan Kadiri dipersatukan kembali oleh Seminingrat. Kadiri kemudian
menjadi kerajaan bawahan yang dipimpin oleh putranya, yaitu Kertanagara.
f) Masa Kejayaan Kerajaan Singasari
Kertanagara adalah raja terakhir dan raja terbesar dalam sejarah Singhasari (1268 –
1292). Ia adalah raja pertama yang mengalihkan wawasannya ke luar Jawa. Pada
tahun 1275 ia mengirim pasukan Ekspedisi Pamalayu untuk menjadikan Sumatra
sebagai benteng pertahanan dalam menghadapi ekspansi bangsa Mongol.
Saat itu penguasa Sumatra adalah Kerajaan Dharmasraya (kelanjutan dari Kerajaan
Malayu). Kerajaan ini akhirnya dianggap telah ditundukkan, dengan dikirimkannya
bukti arca Amoghapasa yang dari Kertanagara, sebagai tanda persahabatan kedua
negara.Pada tahun 1284, Kertanagara juga mengadakan ekspedisi menaklukkan Bali.
Pada tahun 1289 Kaisar Kubilai Khan mengirim utusan ke Singhasari meminta agar
Jawa mengakui kedaulatan Mongol. Namun permintaan itu ditolak tegas oleh
Kertanagara. Nagarakretagama menyebutkan daerah-daerah bawahan Singhasari di
luar Jawa pada masa Kertanagara antara lain, Melayu, Bali, Pahang, Gurun, dan
Bakulapura.

g) Masa Keruntuhan Kerajaan Singasari


Candi Singhasari dibangun sebagai tempat pemuliaan Kertanegara, raja terakhir
Singhasari. Kerajaan Singhasari yang sibuk mengirimkan angkatan perangnya ke luar
Jawa akhirnya mengalami keropos di bagian dalam. Pada tahun 1292 terjadi
pemberontakan Jayakatwang bupati Gelang-Gelang, yang merupakan sepupu,
sekaligus ipar, sekaligus besan dari Kertanagara sendiri. Dalam serangan itu
Kertanagara mati terbunuh.Setelah runtuhnya Singhasari, Jayakatwang menjadi raja
dan membangun ibu kota baru di Kadiri. Riwayat Kerajaan Tumapel-Singhasari pun
berakhir. Kerajaan Singasari dibangun oleh Ken Arok setelah runtuhnya kerajaan
Kediri. Ken Arok bergelar Sri Rajasa Sang Amurwabhumi dengan Dinasti
Girindrawanca, dengan tujuan untuk menghilangkan jejak tentang siapa sebenarnya
Ken Arok & mengapa ia berhasil mendirikan kerajaan. Ken Arok berkuasa ± 5 tahun
(1222 – 1227 M). pada tahun 1227 Ken Arok terbunuh oleh kaki tangan Anusapati.

 Anusapati
Memerintah dari tahun 1227 – 1248 M. Peristiwa kematian Ken Arok akhirnya
terbongkar & didengar oleh Tohjaya, putra Ken Arok dengan Ken Umang.
Dimakamkan di Candi Kidal.
 Tohjaya
Memerintah tahun 1248 dan pemerintahannya tidak berlangsung lama, karena
putra Anusapati yang bernama Ranggawuni yang dibantu Mahesa Cempaka
menuntut hak atas tahta kepada Tohjaya.
 Wisnuwardhana (Ranggawuni)
Naik tahta pada tahun 1248 dengan gelar Wisnuwardhana, dibantu oleh
Mahesa Cempaka dengan gelar Narashimbamurti. Pemerintahan keduanya
sering disebut dengan pemerintahan Ratu Angabaya. Pada tahun 1254
Wisnuwardhana mengangkat putranya sebagai Yuva raja (Raja muda), dengan
maksud mempersiapkan putranyaq yang bernama Kertanegara sebagai Raja di
Kerajaan Singasari. Pada tahun 1268 Wisnuwardhana meninggal dan tahta
kerajaan dipegang oleh Kertanegara.
 Kertanegara
Memerintah tahun 1268 – 1292 M. Ia merupakan Raja terbesar dan terkemuka
Kerajaan Singasari. Setelah naik tahta, ia bergelar Sri Maharajadhiraja Sri
Kertanegara. Pada masa pemerintahannya datang utusan dari Cina atas
perintah Kaisar Khubilai Khan agar Raja Kertanegara tunduk terhadap Kaisr
Cina, namun Kertanegara menolak dan menghina utusan tersebut.
Khubilai Khan marah, sehingga mempersiapkan untuk menyerang Kerajaan
Singasari, tetapi sebelum serangan itu datang Raja Kertanegara mengadakan
Ekspedisi Pamalayu tahun 1275 M, menguasai Kerajaan Melayu dengan
tujuan menghadang serangan Cina agar peperangan tidak terjadi di Singasari.
Karena pasukan Singasari sebagian menghadang serangan Cina, maka
Jayakatwang keturunan Kerajaan Kediri menyerang Kerajaan Singasari.

h) Hubungan dengan Majapahit


Pararaton, Nagarakretagama, dan prasasti Kudadu mengisahkan Raden Wijaya cucu
Narasingamurti yang menjadi menantu Kertanagara lolos dari maut. Berkat bantuan
Aria Wiraraja (penentang politik Kertanagara), ia kemudian diampuni oleh
Jayakatwang dan diberi hak mendirikan desa Majapahit. Pada tahun 1293 datang
pasukan Mongol yang dipimpin Ike Mese untuk menaklukkan Jawa. Mereka
dimanfaatkan Raden Wijaya untuk mengalahkan Jayakatwang di Kadiri. Setelah
Kadiri runtuh, Raden Wijaya dengan siasat cerdik ganti mengusir tentara Mongol
keluar dari tanah Jawa. Raden Wijaya kemudian mendirikan Kerajaan Majapahit
sebagai kelanjutan Singhasari, dan menyatakan dirinya sebagai anggota Wangsa
Rajasa, yaitu dinasti yang didirikan oleh Ken Arok.

 Ken Arok
Ketika di pusat Kerajaan Kediri terjadi pertentangan antara raja dan kaum
Brahmana, semua pendeta melarikan diri ke Tumapel dan dilindungi oleh Ken
Arok. Pada 1222, para pendeta Hindu kemudian menobatkan Ken Arok
sebagai raja di Tumapel dengan gelar Sri Ranggah Rajasa Bhatara Sang
Amurwabhumi.Adapun nama kerajaannya ialah Kerajaan Singasari. Berita
pembentukan Kerajaan Singasari dan penobatan Ken Arok menimbulkan
kemarahan raja Kediri, Kertajaya. la kemudian memimpin sendiri pasukan
besar untuk menyerang Kerajaan Singasari. Kedua pasukan bertempur di Desa
Ganter pada 1222. Ken Arok berhasil memenangkan pertempuran dan sejak itu
wilayah kekuasaan Kerajaan Kediri dikuasai oleh Singasari.
 Kertanegara
Ken Arok memerintah Kerajaan Singasari hanya lima tahun. Pada 1227 ia
dibunuh oleh Anusapati, anak tirinya (hasil perkawinan Tunggul Ametung dan
Ken Dedes). Sepuluh tahun kemudian Anusapati dibunuh oleh saudara tirinya,
Tohjaya (putra Ken Arok dengan Ken Umang).Kematian Anusapati
menimbulkan kemarahan Ranggawuni, putra Anusapati. Ranggawuni
langsung menyerang Tohjaya. Pasukan Tohjaya kalah dalam pertempuran dan
meninggal dunia dalam pelarian. Pada 1248 Ranggawuni menjadi raja
Singasari bergelar Sri Jaya Wisnuwardhana. Ranggawuni memerintah
Kerajaan Singasari selama 20 tahun (1248-1268) dan dibantu oleh Mahisa
Cempaka (Narasingamurti).Ranggawuni wafat pada 1268 dan digantikan oleh
putranya, Kertanegara. la memerintah Kerajaan Singasari selama 24 tahun
(1268-1292).
 Ekspedisi Pamalayu
Kertanegara terus memperluas pengaruh dan kekuasaan Kerajaan Singasari.
Pada 1275 ia mengirim pasukan untuk menaklukkan Kerajaan Sriwijaya
sekaligus menjalin persekutuan dengan Kerajaan Campa (Kamboja). Ekspedisi
pengiriman pasukan itu dikenal dengan nama Pamalayu.Kertanegara berhasil
memperluas pengaruhnya di Campa melalui perkawinan antara raja Campa
dan adik perempuannya. Kerajaan Singasari sempat menguasai Sumatera,
Bakulapura (Kalimantan Barat), Sunda (Jawa Barat), Madura, Bali, dan Gurun
(Maluku).
 Serangan Pasukan Mongol
Pasukan Pamalayu dipersiapkan Kertanegara untuk menghadapi serangan
kaisar Mongol, Kubilai Khan, yang berkuasa di Cina. Utusan Kubilai Khan
beberapa kali datang ke Singasari untuk meminta Kertanegara tunduk di
bawah Kubilai Khan. Apabila menolak maka Singasari akan diserang.
Permintaan ini menimbulkan kemarahan Kertanegara dengan melukai utusan
khusus Kubilai Khan, Meng Ki, pada 1289. Kertanegara menyadari
tindakannya ini akan dibalas oleh pasukan Mongol. la kemudian memperkuat
pasukannya di Sumatera. Pada 1293 pasukan Mongol menyerang Kerajaan
Singasari. Namun Kertanegara telah dibunuh oleh raja Kediri, Jayakatwang,
setahun sebelumnya. Singasari kemudian dikuasai oleh Jayakatwang.
Arca Dwarapala merupakan salah satu peninggalan Kerajaan Singasari.
Kidal dibangun di Rejokidal, Tumpang, Malang, yang dipersembahkan kepada
Anusapati, raja kedua dan anak tiri Ken Arok.

i) Peninggalan Sumber Sejarah Kerajaan Singasari


1. Candi Singasari
Candi ini berlokasi di Kecamatan
Singosari,Kabupaten Malang dan
terletak pada lembah di antara
Pegunungan Tengger dan Gunung
Arjuna. Berdasarkan penyebutannya
pada Kitab Negarakertagama serta
Prasasti Gajah Mada yang bertanggal 1351 M di halaman komplek candi, candi ini
merupakan tempat “pendharmaan” bagi raja Singasari terakhir, Sang Kertanegara,
yang mangkat(meninggal) pada tahun 1292 akibat istana diserang tentara Gelang-
gelang yang dipimpin oleh Jayakatwang. Kuat dugaan, candi ini tidak pernah
selesai dibangun.
2. Candi Jago
Arsitektur Candi Jago disusun
seperti teras punden berundak.
Candi ini cukup unik, karena bagian
atasnya hanya tersisa sebagian dan
menurut cerita setempat karena
tersambar petir. Relief-relief
Kunjarakarna dan Pancatantra dapat ditemui di candi ini. Sengan keseluruhan
bangunan candi ini tersusun atas bahan batu andesit.

