Anda di halaman 1dari 12

Seminar Nasional Fakultas Teknik Geologi, Bandung 24 Mei 2014

Gempabumi pemicu longsoran pada endapan piroklastik jatuhan


Studi Kasus: Padang Pariaman, Sumatra Barat, Indonesia
Oleh :
Sumaryono1, Donny Rio Wahyudi2, Dicky Muslim2, Nana Sulaksana2,

1
Geologiacal Agency and Ph.D Student of Padjadjaran University
2Padjadjaran University

Abstract
Landslide induced earthquake is a common earth disaster, which is occasionally happened in pyroclastic
fall with a thick soil deposit, such as Padang Pariaman district, West Sumatera, Indonesia on 2009 and Aceh,
Indonesia 2013. The high degree of weathering and leaching in this area produces large amount of clay
minerals, especially Halloysite. The present of halloysite, slope and thickness of pyroclastic fall (pumice
layer) in the weathered zone and ground acceleration become important factors controlling of landslide
occurrences within this area. This result concludes that landslide occured on more than 3 m thickness of
pyroclastic fall, developing clay minerals especially haloysite, formed by leaching is the most triggering
factor for landslide occurrences within this area. Based on the simulation the peak ground acceleration
controlling landslide arround 0.2 g – 0.45 g with slope more than 20. The relationship between ground
accelaration, clay mineral around sliding plane, thickness of the pyroclastic fall and slope are the important
parameter to predict a landslide.

Keywords: landslide, ground acceleration, halloysite, pyroclastic fall

1. Pendahuluan Gempabumi 30 September 2009 di


Menurut Sampurno (1975), Heath (1988) Sumatera Barat dengan Skala 7,6 skala Mw atau
dan Sarosa (1992) serta Varnes (1996), maka 7.9 SR yang berjarak memicu tanah longsor dan
faktor-faktor pengontrol terjadinya gerakan menyebabkan kurang lebih 244 orang meninggal
tanah antara lain kondisi geomorfologi/ dan puluhan rumah tertimbun. Lokasi longsor
kemiringan lereng, kondisi geologi, kondisi tanah berjarak 52 km dari pusat gempabumi. Kemudian
atau batuan penyusun lereng, kondisi
Gempabumi Bener Meriah, 2 Juli 2013 dengan
hidrogeologi dan hidrologi serta kondisi tata guna
lahan. Secara umum pemicu terjadinya gerakan kekuatan 6.2 Mw dan berjarak 0,6 km dari pusat
tanah adalah curah hujan, getaran (gempabumi, gempa menyebabkan 22 orang meninggal dan
kendaraan, ledakan). Keefer (2000) menunjukkan beberapa rumah tertimbun. Longsoran yang
bahwa parameter geoteknik sudut geser dalam dipicu oleh gempabumi pada kedua lokasi ini
dan kohesi tidak dapat menjelaskan distribusi terjadi pada endapan piroklastik. Namun pada
dan densitas tanah longsor. Dia juga paper ini hanya akan di bahas penyebab dan
menunjukkan bahwa tingkat bahaya tanah
mekasisme gempabumi pemicu longsor di
longsor yang disebabkan gempa bumi lebih
berkorelasi dengan karakteristik geologi teknik Sumatera Barat. Berdasarkan hal tersebut maka
dan geomorfologi daripada parameter geoteknik. paper ini dibahas tentang pengaruh morfologi

Geologi Untuk Meningkatkan Kesejateraan Masyarakat

220
Seminar Nasional Fakultas Teknik Geologi, Bandung 24 Mei 2014

berkaitan dan peak ground acceleration (pga) analisis satelite image seperti ASTER GDEM, SPOT
yang diyakini mengontrol gerakan tanah di Image dan Ikonos, inventarisasi data kejadian
daerah Padang Pariaman dan Agam. gerakan tanah yang dipicu oleh gempabumi
Sumatera Barat 30 September 2009, survey
2. Methodologi lapangan, uji laboratorium dan SIG analisis,
analisis stabilitas lereng. Methodologi Penelitian
Metodologi penelitian dilakukan dengan dapat dilihat pada Gambar 1.
melakukan analisis DEM, analisis Topografi,

