Anda di halaman 1dari 24

Kebijakan Dan Strategi Kekhalifahan Ali

Bin Abi Thalib


muhammad rifky 09:10 Religi
Ali Bin Abi Thalib menjadi khalifah menggantikan Utsman Bin Affan yang terbunuh pada
saat timbulnya pemberontakan. Ali menjabat sebagai khalifah selama 6 tahun (35 H/655 M-
40 H/660 M). Selama pemerintahannya Ali dihadapkan pada berbagai pergolakan yang telah
ada pada masa Utsman Bin Affan. Oleh karena itu, kebijakan Ali Bin Abi Thalib lebih
terfokus untuk mempertahankan stabilitas negara. Berikut ini kebijakan dan strategi
kekhaliahan Ali Bin Abi Thalib:

1. Pergantian Pejabat Lama dengan yang Baru

Ali Bin Abi Thalib sadar betul penyebab pergolakan yang terjadi. Pemberontakan-
pemberontakan yang terjadi dikarenakan keteledoran para pejabat yang diangkat Utsman Bin
Affan. Ali Bin Abi Thalib memutuskan untuk memecat para gubernur yang diangkat oleh
Utsamn Bin Affan dan menggantinya dengan gubernur baru pilihan Ali Bin Abi Thalib.

2. Penarikan Kembali Tanah Hadiah

Salah satu kebijakan Ali Bin Thalib untuk mengembalikan stabilitas negara adalah menarik
kembali tanah yang dihadiahkan Utsman  Bin Affan kepada penduduk dengan menyerahkan
hasil pendapatannya kepada negara. Ali Bin Abi Thalib memakai sistem distribusi pajak
tahun yang pernah diterapkan Umar Bin Khattab sehingga semua orang Islam taat terhadap
pajak.

3. Menghadapi Para Pemberontak

Kebijakan-kebijakan yang diterapkan Ali Bin Abi Thalib ternyata tidak memuaskna semua
pihak. Beberapa kelompok yang tidak puas akhirnya melakukan pemberontak. Sedikitnya dua
pemberontak besar pun harus dihadapi oleh Ali Bin Abi Thalib yakni Perang Jamal (Perang
Unta) dan Perang Siffin.

Perang Jamal merupakan peperangan menghadapi Thalhah, Zubair dan Aisyah yang tidak
puas terhadap kebijakan yang diterapkan Ali Bin Abi Thalib. Mereka kecewa terhadap Ali
Bin Abi Thalib yang tidak mau menghukum para pembunuh Utsman Bin Affan. Setelah
perundingan damai yang dilakukan Ali gagal, akhirnya perang pun berlangsung. Alhasil, Ali
Bin Abi Thalib berhasil mengalahkan lawanya. Thalhah dan Zubair terbunuh, sedangkan
Aisyah ditawan dan dikirim ke Madinah.

Perang Siffin merupakan perang yang dilakukan di Siffin menghadapi Muawiyah yang
merupakan gubernur Damaskus. Muawiyah melakukan perlawanan terhadap Ali Bin Abi
Thalib bersama sejumlah bekas pejabat tinggi yang kehilangan kedudukan dan kejayaannya.
Perang ini diakhiri dengan Tahkim (arbitrase). Tahkim ini tidak menyelasaikan masalah,
melainkan memunculkan golongan baru yakni Al-Khawarij yakni orang-orang yang keluar
dari barisan Ali Bin Abi Thalib. Pada masa pemerintahan Ali Bin Abi Thalib umat Islam
terpecah menjadi tiga kelompok yakni, Muawiyah, Syi’ah dan Al-Khawarij. Pada 20
Ramadhan 40 H/660 M Ali terbunuh oleh salah satu anggota kelompok Al-Khawarij, Ibnu
Muljam.

Setelah itu Hasan Bin Ali menggantikan posisi ayahnya selama beberapa bulan. Karena
kedudukan Muawiyah semakin kuat, Hasan melakukan perjanjian damai dan dapat
mempersatukan umat Islam kembali di bawah kepemimpinan Muawiyah bin Abu Sufyan.
Dari sanalah Muawiyah menjadi penguasa absolut dalam islam dan dikenal sebagai Bani
Umayyah.

ALI BIN ABI THALIB

BAB  I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah

Setelah diangkat menjadi khalifah yang ke empat Ali bin Abi Thalib mengambil beberapa
tindakan seperi memberhentikan para pejabat yang korup, mengambil kembali lahan
perkebunan yang diberikan kepada orng-orng tertentu pada masa khalifah Usman bin Affan
dan mendistribusikan pendapatan pajak tahunan sesuai dengan ketentuan yang telah
ditetapkan oleh khalifah Umar bin Khattab. Ali juga memberhentikan pejabat yang diangkat
oleh Usman yang mengakibatkan terjadinya pemberontakan.

Masa pemerintahan Ali yang hanya berlangsung selama enam tahun ini diwarnai dengan
ketidakstabilan politik. Ali harus menghadapi pemberontakan Aisyah, Thalhah dan Zubeir
yang menuntut pembunuh Usman harus diadili. Berbagai kebijakan yang diambil oleh Ali
menimbulkan permusuhan dengan Muawiyah dn keluarga Bani Umayyah, dan dari golongan
khawarij mantan pendukung Ali yang  kecewa terhadap keputusan Ali.

Dalam menjalankan kebijakan perekonomian, Ali, sebagaimana juga par khalifah


sebelumnya, pemungutan zakat dan pajak-pajak mendapat perhatian utama. Ali
melakukannya dengan cara yang adil dan berada dalam batas-batas tertentu, “sepadan”
dengan kemampuan raakyat. Cara ini dilakukan agar rakyat tidak mengorbankan kebutuhan
hidupnya yang pokok untuk membayar pajak tersebut.[1]

1. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis merumuskan beberapa permasalahan, antara
lain :

1. Gambaran singkat situasi politik dan ekonomi masa khalifah Ali bin Abi Thalib.
2. Kebijakan khalifah Ali bin Abi Thalib berkenaaan dengan zakat.
3. Kebijakan khalifah Ali bin Abi Thalib berkenaan dengan jizyah.

BAB  II

PEMBAHASAN
1. gambaran Singakat Politik dan Ekonomi Masa Khalifah Ali bib Abi Thalib

Ali bin Abi Thalib dikukuhkan menjadi khalifah keempat menggantikan Usman bin Affan
yang mati terbunuh ditangan kaum pemberontak. Ali adalah saudara sepupu (anak paman)
Nabi Muhammad SAW dan suamu dari putrid beliau, Fatimah. Ia yang pertama masuk Islam
dari kalangan kanak-kanak.

Setelah Ali bin Abi Thalib dibaiat menjadi Khalifah di MasjidNabawi,Iamenyampaikan


pidato penerimaan jabatannya. Pidatonya menggambarkan bahwa Khalifah Ali menganjurkan
dan memerintahkan agar umat Islam :

1. Tetap berpegang teguh kepada Al-Qur`an dan Hadist sebagai petunjuk yang 
membedakan antara yang baik dan jahat
2. Taat dan bertakwa kepada Allah serta mengabdi kepada Negara.
3. Saling memelihara kehormatan diantara sesame muslim dan umat lain
4. Terpanggil untuk berbuat kebajikan untuk kepentingan umum
5. Taat dan patuh kepada pemerintah[2]

Dalam pidato tersebut Ali juga menyadari ada pihak-pihak tertentu yang tidak menyetujui
pengangkatannya, sehingga ia memperingatkan bahwa yang membangkang akan mendapat
tindakan, karena mereka dianggap melawan pemerintah yang sah.

Ali dibaiat menjadi Khalifah ditengah-tengah kekacauan dan kerusuhan akibat kematian
Khalifah Usman bin Affan. Ali dituntut oleh Muawiyah bin Abi Sufyan agar ia menangkap
para pembunuh Usman. Hal yang sama juga dilakukan oleh Aisyah, Thalhah dan Zubeir.
Tuntutan itu tidak dipenuhi oleh khalifah Ali bin Abi Thalib.

Pada masa pemerintahan Ali telah terjadi dua peristiwa perang sesama muslim. yakni,
pertama : perang jamal (unta) pada tahun 36 Hijrah melawan pasukan Aisyah, Thalhah dan
Zubeir. Kedua, perang Shiffin pada tahun 37 Hijrah melawan Muawiyah, yang memunculkan
Majlis Tahkim. Dari lembaga inilah, muncul ketidakpuasan kelompok-kelompok tertentu,
baik secara politis, sosial maupun kesukuan. Akhirnya lahir sekte- sekte atau fiqrah-fiqrah,
yaitu Syi`ah, Khawarij dan Murji`ah.

Sekalipun penuh dengan kericuhan politis pada masa pemerintahannya, Ali berusaha
melakukan konsolidasi internal, oleh karena itu, hal yang pertama kali dilakukannya adalah :

1. Mengganti pejabat-pejabat daerah yang diangkat Usman.


2. Mengambil kembali tanah-tanah yang dibagi-bagikan, termasuk didalamnya hibah
atau pemberian Usman kepada family-family dan kaum kerabatnya, dilakukan karena
tanpa melalui prosedur yang sah.[3]

Tipe kepemimpinan Ali dalam menjalankan roda kekhalifahannya hampir sama dengan
kepemimpinan Umar, yaitu keras, disiplin dan berani. Dalam menjalankan kebijakan
perekonomian, Ali, sebagaimana juga para khalifah sebelumnya, pemungutan zakat dan
pajak-pajak mendapat perhatian utama.

Pemilihan masyarakat menjadi muslim dan non muslim adalah salah satu upaya  untuk
menerapkan system perekonomian yang dilakukan oleh Rasulullah SAW, yang kemudian
system ini dipertahankan pada masa khalifah Ali bin Abi Thalib, sebab pelaksanaan zakat dan
jizyah berkaitan dengan pemilihan masyarakat tersebut.

Dalam pendistribusian harta Baitul Mal, khalifah Ali bin Abi Thalib menerapkan prinsip
pemerataan. Ia memberikan santunan yang sama kepada setiap orang tanpa memandang
status sosial atau kedudukannya did lam Islam. Ali tetap berpendapat bahwa seluruh
pandapatan Negara yang disimpam di dalam Baitul Mal harus didistribusikan. Distribusi
tersebut dilakukan sekali dalam sepekan. Hari Kamis merupakan hari pendistribusian atau
hari pembayaran, pada hari itu semua penghitungan diselesaikan dan, pada hari Sabtu,
penghitungan baru dimulai[4]

Selain itu, prinsip Ali untuk menyelesaikan masalah kemiskinan dan menegakkan persamaan
hak diantara mereka sebagaimana dijelaskan didalam Suara Keadilan yaitu :

1. Mencegah penimbunan
2. Tidak akan ada orang iskin yang tetap lapar kecuali bila orang kaya menyerobot
bagiannya.
3. Saya tidak pernah melihat kekayaan yang berlebih-lebihan melainkan saya melihat tak
seorang dilanggar.
4. Kamu harus lebih bersemangat meningkatkan pengembangan tanah ketimbang
mengumpulkan pajak.
5. Saya tidak membenarkan seseorang memaksa orang lain mengerjakan pekerjaan yang
tidak disukainya.
6. Hati orang yang takwa ada di surga sementara jasadnya sibuk bekerja di dunia.
7. Saluran pengairan adalah milik orang yang berpartisifasi dalam penggaliannya, dan
bukan milik orang-orang yang tidak membantu pekerjaanya secara fisik atau
financial.
8. Perhatikan prestasi seseorang dan jangan menyangkutkan prestasi seseorang kepada
orang lain.
9. Berhati-hatilah ! Jangan menguasai sendiri barang atau harta yang merupakan milik
bersama.[5]

B. Kebijakan Khalifah Ali Berkenaan dengan Zakat

Secara harfiah, zakat berarti penyucian, pertumbuhan, keberkatan dan pujian. Zakat berasal
dari kata Zaka  yang berarti suci, baik, tambah dan berkembang. Menurut terminology atau
secara istilah, zakat adalah nama bagi sejumlah harta tertentu yang telah mencapai syarat
tertentu, yang diwajibkan oleh Allah untuk dikeluarkan dan diberikan kepada yang berhak
menerimanya. Dari dua pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa zakat itu menjadikan
harta yang dizakati menjadi suci, bersih, baik, berkah, tumbuh dan berkembang[6],
sebagaimana dijelaskan dalam Al-Quran (At-Taubah :103 dan Ar-Rum 39).