3. Candi Sumberawan
Candi Sumberawan merupakan satu-
satunya stupa yang ditemukan di
Jawa Timur. Dengan jarak sekitar 6
km dari Candi Singosari, Candi ini
merupakan peninggalan Kerajaan
Singasari dan digunakan oleh umat
Buddha pada masa itu. Pemandangan di sekitar candi ini sangat indah karena
terletak di dekat sebuah telaga yang sangat bening airnya. Keadaan inilah yang
memberi nama Candi Rawan.

4. Arca Dwarapala
Arca ini berbentuk Monster dengan
ukuran yang sangat besar. Menurut
penjaga situs sejarah ini, arca Dwarapala
merupakan pertanda masuk ke wilayah
kotaraja, namun hingga saat ini tidak
ditemukan secara pasti dimanan letak
kotaraja Singhasari.

5. Prasasti Manjusri
Prasasti Manjusri merupakan manuskrip yang dipahatkan pada bagian belakang
Arca Manjusri, bertarikh 1343, pada awalnya ditempatkan di Candi Jago dan
sekarang tersimpan di Museum Nasional Jakarta.

6. Prasasti Mula Malurung


Prasasti Mula Malurung adalah
piagam pengesahan penganugrahan
desa Mula dan desa Malurung untuk
tokoh bernama Pranaraja. Prasasti ini
berupa lempengan-lempengan
tembaga yang diterbitkan Kertanagara
pada tahun 1255 sebagai raja muda di Kadiri, atas perintah ayahnya
Wisnuwardhana raja Singhasari. Kumpulan lempengan Prasasti Mula Malurung
ditemukan pada dua waktu yang berbeda. Sebanyak sepuluh lempeng ditemukan
pada tahun 1975 di dekat kota Kediri, Jawa Timur. Sedangkan pada bulan Mei
2001, kembali ditemukan tiga lempeng di lapak penjual barang loak, tak jauh dari
lokasi penemuan sebelumnya. Keseluruhan lempeng prasasti saat ini disimpan di
Museum Nasional Indonesia, Jakarta.

7. Prasasti Singasari
Prasasti Singosari, yang bertarikh tahun 1351 M,
ditemukan di Singosari, Kabupaten Malang, Jawa
Timur dan sekarang disimpan di Museum Gajah
dan ditulis dengan Aksara Jawa.

Prasasti ini ditulis untuk mengenang pembangunan sebuah caitya atau candi
pemakaman yang dilaksanakan oleh Mahapatih Gajah Mada. Paruh pertama
prasasti ini merupakan pentarikhan tanggal yang sangat terperinci, termasuk
pemaparan letak benda-benda angkasa. Paruh kedua mengemukakan maksud
prasasti ini, yaitu sebagai pariwara pembangunan sebuah caitya.

8. Candi Jawi
Candi ini terletak di pertengahan jalan
raya antara Kecamatan Pandaan –
Kecamatan Prigen dan Pringebukan.
Candi Jawi banyak dikira sebagai
tempat pemujaan atau tempat
peribadatan Buddha, namun sebenarnya
merupakan tempat pedharmaan atau penyimpanan abu dari raja terakhir Singhasari,
Kertanegara.

Sebagian dari abu tersebut juga disimpan pada Candi Singhasari. Kedua candi ini
ada hubungannya dengan Candi Jago yang merupakan tempat peribadatan Raja
Kertanegara.

9. Prasasti Wurare
Prasasti Wurare adalah sebuah
prasasti yang isinya memperingati
penobatan arca Mahaksobhya di
sebuah tempat bernama Wurare
(sehingga prasastinya disebut
Prasasti Wurare). Prasasti ditulis
dalam bahasa Sansekerta, dan bertarikh 1211 Saka atau 21 November 1289. Arca
tersebut sebagai penghormatan dan perlambang bagi Raja Kertanegara dari
kerajaan Singhasari, yang dianggap oleh keturunannya telah mencapai derajat Jina
(Buddha Agung). Sedangkan tulisan prasastinya ditulis melingkar pada bagian
bawahnya.

7. Kerajaan Majapahit
a) Sejarah Singkat Kerajaan Majapahit
b) Sebenarnya kerajaan Majapahit berdiri sebab adanya serangan dari
Jayaketwang (Adipati Kediri) yang berhasil membunuh penguasa Kerajaan
Singasari yang terakhir yaitu Kertanegara dikarenakan menolak pembayaran
upeti.

Selanjutnya Raden Wijaya (menantu Kertanegara) berhasil melarikan diri ke


Madura untuk meminta perlindungan terhadap Aryawiraraja. Lalu Raden Wijaya
diberi hutan tarik oleh Aryawiraraja untuk dipakai sebagai wilayah kekuasaan dan
pada akhirnya dijadikan sebuah desa baru dengan nama Majapahit.

Majapahit berasal dari kata ”buah maja” dan “rasa pahit”. Tidak lama kemudian
pasukan Mongolia yang dipimpin oleh Shis-Pi, Ike-Mise dan juga Kau Hsing datang
ke tanah Jawa. Yang tak lain adalah dengan tujuan untuk menghukum Kertanegara
karena menolak pembayaran upeti terhadap pasukan Mongolia.
Dalam situasi tersebut Raden Wijaya memanfaatkan kerja sama dengan pasukan
Mongolia untuk menyerang pasukan Jayaketwang. Dan pada akhirnya pasukan
Mongolia dengan bantuan Raden Wijaya menang dengan terbunuhnya Jayaketwang.
Tidak berselang lama, kemudian Raden Wijaya mengusir pasukan Mongolia dari
tanah Jawa.
Pengusiran tersebut terjadi ketika para pasukan Mongolia sedang berpesta untuk
merayakan kemenangannya atas pasukan Jayaketwang. Saat situasi yang lengah
tersebutlah Raden Wijaya memanfaatkannya untuk melakukan penyerangan kepada
Pasukan Mongolia.
Akhirnya Raden Wijaya berhasil untuk mengusir pasukan Mongolia dari tanah Jawa
dan kemudian naik tahta dan bergelar Sri Kertajasa Jayawardhana tahun 1293. 
Menurut para ahli, berdirinya Kerajaan Majapahit adalah ketika Raden Wijaya
dinobatkan sebagai raja Majapahit tanggal 15 bulan Kartika 1215 atau pada tanggal
10 November 1293.
Sebagaimana disinggung di atas bahwa Kerajaan Majapahit berada di Propinsi Jawa
Timur yang mana ibu kotanya di sebuah desa yang saat ini bernama Triwulan di
Mojokerto. Yang mana kerajaan Majapahit berdiri dari tahun 1293 hingga 1500 M.
Kehidupan di Kerajaan Majapahit
Ada beberapa faktor kehidupan yang menjadi maju serta runtuhnya Kerajaan
Majapahit, diantaranya yaitu:

1. Kehidupan Politik Kerajaan Majapahit


Kehidupan politik di Kerajaan
Majapahit banyak sekali adanya
pemberontakan dari dalam
kerajaan sendiri. Terjadinya
pemberontakan tersebut mulanya
saat Raden Wijaya memerintah,
yaitu banyak pemberontakan yang dilakukan oleh Ranggalawe, Sora dan Nambi yang
tujuan mereka yaitu untuk menjatuhkan Raden Wijaya.
Tetapi dengan kecerdikan Raden Wijaya, pemberontakan tersebut bisa
dipadamkan. Masa pemerintahan Raden Wijaya pun akhirnya berakhir ketika ia
meninggal pada tahun 1309 M. Kemudian pengganti Raden Wijaya tidak lain adalah
anaknya yang bernama Jayanegara yang masih berumur 15 tahun.
Berbeda sekali dengan ayahnya, Jayanegara sama sekali tidak mempunyai keahlian
dalam memimpin kerajaan, sampai pada akhirnya Jayanegara dijuluki dengan sebutan
“Kala Jamet” yang berarti lemah dan jahat. Disaat pemerintahan Jayanegara, banyak
terjadi pemberontakan dari orang-orang kepercayaannya sendiri yang dikarenakan
kurang tegasnya Jayanegara dalam memimpin kerajaan Majapahit.
Salah satu pemberontakan yang hampir menjatuhkan Jayanegara yaitu pemberontakan
yang dipimpin oleh Ra Kuti. Akan tetapi pemberontakan tersebut bisa dipadamkan
oleh Gajah Mada dan ia berhasil menyelamatkan Jayanegara ke sebuah desa yang
bernama Badaran.Di desa tersebut Jayanegara berhasil dibunuh oleh seorang tabib
yang bernama Tancha ketika Jayanegara di operasi. Hal tersebut dikarenakan tabib
tersebut mempunyai dendam terhadap Jayanegara, dan kemudian tabib itu ditangkap
dan dibunuh oleh Gajah Mada.
Pada saat itu karena Jayanegara tidak mempunyai keturunan, maka pemerintahan
Majapahit digantikan oleh adiknya yang bernama Gayatri yang memiliki gelar
Tribuana Tunggadewi.  Dalam masa pemerintahannya tersebut ia hanya memimpin
Majapahit dari tahun 1328 sampai 1350.Selama masa kepemimpinannya juga terjadi
banyak sekali pemberontakan, tetapi pemberontakan tersebut bisa dipatahkan oleh
Gajah Mada. Atas jasanya tersebut, maka Gajah Mada kemudian diangkat menjadi
Mahapatih Majapahit. Setelah itu kemudian Gajah Mada mengucap sebuah sumpah
yang kemudian dikenal dengan “Sumpah Palapa”.Adapun bunyi dari sumpah palapa
tersebut adalah “Gajah Mada pantang bersenang-senang sebelum menyatukan
Nusantara”, tidak lama dari sumpah tersebut kemudian Tribuana Tunggadewi pun
meninggal pada tahun 1350 M. Setelah Tribuana Tunggadewi meninggal, kemudian
digantikan oleh Hayam Wuruk.
Di masa inilah Kerajaan Majapahit berada dalam masa kajayaannya. Yang mana
kerajaan tersebut hampir menaklukkan seluruh wilayah Nusantara.

