Anda di halaman 1dari 17

PORTOFOLIO

Topik: Stroke Non Hemoragik


Tanggal (kasus) : 21 Januari 2020 Presenter : dr. Lusi Novia Alisma
Tangal presentasi : Pembimbing : dr. Jerry Jim Hutagalung
dr. Linda S
Obyektif presentasi:
□ Keilmuan
√ □ Keterampilan √ Penyegaran □ Tinjauan pustaka
□ Diagnostik □ Manajemen □ Masalah □ Istimewa

□Neonatus □ Bayi □ Anak □ Remaja □ Dewasa √ Lansia □ Bumil
□ Deskripsi: Ny. S (56 tahun) datang dengan keluhan lemah anggota gerak kanan sejak 1
hari smrs
□ Tujuan:
 Mampu menegakkan diagnosa Stroke Non Hemoragik serta melakukan penanganan
awal
Bahan bahasan: □ Tinjauan pustaka □ Riset √ Kasus □ Audit
Cara membahas: √ Diskusi □Presentasi dan diskusi □ E‐mail □ Pos

Data pasien: Nama: Ny. S No registrasi:


Nama RS: RSUD H. Hanafie Muara Usia: 56 tahun Terdaftar sejak: 21-1-2020
Bungo
Data utama untuk bahan diskusi:
1. Gambaran Klinis:
Pasien datang dengan keluhan lemah anggota gerak kanan sejak 1 hari smrs. Keluhan
timbul mendadak saat pasien sedang berbaring. Bicara pelo (+), nyeri kepala (-), muntah (-).
2. Riwayat Pengobatan:
-
3. Riwayat kesehatan/ Penyakit:
hipertensi (+)
4. Riwayat keluarga :
Tidak ada riwayat keluarga dengan keluhan serupa.
5. Riwayat Pekerjaan : IRT
6. Lain-lain : -
Daftar Pustaka:
1. Kelompok Studi Stroke Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. Guideline
Stroke 2011. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia: Jakarta, 2011
Hasil pembelajaran:
1
- Menegakkan diagnosa Stroke Non Hemoragik
- penanganan awal Stroke Non Hemoragik

RANGKUMAN
Subyektif
Pasien datang dengan keluhan lemah anggota gerak kanan sejak 1 hari smrs. Keluhan
timbul mendadak saat pasien sedang berbaring. Bicara pelo (+), nyeri kepala (-), muntah (-).
Gejala klinis pasien menunjukkan adanya gejala Stroke Non Hemoragik.

Obyektif

Pemeriksaan fisik :
- Keadaan umum tampak sakit sedang
- GCS 15
- Tanda vital :
TD : 170 / 90 mmHg
Nadi : 100 x/menit
RR : 22 x/menit
Suhu : 37°c
- Mata: konjungtiva tidak anemis, sclera tidak ikterik, pupil isokor. Reflek cahaya +/+
normal
- THT : dbn
- Torak:
cor: reguler, bising (-), gallop (-), murmur (-)
Pulmo: vesikuler, ronki(-), wheezing (-)
- Abdomen : soepel, BU + normal, NTE -
- Ekstremitas: akral hangat, edema (-). Tidak ada kelainan
- Motorik 333/555

Pemeriksaan Penunjang

Labor : Hb 12,6 leukosit 9000 hematokrit 36 trombosit 271000

2
CT scan : Infark iskemik di basal ganggia kiri

Berdasarkan pemeriksaan fisik dan CT scan, Ny. S menunjukkan tanda tanda dari stroke non
hemorragik

Assessment
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang pada Ny. R,
dapat didiagnosis dengan stroke non hemorragik. Pada anamnesa ditemukan kelemahan anggota
gerak sebelah kanan yang timbul mendadak saat berbaring. Keluhan disertai dengan bicara pelo.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan motorik menurun pada anggota gerak kanan. Pada CT scan
menunjukkan adanya lesi infark.