}103{ ‫ك َس َك ٌن لَّهُ ْم َوهللاُ َس ِمي ٌع َعلِي ٌم‬ َ ‫ُخ ْذ ِم ْن أَ ْم َوالِ ِه ْم‬


َ ‫ص َدقَةً تُطَهِّ ُرهُ ْم َوتُ َز ِّكي ِه ْم بِهَا َو‬
َ ‫ص ِّل َعلَ ْي ِه ْم إِ َّن‬
َ َ‫صالَت‬

Artinya : Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan
dan menyucikan mereka, dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya kamu itu (menjadi)
ketentraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar  lagi Maha Mengetahui.( At-
Taubah ; 103).
َ ِ‫اس فَالَ يَرْ بُوا ِعن َد هللاِ َو َمآ َءاتَ ْيتُم ِّمن زَ َكا ٍة تُ ِري ُدونَ َوجْ هَ هللاِ فَأُوْ الَئ‬
{ َ‫ك هُ ُم ْال ُمضْ ِعفُون‬ ِ َّ‫َو َمآ َءاتَ ْيتُم ِّمن رِّ بًا لِيَرْ بُوا فِي أَ ْم َوا ِل الن‬
}39

Artinya : dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta
manusia, maka riba itu tidak bertambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa
zakat yang kamu maksudkan untuk mencari keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian)
itulah orang-orang yang melipatgandakan (pahalanya). (Ar-Rum : 39).

Dalam kebijakan zakat dan pengelolaan uang Negara khalifah Ali bin Abi Thalib mengikuti
prinsip-prinsip yang ditetapkan oleh khalifah Umar bin Khattab. Zakat dianggap sebagai
salah satu jenis harta yang diletakkan da Baitul Mal, namun zakat berbeda dengan jenis harta-
harta yang lain, dari segi perolehannya serta berapa kadar yang harus dikumpulkan, dan dari
segi pembelajaannya.

Saudah berkata “ Saya menemui Amirul Mukminin untuk mengeluhkan sesuatu kepada
petugas yang diangkatnya sebagai pengumpul zakat. Ketika saya berdiri di depannya ia
berkata kepada saya dengan penuh kelembutan, `Adayang Anda perlukan ? `Saya
mengadukan petugas tersebut kepadanya. Setelah mendengar pengaduan saya, ia langsung
menangis dan berdoa kepada Allah, `Ya Allah ! Saya tidak menyuruh para petugas itu untuk
menindas manusia, dan tidak meminta mereka menyia-nyiakan keadilanMu.`Lalu ia
mengeluarkan secarik kertas dari sakunya dan menuliskan kata-kata berikut,`Timbag dan
ukurlah dengan benar dan jangan memberi kepada rakyat dengan ukuran yang kurang, dan
janganlah menyebarkan bencana dimuka bumi. Setelah anda menerima suratini, tahanlah
barang-barang yang Anda urusi sebagai cadangan sampai orang lain datang dan mengambil
alih tugas iu dari Anda.`”[7]

Dalam buku Islamic Economic: Theory and Practice (Lahore, 1970:285), diterangkan bahwa
ibadah zakat mengikuti beberapa prinsip yaitu :

1. Prinsip Keyakinan Keagamaan (Faith). Prinsip ini menyatakan bahwa orang yang
membayar zakat yakin bahwa pembayaran tersebut merupakan salah satu manifestasi
keyakinan agamanya, sehingga kalau belum mengeluarkan zakat, merasa belum
sempurna ibadahnya.
2. Prinsip Pemerataan (Equity) dan Keadilan. Prinsip ini menggambarkan tujuan dari
zakat itu sendiri, membagi lebih adil atas kekayaan yang telah diberikan oleh Allah.
3. Prinsip Produktivitas (productivity) dan Kematangan. Prinsip ini menekankan bahwa
zakat memang harus dibayar karena milik tertentu telah menghasilkan produk tertntu.
4. Prinsip Nalar (Reason) dan Prinsip Kebebasan (Freedom). Kedua prinsip ini
menjelaskan bahwa zakat harus dibayar oleh orang yang bebas, dan sehat jsmani serta
rohaninya. Zakat tidak dipungut dari orang yang sedang mengalami gangguan jiwa.
5. Prinsip Etik (Ethic) dan Kewajaran. Prinsip ini menjelaskan, zakat tidak akan dimnta
secara sewenang-wenang, tanpa memperhatikan akibat-akibat yang akan
ditimbulkannya. Zakat tidak mungkin dipungut, kalau ternyata membuat orang yang
membayarnya menderita.

1. Kebijakan Khalifah Ali Berkenana dengan Jizyah

Jizyah adalah iuran wajib atas seseorang yang berstatus dzimmy (non Muslim yang  berada di
wilayah Islam).jizyah diambil dari kata Jaza yang berarti upeti. Jizyah tersebut diambil
sebagai akibat kekufuran mereka.[8]
“sampai mereka membayar jizyah dengan patuh, sedang mereka dalam keadaan tunduk (At-
Taubah : 29).

Tidak semua kaum dzimmy diwajibkan untuk membayar jizyah.  Pengecualian ini berlaku
bagi anak-anak , perempuan, para budak, orang yang buta, orang gila, orang-orang jompo dan
orang-orang yang cacat. Jizyah hanya dipungut atas orang-orang yang benar-benar berpotensi
untuk memerangi islam.

Pada zaman khalifah Ali bin Abi Thalib, seorang muslim dituduh membunuh seorang
dzimmy. Setelah tuduhan terbukti, `Ali memerintahkan untuk mengeksekusi Muslim tersebut.
Tetapi saudara korban menghadap dan menyatakan bahwa dia telah memaafkan pembunuh
tersebut. Tetapi `Ali tidak puas dan curiga bahwa dia telah diancamoleh beberapa orang.
Hanya setelah si saudara korban dengan gigih menyatakan bahwa dia telah menerima uang
tebusan darah, dan bahwa sang korban tidak akan hidup lagi jika sang pembunuh di eksekusi,
`Ali memberikan perintahnya untuk melepaskan sang pembunuh seraya berkata: “barang
siapa menjadi dzimmy kita, darahnya sesuci darah kita dan tidak dapat diganggu gugat
sebagaimana milik kita sendiri”.

Jizyah disesuaikan dengan keuangan mereka. 0rang-orang kaya harus membayar lebih besar,
kelas menengah harus membayar jumlah dibawah orang kaya, dan orang yang miskin
membayar paling murah. Mereka yang miskin sekali atau tidak memiliki sumber penghasilan
yang tetap atau menggantungkan hidupnya dari orang lain tidak perlu membayar jizyah.[9]

Begitu Negara menerima jizyah dari mereka, kaum muslimin dilarang memperlakukan
mereka secara keras dan zalim. Tanah, harta kekayaan serta nyawa mereka dan sekaligus
kehormatannya wajib dilindungi karna sama sucinya dengan semua yang dimiliki oleh kaum
muslimin sendiri. Hak-hak mereka tidak dapat ditindas dan dirampas ataupun dibebani beban
yang tidak dapat mereka tanggung.

Rsulullah SAW memerintahkan : “ingatlah ! Barang siapa yang bertindak keras dan zalim
kepada orang-orang ini (warga Negara “kontrak”) atau merampas hak-hak mereka, atau
membebani mereka lebih dari yang dapat mereka tanggung , atau memaksakan apapun yang
bertentangan dengan kehendak bebas mereka, aku sendirilah yang akan menuntut dia di Hari
Pembalasan”.

BAB  III

PENUTUP

1. setelah Ali di bai`at menjadi khalifah, ia melakukan beberapa tindakan yaitu :

 mengganti pejabat-pejabat daerah yang diangkat oleh khalifah Usman


 mengambil kembali tanah-tanah yang dibagikan khalifah Usman karna tanpa melalui
prosedur yang sah.

1. Masa pemerintahan Ali terjadi kekacauan dan kerusuhan yang mengakibatkan


terjadinya perang sesame muslim, yaitu perang Jamal (Aisyah, Thalhah dan Zubeir)
dan perang Siffin (Muawiyah).
2. Dalam menjalankan kebijakan perekonomian khalifah Ali, pemungutan zakat dan
pajak-pajak mendapaat perhatian uatama.
3. Dalam kebijakan zakat dan pengelolaan keuangan Negara khalifah Ali mengikuti
prinsip-prinsip khalifah Umar bin Khattab. Zakat dianggap sebagai salah satu jenis
harta yang ddiletakkan di Baitul Mal.
4. Jizyah hany dipungut atas orang-orang dzimmy yang benar-benar berpotensi untuk
memerangi islam. Orang cacat, buta, lumpuh, perempuan dan orang tua tidak
dipungut. Jixyah harus ditetapkan sesuai dengan posisi keuangan mereka. Oaring-
orang yang kaya harus membayar lebih besar, kelas menengah harus membayar
jumlah dibawah orang kaya dan yang miskin membayar paling murah.

DAFTAR  PUSTAKA

Abul A`la Al Maududi, 1995,  Sistem Politik Islam,  Bandung, Mizan.

Adeng Muchtar, 2004, Perjalanan Poltik Umat Islam, Bandung, Pustaka Setia

Euis Amelia, 2005, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Yogyakarta, Pustaka Asatrus

George Jobdac, 2000, Suara Keadilan, Jakarta, Lentera.