SATELITE IMAGE DAN


DATA Distribusi Longsor
ASTER GDEM
IKONOS
SPOT-5 Image

GIS ANALISIS DAN Pemodelan dan


Morfotektonik
PEMROSESAN DATA Analisis Pengaruh
Peak Ground
Penyelidikan Geologi, Acceleration ,
SURVEY LAPANGAN;. pengukuran ketebalan Kondisi
pelapukan/lapisan Geomorfologi
tuff, kelerengan, terhadap stabilitas
dimensi dan distribusi lereng
longsoran
Mekanika Tanah,
UJI LABORATORIUM;
Analisis Mineral, XRD

Gambar 1. Methodologi Penelitian

pernah terjadi gempabumi tektonik lokal dari


tanggal 20 – 25 Januari 2003, dengan skala 3.3 SR
3. Hasil Analisis dan menyebabkan 80 rumah rusak.
Pengukuran kuantitatif seperti aliran
a. Kondisi Geomorfologi sungai, lereng, bentuk cekungan pengaliran,
Lokasi gerakan tanah/longsor sebagian lebar dasar lembah, kedalaman lembah, luas
besar terletak pada pola pengaliran paralel, Pola DAS, panjang muka gunung diukur untuk
pengaliran ini memiliki anak-anak sungai yang selanjutnya dianalisis menggunakan index
umumnya hampir sejajar, pola aliran ini morfometri. Berdasarkan pengukuran yang telah
berkembang di suatu kondisi lereng memanjang dilakukan, maka hasil analisis morfometri pada
dengan tingkat kemiringan agak curam, dan wilayah penelitian menunjukan bahwa tektonik
kemungkinan dikontrol oleh struktur geologi. pada daerah Malalak dan sekitarnya dapat dilihat
Berdasarkan data kegempaan pada lokasi ini sebagi berikut.

Geologi Untuk Meningkatkan Kesejateraan Masyarakat

221
Seminar Nasional Fakultas Teknik Geologi, Bandung 24 Mei 2014

Tabel 1. AF, Dd dan Vf rata-rat di beberapa DAS di daerah penelitian

DAS AF Dd Vf Rata-rata

Manggur Gadang 77,54 1,695 1,318

Manggur Kecil 65,42 2,117 0,649

Naras 74,35 1,897 1,895

A
C

Gambar 2. a) Das dan pola pengaliran di daerah


penelitian A dendritik, B paralel, C radial
b) struktur kelurusan yang berkembang di daerah
penelitian

Nilai faktor asimetri masing-masing DAS dan bukan pengangkatan; tetapi dalam keadaan
bernilai diatas maupun dibawah 50, hal ini setimbang, torehan dan pengangkatan adalah
menunjukan bahwa bentuk cekungan pengaliran sebanding (Silva et al., 2003).
asimetri akibat adanya proses tilting. Rasio Vf
didefinisikan sebagai rasio lebar dari dasar Sungai yang tidak terganggu tektonik
lembah kepada tinggi rata-ratanya (Bull dan biasanya berkembang profil memanjang cekung,
McFadden, 1977). Lembah dengan bentuk-U yang berubah secara halus. Penyimpangan dari
umumnya memiliki nilai Vf tinggi, sedangkan gradien sungai dari bentuk halus yang ideal ini
mungkin mencerminkan variasi dalam litologi
lembah berbentuk V dengan nilai-nilai yang
relatif rendah. Karena pengangkatan dari dasar sungai, atau aktivitas tektonik. Dalam
berhubungan dengan torehan, indeks dianggap penelitian ini indeks gradien sungai menunjukan
menjadi indikator pengganti untuk tektonik aktif nilai yang cukup tinggi berkisar 256 – 794 indeks
di mana nilai-nilai rendah Vf berhubungan gradien.
dengan tingkat pengangkatan dan torehan yang
lebih tinggi. Indeks ini merupakan ukuran torehan

