Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH

INTERAKSI SOSIAL

OLEH :

ULVIRA BADRIYAH KUMARA

18090000171

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS MERDEKA

MALANG

2018
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena hanya izin, rahmat, dan
kuasaNya kami masih diberikan kesehatan sehingga dapat menyelesaikan makalah ini yang
berjudul Sikap dan Perilaku
Pada kesempatan ini tak lupa pula penulis mengucapkan terima kasih kepada semua
pihak terutama kepada Dosen pengajar Mata Kuliah Psikologi Sosial yang telah memberikan
tugas ini kepada saya.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan
serta pengetahuan kita,khususnya mengenai Sikap dan Perilaku yang terjadi di dalam
masyarakat. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam tugas ini terdapat
kekurangan-kekurangan dan masih jauh dari apa yang diharapkan.
Untuk itu, kami berharap kritik, saran, dan usulan demi perbaikan makalah ini di masa
yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa kritik dan saran yang
membangun. Semoga makalah sederhana ini dapat bermanfaat bagi siapa pun yang
membacanya.

Malang, 15 Juni 2018


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Rumusan masalah
1.3 Tujuan penulisan
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Interaksi Sosial
2.2 Faktor-faktor yang Mendasari Terjadinya Proses Interaksi
2.3 Syarat-syarat Interaksi Sosial
2.4 Bentuk-bentuk Interaksi Sosial
2.5 Masalah-masalah interaksi sosial yang menimbulkan konflik sosial
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Manusia sebagai individu ternayata tidak mampu hidup sendiri. Ia dalam menjalani
kehidupannya akan senantiasa bersama dan bergantung pada manusia lainnya. Manusia
saling membutuhkan dan harus bersosialisasi dengan manusia lain. Hal ini disebabkan
manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya tidak dapat memenihi kebutuhan hidupnya
sendiri. Ia akan bergabung dengan manusia lain membentuk kelompok-kelompok dalam
rangka pemenuhan kebutuhan dan tujuan hidup. Dalam hal ini, manusia sebagai individu
memasuki kehidupan bersama dengan individu lainnya.
Kebutuhan akan orang lain dan interaksi sosial ini, manusia membentuk kehidupan
berkelompok pada manusia. Interaksi sosial merupakan faktor utama dalam kehidupan
sosial. Apabila dua orang atau lebih bertemu akan terjadi interaksi sosial.

1.2 Rumusan masalah


1. Apa yang dimaksud dengan interaksi sosial?
2. Apa faktor-faktor yang mendasari terjadinya proses interaksi?
3. Apa syarat-syarat interaksi sosial?
4. Apa saja bentuk-bentuk interaksi sosial?
5. Apa aja masalah-masalah interaksi sosial yang memicu konflik sosial?
6. Apa yang dimaksud daya tarik interpersonal ?
7. Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi daya tarik?
8. Apa yang dimaksud perilaku prososial?
9. Apa saja dimensi perilaku prososial?

1.3 Tujuan Penulisan


Setiap penulisan sesuatu pasti mempunyai tujuan tertentu, dengan demikian
juga penulisan makalah ini penulismempunyai tujuan :
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan interaksi sosial.
2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mendasari terjadinya proses interaksi.
3. Untuk mengetahai syarat-syarat interaksi sosial.
4. Untuk mengetahui bentuk-bentuk interaksi sosial.
5. Untuk mengetahui berbagai macam pemicu konflik sosial
6. Untuk mengetahui apa yang dimaksud daya tarik interpersonal
7. Untuk mengetahui apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi daya tarik
interpersonal
8. Untuk mengetahui apa yang dimaksud denga perilaku prososial
9. Untuk mengetahui apa saja dimensi perilaku prososial

