Anda di halaman 1dari 7

DRUG THERAPY PROBLEMS

PADA PASIEN YANG MENERIMA RESEP POLIFARMASI


(Studi di Apotek Farmasi Airlangga Surabaya)

BAB I
PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang


Pharmaceutial care adalah pelayanan kefarmasian dimana seorang apoteker
memiliki tanggung jawab secara langsung dalam pelayanan ini untuk meningkatkan
kualitas kehidupan pasien (Departemen Kesehatan RI, 2004). Tanggungjawab yang
dimaksudkan adalah untuk menjamin tercapainya efek yang optimal dari terapi obat
pda pasien (Cipolle, strand dan Morley, 2004). Agar dapat melaksanakan tanggung
jawab tersebut seorang farmasis harus mampu mengidentifikasi, mengatasi dan
mencegah segala permasalahan yang terkait dengan terapi obat atau Drug Therapy
Problems (DTPs)(Cipolle, Strand dan Morley, 2004).
Tujuh penggolongan DTPs menurut Cipolle adalah obat yang tidak
diperlukan, kebutuhan akan terapi obat tambahan, obat yang tidak efektif, dosis terapi
yang digunakan terlalu rendah, adverse drug reaction,dosis terapi yang terlalu tinggi,
dan ketidakpatuhan (Cipolle, Strand dan Morley, 2004). Hal-hal yang terkait dengan
DTPs seharusnya dapat dicegh dan dikurangi keberadaannya melalui pengenalan
secara awal terdapat adanya DTPs oleh seorang farmasis(Hepler dan Strand, 1990).
Polifarmasi merupakan penggunaan obat dalam jumlah yang banyak dan tidak
sesuai dengan kondidi kesehatan pasien. Arti dasar dari polifarmasi itu sendiri adalah
obat dalam jumlah banyak dalam suatu resep (dan atau tanpa resep) untuk efek klinik
yang tidak sesuai.
Sebuah penelitian menyimpulkan bahwa semakin banyak jumblah obat yang
digunakan maka akan semakin besar pula terjadinya DTPs pada pasien (Viktil et.ol.,
2006). Polifarmasi dapat menyebabkan efek negative dari suatu terapi yang
disebabkan adanya DTPs misalkan efek samping obat dan kurangnya kepatuhan
pasien dalam menggunakan obat (Viktil et ol., 2006). Penggunaan obat dalam jumlah
banyak juga dapat menyebabkan meningkatnya resiko pengobatan tidak tepat
(interaksi obat dan duplikasi terapi), ketidakpatuhan dan efek samping obat (Hajjar,
Hanlon dan Cafiero, 2007).
Dalam penelitian yang telah dilakukan diperoleh hasil bahwa DTPs yang lebih
banyak ditemukan pada penggunaan obat dalam jumlah 5 obat keatas dibandingkan
dengan penggunaan obat dalam jumlah kurang dari 5 obat (Viktil et.ol, 2006).
Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian untuk identifikasi adanya DTPs
pada pasien yang menerima resep dengan item obat yang berjumlah lima atau lebih
(polifarmasi) di Apotek Farmasi Airlangga Surabaya.
I.2 Rumusan Masalah
Bagaimana hasil identifikasi adanya DTPs pada pasien yang menerima resep
dengan item obat yang berjumlah lima atau lebih (polifarmasi) di Apotek Farmasi
Airlangga Surabaya?

I.3 Tujuan
Mengidentifikasi adanya DTPs pada pasien yang menerima resep dengan item
obat yang berjumlah lima atau lebih (polifarmasi) di Apotek Farmasi Airlangga
Surabaya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Definisi Drug Therapy Problems (DTPs)


Drug Therapy Problems (DTPs) merupakan beberapa peristiwa yang dialami
pasien bahkan tidak diinginkan oleh pasien berhubungan dengan terapi obat terhadap
pengaruh pencapaian tujuan terapi (Cipolle et al., 2004). Hepler menjelaskan
pengertian DTPs hampir sama dengan Drug Related Problem (DRP), yaitu suatu
peristiwa atau keadaan yang berhubungan dengan terapi obat secara actual maupun
potensial yang menimbulkan dampak tidak tercapainya outcome yang maksimal atau
sempurna dari suatu pengobatan (Hepler et al., 1990). Ada tujuh kategori DTPs yaitu
terapi obat yang tidak diperlukan, tambahan akan kebutuhan terapi obat, tidak
efektifnya obat, rendahnya dosis, reaksi obat yang tidak diinginkan, ketinggian dosis
dan ketidakpatuhan pasien (Cipolle et al., 2004).