Geologi Untuk Meningkatkan Kesejateraan Masyarakat

222
Seminar Nasional Fakultas Teknik Geologi, Bandung 24 Mei 2014

Indeks sinusitas muka gunung (Smf) Kerapatan pengaliran dipengaruhi oleh


didasarkan pada bidang sesar aktif sepanjang banyaknya rekahan pada DAS tersebut, maka
muka gunung sering memiliki lanskap sederhana semakin besar kerapatan pengaliran pada suatu
dibandingkan dengan lereng di daerah yang DAS maka semakin banyak rekahan pada DAS
didominasi oleh erosi (lereng yang terbentuk tersebut. Banyaknya rekahan menunjukan
dalam periode stabilitas tektonik). Morfologi intensitas gaya tektonik yang diterima pada suatu
muka gunung tergantung pada tingkat aktivitas DAS tertentu. Intensitas yang lebih tinggi akan
tektonik di sepanjang bagian muka. Muka gunung menghasilkan rekahan yang lebih banyak. Hasil
aktif akan menampilkan profil lurus dengan nilai penelitian menunjukan kerapatan sungai DAS
Smf yang lebih rendah, dan muka gunung yang Manggur Gadang 1.695, DAS Manggur Kecil 2.117
tidak aktif atau kurang aktif ditandai dengan dan DAS Naras 1.896. Berdasarkan nilai-nilai
profil yang tidak teratur atau lebih terkikis, tersebut, maka DAS Manggur kecil terkena
dengan nilai-nilai Smf tinggi (Wells et al., 1988). intensitas tektonik yang lebih besar dibandingkan
Seluruh nilai Smf pada penelitian ini menunjukan DAS lainnya.
nilai mendekati satu (1,097054 – 1,924313)
hampir memiliki profil yang lurus, ini berarti Nilai rata-rata dari empat parameter
semua muka gunung yang diukur merupakan geomorfologi yang telah diukur (AF, SL, Vf, dan
Smf) digunakan untuk mengevaluasi aktivitas
muka gunung yang lebih aktif. Nilai-nilai Smf pada
lokasi 2, 3, 4, 5, menunjukan nilai yang kurang tektonik relatif di daerah penelitian. Nilai dari
dari 1,8 yang mengindikasikan bahwa Smf pada rata-rata index ini dibagi kedalam empat kelas
wilayah penelitian termasuk kedalam Kelas 1- untuk mendefinisikan aktivitas tektonik yaitu
tektonik aktif berdasarkan Bull dan McFadden kelas 1 – sangat tinggi (1,0 ≤ lat ≤ 1,5), kelas 2 –
tinggi (1,5 ≤ lat < 2,0), kelas 3 – sedang (2,0 ≤ lat
(1977) dalam Doornkamp (1986).
< 2,5), dan kelas 4 – rendah (2,5 ≤ lat) (El
Hamdouni, 2007; dalam Hamzah, 2013).

Tabel 2. Klasifikasi aktivitas tektonik relatif berdasarkan El Hamdouni dkk (2007).

Kelas Kelas
DAS Sln
SL AF Smf Vf Tektonik

Manggur Gadang 1 1 3 3 2 Sedang

Manggur Kecil 1 1 2 2 1,5 Tinggi

Naras 3 1 3 3 2,5 Rendah

Berdasarkan klasifikasi di atas dan dibandingkan penelitian memiliki tingkat aktivitas tektonik
dengan nilai kerapatan sungai (Dd), maka wilayah resen yang aktif dengan kelas keaktifan tektonik

Geologi Untuk Meningkatkan Kesejateraan Masyarakat

223
Seminar Nasional Fakultas Teknik Geologi, Bandung 24 Mei 2014

tinggi pada DAS Manggur Kecil, sedang pada DAS Gerakan tanah yang terjadi di daerah
Manggur Gadang, dan rendah pada DAS Naras. penelitian umumnya terjadi pada lereng lebih
dari 20o dengan bidang gelincir berupa lapisan
b. Kondisi Geologi daerah longsoran dan
gabungan antara lapisan paleo soil dengan tuff
pembentukan lapisan gabungan.
batuapung hornblende-hyperstein yang
Daerah kajian termasuk ke dalam Peta
kemungkinan berasal dari Gunung Tandikat atau
Geologi Lembar Padang (Kastowo dan Leo, 1973),
Singgalang. Bidang gelincir gerakan tanah secara
skala 1:250.000. Di daerah ini terdapat Gunung
umum adalah bertipe rotasi walaupun
Singgalang dan Tandikat (+2438 m), adalah
dibeberapa tempat bertipe translasi terutama
gunung api aktif tipe A, pernah meletus setelah
jika lapisan yang longsor sangat tipis atau kurang
tahun 1600 (van Padang, 1951; Kusumadinata,
dari 1 meter. Dengan melihat peak ground
1979); Kaldera Maninjau (Kuarter) dan
acceleration (pga) yang hampir sama pada lokasi
Sirabungan (Kuarter Awal ?). Secara geologi
penelitian maka gerakan tanah di lokasi ini
gunungapi daerah penelitian terdiri dari satuan
umumnya dikontrol oleh ketebalan lapisan tuff
andesit Maninjau, Ignimbrite Maninjau, Andesit
batuapung hornblede-hyperstein (tepra
Singgalang-Tandikat dan Tepra Malalak yang
Malalak). Gerakan tanah yang dipicu oleh
kemungkinan berasal dari Gunung Singgalang-
gempabumi Sumatera Barat 30 September 2009,
Tandikat (Gambar 3). Kejadian longsor yang
umumnya gerakan tanah terjadi pada lapisan tuff
dipicu oleh gempabumi umumnya terjadi pada
batuapung hornblende-hyperstein (tepra
endapan Tepra Malalak
Malalak) dari Gunung Tandikat atau Singgalang
yang

