Anda di halaman 1dari 11

IMAM SOEDJA’I :

PERINTIS TENTARA NASIONAL INDONESIA YANG DILUPAKAN


IMAM SOEDJA’I :
PERINTIS TENTARA NASIONAL INDONESIA YANG DILUPAKAN
Oleh :
Refin Achmad Fatkurrohman
Mahasiswa Program Studi Sejarah Peradaban Islam IAIN Jember

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Imam Soedja’i, mungkin nama tersebut terdengar asing ditelinga mereka yang baru
mendengarnya. Imam Soedja’i adalah salah satu pahlawan lokal dari kabupaten Malang dan
Lumajang, bahkan namanya pun sangat terdengar asing ditelinga warga Malang sendiri.
Pahlawan lokal memang namanya tidak begitu terdengar, berbeda dengan pahlawan Nasional
yang nama serta biografi kehidupannya sudah dikenal luas. Di Kabupaten Lumajang nama
Imam Soedja’i dipakai menjadi nama salah satu jalan yang dekat dengan Alun-alun
Lumajang. Dalam kajian historigrafi Indonesia sebagian besar hanya menuliskan nama-nama
Pahlawan yang sudah memiliki nama besar sedangkan pahlawan lokal nyaris tersisihkan dari
historiografi Indonesia.
Imam Soedja’i lahir di Poh Jentrek, Kabupaten Pasuruan pada tanggal 25 September
1902 dari seorang ayah bernama niti astro, ayahnya adalah seorang priyayi muslim. Ayah
Imam Soedja’i, Raden Niti Astro yang notabene seorang pemuka agama islam waktu itu,
sering menjalin hubungan dengan aktivis pergerakan dari Sarekat Islam yang pergerakannya
cukup masif di era kolonial Belanda. Setelah lulus sekolah Imam Soedja’i langsung bekerja di
sebuah perusahaan pelayaran Belanda namun tidak sampai satu tahun bekerja, imam soedja’i
memutuskan keluar dari perusahaan dan mulai mengembara mempelajari Pencak silat.
Pada tanggal 27 Agustus 1927, Imam Soedja’i mendirikan sebuah organisasi pencak
silat yang bernama Pencak organisasi (PO) yang digunakannya dalam gerakan bawah tanah
dalam menentang penjajahan Belanda. Selain mendirikan Pencak Organisasi Imam Soedja’i
juga turut mendirikan Badan Kepanduan yang menjadi bagian dari Partai Sarekat Islam
Indonesia (PSII) di wilayah Lumajang. Pengalaman pergerakannya pun semakin terasah
Karena di usia muda Imam Soedja’i sudah bergaul dengan aktivis pergerakan dari Sarekat
Islam. Peran Imam Soedja’i dimasa muda terbilang cukup hebat dengan mendirikan dua
organisasi yang cukup besar diumurnya yang baru menginjak 25 tahun.
Dalam sejarah perjuangan kemerdekaan di kabupaten Malang dan Lumajang. Imam
Soedja’i turut menggerakkan dan memimpin perjuangan rakyat daerah Malang dan Lumajang
dalam melawan kolonialisme. Sebagai seorang pemuda muslim yang menjadi tokoh
nasionalis daerah, Imam Soedja’i bersama rekannya M. sastrodikoro dan Nyoto Parawoto
menerbitkan sebuah majalah yang bernama “soeara desa” yang bercorak islamis dan
nasionalisme. Majalah tersebut sempat mewarnai semangat pemuda Lumajang dalam
menumbuhkan semangat islam dan nasionalisme yang tertulis pada tiap halaman majalah
tersebut.
Setelah kekalahan Belanda dari pasukan tentara Jepang. Imam Soedja’i dilirik oleh
Jepang dan dijadikan sebagai ketua Pusat Tenaga Rakyat (PUTERA) di Kabupaten Lumajang
pada tahun 1943. Ditengah perang yang semakin bergejolak, Jepang memerintahkan tiap
Indvidu untuk menjadi tentara Pembela Tanah Air (PETA). Imam Soedja’i mengikuti
pelatihan tentara PETA di daerah Bogor dan ditempatkan di kabupaten Malang sebagai
Daidancho atau komandan peleton PETA. Setelah Jepang kalah dalam perang dunia ke-II dan
PETA dibubarkan, Imam Soedja’i memimpin pasukannya untuk melucuti persenjataan dari
tentara Jepang.
