Anda di halaman 1dari 27

 Download

 Tentang MIO

 Download
 Tentang MIO

Bertanya PSV
by migas | Dec 13, 2012 | Proses, Uncategorized |

Jika memilih ASME,  pilih pakai API yang lebih kecil ukuran orificenya.
Berbeda boleh kan? asal ada basis perhitungan yang proper?

Biasanya – ujung ujungnya – userlah yang menentukan. Yang berbahaya adalah


jika Usernya tidak lebih ngerti dibanding yang ngedesign. Mungkin Ari
Firmansyah sering mengalaminya.

By the way soal PSV ini adalah persoalan yang ga pernah habis, saya
berencana membuat buku khusus Process Safety yang salah satu isinya
tentang bahasan PSV ini.

Tanya – Alvin Alfiyansyah

Dear All,

Saya mendapat pertanyaan dibawah, karena di pagi ini saya harus melakukan
meeting dan HSE evaluation di sebuah yard yang jaraknya jauh banget dan
mulai besok harus HAZOP study utk project lainnya, mohon kepada rekan
Process Engineer lain di mailist Migas agar bantu menjawab pertanyaan
tersebut. Saya yakin banyak yang bisa membantu…saya tidak sempat buka
kamus Process Engineering nich.

Note : Mr. XXX tidak apa2 pertanyaan yang wajar masuk mailbox pribadi,
tidak ada yang terganggu kok.

Saya harus pergi dahulu dari memantau mailist.

Dear Pak Alfin,

Saya Mr. XXX Wijaya. Memperoleh alamat email ini dari milis migas. Saya
baru lulus akhir tahun 2007 ini, dan bekerja pada EPC Company yang
mempunyai project Engineering Services. Saat ini sedang melakukan sizing
dari PSV. Selalu saya temukan pada datasheet client diinginkan menggunakan
code sizing API 520 atau ASME VIII. Tentunya dengan kasus block discharge
atau Fire.
Pertanyaan saya :

1. Untuk kasus yang seperti apa, kita akan menggunakan API 520, dan juga
kasus seperti apa untuk ASME VIII ??
2. Apakah perbedaan yang signifikan dari API 520 dan ASME VIII pada waktu
sizing ??

Terima Kasih atas bantuannya, dan Mohon Maaf jika mail ini mengganggu
Bapak.

Tanggapan 1 – Ari Firmansyah starlight.071


Kang AAL dan Mr. XXX

Selintas membaca API RP 520 pt I, dari forewordnya quote: “The information


in this recommended practice is intended to supplement the  information
contained in Section VIII, “Pressure Vessels,” of the ASME Boiler and
Pressure Vessel Code
.
The recommendations presented in this publication are not intended to
supersede applicable laws and regulations.”

Mestinya, API RP 520 dan ASME VIII tidak ada perbedaan yang significant,
karena sifat API RP 520 yang melengkapi ASME VIII tadi. Dilihat dari
grafik dan tabel yang ada di API RP 520 juga banyak yang mencuplik dan
conform dengan ASME VIII.

Yang mungkin berbeda adalah koefisien of discharge yang digunakan dlm


perhitungan. API RP 520 menggunakan 0.975 sementara ASME VIII 0.9 dari
actual area, yang dapat berakibat orifice area required lebih besar.

Untuk penentuan kasus, saya rasa keduanya sama saja.

Sekian dari saya, CMIIW.

Tanggapan 2 – luvi inst

Mas Ari..,
Ini adalah kelanjutan dari mail yang saya kirimkan ke Mas Alvin. Kalau
saya lihat dari Discharge Coefficient (KD), maka ASME lebih kecil
dibanding API. Jadi Luas Area yang dihasilkan menggunakan formula ASME
akan menjadi lebih besar.
Memang hal ini yang saya temui. Misalkan di satu kasus Sizing, dengan 
menggunakan API saya menemukan dengan Orifce Disc “F” tetapi dengan ASME
“G”. Dan pada saat bertanya dengan process eng,mereka menyatakan Orifice
“G” lebih konservatif. Apa yah maksudnya lebih konserfatif ?? Lebih
amankah ?? atau bagaimana ??
Terima Kasih atas penjelasannya.

Tanggapan 3 – Crootth Crootth

Memang sangat menarik Ari….

Jika Ari memilih ASME, saya lebih milih pake API yang lebih
kecil ukuran orificenya. Berbeda tho boleh kan? asal ada basis perhitungan
yang proper?

Biasanya – ujung ujungnya – userlah yang menentukan. Yang berbahaya adalah


jika Usernya tidak lebih ngerti dibanding yang ngedesign. Mungkin Ari
Firmansyah sering mengalaminya.