2. Kehidupan Ekonomi
Dengan lokasi kerajaan yang
sangat strategis tersebut, saat
itu Kerajaan Majapahit dapat
menjadi pusat perdagangan
di tanah Jawa. Kerajaan
Majapahit merupakan salah
satu kerajaan yang mayoritas
masyarakatnya sebagai pedagang.
Selain berdagang, masyarakat Majapahit juga banyak yang yang menjadi pengrajin
emas, pengrajin perak dan lain-lain. Untuk komoditas ekspor dari kerajaan Majapahit
berupa barang alam seperti: lada, garam, kain serta burung kakak tua.
Sedangkan untuk komoditas impornya yaitu mutiara, emas, perak, keramik, serta
barang-barang yang terbuat dari besi. Selain itu dari segi mata uang, Kerajaan
Majapahit membuat mata uangnya dengan campuran perak, timah putih, timah hitam
serta tembaga.
Kemakmuran ekonomi dari Kerajaan Majapahit bisa dikatakan sebab adanya 2 faktor,
yaitu dari lembah sungai Brantas dan sungai Bengawan Solo yang berada di dataran
rendah jadi sangat cocok bertani. Berbagai sarana infrastruktur juga dibangun supaya
lebih memudahkan warganya dalam bertani seperti dibangunnya irigasi.
Faktor kedua yaitu dengan adanya pelabuhan-pelabuhan Majapahit yang berada di
pantai utara pulau Jawa memiliki peran dalam perdagangan remah-rempah dari
Maluku. Kerajaan Majapahit memakai sistem pungut pajak dari setiap kapal-kapal
yang mengadakan perjalanan ataupun singgah di pelabuhan Majapahit.
3. Kehidupan Kebudayaan
Kebudayaan masyarakat
Majapahit sudah termasuk
sangat maju pada masanya.
Hal tersebut ditandai dengan
adanya berbagai perayaan-perayaan keagamaan pada tiap tahunnya. Dibidang seni
dan sastra juga tidak kalah majunya, bahkan berperan di dalam kehidupan budaya di
Majapahit.
Menurut seorang pendeta dari Italia bernama Mattiusi dimana ia pernah menetap di
Majapahit, ia melihat bahwa Kerajaan Majapahit yang sangat luar biasa. Bahkan ia
sangat kagum dengan istana kerajaan yang sangat luas dan tangga serta bagian dalam
ruangan yang berlapiskan emas dan perak. Selain itu, menurutnya atapnya juga
bersepuh emas.

c) Sistem Pemerintahan Kerajaan Majapahit


Pada masa kepemimpinan Hayam Wuruk, semua sistem pemerintahan serta birokrasi
di Kerajaan Majapahit berjalan dengan teratur sesuai dengan yang telah ditentukan.
Sistem Birokrasi di Majapahit kala itu antara lain:
 Raja yang memimpin di kerajaan masa itu dianggap penjelmaan dewa oleh
masyarakat dan mempunyai hak tertinggi dalam kerajaan.
 Rakryan Mahamantri Kartini biasanya akan di jabat oleh putra-putra raja.
 Dharmadyaksa merupakan pejabat hukum di pemerintahan kerajaan.
 Dharmaupattati yaitu pejabat dibidang keagamaan dalam kerajaan.
Selain itu pembagian wilayah di dalam Kerajaan Majapahit juga dilakukan
dengan teratur yang disusun oleh Hayam Wuruk. Adapun pembagiannya
yaitu:
 Bhumi, yaitu kerajaan dengan raja sebagai pemimpinnya.
 Negara, yaitu setingkat dengan propinsi dengan pemimpinnya adalah raja
atau natha yang juga sering disebut dengan bhre.
 Watek, yaitu setingkat dengan kabupaten yang dipimpin oleh Wiyasa.
 Kuwu, yaitu setingkat dengan kelurahan yang pemimpinannya bernama
lurah.
 Wanua, yaitu setingkat dengan desa yang dipimpin oleh Thani.
 Kabuyutan, yaitu setingkat dengan dusun atau tempat-tempat sakral.
d) Raja raja KKerajaan Majapahit

Dalam sejarah Kerajaan Majapahit ada beberapa raja yang pernah memimpin di
Majapahit, di antaranya yaitu:
 Raden Wijaya (1293-1309)
Raden Wijaya merupakan pendiri Kerajaan Majapahit dan sekaligus raja
pertama Majapahit. Raden Wijaya naik tahta Kerajaan Majapahit dengan diberi
gelar Kertarajasa Jayawardhana. Pada masa kepemimpinan Raden Wijaya
tersebut merupakan masa awal Kerajaan Majapahit.
Raden Wijaya terlihat lebih mengutamakan melakukan konsolidasi serta
memperkuat pemerintahan. Hal tersebut perlu dilakukan sebab pada waktu awal
tersebut merupakan merupakan transisi dari kerajaan sebelumnya yaitu kerajaan
Singasari menuju kerajaan baru yakni Kerajaan Majapahit.
Beberapa strategi dilakukan oleh Raden Wijaya untuk memperkuat
pemerintahan, misalnya dengan menjadikan Majapahit  sebagai pusat
pemerintahan. Kemudian memberikan posisi penting terhadap para pengikut
setianya, serta menikahi keempat putri Kertanegara (raja Singasari). Raden
Wijaya meninggal tahun 1309 dan dimakamkan di Candi Sumberjati atau Candi
Simping.
 Jayanegara (1309-1328)
Jayanegara adalah raja kedua Majapahit. Jayanegara yaitu putra Raden Wijaya
tetapi dari selir. Sebab Raden Wijaya tidak mempunyai putra dari permaisuri,
maka Jayanegara yang merupakan putra dari selir tersebut yang kemudian
menjadi raja Majapahit.
Jayanegara memerintah kerajaan Majapahit di usia yang masih sangat muda
yaitu usia 15 tahun. Pemerintahan Jayanegara tidak kuat sehingga muncul
banyak pemberontakan. Dan pemberontakan tersebut di inisiasi oleh orang-
orang di lingkaran Istana Majapahit yang dahulunya adalah orang kepercayaan
ayahnya.
Pemberontakan tersebut di antaranya pemberontakan Ronggolawe,
pemberontakan Lembu Sura, Nambi, serta ada beberapa pemberontakan lainnya.
 Tribuana Tungga Dewi (1328-1350)
Raja berikutnya yaitu Tribuana Tungga dewi yaitu adik dari Jayanegara yang
merupakan seorang wanita, sebab Jayanegara meninggal dalam keadaan tidak
memiliki keturunan. Sebenarnya tahta Jayanegara diberikan kepada Gayatri atau
Rajapatni yang tak lain adalah permaisuri Raden Wijaya.
Namun karena Gayatri sudah menjadi Bhiksuni, maka diwakilkan kepada
putrinya yang bernama Tribuana Tungga dewi. Masa pemerintahan Tribuana
Tungga dewi tersebut dapat dikatakan sebagai awal kejayaan Kerajaan
Majapahit.
Meski masih ada beberapa pemberontakan di dalamnya, tetapi secara umum
berhasil ditumpas. Suami Tribuana Tungga dewi yaitu Cakradhara dan menjabat
sebagai Bhre Tumapel dengan gelar Kertawardana. Pemerintahan Tribuana
Tungga dewi lebih kuat lagi dengan adanya Mahapatih Gajah Mada.
Pada masa pemerintahan Tribuana Tungga dewi, Majapahit melakukan
perluasan kekuasaan besar-besaran di berbagai daerah di Nusantara.
 Hayam Wuruk (1350-1389)
Raja Majapahit selanjutnya yaitu Prabu Hayam Wuruk. Prabu Hayam Wuruk
merupakan raja yang berhasil membawa masa kejayaan Majapahit. Dengan
diawali oleh Tribuana Tungga dewi dalam ekspansi ke berbagai daerah,
selanjutnya Hayam Wuruk  menyempurnakan dengan tata kelola yang baik.
Gelar Hayam Wuruk yaitu Rajasanegara. Salah satu faktor penunjang
kesuksesan Hayam Wuruk di dalam memerintah Majapahit yaitu keberadaan
para pembantunya yang sangat mumpuni. Sebut saja Mahapatih Gajah Mada,
selanjutnya Adityawarman dan juga Mpu Nala.
Orang-orang tersebut mempunyai kapasitas yang sangat mumpuni dalam
menjalankan sebuah negara dalam mencapai kemajuan. Mpu Nala merupakan
sebagai pimpinan armada laut juga sangat mahir dalam menjalankan strategi.
Dengan kebesaran Kerajaan Majapahit, maka tak sulit bagi Majapahit untuk
menjalin kerjasama dengan beberapa kerajaan tetangga yang disebut dengan
Mitrekasatat.
 Kusumawardani-Wikramawardhana (1389-1399)
Raja selanjutnya yaitu Kusumawardani atau lebih tepatnya yaitu ratu Majapahit.
Kusumawardani dijadikan sebagai ratu di pusat Majapahit sedangkan putra laki-
laki dari selir Prabu Hayam Wuruk yaitu Bhre Wirabumi (Minak Jingga)
dijadikan sebagai raja kecil di Blambangan.
Bhre Wirabumi atau Minak Jingga tersebut menjadi raja di Blambangan tetapi
tetap berada di bawah kekuasaan Majapahit atau tetap tunduk kepada Majapahit.
 Suhita (1399-1429)
Setelah masa pemerintahan Kusumawardani berakhir, kemudian jatuh kepada
Suhita yaitu putra dari Wikramawardhana dengan selir. Dari sinilah selanjutnya
muncul konflik yang akan membawa kepada keruntuhan Majapahit.
Bhre Wirabumi atau Minak Jinggo merasa dirinya lebih berhak atas tahta
Kerajaan Majapahit daripada Suhita kemudian terjadi perang saudara yaitu
Perang Paregreg (1401-1406). Wirabumi akhirnya dibunuh oleh Damar Wulan.
Perang Paregreg tersebut kemudian membuat banyak daerah di bawah
kekuasaan Majapahit akhirnya memisahkan diri dan membuat Majapahit
semakin terpuruk.
 Bhre Tumapel (Kertawijaya)- (1447-1451)
 Rajasawardhana (1451—1453)
 Purwawisesa (1456-1466)
 Kartabumi (1466-1478)
Masa Kejayaan Kerajaan Majapahit.
Dengan dibantu Mahapatih Gajah Mada Hayam Wuruk hampir menaklukkan
seluruh wilayah Nusantara, dan menjadikan Majapahit sebagai kerajaan terbesar
serta terkuat pada masanya. Seiring dengan perkembangan zaman Kerajaan
Majapahit juga dapat menguasai wilayah luar Nusantara seperti Thailand,
Singapura dan Malaysia.
e) Runtuhnya Kerajaan Majapahit
Sejak sepeninggalan Mahapatih Gajah Mada serta Hayam Wuruk, Kerajaan Majapahit
mengalami kemunduran drastis. Apalagi saat itu ada banyak serangan dari kerajaan-
kerajaan Islam yang belum lama berdiri. Selain itu keruntuhan Kerajaan Majapahit
terjadi saat pemerintahan Patih Udara tahun 1518.