Pada 5 Oktober 1945 dibentuk lah Tentara Keamanan Rakyat dan Imam Soedja’i
diposisikan sebagai komandan Divisi VII Untung Suropati yang bertugas di daerah
Karesidenan Malang-Besuki dengan berpangkat Mayor Jendral. Pada saat pemilihan
Panglima Besar TNI, Imam Soedja’i adalah salah satu kandidat terkuat karena menjadi
Perwira Tinggi TKR yang paling senior yang memiliki basis pasukan terbesar dan memiliki
persenjataan paling lengkap. namun Imam soedja’i justru meminta izin untuk tidak mengikuti
pemilihan tersebut lantaran harus membantu rakyat Surabaya melawan Inggris pada tanggal
10 November 1945. Akhirnya Imam Soedja’i tidak terdaftar sebagai calon kandidat Panglima
Besar TNI.
B. Rumusan Masalah
Dalam tulisan ini secara khusus membahas tentang biografi Imam Soedja’i sebagai
seorang pahlawan lokal bagi rakyat Lumajang-Malang. Sehubungan dengan latar belakang
tersebut, maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut.
1. Bagaimana peran Imam Soedja’i pada masa penjajahan Belanda-Jepang ?
2. Bagaimana peran kemiliteran Imam Soedja’i di masa awal kemerdekaan ?
PEMBAHASAN
Imam Soedja’i lahir di Poh Jentrek, Kabupaten Pasuruan pada tanggal 25 September
1902 dari seorang ayah bernama niti astro, ayahnya adalah seorang priyayi muslim yang
disegani dan memiliki kedudukan di kabupaten Pasuruan masa itu, sumber lain menyebutkan
nama ayah Imam Soedja’i adalah R. Soebandi. Imam Soedja’i pindah ke Kabupaten
Lumajang karena sang ayah yang ditugaskan sebagai penghulu di kabupaten tersebut.
Pendidikan islami dari keluarganya menjadikan Imam Soedja’i sebagai seorang anak yang
taat agama. Pada Tahun 1910, Imam Soedja’i masuk di Hollandsch Inlandsche School (HIS),
sekolah elit Belanda yang pada masa itu hanya kalangan bangsawan saja yang bisa masuk.
Setelah tamat HIS, Imam Soedja’i melanjutkan pendidikannya di Burgerlijke Ambachts
School (BAS) yang merupakan sekolah teknik lanjutan pada tahun 1917 dan lulus pada tahun
1924.
Ayah Imam Soedja’i yang notabene seorang pemuka agama islam waktu itu, sering
menjalin hubungan dengan aktivis pergerakan dari Sarekat Islam yang pergerakannya cukup
masif di era kolonial Belanda. Sarekat Islam sudah berdiri Regentschap Probolinggo pada
tahun 1914 dan kabupaten Lumajang termasuk dalam area Regentschap Probolinggo. Karena
kedekatan ayahnya dengan aktivis organisasi Sarikat Islam, sifat tersebut menurun pada Imam
Soedja’i yang juga sering bergaul dengan Para aktivis pergerakan dari sarikat Islam di masa
mudanya.
Setelah lulus dari bangku sekolah, Imam Soedja’i langsung bekerja di sebuah
perusahaan pelayaran Belanda namun tidak sampai satu tahun bekerja, imam soedja’i
memutuskan keluar dari perusahaan tersebut karena kerap dihina oleh petinggi perusahaan
belanda dengan menyebutnya ”Inlander”. Hal tersebut menyakiti perasaan kebangsaan tiap
orang pribumi karena kata inlander pada masa itu berarti ejekan kepada masyarakat yang
kolot nan primitive. Setelah terjadi perdebatan yang cukup panjang akhirnya Imam Soedja’i
memutuskan keluar dari perusahaan tersebut.
Setelah keluar dari pekerjaannya, Imam Soedja’i memutuskan pergi ke Kabupaten
Bandung di rumah salah satu keluarga besarnya. Disana Imam Soedja’i mendalami ilmu
pencak silat dari eyang Kusumo. Demi memperdalam ilmu pencak silatnya, Imam soedja’i
mengembara di daerah Garut dan bergabung dengan perguruan-perguruan silat yang berbeda.
Saat masa pengembaraan, Imam Soedja’i melihat potensi dari tiap-tiap perguruan pencak silat
yang cukup besar. Namun perguruan-perguruan tersebut tidak pernah bersatu, hal inilah yang
memudahkan Belanda untuk mengadu domba antar perguruan silat yang ada dimasa itu.