J. Suyuthi Pulungan, 1993, fiqh Siyasah, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarta, Raja
Grapindo Persada

M. Umar Chepra, 1993, Negara Sejahtera Menurut Islam, Jakarta, Rajawali

Muhammad Asror Yusuf, 2004, Kaya Karna Allah, Tangerang

Mustaq Ahmad, 2005, Etika Bisnis Islam, Jakarta, Pustaka Al Kaustar

[1]  M. Umar Chepra,  Negara Sejahtera Menurut Islam, Rajawali,Jakarta, 1993, hlm .415

[2]  Dr. J. Suyuthi. Ma.Pt, Fiqh Siyasah Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Raja Grapindo
Persada,Jakarta, 1993, hlm. 154

[3]  Adeng Muchtar Al Ghazali,  Perjalanan Politik Umat Islam,  Pustaka Setia,Bandung,
2004, hlm. 23

[4]  Euis Amelia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Pustaka Asatrus,Yogyakarta, 2005, hlm.
42

[5] George Jobdac,  Suara Keadilan, Lentera,Jakarta, 2000, hlm. 147

[6] Muhammad Asror Yusuf,  Kaya Karna Allah,  Tangerang, 2004, hlm. 29

[7] George Jobdac, Op.Cit, hlm. 173

[8] Mustaq Ahmad,  Etika Bisnis Islam,  Pustaka Al Kaustar,Jakarta, 2005, hlm. 76

[9] Abul A`la  Al Maududi,  Sistem politik Islam, Mizan,Bandung, 1995, hlm. 305
Nama lengkap beliau adalah Ali bin Abi Thalib bin Abdi Manaf bin Abdul Mutholib bin
Hasyim bin Abdi Manag bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Luay bin Chalib bin
Fihr bin Malik bin An-Nadhar bin Kinanah. Kuniah beliau yang masyhur adalah Abul Hasan,
sedang Rosulullah SAW menggelarinya dengan Abu Turab. (Ibnu Katsir, 2006:415)

Beliau merupakan bocah yang pertama kali masuk Islam (saat berusia 7 tahun). Dan beliau
tercatat dalam sejarah sebagai orang yang menggantikan Rosulullah SAW di tempat tidurnya
pada malam berangkat hijrah ke Madinah. Beliau diangkat menjadi menantu Rosulullah
SAW dan dinikahkah dengan Fatimah.

B.     Pengangkatannya Sebagai Khalifah

Setelah Utsman terbunuh pada malam Jum’at 18 Dzulhijjah Tahun 35 H, kaum muslimin
mendatangi Ali dan membaiat beliau. Pada awalnya Ali menolak baiat mereka dengan
menghindar ke rumah milik Bani Amru bin Mabdzul, seorang Anshar. Namun karena didesak
terus, akhirnya Ali keluar menuju masjid lalu naik ke atas mimbar. Segenap kaum muslimin
membaiat beliau. Peristiwa itu terjadi pada hari Sabtu tanggal 19 Dzulhijjah Tahun 35 H.
Kemudian wilayah-wilayah Islam lainnya turut membaiat beliau kecuali penduduk Syam
yang menahan baiat hingga dilakukannya qishosh terhadap pembunuh Utsman. (Ibnu Katsir,
2006:444)

C.    Kebijakan Politiknya

Ali diangkat menjadi kholifah disaat negara sedang kacau akibat pemberontakan yang
menewaskan khalifah Utsman. Oleh sebab itu, masa pemerintahannya yang berlangsung
hampir 5 tahun, dihabiskan untuk urusan dalam negeri. Sedang urusan ekspansi Islam ke luar
wilayah, praktis terhenti.

Kebijakan politik Ali yang menonjol antara lain:

1.      Memecat Gubernur yang Sewenang-wenang

Khalifah Ali segera memecat para gubernur yang diangkat oleh Utsman, dikarenakan beliau
yakin bahwa terjadinya pemberontakan-pemberontakan itu disebabkan oleh keteladanan
politik kebijaksanaan mereka.

2.      Menarik Kembali Tanah yang Dihadiahkan oleh Utsman

Salah satu kelemahan Utsman adalah mengijinkan orang-orang Arab menguasai tanah-tanah
subur disekitar wilayah yang baru dikuasainya. Hal ini dimasa Umar tidak diperbolehkan
terjadi. Akibatnya penduduk pribumi kehilangan sumber perekonomiannya. Utsman juga
menghadiahkan tanah-tanah kepada para pendukung yang disayanginya.
Begitu Ali menjadi kholifah, beliau menarik kembali tanah yang oleh pendahulunya
dihadiahkan kepada para pendukungnya itu dan menyerahkan hasil pendapatannya kepada
negara, serta memakai kembali. Sistem distribusi persen tahunan diantara orang-orang Islam
sebagaimana pernah diterapkan Umar (Hasan Ibrahim Hasan, 1989:62)

3.      Menumpas Para Pembangkang

Tidak semua masyarakat Islam taat kepada pemerintahan Ali. Diantaranya adalah Thalhah,
Zubair dan Aisyah. Alasan mereka, Ali tidak mau menghukum para pembunuh Utsman, dan
mereka menuntut bela terhadap darah Utsman. (Badri Yatim, 1993:39)

Ali mengirim surat kepada Thalhah dan Zubair agar keduanya mau berunding untuk
menyelesaikan perkara ini secara damai. Namun ajakan itu ditolak. Akhirnya pertempuran
yang dahsyatpun berkobar. Perang ini dikenal dengan nama perang “Jamal”. Zubair dan
Tholhah terbunuh, sedangkan Aisyah ditawan dan dikirim kembali ke Madinah.

4.      Memindahkan Pusat Pemerintahan dari Madinah ke Kufah

Ali memindahkan ibu kota dari Madinah ke Kufah (Januari 657 M) di karenakan para
pengikut Ali paling banyak berada di Kufah. (Abdul Karim, 2007:107)

5.      Berusaha Menghentikan Perlawanan Mu’awiyah

Kebijakan-kebijakan Ali juga mengakibatkan timbulnya perlawanan dari gubernur di


Damaskus, Mu’awiyah, yang didukung oleh sejumlah bekas pejabat tinggi yang merasa
kehilangan kedudukan dan kejayaan.

Dari Kufah Ali bergerak menuju Damaskus dengan sejumlah besar tentara. Pasukannya
bertemu dengan pasukan Mu’awiyah di Shiffin. Perang ini diakhiri dengan tahkim, tapi
tahkim ternyata tidak menyelesaikan masalah, bahkan menyebabkan timbulnya golongan
ketiga, khowarij. Akibatnya, dipenghujung pemerintahan Ali, umat Islam terpecah menjadi 3
kekuatan politik, yaitu Mu’awiyah, Syi’ah (pengikut Ali) dan Khowarij (orang-orang yang
keluar dari Ali)

Keadaan ini tidak menguntungkan Ali, sementara posisi Mu’awiyah semakin kuat. Pada
tanggal 20 Romadhlon Tahun 40 H (660 M), Ali terbunuh oleh salah seorang anggota
Khawarij. (Badri Yatim, 1993:40). Dengan demikian berakhirlah masa Al-Khulafaur
Rosyidun.

Yogyakarta, 23 Juli 2011

 
Drs. H Mangun Budiyanto, MSI

DAFTAR PUSTAKA

– Abdul Karim, Dr., MA, MA.

2007        Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam. Pustaka Book Publisher, Yogyakarta.

– Badri Yatim, Dr., MA

2003        Sejarah Peradaban Islam. (Cetakan ke 15). Raja Grafindo Persada, Jakarta.

– Bassam Tibu.

1999        Islam Kebudayaan dan Perubahan Sosial. Penerjemah: Misbah Zulfa Elizabet.
Tiara Wacana, Yogyakarta.

– Harun Nasution, Dr.

1974        Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Bulan Bintang, Jakarta.

– Hasan Ibrahim Hasan.

1989        Sejarah dan Kebudayaan Islam. Penerjemah: Djahdan Humam, Kota Kembang,
Yogyakarta.

– Ibnu Katsir

2006        Al-Bidayah Wan Nihayah. Penerjemah: Abu Ihsan. Cetakan ke 3. Darul Haq,
Jakarta.

– Khalid Muh. Khalid.


1999        Karakteristik Perihidup Khalifah Rasulullah. Penerjemah: Mahyuddin Syaf, dkk.
Cetakan ke 8. CV. Diponegoro, Bandung.

– Syalaby, A., Prof. Dr.

1992        Sejarah dan Kebudayaan Islam. Penerjemah: Mukhtar Yahya. Cetakan ke 2.


Pustaka Al Husna, Jakarta.

– Warson Munawwir

1984        Kamus Al-Munawwir. PP Al-Munawwir, Yogyakarta.

Biografi dan Sejarah kepemimpinan 


Khalifah Ali bin Abi Thalib
Latar Belakang
Beberapa hari setelah pembunuhan Khalifah Usman bin Affan, stabilitas keamanan kota
Madinah menjadi rawan. Gafiqy bin Harb memegang keamanan ibu kota Islam itu selama
kira-kira lima hari sampai terpilihnya Khalifah yang baru. Kemudian Ali bin Abi Thalib
tampil menggantikan Usman, menerima baiat dari sejumlah kaum Muslimin.
Setelah jabatan kekhalifahan jatuh ke tangan Ali bin Abi Thalib dengan dukungan kaum
pemberontak terhadap Usman bin Affan unsur-unsur pertentangan dan persaingan yang sejak
Nabi wafat, berkecamuk dalam dada orang-orang yang dendam dan yang menginginkan
kekuasaan. Terutama yang datang dari pihak Umayah, yang dikepalai oleh Mu’awiyah ini tak
mungkin diselesaikan melalui jalan damai. Karena itu, peranglah yang ditempuh oleh kedua
belah pihak yaitu pertempuran bersenjata yang terkenal dengan perang siffin.
Kemenangan dalam perang telah tampak berada di pihak Ali. Untuk menghindari
kekalahannya atas saran dari Amr bin Ash Mu’awiyah memerintahkan supaya mushaf-
mushaf Al-Qur’an diangkat di atas tombak-tombak dengan seruan agar kedua belah pihak
berhukum kembali kepada Al-Qur’an. Ali mengetahui bahwa apa yang dilakukan oleh
Mu’awiyah itu hanya taktik dan tipu muslihat, untuk menghindari dari kekalahan. Oleh
karena itu, ia menolak gencatan senjata dan menyerukan pengikutnya agar meneruskan
peperangan. Namun mayoritas pengikutnya menolak diteruskannya peperangan, dan menyeru
gencatan senjata, untuk memberi peluang bagi keberadaan arbitrasi. Tujuannya adalah untuk
mengakhiri pertikaian antara Ali dan Muawiyah.
Tetapi hal itu di tolak oleh Muawiyah, dengan dalih bahwa Ali, enggan mengadili dan
menghukum para pembunuh Usman bin Affan, Ali yang semula menolak diadakannya
arbitrasi yang dianggapnya hanya sebagai taktik dan tipu muslihat akhirnya terpaksa
menerima diadakannya arbitrasi yang diusulkan Mu’awiyah itu. Tetapi sebagian pengikutnya
yang berhaluan keras, walaupun hanya merupakan minoritas, menolak diadakannya arbitrasi.
Sebagai konsekwensinya, mereka meninggalkan barisan Ali, dan membangun kekuatan
sendiri, yaitu dengan nama Khawarij.[1]
Berdasarkan uraian dari latar belakang di atas, maka penulis merumuskan permasalahan
sebagai berikut:
Bagaimana Biografi Ali bin Abi Thalib dan bagaimana proses pengangkatan Ali bin Abi
Thalib sebagai Khalifah?
 