mempunyai ketebalan lebih besar dari 3


meter dan kelerengan lebih besar dari 20o.

Gambar 3. Longsor yang terjadi di Cumanak, Gunung Tigo dan sekitarnya

Geologi Untuk Meningkatkan Kesejateraan Masyarakat

224
Seminar Nasional Fakultas Teknik Geologi, Bandung 24 Mei 2014

Lubukaik,
Pariaman Bantiang,
Pauh, Malalak Barat,
Kp Parit, Agam
Malalak
Koto Tinggi Paladangan,
Cumanak,
Damarbancah, Pariaman Pariaman
Pariaman
Agam
Gunung Tigo,
Pariaman 1 meter

Soil
Tuff batuapung Tandikat atau Singgalang
Layer gabungan
Paleo soil
Endapan debris flow
Tuff batuapung Maninjau

Gambar 4. Susunan lapisan batuan di daerah penelitian

Andesite dari
Kaldera
Maninjau

Ignimbrite Tepra Malalak


Maninjau

Gambar 5. Peta Geologi Gunungapi di daerah longsoran (Agung Pribadi, dkk, 2007)

Geologi Untuk Meningkatkan Kesejateraan Masyarakat

225
Seminar Nasional Fakultas Teknik Geologi, Bandung 24 Mei 2014

Gambar 6. Stratigrafi di daerah yang mengalami longsoran lokasi Cumanak, Gunung Tigo dansekitarnya

Gambar 7. Kontak antara tepra Malalak dengan paleo sol (endapan debris flow) yang menghasilkan
lapisan gabungan, pada tepra Malalak mengandung lapili dengan ukuran butir 2- 5 cm lokasi di Koto
Tinggi.

Geologi Untuk Meningkatkan Kesejateraan Masyarakat

226
Seminar Nasional Fakultas Teknik Geologi, Bandung 24 Mei 2014

Endapan debris flow yang merupakan paleosol Hubungan antar arah mahkota longsoran
sangat intensif tercuci membentuk Gibsite (Al dengan segmen sungai
(OH)3), Magnetite (Fe(OH)3). Kemudian endapan
Berdasarkan pengukuran mahkota longsoran
pyroklastik jatuhan yang banyak mengandung
pumice tuff menutupi tanah pelapukan dari pada daerah yang mengalami longsoran paling
debris flow tersebut. Air hujan yang melewati banyak, terlihat bahwa arah mahkota longsoran
lapisan pumice sambil membawa silika, berkorelasi dengan arah segmen sungai. Dari
kemudian terjadi reaksi pada lapisan antara hasil pengukuran menunjukan bahwa 97 % arah
mangkota longsoran berkorelasi dengan arah
tanah pelapukan dari debris flow dengan lapisan
pumice. Silika yang kaya air bereaksi dengan segmen suangai hal ini menunjukan bahwa
gibsite membentuk Haloysite kondisi tektonik lokal didaerah ini berpengaruh
(Al2Si2O5(OH)4.2H2O). Butiran pumice pada terhadap kejadian gerakan tanah, karena searah
dengan kelurusan sungai. Hal ini didukung oleh
layer gabungan terlarut dengan air dan terbentuk
haloysite dipermukaan. Terbentuknya lapisan ini analisis separated varian maupun polled varian
merupakan bidang gelincir dari longsoran yang menunjukan bahwa thit < ttab sehingga dapat
dipicu oleh gempabumi. disimpulkan bahwa kemungkinan tektonik di
daerah tersebut turut mempengaruhi gerakan
tanah yang dipicu oleh gempabumi didaerah ini.