Setelah beberapa tahun berguru di berbagai perguruan silat di kabupaten Garut, Imam
Soedja’i kembali ke Lumajang dan mulai aktif di Partai Sarikat Islam Lumajang. Imam
Soedja’i mulai mengajak para pemuda di Kabupaten Lumajang untuk ikut melakukan
pergerakan melawan Belanda, dengan cara membuatkan wadah organisasi pencak silat bagi
para pemuda. Dalam membuat kan wadah tersebut, Imam Soedja’i tidak pernah memilah
perguruan pencak silat yang pernah ia pelajari. Dalam penggagasan pendirian organisasi
pencak silat ini, Imam Soedja’i meleburkan semua aspek perguruan silatnya dengan
organisasi Pergerakan Sarekat Islam Lumajang dan mulai memproklamirkan berdirinya
sebuah organisasi bernama “Pencak Organisasi” pada tanggal 27 Agustus 1927.
Setelah mendirikan Pencak Organisasi dengan intensitas dukungan pemuda yang
cukup besar. Imam Soedja’i juga mendirikan sebuah wadah lain bagi pemuda Sarekat Islam di
daerah Lumajang yang bernama “Sarekat Islam Afdeeling Pandu(SIAP)” atau Pramuka yang
dibentuk pada tahun 1930-an di Kabupaten Lumajang. Namun organisasi ini tidak bertahan
lama, karena dimasa penjajahan Jepang seluruh organisasi kepanduan mulai dibekukan.
Diganti dengan organisasi bentukan Pemerintahan Jepang yang semimiliter seperti keibondan,
seinendan dan lain-lain. Selain aktif dalam Partai Sarekat Islam Lumajang dan mendirikan
berbagai organisasi pemuda daerah. Imam Soedja’i bersama para tokoh lokal seperti
Sastrodikoro dari partai Parindra dan Nyono Parawoto, mereka mendirikan sebuah majalah
yang bernama “Soeara Desa”.
Pada tahun 1933, Imam Soedja’i menikahi putri seorang mantri polisi Tempeh,
Lumajang yang bernama Siti Salamah. Selama pernikahannya bersama Siti Salamah, Imam
Soedja’i dikaruniai 8 orang anak yang senantiasa menemani dan selalu memberi dukungan
kepadanya. Pada tahun 1942 ketika pasukan Jepang mulai menduduki Hindia Belanda dan
pada tanggal 15 Maret 1942 pasukan Jepang tiba di Alun-alun Kota Lumajang. Demi
mendukung kemenangannya dalam peperangan, Jepang membentuk beberapa organisasi salah
satunya adalah PUTERA dan PETA. Setelah terbentuknya Kantor pusat PUTERA pada
tanggal 16 April 1943. Moichiro Yamamoto menegaskan tugas para pemimpin PUTERA di
tiap daerah yaitu mengerahkan segala tenaga dan kekuatan rakyat demi mencapai
kemenangan dalam perang Asia Timur Raya. Jepang yang mengetahui penokohan Imam
Soedja’i di daerah Lumajang, menjadikannya Ketua Pusat Tenaga Rakyat (PUTERA) untuk
daerah Lumajang.
Pada 3 Oktober 1943, Letnan Jenderal Kumakichi Harada memaklumkan Osamu
Seirei No.44 yang mengatur tentang tentara sukarela Pembela Tanah Air (PETA). Dalam
bulan itu pula puluhan calon perwira Indonesia mendapatkan pendidikan militer di Bogor.
Imam Soedja’i yang juga mengikuti pendidikan militer tersebut kemudian ditempatkan
sebagai Komandan Batalyon (Daidancho) PETA di Malang karena sebelumnya sudah
memiliki pengalaman menjadi ketua Pusat Tenaga Rakyat di Lumajang. Demi menghadapi
kekuatan Sekutu, Jepang menjadikan seluruh area jajahannya sebagai rangkaian pertahanan
karena peperangan semakin mendesak Jepang kala itu.
Setelah kekalahan Jepang dalam perang Asia Timur Raya, Indonesia
memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945. Kabar kemerdekaan
tersebut baru terdengar di Malang-Syu setelah disampaikan oleh dr. Soemo Widigdo selaku
mantan anggota Tjuo Sangiin Malang-Syu. Sehari setelah proklamasi kemerdekaan, tepatnya
pada tanggal 18 Agustus 1945. Presiden Soekarno menyetujui pembubaran PETA karena
ingin menunjukkan pada dunia bahwa Indonesia bisa berdiri dan merdeka dengan diatas
kakinya sendiri. Bahwa seluruh senjata yang digunakan utuk melawan negara manapun
nantinya adalah senjata milik sendiri dan seluruh prajurit dari negeri sendiri. Dan menegaskan
Jepang tidak ikut andil serta tidak memiliki pengaruh dalam usaha kemerdekaan Indonesia.
