Anda di halaman 1dari 6

HambatanKolaborasiAntarprofesi di RumahSakit

NadilaMaha/181101098

cristinnadila09@gmail.com

Abstrak

Terjadinya peningkatan peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan kelompok usia lanjut
menyebabkan meningkatkannya jumlah peserta BPJS yang memiliki risiko penyakit kronis. Pengobatan
penyakit kronis yang dilakukan seumur hidup berdampak pada peningkatan biaya kesehatan, sehingga
dibutuhkan program untuk meningkatkan efisiensi biaya kesehatan Progam rujuk balik BPJS sebagai
salah satu upaya perwujudannya.Fungsi kolaborasi antar profesi yang efektif dipengaruhi oleh faktor
anteseden, proses dan hasil. Faktor-faktor tersebut merupakan sesuatu yang dapat meningkatkan maupun
menghambat proses kolaborasi antar profesi. Faktor anteseden meliputi pertimbangan sosial dan
intrapersonal, lingkungan fisik, serta faktor organisasional dan institusional. Dasar pertimbangan sosial
berawal dari kesadaran bahwa seseorang harus membentuk suatu kelompok agar dapat bekerja secara
efektif dan efisien. Pertimbangan intrapersonal juga merupakan komponen penting dalam menciptakan
kolaborasi yang baik. Lingkungan kerja dan kedekatan diantara para profesional dapat memfasilitasi atau
menghambat kolaborasi. Lingkungan kerja yang baik harus dapat mendukung kemampuan anggota tim
kolaborasi. Institusi dan kelembagaan sangat berperan dalam mengurangi hambatan untuk kolaborasi
antara profesi. Kebijakan yang diterapkan oleh suatu institusi atau kelembagaan harus dapat mendorong
terciptanya kolaborasi antar profesi.

Kata Kunci : Kolaborasi, Hambatan, Perawat


Pendahuluan

1.1 Latar Belakang


Kolaborasi adalah hubungan timbal balik dimana pemberi pelayanan memegang
tanggung jawab paling besar untuk perawatan pasien dalam kerangka kerja bidang respektif
mereka. Praktik keperawatan kolaboratif menekankan tanggung jawab bersama dalam
manajemen perawatan pasien, dengan proses pembuatan keputusan bilateral didasarkan pada
masing-masing pendidikan dan kemampuan praktisi (Siegler & Whitney, 2000). Baily & Synder,
(1995) menyatakan kolaborasi sebagai hubungan kemitraan yang bergantung satu sama lain dan
memerlukan perawat, dokter dengan profesi lain untuk melengkapi satu sama lain ahli-ahli
berperan secara hirarki (Kemenkes RI, 2012). Kolaborasi adalah suatu hubungan yang kolegial
dengan pemberi perawatan kesehatan lain dalam pemberian perawatan pasien. Praktik
kolaboratif membutuhkan atau dapat mencakup diskusi diagnosis pasien dan kerjasama dalam
penatalaksanaan dan pemberian perawatan (Blais, 2006). Kolaborasi menurut Asosiasi Perawat
Amerika (ANA, 1992), adalah hubungan kerja diantara tenaga kesehatan dalam memberikan
pelayanan kepada klien. Kegiatan yang dilakukan meliputi diskusi tentang diagnosa, kerjasama
dalam asuhan kesehatan saling berkonsultasi atau komunikasi serta masingmasing bertanggung
jawab pada kepercayaannya (Sumijatun, 2010). Defenisi kolaborasi dapat disimpulkan yaitu
hubungan kerja sama antara perawat dan dokter dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada
klien yang didasarkan pada pendidikan dan kemampuan praktisi yang memiliki tanggung jawab
dalam pelayanan kesehatan khususnya pelayanan keperawatan.

Tujuan
Kolaborasi adalah suatu hubungan yang kolegial dengan pemberi perawatan kesehatan
lain dalam pemberian perawatan pasien. Praktik kolaboratif membutuhkan atau dapat mencakup
diskusi diagnosis pasien dan kerjasama dalam penatalaksanaan dan pemberian perawatan

METODE
Metode yang digunakan dalam pengkajian ini adalah analisis dan perbandingan terhadap
beberapa jurnal .Dalam melakukanan alisisini didapatkan sebuah hasil bahwa dalam melakukan
asuhan keperawatan haruslah sesuai dengan standar keselamatan pasien,serta dapat berpikir
kritis.

