Anda di halaman 1dari 28

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 GASTROENTERITIS
2.1.1 Definisi dan Epidemiologi
Gastroenteritis berasal dari bahasa Yunani yang berasal dari kata
“gastron” yaitu “stomach” dan “enteron” yaitu “small intestine”, sehingga
dapat diartikan menjadi peradangan pada usus kecil dan perut. Definisi
gastroenteritis secara medis adalah adanya diare (buang air besar dengan
frekuensi yang meningkat dari biasanya atau lebih dari tiga kali sehari dengan
konsistensi tinja yang lebih lembek atau cair dan bersifat mendadak) disertai
dengan adanya gejala lain seperti demam, muntah, dan nyeri perut.1,2
Laporan menurut National Outbreak Reporting System, sekitar
350.000 kasus gastroenteritis akut terjadi tiap tahunnya di Amerika Serikat.3
Laporan menurut CDC berdasarkan data dari National Center Health Statistic,
penyebab kematian berhubungan dengan gastroenteritis meningkat sejak tahun
1999 dan mencapat sekitar 17.000 kematian tiap tahunnya, diana lebih dari
80% kematian pada populasi lansia.1

2.1.2 Etiologi
Berbagai organisme dapat menyebabkan gastroenteritis. Sekitar 1.5%
dari sampel feses ditemukan adanya bakteri penyebab gastroenteritis. Bakteri
penyebabnya adalah Compylobacter, Salmonella, Clostridium perfringens dan
Staphylococcus aureus. Norovirus dan Rotavirus adalah penyebab utama
gastroenteritis karena virus. Namun penyebab karena Rotavirus menurun
secara signifikan di AS dan Eropa setelah adanya vaksinasi dan penurunan
mencapai 67%. Berbeda dengan Rotavirus, Norovirus dapat menyebabkan
gastroenteritis akut pada semua kalangan usia dan dapat terjadi dimana saja,
seperti panti jompo, sekolah, kapal pesiar, dll. Infeksi Norovirus menyebabkan
muntah hingga 60 jam dan menurun secara spontan serta penularannya melalui
fekal oral. Selain kedua virus tersebut, adapula virus penyebab gastroenteritis
lainnya seperti Astrovirus, Adenovirus (subtype 40 dan 41), dan Sapivirus.1,4
Gastroenteritis yang terjadi selama lebih dari 30 hari disebut
gastroenteritis kronik atau persisten. Etiologi akut dan kronik gastroenteritis

8
berbeda, dimana termasuk disebabkan oleh obat-obatan, parasit, protozoa,
irritable bowel syndrome, inflammatory bowel diseases, celiac disease,
eosinophilic gastroenteritis, lactose intolerance, malabsorbsi, dan obstruksi
intestinal. Host dengan AIDS memiliki risiko terkena gastroenteritis dan
memiliki relasi yang tinggi dengan insiden diare karena Cryptosporidium.
Gastroenteritis persisten juga dapat disebabkan oleh giardia, yang ditemukan
di air yang terkontaminasi, kolam renang, dan tempat penitipan anak.1

2.1.3 Patofisiologi dan Gejala Klinis


Terjadinya gastroenteritis dapat disebabkan oleh beberapa macam
mekanisme, mencakup invasi mukosa, kepatuhan dan produksi toksin. Faktor
terpenting mengenai keparahan patologi terjadinya gastroenteritis adalah
ukuran inokulum. Kuman Escherichia coli (EHEC) dan Shigella dapat
menyebabkan penyakit bila terdapat 10 organisme, sedangkan Vibrio cholerae
membutuhkan 1 juta organisme.1,5

Gambar 1. Patogenesis dan gejala klinik gastroenteritis5

2.1.4 Diagnosis
Pasien dengan gastroenteritis menunjukkan tanda-tanda vital yang
abnormal; demam, takikardi, dan nyeri. Gambaran klinis dehidrasi juga dapat
muncul tergantung dari tingkat keparahan penyakit. Hal pertama yang penting
dalam pemeriksaan dan evaluasi adalah melalui anamnesis dan pemeriksaan
fisik yang lengkap. Riwayat makan makanan sebelumnya untuk mencari
adanya tanda dan gejala yang mengkhawatirkan. Pada sebagian besar kasus

9
gastroenteritis, organisme penyebabnya tidak memengaruhi dalam tatalaksana,
berbeda bila ditemukan adanya dehidrasi yang parah. Pemeriksaan darah
lengkap tidak dapat menentukan etiologi penyebab, namun masih dapat
terlihat keparahan penyakitnya. Demam tinggi membutuhkan kultur darah.
Gejala lain seperti terdapat tanda dehidrasi, adanya nyeri perut, rawat inap
membutuhkan pemeriksaan terhadap bakteri penyebab.1

