INTERAKSI SOSIAL
OLEH :
18090000171
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS MERDEKA
MALANG
2018
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena hanya izin, rahmat, dan
kuasaNya kami masih diberikan kesehatan sehingga dapat menyelesaikan makalah ini yang
berjudul Sikap dan Perilaku
Pada kesempatan ini tak lupa pula penulis mengucapkan terima kasih kepada semua
pihak terutama kepada Dosen pengajar Mata Kuliah Psikologi Sosial yang telah memberikan
tugas ini kepada saya.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan
serta pengetahuan kita,khususnya mengenai Sikap dan Perilaku yang terjadi di dalam
masyarakat. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam tugas ini terdapat
kekurangan-kekurangan dan masih jauh dari apa yang diharapkan.
Untuk itu, kami berharap kritik, saran, dan usulan demi perbaikan makalah ini di masa
yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa kritik dan saran yang
membangun. Semoga makalah sederhana ini dapat bermanfaat bagi siapa pun yang
membacanya.
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Rumusan masalah
1.3 Tujuan penulisan
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Interaksi Sosial
2.2 Faktor-faktor yang Mendasari Terjadinya Proses Interaksi
2.3 Syarat-syarat Interaksi Sosial
2.4 Bentuk-bentuk Interaksi Sosial
2.5 Masalah-masalah interaksi sosial yang menimbulkan konflik sosial
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
PEMBAHASAN
Interaksi sosial dapat diartikan sebagai hubungan-hubungan sosial yang dinamis. Hubungan
sosial yang dimaksud dapat berupa hubungan antara individu yang satu dengan individu
lainnya, antara kelompok yang satu dengan kelompok lainnya, maupun antara kelompok
dengan individu.
Di dalam interaksi selalu terjadi kontak dan terjalin hubungan antara manusia selaku individu
dengan individu lainnya. Gillin dan Gillin (dalam Elly, dkk, 2006: 91) menyatakan bahwa
interaksi sosial adalah hubungan antara orang-orang secara individual, antar kelompok
orang, dan orang perorangan dengan kelompok. Sementara itu menurut Walgito (2003: 57)
interaksi sosial adalah hubungan antara individu satu dengan individu yang lain, yang saling
mempengaruhi dan terdapat hubungan saling timbal balik.
Sedangkan Menurut H. Bonner (dalam Abu Ahmadi, 2002: 54) Interaksi sosial adalah suatu
hubungan antara dua individu atau lebih, dimana
kelakuan individu yang satu mempengaruhi, mengubah, atau memperbaiki kelakuan
individu yang lain atau sebaliknya.
b. Disosiatif
Interaksi sosial ini mengarah pada bentuk pemisahan dan terbagi dalam tiga bentuk
sebagai berikut:
1). Persaingan/kompetisi Adalah suatu perjuangan yang dilakukan perorangan atau
kelompok sosial tertentu, agar memperoleh kemenangan atau hasil secara kompetitif, tanpa
menimbulkan ancaman atau benturan fisik di pihak lawannya.
2) Kontravensi Adalah bentuk proses sosial yang berada di antara persaingan dan
pertentangan atau konflik. Wujud kontravensi antara lain sikap tidak senang, baik secara
tersembunyi maupun secara terang - terangan seperti perbuatan menghalangi, menghasut,
memfitnah, berkhianat, provokasi, dan intimidasi yang ditunjukan terhadap perorangan atau
kelompok atau terhadap unsur - unsur kebudayaan golongan tertentu. Sikap tersebut dapat
berubah menjadi kebencian akan tetapi tidak sampai menjadi pertentangan atau konflik.
3) Konflik Adalah proses sosial antar perorangan atau kelompok masyarakat tertentu, akibat
adanya perbedaan paham dan kepentingan yang sangat mendasar, sehingga menimbulkan
adanya semacam gap atau jurang pemisah yang mengganjal interaksi sosial di antara
mereka yang bertikai tersebut.
