Anda di halaman 1dari 17

BAB II

TINJAUAN TEORI

2.1 PKL-T IPE-CP

2.1.1. Interprofessional Education

A. Definisi Interprofessional Education

Menurut World Health Organization (2010) , IPE didefenisikan sebagai proses

pembelajaran dimana dua atau lebih profesi belajar dengan, dari, dan tentang satu sama lain

untuk meningkatkan kolaborasi dan kualitas outcome pelayanan kesehatan. IPE merupakan

pendekatan proses pendidikan dua atau lebih disiplin ilmu yang berbeda berkolaborasi dalam

proses belajar-mengajar dengan tujuan untuk membina interdisipliner/interaksi

interprofessional yang meningkatkan praktek disiplin masing-masing.

Centre for the Advancement of Interprofessional Education (CAIPE, 2002)

menyebutkan, IPE terjadi ketika dua atau lebih profesi kesehatan belajar bersama, belajar dari

profesi kesehatan lain, dan mempelajari peran masing-masing profesi kesehatan untuk

meningkatkan kemampuan kolaborasi dan kualitas pelayanan kesehatan. IPE adalah suatu

pelaksanaan pembelajaran yang diikuti oleh dua atau lebih profesi yang berbeda untuk

meningkatkan kolaborasi dan kualitas pelayanan dan pelakasanaanya dapat dilakukan dalam

semua pembelajaran, baik itu tahap sarjana maupun tahap pendidikan klinik untuk

menciptakan tenaga kesehatan yang profesional (Lee, 2009).

IPE adalah metode pembelajaran yang interaktif, berbasis kelompok, yang dilakukan

dengan menciptakan suasana belajar berkolaborasi untuk mewujudkan praktik yang

berkolaborasi, dan juga untuk menyampaikan pemahaman mengenai interpersonal,

kelompok, organisasi dan hubungan antar organisasi sebagai proses profesionalisasi (Clifton,
2006). Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Broers (2009) praktek kolaborasi

antar profesi didefinisikan sebagai beragam profesi yang bekerja bersama sebagai suatu tim

yang memiliki tujuan untuk meningkatkan kesehatan pasien/klien dengan saling mengerti

batasan yang ada pada masing-masing profesi kesehatan.

Interprofessional Collaboration (IPC) adalah proses dalam mengembangkan dan

mempertahankan hubungan kerja yang efektif antara pelajar, praktisi, pasien/ klien/ keluarga

serta masyarakat untuk mengoptimalkan pelayanan kesehatan.

B. Tujuan Interprofessional Education

Secara umum IPE bertujuan untuk melatih mahasiswa untuk lebih mengenal peran

profesi kesehatan yang lain, sehingga diharapkan mahasiswa akan mampu untuk

berkolaborasi dengan baik dalam penanganan masalah kesehatan, baik di komunitas, keluarga

atau individu. Penangaanan masalah kesehatan secara interprofessional akan meningkatkan

kualitas pelayanan kesehatan dan meningkatkan kepuasan pasien.

Tujuan pelaksanaan IPE antara lain:

1) Meningkatkan pemahaman interdisipliner dan meningkatkan kerjasama

2) Membina kerjasama yang kompeten

3) Membuat penggunaan sumberdaya yang efektif dan efisien

4) Meningkatkan kualitas penanganan masalah kesehatan yang komprehensif.

C. Manfaat Interprofessional Education

World Health Organization (2010) menyebutkan tentang dampak dari penerapan

praktek kolaborasi dalam dunia kesehatan menunjukkan hasil bahwa praktek kolaborasi dapat

meningkatkan keterjangkauan serta koordinasi layanan kesehatan, penggunaan sumber daya


klinis spesifik yang sesuai, outcome kesehatan bagi penyakit kronis, dan pelayanan serta

keselamatan pasien. WHO (2010) juga menjelaskan praktek kolaborasi dapat menurunkan

komplikasi yang dialami pasien, jangka waktu rawat inap, ketegangan dan konflik di antara

pemberi layanan (caregivers), biaya rumah sakit, rata-rata clinical error, dan rata-rata jumlah

kematian pasien.