2.1.5 Tatalaksana
Gastroenteritis akut biasanya dapat sembuh sendiri yang tidak
membutuhkan pengobatan. Tujuan utama dalam penanganan gastroenteritis
adalah mengurangi dehidrasi dengan rehidrasi oral dan nutrisi berkelanjutan
sesuai dengan usia.4

Gambar 2. Tanda-tanda dehidrasi4

Pemberian antibiotik tidak rutin diberikan, WHO merekomendasikan


pemberian antibiotik kepada pasien anak dengan diare berdarah atau diare
yang parah, severe traveler’s diarrhea, adanya buang air besar lebih dari
delapan kali perhari, dehidrasi berat, gejala yang bertahan selama lebih dari
seminngu, keadaan immunocompromised, dan demam.1,4 Pemberian dengan
atau tanpa antibiotik pada pasien rawat inap juga tidak terlalu mempengaruhi
lamanya pasien dirawat.6 Zink dapat diberikan untuk mengurangi durasi diare
dan tingkat keparahannya, dimana dapat diberikan selama 10-14 hari.

10
Probiotik seperti Lactobacillus juga dapat diberikan meskipun efeknya tidak
selalu bermanfaat.4
Penggunaan antiemetik dan antimotilitas dapat diberikan untuk
pengobatan simtomatik, seperti pengunaan promethazine hydrochloride dan
prochlorperazine, dengan bukti terbaru bahwa prochlorperazine memiliki
tingkat kemanjuran yang lebih tinggi dan efek mengantuk yang lebih sedikit.
Antimotilitas, seperti loperamide juga dapat diberikan karena tingkat
keamanan dan kemanjurannya masih tinggi, meski masih dianggap lebih aman
untuk tidak menggunakan antimotilitas apapun.1

2.2 HIPERTENSI
2.2.1 Definisi dan Epidemiologi
Hipertensi merupakan penyakit yang sering ditemukan dalam praktik
kedokteran primer, dimana menurut NHLBI (National Heart, Lung, and Blood
Institute), 1 dari 3 pasien menderita hipertensi. Data Riskesdas 2013
menunjukkan bahwa prevalensi hipertensi di Indonesia sebesar 26,5% dan
pada tahun 2018 sebesar 34.1% dari jumlah penduduk sekitar 260 juta jiwa.
Prevalensi hipertensi lebih tinggi pada usia lanjut.7,8
Definisi hipertensi menurut Perhimpunan Dokter Hipertensi Indonesia
adalah keadaan dimana tekanan darah sistolik (TDS) ≥ 140mmHg dan/atau
tekanan darah diastolik (TDD) ≥ 90mmHg.8

2.2.2 Klasifikasi Tekanan Darah

Tabel 1. Klasifikasi Tekanan Darah (Konsensus Penatalaksanaan Hipertensi


2019)
2.2.2 Diagnosis

11
Deteksi hipertensi direkomendasikan untuk semua pasien berusia >18
tahun. Pasien berusia >50 tahun frekuensi penapisan ditingkatkan dengan
prevalensi tekanan darah sistolik. Perbedaan TDS >15mmHg antara kedua
lengan sugestif suatu penyakit vaskular dan berhubungan erat dengan
tingginya risiko CVS.

Gambar 3. Deteksi Hipertensi Berdasarkan Konsensus Penatalaksanaan


Hipertensi 20198

Konfirmasi diagnosis hipertensi tidak dapat mengandalkan hanya pada


satu kali pemeriksaan, kecuali pada pasien dengan TD sangat tinggi, pada
derajat 3 atau adanya bukti kerusakan target organ karena hipertensi (HMOD,
hypertension-mediated organ damage) misalnya hipertrofi ventrikel kiri,
kerusakan ginjal, retinopati hipertensi.8

12
Gambar 4. Penilaian HMOD8

2.2.3 Tatalaksana8
2.2.3.1 Intervensi pola hidup
Pola hidup dapat mencegah atau memperlambat awitan
hipertensi dan mengurangi risiko kardiovaskular, seperti pembatasan
konsumsi garam dan alcohol, peningkatan konsumsi sayuran dan buah,

13
penurunan BB dan menjaga BBI, aktivitas fisik teratur dan
menghindari rokok.

2.2.3.2 Pembatasan konsumsi garam


Konsumsi garam berlebih terbukti meningkatkan tekanan darah
dan meningkatkan prevalensi hipertensi. Rekomendasi natrium tidak
melebihi 2gram/hari (setara 5-6 gram NaCl perhari atau 1 sendok teh
garam dapur).

2.2.3.3 Perubahan pola makan


Konsumsi makanan seimbang yang mengandung sayuran,
kacang-kacangan, buah-buahan segar, produk susu rendah lemak,
gandum, ikan dan asam lemak tak jenuh, membatasi asupan daging
merah dan asam lemak jenuh.