By the way soal PSV ini adalah persoalan yang ga pernah habis, saya
berencana membuat buku khusus Process Safety yang salah satu isinya
tentang bahasan PSV ini.

Anyway, keep writing and contribute to Milis Migas, gol!


Tanggapan 4 – Ari Firmansyah starlight

Mas Luvi,

Saya forward ke milis migas agar dapat masukan lebih banyak.

ASME section VIII lebih konservatif? Bisa dibilang demikian, artinya,


margin yang diberikan lebih besar dengan pertimbangan2 tertentu. Namun,
relief capacity lebih akurat ditentukan berdasarkan koefisien dari vendor.
Masing-masing vendor memiliki koefisien yang berbeda-beda berdasarkan test
yang dilakukan. Bisa saja vendor A akan memberikan sizing 6Q8 dan vendor B
memberikan size 8T10 untuk flow yang sama.

Lalu bagaimana jika akan melakukan preliminary sizing atau data dari
vendor tidak tersedia?

Pendekatan yang akan saya lakukan sebagai berikut :

1. Refer ke client atau company specification untuk preliminary sizing


PSV, apakah client mensyaratkan untuk menggunakan API 520 atau ASME
section VIII.

2. Kalau ternyata klien tidak mensyaratkan hal tersebut, saya akan


cenderung melakukan pendekatan yang lebih konservatif. Jadi saya akan
menggunakan ASME section VIII untuk melakukan preliminary sizing.

Kedua pendekatan tersebut dibarengi dengan memberikan data sheet ke vendor


untuk dilakukan preliminary sizing oleh vendor dengan lebih akurat sebagai
perbandingan.

Pertanyaan yang mirip dan jawaban ada di link berikut:

http://www.eng-tips.com/viewthread.cfm?qid=129085&page=1

Maaf jika ada kesalahan dan mohon masukan/tambahan dari rekan yang lain.

Tanggapan 5 – Crootth Crootth

Mas Luvi,

Saya malah berpendapat bahwa ketiga standard (NFPA, API, dan ASME, plus
ISO malah) tentang PSV atau relieving device, semuanya boleh dibilang
konservatif.

Kenapa saya bilang konservatif karena tidak berbasiskan Performance Base


Calculation. Analisa berbasis resiko lah yang seharusnya diterapkan untuk
menentukan perlu tidaknya PSV dipasang. Tersedia banyak tools untuk
melakukan ini: QRA atau LOPA.

Beberapa tahun terakhir bahkan untuk kasus Fire, Eropa sudah bergerak
lebih maju dengan menyatakan “ada kemungkin dalam kasus kebakaran, jika
berpatokan pada set pressure PSV yang 121% MAWP, maka pressure vessel akan
pecah terlebih dahulu sebelum PSV me-relief semua tekanan dalam vessel”.
Yah dalam waktu 9 menit – as per penelitian Per Salater dari Norsk Hydro –
pressure vessel akan pecah terlebih dahulu, sebelum PSV sempat popping,
tanpa adanya bantuan mitigasi pemadaman kebakaran yang memadai.
Di negara kita, karena MIGAS kita (dan peraturan lainnya) ikut2an merefer
standard-standard di atas, jadinyalah semua pressure vessel di Indonesia
harus dipasang relieving device. Padahal perkembangan SIS (safety
instrumented system) belakangan ini, rasanya sudah bisa menjawab tentang
pertanyan tentang perlu tidaknya PSV di pasang di SETIAP pressure vessel.

Saran mas Ari Firmansyah untuk tends to conservative, saya kurang sepaham.
Sebenarnyalah ukuran Orifice yang lebih besar akan menyebabkan kemungkinan
terjadinya chattering menjadi lebih besar. Kenapa?

1. Jika memang PSV dipasang di Industri Perminyakan (dan pergasan) yang


tergantung pada besarnya produksi sumur minyak (atau gas) maka bisa
dibayangkan jika suatu saat sumur sumur tersebut sudah berproduksi jauh di
bawah kapasitas terpasang nya. Katakanlah pada awal produksi 150 MMSCFD,
dan dipasang PSV dengan kapasitas sama. Setelah 5 tahun beroperasi
produksi turun menjadi 20 MMSCFD, maka bisa dibayangkan jika sekalinya PSV
popping, karena kapasitas relief yang besar (150 MMSCFD) si PSV akan
mengalami “chattering” atau fenomena “tepuk tangan”, yang bisa berakibat
fatal

