Anda di halaman 1dari 49

KARYA TULIS ILMIAH

‘’PERAN GENERASI MUDA DALAM REKLAMASI LAHAN


EKS- PERTAMBANGAN BATUBARA’

Oleh :

Wahyu Kelvin Sihite X IPA 2

Caesar Marco Alexsander X IPA 2

Frenklyn Tantyo X IPA 1

SMA KATOLIK W.R SOEPRATMAN NO. 020


SAMARINDA
2019
KARYA TULIS ILMIAH

‘’PERAN GENERASI MUDA DALAM REKLAMASI LAHAN


EKS- PERTAMBANGAN BATUBARA’

Diajukan Kepada:

Universitas Mulawarman Samarinda


Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Progam Studi Pendidikan Biologi untuk
Mengikuti Lomba Karya Tulis Ilmiah Olimpiade Sains Biologi X
Tingkat Sekolah Menengah Atas dan Sederajat

Oleh:
Wahyu Kelvin Sihite Kelas X IPA 2
Caesar Marco Alexsander Kelas X IPA 2
Frenklyn Tantyo Kelas X IPA 1

SMA KATOLIK W.R SOEPRATMAN NO. 020


SAMARINDA
2019

i
HALAMAN PENGSAHAN

Judul Karya Ilmiah : Peran Generasi Muda dalam Reklamasi Lahan


Eks –Pertambangan Batubara

Nama Siswa : Wahyu Kelvin Sihite Kelas X IPA 2


Caesar Marco Alexsander Kelas X IPA 2
Frenklyn Tantyo Kelas X IPA 1

Samarinda, 12 Desember 2019

Waka Bidang Kurikulum Guru Pembimbing

Albertha Endra Subekti, M.Pd Yovita Dini Ariani, M.Pd


MP. 659 Hh – 19 MP.-

Mengetahui,
Kepala SMA Katolik W.R Soepratman 020

Rita Tipung Uvat, S.Pd


MP. 687 Jj - 7

ii
SURAT PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN

Nama : Wahyu Kelvin Sihite Kelas X IPA 2


NISN : 0043656110
Nama : Caesar Marco Alexsander Kelas X IPA 2
NISN : 0042189445
Nama : Frenklyn Tantyo Kelas X IPA 1
NISN : 0043119107
Kelas : X /Jurusan IPA
Pembimbing : Yovita Dini Ariani, M.Pd
Alamat Sekolah : Jl. W.R Supratman Nomor 03 Samarinda 75121,
Telepon/Fax.(0541) 731201

Nomor HP : 0813-4486-5810 (Guru Pembimbing)


Menerangkan dengan sesungguhnya bahwa tulisan karya ilmiah ini dengan judul
“PERAN GENERASI MUDA DALAM REKLAMASI LAHAN EKS-
PERTAMBANGAN BATUBARA’’ belum pernah ditulis dan dipublikasikan
pada jurnal maupun proceding pertemuan ilmiah. Demikian surat pernyataan
keaslian ini dibuat dengan sesungguhnya, untuk dipergunakan sebagaimana
mestinya.
Samarinda, 12 Desember 2019

Peneliti I, Peneliti II,

Wahyu Kelvin Sihite Caesar Marco Alexsander


NISN. 0043656110 NISN. 0042189445
Peneliti III,

Frenklyn Tantyo
NISN. 0043119107

iii
ABSTRAK

Wahyu Kelvin Sihite, Caesar Marco Alexsander, dan Frenklyn Tantyo. 2019. Peran
Generasi Muda dalam Reklamasi Lahan Eks- Pertambangan Batubara. Dibawah
bimbingan Ibu Yovita Dini Ariani, M.Pd

Batubara sebagai bahan tambang banyak dikelola di daerah Kalimantan Timur


termasuk Samarinda dan sekitamya. Selain memberi keuntungan bagi daerah,
pertambangan batubara juga menimbulkan kerusakan lingkungan, antara lain pada
aspek geofisika kimia, kesehatan, dan ekonomi, sosial budaya, sehingga kegiatan
reklamasi mutlak untuk dilakukan. Reklamasi perlu dilakukan secara berkelanjutan
dengan menerapkan kegiatan sesuai dengan sumber permasalahan yang terjadi,
melibatkan pemerintah dan generasi muda yang ada di daerah Samarinda dan
sekitarnya.
Kata Kunci : Generasi muda, Reklamasi Lingkungan, Eks- Pertambangan
Batubara

iv
ABSTRACT

Wahyu Kelvin Sihite, Caesar Marco Alexsander, and Frenklyn Tantyo. 2019. The
Role of Young Generation in Reclamation of Coal Mining Land. Under the
guidance of Ms. Yovita Dini Ariani, M.Pd
Coal as a mining material is mostly managed in the area of East Borneo including
Samarinda and beyond. In addition to providing benefits to the region, coal mining
also causes environmental damage, among others in the aspects of chemical
geophysics, health, and economy, social culture, so that reclamation activities are
absolutely necessary. Reclamation needs to be carried out sustainably by
implementing activities in accordance with the source of the problems that occur,
involving the government and the younger generation in Samarinda and
surrounding areas.
Keywords: Young generation, Environmental Reclamation, Coal Mining

v
KATA PENGANTAR

Mengucapkan rasa Syukur kehadirat Tuhan yang Maha Esa, karena


bimbingan dan petunjuk-Nya jugalah Karya Tulis Ilmiah dengan judul ‘‘Peran
Generasi Muda dalam Reklamasi Lahan Eks - Pertambangan Batubara’’ dapat kami
selesaikan tepat pada waktunya. Karya Ilmiah ini disusun untuk mengikuti lomba
Karya Tulis Ilmiah Olimpiade Sains Biologi X 2019 (KTI OSAGI X 2019) di
Universitas Mulawarman FKIP Progam Studi Pendidikan Biologi tingkat SMA dan
sederajat. Dalam penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini, kami telah mendapatkan
bantuan dari beberapa pihak. untuk itu izinkan kami mengucapkan terima kasih
kepada:
1. Ketua Yayasan Pendidikan dan Pengajaran Pembangun Rakyat (YP3R) Sr. M.
Elsa Supartinah, SPM beserta seluruh staf yang telah memberikan fasilitas
selama penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini.
2. Kepala SMA Katolik W.R Soepratman No. 20 Samarinda Ibu Rita Tipung Uvat,
S.Pd beserta Dewan Guru dan Karyawan SMA Katolik W.R Soepratman No.20
Samarinda.
3. Ibu Yovita Dini Ariani, M.Pd sebagai pembimbing dalam penelitian dan
penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini.
4. Seluruh teman-teman SMA Katolik W.R Soepratman No. 20 Samarinda yang
telah memberikan dukungan kepada kami yang tidak bisa kami sebutkan satu
persatu.
Kami yakin, dalam karya tulis ilmiah ini masih terdapat kekurangan dan
kesalahan. Oleh karenanya, kritik dan saran yang membangun sangat kami
harapkan agar kami dapat menyusun karya tulis ilmiah yang lebih baik kedepannya.

Samarinda, 12 Desember 2019

Tim Penulis

vi
BIODATA DIRI

Biodata Peserta :
1. Nama : Wahyu Kelvin Sihite
NISN : 0043656110
Kelas : X IPA 2
Tempat, Tanggal Lahir : Taman Sidoarjo, 05 Mei 2004
Alamat : Jln. Manunggal 1 gg.Karet Blok: E RT.29 Loa
Janan
Asal Sekolah : SMA Katolik W.R Soepratman 020 Samarinda
Nomer Hp : 0819-9814-1657
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Hobi : Bernyanyi

2. Nama : Caesar Marco Alexsander


NISN : 0042189445
Kelas : X IPA 2
Tempat, Tanggal Lahir : Samarinda, 17 Mei 2004
Alamat : JL. KS. Tubun GG.VIII RT.35 NO.417
Asal Sekolah : SMA Katolik W.R Soepratman 020 Samarinda
Nomer Hp : 0812-5476-9434
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Hobi : Bermain sepak bola

3. Nama : Frenklyn Tantyo


NISN : 0043119107
Kelas : X IPA 1
Tempat, Tanggal Lahir : Samarinda, 13 April 2004
Alamat : JL. Merdeka 5 RT.89 NO.119
Asal Sekolah : SMA Katolik W.R Soepratman 020 Samarinda

vii
Nomer Hp : 0813-4754-1207
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Hobi :Berenang, Memasak

Biodata Pembimbing :
Nama : Yovita Dini Ariani, M.Pd
Jabatan : Guru Biologi
Tempat, Tanggal Lahir : Gunung Intan, 20 Mei 1995
Alamat : JL. Wiraguna Gg. Langgar RT.08 No.60
Nomer Hp : 0813-4486-5810
Jenis Kelamin : Perempuan

viii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .............................................................................. i


HALAMAN PENGESAHAN ................................................................. ii
SURAT PERNYATAAN ........................................................................ iii
ABSTRAK ............................................................................................. iv
ABSTRACT ........................................................................................... v
KATA PENGANTAR ............................................................................ vi
BIODATA.................................................................................................... vii
DAFTAR ISI .......................................................................................... ix
DAFTAR TABEL ................................................................................... xi

BAB I. PENDAHULUAN ................................................................. 1


1.1. Latar Belakang ....................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah .................................................................. 3
1.3. Tujuan Penelitian .................................................................... 3
1.4. Manfaat Penelitian .................................................................. 3
1.5. Batasan Masalah ..................................................................... 4
1.6. Definisi Istilah ........................................................................ 4
1.7. Hipotesis ................................................................................ 4
BAB II. KAJIAN PUSTAKA ............................................................... 6
2.1. Karakteristik lahan bekas tambang ........................................... 6
2.2. Luas daerah pertambangan dan permasalahan .......................... 7
2.2.1 Permasalahan ........................................................................... 9
2.2.2 Aspek teknis ........................................................................... 9
2.2.3 Reklamasi bekas lahan tambang .............................................. 16
2.2.4 Teknologi dan langkah-langkah reklamasi ............................... 16
2.2.5 Peluang pemanfaatan lahan ex-tambang untuk pertanian .......... 20
2.3 Strategi reklamasi .................................................................... 21
BAB III. METODE PENELITIAN ........................................................ 23
3.1. Jenis Penelitian ...................................................................... 23

ix
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian .................................................. 23
3.3. Populasi dan Sampel Penelitian .............................................. 23
3.3.1 Populasi ................................................................................... 23
3.3.2 Sampel ..................................................................................... 23
3.4. Metode Pengumpulan Data ..................................................... 23
3.5. Teknik Analisis Data .............................................................. 23
3.6. Desain Penelitian .................................................................... 24
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................... 25
4.1. Hasil ........................................................................................ 25
4.1.1 Kegiatan penambangan batubara yang menimbulkan dampak
bagi lingkungan ....................................................................... 25
4.1.2 Kerusakan lingkungan akibat pertambangan batubara
disekitar samarinda .................................................................. 29
4.2. Pembahasan ............................................................................. 22
4.2.1. Peran Generasi Muda dalam Reklamasi Lingkungan
Pasca Pertambangan Batubara .................................................. 31
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................. 37
5.1. Kesimpulan ............................................................................ 37
5.2. Saran ................................ ....................................................... 37
Daftar Pustaka ......................................................................................... 38