Apa yang melatar belakangi khalifah Ali bin Abi Thalib mendapat tantangan dari
Khawarij, Thalhah dan Muawiyah?
Biografi Khalifah Ali bin Abi Thalib
`Ali bin Abi Thalib lahir (Mekah, 603-Kufah, 17 Ramadhan 40/24 Januari 661). Khalifah
keempat terakhir dari al-Khulafa ar-Rasyidin (empat khalifah besar); orang pertama yang
masuk Islam dari kalangan anak-anak, sepupu Nabi saw. yang kemudian menjadi
menantunya. Ayahnya, Abu Thalib bin Abdul Muthalib bin Hasim bin Abdul Manaf, adalah
kakak kandung ayah Nabi saw. Abdullah bin Abdul Mutholib. Ibunya bernama Fatimah binti
As’at bin Hasyim bin Abdul Manaf. Sewaktu lahir dia di beri nama Haidarah oleh ibunya.
Namun kemudian di ganti ayahnya dengan Ali.
Ketika berusia enam tahun, ia diambil sebagai anak asuh oleh Nabi saw. sebagaimana Nabi
saw. pernah diasuh oleh ayahnya. Pada waktu Muhammad saw. diangkat menjadi Rasul, Ali
baru menginjak usia 8 tahun. Ia adalah orang kedua yang menerima dakwah Islam, setelah
Khadijah binti Khuwailid, istri Nabi saw. Sejak itu ia selalu bersama Rasulullah saw, taat
kepadanya dan banyak menyaksikan Rasulullah saw, menerima wahyu. Ia anak asuh
Rasulullah saw, ia banyak menimba ilmu mengenai rahasia ketuhanan maupun segala
persoalan keagamaan secara teoritis dan praktis.

Sewaktu Rasulullah hijrah ke Madinah bersama Abu Bakar al-Siddiq, Ali diperintahkan
untuk tetap tinggal di rumah Rasulullah saw. dan tidur di tempat tidurnya. ini dimaksudkan
untuk memperdaya kaum Quraisy, supaya mereka menyangka bahwa Nabi masih berada di
rumahnya. Ketika itu kaum Quraisy merencanakan untuk membunuh Nabi saw. Ali juga
ditugaskan untuk mengembalikan sejumblah barang titipan kepada pemilik masing-masing.
Ali mampu melaksanakan tugas yang penuh resiko itu dengan sebaik-baiknya tanpa
sedikitpun merasa takut. Melalui cara itu Rasulullah saw. dan Abu Bakar selamat
meninggalkan kota Mekah tanpa diketahui oleh kaum Quraisy.
Setelah mendengar Rasulullah saw. dan Abu Bakar telah sampai ke Madinah, Ali menyusul
ke sana. Di Madinah ia dikawinkan dengan Fatimah az-Zahra, putri Rasulullah saw. yang
ketika itu tahun ke 2 H beliau berusia 15 tahun.
Ali menikah dengan sembilan wanita dan mempunyai 19 orang putra-putri. Fatimah adalah
istri pertama. Dari fatimah, Ali mendapat dua putra dan dua putri. Yaitu Hasan, Husein,
Zainab dan Ummu Kalsum yang kemudian diperistri oleh Umar bin Khattab. Setelah Fatimah
wafat Ali menikah lagi berturut-turut dengan:
Ummu Bamin bin Hisyam dari bani Amir bin Kilab, yang melahirkan empat putra yaitu
Abbas, Ja’far, Abdullah dan Usman.
Laila binti Mas’ud at-Tamimyah yang melahirkan dua putra yaitu Abdullah dan Abu Bakar.
Asma binti Umar al-Quimiah, yang melahirkan dua putra yaitu Yahya dan Muhammad.
as-Sahbah binti Rabiah dari bani Jasyim bin Bakar, seorang janda dari Bani Taglab, yang
melahirkan dua anak, Umar dan Ruqayyah.
Umamah binti Abi Ass bin ar-Arrab, putri Zainab binti Rasulullah saw. yang melahirkan satu
anak yaitu Muhammad.
Khanlah binti Ja’far al-Hanafiah, yang melahirkan seorang putra, yaitu Muhammad (al-
Hanafiah).
Ummu Sa’id binti Urwah bin Mas’ud, yang melahirkan dua anak, yaitu Ummu al-Husain dan
Ramlah.
Mahyah binti Imri’ al-Qais al-Kabiah, yang melahirkan seorang anak bernama Jariah.
Ali terkenal sebagai panglima perang yang gagah perkasa. Keberaniannya menggetarkan hati
lawan-lawannya. Ia mempunyai sebilah pedang (warisan dari Nabi saw.) bernama “Zulfikar”.
Ia turut serta pada hampir semua peperangan yang terjadi di masa Nabi saw. dan selalu
menjadi andalan pada barisan depan.
Ia juga dikenal cerdas dan menguasai banyak masalah keagamaan secara mendalam
sebagaimana tergambar dari sabda Nabi saw. “aku adalah kotanya ilmu pengetahuan sedang
Ali sebagai pintu gerbangnya”. Karena itu, nasehat dan fatwanya selalu di dengar para
Khalifah sebelumnya. Ia selalu di tempatkan pada jabatan kadi atau Mufti.[2]
Ali diberi juga julukan (gelar) Abutturab (arti letterliknya “pak tanah”) dijuluki demikian,
karena pada suatu saat ia tidur di Masjid, pakainya terlepas dari badan, hingga ia tidur di atas
tanah tanpa alas. Kemudian ia dibangunkan oleh Nabi, sambil berkata, “bangunlah, hai
Abutturab” dan gelar itulah tampaknya amat di sukainya.
Dialah seorang anak kecil yang mula pertama membenarkan tindak tanduk Nabi saw. dan
masuk Islam sedang umurnya baru menginjak delapan tahun. Berarti ia memiliki jiwa yang
tidak dikotori oleh keadaan-keadaan jahiliah dan satu kalipun tidak pernah ikut menyembah
berhala, karena itu kepadanya disebutkan: “Karramallahu Wajahahu” yang artinya: semoga
Allah memuliakan Wajahnya, sementara kepada para sahabat lainnya hanya disebutkan
“Radliallahu ‘Anhu” yang artinya, semoga Allah Meridhoinya.
Ali terkenal sebagai seorang yang tidak mencintai dunia meskipun bila ia mau, peluang untuk
itu sangatlah mudah. Ia ahli dalam berpidato, memiliki sastra dan juga bahasa yang indah
dengan lidah yang fasih. Ia juga hafal Al-Qur’an serta mengumpulkannya dan
membetulkannya di hadapan Nabi.
Ali adalah orang pertama dari golongan Bani Hashim yang menjadi khalifah, seorang yang
mula-mula meletakkan dasar ilmu Nahwu atau Gramatika Bahasa Arab. Dia juga yang
diserahi untuk melakukan perang tanding pada permulaan dan pendahuluan perang Sabil
yang pertama, yaitu perang Badar. Pantaslah kalau ia termasuk kelompok sepuluh yang
disebutkan oleh Nabi yang dijamin masuk surga.
Ali bin Abi Thalib juga seorang yang mendapat kehormatan dan kepercayaan Nabi saw.
dengan mengutusnya ke Negeri Yaman, ketika usianya masi sangat muda belia, tapi ia di
do’akan oleh Nabi : “Ya Tuhan, pimpinlah hatinya dan tetapkanlah lidahnya” sehingga
seluruh sahabat mengakui bahwa Ali-lah orang yang dipandang lebih mengetahui tentang
Hukum dan Peradilan.
Ali juga pernah mendapat kehormatan untuk menjabat sebagai wakil Nabi yaitu menjadi Wali
Kota Madinah ketika Nabi pergi bersama Jaisu Usrah diperang Tabuk. Ketika Ali berkata
kepada Nabi, “Ya Rasulullah, mengapa tuan tinggalkan saya bersama orang-orang
perempuan dan anak-anak”? lalu dijawab oleh Nabi,
َّ ِ‫ أَ ْنتَ ِمنِّى بِ َم ْن ِزلَ ِة هَارُوْ نَ ِم ْن ُّموْ َسى اِاَّل اَّنَهُ اَل نَب‬: ‫ال لِ َعلٍّى‬
‫ي بَ ْع ِدى‬ َ َ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ق‬ َّ ِ‫اِ َّن النَّب‬
َ ‫ى‬
Terjemahan :“Bahwasanya Nabi saw berkata kepada Ali: “Enkau bagiku seperti Nabi Harun
menempati posisi Nabi Musa”, kecuali sesungguhnya tidak ada lagi Nabi sesudahku.” (H.R.
Ahmad dan Bazzar).[3]
Jadi ia mengikuti semua perang sabil yang di lakukan oleh Nabi kecuali perang tabuk ia
bertugas di Madinah. Sebagai seorang sahabat Nabi, ia juga memiliki kemauan dan
kelebihan. Ia adalah seorang yang pemurah, dermawan rendah hati, ramah tamah, jujur,
amanah (dapat dipercaya) qana’ah (mencakup dengan apa yang ada dengan tidak berlebih-
lebihan), adil disiplin dan banyak lagi.[4]
 
Pemerintahan dan Situasi Politik Pada Masa Ali bin Abi Thalib
1. Situasi Politik menjelang pengangkatan Ali bin Abi Thalib
 