2. Semakin besar PSV resiko fugitive emission akan semakin besar, sehingga
menjadi tidak lebih ramah lingkungan

Lalu bagaimana dunk? Saran saya lakukan PHA (b


isa memakai metode HAZOP) terlebih dahulu, dan dilanjutkan dengan LOPA,
untuk sedapat mungkin memerikan pemasangan SIF yang memiliki integrity
level yang memadai sedemikian hingga jika PSV pun dihilangkan (sebenarnya
dengan aturan MIGAS, PSV hampir musykil dihilangkan –> makanya peraturan
MIGAS ini mustinya ditinjau ulang, ah no comment ah) sistem masih
mempertunjukkan resiko yang acceptable.
Semoga memberi gambaran yang lain

Tanggapan 6 – Ari Firmansyah starlight.07

Mas DAM,

Sedikit tanggapan,

> Beberapa tahun terakhir bahkan untuk kasus Fire, Eropa sudah bergerak
lebih maju dengan menyatakan “ada kemungkin dalam kasus kebakaran, jika
berpatokan pada set pressure PSV yang 121% MAWP, maka pressure vessel akan
pecah terlebih dahulu sebelum PSV me-relief semua tekanan dalam vessel”.
Yah dalam waktu 9 menit – as per penelitian Per Salater dari Norsk Hydro –
pressure vessel akan pecah terlebih dahulu, sebelum PSV sempat popping,
tanpa adanya bantuan mitigasi pemadaman kebakaran yang memadai.

Per Salater dalam artikelnya tidak membahas tentang PSV, melainkan


depressurization valves in-case of fire (in my opinion BDV), bahwa waktu
15 menit yang di syaratkan API 521 (ISO) untuk depressurization, terkadang
tidak cukup (9 menit seperti petikan anda), heat input akibat fire terlalu
tinggi sehingga vessel pecah sebelum depressurization berakhir.

> Saran mas Ari Firmansyah untuk tends to conservative, saya kurang
sepaham. Sebenarnyalah ukuran Orifice yang lebih besar akan menyebabkan
kemungkinan terjadinya chattering menjadi lebih besar. Kenapa?
>
> 1. Jika memang PSV dipasang di Industri Perminyakan (dan pergasan) yang
tergantung pada besarnya produksi sumur minyak (atau gas) maka bisa
dibayangkan jika suatu saat sumur sumur tersebut sudah berproduksi jauh di
bawah kapasitas terpasang nya. Katakanlah pada awal produksi 150 MMSCFD,
dan dipasang PSV dengan kapasitas sama. Setelah 5 tahun beroperasi
produksi turun menjadi 20 MMSCFD, maka bisa dibayangkan jika sekalinya PSV
popping, karena kapasitas relief yang besar (150 MMSCFD) si PSV akan
mengalami “chattering” atau fenomena “tepuk tangan”, yang bisa berakibat
fatal

> 2. Semakin besar PSV resiko fugitive emission akan semakin besar,
sehingga menjadi tidak lebih ramah lingkungan
>
> Lalu bagaimana dunk? Saran saya lakukan PHA (bisa memakai metode HAZOP)
terlebih dahulu, dan dilanjutkan dengan LOPA, untuk sedapat mungkin
memerikan pemasangan SIF yang memiliki integrity level yang memadai
sedemikian hingga jika PSV pun dihilangkan (sebenarnya dengan aturan
MIGAS, PSV hampir musykil dihilangkan –> makanya peraturan MIGAS ini
mustinya ditinjau ulang, ah no comment ah) sistem masih mempertunjukkan
resiko yang acceptable.

Mas DAM, ukuran PSV dihitung tidak hanya berdasarkan produksi minyak dan
gas, melainkan kemungkinan relief capacity dari relief case scenario yang
mungkin terjadi. Bisa saja, fire case menjadi governing case untuk sizing
PSV, atau mungkin control valve failure, gas blowby, NRV leak dsb. Jadi
tidak hanya kapasitas produksi dari sumur yang bersangkutan. Jadi kasus
per kasus harus dilihat possibilitynya dan relief ratenya untuk menentukan
most governing case untuk sizing PSV ini.

Tanggapan 7 – Crootth Crootth

Ari,
Saya jawab lagi yah…. biar makin seru diskusinya

1. Salater yang Ari refer pastilah artikel CEP (Chemical Engineering


Progress) yah? Kalau ini saya yakin ente sudah punya… wong itu bisa di
unduh jika anda anggota AIChE

Yang saya maksud tentu saja bukan artikel yang itu…. namun presentasi Per
Salater di depan pertemuan API yang akan membahas refisi API 520/521 pada
tahun lalu. Jika anda belum memiliki dokumen ini mungkin wajar, karena
tipe dokumennya CLASSIFIED

