PENDAHULUAN
Prakarsa ummat di Ranah Minang untuk membina anak
nagari, terutama di dalam berprilaku beradat, amat signifikan.
Bahkan sangat dominan sepanjang sejarah Ranah Bundo ini.
Apabila di runut sedari pengupayaan dan pembinaan ummat
itu sangatlah besar. Buktinya bertebaran pada setiap nagari.
Bahkan sampai kepelosok kampung, dusun dan taratak.
Adanya pemahaman bahwa,
Rarak kalikih dek mindalu,
tumbuah sarumpun jo sikasek,
Kok hilang raso jo malu,
bak kayu lungga pangabek
Dan kata-kata bidal selanjutnya,
Nak urang Koto Hilalang,
nak lalu ka pakan baso,
malu jo sopan kalau lah hilang,
habihlah raso jo pareso,
Kedua ungkapan ini menjadi bukti dilaksanakannya
sejak lama aturan beradat yang di temui di nagari-nagari dalam
tatanan masyarakat Minangkabau, sejak lama. Sungguhpun
2 H. MAS’OED ABIDIN
PEMAHAMAN ADAT BASANDI SYARAK, SYARAK BASANDI KITABULLAH
TUNTUTAN ZAMAN
Seiring perkembangan zaman, masyarakat memerlukan
pendidikan berkualitas (quality education)1. Ada dorongan
keras untuk memproduk SDM yang bisa dibeli pasar tenaga
kerja. Satu hal perlu di pahami pada awal abad 18, para ulama
dan ninikmamak di nagari-nagari berperan menjadi penggagas
dan pengasuh masyarakatnya. Mereka melengkapi diri dengan
perguruan surau (madrasah) yang memiliki jalinan hubungan
yang kuat dengan masyarakat. Kokoh di dalam satu hubungan
saling menguntungkan (symbiotic relationship).
Surau menjadi kekuatan perlawanan membisu (silent
opposition) terhadap penjajahan budaya dari luar. Dari surau ini
lebih jelas respon pemimpin dan komunitas Muslim menantang
penjajahan budaya luar. Ummat kuat dan berdaya. Masyarakat
Minangkabau sangat akomodatif, terhadap pendidikan di sekolah
negeri, seiring pemahaman syariat di dalam membentuk watak
anak nagari. Sungguhpun ada dikotomi antara sekolah agama
negeri dan surau, dalam sebutan ambtenaren dan orang surau2,
perbedaannya teramat kecil. Bahkan sikap akomodatif
masyarakat Minangkabau ini, telah menjadi pendorong lebih maju,
sangat dinamis.
1
Beberapa kalangan, terutama kalangan menengah berduit dan terpelajar yang
mendasarkan pengalaman di rantau orang, memerlukan membangun
perguruan (madrasah) bukan asal-asalan dengan kualitas seadanya,
kesudahannya bangunan surau terbiarkan merana lapuk dan reot, dan akhirnya
“robohlah surau kami”, kata AA.Navis.
2
Sangat berbeda dengan kasus Aceh. Banyak ulama masih menjaga lembaga
pendidikan mereka, meunasah, dayah dan rangkang. Walau banyak korban tak
terelakkan. Pengalaman Aceh dan Minangkabau ini, mendorong prakarsa
masyarakat Muslim mengembangkan surau mulai berkurang. Jumlah surau
berkembang atas inisiatif masyarakat Muslim ditengah komunitasnya, mulai
berkurang. Ekspansi ormas Islam seperti Muhammadiyah, Perti dan lainnya
gesit sekali. Tetapi kenyataanya telah terjadi stagnasi yang signifikan.
4 H. MAS’OED ABIDIN
PEMAHAMAN ADAT BASANDI SYARAK, SYARAK BASANDI KITABULLAH
3
Selama 21 tahun, telah terjadi banyak perubahan, dan kita tidak boleh
berbeda terutama terhadap sistim pemerintahan local yang khas -- Nagari di
Minangkabau – menjadi segaram, dengan diberlakukannya UU No.5 tahun
1979, dan Perda No.9/2000 untuk Kembali Ke Pemerintahan Nagari,
sebenarnya mesti di sikapi sebagai peluang besar untuk melakukan
pemerkasaan terhadap ummat dan masyarakat di nagari di Minangkabau
(Sumatra Barat).
6 H. MAS’OED ABIDIN
PEMAHAMAN ADAT BASANDI SYARAK, SYARAK BASANDI KITABULLAH
8 H. MAS’OED ABIDIN
PEMAHAMAN ADAT BASANDI SYARAK, SYARAK BASANDI KITABULLAH
4
Memang di surau tidak ada yang dapat di cari benda-benda (materi), kecuali
hanya bekal ilmu, hikmah dan kepandaian-kepandaian untuk mengharungi
hidup di dunia ini, dan dalam mempersiapkan hidup di akhirat. Sebagai
terungkap di dalam Peribahasa Minangkabau, “bak batandang ka surau”,
karena memang surau tak berdapur (Anas Nafis, 1996:464 -Surau-2).
5
Dt.Rajo Pengulu, Rangkaian Mustika Adat Basandi Syarak di Minangkabau,
1994 : 62.
adat nan kawi syara’ nan lazim”. Kedua lembaga ini – balai adat
dan surau – keberadaannya tidak dapat dipisah dan dibeda-
bedakan.