WHO (2010) juga menjelaskan IPE berpotensi menghasilkan berbagai manfaat dalam

beberapa aspek yaitu kerjasama tim meliputi mampu untuk menjadi pemimpin tim dan

anggota tim, mengetahui hambatan untuk kerja sama tim, peran dan tanggung jawab meliputi

pemahaman peran sendiri, tanggung jawab dan keahlian, dan orang-orang dari jenis petugas

kesehatan lain, komunikasi meliputi pengekspresikan pendapat seseorang kompeten untuk

rekan, mendengarkan anggota tim, belajar dan refleksi kritis meliputi cermin kritis pada

hubungan sendiri dalam tim, mentransfer IPE untuk pengaturan kerja, hubungan dengan

pasien, dan mengakui kebutuhan pasien meliputi bekerja sama dalam kepentingan terbaik

dari pasien, terlibat dengan pasien, keluarga mereka, penjaga dan masyarakat sebagai mitra

dalam manajemen perawatan, mengakui bahwa setiap tenaga kesehatan memiliki pandangan

yang sama-sama sah dan penting.

Proses IPE membentuk proses komunikasi, tukar pikiran, proses belajar, sampai

kemudian menemukan sesuatu yang bermanfaat antar para pekerja profesi kesehatan yang

berbeda dalam rangka penyelesaian suatu masalah atau untuk peningkatan kualitas kesehatan

(Thistlethwaite dan Moran, 2010).

D. Kompetensi Interprofessional Education

Barr (1998) menjabarkan kompetensi kolaborasi, yaitu:

1) Memahami peran, tanggung jawab dan kompetensi profesi lain dengan jelas
2) Bekerja dengan profesi lain untuk memecahkan konflik dalam memutuskan

perawatan dan pengobatan pasien

3) Bekerja dengan profesi lain untuk mengkaji, merencanakan, dan memantau

perawatan pasien

4) Menoleransi perbedaan, kesalahpahaman dan kekurangan profesi lain

5) Memasuki hubungan saling tergantung dengan profesi kesehatan lain.

2.1.2 Interprofessional Communication

A. Definisi Komunikasi Interprofesi

Komunikasi atau communication menurut bahasa inggris adalah bertukar pikiran,

opini, informasi melalui perkataan, tulisan ataupun tanda-tanda. Komunikasi interprofesi

adalah bentuk interaksi untuk bertukar pikiran, opini dan informasi yang melibatkan dua

profesi atau lebih dalam upaya untuk menjalin kolaborasi interprofesi.

B. Manfaat Komunikasi Interprofesi

Komunikasi interprofesi yang sehat menimbulkan terjadinya pemecahan masalah,

berbagai ide, dan pengambilan keputusan bersama (Potter & Perry, 2005). Bila komunikasi

tidak efektif terjadi di antara profesi kesehatan, keselamatan pasien menjadi taruhannya.

Beberapa alasan yang dapat terjadi yaitu kurangnya informasi yang kritis, salah

mempersepsikan informasi, perintah yang tidak jelas melalui telepon, dan melewatkan

perubahan status atau informasi.


C. Faktor Yang Mempengaruhi Komunikasi Interprofesi

Keefektifan komunikasi interprofesi dipengaruhi oleh :

a) Persepsi yaitu suatu pandangan pribadi atas hal-hal yang telah terjadi. Persepsi

terbentuk apa yang diharapkan dan pengalaman. Perbedaan persepsi antar profesi

yang berinteraksi akan menimbulkan kendala dalam komunikasi.

b) Lingkungan yang nyaman membuat seseorang cenderung dapat berkomunikasi

dengan baik. Kebisingan dan kurangnya kebebasan seseorang dapat membuat

kebingunan, ketegangan atau ketidaknyamanan.

c) Pengetahuan yaitu suatu wawasan akan suatu hal. Komunikasi interprofesi dapat

menjadi sulit ketika lawan bicara kita memiliki tingkat pengetahuan yang berbeda.

Keadaan seperti ini akan menimbulkan feedback negatif, yaitu pesan menjadi akan

tidak jelas jika kata-kata yang digunakan tidak dikenal oleh pendengar.