Pembubaran PETA secara resmi dilakukan baik-baik tanpa adanya kerusuhan pada
tanggal 19 Agutus 1945. Panglima terakhir pasukan Jepang di Indonesia, Letnan Jenderal
Nagano Yuichiro memberikan pidato perpisahan. Pidato tersebut sekaligus menegaskan
putusnya hubungan PETA yang memperjuangkan kemerdekaan dan membantu
mempertahankan Jepang. Setelah pidato tersebut PETA mulai dibubarkan dan Indonesia
mulai mandiri dalam membentuk kesatuan militernya. Setelah pembubaran peta, Imam
Soedja’i memimpin perjuangan di Kabupaten malang dalam wadah Badan Keamanan Rakyat
(BKR) dan memimpin pelucutan senjata dari tangan tentara Jepang.
Pada tanggal 5 Oktober 1945 dibentuklah Tentara Keamanan Rakyat. Dalam struktur
Tentara Keamanan Rakyat (TKR), Imam Soedja’i ditugaskan sebagai komandan Divisi VII
Untung Suropati yang bertugas di wilayah Malang-Besuki dengan pangkat Mayor Jenderal.
Dalam pemilihan Panglima besar Tentara Nasional Indonesia pada tanggal 12 November
1945 di Yogyakarta, Imam Soedja’i sebagai salah satu perwira tinggi TKR yang senior dan
memiliki pasukan yang cukup besar serta senjata yang sangat lengkap merupakan salah satu
calon kandidat kuat Panglima besar TNI. Meletusnya pertempuran 10 November 1945 di
Surabaya membuat Imam Soedja’i tidak tinggal diam. Imam Soedja’i meminta izin untuk
tidak mengikuti pemilihan tersebut dan lebih memilih mengikuti perang di Surabaya karena
letak geografis malang yang dekat dengan Surabaya. Akhirnya dalam pemilihan Panglima
Besar TNI tersebut kelompok PETA menjagokan Kolonel Sudirman karena ketiadaan perwira
senior untuk menyaingi Letjen Urip Sumohardjo yang diusung oleh kelompok KNIL.
Dalam Agresi Militer Belanda I Juli 1947, sebagai panglima Divisi VII Untung
Suropati Imam Soedja’i memimpin perlawanan rakyat di kabupaten Malang dan mampu
menyulitkan militer Belanda kala itu. Amir Syarifuddin yang pada waktu itu menjabat sebagai
Menteri Keamanan Rakyat secara sepihak menon-aktifkan Imam Soedja’i sebagai tentara
pada tahun 1948. Penonaktifan tersebut dilatar belakangi karena pertentangan kelompok kiri
dengan Imam Soedja’i sebagai salah satu Panglima Divisi yang terkenal sebagai tokoh islam
yang mahsyur. Keputusan penonaktifan tersebut diterima denga besar hati oleh Imam
Soedja’i, sebab kepentingan bangsanya yang ia perjuangkan dengan gigih semasa muda jauh
lebih besar daripada kepentingan pribadinya.
Setelah berhenti menjadi seorang Tentara, Imam Soedja’i dan keluarganya kemudian
pulang kerumah kakaknya di daerah Rejotangan, Tulungagung. Dalam kesehariannya Imam
Soedja’i bekerja serabutan seperti membuat sabun, menjual makanan, dan terkadang menjadi
seorang kusir dokar. Setelah Konferensi Meja Bundar (KMB), pada tahun 1950 Imam
Soedja’i kembali ke kabupaten Lumajang dan aktif dalam bidang kemasyarakatan serta
membina organisasi yang pernah ia buat yaitu Pencak Organisasi. Pada hari Jum’at tanggal 29
Januari 1953, diumurnya yang hendak 51 tahun. imam Soedja’i meninggal dan dimakamkan
sebagai seorang warga biasa simakam desa Jogoyudan, Lumajang .