“Pariangan manjadi tampuak tangkai,
Pagarruyuang pusek Tanah Data,
Tigo Luhak rang mangatokan.
Adat jo syara’ jiko bacarai,
bakeh bagantuang nan lah sakah,
tampek bapijak nan lah taban”.
Apabila kedua sarana ini berperan sempurna, maka di
kelilingnya tampil kehidupan masyarakat yang berakhlaq
perangai terpuji dan mulia (akhlaqul-karimah) itu.
“Tasindorong jajak manurun,
tatukiak jajak mandaki,
adaik jo syara’ kok tasusun,
bumi sanang padi manjadi”.
Konsep tata-ruang ini adalah salah satu kekayaan budaya
yang sangat berharga di nagari dan bukti idealisme nilai budaya
di Minangkabau, termasuk di dalam mengelola kekayaan alam
dan pemanfaatan tanah ulayat.
“Nan lorong tanami tabu, Nan tunggang tanami bambu,
Nan gurun buek kaparak, Nan bancah jadikan sawah,
Nan munggu pandam pakuburan, Nan gauang katabek ikan,
Nan padang kubangan kabau, Nan rawang ranangan itiak”.
Tata ruang yang jelas memberikan posisi peran
pengatur, pemelihara. Pendukung sistim banagari yang terdiri
dari orang ampek jinih, yang terdiri dari ninikmamak ( yakni
penghulu pada setiap suku, yang sering juga disebut
ninikmamak nan gadang basa batuah, atau nan di amba gadang,
10 H. MAS’OED ABIDIN
PEMAHAMAN ADAT BASANDI SYARAK, SYARAK BASANDI KITABULLAH
11
H. MAS’OED ABIDIN
DALAM MASYARAKAT MINANGKABAU
12 H. MAS’OED ABIDIN
PEMAHAMAN ADAT BASANDI SYARAK, SYARAK BASANDI KITABULLAH
13
H. MAS’OED ABIDIN
DALAM MASYARAKAT MINANGKABAU
14 H. MAS’OED ABIDIN
PEMAHAMAN ADAT BASANDI SYARAK, SYARAK BASANDI KITABULLAH
15
H. MAS’OED ABIDIN
DALAM MASYARAKAT MINANGKABAU
16 H. MAS’OED ABIDIN
PEMAHAMAN ADAT BASANDI SYARAK, SYARAK BASANDI KITABULLAH
17
H. MAS’OED ABIDIN
DALAM MASYARAKAT MINANGKABAU
18 H. MAS’OED ABIDIN
PEMAHAMAN ADAT BASANDI SYARAK, SYARAK BASANDI KITABULLAH
19
H. MAS’OED ABIDIN
DALAM MASYARAKAT MINANGKABAU
20 H. MAS’OED ABIDIN
PEMAHAMAN ADAT BASANDI SYARAK, SYARAK BASANDI KITABULLAH
KHULASAH
Penerapan dari pemahaman adat basandi syarak, syarak
basandi Kitabullah di Minangkabau berkehendak kepada gerak
yang utuh dan terprogram. Hasilnya tidak mungkin di raih
dengan kerja sambilan. Buah yang di petik, sesuai dengan bibit
yang di tanam. Demikian natuur-wet (sunnatullah, = undang-
undang alami). Dalam langkah da'wah, setiap muslim
berkewajiban menapak tugas tabligh (menyampaikan),
kemudian mengajak dan mengujudkan kehidupan beragama
(bersyariat) yang mendunia (dinul-harakah al-alamiyyah).
Pemeranan semua elemen masyarakat di Minangkabau
menghidupkan adat basandi syara’ syara’ basandi Kitabullah
menjadi tugas "ummat da'wah" menurut nilai-nilai Al-Qur'an --
(QS. Ali Imran, 3 : 104 ). Da'wah ini tidak akan berhenti dan
akan berkembang terus sesuai variasi zaman yang senantiasa
berubah, namun tetap di bawah konsep mencari ridha Allah.
Maka peran serta masyarakat yang di tuntut adalah ;
1. Mengelola pembinaan anak nagari dengan peningkatan
manajemen yang lebih accountable dari segi keuangan
maupun organisasi. Melalui peningkatan ini, sumber
finansial masyarakat dapat di pertanggung jawabkan
secara lebih efisien dan peningkatan kualitas pembinaan
ummat dapat dicapai. Segi organisasi anak nagari mesti
lebih viable -- dapat hidup terus, berjalan tahan banting,
bergairah, aktif dan giat – menurut permintaan zaman, dan
durable – yakni dapat tahan lama – seiring perubahan dan
tantangan zaman.
2. Peran serta masyarakat berorientasi kepada mutu
menjadikan pembinaan masyarakat berkembang menjadi
lembaga center of exellence, menghasilkan generasi
berparadigma ilmu komprehensif, berpengetahuan
agama luas dan praktis, berbudi akhlaq plus
keterampilan.
21
H. MAS’OED ABIDIN
DALAM MASYARAKAT MINANGKABAU
Bio Data
H. MAS’OED ABIDIN
mailto : buyamasoedabidin@gmail.com
masoedabidin@yahoo.com
masoedabidin@hotmail.com
22 H. MAS’OED ABIDIN