2.5 Masalah-Masalah dalam Interaksi Sosial yang dapat Memicu Konflik Sosial
beberapa bentuk permasalahan yang dapat memicu konflik dalam interaksi sosial adalah:
1. Etnosentrisme
Etnosentrisme secara formal didefinisikan sebagai pandangan bahwa kelompok sendiri
adalah pusat segalanya dan kelompok lain akan selalu dibandingkan dan dinilai sesuai
dengan standar kelompok sendiri.16 Etnosentrisme merupakan sebuah kecenderungan
menghakimi nilai, adat istiadat, perilaku atau aspek-aspek budaya lain yaitu menggunakan
kelompok sendiri dan adat istiadat kita sendiri sebagai standar bagi semua penilaian.17
Etnosentrisme membuat kebudayaan diri sebagai patokan dalam mengukur baik buruknya,
atau tinggi rendahnya dan benar atau ganjilnya kebudayaan lain dalam proporsi
kemiripannya dengan kebudayaan sendiri, adanya. kesetiakawanan yang kuat dan tanpa
kritik pada kelompok etnis atau bangsa sendiri disertai dengan prasangka terhadap
kelompok etnis dan bangsa yang lain. Orang-orang yang berkepribadian etnosentris
cenderung berasal dari kelompok masyarakat yang mempunyai banyak keterbatasan baik
dalam pengetahuan, pengalaman, maupun komunikasi, sehingga sangat mudah
terprofokasi. Perlu pula dipahami bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia masih
berada pada berbagai keterbatasan tersebut. Masyarakat Indonesia yang majemuk yang
terdiri dari berbagai budaya, pada satu sisi, karena adanya berbagai kegiatan dan pranata
khusus di mana setiap kultur merupakan sumber nilai yang memungkinkan terpeliharanya
kondisi kemapanan dalam kehidupan masyarakat pendukungnya, setiap masyarakat
pendukung kebudayaan (culture bearers) cenderung menjadikan kebudayaannya sebagai
kerangka acuan bagi perikehidupannya yang sekaligus untuk mengukuhkan jati diri sebagai
kebersamaan yang berciri khas, sehingga perbedaan antar kebudayaan, justru bermanfaat
dalam mempertahankan dasar identitas diri dan integrasi sosial. Namun ternyata pada sisi
lain justru yang muncul adalah sikap eksklusif yang tidak mau mengakui eksistensi budaya
lain. Menurut Alo Liliweri bahwa kalau ingin komunikasi antarbudaya menjadi sukses maka
hendakla kita mengakui dan menerima perbedaan budaya sebagaimana adanya dan bukan
sebagaimana yang kita kehendaki.18 Memang tidak ada alasan untuk mengklaim apalagi
menolak kahadiran berbagai budaya yang berbeda, karena memang keberagaman tersebut
adalah sebuah keniscayaan.
2. Misunderstanding of culture values
Secara sosiologis, manusia terdiri dari berbagai etnis dan budaya yang saling berbeda dan
mengikatkan dirinya antara satu dengan lainnya. Suatu bangsa terdiri dari berbagai suku-
suku yang beraneka ragam, masyarakat terdiri dari keluarga-keluarga yang berlainan,
keluarga itu sendiri terdiri dari individu-individu yang tidak sama. Semuanya menunjukkan
adanya perbedaan, keragaman dan keunikan, namun tetap dalam suatu persatuan.
Perbedaan-perbedaan individu melebur menjadi satu kesatuan keluaraga, keluarga melebur
menjadi satu ikatan sosial, keanekaan suku-suku terangkum dalam satu bangsa dan
masyarakat dunia. Keseluruhan parsialitas tersebut adalah bagian dari pluralitas.19
Pluralitas dan keragaman antar suku, bangsa, agama dan budaya dalam pemahaman
kerangkan kesatuan manusia menciptakan sikap-sikap moderat bagi setiap individu,20 itu
pada satu sisi, namun pada sisi lain akan memunculkan gesekan-gesekan yang pada
akhirnya melahirkan sikap egosentrisme yang berimplikasi pada penolakan terhadap budaya
lain dengan klaim budaya sendiri sebagai standar, dengan memaksakan nilai-nilai
budayanya sebagai acuan terhadap budaya lain.