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Interaksi Sosial

Interaksi sosial dapat diartikan sebagai hubungan-hubungan sosial yang dinamis. Hubungan
sosial yang dimaksud dapat berupa hubungan antara individu yang satu dengan individu
lainnya, antara kelompok yang satu dengan kelompok lainnya, maupun antara kelompok
dengan individu.
Di dalam interaksi selalu terjadi kontak dan terjalin hubungan antara manusia selaku individu
dengan individu lainnya. Gillin dan Gillin (dalam Elly, dkk, 2006: 91) menyatakan bahwa
interaksi sosial adalah hubungan antara orang-orang secara individual, antar kelompok
orang, dan orang perorangan dengan kelompok. Sementara itu menurut Walgito (2003: 57)
interaksi sosial adalah hubungan antara individu satu dengan individu yang lain, yang saling
mempengaruhi dan terdapat hubungan saling timbal balik.
Sedangkan Menurut H. Bonner (dalam Abu Ahmadi, 2002: 54) Interaksi sosial adalah suatu
hubungan antara dua individu atau lebih, dimana
kelakuan individu yang satu mempengaruhi, mengubah, atau memperbaiki kelakuan
individu yang lain atau sebaliknya.

Ciri-ciri interaksi sosial adalah sebagai berikut :


1. Pelakunya lebih dari 1 orang.
2. Adanya komunikasi antarpelaku melalui kontak sosial.
3. Mempunyai maksud dan tujuan, terlepas dari sama atau tidaknya tujuan tersebut
dengan yang diperkirakan pelaku.
4. Ada dimensi waktu yang akan menentukan sikap aksi yang sedang berlangsung.

2.2 Faktor-faktor yang mendasari berlangsungnya interaksi sosial


Adapun faktor-faktor yang mendasari berlangsungnya interaksi sosial adalah imitasi,
identifikasi, sugesti, motivasi, simpati, dan empati.
a. Imitasi adalah suatu tindakan seseorang untuk meniru segala sesuatu yang ada
pada orang lain. Contoh. Imitasi yang dilakukan anak yaitu ketika anak meniru
perilaku atau perkataan temannya.
b. Identifikasi merupakan upaya yang dilakukan seseorang untuk menjadi sama
(identik) dengan orang yang ditirunya ,baik dari segi gaya hidup maupun perilakunya.
Model identifikasi biasanya adalah orang yang sukses dalam hidupnya.
Individu memiliki suatu harapan bahwa dengan menjadi seperti model identifikasinya
maka dirinya akan meraih sukses yang sama sehingga memotivasi individu untuk
melakukan hal-hal yang dilakukan oleh model tersebut.
c. Sugesti adalah rangsangan, pengaruh atau stimulus yang diberikan individu kepada
kepada individu yang lain sehingga orang yang diberi sugesti itu melaksanakan apa
yang disugestikan tanpa sikap kritis dan rasional.
Sugesti adalah anjuran tertentu yang menimbulkan suatu reaksi langsung dan tanpa
pikir panjang pada diri individu yang menerima sugesti itu (MGMP Sosiologi SMU
Kodya Surakarta, 1997: 17).
d. Simpati ialah perasaan tertarik terhadap orang lain, atas dasar perasaan atau emosi.
Disamping kecenderungan merasa tertarik terhadap orang lain, individu juga
mempunyai kecenderungan untuk menolak orang lain, yang sering disebut antipati.
Jadi faktor simpati tersebut bersifat positif, sedangkan antipati bersifat negatif.
e. Motivasi merupakan dorongan, rangsangan, pengaruh, atau stimulasi yang diberikan
individu kepada individu yang lain sehingga orang yang diberi motivasi
melaksanakannya secara kritis, rasional, dan tanggung jawab.
Robbin (2002:55) mengemukakan bahwa motivasi adalah keinginan untuk
melakukan sebagai kesediaan untuk mengeluarkan tingkat upaya yang tinggi untuk
tujuan-tujuan organisasi, yang dikondisikan oleh kemampuan upaya itu untuk
memenuhi suatu kebutuhan individual.
f. Empati adalah proses kejiwaan seorang individu untuk larut dalam perasaan orang
lain baik suka maupun duka.
Menurut Davis (1983), empati adalah kemampuan seseorang untuk mengenal dan
memahami emosi, pikiran serta sikap orang lain. Empati memungkinkan individu
untuk memahami maksud orang lain, memprediksi perilaku mereka dan mengalami
emosi yang dipicu oleh emosi mereka (Baron-Cohen & Wheelwright, 2004).
Rogers (dalam Taufik, 2012) menawarkan dua konsepsi dari empati. Pertama,
melihat kerangka berpikir internal orang lain secara akurat dengan komponen-
komponen yang saling berhubungan. Kedua, dalam memahami orang lain tersebut,
individu seolah-olah masuk dalam diri orang lain sehingga bisa merasakan dan
memahami orang lain tersebut.
Empati adalah kemampuan meletakkan diri sendiri dalam posisi orang lain dan
menghayati pengalaman tersebut serta untuk melihat situasi dari sudut pandang
orang lain. Dengan kata lain empati merupakan kemampuan untuk menghayati
perasaan dan emosi orang lain (Harlock,1978).
Menurut Hoffman (2000) empati adalah keterlibatan proses psikologis yang membuat
seseorang memiliki feelings yang lebih kongruen dengan situasi diri sendiri. Sedan-
gkan Eisenberg (2000) berpendapat bahwa empati merupakan respon afektif yang
berasal dari pemahaman kondisi emosional orang lain, yaitu apa yang sedang
dirasakan oleh orang lain pada waktu itu.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa empati merupakan proses
psikologis yang memungkinkan individu untuk memahami maksud orang lain,
memprediksi perilaku mereka dan mengalami emosi yang dipicu oleh emosi mereka,
individu seolah-olah masuk dalam diri orang lain sehingga memahami situasi dan
kondisi emosional dari sudut pandang orang lain.