2.2 Problem Solving Cycle (Siklus Solusi Masalah)

2.2.1 Defenisi

Problem solving cycle (siklus solusi masalah) adalah proses mental yang melibatkan

penemuan masalah, analisis dan pemecahan masalah. Tujuan utama dari pemecahan masalah

adalah untuk mengatasi kendala dan mencari solusi yang terbaik dalam menyelesaikan

masalah (Reed, 2000).

Problem Solving merupakan gabungan dari alat, keterampilan dan proses. Disebut alat

karena dapat membantu dalam memecahkan masalah mendesak atau untuk mencapai tujuan,

disebut skills karena sekali mempelajarinya maka dapat menggunakannya berulang kali,

disebut proses karena melibatkan sejumlah langkah.

Problem solving cycle merupakan proses yang terdiri dari langkah – langkah

berkesinambunganyang terdiri dari analisa situasi, perumusan masalah secara spesifik,


penentuan prioritas masalah, penentuan tujuan, memilih alternatif terbaik, menguraikan

alternatif terbaik menjadi rencana operasional dan melaksanakan rencana kegiatan serta

mengevaluasi hasil kegiatan

Langkah-langkah dalam problem solving cycle ini yaitu :

1. Analisis situasi

2. Identifikasi masalah

3. Prioritas masalah

4. Alternatif solusi

5. Pelaksanaan solusi terpilih

6. Evaluasi solusi yang dilaksanakan

1. Analisis Situasi

Tujuan analisis situasi

 Memahami masalah kesehatan secara jelas dan spesifik

 Mempermudah penentuan prioritas

 Mempermudah penentuan alternative pemecahan masalah

Analisis situasi meliputi analisis masalah kesehatan dan faktor-faktor yang

mempengaruhi masalah kesehatan tersebut .

2. Identifikasi Masalah

Masalah merupakan kesenjangan (gap) antara harapan dengan kenyataan. Cara

perumusan masalah yang baik adalah kalau rumusan tersebut jelas menyatakan adanya

kesenjangan. Kesenjangan tersebut dikemukakan secara kualitatif dan dapat pula secara

kuantitatif
Penentuan masalah dapat dengan cara membandingkan dengan yang lain, memonitor

tanda-tanda kelemahan, membandingkan capaian saat ini dengan tujuan atau dengan capaian

sebelumnya, Checklist, brainstorming dan dengan membuat daftar keluhan.

3. Penentuan Prioritas Masalah

Penentuan prioritas masalah kesehatan adalah suatu proses yang dilakukan oleh

sekelompok orang dengan menggunakan metode tertentu untuk menentukan urutan masalah

dari yang paling penting sampai yang kurang penting.

Langkah penentuan prioritas masalah terdiri dari :

 Menetapkan kriteria

 Memberikan bobot masalah

 Menentukan skoring setiap masalah

4. Alternatif Solusi

Alternatif solusi dapat diketahui dengan metode brainstorming. Brainstorming

merupakan teknik mengembangkan ide dalam waktu yang singkat yang digunakan untuk

mengenali adanya masalah, baik yang telah terjadi maupun yang potensial terjadi, menyusun

daftar masalah, menyusun alternatif pemecahan masalah, menetapkan kriteria untuk

monitoring, mengembangkan kreativitas, dan menggambarkan aspek-aspek yang perlu

dianalisis dari suatu pokok bahasan.

5. Pelaksanaan Solusi Terpilih

Solusi yang paling tepat dapat dipilih dengan menggunakan 2 cara yaitu teknik

skoring dan non skoring. Pada teknik skoring dilakukan dengan memberikan nilai (skor)
terhadap beberapa alternatif solusi yang menggunakan ukuran (parameter). Pada teknik

non scoring alternative solusi didapatkan melalui diskusi kelompok sehingga teknik ini

disebut juga nominal group technique (NGT).

SKORING

Masing-masing ukuran tersebut diberi nilai berdasarkan justifikasi kita, bila alternative

solusi tersebut realistis diberi nilai 5 paling tinggi dan bila sangat kecil diberi nilai 1.

Kemudian nilai-nilai tersebut dijumlahkan. Alternatif solusi yang memperoleh nilai

tertinggi (terbesar) adalah yang diprioritaskan, masalah yang memperoleh nilai terbesar

kedua memperoleh prioritas kedua dan selanjutnya.

