Anda di halaman 1dari 6

INTERVENSI NON KLINIS

Disusun oleh:
Amalia Farhana
0603516005

FAKULTAS PSIKOLOGI DAN PENDIDIKAN


UNIVERSITAS AL-AZHAR INDONESIA
2020
IDENTITAS DIRI

Masa remaja merupakan masa kehidupan individu dimana didalamnya terjadi eksplorasi
psikologis untuk menemukan identitas diri (Indriati dkk, 2016).

Setiap orang mempunyai berbagai kebutuhan dalam hidupnya salah satu yang cukup penting
adalah „kebutuhan akan identitas‟, yaitu suatu kebutuhan untuk dapat mengatakan kepada
orang lain bahwa “saya adalah saya” bukan “saya adalah yang kamu inginkan”.

Manusia hidup tidak lepas dari berbagai macam kebutuhan, terutama kebutuhan identitas
yang oleh Fromm dimaknai sebagai kebutuhan untuk sadar dengan dirinya sendiri sebagai
sesuatu yang terpisah (Alwisol, 2008:124).

Berdasarkan identitas ini, setiap orang mempunyai derajat kesadaran diri dan pengetahuan
tentang kemampuan-kemampuannya.
Remaja membentuk identitasnya dengan menggabungkan identifikasi sebelumnya menjadi
struktur psikologis baru, lebih besar dari jumlah bagian-bagian yang membentuknya (Erikson
dalam Papalia, dkk. 2009: 66).

Identitas diri merupakan prinsip kesatuan yang membedakan diri seseorang dengan orang
lain. Individu harus memutuskan siapakah dirinya sebenarnya dan bagaimanakah peranannya
dalam kehidupan nanti (Kartono dan Gulo, 2003: 216).

Jika memahami dari pemahaman self atau jati diri seseorang, maka akan timbul pertanyaan
“siapa aku?”.
Oleh karena itu, Descartes (1596-1656) merumuskan : “aku berpikir maka aku ada”. Sang
“aku” menurut Descartes adalah sang “ aku” yang berpikir rasional (ego cogitans) dan
merupakan pusat serta esensi jiwa manusia.

Teori Erikson yang dikenal sebagai “ego psychology” menekankan pada konsep bahwa “diri
(self)” diatur oleh ego bawah sadar/unconcius ego serta mempunyai pengaruh yang besar dari
kekuatan sosial dan budaya disekitar individu.

Erikson (1968) menjelaskan identitas sebagai perasaan subjektif tentang diri yang konsisten
dan berkembang dari waktu ke waktu. Dalam berbagai tempat dan berbagai situasi sosial,
seseorang masih memiliki perasaan menjadi orang yang sama.

Tujuan utama dari seluruh perkembangan pada remaja adalah pembentukan identitas diri,
yang dimaksud dengan identitas diri adalah identitas yang melibatkan kualitas “eksistensial”
dari subyek, yaitu merupakan suatu hal yang mencirikan suatu gaya pribadi yang unik serta
khas dari individu itu sendiri. Erikson (dalam Rahma & Reza, 2013).
Menurut Marcia (1993) terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi proses pembentukan
identitas diri remaja, yaitu:
1. Tingkat identifikasi dengan orang tua sebelum dan selama masa remaja
2. Gaya pengasuhan orang tua
3. Pembentukan identitas diri remaja juga dipengaruhi oleh gaya pengasuhan yang
diterapkan oleh orang tua dan/atau pihak yang mengasuh dan merawat anak.
4. Adanya figur yang menjadi model
5. Harapan sosial mengenai pilihan
6. Tingkat keterbukaan individu terhadap berbagai alternatif identitas
7. Kepribadian pada masa preadolescent
PROBLEM SOLVING

Secara bahasa problem solving berasal dari dua kata yaitu problem dan solves. Makna bahasa
dari problem yaitu “a thing that is difficult to deal with or understand” (suatu hal yang sulit
untuk melakukannya atau memahaminya), dapat jika diartikan “a question to be answered or
solved” (pertanyaan yang butuh jawaban atau jalan keluar), sedangkan solve dapat diartikan
“to find an answer to problem” (mencari jawaban suatu masalah).

Sedangkan secara terminologi problem solving seperti yang diartikan Syaiful Bahri Djamarah
dan Aswan Zain adalah suatu cara berpikir secara ilmiah untuk mencari pemecahan suatu
masalah.

Sedangkan menurut istilah Mulyasa problem solving adalah suatu pendekatan pengajaran
menghadapkan pada peserta didik permasalahan sebagai suatu konteks bagi siswa untuk
belajar tentang cara berpikir kritis dan keterampilan permasalahan, serta untuk memperoleh
pengetahuan dan konsep esensial dari materi pembelajaran.