x
DAFTAR TABEL

Tabel 1 ......................................................................................................... 8
Tabel 2 ....................................................................................................... 10
Tabel 3 ....................................................................................................... 12
Tabel 4 ....................................................................................................... 12
Tabel 5 ........................................................................................................ 13
Tabel 6 ........................................................................................................ 15
Tabel 7 ........................................................................................................ 22

xi
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kalimantan Timur adalah provinsi yang terluas di Indonesia, dengan
luas wilayah ± 245.237,80 km2 (sekitar satu setengah kali pulau jawa dan
Madura) atau 11 % dari total luas wilayah Indonesia, dikenal memiliki
potensi sumber daya alam baik dari pertambangan seperti emas, batubara,
minyak dan gas bumi, hasil-hasil hutan, dan kekayaan neragaman hayati
(Harfani, 2007). Dari berbagai kekayaan alam tersebut, yang banyak
dikelola sekarang ini adalah pertambangan batubara atau istilah lain adalah
pertambangan. Batubara umumnya dapat digunakan sebagai pembangkit
energi yang menghasilkan listrik (EUCI, 2009). Lebih akurat dikatakan
bahwa batubara memiliki sifat pemeliharaan yang bervariasi secara
signifikan berdasarkan letak geografis, antara satu daerah dengan daerah
yang lain memiliki spesifikasi yang berbeda. Ini menyebabkan batubara
sulit ditentukan standarisasi model sistem pemeliharaan sehingga harga
batubara berubah-ubah pula (Joshi, 2002).
Terdapat 1.180 kuasa pertambangan batubara di Provinsi
Kalimantan Timur dengan luas 3,1 juta ha, dan ada 33 kontrak karya dengan
luas 1,3 juta ha di setiap kabupaten atau kota pemberhentian usaha, di
kabupaten Kutai Kertanegara misalnya, sampai tahun ini terkumpul 749
izin, yang keluar pada tahun 2007/2008 ada 247 izin baru (Koran Tempo,
23 Juli 2010). Para pelaku bisnis bukan saja perusahaan pertambangan skala
besar, yang seolah beromba mengeruk bahan tambang yang tak bisa menang
tersebut. Mereka juga termasuk ratusan perusahaan kecil dan individu yang
ikut berebut mengambil untung dari usaha tambang batubara. Sementara
perusahaan kecil melalui ijin Kuasa Pertambangan (KP) yang izinnya
dikeluarkan oleh bupati dan walikota Kaltim mendekati 600 perusahaan,
belum termasuk ratusan perusahaan penambangan tanpa ijin (Peti) yang
dilakukan secara kelompok atau perorangan (Majalah Bongkar, 2008).

xii
Eksploitasi batubara di Kalimantan Timu tersebar di beberapa daerah
tingkat dua, antara lain di Kutai Barat, Kutai Timu termasuk juga di daerah
Kutai Kertanegara, dan Kota Samarinda. Banyak pengusaha baik dari dalam
maupun luar negeri melakukan eksploitasi batubara di Kalimantan Timur.
Ha ini memberikan keuntungan bagi daerah Kalimantan Timur, antara lain
dapat menambah penghasilan daerah, menyerap tenaga kerja, dan
keuntungan lain bagi penduduk biasa dapat menambah pendapatan di
bidang ekonomi.
Pertambangan batubara di daerah sekitar Samarinda di beberapa
desa yang berada di dua wilayah administratif, yaitu pemerintah Kota
Samarinda dan pemerintah Kabupaten Kutai Kertanegara, ada yang
letaknya di pinggiran daerah aliran sungai Mahakam dan ada pula di dekat
pemukiman warga. Sistem penambangan yang diterapkan adalah sistem
tambang terbuka, dengan cara pengupasan bahan penutup yang ditimbunkan
pada areal pengisian kembali atau areal timbunan di luar tambang,
pengambilan dan pengangkutan batubara, gudang menjadi barang siap jual,
penjualan dan pengapalan batubara, serta reklamasi lahan bekas tambang.
Setiap kegiatan penambangan, selalu ada daerah yang terganggu
ekosistemnya, baik di areal operasional tambang, areal pengisian kembali
areal penimbunan di luar tambang, dan daerah pendukung produksi lokasi
perkantoran dan perumahan karyawan, lokasi penumpukan dan kereta api
batubara sampai pada lingkungan di luar areal pertambangan.
Permukiman umum keberadaan lokasi lingkungan di daerah
Samarinda Kalimantan Timur pada lokasi setelah kegiatan penambangan
batubara saat ini sanga memprihatinkan, karena batas kemampuan daya
dukung dan daya tampung lingkungan sudah tidak seimbang. Hal tersebut
secara langsung maupun tidak langsung terhadap berdampak menurunnya
kualitas lingkungan hidup. Permasalahan lain yang memberi dampak besar
terhadap lingkungan oleh kegiatan penambangan batubara adalah limbah
cair/air limbah yang mudah terkontaminasi dan larut terbawa aliran air
permukaan yang selanjutnya menuju ke badan sungai. Lokasi penimbunan

2
batubara yang letaknya berada di sungai sungai Mahakam dan tempat
pencucian batubara, dimana air limbah yang dihasilkan kurang dikelola
dengan baik akibatnya pada pencemaran lingkungan (Arif, 2007). Upaya
reklamasi sangat perlu dilakukan di daerah bekas tambang batubara di
sekitar Samarinda Kalimantan Timur. Menyadari bahwa masalah kerusakan
lingkungan hidup yang demikian kompleks, diperlukan strategi dan
peningkatan penanganan terpadu dengan melibatkan pemangku
kepentingan dan instansi terkait, bersama-sama dengan perguruan tinggi di
daerah Kalimantan Timur untuk mencegah, menanggulangi dan
memulihkan kerusakan lingkungan yang terjadi.

1.2 Rumusan Masalah


Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
1.2.1 Bagaimana peran generasi muda dalam resortasi lahan eks-
tambang?
1.2.2 Apa pengertian reklamasi bagi generasi muda?

1.3 Tujuan Penelitian


Tujuan Penelitian dalam penelitian ini adalah:
1.3.1 Untuk mengetahui generasi muda dalam resortasi lahan tambang
1.3.2 Untuk mengetahui reklamasi bagi generasi muda

1.4 Manfaat Penelitian


Manfaat penelitian dalam penelitian ini adalah memberikan informasi
kepada masyarakat luas tentang reklamasi lahan eks-tambang, khususnya
lahan eks-tambang yang ada didaerah sekitar Samarinda yang berlokasi di
Palaran.

1.5 Batasan Masalah


Batasan masalah dalam penelitian ini adalah peneliti hanya berfokus pada
reklamasi lahan eks-tambang sebagai bentuk kepedulian generasi muda
pada resortasi lahan tambang.

3
1.6 Definisi Istilah
Generasi Muda
Generasi muda dalam pengertian umum adalah golongan manusia yang
berusia 0 –35 tahun. Secara sosiologis dan praktis, anggota atau pribadi-
pribadi yang masuk dalam kelompok itu memiliki pengalaman yang sama,
khususnya peristiwa besar yang dialami secara serentak oleh seluruh
masyarakat,misalnya generasi pembangunan.

Reklamasi Eks Tambang


Reklamasi lahan eks tambang sebenarnya merupakan kewajiban perusahaan
penambang, sesuai dengan peraturan yang berlaku. Namun pelaksanaanya
berjalan sangat lambat. Menurut Ditjen Mineral, Batubara dan Panas Bumi
(2006) baru sekitar sepertiga dari luas lahan yang dibuka untuk tambang
yang telah direklamasi, sehingga percepatan reklamasi sangat diperlukan.

1.7 Hipotesis
Reklamasi lahan eks tambang sebenarnya merupakan kewajiban perusahaan
penambang, sesuai dengan peraturan yang berlaku. Namun pelaksanaanya
berjalan sangat lambat. Menurut Ditjen Mineral, Batubara dan Panas Bumi
(2006) baru sekitar sepertiga dari luas lahan yang dibuka untuk tambang
yang telah direklamasi, sehingga percepatan reklamasi sangat diperlukan.
Kelambatan reklamasi lahan eks tambang disebabkan oleh berbagai kendala
teknis dan non teknis. Kendala-kendala tersebut perlu dikenali terlebih
dahulu, kemudian dicarikan solusi yang terbaik dan mudah dilaksanakan
(practicable), agar lahan-lahan tersebut selanjutnya dapat dimanfaatkan
bagi kesejahteraan masyarakat, dan bila memungkinkan dapat digunakan
untuk peningkatan produksi bahan pangan nasional.

4
BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1. Karakteristik Lahan Bekas Tambang


Ciri-ciri tanah bekas penambangan emas adalah kualitas tanah sudah
terganggu, dengan horizon tanah sudah tidak teratur, lapisan hitam dan
lapisan-Iapisan lainnya sudah terbolak-balik. Tanah penutup bagian atas
(top soil) yang memiliki sifat fisik, kimia dan biologi tanah yang lebih baik
bercampur atau terbenam di lapisan bawah (sub soil). Tanah bagian atas
digantikan tanah dari lapisan bawah yang kurang subur, sebaliknya tanah
lapisan atas yang subur berada di lapisan bawah. Daya dukung tanah lapisan
bekas tambang untuk pertumbuhan tanaman menjadi rendah (Soewandita,
2010). Karakteristik lahan pasca tambang emas ditandai dengan lahan
didominasi oleh tanah berpasir yang berkemampuan mengikat air sangat
rendah, intensitas cahaya sangat tinggi karena lahan terbuka tanpa vegetasi
berkayu sehingga suhu permukaan tanah sangat tinggi, lapisan top soil
hampir tidak ada, vegetasi dan unsur hara sangat minim, dan keasaman
tanah tinggi (Joni, 2013).
Berbagai aktivitas dalam kegiatan penambangan emas
menyebabkan rusaknya struktur, tekstur, dan porositas sebagai karakteristik
tanah yang penting bagi tanaman.kondisi tanah yang kompak karena
pemadatan menyebabkan buruknya sistem tata air dan peredaran udara
(aerasi) yang secara langsung dapat membawa dampak negatif terhadap
fungsi dan perkembangan akar. Akar tidak dapat berkembang dengan
sempuma dan fungsinya sebagai alat absorpsi unsur hara akan terganggu,
akibatnya tanaman tidak dapat berkembang dengan normal. Hilangnya
lapisan top soil dan serasah sebagai sumber karbon untuk menyokong
kehidupan mikroba potensial merupakan penyebab utama buruknya kondisi
populasi mikroba tanah. Hal ini secara tidak langsung akan sangat
mempengaruhi kehidupan tanaman yang tumbuh di pennukaan tanah
tersebut. Keberadaan mikroba tanah potensial dapat memainkan peranan

5
sangat penting bagi perkembangan dan kelangsungan hidup tanaman.
Aktivitasnya tidak saja terbatas pada penyediaan unsur hara, tetapi juga aktif
dalam dekomposisi serasah dan bahkan dapat memperbaiki struktur tanah
(Soewandita, 2010).
Secara umum, tanah bekas tambang mengalami kerusakan fisik,
kimia dan biologi. Secara fisik, akibat proses pengerukan, penimbunan, dan
pemadatan yang menggunakan alat berat maka tekstur tanah menjadi rusak,
sistem tata air, dan aerasinya terganggu, laju penyerapan air melambat dan
berpotensi meningkatkan laju erosi. Secara kimia, tanah bekas tambang
kehilangan bahan organik sehingga tingkat kesuburannya rendah, pH
rendah, sedangkan kelarutan logam berat meningkat. Secara biologi tanah
bekas tambang mengalami penurunan populasi dan aktivitas mikroba serta
fauna tanah yang secara tidak langsung mempengaruhi kehidupan tanaman
dan berperan dalam dekomposisi serasah (Pattimahu, 2004; Ernawati, 2008;
dan Tan 1993 cit Widyati, 2008).