NON SKORING

Memilih prioritas masalah dengan mempergunakan berbagai parameter, dilakukan bila

tersedia data yang lengkap. Bila tidak tersedia data, maka cara menetapkan prioritas

masalah yang lazim digunakan adalah tekhnik non skoring.

Langkah-langkah implementasi solusi

 Menyusun POA (Plan of Action)

 Efektifitas

 Efisiensi

 Produktifitas

6. Evaluasi Solusi Yang Dilaksanakan

 Hasil yang dicapai sesuai dengan rencana (masalah terpecahkan)

 Terdapat kesenjangan antara berbagai ketetapan dalam rencana dengan

hasil yang dicapai (tidak seluruh masalah teratasi)


 Hasil yang dicapai lebih dari yang direncanakan (masalah lain ikut

terpecahkan)

2.3 Konsep Stunting

2.3.1Pengertian Stunting

Stunting (kerdil) adalah kondisi dimana balita memiliki panjang atau tinggi badan

yang kurang jika dibandingkan dengan umur. Kondisi ini diukur dengan panjang atau tinggi

badan yang lebih dari minus dua standar deviasi median standar pertumbuhan anak dari

WHO. Stunting disebabkan oleh asupan gizi yang kurang dalam waktu cukup lama akibat

pemberian makanan yang tidak sesuai dengan kebutuhan gizi. Stunting dapat terjadi mulai

janin masih dalam kandungan dan baru nampak saat anak berusia dua tahun. (Kemenkes

RI,2018) Stunting yang telah tejadi bila tidak diimbangi dengan catch-up growth (tumbuh

kejar) mengakibatkan menurunnya pertumbuhan, masalah stunting merupakan masalah

kesehatan masyarakat yang berhubungan dengan meningkatnya risiko kesakitan, kematian

dan hambatan pada pertumbuhan baik motorik maupun mental. Stunting dibentuk oleh

growth faltering dan catcth up growth yang tidak memadai yang mencerminkan ketidak

mampuan untuk mencapai pertumbuhan optimal, hal tersebut mengungkapkan bahwa

kelompok balita yang lahir dengan berat badan normal dapat mengalami stunting bila

pemenuhan kebutuhan selanjutnya tidak terpenuhi dengan baik.

2.3.2 Penyebab Stunting

Faktor gizi ibu sebelum dan selama masa kehamilan merupakan penyebab tidak

langsung yang memberikan konstribusi terhadap pertumbuhan dan perkembangan janin.

Ibu hamil dengan gizi kurang akan menyebabkan janin mengalami intrauetrin growth

retardation (IGR), sehingga bayi akan lahir dengan kurang gizi, dan mengalami

gangguan pertumbuhan dan perkembangan. Anak-anak yang mengalami hambatan dalam


pertumbuhan disebabkan kurangnya asupan makanan yang memadai dan penytakit

infeksi yang berulang, dan meningkatnya kebutuhan metabolik serta mengurangi nafsu

makan, sehingga meningkatnya kurang gizi pada anak. Keadaan ini semakin mempersulit

untuk mengatasi gangguan pertumbuhan yang akhirnya berpeluang terjadinya stunting

(Allen dan Gillespi, 2011)

Stunting tidak hanya disebabkan oleh satu faktor yang sudah dijelaskan diatas, tetapi

disebabkan oleh banyak faktor, dimana faktor-faktor tersebut saling berhubungan satu

sama lainnya. Menurut Soetjiningsih (2013) Terdapat beberapa faktor penyebab stunting

yaitu sebagai berikut:

1. Faktor biologis:

a. Ras/Suku

b. Jenis kelamin

c. Status gizi

d. Kerentanan teerhadap penyakit

2. Faktor lingkungan fisik:

a. Keadaan geografis

b. Sanitasi

c. Keadaan rumah

d. Radiasi

3. Faktor keluarga:

a. Pendapatan keluarga

b. Pendidikan ibu

c. Pola pengasuhan
d. Adat istiadat, norma dan tabu.