2. Lho yang saya bahas itu adalah kenapa saya tidak setuju untuk memilih
hasil hitungan yang lebih konservatif (sebagaimana dinyatakan secara jelas
dalam balasan e-mail Ari Firmansyah sendiri) …kok jawabannya malah lari ke
kasus per kasus (fire case lah, Control Valve Failure lah.. my answer had
nothing to do with this)….? Seorang process engineer harus memikirkan
kemungkinan turunnya produksi gas dan minyak di masa depan, makanya dalam
basic design biasanya disebutkan produksi minyak/gas per periode waktu
tertentu, barulah dicapai kesepakatan dengan USER untuk mendesain semua
equipment dan device pada rate berapa… saya sama sekali tidak menyatakan
bahwa PSV harus diset flowratenya dengan kapasitas pada saat produksi
sudah plain di masa depan lho, namun ide yang ingin saya sampaikan adalah
perlunya perhatian pada kemungkinan chattering di masa depan –> sisi
negatif dari men-set PSV secara KONSERVATIF.

Tanggapan 8 – Ari Firmansyah starlight.071

Mas DAM, saya rasa ketika mendisain equipment, termasuk PSV, tentunya
basic design sudah ada, termasuk design condition dari equipment yang akan
dipr
oteksi oleh si PSV ini, seperti design pressure/temperatur, design flow
rate. Baru kemudian ditentukan relief rate berdasarkan scenario yang
mungkin terjadi. Kembali ke email awal, yang inti dari pertanyaannya
adalah, mana yang harus digunakan untuk sizing PSV, API RP 520 atau ASME
section VIII untuk kasus dan scenario yang sudah ditentukan. ASME section
VIII memberikan hasil yang lebih konservatif dibanding API 530 karena
koefisien of discharge yang digunakan lebih kecil menghasilkan relief area
lebih besar. Dan saya cenderung mengambil hasil yang lebih konservatif.
Namun untuk size yang lebih akurat lebih baik digunakan size hasil
kalkulasi dari vendor.

Saya juga PSV tidak bilang di set secara konservatif pada maximum
flowrate.

Tanggapan  9 – Ari Firmansyah starlight.071@gmail.com

Mas DAM,

Lanjuts…

Tanggapan 10  – Crootth Crootth

Ari,

Saya jawab lagi yah…. biar makin seru diskusinya


1. Salater yang Ari refer pastilah artikel CEP (Chemical Engineering
Progress) yah? Kalau ini saya yakin ente sudah punya… wong itu bisa di
unduh jika anda anggota AIChE

Yang saya maksud tentu saja bukan artikel yang itu…. namun presentasi Per
Salater di depan pertemuan API yang akan membahas refisi API 520/521 pada
tahun lalu. Jika anda belum memiliki dokumen ini mungkin wajar, karena
tipe dokumennya CLASSIFIED

Hmm, saya punyanya presentasi Salater di Spring 2006, hiks, kalo tahun
lalu (2007) saya belom punya, hiks… Wah menarik nih relasi antara 121%
MAWP dan heat input during fire.

2. Lho yang saya bahas itu adalah kenapa saya tidak setuju untuk memilih
hasil hitungan yang lebih konservatif (sebagaimana dinyatakan secara jelas
dalam balasan e-mail Ari Firmansyah sendiri) …kok jawabannya malah lari ke
kasus per kasus (fire case lah, Control Valve Failure lah.. my answer had
nothing to do with this)….? Seorang process engineer harus memikirkan
kemungkinan turunnya produksi gas dan minyak di masa depan, makanya dalam
basic design biasanya disebutkan produksi minyak/gas per periode waktu
tertentu, barulah dicapai kesepakatan dengan USER untuk mendesain semua
equipment dan device pada rate berapa… saya sama sekali tidak menyatakan
bahwa PSV harus diset flowratenya dengan kapasitas pada saat produksi
sudah plain di masa depan lho, namun ide yang ingin saya sampaikan adalah
perlunya perhatian pada kemungkinan chattering di masa depan –> sisi
negatif dari men-set PSV secara KONSERVATIF.

Mas DAM, saya rasa ketika mendisain equipment, termasuk PSV, tentunya
basic design sudah ada, termasuk design condition dari equipment yang akan
diproteksi oleh si PSV ini, seperti design pressure/temperatur, design
flow rate. Baru kemudian ditentukan relief rate berdasarkan scenario yang
mungkin terjadi. Kembali ke email awal, yang inti dari pertanyaannya
adalah, mana yang harus digunakan untuk sizing PSV, API RP 520 atau ASME
section VIII untuk kasus dan scenario yang sudah ditentukan. ASME section
VIII memberikan hasil yang lebih konservatif dibanding API 530 karena
koefisien of discharge yang digunakan lebih kecil menghasilkan relief area
lebih besar. Dan saya cenderung mengambil hasil yang lebih konservatif.
Namun untuk size yang lebih akurat lebih baik digunakan size hasil
kalkulasi dari vendor.