2.2 Luas Daerah Pertambangan dan Permasalahan


Kegiatan operasional pertambangan yang berjalan relatif besar
dimulai pertengahan 1970-an. Sebelum tahun 1970, kegiatan penambangan
juga telah dilakukan, namun masih dalam skala yang relatif kecil. Sampai
dengan tahun 2009, dari total lahan yang telah diberi izin eksploitasi yaitu
2.205.348 ha, lahan yang telah dibuka untuk areal tambang dan infrastrukur
hanya 135.000 ha, dengan luas total yang telah direklamasi 33.767,58 ha
(Tabel 1). Lahan yang dibuka untuk pertambangan tidak luas, sehingga
setelah 30 tahun, areal yang rusak relatif sempit yaitu 0,07% dibandingkan
dengan seluruh daratan Indonesia (Soelarso, 2008). Namun, mengingat
penambangan terkonsentrasi pada wilayah tertentu, maka dampaknya
terhadap wilayah yang bersangkutan cukup dominan. Sebagai contoh,
aktivitas penambangan timah di Provinsi Bangka-Belitung, sangat
mempengaruhi lingkungan dan kondisi sosial-ekonomi masyarakat. Hasil
evaluasi yang dilakukan Puslittanah (1987) menunjukkan areal seluas

6
198,75 ha yang secara aktual dinyatakan tidak sesuai untuk pertanian
sebagian besar merupakan kolong, hamparan tailing pasir, lumpur, dan
tanah berpirit yang dihasilkan dari aktivitas penambangan.

Tabel 1. Rekapitulasi lahan bekas tambang


Sumber : Direktorat Teknik dan Lingkungan Mineral, Batubara, dan Panas
Bumi (2009)
* Khusus data untuk KP setelah otonomi tidak termutahirkan karena tidak
Reklamasi
Luas Luas lahan
No Jenis Usaha Pemanfaatan
wilayah yang dibuka Penghijauan Jumlah
lain
Kontrak
karya (KK) 516.80
I 15.856,48 9.088,09 877,81 9.965,90
tahap 3,30
produksi
Perjanjian
pengusahaan
pertambanga
825.86 15.812,6
II n batu bara 36.988,63 15.077,32 735,30
2,60 2
(PKP2B)
tahap
produksi
Kuasa
pertambanga 862.68
III 25.965,78 7.044,29 944,77 7.989,06
n (KP) 2,46
eksploitasi*
2.205.3 33.767,5
78.810,89 31.209,70 2.557,88
Jumlah 48,35 8
ada data dari daerah dan begitu juga dari Perusahaan Pemegang Izin KP
Daerah, yang masih ada data dari pemegang KP BUMN dan 5 KP
Perusahaan Nasional). Data Periznan KP Eksploitasi dari berbagai wilayah
yang dilaporkan ke Direktorat Pengusahaan mineral
dan Batubara per Juli 2009 adalah 770 KP.
** Pada areal bekas tambang dan penimbunan material buangan
(dimanfaatkan untuk perumahan, perkantoran, penampung air bersih, dan
tempat rekreasi) selain luas lahan untuk penambangan tersebut di atas,
diperlukan luas lahan utuk jaringan jalan, pelabuhan udara, pelabuhan air,
perkotaan, pabrik, pembangkit listrik, pengelolaan tailing, dan lain-lain.
Luas total yang dibuka untuk pertambangan mencapai 135.000 ha.

7
2.2.1 Permasalahan
Perusahaan penambangan dituntut untuk mampu mengembalikan lahan
bekas tambang kekondisi yang sesuai dengan persyaratan tata guna lahan
berdasarkan tata ruang daerah (Mulyanto, 2008; Soelarso, 2008). Artinya,
setelah penambangan selesai, harus terjadi transformasi manfaat atau
mengembalikan lahan yang ditambang ke kondisi awal, sehingga selaras
dengan azas manfaat dan bersifat berkelanjutan. Namun, kedua hal tersebut
sulit dicapai, karena umumnya perencanaan penutupan tambang (termasuk
reklamasinya) tidak terintegrasi dengan operasi pertambangan sejak awal
sampai penutupan, sehingga pasca penambangan timbul berbagai
permasalahan.

2.2.2 Aspek Teknis


Sumberdaya mineral dan batu bara di Indonesia sebagian besar terdapat
pada lapisan bumi yang dekat permukaan tanah, oleh karena itu
penambangannya banyak dilakukan dengan cara terbuka (open pit mine
methode). Sistem ini menyebabkan perubahan unsur-unsur bentang alam,
seperti topografi, vegetasi penutup, pola hidrologi, dan kerusakan tubuh
tanah (Mulyanto, 2008), sehingga menyulitkan proses reklamasinya.
Beberapa permasalahan teknis yang sering timbul, antara lain :

Limbah tailing
Limbah tailing dari prosesing bijih tambang dapat menutupi lansekap baik
di dalam maupun di luar lokasi penambangan. Limbah ini mempunyai daya
dukung yang sangat rendah untuk kehidupan flora maupun fauna, misalnya
limbah tambang dari Timah di Bangka-Belitung dimana tekstur tanah
didominasi pasir kuarsa(>90%), dengan C-organik <1%, sehingga
kemampuan memegang hara dan air sangat rendah. Selain itu, kandungan
hara, kapasitas tukat kation (KTK), dan kejenuhan basa (KB), tidak
mendukung persyaratan tumbuh tanaman (Tabel 2).

8
Tabel 2. Hasil analisis tailing timah dari Bangka Belitung
Bahan
Ph Hcl 25% P NH4Oae 1 N, Ph 7 Kej-
Jenis Pasir Organik
H2O Bray Al
Tailing C N P2O6 K2O Ca Mg K Na KTK KB
% ... % ... ..Mg/100g Ppm ................Emol(+)/Kg................. .........%....
Tailling
94 4,9 0,07 0,01 1 3 3,8 0,18 0,06 0,03 0,0135 1,12 29 3
Putih
Tailing
91 4,4 0,73 0,07 5 3 - 0,23 0,06 0,03 0,05 2,80 13 56
Coklat
Tailing
98 4,5 0,24 0,02 7 9 1,5 0,28 0,17 0,03 0,14 3,11 20 18
Putih
Tailing
89 4,6 0,59 0,05 5 4 - 0,23 0,08 0,03 0,06 3,57 11 56
Kelabuan
Tailing
94 4,8 0,09 0,01 1 6 6,2 0,09 0,12 0,03 0,05 1,78 16 10
Campuran
Sumber : PT Benua dan PT Timah (2009)

10
Tercampurnya tanah pucuk dengan overburden (bahan galian)
Setiap tahun sekitar 1,2 milyar m3 tumpukan bahan galian (overburden)
dihasilkan dari proses penambangan batu bara, sedangkan dari penambangan
bahan mineral dan logam diperkirakan sekitar 0,3 milyar m3. Jika mengikuti
tata cara penambangan yang benar, bagian tanah yang paling atas (tanah
pucuk), seharusnya dipisahkan dari bahan galian dibawahnya untuk
kepentingan reklamasi, namun kenyataannya sebagian besar tanah pucuk
tercampur dengan overburden (Tabel 3), sehingga daya dukung lahan menjadi
sangat terbatas. Faktor pembatas overburden Sampur jika digunakan sebagai
media tanam adalah kandungan bahan organik tanah dan unsur hara tanah
lainnya yang sangat rendah. Faktor pembatas yang terdapat pada overburden
Jurung berbeda dengan overburden Sampur, meskipun kandungan bahan
organik tanah >5%, namun pH-nya tergolong sangat masam (pH<3). Hal ini
merupakan indikasi bahwa overburden tersebut berasal dari tanah sulfat
masam, yang terjadi karena terangkatnya lapisan yang mengandung pirit, dan
kemudian bercampur dengan bagian tanah lainnya. Tumpukan overburden
yang sangat masam tersebut juga merupakan sumber pencemaran air dan
tanah. Pada areal bekas pertambangan batu bara, sifat fisik merupakan faktor
pembatas jika overburden batu bara digunakan sebagai media tanam. Hasil
analisis bahan galian yang diambil di beberapa lokasi tambang batubara di
Tanjung Enim (Sumatera Selatan) menunjukkan tanah menjadi padat karena
rata-rata BD tanah bahan galian batu bara tergolong tinggi (Tabel 4), yang
berarti tanah menjadi padat. Kendala sifat kimia tanah ditentukan oleh asal
bahan galian. Bahan galian yang berasal dari tanah sulfat masam, pH nya <3
atau sangat masam (Tabel 4). Permasalahan lain adalah kandungan garam-
garam sulfat yang tinggi seperti MgSO4, CaSO4, AlSO4, yang dapat
meracuni tanaman. Pada musim kemarau garam-garam tersebut muncul ke
permukaan tanah berbentuk kerak putih (Tala’ohu ,1995; Yustika dan
Tala’ohu, 2007). Kondisi fisik tanah yang buruk ditemui pula pada areal
bekas tambang batubara di Kalimantan (Tabel 5), meskipun telah direklamasi
selama 1-3 tahun (PT Kitadin, 2009).

10
Tabel 3. Hasil analisis tanah (campuran overburden dan tanah pucuk) dari
kegiatan penambangan timah di Bangka- Belitung
Parameter yang dianalisis Lokasi pengambilan sampel
(Satuan) Sampur Jurung
Tekstur Lempung berpasir Lempung berdebu
Pasir (%) 73 15,0
Debu (%) 15 71,1
Liat (%) 12 25,5
pH Masam Sangat Masam
H2O 4,8 2,7
KCl 4,3 2,6
C-organik (%) 1,17 5,7
N- Total (%) 0,08 0,18
P2O5 HCl 25% (mg/100g) 7,7 8
K2O HCl 25% (mg/100g) 2,0 11
Ca (cmol(+)/100g) 0,35 2,86
Mg (cmol(+)/100g) 0,07 1,41
K (cmol(+)/100g) 0,03 0,04
KTK (cmol(+)/100g) 2,72 17,42
KB (+) 17,33 25,00
Sumber : Puslittanak, 1995

Erosi dan aliran permukaan yang tidak terkendali


Salah satu ciri khas dari areal bekas tambang yang belum direklamasi
adalah kondisi lahan yang tidak bervegetasi, dengan bentuk permukaan yang
tidak beraturan. Pada kondisi ini, tanah pucuk atau bahan (overburden)
merupakan bagian tanah yang paling mudah tererosi, baik oleh curah hujan
langsung, maupun oleh aliran permukaan yang tidak terkendali, akibat
rusaknya saluran drainase alami.