Situasi politik menjelang pengangkatan Ali bin Abi Thalib cukup rawan mengingat Usman
terbunuh di tangan pemberontak. Pada kesempatan tersebut, Ibn Harb memegang kendali
keamanan kota Madinah sampai terpilihnya seorang Khalifah yang baru.
Segera setelah terbunuhnya Usman, kaum muslimin meminta kesediaan Ali untuk dibaiat
menjadi Khalifah. Mereka beranggapan bahwa kecuali Ali, tidak ada lagi orang yang patut
menduduki kursi Khalifah setelah Usman. Mendengar permintaan rakyat banyak itu, Ali
berkata, “Urusan ini bukan urusan kalian. Ini adalah perkara yang teramat penting, urusan
tokoh-tokoh Ahl asy-Syura” bersama para pejuang Perang Badar.[5]
Pengangkatan Syaidina Ali menjadi Khalifah tidaklah sebagaimana yang dilakukan terhadap
Abu Bakar dan Umar, sebab hanya orang-orang yang Pro terhadap Ali yang melakukan Baiat
(penobatan) itu. Ali memegang jabatan pada hari Jum’at 13 Zulhijjah 35 Hijriah, dan orang
yang pertama kali melakukan baiat terhadap Syaidina Ali adalah Thalhah yang akhirnya
justru memihak Mu’awiyah.[6]
Setelah pembaiatan, Ali mengucapkan pidato yang isinya antara lain: “Wahai manusia, kamu
telah membaiat saya sebagaimana yang telah dilakukan kepada Khalifah-khalifah yang
dahulu dari padaku. Saya hanya menolak sebelum jatuh pilihan, apabila pilihan telah jatuh,
menolak tidak boleh lagi. Imam harus teguh dan rakyat harus patuh. Baiat terhadap diriku ini
adalah yang rata, yang umum. Barang siapa yang mungkir dari padanya terpisahlah ia dari
agama Islam.[7]
Banyaknya peperangan yang terjadi pada masa pemerintahan Ali dan yang terpenting adalah
dua hal, yaitu peperangan jamal (unta) dan peperangan Siffin.[8]
2. Prinsip Politik Ali bin Abi Thalib
Prinsip Politik Ali tergambar bahwa ia seorang yang berani, yang memiliki kepribadian yang
mulia bahkan sebagai seorang anak asuh Rasulullah ia banyak menerima ilmu mengenai
rahasia ketuhanan maupun segala persoalan keagamaan secara teoritis dan praktis.
Sebagaimana telah disebutkan terdahulu, ia mengikuti Rasulullah sejak kecil baik dalam suka
dan duka, dan tentunya hal tersebut mempengaruhi dalam melaksanakan pemerintahannya.[9]
Meskipun di belakang hari ia tidak mampu untuk mengembalikan pemerintahan sebagaimana
Rasulullah karena situasinya yang cukup berbeda. Hal yang menonjol prinsip Ali adalah
kompromi politik, hal tersebut tergambar pada saat pemberontakan Thalhah dan sekutu-
sekutunya.
3. Kebijakan Politik Ali bin Abi Thalib
Tindakan dan kebijaksanaan Ali setelah resmi memegang jabatan Khalifah adalah
memberhentikan semua gubernur yang diangkat oleh Usman, termasuk Mu’awiyah, dengan
mengangkat pejabat-pejabat baru. Tanah-tanah yang dibagikan di zaman Usman kepada
keluarganya ditarik kembali. Khalifah Ali juga menerapkan pengawasan yang sangat ketat
agar tidak terjadi penyelewengan oleh para pejabat pemerintah. Ternyata para pejabat baru
yang diangkat oleh Ali menimbulkan Pro dan Kontra di kalangan rakyat daerah. Ada yang
menerima dan ada pula yang menolak, serta ada yang bersikap netral seperti Mesir dan
Basrah. Penggantian para pejabat baru ini dilakukan oleh Ali pada awal tahun 36 Hijriyah.
[10]
Pemerintahan Ali juga berhasil memperluas wilayah kekuasaan setelah pemberontakan di
Kabul dan Sistan ditumpas, ia juga mendirikan pemukiman-pemukiman meliter perbatasan
Syria dan membangun benteng-benteng yang kuat di utara perbatasan Parsi.[11]
Dalam pengelolaan uang negara Khalifah Ali mengikuti prinsip-prinsip yang ditetapkan oleh
khalifah Umar, harta rakyat dikembalikan kepada rakyat. sikap jujur dan adil yang diterapkan
oleh Ali ini, menimbulkan amarah di antara sejumblah pendukungnya sendiri dan kemudian
berpihak kepada Mu’awiyah. Khalifah Ali juga menberi contoh mengenai persamaan di
depan hukum dan peradilan, hal ini menunjukkan bahwa prinsip persamaan semua lapisan
sosial dan etnik di depan hukum, dan peradilan bebas diteruskan oleh Ali sebagaimana pada
masa-masa sebelum sejak masa Rasulullah.
Latar Belakang Adanya Tantangan dari Khawarij, Thalhah dan Mu’awiyah
Pemerintahan Ali bin Abi Thalib dengan kebijakan-kebijakannya untuk memulihkan situasi
umat Islam tidaklah mulus mengingat Thalhah, Khawarij dan Mu’awiyah, menuntut agar
kasus pembunuhan Khalifah Usman segera ditangkap dan mereka segera dibawa ke meja
hijau. Namun tuntutan mereka itu tidak dikabulkan oleh Ali dengan beberapa alasan: Pertama
Karena tugas utama yang mendesak dilakukan dalam situasi kritis yang penuh intimidasi
seperti saat itu ialah memulihkan ketertiban dan mengkonsolidasikan kedudukan-kedudukan
Khalifah. Kedua Menghukum para pembunuh bukanlah perkara mudah. Khalifah Usman
tidak di bunuh oleh hanya satu orang saja, melainkan banyak orang yang melakukan
pembunuhan tersebut.[12]
Dia pun menghindari pertikaian dengan Thalhah dan sekutunya. Tetapi tampaknya
penyelesaian damai sulit untuk di capai. Maka kontak senjata pun tak dapat dielakkan lagi,
sehingga Thalhah dan Zubair terbunuh sedangkan Aisyah dikembalikan ke Madinah.
Peperangan ini terkenal dengan nama “waqi’ah al-Jamal” (perang Unta/Jamal) yang terjadi
pada tahun 36 Hijriyah, dalam peperangan itu, pihak Ali bin Abi Thalib memperoleh
kemenangan.
Tantangan selanjutnya muncul dari Mu’awiyah, yang tidak menerima pemberhentiannya,
yang pada akhirnya terjadi peperangan antara pasukan Mu’awiyah dan pasukan Ali bin Abi
Thalib di Siffin. Ali bin Abi Thalib pada mulanya tidak menginginkan terjadinya
pertempuran tersebut, tetapi Mu’awiyah tak mengindahkannya sehingga mengakibatkan
jatuhnya banyak korban dari kedua belah pihak. Namun pada akhirnya pertempuran tersebut
dapat dihentikan dengan meminta diadakannya perdamaian antara kedua belah pihak dengan
cara mengangkat kitab suci Al-Qur’an sebagai symbol perdamaian. Kelicikan Mu’awiyah ini
disambut baik oleh Khalifah Ali dengan mengadakan gencatan senjata. Kedua belah pihak
mengambil jalan Tahkim (arbitrase) untuk mengakhiri pertempuran, masing-masing pihak
mengangkat satu wakil untuk mengadakan perundingan, dari pihak Mu’awiyah di utus Amr
bin Ash sedangkan dari pihak Ali mengangkat Abu Musa al-Asy’ari sebagai wakil.
Baca Juga: Sejarah Perkembangan dan Kemunduran Khalifahan Bani Umayah
Dari pertemuan mereka, diputuskan bahwa Mu’awiyah dan Ali bin Abi Thalib harus
melepaskan jabatannya. Namun setelah Abu Musa al-Asy’ari mengumumkan untuk
meletakkan jabatan Ali bin Abi Thalib dan Amr bin Ash justru menolak menjatuhkan
Mu’awiyah. Peristiwa Tahkim secara politik merugikan pihak Ali.
Keputusan Ali untuk mengadakan tahkim pun telah menuai protes dari sebagian pasukannya,
yang kemudian keluar dari pasukan Ali dan dikenal dengan nama “Khawarij”. Mereka
berpegang pada prinsip bahwa kebenaran yang sesungguhnya itu bukanlah semata-mata
hanya berada ditangan manusia. Sebagaimana mereka berberpegang pada firman Allah Qs.
al-Maidah (5) : 44
Terjamahan : Sungguh, kami yang menurunkan Kitab Taurat, di dalamnya (ada) petunjuk dan
cahaya. Yang dengan Kitab itu para Nabi yang berserah diri kepada Allah memberi putusan
atas perkara orang Yahudi, demikian juga para ulama dan pendeta-pendeta mereka, sebab
mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya.
Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. Dan janganlah
kamu jual ayat-ayat-Ku dengan harga murah. Barang siapa tidak memutuskan dengan apa
yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang kafir.[13]
Dengan pandangan kaum Khawarij tersebut, mereka merencanakan untuk membunuh tokoh-
tokoh yang ikut dalam peristiwa Tahkim, dan hal ini telah berhasil membunuh Ali pada tahun
40 H, ketika Ali menuju ke Masjid hendak mengimami shalat berjama’ah Subuh.[14]
Ali ra. Terbunuh pada malam Jum’at waktu sahur pada tanggal 17 Ramadhan tahun 40 H.
Ada yang mengatakan pada bulan Rabi’ul Awwal. Namun pendapat pertama lebih shahih dan
populer.
Ali ra. ditikam pada hari Jum’at 17 Ramadhan tahun 40 H, tanpa ada perselisihan. Ada yang
mengatakan bahwa dia wafat pada hari dia di tikam, ada juga yang mengatakan pada hari
Ahad tanggal 19 Ramadhan.
Al-fallas berkata, “Ada yang mengatakan, dia ditikam pada malam dua puluh satu Ramadhan
dan wafat pada malam dua puluh empat dalam usia 58 atau 59 tahun.
Ada yang mengatakan, dia wafat dalam usia 63 tahun. Itulah pendapat yang masyhur,
demikian di tuturkan oleh Muhammad bin al-Hanafiyah, Abu Ja’far al-Baqir, Abu Ishaq as-
Sabi’i dan Abu Bakar bin Ayasy. Sebagian ulama lain mengatakan, wafat dalam usia 63 atau
64 tahun. Diriwayatkan dari Abu Ja’far al-Baqir, katanya, “wafat dalam usia 64 tahun.”
Masa kekhalifaan Ali bin Abi Thalib lima tahun kurang tiga bulan. Ada yang mengatakan
empat tahun sembilan bulan tiga hari. Ada yang mengatakan empat tahun delapan bulan dua
puluh tiga hari.
Secara umum prestasi Khulafa’ al-Rasyidin dalam hal perluasan wilayah, diawali pada masa
Abu Bakar dan mencapai titik tertingginya pada masa Umar dan relativ berhenti pada masa
Ali yang kekhalifaannya lebih banyak diliputi oleh banyak pertikaian internal sehingga tidak
memungkinkan ekspansi lebih jauh. Pada akhir satu generasi pasca Muhammad, inperium
Islam telah membenteng dari Oxus hingga Syrtis di Afrika sebelah Utara.[15]
Demikian gambaran tentang kepemimpinan Khulafa al-Rasyidin yang kemudian menjadi
inspirasi bagi sebagian orang untuk mendirikan Negara Islam, namun dalam waktu yang
bersamaan justru kepemimpinan tersebut dipahami sebagai dasar demokrasi tanpa harus
memformalkan dalam bentuk Negara Islam.
Kesimpulan
Setelah Usman terbunuh Ali bin Abi Thalib pun ditunjuk sebagai Khalifah keempat. Namun
perjalanan kekhalifaan Ali tidaklah berjalan mulus, karena munculnya banyak tekanan akibat
pembunuhan Khalifah Usman bin Affan.
Kebijakan Ali bin Abi Thalib dalam rangka pemulihan stabilitas pemerintahan justru
kemudian memicu pemberontakan baru seperti penggantian Umaiyyah. Selanjutnya dalam
internal pasukan Ali sendiri muncul pemberontakan akibat adanya arbitrase antara Ali dan
Mu’awiyah, kelompok ini yang kemudian dikenal dengan Khawarij yang di belakang hari
mereka membunuh Ali.
Catatn kaki
[1] Abdullah Annan, Gerakan-Gerakan yang Mengguncang Islam (Sejarah Awal Perpecahan
Umat) (Cet. I; Surabaya: Pustaka Progresif, 1993), h. 12-13.
[2] Ensiklopedi Islam, (Cet. III, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997) h. 111-112
[3] Suyuthi Pulungan, Fiqih Siyasah, Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran (Cet. V; Jakarta:
Rajawali Pers 2002), h. 204
[4] Imam Munawir, Mengenal Pribadi 30 Pendekar dan Pemikiran Islam dari Masa ke Masa
(Cet. I; Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1985). h. 97-100
[5] Ibid., hlm. 112
[6] Fuad Mohat. Fachruddin, Perkembangan Kebudayaan Islam (Cet. I; Jakarta: PT. Bulan
Bintang, 1988), h. 29
[7] . Muhamin, dkk. Kawasan dan Wawasan Studi Islam (Cet. 2; Jakarta: Kencana 2007), h.
241
[8] . A. Syalabi, Sejarah Kebudayaan Islam 1, (Cet. VI; Jakarta: PT. Pustaka al-Husna Baru,
2003), h. 247
[9] Imam Munawir, op. cit; h. 98
[10] Ibid., h.155.
[11] Ibid., h. 158
[12] Samsul Munir Amin, Sejarah Peradapan Islam (Cet. I; Jakarta: Amzah, 2009 ), h.110-
111
13] Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: Yayasan
Penyelenggara/Penafsiran Al-Qur’an, 1971), h. 167
[14] Nurcholish Majid. Islam Doktrin dan Peradaban, Sebuah Telaah Kritis Tentang Masalah
keimanan, Kemanusiaan dan Kemoderenan (Jakarta : Yayasan Wakaf Paramadina. 1992), h.
205
[15] Philip K. Hitti, Histroy of The Arabs; From The Earlies Times to The Present,
diterjemahkan oleh R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi (Cet. I; Jakarta : PT.
Serambi Ilmu Semesta, 2005) h. 217-218
Daftar Pustaka
Amin, Samsul Munir. Sejarah Peradapan Islam Cet. I; Jakarta: Amzah, 2009
Annan, Abdullah. Gerakan-Gerakan yang Mengguncang Islam, Sejarah Awal Perpecahan
Umat Cet. I; Surabaya: Pustaka Progresif, 1993
Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahnya Jakarta: Yayasan
Penyelenggara/Penafsiran Al-Qur’an, 1971
Ensiklopedi Islam, Cet. III, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997
Fachruddin, Fuad Mohat. Perkembangan Kebudayaan Islam Cet. I; Jakarta: PT. Bulan
Bintang, 1988
Hitti, Philip K. Histroy of The Arabs; From The Earlies Times to The Present, diterjemahkan
oleh R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi Cet. I; Jakarta : PT. Serambi Ilmu
Semesta, 2005
Majid. Nurcholish Islam Doktrin dan Peradaban, Sebuah Telaah Kritis Tentang Masalah
keimanan, Kemanusiaan dan Kemoderenan Jakarta : Yayasan Wakaf Paramadina. 1992
Muhamin, dkk. Kawasan dan Wawasan Studi Islam Cet. 2; Jakarta: Kencana 2007
Munawir, Imam. Mengenal Pribadi 30 Pendekar dan Pemikiran Islam dari Masa ke Masa Cet.
I; Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1985
Pulungan, Suyuthi. Fiqih Siyasah, Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran Cet. V; Jakarta: Rajawali
Pers 2002Syalabi, A. Sejarah Kebudayaan Islam 1, Cet. VI; Jakarta: PT. Pustaka al-Husna
Baru, 2003