Saya juga PSV tidak bilang di set secara konservatif pada maximum
flowrate.

Tanggapan  11 – Crootth Crootth

Memang sangat menarik Ari….

Jika Ari memilih ASME, saya lebih milih pake API yang lebih kecil ukuran
orificenya. Berbeda tho boleh kan? asal ada basis perhitungan yang proper?

Biasanya – ujung ujungnya – userlah yang menentukan. Yang berbahaya adalah


jika Usernya tidak lebih ngerti dibanding yang ngedesign. Mungkin Ari
Firmansyah sering mengalaminya.

By the way soal PSV ini adalah persoalan yang ga pernah habis, saya
berencana membuat buku khusus Process Safety yang salah satu isinya
tentang bahasan PSV ini.

Anyway, keep writing and contribute to Milis Migas, gol!


Tanggapan 12 – Dirman Artib

Diskusi ini semakin menarik, paling tidak saya mau involve.

Semakin hari semakin maju metode teknis dan semakin bervariasi “power
brain and idea” yang bisa dipilih. Bahkan shampoo dan deodorant
pun sekarang tersedia buat kebutuhan yang spesifik. Ada shampoo khusus
untuk jenis kelamin laki-laki (bencong pasti bingung). Deodorant khusus
yang aktif, supplement khusus wanita pekerja dll. The simple word “all
those things can answer your specific need and requirements !”.

Persoalan nya adalah, apakah kita butuh tawaran dan pilihan itu ?
Apa yang menjadi “trigger” kebutuhan itu ?
Apakah kita pada posisi yang mempunyai otorisasi terhadap kebutuhan itu ?

Dalam kasus deodorant lelaki, pasti saya (lelaki sejati) Mas Crooth, Mas
Firmansyah akan gampang memutuskan bahwa “mulai sekarang, sapa pake ini”,
karena kita punya otoritas merobah jenis deodorant bagi diri kita sendiri.

Kebutuhan terhadap metode dan approach dalam fase Design/Engineering suatu


oil&gas plant tidak lah semudah berganti deodorant. Karena aktivitas
Design/Engineering tersebut diletakkan dalam kerangka manajemen bisnis di
mana banyak organisasi dan kepentingan terlibat. Mulai dari fase
conceptual design, yang mulai ditender kan (sebahagian besar oil company
men tender kan conceptual ideas) dan di “bidding” oleh para kontraktor
Design/Engineering.
Kemudian masuk fase FEED ditender kan lagi, setelah itu Detail Design
tender lagi. Sampai ke tahap konstruksi, komisioning dan operasi. Para
macan-macan dan srigala-srigala Design/Engineering kontraktor akan menawar
sesuai requirements yang didefiniskan dalam ITB (Instruction to Bid) atau
contract proforma beserta tetek-bengek attachment nya.

Kembali kepada 3 pertanyaan mendasar saya di atas :

1. Apakah kita butuh tawaran dan pilihan itu ? –


Kontraktor jelas TIDAK, karena pilihan didefiniskan oleh kumpeni (oil
company). Jangan coba-coba tawarkan konsep SIS, jika ITB tidak menyinggung
hal ini. Bandel…..? Anda pusing sendiri, sementara waktu tetap berjalan.

2. Apa yang menjadi “trigger” kebutuhan itu ? –


Kontraktor akan menawar apa yang kumpeni instruksikan dalam bid document.
Jika anda kontraktor, janganlah anda berani tampil beda, ini bukan event
garment fashion show, karena PASTI akan diskualifikasi atau paling tidak
akan kalah harga.

3. Apakah kita pada posisi yang mempunyai otorisasi terhadap kebutuhan itu
?

Sekali lagi TIDAK, karena kontraktor hanya akan menawar dan mempropose
teknik/approach sesuai yg sudah didefinisikan oleh ITB. Dari bbrp.
pengalaman praktis, jika kontraktor me-edukasi kebutuhan kepada kumpeni,
paling-paling kumpeni mendengarkan dan kemudian hampir pasti MENOLAK nya
karena tidak mudah merobah persyaratan kontrak yang harus melibatkan
birokrasi 2 s/d 3 tingkat manajemen di atasnya serta pihak regulator (BP
MIgas). Tantangan nya adalah anda akan menunda rencana besar nasional
target produksi, rencana investasi migas nasional, wow……….anda harus
menaklukan samudera atlantik.

Persoalan kita paling utama adalah, bagaimana menempatkan aspek dan ide
teknis yang sudah susah payah dipikirkan oleh para insinyur-insinyur itu
dalam keseluruhan kerangka dan aspek managerial, terutama tentu nya pada
Project Management.