II.2 Definisi Polifarmasi


Seraca signifikan polifarmasi bisa meningkatkan resiko interaksi obat dengan
obat (Anisa dan Abdullah, 2012 ). Polifarmasi yaitu mengkonsumsi atau
menggunakan obat dalam jumlah banyak dalam satu resep ataupun tanpa resep untuk
ketidak sesuaian efek klinik (rambadhe et al., 2012). Beberapa peneliti menyatakan
bahwa 2 jenis obat yang digunakan disebut polifarmasi minor dan lebih dari 4 jenis
obat yang digunakan disebut polifarmasi mayor (Ramer et al., 2008).

III.3 Identifikasi Masalah-masalah Terapi Obat


1. Kebutuhan Terapi Obat Tambahan
Migran merupakan serangan atau gangguan sakit kepala primer yang
berwujudkan dari sakit kepala berdenyut yang berulang. Pada pasien yang
mengalami migran akut perlu dilakukannya terapi analgesik seperti
parasetamol, aspirin, ibuprefon, dan naproksen. Pasien dengan migran yang
cukup parah, maka pasien perlu melakukan terapi dengan tripan,
dihidrogotamin, atau ergotamine tartrat (AHFS 2008).
2. Terapi Obat Yang Tidak Diperlukan
Jika tidak ada atau tidak cukup alasan indikasi pengobatan yang valid maka
terapi obat dinilai tidak perlu. Akan tetapi, bagi seorang farmasis penting
untuk meningat bahwa pengobatan ditunjukan untuk beberapa alasan, bukan
hanya mengobati penyakit atau menghilangkan gejala, tetapi juga terapi
profilaksis, preventif, dan tujuan diagnosis (Cipolle 1998).
3. Dosis Kurang
Pemberian dosis yang terlalu rendah (subdosis) mengakibatkan semakin
lamanya keberhasilan terapi, yang dapat berakibat pada perkembangan
penyakit menjadi lebih parah dan biaya pengobatan semkin mahal (Cipolle
1998).
4. Dosis Lebih
Dosis yang berlebih pun juga tidak baik untuk pasien yang dapat
menyebabkan timbulnya efek samping obat, tetapi tergantung dengan dosis
dan efeknya dapat diprediksikan (Cipolle 1998).
5. Reaksi Obat Merugikan
Reaksi obat merugikan (Adverse Drug Reactions) berisi semua efek negatif
yang tidak diinginkan dari pengobatan yang tidak dapat diprediksi,
berdasarkan dosis, atau konsentrasi suatu obat yang diketahui sifat
farmakologinya (Fish 2008)
6. Interaksi Obat
Dikatakan terjadi interaksi obat jika efek obat berubah akibat adanya
penggunaan obat lain, obat herbal, makanan, minuman, atau beberapa zat
kimia yang ada pada lingkungan. Istilah interaksi obat dipergunakan untuk
menyatakan reaksi fisikokimia dari obat yang terjadi pada cairan intravena,
sehingga inkompatibilitas tidak disebut sebagai interaksi obat (Stockley
2008).
BAB III
METODOLOGI

III.1 Alat dan Bahan


 Peneliti sebagai Interviewer
 Lembar persetujuan pasien
 Pedoman wawancara
 DTPs registration form
III.2 Waktu dan Tempat
Penelitian akan dilaksanakan pada Februari 2013, Apotek Farmasi Airlangga.