Tabel 4. Hasil analisis sifat fisik dan kimia overburden dari lokasi
penambangan batu bara di Tanjung Enim, Sumatera Selatan.
Lokasi
Parameter
Klawas Timur Mahayung Suban Udongang
BD (g/cm3) 1,35 1,28 1,12 1,21
pH (H2O) 2,90 4,65 4,70 4,90
pH (KCl) 2,75 4,15 3,60 4,55

11
Tabel 4. Hasil analisis sifat fisik dan kimia overburden dari lokasi
penambangan batu bara di Tanjung Enim, Sumatera Selatan
(Lanjutan..)
C-organik (%) 5,12 1,75 0,35 1,50
Ca (me/100g) 7,12 7,40 3,04 8,87
Mg (me/100g 9,42 11,61 7,16 13,79
K (me/100g) 0,10 0,41 0,38 0,56
Na (me/100g) 0,15 0,59 0,39 2,25
KTK 11,70 20,6 18,40 23,8
KB 91,0 95,5 60,50 98,0
Al3+ 5,43 1,18 6,26 1,01
DHL 2,58 0,91 0,73 1,39
Sumber : Tala’ohu (1995), diolah kembali

Tabel 5. Sifat fisik tanah pada areal bekas tambang batu bara di Kutai
Kartanegara, Kalimantan
Lokasi Kedalaman Kelas tekstur Permeabilitas
Cm cm/jam
KTD-02 = area 0-20 Lempeng berliat 1,3 9 (agak
reklamasi dengan 20-60 Lempeng berliat lambat)
Acasia sp. umur 1
tahun
KTD-03 = area 0-20 Liat 0,17 (lambat)
reklamasi dengan
20-60 Liat
Acasia sp.
Berumur 3 tahun
KTD-04 = area 0-20 Liat 0,45 (lambat)
ladang penduduk
Desa Bangun 2 0-60 Liat
Rejo
KTD-05 = area 0-20 Lempeng liat 1,20 (agak
disposal Seam 19 berpasir lambat)
20-60 Lempeng liat
berpasir
KTD-06 = area 0-20 Liat 0,72 (agak
stockpile batubara 20-60 Liat lambat)
Sumber : PT Kitadin (2009)

Sutton dan Dick dalam Yustika dan Tala’ohu (2007) menyatakan bahwa erosi
dari areal pertambangan 100 kali lebih besar dibanding saat lahan asih
bervegetasi hutan. Erosi pada areal bekas pertambangan batubara pada lereng

12
15-25% di Kutai Kertanegara juga tergolong sangat berat. Pada areal yang
landai, erosi masih tergolong berat, jika penutupan tajuk tanaman masih
rendah (PT Kitadin, 2009).

Pencemaran logam berat


Beberapa aktivitas penambangan diidentifikasi menghasilkan bahan-bahan
pencemar dalam bentuk air asam dan logam berat. Misalnya, aktivitas
penambangan emas menghasilkan pencemaran logam berat berbahaya berupa
Hg. Aktivitas penambangan umumnya menghasilkan bahan pencemar yang
ditunjukkan oleh kadar logam-logam berat dalam tanaman yang melebihi
kadar normal (Sitorus dkk.,2008).

Aspek sosial-ekonomi
Penutupan tambang dapat menimbulkan dampak yang menakutkan apabila
perekonomian masyarakat hanya bergantung pada usaha pertambangan, dan
tidak ada penggerak ekonomi lainnya sebagai pengganti. Ketidaksiapan
masyarakat sekitar tambang untuk beralih usaha dapat menjadi kendala
pemanfaatan lahan bekas tambang termasuk pemanfaatan untuk budidaya
pertanian. Lebih jauh, kegiatan usaha penambangan yang telah berjalan lama
banyak mempengaruhi aspek budaya, dan juga melemahkan kemampuan
(skill) masyarakat untuk melakukan usaha baru.

Land tenure
Pemanfaatan areal bekas tambang seringkali terbentur pada permasalahan
status lahan. Sebagian besar aktivitas penambangan di Indonesia berada
dalam kawasan hutan (Tabel 6). Tabel 6 menunjukkan luas izin penambangan
yang tumpang tindih dengan kawasan hutan, yang berjumlah sekitar 5 juta ha.
Sekitar 620.000 ha diantaranya merupakan kawasan lindung, yang
seharusnya tidak digunakan untuk pemanfaatan lain. Izin penambangan yang
berada dalam kawasan hutan produksi dan penggunaan lain, mempunyai
peluang dimanfaatkan untuk kegiatan budidaya, jika memenuhi persyaratan
kesesuaian lahan. Namun demikian kepastian hukum dari lahan yang akan

13
digunakan harus ditetapkan terlebih dahulu, sehingga tidak terjadi konflik
antara masyarakat dengan pemerintah, atau pihak lainnya di kemudian hari.

Peraturan perundang-undangan
Pemerintah telah mengeluarkan beberapa peraturan perundang-undangan
agar proses reklamasi pasca penambangan dapat berjalan dengan baik. Dalam
UU No. 4 tahun 2009 tentang penambangan bahan mineral dan batubara
dinyatakan bahwa pemegang izin usaha penambangan harus melaksanakan
reklamasi pasca penambangan. Khusus untuk aktivitas penambangan dalam
kawasan hutan, maka pelaksanaan reklamasi lahan bekas tambang juga harus
mengacu pada UU no. 41 tahun 1999 tentang kehutanan.

Tabel 6. Luas izin penambangan yang bertumpang tindih dengan kawasan


hutan
Jenis Tahapan Kegiatan
Total
Usaha/Status Studi
Eksplorasi Konstruksi Produksi Luas Izin
Lahan Kelayakan
.................................Ha..............................
PKP2B
1. Hutan 100.793,91 167.959,
53.946,824 7.516,035 5.703,019
Lindung 6 794
2. Hutan 605.052,
57.262,197 199.348,721 106.277,061 242.164,454
Produksi 433
3. Hutan
167.789,86 361.967,
Produksi 128.769,676 34.612,950 30.794,895
8 389
Terbatas
4. Hutan
102.972,
Produk 17.098,647 58.787,171 15.631,258 11.455,218
294
Konversi
5. Hutan
21.315,2
Konservas 8.498,044 1.277,572 4.673,391 6.866,222
29
i
6. Areal
143.279,32 895.386,
Penggunaa 280.925,636 3.992,305 467.189,242
8 511
n Lain
494.722,00 2.154.65
Luas 723.055,600 172.703,000 764.173,050
0 3,650

Kontrak Karya
1. Hutan 256.418,92 455.162,
32.073,715 1.410,188 165.259,186
Lindung 5 014
2. Hutan 160.478,
90.711,041 10.243,625 12.049,439 47.474,265
Produksi 370
3. Hutan
193.073,78 334.767,
Produksi 25.795,199 1.746,003 114.152,649
8 639
Terbatas

14
Tabel 6. Luas izin penambangan yang bertumpang tindih dengan
kawasan hutan (Lanjutan..)
4. Hutan
87.045,8
Produksi 13.534,937 15.871,871 288,341 57.350,658
07
Dikonversi
5. Hutan 39.604,3
30.382,291 775,738 - 8.446,283
Konservasi 12
6. Areal
1.250.094, 1.836.60
Penggunaan 458.844,852 33.275,029 94.388,960
018 2,859
Lain
1.834.215, 2.913.66
Luas 543.605,000 48.769,000 487.072,001
000 1,001
Sumber : Direktorat Teknik Lingkungan Mineral, Batubara, dan Panas Bumi
(2009)

2.2.3 Reklamasi Bekas Lahan Tambang


Kegiatan pertambangan selalu menimbulkan ganguan lahan dan perubahan
bentang alam, baik yang bersifat sementara (misalnya adanya timbunan sisa galian
dan limbah tailing) ataupun permanen (misalnya tanah kolong yang sangat dalam,
perubahan tubuh tanah, dan hilangnya keragaman hayati). Perbedaan sifat
gangguan tersebut memerlukan pendekatan dan teknologi
reklamasi yang berbeda.

2.2.4 Teknologi dan langkah-langkah reklamasi


Reklamasi lahan bekas tambang memerlukan pendekatan dan teknologi yang
berbeda tergantung atas sifat gangguan yang terjadi dan juga peruntukannya
(penggunaan setelah proses reklamasi). Namun secara umum, garis besar tahapan
reklamasi adalah sebagai berikut:

Konservasi top soil


Lapisan tanah paling atas atau tanah pucuk, merupakan lapisan tanah yang perlu
dikonservasi, karena paling memenuhi syarat untuk dijadikan media tumbuh
tanaman. Hal ini mencerminkan bahwa proses reklamasi harus sudah mulai berjalan
sejak proses penambangan dilakukan, karena konservasi tanah pucuk harus
dilakukan pada awal penggalian. Namun, banyak perusahaan tambang yang tidak
mematuhi hal ini, akibatnya harus mengangkut tanah pucuk dari luar dengan biaya
tinggi, dan menimbulkan permasalahan di lokasi tanah pucuk berada. Beberapa hal
yang harus diperhatikan, adalah: (a) menghindari tercampurnya subsoil yang

15
mengandung unsur atau senyawa beracun, seperti pirit, dengan tanah pucuk, dengan
cara mengenali sifat-sifat lapisan tanah sebelum penggalian dilakukan, (b)
menggali tanah pucuk sampai lapisan yang memenuhi persyaratan untuk tumbuh
tanaman, (c) menempatkan galian tanah pucuk pada areal yang aman dari erosi dan
penimbunan bahan galian lainnya, (d) menanam legum yang cepat tumbuh pada
tumpukan tanah pucuk untuk mencegah erosi dan menjaga kesuburan tanah.

Penataan lahan
Penataan lahan dilakukan untuk memperbaiki kondisi bentang alam, antara lain
dengan cara: (a) menutup lubang galian (kolong) dengan menggunakan limbah
tailing (overburden). Lubang kolong yang sangat dalam dibiarkan terbuka, untuk
penampung air; (b) membuat saluran drainase untuk mengendalikan kelebihan air,
(c) menata lahan agar revegetasi lebih mudah dan erosi terkendali, diantaranya
dilakukan dengan cara meratakan permukaan tanah, jika tanah sangat
bergelombang penataan lahan dilakukan bersamaan dengan penerapan suatu teknik
konservasi, misalnya dengan penterasan, (d) menempatkan tanah pucuk agar dapat
digunakan secara lebih efisien. Karena umumnya jumlah tanah pucuk terbatas,
maka tanah pucuk diletakan pada areal atau jalur tanaman. Tanah pucuk dapat pula
diletakkan pada lubang tanam.

Pengelolaan sedimen dan pengendalian erosi


Pengelolaan sedimen dilakukan dengan membuat bangunan penangkap sedimen,
seperti rorak, dan di dekat outlet dibuat bangunan penangkap yang relatif besar.
Cara vegetatif juga merupakan metode pencegahan erosi yang dapat diterapkan
pada areal bekas tambang. Tala’ohu et al. (1998) menggunakan srtip vetiver untuk
pencegahan erosi pada areal bekas tambang batu bara. Vetiver merupakan pilihan
yang terbukti tepat, karena selain efektif menahan erosi, tanaman ini juga relatif
mudah tumbuh pada kondisi lahan buruk sehingga bertindak sebagai tanaman
pioner.