Mengacungkan jari tengah bagi orang Amerika adalah suatu penghinaan, namun bagi orang
Indonesia, hal tersebut adalah biasa-biasa saja. Kalau hal tersebut bagi orang Indonesia
sebagai sesuatu yang wajar saat berada di Amerika, maka kemudian yang akan terjadi
sebuah penolakan karena orang Amerika merasa terhina. Menurut Hafied Cangara dalam
bukunya pengantar ilmu komunikasi bahwa penggunaan bahasa merupakan salah satu
indikator yang sering menghambat jalannya komunikasi. Karena bahasa yang digunakan
terlalu banyak menggunakan jargon bahasa asing sehingga sulit dimengerti oleh khalayak
tertentu. Di samping itu, latar belakang budaya sering menyebabkan salah persepsi
terhadap simbol-simbol bahasa yang digunakan.21 Tidak bisa dipungkiri, masyarakat
Indonesia sebagai masyarakat plural dengan sejumlah ragam bahasa yang berbeda.
Perbedaan-perbedaan bahasa tersebut sering menjadi indikator terjadinya
misunderstanding antar budaya satu dengan budaya yang lain. Mabbuse adalah sebuah
istilah dalam bahasa Sidrap yang sering digunakan kepada orang yang dipersilahkan
makan. Namun bagi orang Bone, istilah tersebut memiliki konotasi yang merendahkan harga
diri bahkan dianggap sebagai sebuah pelecehan. Perbedaan-perbedaan semacam ini, di sisi
lain sebagai khasanah dan kekayaan budaya yang dimiliki Indonesia, namun pada sisi lain,
merupakan boomerang akan lahirnya disintegrasi sosial. Pertanyaan kemudian yang
muncul, apakah keragaman dan perbedaan tersebut mesti dihilangkan, kemudian mengacu
pada satu budaya yang harus diikuti oleh budaya-budaya yang berbeda tersebut?. Tentunya
hal tersebut tidak mungkin bahkan mustahil terjadi. Oleh karena itu, dituntut sebuah kearifan
dalam berbudaya yang mengedepankan nilai toleransi dan menghargai serta mengakui
keberadaan budaya mereka. Di samping itu, pengetahuan akan budaya-budaya lokal sangat
penting agar dapat tercipta keharmonisan dalam keberagaman berbudaya.
3. Stereotip
Stereotip merupakan keyakinan yang terlalu menggenalisir, disederhanakan, atau dilebih-
lebihkan terhadap kelompok etnis tertentu. Stereotip adalah mengidentifikasi individu pada
basis anggota kelompok tertentu, dan menilai diri individu tersebut. Berdasarkan
pemahaman stereotip di atas, Maka ketika kita melakukan kontak antarbudaya dengan
seseorang, pada dasarnya kita sedang berkomunikasi dengan identitas etnis dari individu
tersebut.22 Persoalan besar yang terjadi dalam komunikasi antarbudaya adalah apabila
orang yang berbeda latar belakang etnis memfokuskan secara destruktif stereotip negatif
yang mereka pegang masing-masing yang dinyatakan sebagai kepribadian tertentu.23
Orang-orang Australia meng-streotip-kan orang Indonesia, bahwa orangorang Indonesia
rata-rata, dianggap orang-orang yang menarik, ramah, menyenangkan dan sopan, sering
terlalu sopan, tetapi lamban, tidak efisien dan tak dapat diandalkan. Sebaliknya orang-orang
Indonesia melihat rata-rata orang Australia sebagai kaya, gaduh dan kasar, agak kurang
ajar, sering tidak ramah, agresif dan tidak bermoral
4. Prasangka
Penghambat komunikasi antarbudaya lainnya adalah prasangka. Prasangka akan selalu
merujuk pada pendapat atau penilaian seseorang sebelum kenal dengan orang tersebut.