f) Peninggalan Kerajaan Majapahit


Selama pemerintahan kerajaan Majapahit telah meninggalkan peninggalan sejarah
yang berharga masa itu. Misalnya candi. Candi-candi peninggalan Majapahit yang
masih ada sampai sekarang antara lain:

Candi Tikus

Berada di situs arkeologi Trowulan yaitu


di Dukuh Mente, Desa Bejijong,
Kecamatan Trowulan Mojokerto Jawa
Timur. Dinamai candi tikus sebab saat di
temukan nya ada banyak sekali sarang
tikus-tikus liar.
Candi Brahu

Candi Brahu berada di tempat yang


sama dengan Candi tikus, yaitu di
kawasan situs arkeologi Trowulan.
Candi tersebut dibuat oleh Mpu Sendok
yang digunakan untuk pembakaran
jenazah para raja Majapahit.

Gapura Bajang Ratu


Diperkirakan candi tersebut dibangun pada abad ke 14 M. candi tersebut terletak di
Desa Temon Kecamatan Trowulan, Mojokerto Jawa Timur. Di dalam kitab
Negarakertagama, disebutkan bahwa candi Bajang Ratu berfungsi sebagai pintu
masuk untuk memasuki tempat suci pada saat itu untuk memperingati wafatnya raja
Jayanegara.
Gapura Wringin Lawang

Sebenarnya Gapura tersebut terbuat


dari bata merah setinggi 15,5 meter.
Gapura yang berada di Desa
Jatipasar, Kecamatan Trowulan,
Mojokerto Jawa Timur tersebut
bergaya yang hampir mirip dengan
Candi Bentar.
Candi Jabung

Candi Jabung berada di Desa Jabung


Kecamatan Paiton, Probolinggo Jawa
Timur. Meskipun hanya terbuat dari
susunan batu bata merah, candi
tersebut ternyata bisa bertahan cukup
lama.

8. Kerajaan Pajajaran
a) Sejarah Kerajaan Sunda
Kerajaan Sunda merupakan
kerajaan yang terletak di bagian
Barat pulau Jawa (provinsi
Banten, Jakarta, dan Jawa Barat
sekarang), antara tahun 932 dan
1579 Masehi. Berdasarkan sumber
sejarah berupa prasasti dan naskah-naskah berbahasa Sunda Kuno dikatakan bahwa
pusat kerajaan Sunda telah mengalami beberapa perpindahan.   Kerajaan Sunda (669–
1579 M), menurut naskah Wangsakerta merupakan kerajaan yang berdiri
menggantikan kerajaan Tarumanagara. Kerajaan Sunda didirikan oleh Tarusbawa
pada tahun 591 Caka Sunda (669 M). Menurut sumber sejarah primer yang berasal
dari abad ke-16, kerajaan ini merupakan suatu kerajaan yang meliputi wilayah yang
sekarang menjadi Provinsi Banten, Jakarta, Provinsi Jawa Barat , dan bagian barat
Provinsi Jawa Tengah.Berdasarkan naskah kuno primer Bujangga Manik (yang
menceriterakan perjalanan Bujangga Manik, seorang pendeta Hindu Sunda yang
mengunjungi tempat-tempat suci agama Hindu di Pulau Jawa dan Bali pada awal abad
ke-16), yang saat ini disimpan pada Perpustakaan Boedlian, Oxford University,
Inggris sejak tahun 1627), batas Kerajaan Sunda di sebelah timur adalah Ci Pamali
(“Sungai Pamali”, sekarang disebut sebagai Kali Brebes) dan Ci Serayu (yang saat ini
disebut Kali Serayu) di Provinsi Jawa Tengah.
Tome Pires (1513) dalam catatan perjalanannya, Suma Oriental (1513 – 1515),
menyebutkan batas wilayah Kerajaan Sunda di sebelah timur sebagai berikut:
“Sementara orang menegaskan bahwa kerajaan Sunda meliputi setengah pulau Jawa.
Sebagian orang lainnya berkata bahwa Kerajaan Sunda mencakup sepertiga Pulau
Jawa ditambah seperdelapannya lagi. Katanya, keliling Pulau Sunda tiga ratus legoa.
Ujungnya adalah Ci Manuk.”

b) Menurut Naskah Wangsakerta


Menurut Naskah Wangsakerta, wilayah Kerajaan
Sunda mencakup juga daerah yang saat ini menjadi
Provinsi Lampung melalui pernikahan antara keluarga
Kerajaan Sunda dan Lampung. Lampung dipisahkan
dari bagian lain kerajaan Sunda oleh Selat Sunda

Sebelum berdiri sebagai kerajaan yang mandiri, Sunda merupakan bawahan


Tarumanagara. Raja Tarumanagara yang terakhir, Sri Maharaja Linggawarman
Atmahariwangsa Panunggalan Tirthabumi (memerintah hanya selama tiga tahun,
666–669 M), menikah dengan Déwi Ganggasari dari Indraprahasta. Dari Ganggasari,
beliau memiliki dua anak, yang keduanya perempuan. Déwi Manasih, putri
sulungnya, menikah dengan Tarusbawa dari Sunda, sedangkan yang kedua,
Sobakancana, menikah dengan Dapuntahyang Sri Janayasa, yang selanjutnya
mendirikan kerajaan Sriwijaya.
 Setelah Linggawarman meninggal, kekuasaan Tarumanagara turun kepada
menantunya, Tarusbawa. Hal ini menyebabkan penguasa Galuh, Wretikandayun
(612–702) memberontak, melepaskan diri dari Tarumanagara, serta mendirikan
Kerajaan Galuh yang mandiri. Tarusbawa juga menginginkan melanjutkan kerajaan
Tarumanagara, dan selanjutnya memindahkan kekuasaannya ke Sunda, di hulu sungai
Cipakancilan dimana di daerah tersebut sungai Ciliwung dan sungai Cisadane
berdekatan dan berjajar, dekat Bogor saat ini.Sedangkan Tarumanagara diubah
menjadi bawahannya. Beliau dinobatkan sebagai raja Sunda pada hari Radite Pon, 9
Suklapaksa, bulan Yista, tahun 519 Saka (kira-kira 18 Mei 669 M). Sunda dan Galuh
ini berbatasan, dengan batas kerajaanya yaitu sungai Citarum (Sunda di sebelah barat,
Galuh di sebelah timur).Menurut Kitab Carita Parahyangan, Ibukota kerajaan Sunda
mula-mula di Galuh, kemudian menurut Prasasti Sanghyang Tapak yang ditemukan di
tepi sungai Cicatih, Cibadak Sukabumi, Isi dari prasasti itu tentang pembuatan daerah
terlarang di sungai itu yang ditandai dengan batu besar di bagian hulu dan hilirnya.
Oleh Raja Sri Jayabhupati, penguasa kerajaan Sunda.Di daerah larangan itu orang
tidak boleh menangkap ikan dan hewan yang hidup di sungai itu. Tujuannya mungkin
untuk menjaga kelestarian lingkungan (agar ikan dan lain-lainnya tidak punah) siapa
yang berani melanggar larangan itu, ia akan dikutuk oleh dewa-dewa. Kerajaan Sunda
beribu kota di Parahyangan Sunda.

c) Asal Mula Kerajaan Pajajaran (Sunda)


Sejarah menyebutkan bahwa awal
berdirinya Kerajaan Pajajaran ini adalah
pada tahun 923 dan pendirinya adalah Sri
Jayabhupati. Bukti-bukti ini didapat dari
Prasasti Sanghyang berumur 1030 Masehi
yang ada di Suka Bumi. Lebih lanjut,
rupanya Kerajaan Pajajaran ini didirikan
setelah perpecahan Kerajaan Galuh yang dipimpin oleh Rahyang Wastu. Saat
Rahyang Wastu meninggal maka Kerajaan Galuh terpecah menjadi dua.Satu dipimpin
oleh Dewa Niskala dan yang satunya lagi dipimpin oleh Susuktunggal. Meskipun
terpecah menjadi dua namun mereka memiliki derajat kedudukan yang sama.
Asal muasal Kerajaan Pajajaran dimulai dari runtuhnya Kerajaan Majapahit sekitar
tahun 1400 masehi. Saat itu Majapahit semakin lemah apalagi ditandai dengan
keruntuhan masa pemerintahan Prabu Kertabumi atau Brawijaya ke lima, sehingga
ada beberapa anggota kerajaan serta rakyat mereka yang mengungsi ke ibu kota Galuh
di Kawali, wilayah Kuningan, di mana masuk provinsi Jawa Barat. Wilayah ini
merupakan daerah kekusaaan dari Raja Dewa Niskala.Raja Dewa Niskala pun
menyambut para pengungsi dengan baik, bahkan kerabat dari Prabu Kertabumi yaitu
Raden Baribin dijodohkan dengan salah seorang putrinya. Tidak sampai di situ, Raja
Dewa Niskala juga mengambil istri dari salah seorang pengungsi anggota kerajaan.
Sayangnya, pernikahan antara Raja Dewa Niskala dengan anggota Kerajaan
Majapahit tidak disetujui oleh Raja Susuktunggal karena ada peraturan bahwa
pernikahan antara keturunan Sunda-Galuh dengan keturunan Kerajaan Majapahit
tidak diperbolehkan. Peraturan ini ada sejak peristiwa Bubat.Karena ketidaksetujuan
dari pihak Raja Susuktunggal terjadilah peperangan antara Susuktunggal dengan Raja
Dewa Niskala. Agar perang tidak terus menerus berlanjut maka Dewan Penasehat ke
dua kerajaan menyarankan jalan perdamaian. Jalan perdamaian tersebut ditempuh
dengan menunjuk penguasa baru sedangkan Raja Dewa Niskala dan Raja
Susuktunggal harus turun tahta.Kemudian ditunjuklah Jayadewata atau dikenal juga
dengan sebutan Prabu Siliwangi yang merupakan putra dari Dewa Niskala sekaligus
menantu dari Raja Susuktunggal. Jayadewata yang telah menjadi penguasa bergelar
Sri Baduga Maharaja memutuskan untuk menyatukan kembali ke dua kerajaan. Dari
persatuan ke dua kerajaan tersebut maka lahirlah Kerajaan Pajajaran pada tahun 1482.
Oleh sebab itu, lahirnya Kerajaan Pajajaran ini dihitung saat Sri Baduga Maharaha
berkuasa.