2.2.3.4 Penurunan BB dan menjaga BBI


Tujuan pengendalian BB adalah mencegah obesitas (IMT
>25kg/m2) dan menargetkan BB ideal (IMT 18.5-22.9 kg/m 2) dengan
lingkar pinggang <90 cm pada laki-laki dan <80 cm pada perempuan.

2.2.3.5 Olahraga teratur


Berfungsi untuk mencegah dan pengobatan hipertensi, dimana
disarankan untuk berolahraga setidaknya 30 menit latihan aerobic
dinamik berintensitas sedang 5-7 hari per minggu.

2.2.3.6 Berhenti merokok


Merokok merupakan faktor risiko vaskular dan kanker,
sehingga pasien dengan hipertensi harus diedukasi untuk berhenti
merokok.

14
Gambar 5. Alur Panduan Inisiasi Terapi Obat Sesuai dengan Klasifikasi
Hipertensi8

Gambar 6. Tatalaksana Hipertensi tanpa Komplikasi8

15
Gambar 7. Algoritma penanganan hipertensi menurut JNC 87

2.2.4 Target Tekanan Darah

Tabel 2. Target tekanan darah8

2.3

DIABETES MELITUS
(DM) TIPE-2
2.3.1 Definisi
dan Epidemiologi
Diabetes
melitus
(DM)
16
adalah kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang
terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau keduanya.
WHO memprediksi adanya peningkatan penyangdang DM yang
menjadi ancaman kesehatan global. Di Indonesia dari 8.4 juta pada tahun 2000
menjadi 21.3 juta pada tahun 2030, sedangkan menurut International Diabetes
Federation (IDF) diprediksi dari 9.1 jta pada tahun 2014 menjadi 14.1 juta
pada 2035. Laporan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 oleh
Depkes, rata-rata prevalensi DM di daerah urban untuk usia 15 tahun sebesar
5.7%.9

Tabel 3. Daftar negara kasus DM tipe-2 dengan kasus tertinggi estimasi pada tahun
2000 dan 203010
2.3.2 Patogenesis
Kebanyakan individu dengan DM tipe-2 yaitu obesitas, dimana
memiliki kaitan yang erat dengan terjadinya resistensi insulin. Selain itu,
hipertensi, dislipidemia sering juga ditemukan pada penderita DM tipe-2.10
Resistensi insulin pada otot dan liver serta kegagalan sel beta pankreas
merupakan patofisiologi kerusakan sentral DM tipe-2. Selain liver dan sel
beta, organ lain seperti jaringan lemak (meningkatnya lipolisis),
gastrointestinal (defisiensi ikretin), sel alfa pankreas, ginjal (peningkatan
absorbsi glukosa), dan otak (resistensi insulin) berperan dalam menimbulkan
gangguan toleransi glukosa pada DM tipe-2.9

17
Gambar 8. Patofisiologi hiperglikemia pada DM tipe-210

18
Gambar 9. Fisiologi dan patofisiologi insulin pada DM tipe-210

2.3.3 Diagnosis DM
Diagnosis ditegakkan berdasarkan pemeriksaan kadar glukosa darah,
yaitu secara enzimatik dengan bahan plasma darah vena. Pemantauan hasil
dilakukan dengan pemeriksaan glukosa darah kapiler dengan glucometer dan
tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria. Kecurigaan adanya DM
apabila terdapat keluhan seperti:9
 Keluhan klasik DM: poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan BB
yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
 Keluhan lain: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, disfungsi ereksi
pada pria serta pruritus vulva pada wanita.

19
Tabel 4. Kriteria Diagnosis DM9

Hasil pemeriksaan yang tidak memenuhi kriteria normal atau


prediabetes yang meliputi: toleransi glukosa terganggu (TGT) dan glukosa
darah puasa terganggu (GDPT).9
 Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT): Hasil pemeriksaan glukosa
plasma puasa antara 100-125 mg/dl dan pemeriksaan TTGO glukosa
plasma 2-jam <140 mg/dl;
 Toleransi Glukosa Terganggu (TGT): Hasil pemeriksaan glukosa plasma 2
-jam setelah TTGO antara 140-199 mg/dl dan glukosa plasma puasa <100
mg/dl
 Bersama-sama didapatkan GDPT dan TGT
 Diagnosis prediabetes dapat juga ditegakkan berdasarkan hasil
pemeriksaan HbA1c yang menunjukkan angka 5,7-6,4%. 9