Penanaman cover crop


Penanaman cover crop (tanaman penutup) merupakan usaha untuk memulihkan
kualitas tanah dan mengendalikan erosi. Oleh karena itu keberhasilan penanaman

16
penutup tanah sangat menentukan keberhasilan reklamasi lahan pasca
penambangan. Karakteristik cover crop yang dibutuhkan, sebagai berikut: mudah
ditanam, cepat tumbuh dan rapat, bersimbiosis dengan bakteri atau fungi yang
menguntungkan (rhizobium, frankia, azospirilum, dan mikoriza), menghasilkan
biomassa yang melimpah dan mudah terdekomposisi, tidak berkompetisi dengan
tanaman pokok dan tidak melilit. Pada areal bekas tambang nikel PT Inco (Ambodo,
2008) menggunakan dua jenis rumput (Echinocloa sp. dan Cynodon dactylon) serta
dua jenis legum (Macroptilium bracteatum dan Chamaecrista sp.) sebagai cover
crop. Selain itu juga dicampurkan tanaman legum lokal seperti Clotalaria sp.,
Theprosia sp., Calindra sp., dan Sesbania rostata. Dengan campuran jenis tersebut
dalam waktu dua bulan setelah penanaman didapatkan penutupan lebih dari 80%.
Kemampuan tanaman penutup untuk mendukung pemulihan kualitas tanah sangat
tergantung pada tingkat kerusakan tanah Santoso et al. (2008) menyatakan bahwa
sebaiknya cover crop ditanam pada tahun pertama dan kedua proses reklamasi.

Penanaman tanaman pionir


Untuk mengurangi kerentanan terhadap serangan hama dan penyakit, serta untuk
lebih banyak menarik binatang penyebar benih, khususnya burung, lebih baik jika
digunakan lebih dari satu jenis tanaman pionir/multikultur (Ambodo, 2008).
Beberapa jenis tanaman pionir adalah : sengon buto (Enterrolobium cylocarpum),
Albizia (Paraserianthes falcataria), johar (Casiasiamea), kayu angin (Casuarina
sp.), dan Eukaliptus pelita. Dalam waktu dua tahun kerapatan tajuk yang dibentuk
tanaman-tanaman tersebut mampu mencapai 50-60% sehingga kondusif untuk
melakukan restorasi jenis-jenis lokal, yang umumnya bersifat semitoleran.
Tanaman pioner ditanam dengan sistem pot pada lubang berukuran lebar x panjang
x dalam sekitar 60 x 60 x 60 cm, yang diisi dengan tanah pucuk dan pupuk organik.
Di beberapa lokasi, tanaman pioner ditanam langsung setelah penataan lahan,
padahal tingkat keberhasilannya relatif rendah (Puslittanak, 1995). Pada areal bekas
timah, meskipun sudah ditanam dengan sistem pot, tanaman tumbuh baik hanya
pada awal pertumbuhan, selanjutnya pertumbuhannya lambat dan beberapa
diantaranya mati, karena media tanam dalam pot sudah tidak dapat memenuhi
kebutuhan tanaman. Santoso dkk.(2008) menyatakan bahwa penanaman tanaman

17
pioner sebaiknya dilakukan pada tahun ke 3-5, setelah penanaman tanaman penutup
tanah.

Penanggulangan logam berat


Pada areal yang mengandung logam berat dengan kadar di atas ambang batas
diperlukan perlakuan tertentu untuk mengurangi kadar logam berat tersebut.
Vegetasi penutup tanah yang digunakan untuk memantapkan timbunan buangan
tambang dan membangun kandungan bahan organik, bermanfaat pula untuk
mengurangi kadungan logam berat dengan menyerapnya ke dalam jaringan
(Notohadiprawiro, 2006). Beberapa laporan juga menunjukkan bahwa bahan
organik berkorelasi negatif dengan kelarutan logam berat di dalam tanah, karena
keberadaan bahan organik tanah meningkatkan kapasitas tukar kation (KTK) tanah
(Salam dkk. dalam Haryono dan Soemono, 2009). Hasil penelitian Haryono dan
Soemono (2009) menunjukkan pemberian bahan organik dikombinasikan dengan
pencucian dapat menurunkan kandungan logam mercuri (Hg) dalam tanah sampai
84%. Pada areal dengan kandungan logam berat tinggi sebaiknya jangan dulu
dilakukan penanaman komoditas yang dikonsumsi. Perlu dipilih jenis tanaman
yang toleran terhadap logam berat, misalnya di Ameria Serikat ditemukan jenis
tanaman pohon hutan, diantaranya Betula spp. dan Salix spp. yang dapat bertahan
hidup di areal bekas tambang yang mengandung Pb sampai 30.000 mg/kg dan Zn
sampai 100.000 mg/kg. Kemampuan ini ternyata dibangkitkan oleh asosiasi pohon
dengan mikoriza (Notohadiprawiro, 2006). Perlu diidentifikasi tanaman-tanaman
lain yang toleran terhadap logam berat yang dapat tumbuh baik di wilayah tropis
seperti Indonesia. Selain dalam tanah penanggulangan pencemaran logam berat
dalam air juga harus dilakukan, tanaman eceng gondok dapat digunakan untuk
membersihkan badan air dari logam berat (Notohadiprawiro, 2006). Penanganan
logam berat dengan mikroorganisme atau mikrobia (dalam istilah biologi disebut
dengan bioakumulsi, bioremediasi, atau bioremoval), menjadi alternatif yang dapat
dilakukan untuk mengurangi keracuan elemen logam berat di lingkungan perairan
(Muryidin,2006)

18
2.2.5 Peluang pemanfaatan lahan ex-tambang untuk pertanian
Ditinjau dari aspek teknis, areal bekas tambang dapat digunakan untuk budidaya
pertanian jika telah dilakukan perbaikan kondisi lahan, dan selanjutnya dapat
digunakan untuk tujuan-tujuan produktif seperti untuk pertanian. Dari aspek
kualitas tanah, kendala utama rehabilitasi lahan adalah rendahnya kandungan unsur
hara dan bahan organik, toksisitas unsur tertentu, kemampuan tanah dalam
menjerap hara dan air, pH tanah, dan sifat fisik tanah yang sangat buruk. Untuk
mempercepat pemulihan kualitas tanah (fisik, kimia dan biologi), juga dapat
digunakan bahan pembenah tanah atau amelioran, seperti bahan organik; kapur,
tanah liat, dan abu terbang. Senyawa humat dapat digunakan sebagai pengganti
bahan organik (Iskandar, 2008). Zeolit merupakan bahan pembenah mineral yang
dapat meningkatkan KTK (kapasitas tukar kation) tanah. Pupuk hayati dapat
digunakan untuk memperbaiki sifat biologi tanah, misalnya pemanfaatan fungi
mikoriza sebagai pemicu pertumbuhan tanaman (Santoso dkk., 2008; Sitorus dkk.,
2008). Pemanfaatan lahan bekas tambang seyogianya mengarah kepada
keberlanjutan perekonomian daerah dan masyarakat, tanpa mengabaikan fungsi
lingkungan, diantaranya berupa polikultur perkebunan dengan kehutanan. Sebagai
contoh, PT Inco (Ambodo, 2008) telah membuat plot contoh polikultur coklat dan
tanaman kehutanan lokal yang bernilai ekonomi tinggi. Dalam percobaan ini, 1 ha
cover crop cukup untuk memberi pakan 10 ekor sapi pedaging dari jenis Brahman.
Dalam jangka pendek, dihasilkan daging sapi potong, dan kotoran sapi digunakan
untuk pupuk tanaman coklat. Dalam jangka menengah (3-4 tahun) hasil tanaman
coklat sudah dapat dipetik, dan dalam jangka panjang dapat dipanen kayu-kayu
yang bernilai ekonomi tinggi, yang ditanam di sela-sela tanaman coklat Selain
untuk tanaman perkebunan, lahan ex tambang berpeluang dimanfaatkan untuk
budidaya tanaman semusim termasuk padi sawah. Salah satu tantangan untuk
mencetak sawah pada areal bekas tambang adalah dalam pembentukan lapisan
tapak bajak, yang merupakan komponen penting dalam sistem pengelolaan air pada
lahan sawah. Keberhasilan akan sulit diperoleh, apabila hanya dilakukan pelapisan
permukaan tanah dengan tanah pucuk. Oleh karena itu, perlu dilakukan berbagai
manipulasi untuk mempercepat pembentukan lapisan kedap, terutama jika tekstur

19
tanah didominasi pasir. Usaha yang dapat dilakukan adalah pemadatan tanah pada
lapisan di bawah lapisan olah, perlu juga dicoba untuk menggunakan bahan perekat
seperti semen, atau senyawa organik untuk mempercepat pembentukan lapisan
kedap, namun sebelum teknologi ini diterapkan secara luas, diperlukan terlebih
dahulu pengkajian lebih mendalam, baik aspek teknis maupun aspek perhitungan
ekonominya. Setelah dilakukan penataan lahan untuk sawah, lahan tidak dapat
langsung digunakan untuk tanaman padi, perlu direhabilitasi dulu dengan
menggunakan tanaman penutup tanah dari jenis kacang-kacangan (legume),
sehingga perbaikan status bahan organik akan berjalan secara insitu. Perbaikan
iklim mikro dan kondisi biologi tanah juga sudah berjalan, saat penanaman padi
dilakukan. Kandungan logam berat dalam tanah maupun air irigasi juga harus
diidentifikasi terlebih dahulu, untuk menghindari pencemaran produk pangan yang
dihasilkan. Hasil analis jaringan tanaman padi yang dihasilkan pada areal bekas
tambang timah di Babel menunjukkan kandungan besi dalam seluruh jaringan
tanaman (akar, batang/daun dan beras) melebihi batas yang ditoleransikan.
Kandungan Pb dalam akar juga berada di atas ambang batas (Tabel 7). Oleh karena
itu untuk mengurangi kadar logam berat dalam tanah penting untuk dilakukan
penanaman penutup tanah dalam jangka waktu tertentu tergantung kandungan
logam beratnya dan pemberian sumber bahan organik lainnya.

2.3 Strategi Reklamasi


Internatioanal Institute for Environmental and Development (IIED) dan World
Bisiness Counsil for Sustainable Development (WBCSD) dalam Soelarno (2008)
menyebutkan bahwa agar pertambangan dapat berkontribusi positif pada
pembangunan berkelanjutan, maka tujuan penutupan tambang dan dampak akibat
penutupan tambang harus dipertimbangkan sejak tahap awal proyek. Dalam hal ini,
selain diperlukan studi kelayakan membuka tambang (planning for opening), juga
harus dilakukan perencanaan menutup tambang (planning for closure). Oleh karena
itu, Rick dalam Soelarno (2008) menyatakan bahwa perencanaan penutupan
tambang awalnya hanya dititikberatkan pada perlindungan lingkungan saja, namun
saat ini sudah diperluas, mencakup juga aspek sosial dan ekonomi. Oleh karena itu

20
diperlukan perencanaan penutupan tambang yang terintegrasi dengan kondisi
lingkungan. Sebagai upaya berkelanjutan, rencana rehabilitasi lahan pasca tambang
juga harus mengacu kepada undang-undang yang mengatur peruntukan lahan dalam
areal konsesi dan kerangka rencana penutupan lahan pasca tambang, yaitu: (1)
Restorasi dan konservasi keanekaragaman hayati (biodiversity) baik flora maupun
fauna pada kawasan hutan lindung, (2) evaluasi atau studi alternatif pemanfaatan
lahan yang berbasis kehutanan untuk kepentingan sosial ekonomi masyarakat di
masa mendatang pada areal APL (areal penggunaan lain) dan hutan produksi
(Ambodo, 2008), dan (3) evaluasi atau studi alternatif pemanfaatan lahan yang
berbasis pertanian pada areal non kehutanan atau pada areal APL atau hutan
produksi yang secara peraturan perundangundangan dan kesesuaian lahan
memungkinkan untuk dikonversi.