Hubungan Antara Azimuth Mahkota Longsoran


Dengan Azimut Sungai
360
340
320
300
280
260
y = 0.9916x + 2.0962
240 R² = 0.9744
Azimuth Sungai

220
200
180
160
140
120
100
80
60
40
20
0
0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200 220 240 260 280 300 320 340 360

Azimuth Longsoran

Gambar 8. Hubungan antara Azimuth sungai dengan azimuth mahkota longsoran

Geologi Untuk Meningkatkan Kesejateraan Masyarakat

227
Seminar Nasional Fakultas Teknik Geologi, Bandung 24 Mei 2014

Model analisis stabilitas lereng terhadap faktor keamanan lereng. Pga yang
diterapkan diasumsikan sebagai horisontal
Model analisis stabilitas lereng dilakukan dengan acceleration mengingat vertikal acceleration
pseudostatis analisis. Pemodelan dilakukan
tidak berpengaruh terhadap stabilitas lereng
dengan membuat hubungan antara variasi (Jibson, 2011). Pemodelan stabilitas lereng
kelerengan, variasi ketebalan lapisan tuff dengan menggunakan Geostudio 2004. Model
batuapaung dan variasi peak ground accelaration stabilitas lereng sebagai berikut

Fs = (c + (W cos - kh Wsin) tan)/ (Wsin + kh Wcos)

kh adalah horisontal accelerasi/peak ground accelerasi (g)

W = Berat soil  = kelerengan  = sudut geser dalam c = kohesi

Parameter yang digunakan dalam analisi stabilitas lereng berdasarkan uji laboratorium adalah sebagai
berikut:

 pumice = 11 - 14 KN/m3,
 = 30 - 39, kohesi = 5 –
11 KN/m2
 mix = 16.8KN/m3,  =16 -
18, kohesi =18 - 20 KN/m2

 soil = 16 KN/m3,  =15 -


16, kohesi = 17 - 18 KN/m2

Gambar 9. Parameter yang digunakan untuk model analisis stabilitas lereng

Geologi Untuk Meningkatkan Kesejateraan Masyarakat

228
Seminar Nasional Fakultas Teknik Geologi, Bandung 24 Mei 2014

280

270

260

2
250

1
240

230
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

Jarak (m)

Gambar 10. Model lereng didaerah penelitian

Hasil analisis stabilitas lereng atau Stabilitas Lereng (p value < 0,05, Rsquare
=0,916) artinya 91,6% stabilitas lereng
Analisis statistik regresi menunjukan bahwa dipengaruhi oleh ketiga faktor tersebut.
ketebalan lapisan pumice, peak ground Hubungan dari ketiga faktor tersebut adalah
acceleration, dan kelerengan signifikan
sebagai berikut:
berpengaruh terhadap Faktor Keaamanan Lereng

Y= 2.2048-0.0176X1-0.054X2-1.691X3

Keterangan: Y = Faktor Keamanan Lereng, X1 : Kelerengan (o), X2: Ketebalan lapisan pumice (m), X3 : Peak
ground acceleration (g)

Hasil analisis stabilitas lereng menunjukan bahwa Lereng (FK). Dari grafik terlihat bahwa semakin
pga, kelerengan dan ketebalan lapisan pumice besar peak ground accelerasi maka Faktor
sangat berpengaruh terhadap Faktor Keamanan keamanan akan semakin berkurang, namun
berkurangnya faktor keamanan tidak linier,
Hubungan FK dengan pga pada lereng 40 demikian juga terhadap ketebalan tanah
1.4
derajat pelapukan dan kelerengan.
1.2
Faktor Keamanan

1.0
0.8 ketebalan 6 m

0.6 Ketebalan 5 m

0.4 Ketebalan 4 m

0.2 Ketebalan 3 m

0.0 Ketebalan 2 m
0 0.05 0.1 0.15 0.2 0.25 0.3 0.35 0.4 0.45
pga (g)

Geologi Untuk Meningkatkan Kesejateraan Masyarakat

229
Seminar Nasional Fakultas Teknik Geologi, Bandung 24 Mei 2014

2.0 Hubungan FK dengan pga pada lereng 30


derajat

Faktor Keamanan
1.5
Ketebalan 6 m
1.0
Ketebalan 5 m
Ketebalan 4 m
0.5
Ketebalan 3 m

0.0 Ketebalan 2 m
0 0.05 0.1 0.15 0.2 0.25 0.3 0.35 0.4 0.45
pga (g)

Hubungan FK dengan pga pada lereng 20 derajat


2.500

2.000
Faktor Keamanan

1.500 ketebalan 6 m
ketebalan 5 m
1.000 Ketebalan 4 m
Ketebalan 3 m
0.500
Ketebalan 2 m

-
0 0.05 0.1 0.15 0.2 0.25 0.3 0.35 0.4 0.45
pga (g)

Gambar 11. Grafik hubungan antara Faktor Keamanan Lereng denga peak ground acceleration, ketebalan
lapisan pumice dalam berbagai kelerengan.