Plan
Farmakologi :
 IVFD RL 20 gtt/i
 Inj. Citicolin 2 x1 g
 Candesartan tab 1 x 8 mg

Non farmakologi :
- Bed Rest
- Elevasi kepala 30 derajat
- Fisioterapi
KIE (Komunikasi, Informasi dan Edukasi)
1. Menjelaskan mengenai penyakit pasien, termasuk faktor yang memperberat penyakit
pasien
2. Menjelaskan kepada pasien mengenai tujuan dan manfaat dari pengobatan yang diberikan
kepada pasien
3. Memberitahu kepada pasien akan pentingnya follow up dan terapi yang adekuat untuk
penyakitnya
4. Menyarankan pasien untuk makan makanan yang lembut Menyarankan pasien untuk
tetap menjaga higeinitas mulut

3
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Stroke (WHO) adalah menifestasi klinik dari gangguan fungsi serebral, baik fokal
maupun menyeluruh (global), yang berlangsung dengan cepat, selama lebih dari 24 jam
atau berakhir dengan kematian, tanpa ditemukannya penyebab lain selain gangguan
vaskuler. Stroke non hemoragik didefinisikan sebagai sekumpulan tanda klinik yang
berkembang oleh sebab vaskular. Gejala ini berlangsung 24 jam atau lebih pada
umumnya terjadi akibat berkurangnya aliran darah ke otak, yang menyebabkan cacat atau
kematian.

4
B. Epidemiologi
Stroke merupakan penyebab kematian ketiga tersering oleh karena itu
merupakan indikasi penting untuk perawatan di rumah sakit. Menurut taksiran
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), sebanyak 20,5 juta jiwa di dunia sudah
terjangkit stroke pada tahun 2001. Dari jumlah itu 5,5 juta telah meninggal dunia.
Penyakit tekanan darah tinggi atau hipertensi menyumbangkan 17,5 juta kasus stroke
di dunia.
Data di Indonesia menunjukkan kecenderungan peningkatan kasus stroke baik
dalam hal kematian, kejadian, maupun kecacatan. Angka kematian berdasarkan umur
adalah: sebesar 15,9% (umur 45-55 tahun) dan 26,8% (umur 55-64 tahun) dan 23,5%
(umur 65 tahun). Kejadian stroke (insiden) sebesar 51,6/100.000 penduduk
dan kecacatan; 1,6% tidak berubah; 4,3% semakin memberat. Penderita laki-laki
lebih banyak daripada perempuan dan profil usia dibawah 45 tahun sebesar 11,8%,
usia 45-64 tahun 54,2%, dan usia diatas 65 tahun sebesar 33,5%. Stroke menyerang
usia produktif dan usia lanjut yang berpotensi menimbulkan masalah baru dalam
pembangunan kesehatan secara nasional di kemudian hari.

C. Etiologi
Pada tingkatan makroskopik, stroke non hemoragik paling sering
disebabkan oleh emboli ektrakranial atau trombosis intrakranial. Selain itu, stroke
non hemoragik juga dapat diakibatkan oleh penurunan aliran serebral. Pada
tingkatan seluler, setiap proses yang mengganggu aliran darah menuju otak
menyebabkan timbulnya kaskade iskemik yang berujung pada terjadinya kematian
neuron dan infark serebri.

D. Patofisiologi
Patofisiologi Infark iskemik serebri, sangat erat hubungannya
aterosklerosis (terbentuknya ateroma) dan arteriolosklerosis.