Tabel 7. Kadar logam berat dalam tanaman dan kadar yang dapat ditoleransikan
Unsur Kandungan dalam
Akar Batang dan Beras Kadar yang
daun ditolenrasikan*
Ppm
Fe 26.471,67 2,784,67 232,33 1.500
Mn 55,67 245,00 106,00 2.000
Cu 1,67 1,33 1,00 100
Pb 17,33 3,67 0,00 10
Sumber : Maekert (1994) dalam Sitorus dkk. (2008)

21
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian


Jenis penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah Kualitatif yang
bersifat deskritif dan cenderung mengunakan.

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilaksanakan di daerah eks- tambang yang berlokasi di
Palaran. Penelitian ini dilaksanakan mulai dari tanggal 20 November sampai 7
Desember 2019.

3.3 Populasi dan Sampel


3.3.1 Populasi
Populasi adalah keseluruhan objek yang mempunyai kualitas dan
karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan ditarik
kesimpulannya. Populasi dalam penelitian ini adalah lahan eks-tambang yang
ada di Palaran.

3.3.2 Sampel
Sampel adalah bagian dari populasi yang memiliki ciri-ciri tertentu
yang akan diteliti. Sampel dalam penelitian ini adalah lahan eks-tambang yang
ada di Palaran.

3.4 Metode Pengumpulan Data


Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah observasi dan study
pustaka.

3.5 Teknik Analisis Data


Teknik analisis data dalam penelitian ini bersifat deskritif yang digunakan
untuk menyelidi, menemukan, menggambarkan atau menjelaskan sesuatu yang
ingin diamati.

22
3.6 Desain Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran generasi muda dalam
reklamasi lahan eks-tambang.

23
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Kajian


4.1.1 Kegiatan Penambangan Batubara Yang Menimbulkan Dampak Bagi
Lingkungan
Menurut Harfani (2007) ada tiga tahap kegiatan penambangan batubara
yaitu tahapan penambangan, penambangan, dan pasca penambangan batubara yang
dapat menimbulkan dampak terhadap komponen lingkungan. Pertambangan
batubara dapat berdampak pada hal-hal berikut:
(1) Mikro Mikro, sumber dampak negatif yang diperkirakan terjadi pada
tahap persiapan dan operasi penambangan adalah dampak terhadap perubahan iklim
mikro, akibat akibat dari kegiatan pembukaan lahan, pengupasan tanah pucuk dan
tanah penutup untuk penggalian batubara, serta pembersihan lahan untuk areal
penempatan tanah penutup/pucuk. Sumber dampak positif penting terhadap iklim
mikro adalah kegiatan reklamasi atau penimbunan tanah dan revegetasi, atau
penanaman kembali lahan yang telan dilakukan pada areal bekas bukaan tambang
dan areal. Kegiatan reklamasi dan revegetasi ini dilakukan secara bertahap sesuai
dengan kemajuan tambang. Tolak ukur dampaknya adalah fluktuasi suhu udara
antara 21-35 °C dan kelembaban antara 54-96%. Parameter lingkungan yang
dipantau adalah tingkat kenaikan suhu udara dan suhu rata-rata 21-35 ° C
(2) Kualitas udara dan kebisingan, sumber dampak dari kegiatan-
kegiatan tambang batubara umumnya menghasilkan partikel debu dengan ukuran
yang bervariasi antara kurang dari 1,0 (satu) um sampai lebih dari 100 um. Kegiatan
pada tahap operasi penambangan adalah pengupasan tanah, penambangan batubara,
pengangkutan batubara ke dumping area dan stock pile, pengolahan batubara ke
ponton melalui conveyor merupakan sumber dari partikel tersebut. Dampak dari
kegiatan tersebut adalah. Kegiatan yang diperkirakan berdampak pada penurunan
udara berupa debu. Kegiatan yang diperkirakan menimbulkan dampak terhadap
kebisingan pada tahap operasi adalah suara mesin alat berat pada saat kegiatan
pengupasan tanah pucuk, penggalian dan pemindahan tanah penutup, penambangan

24
batubara, pengangkutan batubara dan suara mesin crushing pada saat pengolahan
batubara.
Kualitas udara yang mengalami penurunan adalah berupa peningkatan
kadar debu atau TSP (Total suspended Particulate) oleh karena itu tolok dampaknya
adalah tingginya kandungan TSP dalam udara ambien yang melebihi tingkat Baku
Mutu Lingkungan menurut Pp No. 41 Tahun 1999 yaitu kurang dari 0,26 ug/m3
Sedang tolok ukur kebisingan adalah daerah pemukiman yang tidak lebih dari dBA
dan untuk areal tambang serta pengolahan batubara adalah 70 dBA berdasarkan
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. Kep48/MENLH/11/1996.
Harfani (2007) menyatakan bahwa parameter lingkungan yang dipantau adalah
parameter kualitas debu udara ambien (TSP) mengacu pada Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia No. 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran udara.
Untuk parameter H2s dan NH3 mengacu pada Keputusan Menteri Lingkungan
Hidup No Kep-50/MENLH/11/1996 tentang Pedoman Penetapan Baku Mutu
Lingkungan. Sedangkan untuk parameter kebisingan yang dipantau adalah tingkat
kebisingan tidak melebihi baku mutu menurut Keputusan Menteri Lingkungan
Hidup No. Kep. 48/MENLH/11/1996, untuk baku mutu nilai kebisingan.
(3) Fisiografi, sumber dampak negatif yang ditimbulkan dari kegiatan
penambangan batubara, merupakan sumber dampak perubahan bentuk fisiografi
lahan yang berasal dari kegiatan pengupasan tanah penutup hingga penggalian
batubara. Perubahan bentuk lahan adalah kelerengan < 15 dan panjang lereng > 50
meter untuk keperluan jalan, sementara pada lahan cukung dalam mengakibatkan
terjadinya genangan air akibat kegiatan penambangan, oleh karena itu tolok
ukurnya adalah kelerengannya < 25 % dan panjang lereng disesuaikan ketinggian
topografi. Parameter lingkungan yang dipantau adalah perbedaan ketinggian
topografi sebelum/sesudah penggalian pada areal wilayah penambangan, tumpukan
tumpukan tanah longsoran disekitar areal penimbunan kurangnya estetika
lingkungan.
(4) Erosi/Longsor, sumber dampak semua aktifitas pembukaan lahan
akan berdampak pada terjadinya erosi dan longsor. Pada tahap persiapan kegiatan
yang diperkirakan menimbulkan dampak penting terhadap peningkatan laju

25
erosil/longsor pada tubuh/badan sungai adalah kegiatan pembukaan lahan dan
pembuatan jalan. Tolok ukur nilai ambang batas dari laju erosi yang diukur dengan
pengukuran secara langsung atau pengukuran tidak langsung dan adanya erosi
adalah parameter TSS pada air run-off berdasarkan SK Gub. Kaltim No. 339 tahun
1988. Parameter lingkungan yang dipantau adalah peningkatan laju pertumbuhan
erosi tanah yang diukur dengan metode USLE, dimana faktor-faktor penentu yang
harus dipelajari adalah besamya. curah hujan bulanan, sifat sifat tanah, lereng serta
penggunaan lahan dan penerapan tindakan konservasi tanah.
(5) Kualitas Tanah, sumber dampak terjadinya penurunan kualitas tanah
yang terjadi pada persiapan, operasi dan pasca operasi adalah berupa penurunan
tingkat kesuburan. Data sifat-sitaf kimia tanah hasil analisa tanah terdiri dari
kandungan bahan organik tanah P dan K tersedia sera pH. Tolok ukur kualitas tanah
adalah pada sifat fisik tanah dan ketebalan tanah top dan sub soil (solum tanah) dan
untuk menentukan tingkat kesuburan tanah adalah didasarkan atas kriteria
kesuburan tanah oleh PPT Bogor (1983). Parameter lingkungan yang dipantau
adalah tingkat kesuburan dan daya dukung tanah atas kriteria kesuburan tanah oleh
PPT Bogor (1983).
(6) Drainase, sumber dampak pada tahap persiapan kegiatan yang
diperkirakan menimbulkan damapk negati adalah pembersihan lahan dan
pembangunan jalan. Tolok ukur dari parameter drainase tidak selalu banjir dan
kekeringan baik pada lokasi bekas kegiatan tambang mapun pasca tambang, selain
itu sebagai tempat mengalir air sungai setempat. Parameter lingkungan yang
dipantau adalah tidak terjadinya banjir maupun kekeringan baik pada lokasi bekas
kegiatan tambang mapun pasca tambang, seiain itu sebagai tempat mengalir air
sungai lokal.
(7) Sedimentasi, sumber dampak yang diperkirakan timbul pada tahap
operas penambangan adalah berassal dari kegiatan penambangan yaitu pengupasan
lahan, penggalian batubara, stockpile, pengolahan, stockpile loading. Tolok ukur
dampak adalah terjadinya tidak pengendapan atau pendangkalan pada badan-badan
sungai atau parit. Potensi sedimentasi dapat tergambarkan muatan padatan
tersuspensi pada air yang berasal dari daerah tambang. Parameter lingkungan yang

26
dipantau adalah tingkat beban sedimentasi (TSS) berupa pengendapan atau
pendangkalan pada sungai atau parit. Potensi sedimentasi dapat tergambarkan dari
muatan padatan tersuspensi pada air yang mengalir dari daerah tambang.
(8) Kualitas Air, penurunan kualitas udara diakibatkan oleh adanya
kegiatan- kegiatan pembuatan jalan, penggalian tanah penutup dan batubara,
penumpukan tanah penutup dan batubara. Kegiatan pengupasan tanah pucuk,
penambangan batubara, pembukaan lahan untuk areal waste dump dan penimbunan
tanah penutup (tanah npucuk dan tanah penutup), pengelolaan dan penimbunan
batubara serta proses pencucian batubara merupakan sumber dampaknya
penurunan kualitas air. Meningkatnya erosi dan adanya aliran air asam tambang
yang masuk ke sungai akan mengakibatkan kandungan padatan tersuspensi dan
kekeruhan air permukaan meningkat serta sifat keasaman air akan meningkat.
Selain itu ada sarana penunjang seperti generator dan perbengkelan akan
menghasilkan limbah yang bias menghasilkan oli yang tercecer ke badan sungai.
Tolok ukur dampaknya adalah tingginya tingkat kandungan TSS dalam air, DO,
pH, H2S pada air yang mengalir keluar areal penambangan batubara yang melebihi
tingkat baku mutu lingkungan menurut SK Gub Kaltim No. 339 Tahun 1988. Untuk
kualitas air limbah menggunakan SK Gub No. 26 Tahun 2002. Parameter yang
dipantau adalah kualitas air (TSS, pH, DO, H2S) di sungai dan daerah pelabuhan
yang mengacu kepada SK Gub, Kaltim No. 339 Tahun 1988 dan SK Gub, No. 26
Tahun 2002 tentang baku mutu limbah cair industri pertambangan (Suprapto,
2006).
(9) Vegetasi, sumber dampak negatif yang terjadi yang diperkirakan pada
tahap persiapan adalah kegiatan pembersihan lahan (land cleanng). Tolok ukurnya
adalah jenis alam dan tingkatnya, jenis introduksi dan pertumbuhannya. Parameter
yang dipantau adalah parameter jumlah populasi, potensi vegetasi keanekaragaman
hayati dan penutupan tajuk, keutuhan dan keamanan kawasan berhutan di daerah
operasi penambangan dan dengan kondisi rona awal
(10) Satwa Liar, sumber dampak negatif yang terjadi pada tahap persiapan
adalah kegiatan pembersihan lahan (land clearing). Tolok ukumya adalah
kehadiran satwa (binatang liar, unggas, mamalia dan lainnya) di lokasi tambang dan

27
sekitamya. Parameter yang dipantau adalah, jenis kelimpahan dan kondisi habitat
satwa liar di kawasan penambangan.