Sumber: https://www.tongkronganislami.net/biografi-dan-sejarah-kepemimpan-ali-bin-abi-
thalib/

Kepemimpinan Khalifah Ali bin Abi Thalib r.a. Nabi Muhammad saw. Tidak meninggalkan
wasiat mengenai siapa yang akan menggantikan beliau sebagai pemimpin politik umat Islam
setelah beliau wafat. Beliau tampaknya menyerahkan persoalan itu kepada kaum Muslimin
untuk menentukannya sendiri. Kaena itu, tidak lama setelah beliau wafat; belum lagi
jenazahnya dimakamkan, sejumlah tokoh Muhajirin dan Ashor Berkumpul di balaikota Bani
Sa’dah, Madinah. Mereka memusyawarahkan siapa yang akan menjadi pemimpin.
Musyawarah itu berjalan cukup alot sebab masing-masing pihak, baik pihak Muhajirin atau
Anshar merasa berhak menjadi pemimpin Umat Islam, namun dengan semangat ukhuwah
Islamiyah tinggi, akhirnya Abu Bakar terpilih melalui musyawarah itu. Khalifah Ali Ibnu Abi
Thalib adalah Khalifah keempat setelah Khalifah Usman Ibnu Affan. Nama lengkap beliau
adalah Ali Ibnu Abi Thalib Ibnu Abdul Muthalib Ibnu Hasyim Ibnu Abdi Manaf. Beliau lahir
32 tahun setelah kelahiran Rosulullah Saw. Dan beliaupun termasuk anak asuh Nabi
Muhammad Saw. Khalifah Ali Ibnu Abi Thalib boleh dibilang tangan kanan Nabi
Muhammad Saw, saat di Madinah. Proses pengangkatan beliau sebagai Khalifah yang mula-
mula di tolak oleh beliau sebab situasi yang kurang tepat yang banyak terjadi kerusuhan
disana sini. Dan sebab waktu itu masyarakat butuh pemimpin akhirnya sebab desakan
masyarakat untuk menjadikan Khalifah Ali Ibnu Abi Thalib menjadi pemimpin pun akhirnya
diterima. Pada tanggal 23 juni 656 Masehi, beliau resmi menjadi Khalifah. Kepemimpinan
Khalifah Ali bin Abi Thalib r.a. Yang menjadi catatan bagi sosok khalifah seperti Ali Bin Abi
Thalib adalah pribadinya yang pernah menolak jadi Pemimpin Islam sebagaimana dikutif
pada uraian di atas. Olehnya itu, jika dibawa pada konteks kekinian, maka sangat sulit kita
mendapatkan sosok manusia yang menolak jadi pemimpin, bahkan yang terjadi saat ini
adalah kecenderungan untuk bersaing dan saling merebut kekuasaan hingga pertumpahan
dara atau menjual aqidah demi kekuasaan. Sosok Khalifah Ali Bin Abi Thalib r.a. Ali Bin
Abu Thalib bin Abdul Muththalib, bin Hasyim, bin Abdi Manaf, bin Qushayy. Ibunya adalah:
Fathimah binti Asad, bin Hasyim, bin Abdi Manaf. Saudara-saudara kandungnya adalah:
Thalib, 'Uqail, Ja'far dan Ummu Hani. Dengan demikian, jelaslah, Ali adalah berdarah
Hasyimi dari kedua ibu-bapaknya. Keluarga Hasyim mempunyai sejarah yang cemerlang
dalam masyarakat Mekkah. Sebelum datangnya Islam, keluarga Hasyim terkenal sebagai
keluarga yang mulia, penuh kasih sayang, dan pemegang kepemimpinan masyarakat. Ibunya
adalah Fathimah binti Asad, yang lalu menamakannya Haidarah. Haidarah adalah salah satu
nama singa, sesuai dengan nama ayahnya: Asad (singa). Fathimah adalah salah seorang
wanita yang terdahulu beriman dengan Risalah Nabi Muhammad Saw. Ia pula-lah yang telah
mendidik Nabi Saw, dan menanggung hidupnya, setelah meninggalnya bapak-ibu beliau,
Abdullah dan Aminah. Beliau lalu membalas jasanya, dengan menanggung kehidupan Ali,
untuk meringankan beban pamannya, Abu Thalib, pada saat mengalami kesulitan ekonomi.
Saat Fathimah meninggal dunia, Rasulullah Saw yang mulai mengkafaninya dengan baju
qamisnya, meletakkannya dalam kuburnya, dan menangisinya, sebagai tangisan seorang anak
atas ibunya. Dan sebab penghormatan beliau kepadanya, maka beliau menamakan anaknya
yang tersayang dengan namanya: Fathimah. Darinyalah lalu mengalir nasab beliau yang
mulia, yaitu anak-anaknya: Hasan, Husein, Zainab al Kubra dan Ummu Kultsum. Haidarah
adalah nama Imam Ali yang dipilihkan oleh ibunya. Namun ayahnya menamakannya dengan
Ali, sehingga ia terkenal dengan dua nama itu, walaupun nama Ali lalu lebih terkenal. Anak-
anaknya adalah: Hasan, Husein, Zainab, Ummu Kultsum, dari Fathimah binti Muhammad
saw., seorang isteri yang tidak pernah diperlakukan buruk oleh Ali r.a. selama hidupnya.
Bahkan Ali tetap selalu mengingatnya setelah kematiannya. Dia juga mempunyai beberapa
orang anak dari isteri-isterinya yang lain, yang dia kawini setelah wafatnya Fathimah r.a.
Baik isteri dari kalangan wanita merdeka atau hamba sahaya. Yaitu: Muhsin, Muhammad al
Akbar, Abdullah al Akbar, Abu Bakar, Abbas, Utsman, Ja'far, Abdullah al Ashgar,
Muhammad al Ashghar, Yahya, Aun, Umar, Muhammad al Awsath, Ummu Hani,
Maimunah, Rahmlah ash Shugra, Zainab ash Shugra, Ummu Kaltsum ash Shugra, Fathimah,
Umamah, Khadijah, Ummu al Karam, Ummu Salmah, Ummu Ja'far, Jumanah, dan Taqiyyah.
Kekhalifahan Ali Bin Abi Thalib r.a. Setelah ‘Utsman ra. syahid, Ali ra. diangkat menjadi
khalifah ke-4. Awalnya beliau ra. menolak, namun akhirnya beliau ra. menerimanya. Imam
Ahmad meriwayatkan dengan sanad yang shahih dari Muhammad bin Al-Hanafiyah
berkata: .....Sementara orang banyak datang di belakangnya dan menggedor pintu dan segera
memasuki rumah itu. Kata mereka: "Beliau (Utsman ra.) telah terbunuh, sementara rakyat
harus punya khalifah, dan kami tidak mengetahui orang yang paling berhak untuk itu kecuali
anda (Ali ra.)". Ali ra. berkata kepada mereka: "Janganlah kalian mengharapkan saya, sebab
saya lebih senang menjadi wazir (pembantu) bagi kalian daripada menjadi Amir". Mereka
menjawab: "Tidak, demi Allah, kami tidak mengetahui ada orang yang lebih berhak menjadi
khalifah daripada engkau". ‘Ali ra. menjawab: "Jika kalian tidak menerima pendapatku dan
tetap ingin membaiatku, maka baiat itu hendaknya tidak bersifat rahasia, tetapi aku akan
pergi ke masjid, maka siapa yang bermaksud membaiatku maka berbaiatlah kepadaku".
Pergilah ‘Ali ra. ke masjid dan orang-orang berbaiat kepadanya. Dalam Tarikh Al-Ya’qubi
dikatakan: ‘Ali bin Abi Thalib (ra.) menggantikan ‘Utsman sebagai khalifah... dan ia (ra.)
dibaiat oleh Thalhah (ra.), Zubair (ra.), Kaum Muhajirin dan Anshar (radhiyaLlahu anhum).
Sedangkan orang yang pertama kali membaiat dan menjabat tangannya adalah Thalhah bin
Ubaidillah (ra.). Imam Ahmad, Abu Daud dan At-Tirmidzy mentakhrij hadits berasal dari
Safinah ra., dia berkata: Aku mendengar RasuluLlah saw. bersabda: Kekhilafahan
berlangsung selama 30 tahun dan setelah itu adalah kerajaan.” Safinah ra. berkata: “Mari kita
hitung, Khilafah Abu Bakar ra. berlangsung 2 tahun, Khilafah ‘Umar ra. 10 tahun, Khilafah
‘Utsman ra. 12 tahun, dan Khilafah ‘Ali ra. 6 tahun.” Ali ra. bekerja keras pada masa
kekhilafahannya guna mengembalikan stabilitas dalam tubuh umat setelah sebelumnya Ibnu
Saba’dan Sabaiyahnya melancarkan konspirasi dan provokasinya guna menghancurkan Islam
dari dalam. Pada masa kekepemimpinan Ali ra. ini, Ibnu Saba dan Sabaiyah nya pun kembali
melancarkan konspirasi dan makar mereka, sehingga membuat keadaan menjadi semakin
rumit. Diriwayatkan bahwa pada akhirnya ‘Ali ra. membakar banyak dari pengikut Sabaiyah
ini dan juga mengasingkan Ibnu Saba’ ke Al-Madain. Sahabat yang lahir dalam keprihatinan
dan meninggal dalam Kesunyian. Dialah, khalifah Ali bin Abi Thalib ra. Ali kecil adalah
anak yang malang. Namun, kedatangan Muhammad SAW telah memberi seberkas pelangi
baginya. Ali, tidak pernah bisa bercurah hati kepada ayahnya, Abi Thalib, selega dia bercurah
hati kepada Rasulullah. Sebab, hingga akhir hayatnya pun, Abi Thalib tetap tidak mampu
mengucap kata syahadat tanda penyerahan hatinya kepada Allah. Ayahnya tidak pernah bisa
merasa betapa nikmatnya saat bersujud menyerahkan diri,kepada Allah Rabb semesta
sekalian alam. Kematian ayahnya tanpa membawa sejumput iman begitu memukul Ali. Kelak
dari sinilah, dia kemudian bertekad kuat untuk tidak mengulang kejadian ini buat kedua kali.
Dia ingin, saat dirinya harus mati nanti, anak-anaknya tidak lagi menangisi ayahnya seperti
tangis dirinya untuk ayahnya, Abi Thalib. Tak hanya dirinya, disebelahnya, Rasulullah pun
turut menangisi kenyataan tragis ini...saat paman yang selama ini melindunginya, tidak
mampu dia lindungi nanti...di hari akhir,karena ketiaadaan iman di dalam dadanya. Betul-
betul pahit, padahal Ali tahu bahwa ayahnya sangatlah mencintai dirinya dan Rasulullah. Saat
ayahnya, buat pertama kali memergoki dirinya sholat berjamaah bersama Rasulullah, dia
telah menyatakan dukungannya. Abi Thalib berkata, ""Janganlah kau berpisah darinya
(Rasulullah), sebab ia tidak mengajakmu kecuali kepada kebaikan". Sejak masih berumur 6
