Epidemic obesitas dengan cepat menjadi tantangan terbesar kesehatan masyarakat global,peringkat tiga
besar penyebab gangguan kesehahatan kronik. Pada tahun 2014 diperkirakan bahwa dampak ekonomi
global akibat obesitas adalh $ 2 triliun per tahun--hampir sama dengan merokok dan perang atau konflik
global. Angka ini termasuk biaya kesehatan sertayang terkait dengan kehilangan produktivitas.
Peningkatan angka obesitas pada umumnya dikaitkan dengan kebiasaan seseorang yang mengkomsumsi
makanan dengan jumlah kalori atau energy lebih dari yang dibutuhkan. Di banyak daerah di
dunia,makanan menjadi lebih mudah tersedia,menarik dan lebih murah dari sebelumny, pada saat
pembangunan ekonomi telah mengurangi tingkat aktivitas fisik.
Organisasi kesehatan dunia (WHO) menetapkan target tahun 2025 untuk mempertahankan pravelensi
obesitas kembali ke angka saat tahun 2010. Tapi waktu terus berjalan-kita sekarang memiliki kurang dari
10 tahun untuk mencapai hal itu.
Di dunia obesitas meningkat lebih dari dua kali lipat sejak tahun 1980.
Pada tahun 2014, lebih dari 1,9 miliar orang dewasa, usia 18 tahun ke atas, kelebihan berat
badan. Dari jumlah tersebut, lebih dari 600 juta mengalami obesitas.
39 % dari orang dewasa berusia 18 tahun ke atas kelebihan berat badan dan 13% mengalami
obesitas.
Rata-rata indeks massa tubuh (IMT) populasi dunia adalah 24 kg/m2.
Pravelensi kelebihan berat badan tertinggi terdapat di wilayah WHO Amerika dan terendah di
wilayah WHO south-East Asia.
Di seluruh wilayah, obesitas lebih tinggi pada perempuan di bandingkan dengan laki-laki.
Berat bdab lebih dan obesitas menjadi kematian populasi di berbagai negara di dunia di
bandingkan dengan berat badan kurang.
41 juta anak di bawah usia 5 tahun yang kelebihan berat badab dan obesitas.
Obesitas dapat di cegah.
OBESITAS DI INDONESIA
Di Indonesia , 13,5 %orang deawsa usia 18 tahun ke atas kelebihan berat badan, sementara itu
28,7 % mengalami obesitas (IMT ≥ 25 ) dab berdasarkan indicator RPJMN 2015-2019 sebanyak
15,4 % mengalami obesitas ( IMT ≥ 27). Sementara pada usia anak 5-12 tahun, sebanyak 18,8%
kelebihan berat badan dan 10,8 % mengalami obesitas.
Sumber gambar : kementerian kesehatan Republik Indonesia.
Sumber : kemenkes RI
APA ITU OBESITAS? ( tambahan untuk defenisi ya na,taruh bagian atas karena menurut WHO)
Klasifikasi WHO:
APA YANG MENYEBABKAN OBESITAS DAN KELEBIHAN BERAT BADAN?
1. Faktor Genetik
Bila salah satu orantuanya obesitas, maka peluang anak-anak menjadi obesitas sebesar 40-
50%. Dan bila kedua orantuanya obesitas maka peluang factor keturunan menjadi 70-80%.
2. Faktor Lingkungan
Pola makan
Jumlah asupan energi yang berlebih menyebabkan kelebihan berat badan dan
obesitas. Jenis makanan dengan kepadatan energy yang tinggi (tinggi lemak, tinggi
gula, serta kurang serat) menyebabkan ketidakseimbangan energy.
Pola akyivitas fisik
Pola aktivitas fisik sedentary (kurang gerak) menyebabkan energy yang di keluarkan
tidak maksimal sehingga meningkakan risiko obesitatas.
3. Faktor obat-obatan dan hormonal
Obat-obatan
Obat-obatan jenis steroid yang sering di gunakan dalam jangka waktu yang lama
untuk terapi asma,osteoarthritis dan alergi dapat menyebabkan nafsu makan yang
meningkat sehingga dapat meningkatkan risiko obesitas.