2.3 Syarat-syarat interaksi sosial


Suatu interaksi sosial tidak akan mungkin terjadi apabila tidak memenuhi dua syarat
(Soerjono Sukanto) yaitu: adanya kontak sosial, dan adanya komunikasi.
1. Kontak Sosial
Kontak sosial berasal dari bahasa latin con atau cum yang berarti bersama-sama dan tango
yang berarti menyentuh. Jadi secara harfiah kontak adalah bersama-sama menyentuh.
Secara fisik, kontak baru terjadi apabila terjadi hubungan badaniah. Sebagai gejala sosial itu
tidak perlu berarti suatu hubungan badaniah, karena orang dapat mengadakan hubungan
tanpa harus menyentuhnya, seperti misalnya dengan cara berbicara dengan orang yang
bersangkutan. Dengan berkembangnya teknologi dewasa ini, orang-orang dapat
berhubungan satu sama lain dengan melalui telepon, telegraf, radio, dan yang lainnya yang
tidak perlu memerlukan sentuhan badaniah.
Kontak sosial dapat berlangsung dalam tiga bentuk (Soerjono Soekanto :
59) yaitu sebagai berikut :
a. Antara orang perorangan
Kontak sosial ini adalah apabila anak kecil mempelajari kebiasaankebiasaan dalam
keluarganya. Proses demikian terjadi melalui komunikasi, yaitu suatu proses dimana
anggota masyarakat yang baru mempelajari norma-norma dan nilai-nilai masyarakat di
mana dia menjadi anggota.
b. Antara orang perorangan dengan suatu kelompok manusia atau sebaliknya
Kontak sosial ini misalnya adalah apabila seseorang merasakna bahwa tindakan-
tindakannya berlawanan dengan norma-norma masyarakat.
c. Antara suatu kelompok manusia dengan kelompok manusia lainnya.
Umpamanya adalah dua partai politik yang bekerja sama untuk mengalahkan partai politik
lainnya. Kontak sosial memiliki beberapa sifat, yaitu kontal sosial positif dan kontak sosial
negative. Kontak sosial positif adalah kontak sosial yang mengarah pada suatu kerja sama,
sedangkan kontak sosial negative mengarah kepada suatu pertentangan atau bahkan sama
sekali tidak menghasilkan kontak sosial. Selain itu kontak sosial juga memiliki sifat primer
atau sekunder. Kontak primer terjadi apabila yang mengadakan hubungan langsung
bertemu dan berhadapan muka, sebaliknya kontak yang sekunder memerlukan suatu
perantara.
2. Komunikasi
Komunikasi adalah bahwa seseorang yang memberi tafsiran kepada orang lain (yang
berwujud pembicaraan, gerak-gerak badaniah atau sikap), perasaan-perasaan apa yang
ingin disampaikan oleh orang tersebut. Orang yang bersangkutan kemudian memberi reaksi
terhadap perasaan yang ingin disampaikan. Dengan adanya komunikasi sikap dan perasaan
kelompok dapat diketahui olek kelompok lain aatau orang lain. Hal ini kemudain merupakan
bahan untuk menentukan reaksi apa yang akan dilakukannya.
Dalam komunikasi kemungkinan sekali terjadi berbagai macam penafsiran terhadap tingkah
laku orang lain. Seulas senyum misalnya, dapat ditafsirkan sebagai keramah tamahan, sikap
bersahabat atau bahkan sebagai sikap sinis dan sikap ingin menunjukan kemenangan.
Dengan demikian komunikasi memungkinkan kerja sama antar perorangan dan atau antar
kelompok. Tetapi disamping itu juga komunikasi bisa menghasilkan pertikaian yangterjadi
karena salah paham yang masing-masing tidak mau mengalah.