Tabel 5. Kadar tes laboratorium darah untuk diagnosis diabetes dan


prediabetes9
2.3.4 Tatalaksana DM

20
Tatalaksana dimulai dengan menerapkan pola hidup sehat
bersamaan dengan intervensi farmakologis dengan obat
antihiperglikemia secara oral dan/atau suntikan.9
 Terapi nutrisi medis (TNM)
Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari:
- Karbohidrat, sebesari 45-65% total asupan energi, terutama
karbohidrat berserat tinggi.
- Sukrosa tidak boleh lebih dari 5% total asupan energi.
- Pemanis alternative dapat digunakan asal tidak melebihi batas
aman konsumsi harian
- Lemak, sekitar 20-25% kebutuhan kalori, dengan <7% lemak
jenuh.
- Konsumsi kolestrol dianjurkan <200mg/hari
- Protein sebesar 10-20% total asupan energi
- Natrium untuk penyandang DM sama dengan orang sehat yaitu
<2300 mg perhari.
- Serat yang dianjurkan sebesar 20-35gram/hari berasal dari
berbagai sumber bahan makanan.
 Kebutuhan Kalori
Perhitungan BBI menggunakan rumus Broca, yaitu:
- BBI = 90% (TB dalam cm-100) x 1 kg
- Bagi pria dengan tinggi badan di bawah 160 cm dan wanita di
bawah 150 cm, rumus dimodifikasi menjadi: BBI = TB dalam
cm – 100) x 1 kg
BB normal: BB ideal ± 10%
Kurus : kurang dari BB – 10%
Gemuk: lebih dari BBI + 10%
 Jasmani
Latihan jasmani merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan
DM II bila tidak disertai nefropati. Kegiatan jasmani secara teratur
sebanyak 3-5 kali perminggu selama sekitar 30-45 menit dengan
total 150 menit perminggu. Sebelum latihan jasmani, hendaknya

21
diperiksa glukosa darah, bila <100 mg/dL, pasien harus
mengonsumsi karbohidrat terlebih dahulu.9

Gambar 10. Algoritme Pengelolaan DM tipe 29

Tabel 6. Obat antihiperglikemia oral yang tersedia di Indonesia9

22
Obat antihiperglikemia suntik, yaitu insulin, agonis GLP-1, dan
kombinasi keduanya diperlukan pada keadaan:
a. Insulin :
 HbA1c > 9% dengan kondisi dekompensasi metabolik
 Penurunan berat badan yang cepat
 Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
 Krisis Hiperglikemia
 Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal
 Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, infark miokard akut,
stroke)
 Kehamilan dengan DM/Diabetes melitus gestasional yang tida
terkendali dengan perencanaan makan
 Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
 Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO
 Kondisi perioperatif sesuai dengan indikasi
b. Agonis GLP-1 :
Agonis GLP-1 dapat bekerja pada sel beta sehingga terjadi peningkatan
pelepasan insulin, memiliki efek menurunkan BB, menghambat pelepasan
glukagon dan menghambat napsu makan.9

2.3.5 Monitoring
Pengobatan DM II harus dipantau secara terencana dengan anamnesis,
pemeriksaan jasmani, dan penunjang. Pemeriksaan yang dapat dilakukan:
a. Pemeriksaan kadar glukosa darah
Bertujuan untuk mengetahui apakah sasaran terapi telah tercapai dan
melakukan penyesuaian dosis obat, bila belum tercapai sasaran terapi.
Waktu pelaksanaan glukosa darah: pemeriksaan kadar glukosa darah puasa,
glukosa 2 jam setelah makan, glukosa darah waktu lain.
b. Pemeriksaan HbA1C
HbA1C diperiksa setiap 3 bulan untuk melihat hasil terapi dan rencana
perubahan terapi. Bila telah mencapai sasaran terapi disertay kendali
glukosa yang stabil, HbA1C diperiksa 2 kali dalam setahun. Pemeriksaan
tidak dapat digunakan untuk alat evaluasi pada kondisi: anemia,

23
hemoglobinopati, riwayat transfusi 2-3 bulan terakhir, dan kedaaan yang
mempengaruhi eritrosit dan gangguan fungsi ginjal.
c. Pemantauan glukosa darah mandiri
Dilakukan dengan menggunakan darah kapiler. Pemeriksaan ini dianjurkan
pada:
- Pasien DM yang direncanakan mendapat insulin
- Penyandang DM dengan keadaan: pasien dengan HbA1c yang tidak
mencapai target setelah terapi, wanita yang merencanakan hamil, wanita
hamil dengan hiperglikemia, kejadian hipoglikemia berulang.9

2.3.6 Kriteria Pengendalian DM


Kriteria pengendalian didasarkan pada hasil pemeriksaan kadar
glukosa, HbA1C, dan profil lipid. Definisi DM yang terkendali baik adalah
bila kadar glukosa darah, kadar lipid, dan HbA1C mencapai kadar yang
diharapkan, serta status gizi maupun tekanan darah sesuai target yang
ditentukan.

Tabel 7. Kriteria Pengendalian DM9

2.3.7 Dislipidemia pada Diabetes Melitus

24
Dislipidemia pada penyandang DM lebih meningkatkan risiko penyakit
kardiovaskular. Pemeriksaan ini perlu dilakukan saat diagnosis diabetes
ditegakkan. Pada pasien yang pemeriksaan profil lipidnya menunjukkan hasil
yang baik (LDL <100mg/dL; HDL >50 mg/dL; trigliserid <150mg/dL), maka
pemeriksaan profil lipid dapat dilakukan 2 tahun sekali. Gambaran
dislipidemia yang sering didapatkan pada penyandang diabetes adalah
peningkatan kadar trigliserida, dan penurunan kadar kolestrol HDL, sedangkan
kadar kolestrol LDL normal atau sedikit meningkat.

Sasaran terapi:

 Pada penyandang DM, target utamanya adalah penurunan LDL.

 Pada penyandang diabetes tanpa disertai penyakit kardiovaskular, target


LDL < 100 mg/dl.

 Pasien DM dengan usia lebih dari 40 tahun dan memiliki satu atau lebih
faktor risiko penyakit kardiovaskular (riwayat keluarga dengan penyakit
kardiovaskular, hipertensi, merokok, dislipidemia, atau albuminuria)
dianjurkan diberi terapi statin.

 Pasien dengan usia kurang dari 40 tahun dengan risiko penyakit


kardiovaskular, yang gagal dengan perubahan gaya hidup dapat diberikan
terapi farmakologis.9

Pada penyandang DM dengan penyakit Acute Coronary Syndrome (ACS) atau


telah diketahui dengan penyakit pembuluh darah lainnya atau mempunyai
banyak faktor risiko yang lain maka :

- Target LDL <70 mg/dL

- Jika tidak mencapai target pada terapi statin dengan toleransi maksimum
maka penurunan LDL sebesar 30-40% merupakan sasaran terapeutik
alternatif

- Target trigliserida <150 mg/dl (1,7 mmol/L)

25
- Target HDL >50 mg/dl

- Bila kadar trigliserida mencapai ≥500 mg/dl (4,51 mmol/L) perlu segera
diturunkan dengan terapi fibrat untuk mencegah timbulnya pankreatitis

- Terapi kombinasi statin dengan obat pengendali lemak yang lain mungkin
diperlukan untuk mencapai target terapi, dengan memperhatikan
peningkatan risiko timbulnya efek samping.9

2.3.8 Hipertensi pada Diabetes Melitus


Indikasi pengobatan bila TD sistolik >140mmHg dan/atau TD diastolik
>90mmHg, dimana sasaran tekanan darah TD sistolik <140mmHg dan/atau
TD diastolik <90mmHg. Pengelolaan dengan non farmakologis maupun
dengan farmakologis.
Terapi non farmakologis:
Modifikasi gaya hidup: menurunkan berat badan, meningkatkan aktivitas fisik,
menghentikan merokok dan alkohol serta mengurangi konsumsi garam.
Terapi farmakologis, obat anti hipertensi yang dapat dipergunakan :
 Penyekat reseptor angiotensin II
 Penghambat ACE
 Penyekat reseptor beta selektif dosis rendah
 Diuretik dosis rendah
 Penghambat reseptor alfa
 Antagonis kalsium9

2.4 HIPERURISEMIA
2.4.1 Definisi dan Epidemiologi
Asam urat merupakan produk oksidasi dari metabolisme purin. Asam
urat lebih toksik dibandingan produk metabolisme purin lainnya, seperti
xantin, hipoxantin, dan allantoin. Hiperurisemia didefinisikan sebagai kadar
urat serum lebih dari 6.0 mg/dl pada wanita dan 7.0 mg/dl pada pria. Di atas
konsentrasi tersebut, urat jenuh di dalam cairan tubuh, dan rentan menjadi
kristalisasi selanjutnya akan terdeposisi dalam jaringan. Konsumsi tinggi
fruktosa meningkatkan kadar serum asam urat. Faktor lainnya seperti
penggunaan obat-obatan, termasuk golongan diuretik dan siklosporin.
26
Prevalensi hiperurisemia asimptomatik di AS diperkirakan 5-8% pada ras
kaukasia dewasa.11

2.4.2 Patofisiologi dan Manifestasi Klinis

Gambar 11. Patofisiologi Gout12

Manifestasi medis hiperurisemia yang paling sering adalah gout; yang


disebabkan oleh pengendapan kristal asam urat di dalam darah dan di sekitar
sendi dan memiliki 4 tahap perjalanan klinis, yaitu :
1. Hiperurisemia asimptomatik, dimana pasien belum menunjukkan gejala-
gejala selain dari peningkatan asam urat serum
2. Artritis gout akut, pada tahap ini terjadi awitan mendadak pembengkakan
dan nyeri luar biasa, biasanya pada sendi ibu jari kaki dan sendi
metatarsophalangeal. Artritis bersifat monoartikular dam menunjukkan

27
tanda-tanda peradangan lokal, dapat timbul demam dan peningkatan
jumlah leukosit. Serangan terjadi dapat dipicu oleh pembedahan, trauma,
obat-obatan, alkohol, atau stress emosional. Hal ini terjadi saat kristal
asam urat berinteraksi dengan fagosit sinovial yang akan mengaktifkan
neutrophil dan sel radang.
3. Tahap interkritis, yaitu tidak terdapat gejala-gejala pada masa ini, yang
dapat berlangsung dari beberapa bulan sampai tahun. Kebanyakan
mengalami serangan gout berulang dalam waktu kurang dari 1 tahun jika
tidak diobati.
4. Tahap gout kronik, dengan timbunan asam urat yang terus bertambah
dalam beberapa tahun jika pengobatan tidak dimulai. Peradangan kronik
akibat kristal-kristal asam urat mengakibatkan nyeri, sakit, dan kaku juga
pembesaran nyeri, sakit, dan kaku juga pembesaran dan penonjolan sendi
yang bengkak. Serangan akut artritis gout dapat terjadi pada tahap ini. Tofi
terbentuk pada pada masa gout kronik akibat insolubilitas relatif asam
urat.11,12

Tabel 8. Staging hiperurisemia dan gout11

2.4.3 Kriteria Diagnostik


Peningkatan asam urat serum sangat membantu dalam membuat
diagnosis, meski tidak spesifik karena ada sejumlah obat-obatan yang juga
dapat meningkatkan kadar asam urat serum, seperti aspirin dosis rendah
(kurang dari 1-2 gram/hari), diuretik, levodopa, diazoksid, asam nikotinat,
asetazolamid, dan etambutol.12

28
Pemeriksaan lain untuk mendiagnosis gout adalah dengan melihat
respon dari gejala pada sendi terhadap pemberian kolkisin, yaitu obat yang
menghambat aktivitas fagositik leukosit sehingga memberikan perubahan yang
dramatis dan cepat meredakan gejala-gejala. Perubahan radiologik selain dari
pembengkakan jaringan lunak juga biasa ditemukan pada tahap awal gout.
Adanya kristal asam urat dalam cairan sinovial sendi yang terserang juga dapat
dianggap bersifat diagnostik.12

2.4.4 Pengobatan
Hiperurisemia asimptomatik biasanya tidak membutuhkan pengobatan.
Serangan akut artritis gout dapat diobati dengan antiinflamasi nonsteroid atau
kolkisin. Obat ini diberikan dalam dosis tinggi atau dosis penuh untuk
mengurangi peradangan akut sendi lalu diturunkan secara bertahap dalam
beberapa hari.
Pengobatan gout kronik adalah berdasarkan usaha untuk menurunkan
produksi asam urat atau meningkatkan ekskresi asam urat oleh ginjal. Obat
alupurinol menghambat pembentukan asam urat dari prekursornya dengan
menghambat enzim xantin oksidase.
Obat urikosurik dapat meningkatkan ekskresi asam urat dengan
menghambat reabsorpsi tubulus ginjal. Supaya agen-agen urikosurik ini
bekerja efektif, dibutuhkan fungsi ginjal yang memadai, dimana kreatinin
klirens perlu dilakukan untuk mengetahui fungsi ginjal (normal 115-120
ml/menit). Obat yang biasa digunakan adalah probenesid dan sulfinpirazon.
Selain fungsi ginjal, diperlukan cairan sekurangnya 1500 ml/hari untuk dapat
meningkatkan ekskresi asam urat. Produk aspirin harus dihindari karena
menghambat kerja urikosurik obat itu.12

29
BAB III
PEMBAHASAN

Pada kasus ini, dari hasil anamnesis secara autoanamnesis pada tanggal 8
September 2019 didapatkan bahwa pasien datang dengan keluhan buang air besar cair
sebanyak 5 kali sehari, masih terdapat ampas makanan, namun tidak didapatkan
adanya lendir maupun darah. Pasien juga mengeluh muntah dan terjadi lebih dari lima
kali dalam sehari serta mengeluh mual. Riwayat makan sebelumnya hanya makan soto
yang dibuat di rumahnya. Pasien juga belum minum obat apapun untuk mengurangi
keluhannya tersebut. Selain itu pasien juga mengeluh lemas dan nyeri kepala. Nafsu
makan dan minum juga menurun. Melalui anamnesis, diketahui pasien memiliki
riwayat hipertensi dan DM II yang tidak terkontrol sejak lebih dari lima tahun.
Hasil pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran pasien composmentis dengan
keadaan umum tampak lemah. tekanan darah 204/97 mmHg, nadi 102 kali per menit,
pernapasan 22 kali per menit dan suhu 36 oC. Didapatkan mukosa pada mulut tampak
kering dan nyeri tekan pada epigastrium.
Hasil pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan darah rutin dan hitung jenis,
kolestrol total, trigliserida, asam urat, GDS, ureum dan kreatinin. Hasil menunjukkan
adanya peningkatan leukosit sebesar 11.83/mmk, peningkatan angka neutrophil yaitu
85.5%, penurunan angka limfosit 8.4%, penurunan angka eusinofil 0.1, peningkatan
angka kolestrol total 259 mg/dL, peningkatan angka gula darah sewaktu yaitu 325
mg/dL serta peningkatan asam urat sebesar 10.6 mg/dL.
Berdasarkan keluhan, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang yang
dilakukan, pasien didiagnosis dengan GEA dehidrasi ringan sedang, hipertensi, DM
II, hiperkolestrol, dan hiperurisemia.

30
Diagnosis GEA dehidrasi ringan sedang sudah sesuai dengan tinjauan pustaka,
dimana didapatkan keluhan BAB cair, mual, muntah dan nyeri tekan pada abdomen
dan tanda dehidrasi ringan. Pasien diberikan antibiotik berupa injeksi Ceftriaxone 2x1
gr selama tiga hari dan dilanjutkan dengan Cefixime tab 2x100 mg untuk obat pulang.
Pemberian antibiotik ini dikarenakan adanya peningkatan leukosit. Pasien juga
mendapatkan terapi injeksi Ondancetron 3x4 mg dan injeksi Omeprazole 1x40mg
untuk mengurangi keluhan mual dan muntah, Arcapaec 2 tab tiap diare untuk
menghentikan keluhan BAB cair, Zinc 1x20 mg, dan LBio 1x1 sach yang berfungsi
untuk mengurangi durasi diare dan tingkat keparahannya.
Diagnosis hipertensi dikarenakan pada pemeriksaan didapatkan TD 204/97
mmHg. Berdasarkan klasifikasi hipertensi menurut Konsensus Penatalaksanaan
Hipertensi 2019, sedangkan menurut AHA pasien tersebut diklasifikasikan dalam
hipertensi kelas tiga yang memerlukan terapi non farmakologi dan farmakologi.
Terapi non farmakologi berupa pembatasan konsumsi garam, peningkatan konsumsi
sayuran dan buah, penurunan BB dan menjaga BBI, aktivitas fisik teratur, serta
diberikan terapi farmakologi dengan pemberian Amlodipin 1x10 mg dan Candesartan
1x8 mg. Menurut JNC 8, terapi tersebut sudah sesuai dimana diberikan obat golongan
ARB/CCB/ACE baik single dose atau kombinasi.
Diagnosis DM II didapatkan karena dari anamnesis pasien mengaku adanya
riwayat DM II yang tidak terkontrol dan didukung dengan adanya peningkatan hasil
gula darah sewaktu yaitu sebesar 325 mg/dL. Pengobatan juga diberikan pada pasien
ini selain dengan terapi farmakoterapi yaitu pemberian Glikuidon (golongan
sulfonylurea) sebanyak 3x30 mg, perlu penanganan non farmakoterapi lainnya unutk
pengendalian DM II pada pasien tersebut. Pada pemeriksaan penunjang juga
didapatkan adanya peningkatan kolestrol. Pemeriksaan ini perlu dilakukan saat
diagnosis ditegakkan, meskipun pemeriksaan LDL belum dilakukan, dimana hal
tersebut bertujuan untuk melihat gambaran dyslipidemia pada penyandang DM dan
sebagai tujuan terapi. Selain itu didapatkan juga adanya peningkatan asam urat
sebesar 10.6 mg/dL. Adanya peningkatan asam urat ini tidak didukung dengan adanya
keluhan pada pasien, sehingga pemberian alopurinol 1x 100 mg bertujuan untuk
menghambat pembentukan asam urat dari prekursornya dengan menghambat enzim
xantin oksidase.

31
BAB IV
KESIMPULAN

Gastroenteritis secara medis adalah adanya diare (buang air besar dengan
frekuensi yang meningkat dari biasanya atau lebih dari tiga kali sehari dengan
konsistensi tinja yang lebih lembek atau cair dan bersifat mendadak) disertai dengan
adanya gejala lain seperti demam, muntah, dan nyeri perut. Etiologi akut dan kronik
gastroenteritis berbeda, dimana termasuk disebabkan oleh obat-obatan, parasit,
protozoa, irritable bowel syndrome, inflammatory bowel diseases, celiac disease,
eosinophilic gastroenteritis, lactose intolerance, malabsorbsi, dan obstruksi intestinal.
Pasien dengan gastroenteritis menunjukkan tanda-tanda vital yang abnormal; demam,
takikardi, dan nyeri. Gambaran klinis dehidrasi juga dapat muncul tergantung dari
tingkat keparahan penyakit. Hal pertama yang penting dalam pemeriksaan dan
evaluasi adalah melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik yang lengkap. Riwayat
makan makanan sebelumnya untuk mencari adanya tanda dan gejala yang
mengkhawatirkan. Pemberian dengan atau tanpa antibiotik pada pasien rawat inap
juga tidak terlalu mempengaruhi lamanya pasien dirawat. Zink dapat diberikan untuk
mengurangi durasi diare dan tingkat keparahannya, dimana dapat diberikan selama
10-14 hari. Probiotik seperti Lactobacillus juga dapat diberikan meskipun efeknya
tidak selalu bermanfaat. Penggunaan antiemetik dan antimotilitas dapat diberikan
untuk pengobatan simtomatik.
Hipertensi menurut Perhimpunan Dokter Hipertensi Indonesia adalah
keadaan dimana tekanan darah sistolik (TDS) ≥ 140mmHg dan/atau tekanan darah
diastolik (TDD) ≥ 90mmHg, dimana terapinya tidak hanya dengan terapi farmakologi,
namun perlu didukung dengan terapi non farmakologi berupa pembatasan konsumsi

32
garam, peningkatan konsumsi sayuran dan buah, penurunan BB dan menjaga BBI,
aktivitas fisik teratur serta diperlukan follow-up untuk mengikuti perkembangan
penyakit serta pemeriksaan lanjutan untuk mengetahui adanya komorbid.
Diabetes melitus (DM) adalah kelompok penyakit metabolik dengan
karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin
atau keduanya. Kriteria pengendalian didasarkan pada hasil pemeriksaan kadar
glukosa, HbA1C, dan profil lipid. Definisi DM yang terkendali baik adalah bila kadar
glukosa darah, kadar lipid, dan HbA1C mencapai kadar yang diharapkan, serta status
gizi maupun tekanan darah sesuai target yang ditentukan. Dislipidemia pada
penyandang DM lebih meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular. Pemeriksaan ini
perlu dilakukan saat diagnosis diabetes ditegakkan.
Hiperurisemia didefinisikan sebagai kadar urat serum lebih dari 6.0 mg/dl pada
wanita dan 7.0 mg/dl pada pria. Di atas konsentrasi tersebut, urat jenuh di dalam
cairan tubuh, dan rentan menjadi kristalisasi selanjutnya akan terdeposisi dalam
jaringan. Perlu ditanyakan riwayat kebiasaan konsumsi makan makanan atau obat-
obatan yang meningkatkan asam urat, seperti diuretik, levodopa, diazoksid, asam
nikotinat, asetazolamid, dan etambutol.

33
DAFTAR PUSTAKA

1. Al Jassas B, et al. 2018. Gastroenteritis in Adults. International Journal of Community

Medicine and Public Health, 5(11),1-5. doi: http://dx.doi.org/10.18203/2394-

6040.ijcmph20184250.

2. Nelwan JE. 2015. Diare akut. Dalam EIMED PAPDI 1- Kegawatdaruratan Penyakit

Dalam. Edisi ke tiga. Jakarta: Interna Publishing, 35.

3. Hall AJ, Wikswo ME, Manikonda K, Roberts VA, Yoder JS, Gould LH. Acute

gastroenteritis surveillance through the National Outbreak Reporting System, United

States. Emerg Infect Dis. 2013;19:1305-9.

4. Duncan DL. 2019. Gastroenteritis: An overview of the symptoms, transmission and

management. British Journal of School Nursing, 13(10), 484-7. doi: sci-

hub.tw/10.12968/bjsn.2018.13.10.484.

5. Monfries N. 2015. Gastroenteritis: Pathogenesis and clinical findings. Diakses dari

https://calgaryguide.ucalgary.ca/gastroenteritis-pathogenesis-and-clinical-findings/ pada

30 Oktober 2019.

6. Homsi M, et al. 2019. Antibiotic therapy in acute gastroenteritis: a single-center

retrospective cohort study. NCBI, 32(6), 565-9. doi: 10.20524/aog.2019.0422

34
7. Muhadi. 2016. JNC 8: Evidence-based Guideline Penanganan Pasien Hipertensi Dewasa.

CDK-236, 43(1),54-9.

8. Perhimpunan Dokter Hipertensi Indonesia. 2019. Konsensus Penatalaksanaan Hipertensi.

Diakses dari

http://www.inash.or.id/upload/event/event_Update_konsensus_2019123191.pdf pada 5

November 2019.

9. PB Perkeni. 2015. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di

Indonesia 2015. Diakses dari https://pbperkeni.or.id/wp-content/uploads/2019/01/4.-

Konsensus-Pengelolaan-dan-Pencegahan-Diabetes-melitus-tipe-2-di-Indonesia-

PERKENI-2015.pdf pada 10 November 2019.

10. Baynest HW. 2015. Classification, Pathophysiology, Diagnosis and Management of

Diabetes Mellitus. Journal of Diabetes and Metabolism, 6(5),2-9. doi: 10.4172/2155-

6156.1000541

11. Sachs L, Batra KL, Zimmermann B. 2009. Medical Implications of Hyperuricemia.

Medicine Health Rhode Island, 92(11), 353.

12. Carter MA. 2013. Gout. Dalam Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.

Edisi ke enam. Jakarta: EGC, 1402-5.

35

Anda mungkin juga menyukai