E. Manifestasi Klinis

5
Selain Gejala-gejala neurologi yang timbul biasanya bergantung pada arteri
yang tersumbat.
1) Arteri serebri media (MCA)
Gejala-gejalanya antara lain hemiparese kontralateral, hipestesi
kontralateral, hemianopsia ipsilateral, agnosia, afasia, dan disfagia. Karena
MCA memperdarahi motorik ekstremitas atas maka kelemahan tungkai atas
dan wajah biasanya lebih berat daripada tungkai bawah.
2) Arteri serebri anterior
Umumnya menyerang lobus frontalis sehingga menyebabkan
gangguan bicara, timbulnya refleks primitive (grasping dan sucking reflex),
penurunan tingkat kesadaran, kelemahan kontralateral (tungkai bawah lebih
berat dari pada tungkai atas), defisit sensorik kontralateral, demensia, dan
inkontinensia uri.
3) Arteri serebri posterior
Menimbulkan gejalah seperti hemianopsia homonymous
kontralateral, kebutaan kortikal, agnosia visual, penurunan tingkat
kesadaran, hemiparese kontralateral, gangguan memori.(4,8)
4) Arteri vertebrobasiler (sirkulasi posterior)
Umumnya sulit dideteksi karena menyebabkan deficit nervus
kranialis, serebellar, batang otak yang luas. Gejalah yang timbul antara lain
vertigo, nistagmus, diplopia, sinkop, ataksia, peningkatan refleks tendon,
tanda Babynski bilateral, tanda serebellar, disfagia, disatria, dan rasa tebal
pada wajah. Tanda khas pada stroke jenis ini adalah temuan klinis yang
saling berseberangan (defisit nervus kranialis ipsilateral dan deficit motorik
kontralateral).
5) Arteri karotis interna (sirkulasi anterior)
Gejala yang ada umumnya unilateral. Lokasi lesi yang paling sering
adalah bifurkasio arteri karotis komunis menjadi arteri karotis interna dan
eksterna. Adapun cabang-cabang dari arteri karotis interna adalah arteri
oftalmika (manifestasinya adalah buta satu mata yang episodik biasa disebut
amaurosis fugaks), komunikans posterior, karoidea anterior, serebri anterior

6
dan media sehingga gejala pada oklusi arteri serebri anterior dan media pun
dapat timbul.
6) Lakunar stroke
Lakunar stroke timbul akibat adanya oklusi pada arteri perforans
kecil di daerah subkortikal profunda otak. Diameter infark biasanya 2-20
mm. Gejala yang timbul adalah hemiparese motorik saja, sensorik saja, atau
ataksia. Stroke jenis ini biasanya terjadi pada pasien dengan penyakit
pembuluh darah kecil seperti diabetes dan hipertensi.

F. Penegakan Diagnosis
Algorima Gadjah Mada

7
Pemeriksaan Penunjang
1) Computerized tomography (CT scan) : untuk membantu menentukan penyebab
seorang terduga stroke, suatu pemeriksaan sinar x khusus yang disebut CT scan
otak sering dilakukan. Suatu CT scan digunakan untuk mencari perdarahan atau
massa di dalam otak, situasi yang sangat berbeda dengan stroke yang memerlukan
penanganan yang berbeda pula.

8
2) MRI scan: Magnetic resonance imaging (MRI) menggunakan gelombang
magnetik untuk membuat gambaran otak. Gambar yang dihasilkan MRI jauh
lebih detail jika dibandingkan dengan CT scan, tetapi ini bukanlah pemeriksaan
garis depan untuk stroke. jika CT scan dapat selesai dalam beberapa menit, MRI
perlu waktu lebih dari satu jam. MRI dapat dilakukan kemudian selama perawatan
pasien jika detail yang lebih baik diperlukan untuk pembuatan keputusan medis
lebih lanjut. Orang dengan peralatan medis tertentu (seperti, pacemaker) atau
metal lain di dalam tubuhnya, tidak dapat dijadikan subyek pada daerah magneti
kuat suatu MRI.
3) Computerized tomography dengan angiography: menggunakan zat warna yang
disuntikkan ke dalam vena di lengan, gambaran pembuluh darah di otak dapat
memberikan informasi tentang aneurisma atau arteriovenous malformation.
Seperti abnormalitas aliran darah otak lainnya dapat dievaluasi dengan
peningkatan teknologi canggih, CT angiography menggeser angiogram
konvensional.
4) Conventional angiogram: suatu angiogram adalah tes lain yang kadang-kadang
digunakan untuk melihat pembuluh darah. Suatu pipa kateter panjang dimasukkan
ke dalam arteri (biasanya di area selangkangan) dan zat warna diinjeksikan
sementara foto sinar-x secara bersamaan diambil. Meskipun angiogram
memberikan gambaran anatomi pembuluh darah yang paling detail, tetapi ini juga
merupakan prosedur yang invasif dan digunakan hanya jika benar-benar
diperlukan. Misalnya, angiogram dilakukan setelah perdarahan jika sumber
perdarahan perlu diketahui dengan pasti. Prosedur ini juga kadang-kadang
dilakukan untuk evaluasi yang akurat kondisi arteri carotis ketika pembedahan
untuk membuka sumbatan pembuluh darah dipertimbangkan untuk dilakukan.
5) Carotid Doppler ultrasound: adalah suatu metode non-invasif (tanpa injeksi atau
penempatan pipa) yang menggunakan gelombang suara untuk menampakkan
penyempitan dan penurunan aliran darah pada arteri carotis (arteri utama di leher
yang mensuplai darah ke otak).
6) Tes jantung: tes tertentu untuk mengevaluasi fungsi jantung sering dilakukan pada
pasien stroke untuk mencari sumber emboli. Echocardiogram adalah tes dengan