Prasangka merupakan resistensi atau penolakan terhdap semua bukti yang akan
menggesernya. Kita cenderung menjadi emosional ketika prasangka terancam oleh hal-hal
yang bersifat kontradiktif. Prasangka merupakan sikap yang tidak beralasan terhadap
outgroup yang didasarkan pada komparasi dengan ingroup seseorang. Biasanya,
prasangkan diekspresikan melalui komunikasi. Prasangka merupakan jenis dari kebutuhan
cultural. Ia menghalangi kita untuk melihat realitas secara akurat
b. Kedekatan (proximity)
Pada penelitian mengenai ketertarikan, orang cenderung menyukai mereka yang tempat
tinggalnya berdekatan. Persahabatan lebih mudah timbul diantara tetangga yang
berdekatan. Atau diantara mahasiswa yang berdekatan. Semakin dekat jarak fisik, semakin
besar kemungkinan bahwa dua orang mengalami kontak secara berulang atau mengalami
repeated exposure. Repeated exposure adalah kontak yang terus menerus dengan sebuah
stimulus, dimana paparan berulang terhadap stimulus akan berakibat pada evaluasi
terhadap stimulus tersebut (Zajonc,1968 dalam Baron & Byrne,2004:264). Apakah hal-hal
yang membuat orang saling menyukai? Hal tersebut antara lain:
• Kedekatan biasanya meningkatkan keakraban. Kita lebih sering berjumpa dengan
tetangga sebelah kita daripada orang yang kita temui di luar lingkungan kita. Eksposur yang
berulang ini dapat meningkatkan rasa suka.
• Kedekatan sering berkaitan dengan kesamaan.
• Orang yang dekat secara fisik lebih mudah dijangkau daripada orang yang berada di
tempat yang jauh. Kemudahan ini mempengaruhi keseimbangan ganjaran dan kerugian
interaksi. Hal ini sesuai dengan persepsi teori pertukaran sosial. Diperlukan sedikit usaha
untuk mengobrol dengan tetangga sebelah. Sebaliknya hubungan jarak jauh membutuhkan
waktu, perencanaan dan biaya yang relatif tinggi.
• Berdasarkan teori konsistensi kognitif kita berusaha mempertahankan keseimbangan
antara hubungan perasaan dan hubungan kesatuan kita. Secara lebih spesifik, kita
dimotivasi untuk menyukai orang yang ada kaitannya dengan kita dan untuk mencari
kedekatan dengan orang yang kita sukai. Tinggal atau bekerja berdampingan dengan orang
lain yang tidak kita sukai akan menimbulkan tekanan psikologis, sehingga kita akan
mengalami tekanan kognitif untuk menyukai orang yang ada hubungannya dengan kita.
• Orang memiliki harapan untuk berinteraksi lebih sering dengan mereka yang tinggal paling
dekat dengannya. Hal ini menyebabkan is cenderung untuk menekankan aspek-aspek
positif dan meminimalkan aspek-aspek negatif dan hubungan itu sehingga hubungan di
masa datang akan lebih menyenangkan.
c. Keakraban (familiarity)
Semakin seringnya kita berhadapan dengan seseorang akan meningkatkan rasa suka kita
terhadap orang tersebut. Sebagaimana basil penelitian Robert Zajonc tentang efek terpaan
(more exposure effect) dimana hasil penelitiannya menunjukkan bahwa orang akan
mengembangkan perasaan positifpada obyek dan individu yang sering mereka lihat (dalam
Dayakisni, 2006:161). Mungkin hal ini bisa dikutipkan dan ungkapan dalam bahasa Jawa
"wiling tresno jalaran soko kulino" (jatuh cinta karena sering atau terbiasa bertemu) dimana
rasa cinta tumbuh dan berkembang seiring intensitas keakraban yang terjalin antar individu.
Daya tarik fisik sendiri dapat mempengaruhi kepribadian si pemiliknya. Kita dapat
mengidentifikasikan tiga faktor sosial yang berkaitan dengan daya tarik fisik (dalam
Dayakisni, 2006: 162-163) yaitu:
• Orang-orang memiliki harapan yang berbeda tentang individu yang menarik penampilan
fisiknya dibandingkan dengan individu yang kurang atau tidak menarik.
• Orang-orang yang secara fisik menarik menerima perlalcuan yang ber-beda dan lebih
mendapatkan keberuntungan dalam pertukaran sosial.