d) Sumber Sejarah
Dari catatan-catatan sejarah yang ada, baik dari prasasti, naskah kuno, maupun catatan
bangsa asing, dapatlah ditelusuri jejak kerajaan ini; antara lain mengenai wilayah
kerajaan dan ibukota Pakuan Pajajaran. Mengenai raja-raja Kerajaan Sunda yang
memerintah dari ibukota Pakuan Pajajaran, terdapat perbedaan urutan antara naskah-
naskah Babad Pajajaran, Carita Parahiangan, dan Carita Waruga Guru.

Selain naskah-naskah babad, Kerajaan Pajajaran juga meninggalkan sejumlah jejak


peninggalan dari masa lalu, seperti:
 Prasasti Batu Tulis, Bogor
 Prasasti Sanghyang Tapak, Sukabumi
 Prasasti Kawali, Ciamis
 Prasasti Rakyan Juru Pangambat
 Prasasti Horren
 Prasasti Astanagede
 Tugu Perjanjian Portugis (padrao), Kampung Tugu, Jakarta
 Taman perburuan, yang sekarang menjadi Kebun Raya Bogor
 Kitab cerita Kidung Sundayana dan Cerita Parahyangan
 Berita asing dari Tome Pires (1513) dan Pigafetta (1522)

1. Kehidupan Politik Kerajaan Sunda


Menurut Tome Pires, kerajaan Sunda diperintah oleh Seorang raja. Raja tersebut
berkuasa atas raja-raja di daerah yang dipimpinnya. Tahta kerajaan diberikan secara
turun temurun kepada anaknya. Akan tetapi, apabila raja tidak memiliki anak maka
yang menggantikannya adalah salah seorang raja daerah berdasarkan hasil
pemilihannya.Akibat sumber-sumber sejarah yang sangat terbatas, aspek kehidupan
politik tentang Kerajaan Sunda/Pajajaran hanya sedikit saja yang diketahui. Aspek
kehidupan politik yang diketahui terbatas pada perpindahan pusat pemerintahan dan
pergantian takhta raja. Secara berurutan pusat-pusat kerajaan itu adalah Galuh,
Prahajyan Sunda, Kawali, dan Pakwan Pajajaran.

1. Kerajaan Galuh

Sejarah di Jawa
Barat setelah
Tarumanegara
tidak banyak
diketahui.
Kegelapan itu sedikit tersingkap oleh Prasasti Canggal yang ditemukan di
Gunung Wukir, Jawa Tengah berangka tahun 732 M. Prasasti Canggal
dibuat oleh Sanjaya sebagai tanda kebesaran dan kemenangannya. Prasasti
Canggal menyebutkan bahwa Sanjaya adalah anak Sanaha, saudara
perempuan Raja Sanna. Dalam kitab Carita Parahyangan juga disebutkan
nama Sanjaya. Menurut versi kitab Carita Parahyangan, Sanjaya adalah
anak Raja Sena yang berkuasa di Kerajaan Galuh.

2. Pusat Kerajaan Prahajyan Sunda


Nama Sunda
muncul lagi pada
Prasasti Sahyang
Tapak yang
ditemukan di
Pancalikan dan
Bantarmuncang daerah Cibadak, Sukabumi. Prasasti itu berangka tahun
952 Saka (1030 M), berbahasa Jawa Kuno dengan huruf Kawi. Nama
tokoh yang disebut adalah Maharaja Sri Jayabhupati Jayamanahen
Wisnumurti Samarawijaya Sakalabhuwanaman-daleswaranindita Haro
Gowardhana Wikramottunggadewa, sedangkan daerah kekuasaannya
disebut Prahajyan Sunda.

3. Pusat Kerajaan Kawali


Pada zaman
pemerintahan
siapa pusat
Kerajaan Sunda
mulai berada di
Kawali tidak
diketahui secara pasti. Akan tetapi, menurut prasasti di Astanagede
(Kawali), diketahui bahwa setidak-tidaknya pada masa pemerintahan
Rahyang Niskala Wastu Kancana pusat kerajaan sudah berada di situ.
Istananya bernama Surawisesa. Raja telah membuat selokan di sekeliling
keraton dan mendirikan perkampungan untuk rakyatnya.

4. Pusat Kerajaan Pakwan Pajajaran


Setelah Raja Rahyang Ningrat Kancana jatuh, takhtanya digantikan oleh
putranya, Sang Ratu Jayadewata. Pada Prasasti Kebantenan, Jayadewata
disebut sebagai yang kini menjadi Susuhunan di Pakwan Pajajaran. Pada
Prasasti Batutulis Sang Jayadewata disebut dengan nama Prabu
Dewataprana Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakwan Pajajaran Sri
Sang Ratu Dewata.Sejak pemerintahan Sri Baduga Maharaja, pusat
kerajaan beralih dari Kawali ke Pakwan Pajajaran yang dalam kitab Carita
Parahyangan disebut Sri Bima Unta Rayana Madura Suradipati. Menurut
kitab Carita Parahyangan, raja menjalankan pemerintahan berdasarkan
kitab hukum yang berlaku sehingga terciptalah keadaan aman dan
tenteram, tidak terjadi kerusuhan atau perang.

Daftar Raja Pajajaran


 Sri Baduga Maharaja (1482 – 1521), bertahta di Pakuan (Bogor sekarang)
 Surawisesa (1521 – 1535), bertahta di Pakuan
 Ratu Dewata (1535 – 1543), bertahta di Pakuan
 Ratu Sakti (1543 – 1551), bertahta di Pakuan
 Ratu Nilakendra (1551-1567), meninggalkan Pakuan karena serangan
Hasanudin dan anaknya, Maulana Yusuf
 Raga Mulya (1567 – 1579), dikenal sebagai Prabu Surya Kencana,
memerintah dari PandeglangMaharaja Jayabhupati (Haji-Ri-Sunda)
 Rahyang Niskala Wastu Kencana
 Rahyang Dewa Niskala (Rahyang Ningrat Kencana)
 Sri Baduga MahaRaja
 Hyang Wuni Sora
 Ratu Samian (Prabu Surawisesa)
 dan Prabu Ratu Dewata.

2. Kehidupan Sosial Kerajaan Sunda


Berdasarkan kitab Sanghyang Siksakandang Karesian, kehidupan sosial masyarakat
Kerajaan Sunda dapat dibagi menjadi beberapa kelompok, antara lain sebagai berikut.

1. Kelompok Rohani dan Cendekiawan


Kelompok rohani dan cendekiawan adalah kelompok masyarakat yang
mempunyai kemampuan di bidang tertentu. Misalnya, brahmana yang
mengetahui berbagai macam mantra, pratanda yang mengetahui berbagai
macam tingkat dan kehidupan keagamaan, dan janggan yang mengetahui
berbagai macam pemujaan, memen yang mengetahui berbagai macam cerita,
paraguna mengetahui berbagai macam lagu atau nyanyian, dan prepatun yang
memiliki berbagai macam cerita pantun.

2. Kelompok Aparat Pemerintah


Kelompok masyarakat sebagai alat pemerintah (negara), misalnya bhayangkara
(bertugas menjaga keamanan), prajurit (tentara), hulu jurit (kepala prajurit).

3. Kelompok Ekonomi
Kelompok ekonomi adalah orang-orang yang melakukan kegiatan ekonomi.
Misalnya, juru lukis (pelukis), pande mas (perajin emas), pande dang (pembuat
perabot rumah tangga), pesawah (petani), dan palika (nelayan).Kehidupan
masyarakat Kerajaan Sunda adalah peladang, sehingga sering berpindah-pindah.
Oleh karena itu, Kerajaan Sunda tidak banyak meninggalkan bangunan yang
permanen, seperti keraton, candi atau prasasti. Candi yang paling dikenal dari
Kerajaan Sunda adalah Candi Cangkuang yang berada di Leles, Garut, Jawa
Barat.