2.4 Bentuk-bentuk interaksi sosial


Interaksi sosial dibedakan menjadi dua bentuk, yaitu asosiatif dan disosiatif.
a. Asosiatif
Interaksi sosial bersifat asosiatif akan mengarah pada bentuk penyatuan. Interaksi sosial ini
terdiri atas beberapa hal berikut.
1) Kerja sama (cooperation) Kerjasama terbentuk karena masyarakat menyadari bahwa
mereka mempunyai kepentingan-kepentingan yang sama sehingga sepakat untuk
bekerjasama dalam mencapai tujuan bersama. Berdasarkan pelaksanaannya terdapat
empat bentuk kerjasama, yaitu bargaining (tawar-menawar), cooptation (kooptasi), koalisi
dan joint-venture (usaha patungan).
2) Akomodasi Akomodasi merupakan suatu proses penyesuaian antara individu dengan
individu, individu dengan kelompok, atau kelompok dengan kelompok guna mengurangi,
mencegah, atau mengatasi ketegangan dan kekacauan.
Proses akomodasi dibedakan menjadi bebrapa bentuk antara lain :
a)) Coercion yaitu suatu bentuk akomodasi yang prosesnya dilaksanakan karena adanya
paksaan
b)) Kompromi yaitu, suatu bentuk akomodasi dimana pihak-pihak yang terlibat masing-
masing mengurangi tuntutannya agar dicapai suatu penyelesaian terhadap suatu konflik
yang ada.
c)) Mediasi yaitu, cara menyelesaikan konflik dengan jalan meminta bantuan pihak ketiga
yang netral. d)) Arbitration yaitu, cara mencapai compromise dengan cara meminta bantuan
pihak ketiga yang dipilih oleh kedua belah pihak atau oleh badan yang berkedudukannya
lebih dari pihak-pihak yang bertikai.
e)) Adjudication (peradilan)yaitu, suatu bentuk penyelesaian konflik melalui pengadilan.
f)) Stalemate yaitu, Suatu keadaan dimana pihak-pihak yang bertentangan memiliki
kekuatan yang seimbang dan berhenti melakukan pertentangan pada suatu titik karena
kedua belah pihak sudah tidak mungkin lagi maju atau mundur.
g)) Toleransi yaitu, suatu bentuk akomodasi tanpa adanya persetujuan formal.
h)) Consiliation yaitu, usaha untuk mempertemukan keinginan-keinginan pihak- pihak yang
berselisih bagi tercapainya suatu persetujuan bersama.
3) Asimilasi Proses asimilasi menunjuk pada proses yang ditandai adanya usaha
mengurangi perbedaan yang terdapat diantara beberapa orang atau kelompok dalam
masyarakat serta usaha menyamakan sikap, mental, dan tindakan demi tercapainya tujuan
bersama. Asimilasi timbul bila ada kelompok masyarakat dengan latar belakang kebudayaan
yang berbeda, saling bergaul secara intensif dalam jangka waktu lama, sehingga lambat
laun kebudayaan asli mereka akan berubah sifat dan wujudnya membentuk kebudayaan
baru sebagai kebudayaan campuran.
4) Akulturasi Proses sosial yang timbul, apabila suatu kelompok masyarakat manusia
dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur - unsur dari suatu
kebudayaan asing sedemikian rupa sehingga lambat laun unsur - unsur kebudayaan asing
itu diterima dan diolah ke dalam kebudayaan sendiri, tanpa menyebabkan hilangnya
kepribadian dari kebudayaan itu sendiri.