4.1.2 Kerusakan Lingkungan akibat Pertambangan Batubara Di Sekitar Samarinda


Menurut Harfani (2007) pertambangan batubara di daerah Samarinda dan
sekitarnya berdampak pada lingkungan antara lain:
(1) Aspek Geofisika-Kimia, antara lain a) Perubahan Bentang Alam,
akibat dari penambangan terbuka (open pit) akan menyebabkan perubahan bentang
alam (morfologi) yang tadinya perbukitan menjadi lembah dan lembah menjadi
perbukitan serta merubah aliran air permukaan (run of) yang diikuti dengan
tingginya erosi tanah dan suspended solid pada air sungai terdekat.
Sejak tahun 2005, banjir menjadi langanan kota samarinda. Dalam setahun
rata-rata 4 kali banjir menerjang 4 kecamatan di ibukota provinsi Kalimantan Timur
ini. Pada tahun 2008, pemerintah harus merogoh dana miliaran rupiah dan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah untuk membuat folder serta sarana
pengendali banjir.
Padahal yang masuk dari pengerukan batubara hanya Rp. 339 juta atau 4,13 persen
dari pendapatan asli daerah kota Samarinda (Koran Tempo 23 Juli 2010). b)
Penurunan Kualitas Air, timbulnya erosi tanah pada areal yang tidak ada
vegetasinya merupakan penyebab dan akan berdampak pada penurunannya kualitas
air dan masuk ke badan sungai. Dampak penurunan kualitas air ini dapat
menimbulkan dampak tersier lainnya berupa terganggunya kehidupan biota air pada
daerah aliran sungai dan menyebabkan gangguan kesehatan pada masyarakat. c)
Penurunan Kualitas air dan Getaran, dampak penting yang akan timbul dari
kegiatan pengupasan dan penimbunan tanah penutup, penambangan, pengelolaah
(permukaan), pengangkutan batubara, penimbunan batubara di ROM stockpile
adalah kenaikan kadar debu di sekitar areal tambang. d) Peningkatan Erosi Tanah,
kegiatan pengupasan tanah penutup dan penimbunan akan menimbulkan erosi tanah
di lokasi tersebut.
Dampak ini akan mempengaruhi komponen lingkungan yang lain yaitu
meningkatkan kekeruhan air, terjadi sedimentasi dan berakibat terhadap

28
pendangkalan sungai dan menurunnya kesuburan tanah karena badan top soil yang
berada di permukaan tanah akan ikut terkikis bersama-sama air yang mengalir, serta
dampak lanjutan seperti terganggunya kehidupan biota perairan (plankton, benthos,
nekton) karena kekeruhan yang terjadi. e) Dampak Air Asam Tambang, Acid Rock
Drainase (ARD) atau air asam batuan di areal yang berasal dari tempat pembuangan
batuan yang tidak terencana dengan baik akan menyebabkan air asam tambang. Hal
ini terjadi karena adanya oksidasi mineral-mineral sulfida dalam batuan yang
dipercepat oleh bakteri, cuaca panas dan curah hujan yang tinggi. ARD dan
limpasan sedimen merupakan faktor utama yang dapat memunculkan kualitas udara
(Suprapto, 2006).
(2) Aspek Kesehatan, tanah di lokasi pertambangan umumnya
menunjukkan reaksi tanah sangan masam sampai netral, baik tanah lapisan atas (0-
20 cm) dengan pH air berkisar 2,70 6,60 maupuan tanah lapisan bawah (20-60 cm)
dengan pH air berkisar 3.70-7.00 dan kandungan bahan organik tanah yang tersebar
terdapat di lokasi areal lahan reklamasi, km yaitu 2.68%. Air asam yang keluar dari
kegiatan penambangan yang tidak dikelola dengan baik akan berakibat terhadap
menurunnya kesuburan tanah karena air asam dapat melarutkan unsur hara yang
ada di tanah juga bisa melarutkan logam-logam berat yang tersimpan di tanah besar
apabila logam-logam berat ini ke lingkungan seperti Hg, Mn dan Fe serta ogam
berat lainnya.
Dampak kesehatan dalam jangka panjang apabula termakan oleh manusia
maupun mahkluk hidup lainnya menyebabkan berbagai penyakit seperti
menurunnya lQ pada anak, idiot, serta dapat menyebabkan penyakit kanker.
Dampak kesehatan dalam jangka pendek adalah timbulnya penyakit ISPA akibat
dari debu yang dihasilkan dari kegiatan penambangan. Penyakit Infeksi saluran
Pernapasan akut (ISPA) merebak di daerah/lokasi sekitar pertambangan batubara.
Pada tahun 2007 dinas kesehatan mencatat ada 19.375 kasus. Angka ini meningkat
dari tahun sebelumnya sebelumnya 17.373 penderita. Tahun 2009, 2.233 bayi dan
5.071 anak-anak menderita ISPA (Koran Tempo 23 Juli 2010).
(3) Aspek Ekonomi sosial Budaya, selain kerusakan lingkungan, esploitasi
batubara juga menyebabkan berkurangnya lahan pertanian penduduk. Di daerah

29
Kutai Kertanegara khususnya Tenggarong seberang, sebagai wilayah sentra
produksi pertanian, peran Tenggarong Seberang cukup di dalam menyuplai pangan
dan hortikultura untuk Kalimantan Timur, karena produksi komoditas petani
Tenggarong Seberang selama ini dipasarkan ke Samarinda, Balikpapan, Bontang
sampai dengan Sengatta. Namun, di samping kondisi yang cukup menggembirakan,
di sisi lain ada kendala yang butuh perhatian, keseriusan dan komitmen semua
pemangku kepentingan yang peduli pada bidang pertanian untuk mengatasinya.
Maraknya eksploitasi batubara menjadi kekhawatiran akan menyempitnya luasan
areal pertanian (Kaltim Post 24 Juni 2009).
Limbah yang menimbulkan akibat pertambangan sangat mengganggu
produktivitas lahan, bahkan terdapat lebih dari 100 hektare lahan produktif di desa
Bangun Rejo yang kini tidak dapat ditanami komoditas apapun karena selalu
terendam air. Genangan air terseb disebabkan oleh limbah yang mengakibatkan
pendangkalan sungai sehingga luapan air hujan maupun air pasang dari sungai
Mahakam tertahan dan tidak dapat tersalur kembali ke sungai Mahakam.
Dampak lain dari industri ini adalah merebaknya korupsi di tingkat
kabupaten/kota (Koran Tempo 23 Juli 2010).

4.2 Pembahasan
4.2.1 Peran Generasi Muda dalam Reklamasi Lingkungan Pasca Pertambangan
Batubara
Pembangunan industri pada sektor usaha bidang pertambangan adalah suatu
upaya pemerintah dalam meningkatkan devisa negara dan bila ditinjau dari segi
pola kehidupan masyarakat sangat berhubungan langsung dengan peningkatan
kebutuhan barang dan jasa, pemakaian sumber-sumber energi, dan sumber daya
alam. Penggunaan sumber daya alam secara besar-besaran tanpa suasana
lingkungan dapat mengakibatkan berbagai segi negatif yang terasa dalam jangka
pendek maupun dalam jangka panjang. Pembangunan berkelanjutan merupakan
suatu upaya dan pendekatan dalam pemanfaatan sumber daya alam yaitu suatu
pembangunan yang berusaha memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa
mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka.

30
Balittanah (2010) menyatakan bahwa pembangunan berkelanjutan secara
implisit mengandung arti penting untuk memaksimalkan hasil pembangunan
dengan tetap menjaga kualitas sumber daya alam. Pengelolaan lingkungan bagi
industri di bidang usaha tambang batubara merupakan hal penting dari suatu
kegiatan usaha yang harus dilakukan agar industri tetap berjalan dan berkelanjutan.
Pembangunan industri yang berkelanjutan mencakup tiga aspek yaitu lingkungan,
ekonomi dan sosial/kesempatan yang sama bagi semua orang. Aspek lingkungan
tidak berdiri sendiri namun sangat terkait dengan dua aspek lainnya. Dalam
kegiatan internal industri, peluang untuk memadukan aspek lingkungan dan
ekonomi sangat besar, tergantung cara membangun lingkungan dengan bijak dan
menguntungkan.
Faktor sosial yang sebagian besar terkait dengan masyarakat atau di luar
industri juga sangat terkait dalam lingkungan lingkungan. Kaitan aspek lingkungan
dengan ekonomi dan sosial dalam kegiatan industri tambang batubara merupakan
hal yang penting dalam menjaga dan meningkatkan kualitas kesehatan dan
keselamatan masyarakat sekitar, untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia dan
meningkatkan kualitas hidup, dengan daya pemakaian sumber daya alam dan
bahan-bahan beracun, timbunan timbunan limbah dan pencemar selama daur hidup
produk sehingga tidak mengorbankan generasi mendatang dalam memenuhi
kebutuhannya (Suprapto, 2001).
Salah satu upaya program pemerintah untuk melakukan pengawasan bagi
pelaku usaha pertambangan terhadap masalah pencemaran dan kerusakan
lingkungan adalah dengan mengikutsertakan melalui kegiatan PROPER (Program
Penilaian Peringkat Kinerja) terhadap pengelolaan lingkungan hidup. Untuk
mewujudkan hal ini pemerintah telah berupaya mengelola lingkungan untuk
mencegah dan mengurangi laju penurunan kualitas lingkungan, namun
kenyataannya belum mampu mengimbangi laju penurunan kualitas lingkungan ,
Pemerintah memperhatikan kondisi perubahan alam yang mengkhawatirkan hal ini
sehingga mengeluarkan kebijakan Undang-Undang 23 Tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan hidup. Sebagaimana didefinisikan dalam Undang-Undang
No. 23 Tahun 1997 tersebut, pengelolaan lingkungan hidup adaiah upaya terpadu

