OLEH KELOMPOK 3
JURI (122020030227)
JUNATIN (122020030232)
KATA PENGANTAR
Membangun jaringan atau kolaborasi antara organisasi kesehatan adalah hubungan kerja
diantara tenaga kesehatan dalam memberikan pelayanan kepada pasien atau klien dalam
melakukan diskusi tentang diagnosa, melakukan kerjasama dalam asuhan kesehatan, saling
berkonsultasi atau komunikasi serta masing-masing bertanggung jawab pada pekerjaannya.
Apapun bentuk dan tempatnya, kolaborasi meliputi suatu pertukaran pandangan atau ide yang
memberikan perspektif kepada seluruh jaringan organisasi kesehatan. Kolaborasi tidak bisa
terbentuk dengan sendirinya dalam sebuah organisasi. Maka dari itu Dibutuhkan faktor-faktor
tertentu untuk memunculkannya. Walaupun pada kenyataanya masih sangat sulit dan merupakan
tantangan tersendiri untuk Karena setiap profesi dalam sebuah tim memiliki standar dan budaya
profesional tersendiri. Kolaborasi yang efektif mencakup penerapan strategi dimana setiap
profesi yang berbeda budayanya berkerja sama dalam satu tim untuk mencapai tujuan yang sama
dalam menerapkan keselamatan pasien.
BAB I
PENAHULUAN
Sistem pelayanan kesehatan saat ini, mengutamakan pelayanan yang berpusat pada
pasien dan keluarga untuk memberikan pelayanan yang berkualitas, kepuasan pasien, dan
terhindar dari kejadian yang tidak diharapkan. Kolaborasi yang efektif antar anggota tim
kesehatan memfasilitasi terselenggaranya pelayanan yang berkualitas, dengan demikian
pengembangan kolaborasi interprofesi dalam pelayanan kesehatan menjadi hal yang
diprioritaskan oleh semua organisasi pemberi pelayanan kesehatan. Hubungan kolaborasi dalam
pelayanan kesehatan melibatkan sejumlah tenaga profesi kesehatan, namun kolaborasi antara
dokter dan perawat merupakan faktor penentu bagi peningkatan kualitas proses perawatan
(Leever,et.al 2010).
Dalam konteks kerja dan organisasi sebuah institusi kesehatan dijalankan oleh tim
multiprofesional dimana menangani berbagai macam prosedur pelayanan pasien. Dalam hal ini,
tim terdiri dari berbagai macam profesi dimana bertanggung jawab atas tugas dan kewajiban
yang berbeda pula. Etika kerja yang kolaboratif dapat menciptakan suasana damai di tempat
kerja. Aspek budaya integritas terfokus pada cara pengembangan kepribadian dalam integritas
dan etika untuk menciptakan keutuhan kualitas diri dengan karakter moral yang konsisten
terhadap kejujuran dan etika, termasuk kemampuan untuk membentengi diri dari segala macam
godaan yang berpotensi mendorong diri pada tingkah laku tidak terpuji. Kepribadian yang selalu
patuh diperlukan untuk menjalankan peraturan, kebijakan, standar, sistem, dan etika organisasi
secara profesional (Djajendra, 2012).
Kolaborasi tidak bisa terbentuk dengan sendirinya dalam sebuah organisasi. Dalam
membentuk kolaborasi Dibutuhkan faktor-faktor tertentu untuk memunculkannya. Karena setiap
profesi dalam sebuah tim memiliki standar dan budaya profesional tersendiri. Kolaborasi yang
efektif mencakup penerapan strategi dimana setiap profesi yang berbeda budayanya berkerja
sama dalam satu tim untuk mencapai tujuan yang sama. Dalam konteks kesehatan, setiap profesi
kesehatan harus terjalin dalam arahan yang sama untuk mencapai visi yang sama pula. Setiap
profesi harus mengerti peran dan tugas kerja masing-masing. Seorang pemimpin (leader) juga
sangat dibutuhkan agar sebuah tim tidak kehilangan fokus untuk mencapai tujuannya (Dalri,
2010).
1.2 TUJUAN
1.3 METODE
1.4 HASIL
PEMBAHASAN
Kolaborasi perawat dan dokter dipandang sebagai faktor penting dalam pemberian
asuhan keperawatan yang berkualitas (Nelson, King & Brodine, 2008).
Kolaborasi dapat berjalan baik jika setiap anggota saling memahami peran dan tanggung
jawab masingmasing profesi memiliki tujuan yang sama, mengakui keahlian masingmasing
profesi, saling bertukar informasi dengan terbuka, memiliki kemampuan untuk mengelola dan
melaksanakan tugas baik secara individu maupun bersama kelompok.
Terwujudnya suatu kolaborasi tergantung pada beberapa kriteria, yaitu adanya saling
percaya dan menghormati, saling memahami dan menerima keilmuan masingmasing, memiliki
citra diri positif, memiliki kematangan professional yang setara yang timbul dari pendidikan dan
pengalaman, mengakui sebagai mitra kerja bukan bawahan, keinginan untuk bernegoisasi.
Apapun bentuk dan tempatnya, kolaborasi meliputi suatu pertukaran pandangan atau ide yang
memberikan perspektif kepada seluruh kolaborator. Kolaborasi tidak dapat didefinisikan atau
dijelaskan dengan mudah. Kolaborasi adalah dimana dokter dan perawat merencanakan praktek
bersama sebagai kolega, bekerja saling ketergantungan dalam batasan- batasan lingkup praktek
mereka dengan berbagi nilai-nilai dan saling mengakui dan menghargai terhadap setiap orang
yang berkontribusi untuk merawat individu, keluarga dan masyarakat.
Pelaksanaan kolaborasi tidak hanya bermanfaat bagi pasien tetapi juga akan memberikan
kepuasan kepada tenaga kesehatan karena kolaborasi akan meningkatkan dan mengoptimalkan
peran serta aktif antara perawat dan dokter dalam pengambilan keputusan tentang pengobatan
dan perawatan berfokus pada kebutuhan pasien secara komprehensif dengan memperhatikan
kontribusi masing-masing (Herbert, 2005 & Ushiro, 2009).
Kerjasama interprofesi dokter dan perawat yang efektif memerlukan adanya pemahaman
yang benar tentang kolaborasi interprofesi dan penguasaan kompetensi adalah inti praktek
kolaborasi. Elemen dalam koloaborasi efektif meliputi saling menghargai, komunikasi, assertive,
tanggung jawab, kerjasama, tanggung jawab dan otonomi, Melalui kolaborasi efektif
perawat-dokter dalam tim,adanya pengetahuan dan skill atau keahlian dari dokter dan perawat
akan saling melengkapi. Pasien akan mendapat keuntungan dari koordinasi yang lebih baik
melalui kolaborasi interprofesi. Kerja sama tim dalam kolaborasi adalah proses yang dinamis
yang melibatkan dua atau lebih profesi kesehatan yang masing-masing memiliki pengetahuan
dan keahlian yang berbeda, membuat penilaian dan perencanaan bersama, serta mengevaluasi
bersama perawatan yang diberikan kepada pasien. Hal tersebut dapat dicapai melalui kolaborasi
yang independen, komunikasi yang terbuka, dan berbagi dalam pengambilan keputusan
(Xyrinchis& Ream, 2008 : WHO, 2010) .
PENUTUP
1.1 KESIMPULAN