3. Kehidupan Ekonomi Kerajaan Sunda


Kerajaan Sunda adalah kerajaan yang masyarakatnya hidup dari pertanian, hasil
pertaniannya menjadi pokok bagi pendapat kerajaan. Aneka hasil pertanian seperti
lada, asam, beras, sayur mayur dan buah-buahan banyak dihasilkan masyarakat
kerajaan Sunda, selain itu, ada juga golongan peternak Sapi, kambing, biri-biri dan
babi adalah hewan yang banyak diperjualbelikan di bandar-bandar pelabuhan kerajaan
Sunda.Menurut Tom Pires, kerajaan Sunda memiliki enam buah pelabuhan penting
yang masing-masing di kepalai oleh seorang Syahbandar. mereka bertanggungjawab
kepada raja dan bertindak atas nama raja di masing-masing pelabuhan, Banten,
Pontang, Cigede, Tomgara, Kalapa dan Cimanuk adalah pelabuhan-pelabuhan yang
dimiliki kerajaan Sunda.
4. Kehidupan Budaya Kerajaan Sunda
Kitab carita Parahyangan dan serta Dewabuda memberi petunjuk bahwa masyarakat
kerajaan Sunda banyak mendapat pengaruh budaya Hindu dan Budha. Kedua budaya
itu selanjutnya berbaur dengan unsur budaya leluhur yang telah ada
sebelumnya.Kerajaan Sunda merupakan kerajaan pecahan dari kerajaan
tarumanegara. Kerajaan Sunda beribu kota di Parahyangan Sunda. Sementara itu
menurut prasasti Astana Gede (Kawali – Ciamis) ibu kota kerajaan Sunda berada di
Pakwan Pajajaran.Mengenai perpindahan kerajaan ini tak diketahui alasannya. Akan
tetapi, hal-hal yang bersifat ekonomi, keamanan, politik, atau bencana alam lazim
menjadi alasan perpindahan pusat ibu kota suatu kerajaan. Kerajaan Sunda menguasai
daerah Jawa Barat untuk waktu yang lama, diantara rajanya, yang terkenal adalah
Jaya Bhupati dan Sri Baduga Maharaja.

e) Wilayah Kekuasaan dan Historiografi


Berdasarkan naskah kuno primer Bujangga Manik, seorang pendeta Hindu Sunda
yang mengunjungi tempat-tempat suci agama Hindu di Pulau Jawa dan Bali pada
awal abad ke-16, (yang saat ini disimpan pada Perpustakaan Boedlian, Oxford
University, Inggris sejak tahun 1627),Batas Kerajaan Sunda di sebelah timur adalah
Ci Pamali (“Sungai Pamali”, sekarang disebut sebagai Kali Brebes) dan Ci Serayu
(yang saat ini disebut Kali Serayu) di Provinsi Jawa Tengah. Menurut Naskah
Wangsakerta, wilayah Kerajaan Sunda mencakup juga daerah yang saat ini menjadi
Provinsi Lampung melalui pernikahan antara keluarga Kerajaan Sunda dan Lampung.
Lampung dipisahkan dari bagian lain kerajaan Sunda oleh Selat Sunda.

 Prasasti Kawali di Kabuyutan Astana Gedé, Kawali, Ciamis.


Sapeninggal Prabu Bunisora, kekuasaan kembali lagi ke putra Linggabuana,
Niskalawastukancana, yang kemudian memimpin selama 104 tahun (1371-1475).
Dari isteri pertama, Nay Ratna Sarkati, ia mempunyai putera Sang Haliwungan (Prabu
Susuktunggal), yang diberi kekuasaan bawahan di daerah sebelah barat Citarum
(daerah asal Sunda).

Prabu Susuktunggal yang berkuasa dari Pakuan Pajajaran, membangun pusat


pemerintahan ini dengan mendirikan keraton Sri Bima Punta Narayana Madura
Suradipati. Pemerintahannya terbilang lama (1382-1482), sebab sudah dimulai saat
ayahnya masih berkuasa di daerah timur. Dari Nay Ratna Mayangsari, istrinya yang
kedua, ia mempunyai putera Ningratkancana (Prabu Déwaniskala), yang meneruskan
kekuasaan ayahnya di daerah Galuh (1475-1482). Susuktunggal dan Ningratkancana
menyatukan ahli warisnya dengan menikahkan Jayadéwata (putra Ningratkancana)
dengan Ambetkasih (putra Susuktunggal).
Tahun 1482, kekuasaan Sunda dan Galuh disatukan lagi oleh Jayadéwata, yang
bergelar Sri Baduga Maharaja. Sapeninggal Jayadéwata, kekuasaan Sunda-Galuh
turun ke putranya, Prabu Surawisésa (1521-1535), kemudian Prabu
Déwatabuanawisésa (1535-1543), Prabu Sakti (1543-1551), Prabu Nilakéndra (1551-
1567), serta Prabu Ragamulya atau Prabu Suryakancana (1567-1579). Prabu
Suryakancana ini merupakan pemimpin kerajaan Sunda-Galuh yang terakhir, sebab
setelah beberapa kali diserang oleh pasukan Maulana Yusuf dari Kesultanan Banten,
mengakibatkan kekuasaan Prabu Surya Kancana dan Kerajaan Pajajaran runtuh.

 Padrão Sunda Kalapa


Padrão Sunda Kalapa (1522), sebuah pilar batu untuk memperingati perjanjian Sunda-
Portugis, Museum Nasional Indonesia, Jakarta. Rujukan awal nama Sunda sebagai
sebuah kerajaan tertulis dalam Prasasti Kebon Kopi II tahun 458 Saka (536 Masehi) .
Prasasti itu ditulis dalam aksara Kawi, namun, bahasa yang digunakan adalah bahasa
Melayu Kuno. Prasasti ini terjemahannya sebagai berikut: Batu peringatan ini adalah
ucapan Rakryan Juru Pangambat, pada tahun 458 Saka, bahwa tatanan pemerintah
dikembalikan kepada kekuasaan raja Sunda. Beberapa orang berpendapat bahwa
tahun prasasti tersebut harus dibaca sebagai 854 Saka (932 Masehi) karena tidak
mungkin Kerajaan Sunda telah ada pada tahun 536 AD, di era Kerajaan
Tarumanagara (358-669 AD ).

 Prasasti Sanghyang Tapak


Terdiri dari 40 baris yang ditulis pada 4 buah batu. Empat batu ini ditemukan di tepi
sungai Cicatih di Cibadak, Sukabumi. Prasasti-prasasti tersebut ditulis dalam bahasa
Kawi. Tanggal prasasti ini diperkirakan 11 Oktober 1030. Menurut Pustaka
Nusantara, Parwa III sarga 1, Sri Jayabupati memerintah selama 12 tahun (952-964)
saka (1030 – 1042AD). Sekarang keempat prasasti tersebut disimpan di Museum
Nasional Jakarta, dengan kode D 73 (Cicatih), D 96, D 97 dan D 98. Isi prasasti
(menurut Pleyte): Perdamaian dan kesejahteraan. Pada tahun Saka 952 (1030 M),
bulan Kartika pada hari 12 pada bagian terang, hari Hariang, Kaliwon, hari pertama,
wuku Tambir. Hari ini adalah hari ketika raja Sunda Maharaja Sri Jayabupati
Jayamanahen Wisnumurti SamarawijayaSakalabuwanamandaleswaranindita Haro
Gowardhana Wikramattunggadewa, membuat tanda pada bagian timur Sanghiyang
Tapak ini. Dibuat oleh Sri Jayabupati Raja Sunda. Dan tidak ada seorang pun yang
diperbolehkan untuk melanggar aturan ini. Dalam bagian sungai dilarang menangkap
ikan, di daerah suci Sanghyang Tapak dekat sumber sungai. Sampai perbatasan
Sanghyang Tapak ditandai oleh dua pohon besar.
Jadi tulisan ini dibuat, ditegakkan dengan sumpah. Siapa pun yang melanggar aturan
ini akan dihukum oleh makhluk halus, mati dengan cara mengerikan seperti otaknya
disedot, darahnya diminum, usus dihancurkan, dan dada dibelah dua.

 Prasasti Batutulis
Keterangan tentang Raja Sri Baduga dapat kita jumpai
dalam prasasti Batutulis yang ditemukan di Bogor. Ia
adalah putra dari Ningrat Kancana. Sri Baduga
merupakan raja yang besar. Ia membuat sebuah telaga
yang diberi nama Telaga Rena Mahawijaya. Ia
memerintahkan membangun parit di sekeliling ibukota
kerajaannya yang bernama Pakwan Pajajaran. Raja Sri
Baduga memerintah berdasarkan kitab hukum yang berlaku saat itu sehingga kerajaan
menjadi aman dan tenteram.