Hasil dan Pembahasan


Thomas Leech, menyatakan bahwa untuk membangun komunikasi yang efektif, harus
menguasai empat keterampilan dasar dalam komunikasi, yaitu: membaca, menulis, mendengar
dan berbicara (Nurhasanah, 2010). Komunikasi yang efektif dalam kolaborasi penting untuk
memecahkan masalah komlpeks. Komuniksai efektif dapat terjadi hanya apabila kelompok yang
terlibat berkomitmen untuk saling memahami peran professionalnya dan saling menghargai
sebagai individu. Selain itu, mereka harus sensitif terhadap perbedaan antara gaya komunikasi.
Universitas Sumatera Utara Teori Norton mengenai gaya komunikator mendefinisikan gaya
sebagai cara seseorang berkomuniksai dan mencakup cara seseorang berinteraksi. Tiga dari gaya
komunikator ini (dominan, suka berdebat, dan penuh perhatian) telah digunakan dalam studi
keperawatan mengenai gaya kolaborasi kerena gaya komunikator berhubungan dengan tingkat
kolaborasi dan peningkatan kualitas keperawatan. Menggunakan gaya komunikasi penuh
perhatian dan menghindari gaya suka berdebat dan gaya dominan membuat perbedaan yang
signifikan dalam kolaborasi perawat-dokter, hasil akhir pasien positif dan kepuasan perawat
(Blais, 2006). Saling menghargai terjadi saat dua orang atau lebih menunjukkan atau merasa
terhormat atau berharga terhadap satu sama lain. Dan rasa percaya terjadi saat seseorang percaya
terhadap tindakan orang lain. Saling menghargai maupun rasa percaya menyiratkan suatu proses
dan hasil yang dilaku 5. Sebagai advokasi evaluasi kritis kritis penampilan kerja diantara anggota
tim. 6. Mempermudah pengambilan keputusan bersama. 7. Meningkatkan tanggung jawab dan
tanggung gugat dalam bekerja. Salah satu yang dihadapi para professional adalah memberi dan
menerima umpan balik pada saat yang tepat, relevan, dan membantu untuk dan dari satu sama
lain, dan klien mereka. Umpan balik dapat dipengaruhi oleh persepsi, ruang personal, peran,
hubungan, harga diri, percaya diri, keyakinan, emosi, lingkungan, dan waktu dari masing-masing
orang. Umpan balik yang positif dicirikan dengan gaya komunikasi yang hangat, perhatian, dan
penuh penghargaan. Tinjauan mengenai keterampilan komunikasi dasar, dan kesempatan untuk
praktik mendengarkan serta memberi dan menerima umpan balik dapat meningkatkan
kemampuan professional, agar dapat melakukan komunikasi dengan efektif. Memberi dan
menerima umpan balik, membantu individu mendapatkan kesadaran sendiri, membantu tim
kolaboratif untuk membangun pemahaman dan hubungan kerja yang efektif. Proses pengambilan
keputusan ditingkat tim mencakup pembagian tanggung jawab untuk hasil. Jelasnya, untuk
menciptakan suatu solusi, tim tersebut harus mengikuti tiap langkah proses pengambilan
keputusan yang dimulai dengan defenisi masalah yang jelas. Universitas Sumatera Utara Aspek
penting dalam pengambilan keputusan adalah tim, antardisiplin yang berfokus pada kebutuhan
prioritas klien yang mengorganisasi intervensi berdasarkan kebutuhan tersebut. Disiplin yang
paling baik memenuhi kebutuhan klien diberikan prioritas dalam perencanaan dan bertanggung
jawab memberikan intervensinya pada waktu yang tepat. Konflik peran dapat terjadi, dalam
situasi apapun di tempat individu bekerjasama. Konflik peran muncul saat seseorang diharapkan
melaksanakan peran yang bertentangan atau tidak sesuai dengan harapan. Dalam konflik
interpersonal, orang yang berbeda memiliki harapan yang berbeda terhadap peran tertentu.
Konflik antarperan muncul saat harapan seseorang atau kelompok berbeda dari harapan orang
atau kelompok lain. Tipe manapun dari konflik ini dapat mempengaruhi kolaborasi antardisiplin.
Untuk mengurangi konflik peran, anggota tim dapat juga melaksanakan konferensi antardisiplin,
mengambil bagian dalam pendidikan antardisiplin pada program dasar, dan yang paling penting
menerima tanggung jawab personal untuk kerja tim. Kegagalan professional untuk berkolaborasi
bukanlah disengaja, tetapi lebih pada kurangnya keterampilan yang diperlukan. Penelitian yang
dilakukan Zuraidah, (2005) menunjukkan hasil penelitian didapatkan faktor-faktor yang sangat
berhubungan dengan kolaborasi perawat dokter. Proses kolaboratif dengan sifat interaksi antara
perawat dengan dokter menentukan kualitas praktik kolaborasi. ANA, 1998 dalam Siegler &
Whitney (2000) menjabarkan kolaborasi sebagai hubungan rekan yang sejati, dimana masing-
masing pihak menghargai kekuasaan pihak lain dengan mengenal dan menerima lingkup
kegiatan dan tanggung jawab masing-masing dan adanya tujuan bersama. Sifat kolaborasi
tersebut terdapat beberapa indikator yaitu kontrol kekuasaan, lingkup praktik, kepentingan
bersama dan tujuan bersama.