• Perlakuan yang berbeda akan mengarahkan pada perbedaan kepribadi an dan
ketrampilan sosial (social skill) barangkali hal ini disebabkan oleh adanya keinginan untuk
memenuhi kebutuhan diri sendiri (self-fulfilling prophecy).
• Beberapa penelitian menunjukkan bahwa anak-anak yang memiliki daya tarik fisik
cenderung memiliki harga diri yang lebih tinggi daripada anak yang kurang menarik fisiknya
serta cenderung kurang agresif dibandingkan anak-anak yang kurang menarik.
• Mereka yang cenderung memiliki hubungan yang lebih baik, lebih asertif dan lebih percaya
diri.
Meskipun daya tank fisik kuat, banyak orang yang tidak terlalu akurat dalam memperkirakan
bagaimana orang lain menilai penampilan mereka. Laki-laki (terutama), mempunyai
perkiraan yang lebih tentang daya tank mereka bagi orang lain. Masalahnya lebih berat
pada perempuan dibandingkan laki-laki, tetapi beberapa orang baik laki-laki maupun
perempuan memberikan respons berupa kecemasan penampilan (appearance anxiety).
Kecemasan penampilan adalah pemahaman atau kekhawatiran mengenai apakah
penampilan fisiknya cukup menarik dan mengenai bagaimana penilaian dari orang lain.
Sebagai contoh mereka yang memiliki kecemasan penampilan akan memiliki kepedulian
yang berlebih-an mengenai bagaimana seseorang dilihat, misalnya "saya merasa sebagian
besar teman-teman saya lebih meenarik secara fisik dibandingkan saya".
e. Kemampuan (ability)
Menurut teori pertukaran sosial dan reinforcement, ketika orang lain memberi ganjaran atau
konsekuensi yang positif terhadap diri kita, maka kita cenderung ingin bersamanya dan
menyukainya. Orang yang mampu, kompeten dan pintar dapat memberi beberapa ganjaran
(keuntungan) kepada kita. Mereka dapat membantu kita menafsirkan kejadian-kejadian yang
ada, dan sebagainya. Hal-hal seperti ini menyebabkan orang yang memiliki kompetensi,
pintar, lebih disukai daripada yang tidak memiliki kemampuan tersebut.
Suatu perkecualian yang menarik adalah hasil telaahan Aronson, Willerman & Floyd (dalam
Dayakisni, 2006: 163-164) yang menemukan bahwa orang yang paling disenangi justru
orang yang memiliki kemampuan tinggi tetapi menunjukkan beberapa kelemahan. la
menciptakan empat kondisi eksperimental yaitu:
• Pertama, orang yang memiliki kemagtpuan tinggi dan berbuat salah. Orang-orang dengan
tipe pertama ini dinilai paling menarik.
• Kedua, orang yang berkemampuan tinggi tetapitidak berbuat salah. Orang-orang dengan
tipe kedua ini dinilai menarik.
• Ketiga, orang yang memiliki kemampuan rata-rata dan berbuat salah. Orang dengan tipe
ketiga ini dinilai sebagai orang yang paling tidak menarik.
• Keempat, orang yang berkemampuan rata-rata dan tidak berbuat kesalahan. Orang biasa
yangbtidak berbuat salah ini ditempatkan dalam urutan ketiga dan sisi 'Jaya tank.
Namun beberapa penelitian berikutnya menunjukkan bahwa orang semakin tidak menarik
karena ia sering berbuat kesalahan, sekalipun orang tersebut adalah orang yang dianggap
memiliki kompetensi tinggi.
Berikut adalah beberapa definisi perilaku atau tindakan prososial menurut beberapa ahli :
Dari berbagai penejelasan mengenai definisi perilaku prososial di atas dapat diambil sebuah
kesimpulan bahwa perilaku prososial adalah perilaku menolong yang menguntungkan bagi
orang lain tanpa mengharapkan sesuatu ibalan apa pun dan dilakukan secara sukarela
tanpa adanya tekanan. Hal ini sesuai dengan pendapat Myers hasrat untuk menolong orang
lain tanpa memikirkan kepentingan-kepentingan sendiri
Menurut Schoeder dalam Bierhoff (2002), perilaku prososial dapat mencakup hal-hal
sebagai berikut :
1. Menolong
2. Kerjasama
artinya hubungan antara dua orang atau lebih yang secar positif saling tergantung
berkenaan dengan tujuan mereka, sehingga gerak seseorang dalam mencapai tujuan
cenderung akan dapat meningkatkan gerak orang lain untuk mencapai tujuannya.