KESIMPULAN
Dimasa penjajahan Belanda Imam Soedja’i muda sudah bekerja di sebuah perusahaan
pelayaran Belanda. Sewaktu bekerja disana, Imam Soedja’i mendapat perlakuan kurang
mengenakkan dari petinggi perusahaan yang mengejeknya dengan sebutan “Inlander”. kata
inlander sendiri berarti masyarakat primitif, ejekan petinggi perusahaan tersebut membuat
jiwa kebangsaannya geram. Sehingga Imam Soedja’i memutuskan keluar dari perusahaan
tersebut dan mulai mengembara di Jawa Barat untuk memperdalam ilmu silatnya.
Setelah masa pengembaraannya tersebut Imam Soedja’I memutuskan kembali ke
Lumajang dan mulai membentuk sebuah organisasi pencak silat yang diberi nama“Pencak
Organisasi” pada tanggal 27 Agustus 1927. Pencak Organisasi digunakan sebagai wadah para
pemuda untuk belajar silat dan sebagai gerakan bawah tanah untuk melawan penjajah
Belanda. Selain mendirikan Organisasi Pencak sila, Imam Soedja’i juga aktif dalam
organisasi Sarekat Islam Lumajang. Selama berorganisasi Sarekat Islam Imam Soedja’i juga
menginisiasi pembentukan “Sarekat Islam Afdeeling Pandu(SIAP)” atau Pramuka yang
dibentuk pada tahun 1930-an di Kabupaten Lumajang. Selain mendirikan berbagai organisasi
pemuda daerah. Imam Soedja’i bersama para tokoh lokal seperti Sastrodikoro dari partai
Parindra dan Nyono Parawoto, mereka mendirikan sebuah majalah yang bernama “Soeara
Desa”. Setelah Jepang menduduki Hindia-Belanda, Jepang mulai membentuk organisasi
untuk menguatkan kedudukan serta pertanannya di bumi Hindia-Belanda. Dalam organisasi
Pusat Tenaga Rakyat (PUTERA), Imam Soedja’i ditugasi menjadi ketua PUTERA untuk
wilayah Kabupaten Lumajang. Pada tanggal 3 oktober 1943, Jepang membentuk Pasukan
Pembela Tanah Air dan Imam Soedja’i menjadi seorang komandan Batalyon (Daidancho)
PETA di Malang.
Setelah proklamasi kemerdekaan dan dibubarkannya PETA pada tanggal 19Agustus
1945. Imam Soedja’i memimpin perjuangan di Kabupaten malang dalam wadah Badan
Keamanan Rakyat (BKR) dan memimpin pelucutan senjata dari tangan tentara Jepang. Pada
tanggal 5 Oktober 1945 dibentuklah Tentara Keamanan Rakyat. Dalam struktur Tentara
Keamanan Rakyat (TKR), Imam Soedja’i ditugaskan sebagai komandan Divisi VII Untung
Suropati yang bertugas di wilayah Malang-Besuki. Dengan pangkat Mayor Jenderal. Dalam
Pemilihan Panglima Besar TNI, Imam Soedja’i menjadi kandidat kuat Panglima Besar TNI.
Selain memiliki pasukan yang besar serta senjata yang cukup lengkap, Imam Soedja’i adalah
salah satu tentara TKR yang paling senior. Namun dalam pemilihan tersebut Imam Soedja’i
izin untuk mengikuti pertempuran di Surabaya pada tanggal 10 November 1945. Dalam
Agresi Militer Belanda I Juli 1947, sebagai panglima Divisi VII Untung Suropati Imam
Soedja’i memimpin perlawanan rakyat di kabupaten Malang. Pada tahun 1948, karena
pertentangannnya dengan kelompok kiri membuat Imam Soedja’i dinonaktifkan oleh Amir
Syarifuddin yang waktu itu menjabat sebagai Menteri Keamanan Rakyat.
Daftar Pustaka
Nugroho Notosusanto, dkk.1975. Sejarah Nasional Indonesia VI. Jakarta: Depatemen
Pendidikan Dan Kebudayaan.
DHC 45’ Lumajang.2018. Perjuangan Rakyat Lumajang dalam merebut dan
mempertahankan kemerdekaan (1942-1949) edisi II. Lumajang: Dewan Harian Cabang
Badan Pembudayaan Kejuangan 45’
Riwayat Hidup Penulis
Nama : REFIN ACHMAD F
TTL : Sidoarjo, 18 Mei 2000
SD : SDN Jumputrejo (Lulus)
SMP : SMPN 1 Sukodono (Lulus)
SMK : SMKN 3 Buduran (Lulus)
Institusi : IAIN Jember (Aktif)

Anda mungkin juga menyukai