Hormonal
Hormonal yang berperan dalam kejadian obesitas antara lain adalah hormone
leptin,ghrelin,tiroid,insulin dan estrogen.
a. Dampak Metabolik
Lingkar perut pada ukuran tertentu (pria > 90 cm dan wanita > 80 cm) akan berdampak pada
peningkatan trigliserida dan penurunan kolesterol HDL, serta meningkatkan tekanna
darah,keadaan ini di sebut degan sindroma metabolic.
b. Dampak Penyakit lain
Perburukan asma
Osteoarthritis lutut dan pinggul (berhubungan dengan mekanik)
Pembentukan batu empedu
Sleep apnoea (henti nafas saat tidur)
Low back pain (nyeri pinggang)
Kardiovaskular (jantung)
Diabetes
Perlemakan hati
Gangguan menstruasi
Dislipedimia
Stroke
Kanker payudara
Pancreatitis
Kanker Kolon
Ginjal
Kanker Prostat
Infertilitas
TERAPI NON-FARMAKOLOGIK
Bagi penderita obesitas, diperlukan Pinsip Pengelolaan Energi. Prinsip pengelolaan energy adalah
mengatur keseimbangan energy. Energy yang masuk harus lebih rendah di bandingkan dengan yang di
butuhkan atau biasa juga di sebut diet.
1. Pola Makan
Pola makan mencakup jumlah ,jenis, jadwal makan dan pengolahan bahan makanan. Bila kita
menggunakan piring makan model T maka julah sayur 2 kali lipat jumlah bahan makanan
sumber karbohidrat (nasi,mie,roti,pasta,singkong,dll) dan jumlah makanan sumber protein
setara dengan jumlah bahan makanan sumber karbohidrat. Sayur atau buah minimal harus
sama dengan jumlah protein.
2. Pola Aktivitas
Pengelolaan aktivitas dilakukan melalui peningkatan aktivitas fisik yang gerakannya kontinyu
dengan gerakan insesitas rendah sampai sedang hingga terjadi peningkatan pengeluaran energy
dan peningkatan massa otot. Pola hidup aktif merupakan penyeimbang dari asupan energy,
dengan demikian energy yang di asup tidak akan pernah berlebih di dalam tubuh jika selalu
hidup aktif.
3. Pola Emosi Makan
Pola emosi makan adalah suatu kebiasaan makan dengan jumlah berlebihan dan cenderung
memilih jenis makanan yang tidak sehat yaitu tinggi gula, garam dan lemak yang di sebabkan
oleh emosi bukan karena lapar. Dalam pengelolaan obesitas, maka seseorang perlu dibantu
unutk mengenali jenis emosinya dan cara memahami emosi tresebut.
4. Pola Tidur/Istirahat
Kurang tidur dapat menyebabkan hormone leptin terganggu sehingga rasa lapar tidak
terkontrol. Jika kuantitas (6-8 jam) dan kualitas tidur seseorang tidak sesuai maka akan
mempengaruhi hormone yang pada akhirnya memicu obesitas. Gangguan tidur dapat
menyebabkan peningkatan asupan energy melalui:
1. Peningkatan rasa lapar melalui meningkatnya hormone ghlerin(pengontrol rasa lapar) dan
menurunnya hormone leptin (pengontrol rasa kenyang).
2. Waktu terisa untuk makan menjadi lebih banyak.
3. Cenderung memilih makanan yang tidak sehat.
1. Pada Bayi
a. Inisiasi menyusui dini (IMD)
b. ASI eksklusif sampai umur 6 bulan
c. Melanjutkan ASI sampai usia 2 tahun
d. MP-ASI dimulai pada usia 6 bulan
e. Pemberian makanan bayi anak (PMBA) sesuai kelompok umur
f. Tummy time untuk bayi yang belum bisa merangkak sebagai usaha aktivitas fisik
2. Balita
a. Aneka ragam pangan, makan lebih banyak yang bergizi (usia 2-5 tahun)
b. Jangan terlalu banyak digendong, biarkan anak bergerak bebas.