Dimensi perilaku prososial juga diungkapkan oleh Soekanto dalam Robbik (2011), yang
mengatakan :
Simpati
Simpati adalah satu sikap emosional yang dicirikan oleh perasaan ikut merasa terhadap
pribadi lain yang mengalami satu pengalaman emosional. Dalam hal ini simpati bertujuan
untuk mengurangi penderitaan orang lain dan ikut merasakan apa yang dirasakan oralng
lain.
Kerja Sama
Kerja sama adalah kegiatan dua orang atau lebih yang saling membantu dalam satu bidang
kerja atau mencapai tujuan yang sama. Menurut Stewart kerja sama dapat diartikan sebagai
collaboration, karena dalam bersosialisasi bekerja sama memiliki kedudukan yang sentral
karena esensi dari kehidupan sosial dan berorganisasi adalah kesepakatan bekerja sama.
Membantu
Membantu adalah memberi sokongan atau tenaga supaya menjadi kuat. Wise (dalam
zanden, 1984) menguraikan berbagai bentuk perilaku proposial yaitu:
1. simpati yaitu perilaku yang menunjukkan kepedulian terhadap rasa sakit atau
kesedian orang lain,
2. bekerjasama, yaitu perilaku yang menunjukkan kemampuan dan kesediaan
individu untuk bekerja bersama orang lain, tetapi biasanya tidak selalu untuk keuntungan
bersama,
3. menyumbang, yaitu prilaku member hadiah, sumbangan atau kontribusi
kepada orang lain, biasanya berupa amal,
4. menolong, yaitu perilaku member bantuan kepada orang lain, sehingga orang
lain tersebut dapat mencapai tujuan tertentu atau mendapatkan sesuatu,
5. altruisme, yaitu perilaku menolong yang dilakukan untuk keuntungan orang
lain, tanpa mengharapkan imbalan apapun, umumnya dalam bentuk penyelamatan orang
lain dari bahaya yang mengancam.
1. Meso level
Tindakan menolong ditinjau dari segi tingkat interpersonal (contoh : spesifikasi dan
situasi tindakan prososial diantara seseorang dengan lawannya). Faktor-faktor yang
dikatakan dapat menghambat maupun meningkatkan perilaku prososial sebagai
berikut:
2. Micro level
Terdapat dua pendekatan asal usul kecenderungan prosocial behavior
yaitu : evolutionary theory dan social norm.
Social norm adalah kepercayaan atau jenis perilaku yang dianggap normal dan dapat
diterima dalam kelompok tertentu atau masyarakat. Melalui proses sosialisasi, menjadi
keyakinan normatif yang secara internal diadakan yang dapat memiliki efek yang kuat
terhadap cara kita berperilaku.
Berkowitz dalam Mercer dan Debbie (2010:98) juga mengatakan bahwa beberapa orang
akan membantu orang yang membutuhkan serta tidak mengekspetasikan pujian atau rasa
terima kasih dari orang lain. Ini dikatakan memiliki relasi dengan norma dari social
responsibility yang dikatakan membantu orang lain merupakan hal yang harus kita lakukan,
baik tidak tergantung pada imbalan di masa yang akan datang maupun orang tersebut
pernah membantu kita.