9
gelombang suara yang dilakukan dengan menempatkan peralatan microphone
pada dada atau turun melalui esophagus (transesophageal achocardiogram) untuk
melihat bilik jantung. Monitor Holter sama dengan electrocardiogram (EKG),
tetapi elektrodanya tetap menempel pada dada selama 24 jam atau lebih lama
untuk mengidentifikasi irama jantung yang abnormal.
7) Tes darah: tes darah seperti sedimentation rate dan C-reactive protein yang
dilakukan untuk mencari tanda peradangan yang dapat memberi petunjuk adanya
arteri yang mengalami peradangan. Protein darah tertentu yang dapat
meningkatkan peluang terjadinya stroke karena pengentalan darah juga diukur.
Tes ini dilakukan untuk mengidentifikasi penyebab stroke yang dapat diterapi
atau untuk membantu mencegah perlukaan lebih lanjut. Tes darah screening
mencari infeksi potensial, anemia, fungsi ginjal dan abnormalitas elektrolit
mungkin juga perlu dipertimbangkan.

G. Penatalaksanaan
Target managemen stroke non hemoragik akut adalah untuk menstabilkan pasien dan
menyelesaikan evaluasi dan pemeriksaan termasuk diantaranya pencitraan dan pemeriksaan
laboratorium dalam jangka waktu 60 menit setelah pasien tiba. Keputusan penting pada
manajemen akut ini mencakup perlu tidaknya intubasi, pengontrolan tekanan darah, dan
menentukan resiko atau keuntungan dari pemberian terapi trombolitik.
1.Penatalaksanaan Umum
a.  Airway and breathing
Pasien dengan GCS ≤ 8 atau memiliki jalan napas yang tidak adekuat atau paten
memerlukan intubasi.Jika terdapat tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial (TIK) maka
pemberian induksi dilakukan untuk mencegah efek samping dari intubasi. Pada kasus dimana
kemungkinan terjadinya herniasi otak besar maka target pCO 2 arteri adalah 32-36 mmHg. Dapat
pula diberikan manitol intravena untuk mengurangi edema serebri.
Pasien harus mendapatkan bantuan oksigen jika pulse oxymetri atau pemeriksaan analisa gas
darah menunjukkan terjadinya hipoksia. Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan hipoksia
pada stroke non hemoragik adalah adanya obstruksi jalan napas parsial, hipoventilasi, atelektasis
ataupun GERD.

10
b.  Circulation
Pasien dengan stroke non hemoragik akut membutuhkan terapi intravena dan pengawasan
jantung.Pasien dengan stroke akut berisiko tinggi mengalami aritmia jantung dan peningkatan
biomarker jantung. Sebaliknya, atrial fibrilasi juga dapat menyebabkan terjadinya stroke.
c. Pengontrolan gula darah
Beberapa data menunjukkan bahwa hiperglikemia berat terkait dengan prognosis yang
kurang baik dan menghambat reperfusi pada trombolisis.Pasien dengan normoglokemik tidak
boleh diberikan cairan intravena yang mengandung glukosa dalam jumlah besar karena dapat
menyebabkan hiperglikemia dan memicu iskemik serebral eksaserbasi.Pengontrolan gula darah
harus dilakukan secara ketat dengan pemberian insulin.Target gula darah yang harus dicapai
adalah 90-140 mg/dl. Pengawasan terhadap gula darah ini harus dilanjutkan hingga pasien
pulang untuk mengantisipasi terjadinya hipoglikemi akibat pemberian insulin.
d. Posisi kepala pasien
Penelitian telah membuktikan bahwa tekanan perfusi serebral lebih maksimal jika pasien
dalam pasien supinasi.Sayangnya, berbaring telentang dapat menyebabkan peningkatan tekanan
intrakranial padahal hal tersebut tidak dianjurkan pada kasus stroke. Oleh karena itu, pasien
stroke diposisikan telentang dengan kepala ditinggikan sekitar 30-45 derajat.