b. Disosiatif
Interaksi sosial ini mengarah pada bentuk pemisahan dan terbagi dalam tiga bentuk
sebagai berikut:
1). Persaingan/kompetisi Adalah suatu perjuangan yang dilakukan perorangan atau
kelompok sosial tertentu, agar memperoleh kemenangan atau hasil secara kompetitif, tanpa
menimbulkan ancaman atau benturan fisik di pihak lawannya.
2) Kontravensi Adalah bentuk proses sosial yang berada di antara persaingan dan
pertentangan atau konflik. Wujud kontravensi antara lain sikap tidak senang, baik secara
tersembunyi maupun secara terang - terangan seperti perbuatan menghalangi, menghasut,
memfitnah, berkhianat, provokasi, dan intimidasi yang ditunjukan terhadap perorangan atau
kelompok atau terhadap unsur - unsur kebudayaan golongan tertentu. Sikap tersebut dapat
berubah menjadi kebencian akan tetapi tidak sampai menjadi pertentangan atau konflik.
3) Konflik Adalah proses sosial antar perorangan atau kelompok masyarakat tertentu, akibat
adanya perbedaan paham dan kepentingan yang sangat mendasar, sehingga menimbulkan
adanya semacam gap atau jurang pemisah yang mengganjal interaksi sosial di antara
mereka yang bertikai tersebut.