1. Kontrol Kekuasaan Kontrol kekuasaan dapat terbina apabila dokter dan perawat
mendapat kesempatan yang sama mendiskusikan pasien tertentu. Kemitraan terbentuk
apabila interaksi yang diawali sama banyaknya dengan yang diterima dimana terdapat
beberapa kategori antara lain: menanyakan informasi, memberikan informasi,
menanyakan dan memberi pendapat, memberi pengarahan atau perintah, pengambilan
keputusan, memberi pendidikan, memberi dukungan/persetujuan, menyatakan tidak
setuju, orientasi dan humor.
2. Lingkungan Praktik Menunjukkan kegiatan dan tanggung jawab masing-masing pihak.
Perawat dan dokter memiliki bidang praktik yang berbeda dengan peraturan
masingmasing tetapi tugas-tugas tertentu dibina yang sama. Universitas Sumatera Utara
3. Kepentingan Bersama Kepentingan bersama merupakan tingkat ketegasan masing-
masing (usaha untuk memuaskan kepentingan sendiri) dan faktor kerjasama (usaha untuk
memuaskan pihak lain).
4. Tujuan Bersama Tujuan bersama pada proses ini bersifat lebih terorientasi pada pasien
dan dapat membantu menentukan bidang tanggung jawab yang berkaitan dengan
prognosis pasien.

Kesimpulan

Gambaran penting untuk kolaborasi mencakup, keterampilan komunikasi yang efektif,