tahun, Ali telah bersama dan menjadi pengikut setia Rasulullah. Sejarah kelak mencatat
bahwa Ali terbukti berkomitmen pada kesetiaannya. Dia telah hadir bersama Rasulullah sejak
awal dan baru berakhir saat Rasulullah menghembuskan nafasnya yang terakhir. Ali ada
disaat yang lain tiada. Ali adalah tameng hidup Rasulullah dalam kondisi kritis atau dalam
berbagai peperangan genting, saat diri Rasulullah terancam. Kecintaan Ali pada Rasulullah,
dibalas dengan sangat manis oleh Rasulullah. Pada sebuah kesempatan dia menghadiahkan
kepada Ali sebuah kalimat yang begitu melegenda, yaitu : "Ali, engkaulah saudaraku...di
dunia dan di akhirat..." Ali, adalah pribadi yang istimewa. Dia adalah remaja pertama di
belahan bumi ini yang meyakini kebenaran yang disampaikan oleh Rasulullah.
Konsekuensinya adalah, dia kemudian seperti tercerabut dari kegermerlapan dunia remaja.
Disaat remaja lain berhura-hura. Ali telah berkenalan dengan nilai-nilai spiritual yang
ditunjukkan oleh Rasulullah, baik melalui lisan atau melalui tindak-tanduk beliau. "Aku
selalu mengikutinya (Rasulullah SAWW) sebagaimana anak kecil selalu membuntuti ibunya.
Setiap hari dia menunjukkan kepadaku akhlak yang mulai dan memerintahkanku untuk
mengikuti jejaknya", begitu kata Ali mengenang masa-masa indah bersama Rasulullah tidak
lama setelah Rasulullah wafat. Amirul mukminin Ali, tumbuh menjadi pemuda yang
berdedikasi. Dalam berbagai forum serius yang dihadiri para tetua, Ali selalu ada mewakili
kemudaan. Namun, muda tidak berarti tidak bijaksana. Banyak argumen dan kata-kata Ali
yang lalu menjadi rujukan. Khalifah Umar bahkan pernah berkata,"Tanpa Ali, Umar sudah
lama binasa" Pengorbanannya menjadi buah bibir sejarah Islam. Ali-lah yang bersedia tidur
di ranjang Rasulullah, menggantikan dirinya, saat rumahnya telah terkepung oleh puluhan
pemuda terbaik utusan kaum kafir Quraisy yang hendak membunuhnya di pagi buta. Ali
bertaruh nyawa. Dan hanya desain Allah saja semata, jika lalu ia masih tetap selamat, begitu
juga dengan Rasulullah yang saat itu 'terpaksa' hijrah ditemani Abu Bakar seorang.
Keperkasaan Ali tiada banding. Dalam perang Badar, perang pertama yang paling berkesan
bagi Rasulullah (sehingga setelahnya, beliau memanggil para sahabat yang ikut berjuang
dalam Badar dengan sebutan " Yaa...ahlul Badar..."), Ali menunjukkan siapa dirinya
sesungguhnya. Dalam perang itu dia berhasil menewaskan separo dari 70an pihak musuh
yang terbunuh. Hari itu, bersama sepasukan malaikat yang turun dari langit, Ali mengamuk
laksana badai gurun. Perang Badar adalah perang spiritual. Di sinilah, para sahabat terdekat
dan pertama-tama Rasulullah menunjukkan dedikasinya pada apa yang disebut dengan iman.
Mulanya, jumlah lawan yang sepuluh kali lipat jumlahnya menggundahkan hati para sahabat.
Namun, doa pamungkas Rasulullah menjadi penyelamat dari jiwa-jiwa yang gundah. Sebuah
doa, semirip ultimatum, yang setelah itu tidak pernah lagi diucapkan Rasulullah..."Ya Allah,
disinilah sisa umat terbaikmu berkumpul...jika Engkau tidak menurunkan bantuanmu, Islam
takkan lagi tegak di muka bumi ini..." Dalam berbagai siroh, disebutkan bahwa musuh lalu
melihat jumlah pasukan muslim seakan tiada batasnya, padahal jumlah sejatinya tidaklah
lebih dari 30 gelintir. Pasukan berjubah putih berkuda putih seperti turun dari langit dan
bergabung bersama pasukan Rasulullah. Itulah, kemenangan pasukan iman. Dan Ali, menjadi
bintang lapangannya hari itu. Tak hanya Badar, banyak peperangan setelahnya menjadikan
Ali sebagai sosok yang disegani. Di Uhud, perang paling berdarah bagi kaum muslim, Ali
menjadi penyelamat sebab dialah yang tetap teguh mengibarkan panji Islam setelah satu demi
satu para sahabat bertumbangan. Dan yang terpenting, Ali melindungi Rasulullah yang kala
itu terjepit hingga gigi RAsulullah bahkan rompal dan darah mengalir di mana-mana.
Teriakan takbir dari Ali menguatkan kembali semangat bertarung para sahabat, terutama
setelah melihat Rasululah dalam kondisi kritis. Perang Uhud walaupun pahit namun sejatinya
berbuah manis. Di Uhud, Rasulullah banyak kehilangan sahabat terbaiknya, para ahlul Badar.
Termasuk pamannya, Hamzah --sang singa padang pasir. Kedukaan yang tidak terperi, sebab
Hamzah-lah yang selama ini loyal melindungi Rasulullah setelah Abi Thalib wafat. Buah
manisnya adalah, doa penting Rasulullah juga terkabul, yaitu masuknya Khalid bin Walid,
panglima musuh di Perang Uhud, ke pangkuan Islam. Khalid kemudian, hingga akhir
hayatnya, mempersembahkan kontribusi besar pada kemenangan dan perkembangan Islam.
Bagi Ali sendiri, perang Uhud makin menguatkan imagi tersendiri pada sosok Fatimah binti
Muhammad SAW. Sebab di perang Uhud, Fatimah turut serta. Dialah yang membasuh luka
ayahnya, juga Ali, berikut pedang dan baju perisainya yang bersimbah darah. Juga di perang
Khandak. Perang yang juga terhitung genting. Perang pertama yang sifatnya psyco-war. Ali
kembali menjadi pahlawan, setelah hanya ia satu-satunya sahabat yang 'berani' maju
meladeni tantangan seorang musuh yang dikenal jawara paling tangguh, ‘Amr bin Abdi Wud.
Dalam gumpalan debu pasir dan dentingan suara pedang. Ali bertarung satu lawan satu.
Rasulullah SAW bahkan bersabda: “Manifestasi seluruh iman sedang berhadapan dengan
manifestasi seluruh kekufuran”. Dan teriakan takbir menjadi pertanda, bahwa Ali
menyudahinya dengan kemenangan. Kerja keras Ali berbuah. Kemenangan di raih pasukan
Islam tanpa ada benturan kedua pasukan. Tidak ada pertumpahan darah. kegemilangan ini,
membuat Rasulullah SAW pada sebuah kesempatan : “Peperangan Ali dengan ‘Amr lebih
utama dari amalan umatku hingga hari kiamat kelak”. Seluruh peperangan Rasulullah diikuti
oleh Ali, kecuali satu di Perang Tabuk. Rasulullah memintanya menetap di Mekkah untuk
menjaga stabilitas wilayah. Sebab Rasulullah mengetahui, ada upaya busuk dari kaum
munafiq untuk melemahkan Mekkah dari dalam saat Rasulullah keluar memimpin perang
TAbuk. Kehadiran Ali di Mekkah, walaupun seorang diri, telah berhasil
memporakporandakan rencana buruk itu. Nyali mereka ciut, mengetahui ada Ali di tengah-
tengah mereka. Perubahan drastis ditunjukkan Ali setelah Rasulullah wafat. Dia lebih suka
menyepi, bergelut dengan ilmu, mengajarkan Islam kepada murid-muridnya. Di fase inilah,
Ali menjadi sosok dirinya yang lain, yaitu seorang pemikir. Keperkasaannya yang melegenda
telah diubahnya menjadi sosok yang identik dengan ilmu. Ali benar-benar terinspirasi oleh
kata-kata Rasulullah, "jika aku ini adalahkota ilmu, maka Ali adalah pintu gerbangnya". Dari
pakar pedang menjadi pakar kalam (pena). Ali begitu tenggelam didalamnya, hingga lalu ia
'terbangun' kembali ke gelanggang untuk menyelesaikan 'benang ruwet', sebuah nokta merah
dalam sejarah Islam. Sebuah fase di mana sahabat harus bertempur melawan sahabat. Strategi
Ali Bin Abi Thalib dalam kepemimpinan Diantara strategi Ali Bin Abi Thalib dalam
menegakkan kekhalifaan adalah memeranig Khawarij. Untuk kepentingan agama dan negara,
Ali Bin Abi Thali juga menggukan potensi dalam usaha pengembangan Islam, baik
perkembangan dalam bidang Sosial, politik, Militer, dan Ilmu Pengetahuan. Berikut ini akan
diuraikan mengenai strategi itu; 1. Ali Bin Abi Thalib Memerangi Khawarij Semula orang-
orang yang kelak dikenal dengan khawarij ini turut membaiat ‘Ali ra., dan ‘Ali ra. tidak
menindak mereka secara langsung mengingat kondisi umat belumlah kembali stabil, di
samping para pembuat makar yang berjumlah ribuan itu pun telah berbaur di Kota Madinah,
hingga dapat mempengaruhi hamba sahaya dan orang-orang Badui. Jika Ali ra. bersegera
mengambil tindakan, maka bisa dipastikan akan terjadi pertumpahan darah dan fitnah yang
tidak kunjung habisnya. Karenanya Ali ra, memilih untuk menunggu waktu yang tepat,
setelah kondisi keamanan kembali stabil, untuk menyelesaikan persoalan yang ada dengan
menegakkan qishash. Kaum khawarij sendiri pada akhirnya menyempal dari Pasukan Ali ra.
setelah beliau melakukan tahkim dengan Muawiyah ra. setelah beberapa saat terjadi
perbedaan ijtihad di antara mereka berdua ra. (Ali ra. dan Muawiyah ra.). Orang-orang
khawarij menolak tahkim seraya mengumandangkan slogan: “Tidak ada hukum kecuali
hukum Allah. Tidak boleh menggantikan hukum Allah dengan hukum manusia. Demi Allah!
Allah telah menghukum penzalim dengan jalan diperangi sehingga kembali ke jalan