f) Raja-Raja Kerajaan Sunda


Raja-raja yang pernah memimpin Kerajaan Sunda menurut naskah Pangeran
Wangsakerta (waktu berkuasa dalam tahun Masehi):
1. Tarusbawa (menantu Linggawarman, 669 – 723)
2. Harisdarma, atawa Sanjaya (menantu Tarusbawa, 723 – 732)
3. Tamperan Barmawijaya (732 – 739)
4. Rakeyan Banga (739 – 766)
5. Rakeyan Medang Prabu Hulukujang (766 – 783)
6. Prabu Gilingwesi (menantu Rakeyan Medang Prabu Hulukujang, 783 – 795)
7. Pucukbumi Darmeswara (menantu Prabu Gilingwesi, 795 – 819)
8. Rakeyan Wuwus Prabu Gajah Kulon (819 – 891)
9. Prabu Darmaraksa (adik ipar Rakeyan Wuwus, 891 – 895)
10. Windusakti Prabu Déwageng (895 – 913)
11. Rakeyan Kamuning Gading Prabu Pucukwesi (913 – 916)
12. Rakeyan Jayagiri (menantu Rakeyan Kamuning Gading, 916 – 942)
13. Atmayadarma Hariwangsa (942 – 954)
14. Limbur Kancana (putera Rakeyan Kamuning Gading, 954 – 964)
15. Munding Ganawirya (964 – 973)
16. Rakeyan Wulung Gadung (973 – 989)
17. Brajawisésa (989 – 1012)
18. Déwa Sanghyang (1012 – 1019)
19. Sanghyang Ageng (1019 – 1030)
20. Sri Jayabupati (Detya Maharaja, 1030 – 1042)
21. Darmaraja (Sang Mokténg Winduraja, 1042 – 1065)
22. Langlangbumi (Sang Mokténg Kerta, 1065 – 1155)
23. Rakeyan Jayagiri Prabu Ménakluhur (1155 – 1157)
24. Darmakusuma (Sang Mokténg Winduraja, 1157 – 1175)
25. Darmasiksa Prabu Sanghyang Wisnu (1175 – 1297)
26. Ragasuci (Sang Mokténg Taman, 1297 – 1303)
27. Citraganda (Sang Mokténg Tanjung, 1303 – 1311)
28. Prabu Linggadéwata (1311-1333)
29. Prabu Ajiguna Linggawisésa (1333-1340)
30. Prabu Ragamulya Luhurprabawa (1340-1350)
31. Prabu Maharaja Linggabuanawisésa (yang gugur dalam Perang Bubat, 1350-1357)
32. Prabu Bunisora (1357-1371)
33. Prabu Niskalawastukancana (1371-1475)
34. Prabu Susuktunggal (1475-1482)
35. Jayadéwata (Sri Baduga Maharaja, 1482-1521)
36. Prabu Surawisésa (1521-1535)
37. Prabu Déwatabuanawisésa (1535-1543)
38. Prabu Sakti (1543-1551)
39. Prabu Nilakéndra (1551-1567)
40. Prabu Ragamulya atau Prabu Suryakancana (1567-1579)
g) Peninggalan Kerajaan Sunda
1. Prasasti Cikapundung
Prasasti ini ditemukan warga di sekitar
sungai Cikapundung, Bandung pada 8
Oktober 2010. Batu prasasti bertuliskan
huruf Sunda kuno tersebut diperkirakan
berasal dari abad ke-14. Selain huruf
Sunda kuno, pada prasasti itu juga
terdapat gambar telapak tangan, telapak kaki, dan wajah. Hingga kini para peneliti
dari Balai Arkeologi masih meneliti batu prasasti tersebut.Batu prasasti yang
ditemukan tersebut berukuran panjang 178 cm, lebar 80 cm, dan tinggi 55 cm. Pada
prasasti itu terdapat gambar telapak tangan, telapak kaki, wajah, dan dua baris huruf
Sunda kuno bertuliskan “unggal jagat jalmah hendap”, yang artinya semua manusia di
dunia akan mengalami sesuatu. Peneliti utama Balai Arkeologi Bandung, Lutfi Yondri
mengungkapkan, prasasti yang ditemukan tersebut dinamakan Prasasti Cikapundung.
2. Prasasti Pasir Datar
Prasasti Pasir Datar ditemukan di
Perkebunan Kopi di Pasir Datar, Cisande,
Sukabumi pada tahun 1872 . Prasasti ini
sekarang disimpan di Museum Nasional
Jakarta. Prasasti yang terbuat dari batu alah
ini hingga kini belum ditranskripsi
sehingga belum diketahui isinya.
3. Prasasti Huludayeuh
Prasasti Huludayeuh berada di tengah
persawahan di kampung Huludayeuh, Desa
Cikalahang, Kecamatan Sumber dan setelah
pemekaran wilayang menjadi Kecamatan
Dukupuntang – Cirebon
 Penemuan
Prasasti Huludayeuh telah lama diketahui oleh
penduduk setempat namun di kalangan para ahli sejarah dan arkeologi baru diketahui
pada bulan September 1991. Prasasti ini diumumkan dalam media cetak Harian
Pikiran Rakyat pada 11 September 1991 dan Harian Kompas pada 12 September
1991.
 Isi
Prasasti Huludayeuh berisi 11 baris tulisan beraksa dan berbahasa Sunda Kuno, tetapi
sayang batu prasasti ketika ditemukan sudah tidak utuh lagi karena beberapa batunya
pecah sehingga aksaranya turut hilang. Begitupun permukaan batu juga telah sangat
rusak dan tulisannya banyak yang turut aus sehingga sebagian besar isinya tidak dapat
diketahui. Fragmen prasasti tersebut secara garis besar mengemukakan tentang Sri
Maharaja Ratu Haji di Pakwan Sya Sang Ratu Dewata yang bertalian dengan usaha-
usaha memakmurkan negrinya.

4. Prasasti Perjanjian Sunda-Portugis


Prasasti Perjanjian Sunda-Portugis adalah sebuah
prasasti berbentuk tugu batu yang ditemukan pada
tahun 1918 di Jakarta.. Prasasti ini menandai
perjanjian Kerajaan Sunda–Kerajaan Portugal yang
dibuat oleh utusan dagang Portugis dari Malaka yang
dipimpin Enrique Leme dan membawa barang-barang
untuk “Raja Samian” (maksudnya Sanghyang, yaitu
Sang Hyang Surawisesa, pangeran yang menjadi
pemimpin utusan raja Sunda). Prasasti ini didirikan di atas tanah yang ditunjuk
sebagai tempat untuk membangun benteng dan gudang bagi orang Portugis.
Prasasti ini ditemukan kembali ketika dilakukan penggalian untuk membangun
fondasi gudang di sudut Prinsenstraat (sekarang Jalan Cengkeh) dan Groenestraat
(Jalan Kali Besar Timur I), sekarang termasuk wilayah Jakarta Barat. Prasasti tersebut
sekarang disimpan di Museum Nasional Republik Indonesia, sementara sebuah
replikanya dipamerkan di Museum Sejarah Jakarta

5. Prasasti Ulubelu
Prasasti Ulubelu adalah salah satu dari prasasti yang diperkirakan merupakan
peninggalan Kerajaan Sunda dari abad ke-15 M, yang ditemukan di Ulubelu, Desa
Rebangpunggung, Kotaagung,Lampung pada tahun 1936.Meskipun ditemukan di
daerah lampung (Sumatera bagian selatan), ada sejarawan yang menganggap aksara
yang digunakan dalam prasasti ini adalah aksara Sunda Kuno, sehingga prasasti ini
sering dianggap sebagai peninggalan Kerajaan Sunda. Anggapan sejarawan tersebut
didukung oleh kenyataan bahwa wilayah Kerajaan Sunda mencakup juga wilayah
Lampung. Setelah Kerajaan Sunda diruntuhkan oleh Kesultanan Banten maka
kekuasaan atas wilayah selatan Sumatera dilanjutkan oleh Kesultanan Banten. Isi
prasasti berupa mantra permintaan tolong kepada kepada dewa-dewa utama, yaitu
Batara Guru (Siwa), Brahma, dan Wisnu, serta selain itu juga kepada dewa penguasa
air, tanah, dan pohon agar menjaga keselamatan dari semua musuh.

6. Prasasti Kebon Kopi II


Prasasti Kebonkopi II atau Prasasti Pasir Muara peninggalan kerajaan Sunda-Galuh
ini ditemukan tidak jauh dari Prasasti Kebonkopi I yang merupakan peninggalan
kerajaan tarumanegara dan dinamakan demikian untuk dibedakan dari prasasti
pertama.Namun sayang sekali prasasti ini sudah hilang dicuri sekitar tahun 1940-an.
Pakar F. D. K. Bosch, yang sempat mempelajarinya, menulis bahwa prasasti ini
ditulis dalam bahasa Melayu Kuno, menyatakan seorang “Raja Sunda menduduki
kembali tahtanya” dan menafsirkan angka tahun peristiwa ini bertarikh 932 Masehi.
Prasasti Kebonkopi II ditemukan di Kampung Pasir Muara, desa Ciaruteun Ilir,
Cibungbulang, Bogor, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, pada abad ke-19 ketika
dilakukan penebangan hutan untuk lahan perkebunan kopi. Prasasti ini terletak kira-
kira 1 km dari batu prasasti Prasasti Kebonkopi I (Prasasti Tapak Gajah).

7. Situs Karangkamulyan
Situs Karangkamulyan adalah sebuah situs
yang terletak di Desa Karangkamulyan,
Ciamis, Jawa Barat. Situs ini merupakan
peninggalan dari zaman Kerajaan Galuh
yang bercorak Hindu-Buddha. Legenda situs
Karangkamulyan berkisah tentang Ciung
Wanara yang berhubungan dengan Kerajaan Galuh. Cerita ini banyak dibumbui
dengan kisah kepahlawanan yang luar biasa seperti kesaktian dan keperkasaan yang
tidak dimiliki oleh orang biasa namun dimiliki oleh Ciung Wanara.Kawasan yang
luasnya kurang lebih 25 Ha ini menyimpan berbagai benda-benda yang diduga
mengandung sejarah tentang Kerajaan Galuh yang sebagian besar berbentuk batu.
Batu-batu ini letaknya tidaklah berdekatan tetapi menyebar dengan bentuknya yang
berbeda-beda. Batu-batu ini berada di dalam sebuah bangunan yang strukturnya
terbuat dari tumpukan batu yang bentuknya hampir sama. Struktur bangunan ini
memiliki sebuah pintu sehingga menyerupai sebuah kamar.Batu-batu yang ada di
dalam struktur bangunan ini memiliki nama dan menyimpan kisahnya sendiri, begitu
pula di beberapa lokasi lain yang berada di luar struktur batu. Masing-masing nama
tersebut merupakan pemberian dari masyarakat yang dihubungkan dengan kisah atau
mitos tentang kerajaan Galuh seperti pangcalikan atau tempat duduk, lambang
peribadatan, tempat melahirkan, tempat sabung ayam dan Cikahuripan.

g) Masa Kejayaan dan Keruntuhan


Sejarah Kerajaan Pajajaran saat Mengalami Masa Kejayaan
Masa-masa di mana Kerajaan Pajajaran mengalami kejayaan adalah pada saat
pemerintahan Prabu Siliwangi atau Sri Baduga Maharaha. Bahkan sampai sekarang
masa keemasan Prabu Siliwangi masih teringat di hati rakyat Jawa Barat.

Sri Baduga Maharaha pada masa kejayaannya membangun sebuah telaga besar yang
dia beri nama Maharena Wijaya. Selain itu, dia juga berhasil membangun sebuah
jalan yang menghubungkan antara ibu kota dengan wilayah Wanagiri. Dari sana Sri
Baduga Maharaha membangun banyak aspek Spiritual seperti menyarankan agar
kegiatan-kegiatan agama dilakukan di tengah-tengah masyarakat.Selain itu, dia juga
membangun asrama para prajurit, kaputren, tempat pagelaran, memperkuat benteng
pertahanan, merencanakan dan mengatur masalah upeti, dan menyusun peraturan atau
undang-undang kerajaan.Semua kegiatan dan pembangunan yang dilakukan oleh Sri
Baduga Maharaha ini terukir di dalam dua buah prasasti bersejarah yaitu prasasti
Batutulis dan Prasasti Kabantenan. Di sana di tulis tentang bagaimana Sri Baduga
Maharaha membangun seluruh aspek kehidupan kerajaannya. Sejarah tersebut pun
diceritakan dengan pantun dan kisah Babad.