2.5 Masalah-Masalah dalam Interaksi Sosial yang dapat Memicu Konflik Sosial
beberapa bentuk permasalahan yang dapat memicu konflik dalam interaksi sosial adalah:
1. Etnosentrisme
Etnosentrisme secara formal didefinisikan sebagai pandangan bahwa kelompok sendiri
adalah pusat segalanya dan kelompok lain akan selalu dibandingkan dan dinilai sesuai
dengan standar kelompok sendiri.16 Etnosentrisme merupakan sebuah kecenderungan
menghakimi nilai, adat istiadat, perilaku atau aspek-aspek budaya lain yaitu menggunakan
kelompok sendiri dan adat istiadat kita sendiri sebagai standar bagi semua penilaian.17
Etnosentrisme membuat kebudayaan diri sebagai patokan dalam mengukur baik buruknya,
atau tinggi rendahnya dan benar atau ganjilnya kebudayaan lain dalam proporsi
kemiripannya dengan kebudayaan sendiri, adanya. kesetiakawanan yang kuat dan tanpa
kritik pada kelompok etnis atau bangsa sendiri disertai dengan prasangka terhadap
kelompok etnis dan bangsa yang lain. Orang-orang yang berkepribadian etnosentris
cenderung berasal dari kelompok masyarakat yang mempunyai banyak keterbatasan baik
dalam pengetahuan, pengalaman, maupun komunikasi, sehingga sangat mudah
terprofokasi. Perlu pula dipahami bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia masih
berada pada berbagai keterbatasan tersebut. Masyarakat Indonesia yang majemuk yang
terdiri dari berbagai budaya, pada satu sisi, karena adanya berbagai kegiatan dan pranata
khusus di mana setiap kultur merupakan sumber nilai yang memungkinkan terpeliharanya
kondisi kemapanan dalam kehidupan masyarakat pendukungnya, setiap masyarakat
pendukung kebudayaan (culture bearers) cenderung menjadikan kebudayaannya sebagai
kerangka acuan bagi perikehidupannya yang sekaligus untuk mengukuhkan jati diri sebagai
kebersamaan yang berciri khas, sehingga perbedaan antar kebudayaan, justru bermanfaat
dalam mempertahankan dasar identitas diri dan integrasi sosial. Namun ternyata pada sisi
lain justru yang muncul adalah sikap eksklusif yang tidak mau mengakui eksistensi budaya
lain. Menurut Alo Liliweri bahwa kalau ingin komunikasi antarbudaya menjadi sukses maka
hendakla kita mengakui dan menerima perbedaan budaya sebagaimana adanya dan bukan
sebagaimana yang kita kehendaki.18 Memang tidak ada alasan untuk mengklaim apalagi
menolak kahadiran berbagai budaya yang berbeda, karena memang keberagaman tersebut
adalah sebuah keniscayaan.
2. Misunderstanding of culture values
Secara sosiologis, manusia terdiri dari berbagai etnis dan budaya yang saling berbeda dan
mengikatkan dirinya antara satu dengan lainnya. Suatu bangsa terdiri dari berbagai suku-
suku yang beraneka ragam, masyarakat terdiri dari keluarga-keluarga yang berlainan,
keluarga itu sendiri terdiri dari individu-individu yang tidak sama. Semuanya menunjukkan
adanya perbedaan, keragaman dan keunikan, namun tetap dalam suatu persatuan.
Perbedaan-perbedaan individu melebur menjadi satu kesatuan keluaraga, keluarga melebur
menjadi satu ikatan sosial, keanekaan suku-suku terangkum dalam satu bangsa dan
masyarakat dunia. Keseluruhan parsialitas tersebut adalah bagian dari pluralitas.19
Pluralitas dan keragaman antar suku, bangsa, agama dan budaya dalam pemahaman
kerangkan kesatuan manusia menciptakan sikap-sikap moderat bagi setiap individu,20 itu
pada satu sisi, namun pada sisi lain akan memunculkan gesekan-gesekan yang pada
akhirnya melahirkan sikap egosentrisme yang berimplikasi pada penolakan terhadap budaya
lain dengan klaim budaya sendiri sebagai standar, dengan memaksakan nilai-nilai
budayanya sebagai acuan terhadap budaya lain.
Mengacungkan jari tengah bagi orang Amerika adalah suatu penghinaan, namun bagi orang