2.3.3 Klasifikasi stunting

Stunting didefinisikan sebagai kondisi balita, dimana tinggi badan menurut umur berada

di bawah minus 2 Standar Deviasi (<-2SD) dari standar median WHO. Penilaian status gizi

balita yang paling sering dilakukan adalah dengan cara penilaian antropometri. Secara umum

antropometri berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi

tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi. Antropometri digunakan untuk melihat

ketidak seimbangan asupan protein dan energi. Beberapa indeks antropometri yang sering

digunakan adalah berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U),

berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) yang dinyatakan dengan standar deviasi unit Z

(Z- score) dimana hasil pengukuran antropometri menunjukkan Z-score kurang dari -2SD

sampai dengan -3SD (pendek/stunted) dan kurang dari -3SD (sangat pendek / stunted)

(Kemenkes RI, 2018).

Stunting dapat diketahui bila seorang balita sudah ditimbang berat badannya dan diukur

panjang atau tinggi badannya, lalu dibandingkan dengan standar, dan hasilnya berada

dibawah normal. Jadi secara fisik balita akan lebih pendek 9 dibandingkan balita seumurnya.

Penghitungan ini menggunakan standar Z score dari WHO. Normal, pendek dan Sangat

Pendek adalah status gizi yang didasarkan pada indeks Panjang Badan menurut Umur (PB/U)

atau Tinggi Badan menurut Umur (TB/U) yang merupakan padanan istilah stunted (pendek)

dan severely stunted (sangat pendek) .

2.3.4 Penilaian Status Gizi

1. Pemeriksaan antropometri stunting


Antropometri berasal dari kata “anthropos” (tubuh) dan “metros” (ukuran) sehingga

antropometri secara umum artinya ukuran tubuh manusia. Ditinjau dari sudut pandang gizi,

maka antropometri gizi adalah berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi

tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan gizi.

Dimensi tubuh yang diukur, antara lain: umur, berat badan, tinggi badan, lingkar lengan atas,

lingkar kepala, lingkar dada, lingkar pinggul dan tebal lemak di bawah kulit. Perubahan

dimensi tubuh dapat menggambarkan keadaan kesehatan dan kesejahteraan secara umum

individu maupun populasi. Dimensi tubuh yang dibutuhkan pada penelitian ini yaitu umur

dan tinggi badan, guna memperoleh indeks antropometri tinggi badan berdasar umur (TB/U).

a. Pengukuran antropometri pada balita

Indikator pengukuran antropometri digunakan sebagai kriteria utama untuk menilai

kecukupanasupan gizi dan pertumbuhan balita.

b. Parameter antropometri

Parameter antropometri merupakan dasar penilaian status gizi.

Indeks antropometri untuk balita:

1) Indeks berat badan menurut umur (BB/U). Berat badan adalah parameter yang

memberikan gambaran massa tubuh. Massa tubuh yang sangat sensitif teerhadap

perubahan perubahan yang mendadak, misal karna terserang penyakit infeksi

menurut nafsu makan atau menurunnya jumlah makanan yang dikonsumsi. Dalam

keadaan normal dimana keadaaan kesehatan baik dan seimbang anatara konsumsi

dan kebutuhan gizi terjamin, maka berat badan berkembang mengikuti pertambahan

umur. Sebaliknya dalam keadaan abnormal, terdapat 2 kemungkinan perkembangan

berat badan yaitu dapat berkembang cepat atau lebih lambat dalam keadaan normal

(Supriasa, 2012). Indikator BB/U memberikan indikator masalah gizi secara UMUM.
Indikator ini tidak memberikan indikasi tentang masalah gizi yang sifatnya kronis

ataupun akut karena berat badan berkolerasi positi dengan umur dan tinggi badan,

dengan kata lain, berat badan rendah dapat disebabkan karena anaknya pendek

(kronis) atau karena diare atau penyakit infeksi lainnya (akut) (Kemenkes RI,2010).

2) Tinggi badan menurut umur (TB/U)

Tinggi badan merupakan antropometri yang menggambarkan keadaan pertumbuhan

skeletal. Pada keadaan normal, tinggi badan tumbuh seiring dengan pertambahan

umur. Pertumbuhan tinggi badan tak seperti bebart badan relati kurang sensitif

terhadap masalah kurang gizi dalam waktu pendek. Pengaruh defisiensi terhadap

tinggi badan akan nampak dalam waktu yang relati lama. Indikator TB/U

memberikan indikasi masalah gizi yang kronis sebagai akibat dari keadaan yang

berlangsung lama, misal : kemiskinan, perilaku hidup sehat dan pola asuh /

pemberian makan yang kurang baik dari sejak anak dilahirkan yang mengakibatkan

anak menjadi pendek (Kemenkes,2010).