a. Pengontrolan tekanan darah


Pada keadaan dimana aliran darah kurang seperti pada stroke atau peningkatan TIK,
pembuluh darah otak tidak memiliki kemampuan vasoregulator sehingga hanya bergantung pada
maen arterial pressure (MAP) dan cardiac output (CO) untuk mempertahankan aliran darah otak.
Oleh karena itu, usaha agresif untuk menurunkan tekanan darah dapat berakibat turunnya
tekanan perfusi yang nantinya akan semakin memperberat iskemik. Di sisi lain didapatkan
bahwa pemberian terapi anti hipertensi diperlukan jika pasien memiliki tekanan darah yang
ekstrim (sistole lebih dari 220 mmHg dan diastole lebih dari 120 mmHg) atau pasien
direncanakan untuk mendapatkan terapi trombolitik.
Adapun langkah-langkah pengontrolan tekanan darah pada pasien stroke non hemoragik
adalah sebagai berikut. Jika pasien tidak direncanakan untuk mendapatkan terapi trombolitik,
tekanan darah sistolik kurang dari 220 mmHg, dan tekanan darah diastolik kurang dari 120

11
mmHg tanpa adanya gangguan organ end-diastolic maka tekanan darah harus diawasi (tanpa
adanya intervensi) dan gejala stroke serta komplikasinya harus ditangani.
Untuk pasien dengan TD sistolik di atas 220 mmHg atau diastolik antara 120-140 mmHg
maka pasien dapat diberikan labetolol (10-20 mmHg IV selama 1-2 menit jika tidak ada
kontraindikasi. Dosis dapat ditingkatkan atau diulang setiap 10 menit hingga mencapai dosis
maksiamal 300 mg. Sebagai alternatif dapat diberikan nicardipine (5 mg/jam IV infus awal) yang
dititrasi hingga mencapai efek yang diinginkan dengan menambahkan 2,5 mg/jam setiap 5 menit
hingga mencapai dosis maksimal 15 mg/jam. Pilihan terakhir dapat diberikan nitroprusside 0,5
mcg/kgBB/menit/IV via syringe pump. Target pencapaian terapi ini adalah nilai tekanan darah
berkurang 10-15 persen.
Pada pasien yang akan mendapatkan terapi trombolitik, TD sistolik lebih 185 mmHg, dan
diastolik lebih dari 110 mmHg maka dibutuhkan antihipertensi. Pengawasan dan pengontrolan
tekanan darah selama dan setelah pemberian trombolitik agar tidak terjadi komplikasi
perdarahan.
Preparat antihipertensi yang dapat diberikan adalah labetolol (10-20 mmHg/IV selama 1-2 menit
dapat diulang satu kali). Alternatif obat yang dapat digunakan adalah nicardipine infuse 5
mg/jam yang dititrasi hingga dosis maksimal 15 mg/jam.
Pengawasan terhadap tekanan darah adalah penting. Tekanan darah harus diperiksa setiap
15 menit selama 2 jam pertama, setiap 30 menit selama 6 jam berikutnya, dan setiap jam selama
16 jam terakhir. Target terapi adalah tekanan darah berkurang 10-15 persen dari nilai awal.
Untuk mengontrol tekanan darah selama opname maka agen berikut dapat diberikan.
1) TD sistolik 180-230 mmHg dan diastolik 105-120 mmHg maka dapat diberikan labetolol 10
mg IV selama 1-2 menit yang dapat diulang selama 10-20 menit hingga maksimal 300 mg
atau jika diberikan lewat infuse hingga 2-8 mg/menit.
2) TD sistolik lebih dari 230 mmHg atau diastolik 121-140 mmHg dapat diberikan labetolol
dengan dosis diatas atau nicardipine infuse 5 mg/jam hingga dosis maksimal 15mg/jam.
3) Penggunaan nifedipin sublingual untuk mengurangi TD dihindari karena dapat
menyebabkan hipotensi ekstrim.
f. Pengontrolan demam
Antipiretik diindikasikan pada pasien stroke yang mengalami demam karena hipertermia
(utamanya pada 12-24 jam setelah onset) dapat menyebabkan trauma neuronal iskemik. Sebuah