Tanggapan 13 – Muhamad Wildany

Mas DAM dan Mas Ari,

Maaf,kalau pertanyaan saya agak berbeda. DIERS memperkenalkan cara sizing


untuk TWO Phase flow, yang tertuang dalam API 520 7 ed, 2002.

Cara ini agak berbeda dengan sizing two phase flow seperti biasanya.
(Sebelumnya dengan melakukan penjumlahan area untuk Liquid dan Gas),
seperti pada API 520 6 ed, 1993.

Dengan API 520 yang sama (tetapi Edition yang berbeda) saya memperoleh
hasil sizing yang juga berbeda seperti kasus Pak Luvi.

6th Ed, Saya memperoleh “F”, tetapi untuk 7th Ed,Saya memperoleh “G”.
Kondisi Two Phase Fluid adalah Non Flashing.

Dengan hasil seperti ini, mana yang harus dipilih ??


Terima kasih atas infonya.

Tanggapan 14 – Crootth Crootth

Mas Wildany
Untuk Two Phase Flow, saya sarankan memakai DIERS  method saja. (Anyway
standar apapun yang dipilih asal benar benar berdasarkan kaidah keilmuan
yang benar yah, silahkan saja)
Maklum, sejak berdiri tahun 1976, DIERS method baru benar benar diadopsi
API yah belakangan ini saja.

Tanggapan 15 – Budhi, Swastioko (Singgar Mulia)

Mas Wildany,

Anda bisa juga konsultansi dengan PSV Vendor seperti Crosby, Farris, dsb.
Mereka punya program sizing untuk DIERS Omega Method. Kebetulan dulu saya
pernah membuat PSV Data Sheet untuk proyek ConocoPhillips Belanak. Ini
saya cuplikan dari manualnya PSV Crosby.

Two-Phase and Flashing Flow

Two-phase flow describes a condition whereby a flow stream contains fluid


in the liquid phase and in the gas or vapor phase. Flashing flow occurs
when, as a result of a decrease in pressure, all or a portion of a liquid
flow changes to vapor. It is possible for both flowing conditions, two-
phase and flashing, to occur simultaneously within the same application.

This handbook provides techniques which may be used for calculating the
required effective orifice area for a pressure relief valve application.
These formulae, provided for liquid, gas, vapor and steam  applications,
however, may not be suitable for determining the required effective
orifice area on two-phase and flashing flow applications.
Recent work by DIERS (Design Institute for Emergency Relief Systems) and
others, regarding the calculation of pressure relief valve required
orifice areas on flashing and two-phase flow, has demonstrated the
complexity of this subject. What is apparent from this work is that no
single universally accepted calculation method will handle all
applications. Some methods give accurate results over certain ranges of
fluid quality, temperature and pressure.

Complex mixtures require special consideration. Inlet and outlet


conditions must be considered in more detail than for single component,
non-flashing applications. It is necessary, therefore, that those who are
responsible for the selection of pressure relief valves for two-phase and
flashing applications be knowledgeable and up-to-date on current two-phase
flow technology, and knowledgeable of the total system on which the
pressure relief valve will be used. A number of the DIERS techniques may
be found in a publication entitled, “International Symposium on Runaway
Reactions and Pressure Relief Design, Aug. 2-4, 1995” available from the
American Institute of Chemical Engineers, 345 East 47th Street., NY, NY
10017.

The following guidelines should be considered when sizing for two-phase


and flashing flow.
1. The increase in body bowl pressure due to flashing must be estimated
and considered along with the expected built-up back pressure.
2. A back pressure balanced pressure relief valve such as a balanced
bellows Crosby Style JBS or a pilot operated Crosby Style JPVM may be
necessary when the increase in body bowl pressure, due to flashing flow
conditions, is excessive or cannot be predicted with certainty.
3. If the mass of the two-phase mixture at the valve inlet is 50% liquid
or more, a liquid service valve construction is recommended. If the vapor
content of the twophase mixture is greater than 50% (mass) then a valve
designed for compressible fluid service is recommended.

Tanggapan 16 – Muhamad Wildany

Mas Budhi,

Maaf saya belum menemukan dikedua Vendor tersebut.


Pernah saya menghubungi salah satunya dan ternyata untuk kasus two phase
flow non flashing (yang saya tangani saat ini), masih juga menggunakan
Hand Calculation. Software yang saat ini saya gunakan adalah Instrucalc
6.1 dari gulfpublishing.

Untuk kasus flashing dengan Boiling range Tertentu, baru bisa menggunakan
software dari vendor dan juga instrucalc. Yang saya sudah coba untuk kasus
flashing adalah Farris.

Tanggapan 17 – Administrator Migas

Bagaimana nih technical services Crosby ?. Kebetulan saya punya program


perhitungannya di komputer, di kasih gratis sama vendor. OK deh, kalau ada
waktu saya akan buka folder khusus mengenai PSV di situs www.migas-
indonesia.net. Tapi khusus untuk anda, manual Crosby saya kirimkan dulu by
email.