saling menghargai, rasa percaya, memberi dan menerima umpan balik, pengambilan
keputusan, dan manajemen konflik (Blais, 2006). 2.1.4.1 Keterampilan Komunikasi Yang
Efektif Komunikasi sangat penting dalam meningkatkan kolaborasi karena memfasilitasi
berbagai pengertian individu (Kemenkes, 2012). Chittiy, 2001 dalam Marquis (2010)
mendefenisikan komunikasi adalah sebagai pertukaran kompleks antara pikiran, gagasan,
atau informasi, pada dua level verbal dan nonverbal. Komunikasi yang efektif adalah
kemampuan dalam menyampaikan pesan dan informasi dengan baik, menjadi pendengar
yang baik dan keterampilan menggunakan berbagai media.
Daftar pustaka
Athiyah, U., E. Riskayanti, F. D. Rakhmawati, G. Nugraheni dan Y. Nita, 2014, Profil
Informasi Obat pada Pelayanan Resep Metformin dan Glibenklamid di Apotek di
Wilayah Surabaya, Jurnal Farmasi Komunitas Vol. 1, No. 1 : 5-10.
Arikunto, S., 2010, Manajemen Penelitian, Jakarta: Rineka Cipta. Anjaryani, W. D.,
2009, Kepuasan Pasien Rawat Inap terhadap Pelayanan Perawat Di RSUD Tugurejo
Semarang (Tesis), Semarang, Universitas Diponegoro. 111 hal.
Azwar, A., 2003, Menjaga Mutu pelayanan Kesehatan, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan.
Dewi, A. U., 2015, Hubungan Waktu Tunggu Pendaftaran Dengan Kepuasan Pasien Di
Tempat Pendaftarn Pasien Rawat Jalan RSUD Sukoharjo, hal. 1- 9,
http://eprints.ums.ac.id/36185/1/02%20NASKAH%20PUBLIKASI.pdf. (diakses 19
Oktober 2017).
Davit, T. Hariyanti dan E. Widayanti, 2014, Hubungan Keterlambatan Kedatangan
Dokter Terhadap Kepuasan Pasien di Instalasi Rawat Jalan di RS Muhammadyah Ahmad
dahlan Kediri, Jurnal Kedokteran Brawijaya, Vol. 28, No. 1 : 31-35.
Farizaan, A. dan R. Miharti, 2016, Kepuasan Perawat Bagian Poliklinik Terhadap
Pelayanan Rekam Medis Rawat Jalan di Rumah Sakit Tk.II 04.05.01 Dr. Soedjono
Magelang, JkesVo (Jurnal Kesehatan Vokasional) Vol. 1 No. 02. hal 1-8.
Fitriah, N., F. N. Ika dan S. Wiyanto, 2016, Penyebab dan Solusi Lama Waktu Tunggu
Pelayanan Obat di Instalasi Farmasi Rawat Jalan Rumah Sakit, Jurnal Kedokteran
Brawijaya Vol. 29, No. 3 : 245-251.
Fitriani, S. dan R. Trisnawati, 2015, Pengaruh Kualitas Pelayanan terhadap Loyalitas
melalui Kepuasan Pasien Pengguna BPJS di Rawat Inap RSUD Dr. Moewardi, Jurnal
Ekonomi Manajemen Sumber Daya Vol. 17, No. 1 : 46-53.
Fitrialny, R. dan Ardoni, 2013, Program Database Elektronik Rekam Medis Pasien di
Puskesmas Kapau Kecamatan Tilatang Kamang, Kabupaten Agam, Jurnal Ilmu Informasi
Perpustakaan dan Kearsipan, Vol. 2 No. l. : 259-266.
Irawan, H., 2009, 10 Prinsip Kepuasan pelanggan, Jakarta : Gramedia. Jacobalis, S.,
2000, Kumpulan Tulisan Terpilih Rumah Sakit Indonesia dalam dinamika Sejarah,
Transformasi, Globalisasi, dan krisis Nasional, Jakarta : Yayasan Penerbit IDI.
Komisi Akreditasi Rumah Sakit, 2017, Standar Nasional Akreditasi Rumah Sakit
(SNARS) edisi 1, Jakarta : KARS. Keputusan Menteri Kesehatan No. 129/Menkes/SK/II
tahun 2008, Tentang Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit, Jakarta. 55 hal.
Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1165/MENKES/SK/X/ Tahun 2007, tentang Pola
tarif Rumah Sakit Badan Layanan Umum : Jakarta. 12 hal.
Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1027/MENKES/SK/IX/ Tahun 2004, tentang
Standar Pelayanan Kefarmasian: Jakarta. 12 hal.
Mumu, L. J., G. D. Kandou dan D. V. Doda, 2015, Analisis Faktor-Faktor Yang
Berhubungan Dengan Kepuasan Pasien di Poliklinik Penyakit Dalam RSUP Prof. Dr.
R.D. Kandou Manado. 8 hal.
https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/jikmu/article/view/7460. (diakses 5 Januari 2018).
Muninjaya, A.A.G., 2012, Manajemen Mutu Pelayanan Kesehatan, Jakarta : EGC.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 34 tahun 2017, tentang Akreditasi
Rumah sakit, Jakarta : Kemenkes RI.
R.H Simamora (2019). Buku Ajar Pelaksanaan Identifikasi Pasien. Uwais Inspirasi
Indonesia
R.H Simamora. (2019). The Influence of Training Handover based SBAR
Communication for Improving Patients Safety. Indian Journal of Public Health Research
& Development
R. H Simamora. (2019). Documentation of patient Identification Into the Electronic
System to Improve the Quality of Nurshing Services. International Journal of Scientific
& Technology Research.

Anda mungkin juga menyukai