h) Sejarah Kerajaan Pajajaran saat Mengalami Masa Keruntuhan


Tercatat bahwa Kerajaan Pajajaran ini runtuh pada tahun 1579. Keruntuhan Pajajaran
lebih banyak disebabkan oleh penyerangan yang dilakukan oleh Kasultanan Banten.
Selain itu, keruntuhan ini ditandai oleh tahta atau singgasana Raja yang disebut
Palangka Sriman Sriwacana dibawa oleh pasukan Maulana Yusuf dari Kerajaan
Pajajaran ke Kraton Surosowan.Pemboyongan singgasana raja ini dilakukan sebagai
tradisi sekaligus sebagai tanda bahwa tidak mungkin ada raja baru lagi yang bisa
dinobatkan di Kerajaan Pajajaran. Akhirnya, Maulana Yusuf lah yang berkuasa di
wilayah-wilayah Kerajaan Sunda. Jika Anda menengok bekas Kraton Surosowan di
Banten, maka Anda bisa melihat terdapat reruntuhan Palang Sriman Sriwacana yang
telah diboyong oleh Maulana Yusuf. Reruntuhan batu tersebut di sebut oleh
masyarakat Banten sebagai Watu Gilang yang berarti berseri atau mengkilap
9.Kerajaan Buleleng dan Dinasti Warmadewa di Bali
i) Berdirinya Kerajaan Buleleng

Kerajaan Buleleng adalah suatu kerajaan di Bali utara. Kerajaan ini didirikan sekitar


pertengahan abad ke-17. Kerajaan ini dibangun oleh I Gusti Anglurah Panji Sakti dari
Wangsa Kepakisan  (panji sakti) dengan cara menyatukan seluruh wilayah-wilayah
Bali Utara yang sebelumnya dikenal dengan nama Den Bukit.

j) Sejarah Berdirinya Kerajaan Buleleng

I Gusti Anglurah Panji Sakti, yang sewaktu kecil bernama I Gusti Gede Pasekan
adalah putra I Gusti Ngurah Jelantik dari seorang selir bernama Ni Luh Pasek berasal
dari Desa Panji wilayah Den Bukit. I Gusti Panji memiliki kekuatan supra natural dari
lahir. I Gusti Ngurah Jelantik merasa khawatir kalau I Gusti Ngurah Panji kelak akan
menyisihkan putra mahkota. Dengan cara halus I Gusti Ngurah Panji yang masih
berusia 12 tahun disingkirkan ke Den Bukit, ke desa asal ibunya, Desa Panji. I Gusti
Ngurah Panji menguasai wilayah Den Bukit dan menjadikannya Kerajaan Buleleng,
yang kekuasaannya pernah meluas sampai ke ujung timur pulau Jawa (Blambangan).
Setelah I Gusti Ngurah Panji Sakti wafat pada tahun 1704, Kerajaan Buleleng mulai
goyah karena putra-putranya punya pikiran yang saling berbeda.

 Kerajaan Buleleng
Kerajaan Buleleng tahun 1732 dikuasai Kerajaan Mengwi namun kembali merdeka
pada tahun 1752. Selanjutnya jatuh ke dalam kekuasaan raja Karangasem 1780. Raja
Karangasem, I Gusti Gde Karang membangun istana dengan nama Puri Singaraja.
Raja berikutnya adalah putranya bernama I Gusti Pahang Canang yang berkuasa
sampai 1821. Kekuasaan Karangasem melemah, terjadi beberapa kali pergantian raja.
Tahun 1825 I Gusti Made Karangsem memerintah dengan Patihnya I Gusti Ketut
Jelantik sampai ditaklukkan Belanda tahun 1849. Pada tahun 1846 Buleleng diserang
pasukan Belanda, tetapi mendapat perlawanan sengit pihak rakyat Buleleng yang
dipimpin oleh Patih / Panglima Perang I Gusti Ketut Jelantik.Pada tahun
1848 Buleleng kembali mendapat serangan pasukan angkatan laut Belanda di Benteng
Jagaraga. Pada serangan ketiga, tahun 1849 Belanda dapat menghancurkan benteng
Jagaraga dan akhirnya Buleleng dapat dikalahkan Belanda. Sejak itu Buleleng
dikuasai oleh pemerintah kolonial Belanda.
 Kisah dari sosok Ki Barak
Kisah dari hasil hubungan gelap antara Dalem Sagening (Raja Gelgel= I Gusti
Ngurah Jelantik) dengan pembantu istana yang bernama Ni Luh Pasek. Bayi
tersebut lahir tahun 1599 M kemudian dinamakan Ki Barak karena ketika lahir
seluruh tubuhnya berwarna merah darah (keajaiban fisik serta kekuatan magis
terpancar dari anak itu dalam pertumbuhan selanjutnya). Untuk menutupi
aibnya, anak tersebut diserahkan kepada I Gusti Jelantik Bogol sebagai anak
angkat, kemudia Ki Barak di kasih nama “Gusti Gede Kepasekan”. Dalem
Sagening khawatir bila keperkasaan Gusti Gede Kepasekan dapat menyaingi
putra mahkota I Dewa Dimade. Maka tahun 1611 Gusti Gede Kepasekan
(umur 12 tahun) di buang ke Den Bukit bersama ibunya (Ni Luh Pasek). 5
tahun kemudian tepatnya tahun 1616 tepat usia 17 tahun Ki Barak berhasil
membunuh penguasa Den Bukit (Pungakan Gendis). Sejak saat itu, ia
dinobatkan menjadi Raja dengan Gelar “I Gusti Anglurah Panji Sakti”.
Wilayah kerajaan pada saat dia menjadi raja wilayahnya membentang dari
Gilimanuk sampai ke menguwi di selatan dan blambangan (Jawa) kerajaan
tersebut terkenal dengan nama “BULELENG”

k) Raja-Raja Buleleng
 Wangsa Panji Sakti
 Gusti Anglurah Panji Sakti
 Gusti Panji Gede Danudarastra
 Gusti Alit Panji
 Gusti Ngurah Panji
 Gusti Ngurah Jelantik
 Gusti Made Singaraja
 Wangsa Karangasem
 Anak Agung Rai
 Gusti Gede Karang
 Gusti Gede Ngurah Pahang
 Gusti Made Oka Sori
 Gusti Ngurah Made Karangasem
 Wangsa Panji Sakti
 Gusti Made Rahi
 Gusti Ketut Jelantik
 Anak Agung Putu Jelantik
 Anak Agung Nyoman Panji Jelantik
 Anak Agung Ngurah Ketut Jelantik

l) Kehidupan Ekonomi Kerajaan Buleleng

Mayoritas penduduk bali di kerajaan Buleleng, hidup dari penghasilan sektor agraris
seperti pertanian, peternakan, perikanan dan mengumpulkan hasil hutan. Sebagian
kecil melakukan perdagangan, seperti pengepul hasil bumi terutama beras untuk di
jual kepada saudagar-saudagar Cina. Seperti asem, bawang, kemiri, kapas

m) Keruntuhan Kerajaan Buleleng


 Wafatnya I gusti Anglurah panji tahun 1704
 Pemerintahan yang berganti-ganti
 Konflik dengan pemerintah kolonial belanda
 Runtuhnya benteng Jagaraga akibat serangan belanda

n) Wangsa Warmadewa di Bali


 Wangsa (dinasti) Warmadewa adalah keluarga bangsawan yang
pernah berkuasa di Pulau Bali
 Pendiri dinasti ini adalah Sri Kesari Warmadewa
 Menurut riwayat lisan turun-temurun, yang berkuasa sejak abad
ke-10. Namanya disebut-sebut dalam Prasasti
Blanjong di Sanur dan menjadikannya sebagai raja
Bali pertama yang disebut dalam catatan tertulis
 Menurut prasasti ini, Sri Kesari adalah
penganut Budha Mahayana yang ditugaskan dari Jawa untuk
memerintah Bali
 Dinasti inilah yang memiliki hubungan dekat dengan penguasa
Kerajaan Medang periode Jawa Timur pada abad ke-10 hingga
ke-11
 Raja-raja anggota wangsa WarmadewaBerikut adalah raja-raja yang dianggap
termasuk dalam wangsa Warmadewa.
 Sri Kesari Warmadewa ( 914 M)
 Sang Ratu Ugrasena (915 M- 942 M)
 Sri Tabanendra Warmadewa (943 M - 961 M)
 Candra-bhaya-singha-Warmadewa ( 962 M - 975 M)
 Janasadu Warmadewa  ( 975 M -988 M)
 Udayana Warmadewa (989 M - 990 M)
 Dharmawangsa Warmadewa (991-1049, penguasa Kerajaan
Kahuripan)
 Airlangga (memerintah di medang)
 Anak Wungsu (1049)

o) Kemunduran Dinasti Warmadewa

Kerajaan ini kurang memiliki banyak informasi tentang kemundurannya, namun


diperkirakan kemunduran kerajaan ini dikarenakan munculnya kerajaan baru.
Kerajaan Buleleng diperkirakan merupakan salah satu kerajaan yang menggantikan
Kerajaan Dinasti Warmadewa. Kerajaan Buleleng sendiri berakhir seiring waktu pada
tahun 1950 walaupun sempat di rusak oleh VOC.
BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan
    Masuk dan berkembangnya agama dan kebudayaan Hindu-Budha membawa
pengaruh besar di berbagai bidang. Kerajaan-kerajaan yang bercorak Hindu-Budha
merupakan salah satu bukti adanya pengaruh kebudayaan Hindu-Budha di Indonesia.
Setiap kerajaan dipimpin oleh seorang raja yang memiliki kekuasaan mutlak dan
turun-temurun. Kerajaan-kerajaan itu antara lain : Kerajaan Kutai, Kerajaan
Tarumanegara, Kerajaan Sriwijaya, Mataram Kuno, Kerajaan Singhasari, Kerajaan
Majapahit, Kerajaan tulang Bawang, Kerajaan Kota Kapur, Kerajaan Buleleng, dan
Kerajaan Dinasti Warmadewa. Masuknya kebudayaan India ke Indonesia telah
membawa pengaruh besar terhadap perkembangan kebudayaaan di Indonesia. Namun
kebudayaan asli Indonesia tidak begitu luntur. Kebudayaan yang datang dari India
mengalami proses erajaan penyesuaian dengan kebudayaan, maka terjadilah proses
akulturasi kebudayaan.

B.  SARAN
Dengan keberadaan kerajaan-kerajaan yang terlahir di Indonesia, kita harus bisa
mengapresiasi peninggalan-peninggalan yang menjadi sumber ilmu pendidikan dari
generasi ke generasi. Upaya pengapresiasian itu sendiri dapat dengan
melestarikannya, memeliharanya, dan tidak merusaknya. Jika kita dapat berpartisipasi
dalam upaya tersebut, berarti kita mengangkat derajat dan jati diri bangsa. Dengan
begitu kita dapat menanamkan rasa nasionalisme terhadap negara Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai