Anda di halaman 1dari 3

KABAU NAN TIGO KANDANG

Makna Persaingan Antar-Nagari Menjelang Revolusi Padri


Muhammad Nasir

Kabau Nan Tigo Kandang adalah julukan atau ejekan (pejoratif) yang diberikan kepada orang-orang Salo,
Magek dan Kamang (SMK) pada masa bonanza perdagangan kopi dan akasia di akhir abad ke-18,
menjelang revolusi kaum Padri di daerah Agam Tuo (Oud Agam) itu. Julukan ini tidak akan dibahas
berpanjang-panjang, kecuali hanya sebagai penunjuk -begitu benarlah adanya- suasana persaingan antar
nagari di Luhak nan Tangah ini.

Dalam sejarah perlawanan di Onderafdeling Oud Agam ini, nagari-nagari yang disebut di atas menjadi
penting. Sejak revolusi Padri gelombang pertama dan kedua (1803-1830) hingga Perlawanan Pajak alias
Perang Belasting (1908), daerah tersebut selalu tersebut dalam beberapa scene peristiwa.

Namun, siapa sangka kemajuan dalam pertanian dan perdagangan kopi dan akasia itulah yang
melepaskan masyarakat nagari tersebut dari 'penjajahan' kata-kata oleh nagari-nagari tetangganya yang
maju lebih dahulu. Jejak-jejak kejayaan akasia itu sekarang masih terlihat. Generasi sekarang melihatnya
hanya sebatas tumbuhan semak liar. Padahal ada sejarah nenek moyang mereka di situ.

Selain efek perdagangan dan pertanian tersebut, ternyata hadirnya kesadaran melaksanakan agama
Islam ikut berpengaruh besar menaikkan moral mereka. Cristine Dobbin dalam bukunya Gejolak
Ekonomi, Kebangkitan Islam dan Gerakan Paderi (2008) secara gamblang menulis faktor Islam dalam
kebangkitan moral masyarakat Minangkabau, termasuk nagari SMK yang disebut di atas. Dobbin
menulis, "Sekarang, sebagai Islam yang baik, mereka merasa lebih unggul secara sosial dan moral
dibanding dengan tetangga mereka."

Agaknya sejarah Minangkabau dibangun dari konflik. Sejak era Datuak Katumanggungan dan Datuak
Parpatiah nan Sabatang, era Minangkabau Timur (abad ke-7), era Pantai Timur hingga Pagaruyuang
(abad ke-14) dan era Pantai Barat (abad ke-17). Konflik tersebut berpengaruh hingga membentuk
Minangkabau hingga menjadi apa.

Pada era yang disebut di atas konflik lebih kental beraroma politik dan ekonomi perdagangan. Kecuali
konflik antara Datuak Katumanggungan dan Datuak Parpatiah nan Sabatang yang melahirkan konsep
pemerintahan kelarasan Adat, era tersebut mungkin dapat terlokalisir sebatas daerah rantau dan tidak
membawa pengaruh besar terhadap struktur sosial di daerah Darek Minangkabau. Di antara
penyebabnya, persaingan di rantau justru menghadapi kelompok pesaing dari luar etnis Minangkabau.

Lain halnya dengan konflik di daerah Luhak atau Darek (daerah inti Minangkabau). Meski menyerempet
tema politik, ekonomi dan agama, konflik dan persaingan justru terjadi di antara masyarakat
Minangkabau sendiri. Lazimnya persaingan lego sakandang, semangat persaingan justru digerakkan oleh
perasaan bangga karena dapat mengungguli nagari sekitar dalam banyak hal.
Sebagaimana disitir oleh Cristine Dobbin dalam pembukaan tulisan di atas, salah satu dampak
persaingan tersebut justru berpengaruh terhadap hubungan antar nagari. Sepertinya menarik untuk
mencigap agak sepintas, seperti apa potret persaingan antar nagari tersebut.

Persaingan Harga Diri


Pertama persaingan dalam ekonomi. Menurut ahli ekonomi, persaingan ekonomi adalah adu strategi
para penjual yang sama-sama berusaha mendapatkan keuntungan, pangsa pasar, dan jumlah penjualan.
Para penjual biasanya berusaha mengungguli persaingan dengan membedakan harga, produk, distribusi
dan promosi.

Menurut cara pikir Adam Smith dalam bukunya The Wealth of Nations (1776), pedagang yang mampu
menghadirkan komoditas yang paling bernilai tinggi dan strategi yang efisien pasti akan beruntung.
Namun, persaingan antar nagari di Minangkabau bukan seperti itu. Bukan soal komoditi unggulan
ataupun soal keahlian berdagang. Sepertinya persaingan yang dimaksud adalah soal kebanggaan dan
harga diri (pride) yang disebabkan perolehan atas nilai uang (price).

Dalam kasus nagari Kabau Nan Tigo Kandang di atas, hukum pride and price berlaku. Untuk beberapa
waktu. nagari SMK berada di bawah bayang-bayang kejayaan ekonomi nagari-nagari tetangganya.
Akhirnya mereka beroleh gelar Kabau Nan Tigo Kandang! Sayangnya tak ada penjelasan yang memadai
tentang asal usul munculnya istilah ini.

Kebanggaan dan harga diri sepertinya sudah menjadi ciri khas daripada masyarakat matriarchat
Minangkabau. Merasa diri rendah dan hina, bagi orang Minangkabau adalah gejala-gejala masyarakat
tertindas, yaitu masyarakat patriarchat. Namun, apakah ini sebuah penyakit ada baiknya ini diperiksa
dalam filosofi orang Minang itu sendiri.

Dalam falsafah materialisme Minangkabau menurut A.A. Navis (1984) remaja laki-laki disuruh agar kuat
mencari harta kekayaan guna memperkokoh dan meningkatkan martabat keluarga atau kaum kerabat
agar setara dengan orang lain. Seperti tersirat dalam pantun:

Apo gunonyo kabau batali


Usah dipauik di pamatang
Pauikan sajo di tangah padang
Apo gunonyo badan mancari
Iyo pamaga sawah jo ladang
Nak membela sanak kanduang

Orang Minang, tulis Mardianto, Dosen Universitas Negeri Padang (2009) menganggap semua orang pada
prinsipnya adalah sama. Mempunyai potensi kemampuan yang sama. Bila orang lain mampu melakukan
maka kita pun pasti dapat juga meraih hal yang sama. Jikok di urang bisa baa kok di awak indak?,
demikian prinsip orang Minang. Prinsip inilah yang melahirkan budaya kompetitif dan persaingan agar
dapat meraih prestasi dan kedudukan yang sama dengan orang lain.

Berdasarkan penjelasan di atas, julukan Kabau Nan Tigo Kandang dan rasa bangga yang berlebih-lebihan
merupakan sebuah penyimpangan dari tuntunan adat dan kebudayaan Minangkabau sendiri. Meskipun
demikian, apa yang terjadi pada masa itu mesti juga dipahami dalam ukuran sifat manusia. Manusia yang
sering alpa mengamalkan nilai-nilai baik dari kebudayaannya.

Dalam kasus lain misalnya, orang Minang akan sangat terhina apabila dikatakan sebagai orang yang tidak
beradat. Apa lagi setelah Islam masuk ke Minangkabau, masyarakat Minang menselaraskan dasar agama
Islam ke dalam konsep dasar adatnya dengan menjadikan Adat Basandi Syara', Syara' Basandi Kitabullah,
mereka akan marah dikatakan tidak beragama. Meskipun mereka acap dengan sadar melanggarnya!
Ups...!

Anda mungkin juga menyukai