3) Berat badan menurut tinggi badan BB/TB

Berat badan memiliki hubungan yang linier dengan tinggi badan. Dalam keadaan

normal, perkembangan berat badan akan searah dengan perkembangan tinggi badan

dengan kecepatan tertentu. Indeks BB/TB merupakan indikator yang baik untuk

menilai status gizi saat ini, (Supriasa,2012) dari berbagai jenis indeks tersebut, untuk

menginterpretasikan dibutuhkan ambang batas, penentuan ambang batas diperlukan

kesepakatan antar ahli gizi. Indikator BB/TB dan IMT/U merupakan indikasi masalah

gizi yang sifatnya akut sebagai akibat dari peristiwa yang terjadi dalam waktu yang

tidak lama (singkat ) misal : terjadi wabah penyakit dan kekurangan makan

(kelaparan) yang mengakibatkan anak menjadi kurus. Disamping untuk identifikasi

masalah kekurusan dan indikator BB/TB dan IMT/U dapat juga meberikan
identifikasi masalah kegemukan. Masalah kekurusan dan kegemukan pada usia dini

dapat berakibat pada rentannya terhadap berbagai penyakit degenerati pada usia

dewasa (Kemenkes, 2010).

4) Lingkar lengan atas menurut umur (LILA/U)

Menurut data baku WHO-NCHS indeks BB/U, TB/U dan BB/TB disajikan dalam

dua versi yakni persentil (persentile) dan skor simpang baku (standart deviation score

= Z ). Anak-anak di negaranegara yang populasinya relatif baik (Well-nourished)

sebaikna digunakan “persentil” , sedangkan dinegara untuk anak-anak yang

populasinya kurang (under nourished) lebih baik menggunakan skor simpang baku

(SSB) sebagai persen terhadap media baku rujukan. Pengukuran Skor Timbang Baku

Skor (Z-Score) dapat diperoleh dengan mengurangi Nilai Individual Subjek (NIS)

dengan Nilai Median Baku Rujukan (NMBR) pada umur yang bersangkutan, hasil

dibagi dengan Nilai Simpang Baku Rujukan (NSBR) atau dengan menggunakan

rumus:

Z-Score = (NIS-NMBR) / NSBR

2.3.5 Faktor Resiko Terjadinya Stunting

a. Faktor genetik

Soetjiningsih (2013) Faktor genetik merupakan modal dasar dan mempunyai peran

utama dalam mencapai hasil akhir dari proses tumbuh kembang anak. Melalui instruksi

genetik yang terkandung di dalam sel telur yang telah dibuahi, dapat ditetukan kualitas dan

kuantitas pertumbuhan. Pertumbuhan ditandai oleh intensitas dan kecepatan pembelahan,

derajat sensitivitas jaringan terhadap rangsangan, umur pubertas dan berhentinya pertumbuan

tulang. Yang termasuk faktor genetik antara lain adalah berbagai faktor bawaan yang normal

dan patologik, jenis kelamin, suku bangsa atau bangsa. Potensi genetik yang baik, bila

berinteraksi dengan lingkungan yang positif akan membuahkan hasil akhir yang optimal.
Gangguan pertumbuhan di Negara maju lebih sering disebabkan oleh faktor genetik ini.

Sementara itu, di Negara berkembang gangguan pertumbuhan selain disebabkan oleh faktor

genetik tapi juga bisa disebabkan oleh faktor lingkungan yang kurang kondusif untuk tumbuh

kembang anak.

b. Kerentanan terhadap penyakit

Soetjiningsih (2013) perawatan kesehatan yang teratur tidak saja dilaksanakan ketika

anak sakit, melainkan juga mencakup pemeriksaan kesehatan imunisasi, skrining dan deteksi

dini gangguan tumbuh kembang anak secara rutin setiap bulan. Pemanfaatan fasilitas

pelayanan kesehatan dianjurkan secara komprehensif yang mencakup aspek-aspek promotif,

preventif, kuratif dan rehabilitatif. Hal ini sangat berpengaruh pada anak balita yang rentan

terhadap penyakit dimana kesehatan anak harus dipantau secara berkala oleh petugas

kesehatan desa. Begitupun dengan orang tua balita harus pintar memanfaatkan fasilitas yang

sudah disediakan agar kesehatan balita terpantau penuh oleh keluarga ataupun tim medis.