12
penelitian eksprimen menunjukkan bahwa hipotermia otak ringan dapat berfungsi sebagai
neuroprotektor.

g. Pengontrolan edema serebri


Edema serebri terjadi pada 15 persen pasien dengan stroke non hemoragik dan mencapai
puncak keparahan 72-96 jam setelah onset stroke. Hiperventilasi dan pemberian manitol rutin
digunakan untuk mengurangi tekanan intrakranial dengan cepat.
h. Pengontrolan kejang
Kejang terjadi pada 2-23 persen pasien dalam 24 jam pertama setelah onset. Meskipun
profilaksis kejang tidak diindikasikan, pencegahan terhadap sekuel kejang dengan menggunakan
preparat antiepileptik tetap direkomendasikan.

2. Penatalaksanaan Khusus
a.Terapi Trombolitik
Tissue plaminogen activator (recombinant t-PA) yang diberikan secara intravena akan
mengubah plasminogen menjadi plasmin yaitu enzim proteolitik yang mampu
menghidrolisa fibrin, fibrinogen dan protein pembekuan lainnya.
Pada penelitian NINDS (National Institute of Neurological Disorders and Stroke) di
Amerika Serikat, rt-PA diberikan dalam waktu tidak lebih dari 3 jam setelah onset stroke, dalam
dosis 0,9 mg/kg (maksimal 90 mg) dan 10% dari dosis tersebut diberikan secara bolus IV sedang
sisanya diberikan dalam tempo 1 jam. Tiga bulan setelah pemberian rt-PA didapati pasien tidak
mengalami cacat atau hanya minimal. Efek samping dari rt-PA ini adalah perdarahan
intraserebral, yang diperkirakan sekitar 6%. Penggunaan rt-PA di Amerika Serikat telah
mendapat pengakuan FDA pada tahun 1996.
Tetapi pada penelitian random dari European Coorperative Acute Stroke Study (ECASS)
pada 620 pasien dengan dosis t-PA 1,1 mg/kg (maksimal 100 mg) diberikan secara IV dalam
waktu tidak lebih dari 6 jam setelah onset. Memperlihatkan adanya perbaikan fungsi neurologik
tapi secara keseluruhan hasil dari penelitian ini dinyatakan kurang menguntungkan. Tetapi pada
penelitian kedua (ECASS II) pada 800 pasien menggunakan dosis 0,9 mg/kg diberikan dalam
waktu tidak lebih dari 6 jam sesudah onset. Hasilnya lebih sedikit pasien yang meninggal atau