3. Anak dan Reamja
a. Tidak makan sambal menonton TV
b. Batasi penggunaan gadget
c. Perbanyak akivitas di luar ruangan
d. Biasakan makan denga keluarga
e. Biasakan selalu sarapan sehat
f. Biasakan membawa bekal makanan sehat dan air putih dari rumah
g. Batasi makanan siap saji dan bahan pangan olahan,jajanan dan makanan selingan yang
manis,asin dan berlemak
h. Banyak makan sayur dan buah
i. Mengkomsumsi aneka ragam pangan
j. Tidak merokok dan minum minuman beralkohol
k. Hindari komsumsi minuman ringan dan besoda
Daftarpustaka :
http://p2ptm.kemkes.go.id/uploads/N2VaaXIxZGZwWFpEL1VlRFdQQ3ZRZz09/2018/02/FactSheet_Ob
esitas_Kit_Informasi_Obesitas.pdf
PATOGENESIS OBESITAS
Obesitas terjadi karena ketidakseimbangan antara asupan energi dengan keluaran energi (energy
expenditures) sehingga terjadi kelebihan energi yang selanjutnya disimpan dalam bentuk jaringan lemak.
Asupan dan pengeluaran energi tubuh diatur oleh mekanisme saraf dan hormonal. Hampir setiap
individu, pada saat asupan makanan meningkat, konsumsi kalorinya juga ikut meningkat, begitupun
sebaliknya. Karena itu, berat badan dipertahankan secara baik dalam cakupan yang sempit dalam waktu
yang lama. Diperkirakan, keseimbangan yang baik ini dipertahankan oleh internal set point atau lipostat,
yang dapat mendeteksi jumlah energi yang tersimpan (jaringan adiposa) dan semestinya meregulasi
asupan makanan supaya seimbang dengan energi yang dibutuhkan.
Skema yang dapat dipakai untuk memahami mekanisme neurohormonal yang meregulasi keseimbangan
energi dan selanjutnya mempengaruhi berat badan dapat di lihat pada gambar dibawah ini. Ada 3
komponen pada system ini:
1. Sistem aferen, menghasilkan sinyal humoral dari jaringan adiposa (leptin), pankreas (insulin), dan
perut (ghrelin).
2. Central processing unit, terutama terdapat pada hipotalamus, yang mana terintegrasi dengan sinyal
aferen.
3. Sistem efektor, membawa perintah dari hypothalamic nuclei dalam bentuk reaksi untuk makan dan
pengeluaran energy.
Pada keadaan energi tersimpan berlebih dalam bentuk jaringan adiposa dan individu tersebut makan,
sinyal adipose aferen (insulin, leptin, ghrelin) akan dikirim ke unit proses sistem saraf pusat pada
hipotalamus. Di sini, sinyal adiposa menghambat jalur anabolisme dan mengaktifkan jalur katabolisme.
Lengan efektor pada jalur sentral ini kemudian mengatur keseimbangan energi dengan menghambat
masukan makanan dan mempromosi pengeluaran energi. Hal ini akan mereduksi energi yang tersimpan.
Sebaliknya, jika energi tersimpan sedikit maka ketersediaan jalur katabolisme akan digantikan jalur
anabolisme untuk menghasilkan energi yang akan disimpan dalam bentuk jaringan adiposa, sehingga
tercipta keseimbangan antara keduanya.
Pada sinyal aferen, insulin dan leptin mengontrol siklus energi dalam jangka waktu yang lama dengan
mengaktifkan jaras katabolisme dan menghambat jaras anabolisme. Sebaliknya, ghrelin secara dominan
menjadi mediator dalam waktu yang singkat. Hormon ghrelin menstimulasi rasa lapar melalui aksinya di
pusat makan di hipotalamus. Sintesis ghrelin terjadi dominan di sel-sel epitel di bagian fundus lambung.
Sebagian kecil dihasilkan di plasenta, ginjal, kelenjar pituitari, dan hipotalamus. Sedangkan reseptor
ghrelin terdapat di sel-sel pituitari yang mensekresikan hormon pertumbuhan, hipotalamus, jantung,
dan jaringan adiposa. Konsentrasi ghrelin dalam darah paling rendah terjadi setelah makan dan
meningkat ketika puasa sampai waktu makan berikutnya.