Indonesia, hal tersebut adalah biasa-biasa saja. Kalau hal tersebut bagi orang Indonesia
sebagai sesuatu yang wajar saat berada di Amerika, maka kemudian yang akan terjadi
sebuah penolakan karena orang Amerika merasa terhina. Menurut Hafied Cangara dalam
bukunya pengantar ilmu komunikasi bahwa penggunaan bahasa merupakan salah satu
indikator yang sering menghambat jalannya komunikasi. Karena bahasa yang digunakan
terlalu banyak menggunakan jargon bahasa asing sehingga sulit dimengerti oleh khalayak
tertentu. Di samping itu, latar belakang budaya sering menyebabkan salah persepsi
terhadap simbol-simbol bahasa yang digunakan.21 Tidak bisa dipungkiri, masyarakat
Indonesia sebagai masyarakat plural dengan sejumlah ragam bahasa yang berbeda.
Perbedaan-perbedaan bahasa tersebut sering menjadi indikator terjadinya
misunderstanding antar budaya satu dengan budaya yang lain. Mabbuse adalah sebuah
istilah dalam bahasa Sidrap yang sering digunakan kepada orang yang dipersilahkan
makan. Namun bagi orang Bone, istilah tersebut memiliki konotasi yang merendahkan harga
diri bahkan dianggap sebagai sebuah pelecehan. Perbedaan-perbedaan semacam ini, di sisi
lain sebagai khasanah dan kekayaan budaya yang dimiliki Indonesia, namun pada sisi lain,
merupakan boomerang akan lahirnya disintegrasi sosial. Pertanyaan kemudian yang
muncul, apakah keragaman dan perbedaan tersebut mesti dihilangkan, kemudian mengacu
pada satu budaya yang harus diikuti oleh budaya-budaya yang berbeda tersebut?. Tentunya
hal tersebut tidak mungkin bahkan mustahil terjadi. Oleh karena itu, dituntut sebuah kearifan
dalam berbudaya yang mengedepankan nilai toleransi dan menghargai serta mengakui
keberadaan budaya mereka. Di samping itu, pengetahuan akan budaya-budaya lokal sangat
penting agar dapat tercipta keharmonisan dalam keberagaman berbudaya.
3. Stereotip
Stereotip merupakan keyakinan yang terlalu menggenalisir, disederhanakan, atau dilebih-
lebihkan terhadap kelompok etnis tertentu. Stereotip adalah mengidentifikasi individu pada
basis anggota kelompok tertentu, dan menilai diri individu tersebut. Berdasarkan
pemahaman stereotip di atas, Maka ketika kita melakukan kontak antarbudaya dengan
seseorang, pada dasarnya kita sedang berkomunikasi dengan identitas etnis dari individu
tersebut.22 Persoalan besar yang terjadi dalam komunikasi antarbudaya adalah apabila
orang yang berbeda latar belakang etnis memfokuskan secara destruktif stereotip negatif
yang mereka pegang masing-masing yang dinyatakan sebagai kepribadian tertentu.23
Orang-orang Australia meng-streotip-kan orang Indonesia, bahwa orangorang Indonesia
rata-rata, dianggap orang-orang yang menarik, ramah, menyenangkan dan sopan, sering
terlalu sopan, tetapi lamban, tidak efisien dan tak dapat diandalkan. Sebaliknya orang-orang
Indonesia melihat rata-rata orang Australia sebagai kaya, gaduh dan kasar, agak kurang
ajar, sering tidak ramah, agresif dan tidak bermoral
4. Prasangka
Penghambat komunikasi antarbudaya lainnya adalah prasangka. Prasangka akan selalu
merujuk pada pendapat atau penilaian seseorang sebelum kenal dengan orang tersebut.
Prasangka merupakan resistensi atau penolakan terhdap semua bukti yang akan
menggesernya. Kita cenderung menjadi emosional ketika prasangka terancam oleh hal-hal
yang bersifat kontradiktif. Prasangka merupakan sikap yang tidak beralasan terhadap
outgroup yang didasarkan pada komparasi dengan ingroup seseorang. Biasanya,
prasangkan diekspresikan melalui komunikasi. Prasangka merupakan jenis dari kebutuhan
cultural. Ia menghalangi kita untuk melihat realitas secara akurat