13
cacat dengan pemberian rt-PA dan perdarahan intraserebral dijumpai sebesar 8,8%. Tetapi rt-PA
belum mendapat ijin untuk digunakan di Eropa.
Kontroversi mengenai manfaat rt-PA masih berlanjut, JM Mardlaw dkk mengatakan
bahwa terapi trombolisis perlu penelitian random dalam skala besar sebab resikonya sangat besar
sedang manfaatnya kurang jelas. Lagi pula jendela waktu untuk terapi tersebut masih kurang
jelas dan secara objektif belum terbukti rt-PA lebih aman dari streptokinase. Sedang penelitian
dari The Multicenter Acute Stroke Trial-Europe Study Group(MAST-E) dengan menggunakan
streptokinase 1,5 juta unit dalam waktu satu jam. Jendela waktu 6 jam setelah onset, ternyata
meningkatkan mortalitas. Sehingga penggunaan streptokinase untuk stroke iskemik akut tidak
dianjurkan.
b. Antikoagulan
Warfarin dan heparin sering digunakan pada TIA dan stroke yang mengancam. Suatu
fakta yang jelas adalah antikoagulan tidak banyak artinya bilamana stroke telah terjadi, baik
apakah stroke itu berupa infark lakuner atau infark massif dengan hemiplegia. Keadaan yang
memerlukan penggunaan heparin adalah trombosis arteri basilaris, trombosis arteri karotisdan
infark serebral akibat kardioemboli. Pada keadaan yang terakhir ini perlu diwaspadai terjadinya
perdarahan intraserebral karena pemberian heparin tersebut.
1) Warfarin
Segera diabsorpsi dari gastrointestinal. Terkait dengan protein plasma. Waktu paro
plasma: 44 jam. Dimetabolisir di hati, ekskresi: lewat urin. Dosis: 40 mg (loading dose), diikuti
setelah 48 jam dengan 3-10 mg/hari, tergantung PT. Reaksi yang merugikan: hemoragi, terutama
ren dan gastrointestinal.
2) Heparin
Merupakan acidic mucopolysaccharide, sangat terionisir. Normal terdapat pada mast
cells. Cepat bereaksi dengan protein plasma yang terlibat dalam proses pembekuan darah.
Heparin mempunyai efek vasodilatasi ringan. Heparin melepas lipoprotein lipase. Dimetabolisir
di hati, ekskresi lewat urin. Wakto paro plasma: 50-150 menit. Diberikan tiap 4-6 jam atau infus
kontinu. Dosis biasa: 500 mg (50.000 unit) per hari. Bolus initial 50 mg diikuti infus 250 mg
dalam 1 liter garam fisiologis atau glukose. Dosis disesuaikan dengan Whole Blood Clotting
Time. Nilai normal: 5-7 menit, dan level terapetik heparin: memanjang sampai 15 menit. Reaksi
yang merugikan: hemoragi, alopesia, osteoporosis dan diare. Kontraindikasi: sesuai dengan

14
antikoagulan oral. Apabila pemberian obat dihentikan segala sesuatunya dapat kembali normal.
Akan tetapi kemungkinan perlu diberi protamine sulphute dengan intravenous lambat untuk
menetralisir.Dalam setengah jam pertama, 1 mg protamin diperlukan untuk tiap 1 mg heparin
(100 unit).
c. Hemoreologi
Pada stroke iskemik terjadi perubahan hemoreologi yaitu peningkatan hematokrit,
berkurangnya fleksibilitas eritrosit, aktivitas trombosit, peningkatan kadar fibrinogen dan
aggregasi abnormal eritrosit, keadaan ini menimbulkan gangguan pada aliran
darah. Pentoxyfilline merupakan obat yang mempengaruhi hemoreologi yaitu memperbaiki
mikrosirkulasi dan oksigenasi jaringan dengan cara: meningkatkan fleksibilitas eritrosit,
menghambat aggregasi trombosit dan menurunkan kadar fibrinogen plasma.
Dengan demikian eritrosit akan mengurangi viskositas darah. Pentoxyfilline diberikan dalam
dosis 16/kg/hari, maksimum 1200 mg/hari dalam jendela waktu 12 jam sesudah onset.(15)
d.Antiplatelet (Antiaggregasi Trombosit)
1) Aspirin
Obat ini menghambat sklooksigenase, dengan cara menurunkan sintesis atau mengurangi
lepasnya senyawa yang mendorong adhesi seperti thromboxane A 2. Aspirin merupakan obat
pilihan untuk pencegahan stroke. Dosis yang dipakai bermacam-macam, mulai dari 50 mg/hari,
80 mg/hari samapi 1.300 mg/hari. Obat ini sering dikombinasikan dengan dipiridamol. Suatu
penelitian di Eropa (ESPE) memakai dosis aspirin 975 mg/hari dikombinasi dengan dipiridamol
225 mg/hari dengan hasil yang efikasius.
Dosis lain yang diakui efektif ialah: 625 mg 2 kali sehari. Aspirin harus diminum terus,
kecuali bila terjadi reaksi yang merugikan. Konsentrasi puncak tercapai 2 jam sesudah diminum.
Cepat diabsorpsi, konsentrasi di otak rendah. Hidrolise ke asam salisilat terjadi cepat, tetapi tetap
aktif. Ikatan protein plasma: 50-80 persen. Waktu paro (half time) plasma: 4 jam. Metabolisme
secara konjugasi (dengan glucuronic acid dan glycine). Ekskresi lewat urine, tergantung pH.
Sekitar 85 persen dari obat yang diberikan dibuang lewat urin pada suasana alkalis. Reaksi yang
merugikan: nyeri epigastrik, muntah, perdarahan, hipoprotrombinemia dan diduga: sindrom
Reye.
Alasan mereka yang tidak menggunakan dosis rendah aspirin antara lain adalah
kemungkinan terjadi “resistensi aspirin” pada dosis rendah. Hal ini memungkinkan platelet untuk