Balita sangat rentan terhadap penyakit, sehingga angka kematian balita juga tinggi terutama

kematian bayi. Kerentanan terhadap penyakit dapat dikurangi antara lain dengan memberikan

gizi yang baik termasuk ASI (air susu ibu), meningkatkan sanitasi dn memberikan imunisasi.

Diharapkan anak terhindar dari penyakit yang sering meyebabkan cacat atau kematian. Setiap

anak sebaiknya mendapatkan imunisasi terhadap berbagai penyakit yaitu TB, Polio, DPT

(Dipteri, Pertusis,Tetanus), Hepatitis B, Campak, MMR (meales, mumpi, rubella), HIB

( hemopilis influenza B), Hepatitis A, Demam tifoid, Varisela, IPD (Invasive pneumococcal

desease), Virus influenza, HPV (human papiloma virus), Rotavirus dan sebagainya.

c. Status gizi

Makanan memegang peran penting dalam tumbuh kembang anak. Kebutuhan anak

berbeda dengan orang dewasa, karena makanan bagi anak, seelain untuk aktivitasnya juga
untuk proses pertumbuhannya. Ketahanan makanan (food security) keluarga juga

mempengaruhi status gizi anak. Ketahan makanan mencakup ketersediaan dan pembagian

makanan yang adil dalam keluarga, walaupun bisa terjadi kepentingan budaya bertabrakan

dengan kepentingan biologis anggota keluarga (Soetjininsih, 2013).

Masalah kurang gizi sampai saat ini terutama diderita oleh anak-anak. Anak-anak yang

kekurangan gizi akan mengalami gangguan pertumbuhan fisik, mental dan intelektual yang

pada akhirnya akan menyebabkan tingginya angka kematian dan kesakitan serta

berkurangnya potensi belajar (Furkon, et al., 2013).

d. Pendapatan keluarga

Pendapatan keluarga yang memadai akan menunjang tumbuh kembang anak, karena

orang tua dapat menyediakan semua kebutuhan dasar anak (Soetjiningsih, 2013). Menurut

Biswakarma (2011), keluarga dengan pendapatan yang baik akan dapat memperoleh

pelayanan umum yang lebih baik seperti, pendidikan, pelayan kesehatan, akses jalan dan

lainnya sehingga dapat mempengaruhi status gizi anak. Selain itu, daya beli keluarga akan

semakin meningkat sehingga akses keluarga terhadap pangan akan menjadi lebih baik. Dari

hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Kusuma (2013) menunjukkan bahwa pendapatan

keluarga yang rendah memiliki faktor risiko stunting 4.13 kali lebih besar dibandingkan

dengan anak dalam keluarga berpendapatan tinggi.

e. Pendidikan Ibu

Pendidikan orang tua merupakan salah satu faktor yang penting untuk tumbuh kembang

anak. pendidikan yang baik, orang tua dapat menerima segala informasi dari luar terutama

tentang cara pengasuhan anak yang baik, bagaimana menjaga kesehatan anak, medidik dan

sebagainya (Soetjiningsih, 2013). Orang tua terutama ibu yang mendapatkan pendidikan lebih
tinggi dapat melakukan perawatan anak dengan lebih baik dari pada orang tua dengan

pendidikan rendah. Tingkat pendidikan ibu turut menetukan mudah tidaknya seorang ibu

dalam menyerap dan memahami pengetahuan gizi yang didapatkan, pendidikan diperlukan

seseorang terutama ibu lebih tanggap terhadap adanya masalah gizi didalam keluarga dan

diharapkan bisa mengambil tindakan yang tepat sesegera mungkin (Suhardjo, 2003). Hal ini

sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Nasikhah dan Margawati (2012) di

semarang timur yang menyatakan bahwa pengetahuan ibu merupakan faktor resiko kejadian

stunting pada anak balita.

Anda mungkin juga menyukai