Menurut Abdul Majid (2013) Metode Problem Solving merupakan cara memberikan
pengertian dengan menstimulasi anak didik untuk memperhatikan, menelaah, dan berfikir
tentang suatu masalah untuk selanjutnya menganalisis masalah tersebut sebagai upaya untuk
memecahkan masalah.
Proses menganalisa adalah konsep memadukan pikiran dengan kegiatan motorik untuk
memecahkan masalah.

Metode problem solving (pemecahan masalah) merupakan salah satu dasar teoritis yang
menjadikan masalah sebagai isu utamanya dalam pembelajaran. Sejalan dengan itu Utomo
Dananjaya (2013: 129) juga memiliki penjelasan tentang Metode Problem Solving yaitu
upaya peningkatan hasil melalui proses secara ilmiah untuk menilai, menganalisis, dan
memahami keberhasilan.
Oleh karena itu,untuk menyelesaikan sebuah masalah seseoranag harus dibiasakan berpikir
secara mandiri. Sedangkan menurut W.Gulo (2002:111) Metode Problem Solving adalah
metode yang mengajarkan penyelesaian masalah dengan memberikan penekanan pada
terselesaikannya suatu masalah secara menalar.
Pendapat lain problem solving adalahsuatu pendekatan dimana langkah-langkah berikutnya
sampai penyelesaian akhir lebih bersifat kuantitatif yang umum sedangkan langkah-langkah
berikutnya sampai dengan pengelesain akhir lebih bersifat kuantitatif dan spesifik (Qrustian
Blogs Friendster.com)

Problem solving bukan perbuatan yang sederhana, akan tetapi lebih kompleks daripada yang
diduga.
Problem solving memerlukan keterampilan berpikir yang banyak ragamnya termasuk
mengamati, melaporkan, mendeskripsi, menganalisis, mengklasifikasi, menafsirkan,
mengkritik, meramalkan, menarik kesimpulan, dan membuat generalisasi berdasarkan
informasi yang dikumpulkan dan diolah. Untuk memecahkan masalah kita harus melokasi
informasi, menampilkannya dari ingatan lalu memprosesnya dengan maksud untuk mencari
hubungan, pola, atau pilihan baru. Fase-fase model problem solving (Depdiknas, 2008) yaitu
meliputi :
1. Ada masalah yang jelas untuk dipecahkan. Masalah ini harustumbuh dari siswa sesuai
dengan taraf kemampuannya.
2. Mencari data atau keterangan yang dapat digunakan untuk memecahkan ma-salah
tersebut. Misalnya, dengan jalan membaca buku-buku, meneliti, bertanya dan lain-
lain.
3. Menetapkan jawaban sementara dari masalah tersebut. Dugaan jawaban ini tentu saja
didasarkan kepada data yang telah diperoleh, pada langkah kedua di atas.
4. Menguji kebenaran jawaban sementara tersebut. Dalam langkah ini siswa ha-rus
berusaha memecahkan masalah sehingga betul-betul yakin bahwa jawa-ban tersebut
itu betul-betul cocok. Apakah sesuai dengan jawaban sementara atau sama sekali
tidak sesuai. Untuk menguji kebenaran jawaban ini tentu sa-ja diperlukan
modelmodellainnya seperti demonstrasi, tugas, diskusi, dan lain-lain.
5. Menarik kesimpulan. Artinya siswa harus sampai kepada kesimpulan terak-hir tentang
jawaban dari masalah tadi.

Pembelajaran dengan model problem solving harus mengikuti langkah-langkah dari


menentukan masalah apa yang ingin dipecahkan hingga pada tahap mencari kesimpulan agar
siswa mampu memecahkan masalah. Dengan memecahkan masalah berarti siswa
memperoleh sesuatu yang baru, yaitu pelajaran baru yang dihasilkan dari pemikiran siswa
saat memecahkan masalah berdasarkan aturan-aturan yang pernah dipelajarinya.
Daftar Pustaka

http://eprints.ums.ac.id/69460/1/NASKAH%20PUBLIKASI.pdf

https://lib.unnes.ac.id/18500/1/1550408030.pdf

http://eprints.undip.ac.id/19954/1/SKRIPSI.pdf

http://digilib.uinsby.ac.id/11373/5/babii.pdf

http://repositori.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/7513/131301075.pdf?
sequence=1&isAllowed=y

http://repo.iain-tulungagung.ac.id/5760/5/Bab%202.pdf

http://eprints.uny.ac.id/62643/2/BAB%20II.pdf

http://digilib.uinsby.ac.id/3878/5/Bab%202.pdf

http://digilib.unila.ac.id/16080/13/bab%202%20anggun.pdf

Anda mungkin juga menyukai