15
menghasilkan 12-hydroxy-eicosatetraenoic acid, hasil samping kreasi asam arakhidonat
intraplatelet (lipid – oksigenase). Sintesis senyawa ini tidak dipengaruhi oleh dosis rendah
aspirin, walaupun penghambatan pada tromboksan A2 terjadi dengan dosis rendah aspirin.
Aspirin mengurangi agregasi platelet dosis aspirin 300-600 mg (belakangan ada yang
memakai 150 mg) mampu secara permanen merusak pembentukan agregasi platelet. Sayang ada
yang mendapatkan bukti bahwa aspirin tidak efektif untuk wanita.
2) Tiklopidin (ticlopidine) dan klopidogrel (clopidogrel)
Pasien yang tidak tahan aspirin atau gagal dengan terapi aspirin, dapat menggunakan
tiklopidin atau clopidogrel. Obat ini bereaksi dengan mencegah aktivasi platelet, agregasi, dan
melepaskan granul platelet, mengganggu fungsi membran platelet dengan penghambatan ikatan
fibrinogen-platelet yang diperantarai oleh ADP dan antraksi platelet-platelet. Menurut suatu
studi, angka fatalitas dan nonfatalitas stroke dalam 3 tahun dan dalam 10 persen untuk grup
tiklopidin dan 13 persen untuk grup aspirin. Resiko relatif berkurang 21 persen dengan
penggunaan tiklopidin.
e. Terapi Neuroprotektif
Terapi neuroprotektif diharapkan meningkatkan ketahanan neuron yang iskemik dan sel-
sel glia di sekitar inti iskemik dengan memperbaiki fungsi sel yang terganggu akibat oklusi dan
reperfusi. Berdasarkan pada kaskade iskemik dan jendela waktu yang potensial untuk
reversibilitas daerah penumbra maka berbagai terapi neuroprotektif telah dievaluasi pada
binatang percobaan maupun pada manusia.
b. Pembedahan
Indikasi pembedahan pada completed stroke sangat dibatasi. Jika kondisi pasien semakin
buruk akibat penekanan batang otak yang diikuti infark serebral maka pemindahan dari jaringan
yang mengalami infark harus dilakukan.
1) Karotis Endarterektomi
Prosedur ini mencakup pemindahan trombus dari arteri karotis interna yang mengalami
stenosis. Pada pasien yang mengalami stroke di daerah sirkulasi anterior atau yang mengalami
stenosis arteri karotis interna yang sedang hingga berat maka kombinasi Carotid endarterectomy
is a surgical procedure that cleans out plaque and opens up the narrowed carotid arteries in the
neck.endarterektomi dan aspirin lebih baik daripada penggunaan aspirin saja untuk mencegah

16
stroke. Endarterektomi tidak dapat digunakan untuk stroke di daerah vertebrobasiler atau oklusi
karotis lengkap. Angka mortalitas akibat prosedur karotis endarterektomi berkisar 1-5 persen.

Gambar 2. Endarterektomi adalah prosedur pembedahan yang menghilangkan plak dari lapisan
arteri
2) Angioplasti dan Sten Intraluminal
Pemasangan angioplasti transluminal pada arteri karotis dan vertebral serta pemasangan
sten metal tubuler untuk menjaga patensi lumen pada stenosis arteri serebri masih dalam
penelitian. Suatu penelitian menyebutkan bahwa angioplasti lebih aman dilaksanakan
dibandingkan

17

Anda mungkin juga menyukai