Allah.””Ungkapan mereka: ‘Tiada ada hukum kecuali hukum Allah, dikomatahari oleh Ali:
“Ungkapan benar, tetapi disalahpahami. Pada akhirnya ‘Ali ra. memerangi khawarij tsb., dan
berhasil menghancurkan mereka di Nahrawan, di mana nyaris seluruh dari orang Khawarij
tsb berhasil dibunuh, sedangkan yang terbunuh di pihak Ali ra. hanya 9 orang saja. 2. Upaya
Pengembangan dalam Bidang Pemerintahan Situasi ummat Islam pada masa pemerintahan
Khalifah Ali Ibnu Abi Thalib sudah sangat jauh berbeda dengan masa-masa sebelumnya.
Ummat Islam pada masa pemerintahan Abu Bakar dan Umar Ibnu Khattab masih bersatu,
mereka mempunyai banyak tugas yang harus diselesaikannya, seperti tugas melakukan
perluasan wilayah Islam dan sebagainya. Selain itu, kehidupan masyarakat Islam masih
sangat sederhana sebab belum banyak terpengaruh oleh kemewahan duniawi, kekayaan dan
kedudukan. Namun pada masa pemerintahan Khalifah Usman Ibnu Affan keadaan mulai
berubah. Perjuangan pun sudah mulai terpengaruh oleh hal-hal yang bersifat duniawi. Oleh
sebab itu, beban yang harus dipikul oleh penguasa selanjutnya semakin berat. Usaha-usaha
Khalifah Ali Ibnu Abi Thalib dalam mengatasi persoalan itu tetap dilakukannya, walaupun ia
memperoleh tantangan yang sangat luar biasa. Semua itu memiliki tujuan agar masyarakat
merasa aman, tentram dan sejahtera. Usaha-usaha yang dilakukannya diantaranya : a.
Mengganti Para Gubernur yang diangkat Khalifah Usman Ibnu Affan Semua gubernur yang
diangkat oleh Khalifah Usman Ibnu Affan terpaksa diganti, sebab banyak masyarakat yang
tidak senang. Menurut pengamatan Khalifah Ali Ibnu Abi Thalib, para gubernur inilah yang
menyebabkan timbulnya berbagai gerakan pemberontakan pada pemerintahan Khalifah
Usman Ibnu Affan. Mereka melakukan itu sebab Khalifah Usman pada paruh kedua masa
kepemimpinannya tidak mampu lagi melakukan kontrol pada para penguasa yang berada
dibawah pemerintahannya. Hal itu disebabkan sebab usianya yang sudah lanjut usia, selain
para gubernur sudah tidak lagi banyak yang mempunyai idealisme untuk memperjuangkan
dan mengembangkan Islam. Pemberontakan ini pada akhirnya membuat sengsara banyak
rakyat, sehingga rakyatpun tidak suka pada mereka. Berdasarkan pengamatan inilah lalu
Khalifah Ali Ibnu Abi Thalib mencopot mereka. Adapun para gubernur yang diangkat
Khalifah Ali Ibnu Abi Thalib sebagai pengganti gubernur lama yaitu; Sahl Ibnu Hanif
sebagai gubernur Syria, Sahl Ibnu Hanif sebagai gubernur Syriah, Usman Ibnu Affan sebagai
gubernur Basrah, Umrah Ibnu Syihab sebagai gubernur kuffah, Qais Ibnu Sa'ad sebagai
gubernur Mesir, Ubaidah Ibnu Abbas sebagai gubernur Yaman. b. Menarik kembali tanah
milik negara Pada masa pemerintahan Khalifah Usman Ibnu Affan banyak para kerabatnya
yang diberikan fasilitas dalam berbagai bidang, sehingga banyak diantara mereka yang lalu
merongrong pemerintahan Khalifah Usman Ibnu Affan dan harta kekayaan negara. Oleh
sebab itu, saat Khalifah Ali Ibnu Abi Thalib menjadi Khalifah, dia memiliki tanggung jawab
yang besar untuk menyelesaikannya. Beliau berusaha menarik kembali semua tanah
pemberian Usman Ibnu Affan kepada keluarganya untuk dijadikan milik negara. Usaha itu
bukan tidak memperoleh tantangan. saat Khalifah Ali Ibnu Abi Thalib banyak memperoleh
perlawanan dari para penguasa dan kerabat mantan Khalifah Usman Ibnu Affan. Salah
seorang yang tegas menentang saat Khalifah Ali Ibnu Abi Thalib adalah Muawiyah Ibnu Abi
Sufyan. Karena Muawiyah sendiri telah terancam kedudukannya sebagai gubernur Syria.
Untuk menghambat gerakan Khalifah Ali Ibnu Abi Thalib, Muawiyah menghasut kepada
para sahabat lain supaya menentang rencana Khalifah, selain menghasut para sahabat
Muawiyah juga mengajak kerjasama dengan para mantan gubernur yang dicopot oleh
Khalifah Ali Ibnu Abi Thalib. Kemudian terjadi perang Jamal, perang Shiffin dan
sebagainya. Semua tindakan Khalifah Ali Ibnu Abi Thalib semata memiliki tujuan untuk
membersihkan praktek Kolusi, korupsi dan Nepotisme didalam pemerintahannya. Tapi
menurut sebagian masyarakat kalo situasi pada saat itu kurang tepat untuk melakukan hal itu,
yang akhirnya Khalifah Ali Ibnu Abi Thalib pun meninggal ditangan orang-orang yang tidak
menyukainya. Khalifah Ali Ibnu Abi Thalib bekerja keras sebagai Khalifah sampai akhir
hayatnya, dan beliau menjadi orang kedua yang berpengaruh setelah Nabi Muhammad Saw.
3. Perkembangan di Bidang Politik Militer Khalifah Ali Ibnu Abi Thalib mempunyai
kelebihan, seperti kecerdasan, ketelitian, ketegasan keberanian dan sebagainya. Karenanya
saat ia terpilih sebagai Khalifah, jiwa dan semangat itu masih membara didalam dirinya.
Banyak usaha yang dilakukan, termasuk bagaimana merumuskan sebuah kebijakan untuk
kepentingan negara, agama dan umat Islam kemasa depan yang lebih cemerlang. Selain itu, ia
juga terkenal sebagai pahlawan yang gagah berani, penasihat yang bijaksana, penasihat
hukum yang ulung, dan pemegang teguh tradisi, seorang sahabat sejati, dan seorang kawan
yang dermawan. Khalifah Ali Ibnu Abi Thalib sejak masa mudanya amat terkenal dengan
sikap dan sifat keberaniannya, baik dalam keadaan damai mupun saat kritis. Beliau amat tahu
medan dan tipu daya musuh, ini kelihatan sekali pada saat perang Shiffin. Dalam perang itu
Khalifah Ali Ibnu Abi Thalib mengetahui benar bahwa siasat yang dibuat Muawiyah Ibnu
Abi Sufyan hanya untuk memperdaya kekuatan Khalifah Ali Ibnu Abi Thalib menolak ajakan
damai, sebab dia sangat mengetahui bahwa Muawiyah adalah orang yang sangat licik.
Namun para sahabatnya mendesak agar menerima tawaran perdamaian itu. Peristiwa ini lalu
dikenal dengan istilah "Tahkim" di Daumatul Jandal pada tahun 34 Hijriyah. Peristiwa itu
sebenarnya adalah bukti kelemahan dalam system pertahanan pada masa pemerintahan
Khalifah Ali Ibnu Abi Thalib. Usaha Khalifah terus memperoleh tantangan dan selalu
dikalahkan oleh kelompok orang yang tidak senang pada kepemimpinannya. Karena
peristiwa "Tahkim" itu, timbullah tiga golongan dikalangan umat Islam, yaitu Kelompok
Khawarij, Kelompok Murjiah dan Kelompok Syi'ah (pengikut Ali). Ketiga kelompok itu
yang pada masa selanjutnya adalah golongan yang sangat kuat dan yang mewarnai
perkembangan pemikiran dalam Islam. 4. Perkembangan di Bidang Ilmu Bahasa Pada masa
Khalifah Ali Ibnu Abi Thalib, wilayah kekuasaan Islam telah sampai Sungai Efrat, Tigris,
dan Amu Dariyah, bahkan sampai ke Indus. Akibat luasnya wilayah kekuasaan Islam dan
banyaknya masyarakat yang bukan berasal dari kalangan Arab, banyak ditemukan kesalahan
dalam membaca teks Al-Qur'an atau Hadits sebagai sumber hukum Islam. Khalifah Ali Ibnu
Abi Thalib menganggap bahwa kesalahan itu sangat fatal, terutama bagi orang-orang yang
akan mempelajari ajaran islam dari sumber aslinya yang berbahasa Arab. Kemudian Khalifah
Ali Ibnu Abi Thalib memerintahkan Abu Al-Aswad Al-Duali untuk mengarang pokok-pokok
Ilmu Nahwu ( Qawaid Nahwiyah ). Dengan adanya Ilmu Nahwu yang dijadikan sebagai
pedoman dasar dalam mempelajari bahasa Al-Qur'an, maka orang-orang yang bukan berasal
dari masyarakat Arab akan mendaptkan kemudahan dalam membaca dan memahami sumber
ajaran Islam. 5. Perkembangan di Bidang Pembangunan Pada masa Khalifah Ali Ibnu Abi
Thalib, terdapat usaha positif yang dilaksanakannya, terutama dalam masalah tatakota . Salah
satukota yang dibangun adalahkota Kuffah. Semula pembangunankota Kuffah ini bertujuao
politis untuk dijadikan sebagai basis pertahanan kekuatan Khalifah Ali Ibnu Abi Thalib dari
berbagai rongrongan para pembangkang, misalnya Muawiyah Ibnu Abi Sufyan. Akan tetapi,
lama kelamaankota itu berkembang menjadi sebuahkota yang sangat ramai dikunjungi
bahkan lalu menjadi pusat pengembangan ilmu pengetahuan keagamaan, seperti
perkembangan Ilmu Nahwu, Tafsir, Hadits dan sebagainya. Pembangunankota Kuffah ini
dimaksudkan sebagai salah satu cara Khalifah Ali Ibnu Abi Thalib mengontrol kekuatan
Muawiyah yang sejak semula tidak mau tunduk pada perintahnya. Karena letaknya yang
tidak begitu jauh dengan pusat pergerakan Muawiya Ibnu Abi Sufyan, maka boleh
dibilangkota ini sangat strategis bagi pertahanan Khalifah. sumber : dkm-
alfurqon.blogspot.com harismubarak.blogspot.com

Sumber: http://kisahimuslim.blogspot.co.id/2015/05/kepemimpinan-khalifah-ali-bin-abi.html

Anda mungkin juga menyukai