III.3 Prosedur Kerja


Metode penelitian yang digunakan adalah survey dengan wawancara bebas
terpimpin dengan sampel pasien yang memenuhi kriteria inklusi yaitu pasien yang
meenebus resep yang berisi lima atau lebih item obat, dapat berkomunikasi dengan
baik, dan bersedia untuk diwawancara.
DAFTAR PUSTAKA
Anisa N, Abdullah R. Potensi interaksi obat resep geriatric: studi restropektif pada
Apotek di Bandung. Jurnal Farmasi Klinik Indonesia. 2012;1(3):96-101.
Rambadhe S, Chakarborty A, Shrivastava A, Ptail UK. A survey on polypharmacy
and use of inappropriate medications. Toxicol Int. 2012; 19(1):68-73. doi:
10.4103/0971-6580.94506
Ramer LB, Massey EB, Simpson TW, Simpson KN. Polypharmacy: misleading, but
manageable clinical interventions in age. 2008;3(2):383–89
Cipolle, R. J., Strand, L. M., and P. C. Morley, 1998, Pharmaceutical Care Practice, 2
Nd ed., McGrawHill, New York, 73-104
Fish, D. N., Pendland, S. L., and L. H. Danziger, 2008, Skin and Soft-Tissue
Infections, in: Pharmacotherapy- A Pathophysiology Approach, Joseph T.
Dipiro (Eds.), 7thed., McGraw Hill, New York, 1807-1808
Minor, D. S. and M. R. Wofford, 2008, Headache Disorders, in: Pharmacotherapy-A
Pathophysiology Approach, Barbara G. Wells (Eds.), 7thed., McGraw, New
York, 1807-1808
Cipolle, RJ., Strand, LM, Morley, PC, 2004, Drug Therapy Problem, In
Pharmaceutical Care Practie The Clinician's Guide second edition, The
McGraw-Hill Companies, New YorkHill, New York, 1005-1009
Hepler, CD, & Strand, LM, 1990, Opportunities and responsibilities in
pharmaceutical care, American Journal of Hospital Pharmacy, pp. 533-542
Cipolle, RJ, Strand, LM, Morley, PC 2004, Pharmaceutical Care Practice The
Clinician’s Guide, McGraw-Hill, New York.
Departemen Kesehatan RI 2004, Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 1027/MMENKES/SKI/IX/2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian
di Apotek, DirektoratJendral Pelayanan Kefarmasian dan Alat Kesehatan
Departemen Kesehatan RI, Jakarta.
Hepler, CD, Strand, LM 1990, ‘Opportunities and Responsibilities in Pharmaceutical
Care’, American Journal of Hospital Pharmacy, 47, pp.533-543.
Rambadhe, S, Chakarborty, A, Shrivastava, A, Ptail,UK, Rambadhe, A 2012, ‘A
Survey on Polypharmacy and Use of Inappropriate Medications’, Toxicol Int.,
19(1), pp. 68-73. Schmader, K, Hanlon, JT, Pieper, CF 2004, ‘Effects of
Geriatric Evaluation and Management on Adverse Drug Reactions and
Suboptimal Prescribing in the Frail Elderly’, Am J Med., 116, pp. 394-401.
Viktil, KK, Blix, HS, Moger, TA, Reikvarn, A 2006. ‘Polypharmacy as Commonly
Defined is an Indicator of Limited Value in the Assessment of Drug-Related
Problems’, British Journal of Clinical Pharmacology, (63)2, pp. 187-192
Stockley, I. H. and K. Baxter (Eds.), 2008, Stockley’s Drug Interactions: A Source
Book of Adverse Interactions, their Mechanisms, Clinical Importance and
Management, 8th ed., Pharmaceutical Press, London, 471, 476, 483, 485, 487,
492, 496, 499, 501,502.
Hajjar, ER, Cafiero, AC, Hanlon, JT 2007, ‘Polypharmacy in Elderly Patients’, The
American Journal of Geriatric Pharmacotherapy, 5(4), pp. 345-351.

Anda mungkin juga menyukai