31
untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijaksanaan penataan,
pemanfaatan, pengembangan, perawatan, pemulihan, pengawasan dan
pengendalian lingkungan hidup, dengan sasaran tercapainya keselarasan hubungan
antara manusia lingkungan hidup; terkendalinya pemanfaatan sumberdaya secara
bijaksana; dan terwujudnya manusia sebagai insan lingkungan (Harfani, 2007).
Upaya reklamasi daerah bekas tambang batubara perlu dilakukan antar pihak
bukan hanya pemerintah daerah, stakeholders, dan masyarakat akan tetapi perlu
melibatkan perguruan tinggi, terutama perguruan tinggi yang berada di daerah
Kalimantan Timur. Perlunya melibatkan perguruan tinggi yang ada di daerah
Samarinda dan sekitarnya, antara lain dengan memanfaatkan tenaga ahli dan
sumber daya yang ada diperguruan tinggi untuk pengelolaan lingkungan sebelum
dan setelah kegiatan pertambangan dilakukan, serta melakukan penelitian-
penelitian yang ada dengan pengelolaan dan reklamasi.
Generasi muda adalah generasi penerus bangsa yang dapat diandalkan untuk
menjaga dan melestarikan kekayaan alam yang ada. Tugas pokok generasi muda
adalah ikut menjaga kelestarian lingkungan dan sumber daya alam yang sangat
penting dalam membantu pemerintah daerah untuk menanggulangi berbagai
masalah yang ada di daerah di mana generasi muda tersebut berada, termasuk
masalah mengatasi permasalahan lingkungan nang terjadi di daerah akibat kegiatan
pertambangan batubara seperti didaerah sekitar Samarinda Kalimantan Timur.
Pelaksanaan reklamasi lahan bekas pertambangan batubara di daerah sekitar
Samarinda Kalimantan Timur, meliputi (1) pengisian kembali bekas galian, dimana
perubahan bentuk fisiologi lahan bekas galian batubara perlu ditutup dan ulangi
untuk mengurangi akibat buruk seperti erosi dan longsor, genangan air asam akibat
pertambangan, serta mengembalikan nilai estetika lingkungan. Perguruan tinggi
dapat dilibatkan dalam kegiatan ini antara lain dalam proses penelitian awal
sebelum lahan dikelola, misalnya dengan melakukan analisis lingkungan di lokasi
yang akan dijadikan daerah pertambangan, (2) revegetasi dengan memilih tanaman
yang mudah tumbuh, revegetasi ditujukan untuk tanaman yang hilang, jenis yang
ditanam antara lain: Sengon (Albaziz faltacaria), Akasia (Accasia mangium),
Angsana (Pterocarpus indicus), Lamtoro (Laucaena glauca), dan tanaman lain

32
yang cepat tumbuh. kegiatan revegetasi ini dapat memanfaatkan sumberdaya yang
ada di perguruan tinggi, antara lain melibatkan mahasiswa dalam kegiatan
penanaman di areal yang akan direvegetasi, dan memanfaatkan hasil penelitian
yang cocok untuk ditumbuhkan di areal bekas pertambangan, mengenai tanaman
termasuk pertambangan batubara.
(3) Pengurangan Berbagi debu, dengan melakukan penyiraman jalan lintas
produksi dari lokasi tambang daerah yang berdekatan dengan pemukiman
penduduk, dilakukan secara periodik pada musim kemarau. Perguruan tinggi dapat
dilibatkan dalam kegiatan ini, misalnya dengan melibatkan staf pengajar/dosen
untuk mengadakan penyuluhan pada masyarakat di sekitar daerah pertambangan,
penyuluhan kepada karyawan dan pengelola pertambangan, bahkan dapat
melibatkan mahasiswa dalam aksi simpatik dalam perusahaan pengelola
pertambangan.
Penyiraman jalan dapat dilakukan dengan water truck dengan water sprayer,
yang memanfaatkan air yang berasal dari sungai yang ada di sekitar tambang
memperlambat laju kendaraan pada saat melewati jalur yang dekat dengan
pemukiman penduduk, yaitu dengan kecepatan maksimal 15 km/jam, melakukan
revegetasi baik di kiri-kanan jalan tambang dan jalan angkut, maupun di areal
rencana penambangan yang berfungsi sebagai biofilter terhadap debu-debu yang
beterbangan, selain itu dilakukan juga penanaman pohon cepat tumbuh di sebelah
kiri-kanan ruas jalan akses dengan sistem posisi tanam zig zag, melakukan
pengerasan jalan dengan menghamparkan material slit stone/tanah merah,
membatasi tinggi penimbunan 4-6 m, mengatur jalan pengangkutan dengan
membuat rambu-rambu dan polisi tidur, melakukan pengujian/pengukuran emisi
udara dan debu (Tain dan Suhandi, 2001).
(4) Pengelolaan lingkungan untuk mengurongi tingkat kebisingan, dengan
membuat daerah buffer zone selebar 50 m dan melakukan penanaman dengan
tingkat kerapatan yang cukup sebagai penahan angin, karyawan diberi ear plug dan
bagi operator mesin dibagikan ear muff, merawatan dan kontrol peralatan yang
diberikan mesin pengujian/pengukuran kebisingan, penyediaan sarana kesehatan
dan tenaga medis (Harfani, 2007). Peran perguruan tinggi dapat dilakukan dengan

33
mengadakan penelitian yang ada dengan cara-cara untuk mengurangi kebisingan di
daerah sekitar pertambangan.
(5) Pengelolaan lingkungan untuk mengurangi pencemaran limbah cair,
dengan membuat oil trap dan untuk oli-oli bekas di dalam drum, membuat tempat
untuk penumpukan sementara limbah B3 untuk menampung drum-drum yang berisi
limbah B3 berupa, oli bekas, dan filter bekas, menylurkan limbah disimpan pada
tempat penampungan sementara dengan pihak pembeli yang telah memiliki ijin
KLH dan sesuai dengan peraturan daerah (Harfani, 2007). Selain melakukan
penelitian, pemanfaatan sumberdaya yang ada di perguruan tinggi untuk
mengurangi pencemaran limbah merupakan peran yang dapat disumbangkan bagi
pengelolaan lingkungan daerah, pengelolaan lingkungan daerah pertambangan.
(6) Pengelolaan lingkungan untuk mengurangi penurunan kualitas tanah,
kesuburan, dan erosi, dengan melakukan penataan lahan, mengamankan top soil
dan dipishkan dengan sob soil melakukan penanaman dengan tanaman penutup
(cover crops), membuat, menata dan merawat saluran drainase. Perguruan tinggi
dapat membantu dalam hal penelitian yang sesuai dengan masalah yang ditemui,
mengadakan penyuluhan baik pada karyawan perusahaan, dan masyarakat sekitar
daerah pertambangan.
(7) Pengelolaan lingkungan untuk mengurangi dampak pencemaran dan
kerusakan lahan penduduk, dengan melaksanakan ganti rugi/kompensasi pada
pembebasan lahan dengan harga sesuai kesepakatan dan dimusyawarahkan,
memberikan bantuan berupa dana dan bahan melalui program pembinaan
community development, melakukan revegetasi jenis tanaman yang ekonomis,
ekologis dan estetis, mengaktifkan kegiatan penyiraman jalan di sekitarnya
penduduk sesekali periodik (Harfani, 2007). Perguruan tinggi dapat bekerjasama
dengan pemerintah daerah dan masyarakat di sekitar areal pertambangan, misalnya
sebagai penengah di antara masyarakat dan pengelola pertambangan, atau dengan
mengadakan penyuluhan pada masyarakat.
(8) Perlunya rencana tata nuang dan regulasi yang jelas untuk usaha
pertanian masyarakat, kegiatan pertambangan diharapkan dapat memberi
keuntungan juga bagi masyarakat sekitar, perlu pemikiran yang matang agar

34
kegiatan pertambangan batubara tidak mengganggu usaha pertanian yang menjadi
sumber penghidupan masyarakat di sekitar, pemerintah perlu merencanakan tata
ruang dan regulasi yang jelas-jelas untuk kegiatan pertambangan sekaligus upaya
konservasi usaha masyarakat, peraturan perundang-undangan perlu ditetapkan
untuk kepentingan mencegah dampak yang negatif pasca kegiatan pertambangan.
Tenaga ahli yang ada di perguruan tinggi dapat dimanfaatkan dalam membantu
terselenggaranya kegiatan seperti ini.

35
BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Batubara sebagai bahan tambang banyak dikelola di daerah Kalimantan
Timur termasuk Samarinda dan sekitarnya. Selain memberi keuntungan bagi
daerah, pertambangan batubara juga menimbulkan kerusakan lingkungan, antara
lain pada aspek geofisika kimia, kesehatan, dan ekonomi sosial budaya, sehingga
kegiatan reklamasi mutlak untuk dilakukan.
Reklamasi daerah pertambangan batubara di sekitar Samarinda Kalimantan
Timur perlu dilakukan secara sewata dengan kegiatan-kegiatan reklamasi sesuai
dengan sumber masalah yang ada di daerah bekas pertambangan tersebut.
Pemerintah daerah perlu menetapkan peraturan peraturan perundang- undangan
daerah mengenai pertambangan batubara yang dilakukan di sekitar Samarinda
Kalimantan Timur untuk mencegah dampak negatif setelah pertambangan selesai.
Kegiatan reklamasi daerah pertambangan batubara perlu dilakukan juga melibatkan
generasi muda di daerah Samarinda dan sekitamya.

5.2 Saran
Perlunya kerjasama pemerintah, pengusaha batubara dengan generasi muda
untuk kegiatan reklamasi pasca tambang batubara di daerah Samarinda dan
sekitamya.

36
DAFTAR PUSTAKA

Arif, L 2007. Perencanaan Tambang Total Upaya Penyelesaian Persoalan


Lingkungan Dunia Pertambangan. Universitas Manado Sam Ratulangi.
Eucl. 2009. Coal Handling in Power Plants & Cost Saving. EUCI Present a Web
Conference, August 13 2009 12.00-01.30 PM Eastern Time.
Harfani Yudha E. 2007. Evaluasi Pengelolaan Lingkungan PT Bukit Baduri Energi
Kalimantan Timur Program Tesis Pascasariana. Semarang: Universitas
Diponegoro
Joshi Makarand. 2002. Technical Paper on “ Application & Implementation of
Residual Life Assesment Techniquest For Coal Handling Plant”. Presented
in National Seminar The Indian Society For Non Dectructive Testing, 5-7
Desember 2002 at Channae.
Koran Kaltim Pos, 24 Juni 2009.
Koran Tempo, 23 Juli 2010.
Majalah Bongkar. 13 Desember 2008. Menuju Bencana Lingkungan.
Suprapto, S. J. 2001. Tinjauan Reklamasi Lahan Bekas Tambang Dan Aspek
Konservasi Bahan Galian. Kelompok Program Penelitian Konservasi Pusat
Sumber Daya Geologi www/psdg.bgl.esdm.go.id. Diakses tanggal 22
Oktober 2010.
Suprapto, S. J. 2006. Pemanfaatan dan Permasalahan Endapan Mineral Sulfida
Pada Kegiatan Pertambangan. Buletin Sumber Daya Geologi. Volume 1
Nomor 2.
Tain, z dan Suhandi. 2001. Pendataan Bahan Galian Tertinggal Di Tambang
Batubara Daerah Samarinda Dan Kabupaten Kutai Kertanegara
Kalimantan Timur. Sub Direktorat Konservasi. Bandung: Direktorat
Inventarisasi Sumber Daya Mineral.

37

Anda mungkin juga menyukai