Walaupun insulin dan leptin sama-sama berpengaruh dalam siklus energi, data yang ada menyatakan
bahwa leptin mempunyai peran yang lebih penting daripada insulin dalam pengaturan homeostatis
energi di sistem saraf pusat. Sel-sel adiposa berkomunikasi dengan pusat hypothalamic yang mengontrol
selera makan dan pengeluaran energi dengan cara mengeluarkan leptin, salah satu jenis sitokin. Jika
terdapat energi tersimpan yang berlimpah dalam bentuk jaringan adiposa, dihasilkan leptin dalam
jumlah besar, melintasi sawar darah otak, dan berikatan dengan reseptor leptin. Reseptor leptin
menghasilkan sinyal yang mempunyai dua efek, yaitu menghambat jalur anabolisme dan memicu jalur
katabolisme melalui neuron yang berbeda. Hasil akhir dari leptin adalah mengurangi asupan makanan
dan mempromosikan Fapengeluaran energi. Karena itu, dalam beberapa saat, energi yang tersimpan
dalam sel-sel adipose mengalami reduksi dan mengakibatkan berat badan berkurang. Pada keadaan ini,
equilibrium atau energy balance tercapai. Siklus ini akan terbalik jika jaringan adiposa habis dan jumlah
leptin berada di bawah ambang batas normal. Cara kerja leptin secara molekuler sangat kompleks dan
belum dapat diuraikan secara lengkap. Secara garis besar, leptin bekerja melalui salah satu bagian jaras
neural terintegrasi yang disebut leptin-melanocortin circuit.
Sumber: google-patogenesis obesitas.
Daftar pustaka:
http://eprints.umm.ac.id/41662/3/jiptummpp-gdl-zatilaqmar-48850-3-babii.pdf
PATOFISIOLOGI OBESITAS
Obesitas terjadi akibat ketidakseimbangan masukan dan keluaran kalori dari tubuh serta penurunan
aktifitas fisik (sedentary life style) yang menyebabkan penumpukan lemak di sejumlah bagian tubuh.
Penelitian yang dilakukan menemukan bahwa pengontrolan nafsu makan dan tingkat kekenyangan
seseorang diatur oleh mekanisme neural dan humoral (neurohumoral) yang dipengaruhi oleh genetik,
nutrisi,lingkungan, dan sinyal psikologis. Pengaturan keseimbangan energi diperankan oleh hipotalamus
melalui 3 proses fisiologis, yaitu pengendalian rasa lapar dan kenyang, mempengaruhi laju pengeluaran
energi dan regulasi sekresi hormon.
Proses dalam pengaturan penyimpanan energi ini terjadi melalui sinyal-sinyal eferen (yang berpusat di
hipotalamus) setelah mendapatkan sinyal aferen dari perifer (jaringan adiposa, usus dan jaringan otot).
Sinyal-sinyal tersebut bersifat anabolik (meningkatkan rasa lapar serta menurunkan pengeluaran energi)
dan dapat pula bersifat katabolik (anoreksia, meningkatkan pengeluaran energi) dan dibagi menjadi 2
kategori, yaitu sinyal pendek dan sinyal panjang.
Sinyal pendek mempengaruhi porsi makan dan waktu makan, serta berhubungan dengan faktor distensi
lambung dan peptida gastrointestinal, yang diperankan oleh kolesistokinin (CCK) sebagai stimulator
dalam peningkatan rasa lapar. Sinyal panjang diperankan oleh fat-derived hormon leptin dan insulin
yang mengatur penyimpanan dan keseimbangan energi . Apabila asupan energi melebihi dari yang
dibutuhkan, maka jaringan adiposa meningkat disertai dengan peningkatan kadar leptin dalam
peredaran darah. Kemudian, leptin merangsang anorexigenic center di hipotalamus agar menurunkan
produksi Neuro Peptida Y (NPY) sehingga terjadi penurunan nafsu makan. Demikian pula sebaliknya bila
kebutuhan energi lebih besar dari asupan energi, maka jaringan adiposa berkurang dan terjadi
rangsangan pada orexigenic center di hipotalamus yang menyebabkan peningkatan nafsu makan. Pada
sebagian besar penderita obesitas terjadi resistensi leptin, sehingga tingginya kadar leptin tidak
menyebabkan penurunan nafsu makan.
Daftar pustaka:
http://digilib.nila.ac.id/6659/125/BAB%20II.pdf
TABEL RINGKASAN
Tambahan istilah :
Osteoarthritis
Digliserida
Dyslipidemia
Infertilitas
Equilibrium
Leptin-melanocortin ciruit
Kolesistokinin