Tanggapan  18 – setia yadi


Pak DAM,

Saya mau tanya perihal PSV juga.

Jika ada sebuah vessel yang dilengkapi dengan PSV untuk Block discharge
case, maka set point PSV tersebut sama dengan atau sedikit lebih rendah
(cari aman) daripada MAWP dari vessel tersebut. Katakanlah 700 psig, MAWP
740.

Bagaimana, jika vessel tersebut ter-expose fire, maka bisa dipastikan


dengan set pressure demikian, maka vesel keburu meledak dulu sebelum PSV
bekerja sebab MAWP dari vesel pada kondisi fire (atau boleh juga thermal
expansion) pasti jauh berkurang.

Maka, bagaimanakah menentukan Set Point PSV tersebut…? Kalau pendapat


saya, saya akan plot
antara design pressure dari vesel tersebut terhadap temperatur, dan juga
diplot relieving temperature terhadap pressure kenaikan pressure dalam
vessel. Titik potongnya saya jadikan sebagai relieving
pressure dan saya bisa hitung set-pressurenya dari relieving press dibagi
1.21.

Mohon penjelasannya, Pak.

Tanggapan 19 – Crootth Crootth

Mas Setiyadi,
Dulu semasih di VICO saya pernah merancang PSV untuk kasus Fire dengan set
pressure sekitar 100 psig, padahal kekuatan MAWP pipa/vesselnya 270 psig.
Ini saya lalukan dengan pertimbangan vessel akan meledak sebelum set
pressure PSV tercapai (270 psig), maka set pressure saya rendahkan dengan
pertimbangan tekanan sumur cuma 7 psig saja

Kenapa 100 psig? karena hasil simulasi saya menunjukkan bahwa 100 psig
adalah titik potong antara turunnya (ultimate tensile) strenght (ingat,
ultimate tensile strength vessel / pipa akan turun dratically terhadap
kenaikan temperatur (dalam kasus Fire)) dengan kenaikan tekanan di dalam
vessel/pipa karena panas kebakaran (fire). Apakah akan lebih baik jika
pada kebakaran ini tekanan di release? Bukannya liquid yang dipertahankan
sebagai media penyerap panas akan semakin mudah menguap dan membahayakan
pipa? Well, setidaknya konsekuensi dari ledakan karena flammable
bertekanan tinggi diubah menjadi konsekuensi oleh flammable bertekanan
lebih rendah.

Dengan demikian cara anda mendesain set pressure PSV sedari awal fasa
detail design merupakan juga langkah mitigasi terhadap severity dari
ledakan akibat kasus fire.

semoga sedikit menjelaskan

Tanggapan 20 – setia yadi

   
Mas DAM,

Nampaknya Pak DAM menggunakan methoda yang sama dengan saya dalam hal ini,
ya?
Kalau pertanyaannya di balik, pada berapakah design pressure yang harus
dipilih? maka apakah menggunakan methoda: DP = 110 x Opt Press @ max
operating temperature (seperti di API 520), atau harus juga merefer kepada
fire case: DP = 110 x operating temperature @ relieving temperature..,
(maka set pressure PSV bisa pada Design Pressure tsb (berlaku juga untuk
block discharge?

Kalau saya cenderung menggunakan Methoda yang kedua, tetapi menjadi tidak
umum dan akan banyak yang protes.

Tanggapan 21 – Ari Firmansyah starlight.071

Mas DAM dan Mas Setiyadi,

Saya memiliki pandangan yang berbeda, boleh donk yah…

Bukankah aplikasi PSV adalah sebagai last resort dari mitigasi terhadap
overpressure?

Sebelum PSV set pressure dicapai karena fire, bukankah pressure akan di
depressurize? Yang akan menurunkan tekanan didalam vessel sampai 100 psig
atau 50% dari MAWP whichever is lower?

Dalam kasusnya mas DAM, karena operating pressure yang jauh dibawah 250
psig maka blowdown requirement bisa dihilangkan (operating pressure
dibawah 250 psig tidak mensyaratkan depressurization as per API 521), PSV
menjadi benteng terakhir untuk mencegah vessel pecah in case of fire
sehingga PSV di set dibawah MAWP.
Untuk kasusnya Mas Setiyadi,

Untuk setting PSV, secara global, pressure setting harus direview, berapa
normal operating pressure, PSHH dan sebagainya… karena belum tentu vessel
keburu pecah sebelum relieving pressure tercapai,
bergantung heat input dan liquid properties serta initial pressure ketika
terjadi fire, apalagi dengan PSV yang blocked discharge case dengan
maksimum accumulated pressure 110% MAWP (design pressure/ set pressure)
(dibawah 121% MAWP/set pressure untuk fire). Asumsi saya operating
pressure berada diatas 250 psig dan depressuring facility ada, in case
terjadinya kebakaran, ESD akan menutup SDV dan membuka BDV untuk
depressuring sampai 100 psig dalam waktu 15 menit terlebih dahulu sebelum
PSV popping up. Sehingga menurut saya, setting pressure dari PSV tersebut
sebaiknya tetap pada MAWP atau design pressurenya.