3. Macro level
Volunteering merupakan tipe yang beda dari helping behavior karena direncanakan,
biasanya berjangka panjang, dan dianggap kurang karena lebih cenderung
merupakan rasa kewajiban pribadi.
o Values
Untuk mengekspresikan atau bertindak dalam nilai yang penting (Contoh : paham
kemanusiaan atau humanitarianism).
o Understanding
Untuk belajar lebih mengenai dunia atau melatih skill yang sering tidak dipakai.
o Inventory enhancement
Untuk meningkatkan dan mengembangkan psikologis pribadi (Contoh : terlibat dalam
kegiatan sukarela).
o Social
Untuk memperkuat relasi sosial.
o Career
Untuk mendapatkan pengalaman yang berkaitan dengan karir.
o Protective
Untuk mengurangi perasaan negatif (Contoh : rasa bersalah, kesepian) atau untuk
mengatasi masalah pribadi.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Interaksi sosial adalah suatu hubungan antara dua atau lebih individu manusia, dimana
kelakuan individu yang satu mempengaruhi, mengubah, atau memperbaiki kelakuan individu
yang lain, atau sebaliknya. Suatu interaksi sosial tidak akan mungkin terjadi apabila tidak
memenuhi dua syarat yaitu adanya kontak sosial dan komunikasi. Kontak sosial dapat
berlangsung dalam tiga bentuk yaitu antara orang perorangan, antara orang perorangan
dengan suatu kelompok manusia atau sebaliknya, antara suatu kelompok manusia dengan
kelompok manusia lainnya. Komunikasi adalah bahwa seseorang yang memberi tafsiran
kepada orang lain (yang berwujud pembicaraan, gerak-gerak badaniah atau sikap),
perasaan-perasaan apa yang ingin disampaikan oleh orang tersebut. Orang yang
bersangkutan kemudian memberi reaksi terhadap perasaan yang ingin disampaikan.
Dengan adanya komunikasi sikap dan perasaan kelompok dapat diketahui oleh kelompok
lain atau orang lain. Hal ini kemudian merupakan bahan untuk menentukan reaksi apa yang
akan dilakukannya.
Ada tiga jenis interaksi sosial, yaitu: Interaksi antara Individu dan Individu, Interaksi antara
Kelompok dan Kelompok, dan Interaksi antara Individu dan Kelompok. Interaksi sosial
mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: Ada pelaku dengan jumlah lebih dari satu orang, Ada
komunikasi antarpelaku, Ada dimensi waktu, dan Ada tujuan-tujuan tertentu. Faktor-faktor
dalam interaksi sosial yaitu Faktor Imitasi, Faktor Sugesti, Fakor Identifikasi, dan Faktor
Simpati.
DAFTAR PUSTAKA
Angraini, Dewi, Hijriati Cucuani. Hubungan Kualitas Persahabatan Dan Empati Pada
Pemaafan Remaja Akhir.Jurnal Psikologi 10.1 (2014). http://ejournal.uin-
suska.ac.id/index.php/psikologi/article/viewFile/1175/1067
Brahmasari, Ida Ayu , Agus Suprayetno. Pengaruh Motivasi Kerja, Kepemimpinan dan
Budaya Organisasi Terhadap Kepuasan Kerja Karyawan serta Dampaknya pada
Kinerja Perusahaan (Studi kasus pada PT. Pei Hai International Wiratama
Indonesia). Jurnal Manajemen dan Kewirausahaan 10.2 (2008).
http://jurnalmanajemen.petra.ac.id/index.php/man/article/view/17039
Herimanto., Winarno. (2014). Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Mawardi, Nur Hidayati. (2009). Ilmu Alamiah Dasar, Ilmu Sosial Dasar, Ilmu Budaya Dasar.
Bandung: Pustaka Setia
Putri, Hening Pramesthi. Daya Tarik Interpersonal Alumni Hitman System. Tugas Akhir (2015).
file:///C:/Users/ASUS/Downloads/dayatarik%201.pdf
Ria, Benny Dikta Rianggi, Fadillah, Desni Yusniarni., Faktor Dominan yang Mempengaruhi
Kemampuan Berinteraksi Sosial.
http://jurnal.untan.ac.id/index.php/jpdpb/article/view/2020/1965
Ristianti, Amie. Hubungan Antara Dukungan Sosial Teman Sebaya dengan Identitas Diri
Pada Remaja di SMA Pusaka 1 Jakarta.
http://publication.gunadarma.ac.id/handle/123456789/1581