Kesimpulan Pembentukan mineral Haloysite yang yang


menyusun atau membentuk “lapisan gabungan”
Hasil analisis menunjukan bahwa gerakan tanah
yang merupakan bidang gelincir menjadi sangat
yang dipicu oleh gempabumi Sumatera Barat, 30 menarik untuk dilihat pada endapan piroklastik
September 2009 juga dikontrol oleh kondisi jatuhan yang lain sebagai contoh gempabumi
tektonik yang ada di Pariaman dan sekitarnya. Bener Meriah 2 Juli 2003 yang memicu terjadinya
Faktor Ketebalan lapisan pumice atau tepra longsoran juga terjadi pada endapan piroklastik,
Malalak, Peak Ground Acceleration dan
sehingga perlu penelitian lebih lanjut tentang
Kelerengan sangat mempengaruhi kestabilan “lapisan gabungan” tersebut.
lereng yang ada di daerah tersebut.

Geologi Untuk Meningkatkan Kesejateraan Masyarakat

230
Seminar Nasional Fakultas Teknik Geologi, Bandung 24 Mei 2014

Aplikasi Sistem Informasi Geografi untuk


Jaringan Jalan di Indonesia.
Daftar Pustaka Silva, P.G., Goy, J.L., Zazo, C., Bardají, T., 2003.
Fault-generated mountain fronts in
Agung Pribadi, Eddy Mulyadi dan Indyo Pratomo, southeast Spain: geomorphologic
2007, Mekanisme erupsi ignimbrite assessment of tectonic and seismic activity.
kaldera Maninjau, Sumatera Barat, Jurnal Geomorphology 50, 203–225
Geologi Indonesia, Vol. 2 No. 1 Maret 2007: van Padang, N., 1951. Catalogue of volcanic
31-41 activity and solfatara fi elds, Part I,
Indonesia. International Volcanological
Bull and McFadden. 1977. Tectonic Association, Napoli, Italy.
Varnes, D.J. 1978. Slope Movement Types and
Geomorphology North And South Of The
Processes. Special Report 176; Landslides;
Garlock Fault, California. Geosciences
Analysis and Control, Eds : R.L. Schuster
Department University of Arizona. dan R.J. Krizek, Transport Research Board,
National Research Council, Washington ,
El Hamdouni, R., Irigay, C., Fernandes, T., Chacon, D.C. pp.11-33.
J., Keller, E. A., 2007. Assessment of Wells, D.L. and Coppersmith, K.J., 1994.New
Relative Active Tectonics, Southwest empirical relationships among magnitude,
Border of Sierra Nevada (Southern Spain). rupture length, rupture width, rupture area
Geomorphology, 96, 150-173. and surface dis-pla cement. Bull. Seismol.
Soc. Am., 84, 974-1002
Hamzah A, 2013, Morfotektonik Sesar Baribis,
Majalengka, Jawa Barat, Thesis Progam
Master GREAT, ITB, tidak dipublikasikan

Heath, W. dan Saroso, B.S. 1988. Natural Slope


Problems Related to Roads in Java
Indonesia. Proc.of the 2nd Int. Conf. On
Geomechanics in Tropical Soils, Singapore,
pp.259-266.
Kastowo, Gerhard W. Leo, S. Gafoer, T. C. Amin.
1996. Peta Geologi Lembar Padang,
Sumatera. Bandung: Pusat Penelitian dan
Pengembangan Geologi.
Keefer (2000) Statistical analysis of an
earthquake-induced landslide distribution
– the 1989 Loma Prieta, California event,
Engineering Geology 58(3-4): 231-249
Kusumadinata, K., 1979. Data Dasar Gunungapi
Indonesia. Direktorat Vulkanologi. 819
h.Wells et al., 1988
Sampurno, 1975. Geologi Daerah Longsoran Jawa
Barat. Pertemuan Ilmiah Tahunan IV Ikatan
Ahli Geologi Indonesia.
Sarosa, B.S. 1992. Ancaman Gerakan Tahan pada
Jaringan Jalan di Jawa Barat. Seminar

Geologi Untuk Meningkatkan Kesejateraan Masyarakat

231

Anda mungkin juga menyukai