Tanggapan 22 – Crootth Crootth

Mas Setiayadi

Saya selalu berusaha untuk mensimulasikan (prosesnya) terlebih dahulu


untuk kasus PSV Fire. Untuk kemudian memilih setting pressure yang tepat.
Beberapa kemanfaatan
menset PSV lebih rendah dari MAWP:

1. Melindungi agar vessel/pipa tidak pecah sebelum peristiwa popping


(percuma donk pasang PSV kalau si vessel udah pecah duluan sebelum terjadi
relieving)
2. Di masa depan, pipa/vessel akan mengalami derating (MAWP nya akan turun
sesuai dengan laju korosinya) maka set point yang lebih rendah akan lebih
aman.

Untuk kasus Block Discharge dan Kasus Lainnya, saya kira berpatokan pada
API 520 masih realistis.

Tanggapan 23 – Crootth Crootth

Bagol,
Sekalipun Fire and Gas Detection dapat digolongkan sebagai SIS (dapat = 
tidak berarti pasti) namun masih masih ada safety expert (merefer pada
ISA)  yang tidak setuju kalau sistem Fire Detection (yang umumnya
disambungkan ke  Final Elemen = BDV) dikategorikan sebagai Safety
instrumented System.
Prof. Mefgereteh, Prof. Birk, Shirville dkk. banyak menyelidiki kemampuan
BDV memblowdown pressure saat terekspos fire, hasilnya mengejutkan: tidak 
semua BDV mampu mempertahankan Pressure Vessel untuk tidak burst.
So, buat saya, melakukan simulasi kejadian Fire yang sebenarnya sangatlah 
penting. Dari sini, silahkan tentukan sendiri set pressure PSV yang akan 
dipasang (yang saya yakin, ketemunya di bawah angka MAWP).

Tanggapan 24 – switsy perdana

Mas DAM,

saya tertarik dengan quote Mas sbb:


*So, buat saya, melakukan simulasi kejadian Fire yang sebenarnya sangatlah
penting. Dari sini, silahkan tentukan sendiri set pressure PSV yang akan
dipasang (yang saya yakin, ketemunya di bawah angka MAWP).* dan di email
sebelumnya yg ttg PSV Vico:
*karena hasil simulasi saya menunjukkan bahwa 100 psig adalah titik potong
antara turunnya (ultimate tensile) strenght (ingat, ultimate tensile
strength vessel / pipa akan turun dratically terhadap kenaikan temperature
(dalam kasus Fire)) dengan kenaikan tekanan di dalam vessel/pipa karena
panas kebakaran (fire)* maksudnya gimana yah? simulasi Fire case di hysys
untuk dapet vessel pressure dan temperature @ fire terhadap waktu trus di
bandingkan dengan metal properties vessel nya? or gimana ya?

Tanggapan 25 – Crootth Crootth

Switsy

Cari data UTS vessel, alur alirkan terhadap temperatur (bentuknya kurva
menurun)
Simulasikan di HYSYS untuk kasus Fire, per tiap temperatur, tekanan di
bagian dalam vessel berapa. (bentuknya kurva menaik)

di satu titik temperatur tertentu, mereka ketemu, DWARRRRRR, tangki


meledak…

memang tidak sesederhana itu, namun untuk menjelaskan di sini cukup


panjang

Recent Posts

 Download buku: THE TRUTH IS OUT THERE karya Cahyo Hardo


 Lowongan: dibutuhkan Segera Engineer
 Lowongan Senior Company Man, Middle Company Man and Junior Company Man
 PPh 21
 Teknik Elektro ke Piping

Recomended Link

 Platform Jasa Pembuatan Website Cepat


 Tools Riset Produk Laris Marketplace
 Tools Praktis Jualan Online Dropship
 Tutorial bahasa inggris online
 Toko Buku Online

© 2002-2019 Migas-Indonesia.com - Website ini menggunakan cookies dan juga


mengumpulkan beberapa informasi menggunakan google analytics. Dengan menggunakan
website ini anda setuju dengan kebijakan privasi kami.
Powered by KUNCIWEB - Platform Jasa Pembuatan Website Cepat





Share This


Anda mungkin juga menyukai