2.6 Pengertian Daya Tarik


Daya tarik interpersonal merupakan sikap seseorang mengenai orang lain dimana di
dalamnya ada suatu proses psikologis berfokus pada bagaimana memelihara dan
mengarahkan hubungan hal itu dipengaruhi oleh adanya kesukaan, yang dilihat dari fisik,
penampilan, perilaku, kompetensi, ketulusan sehingga dapat memunculkan hubungan yang
akan terjalin antara kedua belah pihak (Atkinson, 2008). Maka dari itu aspek karakter pribadi
yang dianggap menarik meliputi ketulusan, kehangatan personal, kompetensi dan daya tarik
fisik (Sears, 1992). Baron dan Byrne (dalam Sarwono dan Meinarno, 2009) menjelaskan
bahwa daya tarik interpersonal adalah penilaian seseorang terhadap sikap orang lain,
dimana penilaian ini dapat diekspresikan melalui suatu dimensi, dari strong liking sampai
dengan strong dislike sehingga ketertarikan ini mengacu pada sikap positif dan negatif yang
dibentuk terhadap orang lain.
2.7 Faktor-faktor Daya Tarik
Pada umumnya beberapa faktor yang dianggap sangat penting dalam menentukan daya
tarik interpersonal adalah:
a. Kesamaan (similarity)
Kita cenderung menyukai orang yang sama dengan kita dalam sikap, minat, nilai, latar
belakanga dan kepribadian. Mengapa kesamaan menjadi faktor penting sebagai penentu
daya tarik interpersonal? Terdapat beberapa hal yang dapat dikemukakan dalam hal ini
yaitu:
• Menurut acuan teori Konsistensi Kognitif dan Heider, jika kita menyukai orang lain kita ingin
mereka memilih sikap yang sama dengan kita. Hal ini supaya seluruh unsur kognitif kita
konsisten. Kita menjadi tidak nyaman ketika orang yang kita sukai atau orang terdekat kita
ternyata menyukai apa yang kita benci atau tidak sukai.
• Persepsi tentang adanya kesamaan mendatangkan ganjaran dan perbedaan menimbulkan
hal yang tidak mengenakkan. Kesamaan sikap orang lain dengan kita meneguhkan
kemampuan kita dalam menafsirkan realitas social. Orang yang mempunyai kesamaan
dengan kita cenderung menyetujui gagasan kita dan mendukung keyakinan kita tentang
kebenaran pandangan kita.
• Pengetahuan bahwa orang lain adalah sama dengan kita, menyebabkan kita
mengantisipasi bahwa interaksi di masa datang akan positif dan memberi ganjaran.
• Kita cenderung berinteraksi lebih akrab dengan orang yang memiliki kesamaan dengan
kita dan merekapun juga menjadi lebih kenal dengan kita.
Perbedaan kepribadian dapat menjadi moderator bagi efek kesamaan ini. Kesamaan
sebenarnya akan mengurangi ketertarikan ketika orang memiliki konsep diri yang negatif.
Orang yang memiliki konsep diri rendah lebih tertarik dengan orang yang tidak sama dengan
mereka. Individu yang memiliki self monitoring rendah lebih dipengaruhi oleh kesamaan
sikap. Sedangkan high self monitors tertarik kepada orang lain yang memiliki kesamaan
pada aktivitas yang mereka sukai daripada kesamaan dalam sikap dan nilai.

b. Kedekatan (proximity)
Pada penelitian mengenai ketertarikan, orang cenderung menyukai mereka yang tempat
tinggalnya berdekatan. Persahabatan lebih mudah timbul diantara tetangga yang
berdekatan. Atau diantara mahasiswa yang berdekatan. Semakin dekat jarak fisik, semakin
besar kemungkinan bahwa dua orang mengalami kontak secara berulang atau mengalami
repeated exposure. Repeated exposure adalah kontak yang terus menerus dengan sebuah
stimulus, dimana paparan berulang terhadap stimulus akan berakibat pada evaluasi
terhadap stimulus tersebut (Zajonc,1968 dalam Baron & Byrne,2004:264). Apakah hal-hal
yang membuat orang saling menyukai? Hal tersebut antara lain:
• Kedekatan biasanya meningkatkan keakraban. Kita lebih sering berjumpa dengan
tetangga sebelah kita daripada orang yang kita temui di luar lingkungan kita. Eksposur yang
berulang ini dapat meningkatkan rasa suka.
• Kedekatan sering berkaitan dengan kesamaan.
• Orang yang dekat secara fisik lebih mudah dijangkau daripada orang yang berada di
tempat yang jauh. Kemudahan ini mempengaruhi keseimbangan ganjaran dan kerugian
interaksi. Hal ini sesuai dengan persepsi teori pertukaran sosial. Diperlukan sedikit usaha
untuk mengobrol dengan tetangga sebelah. Sebaliknya hubungan jarak jauh membutuhkan
waktu, perencanaan dan biaya yang relatif tinggi.
• Berdasarkan teori konsistensi kognitif kita berusaha mempertahankan keseimbangan
antara hubungan perasaan dan hubungan kesatuan kita. Secara lebih spesifik, kita
dimotivasi untuk menyukai orang yang ada kaitannya dengan kita dan untuk mencari
kedekatan dengan orang yang kita sukai. Tinggal atau bekerja berdampingan dengan orang
lain yang tidak kita sukai akan menimbulkan tekanan psikologis, sehingga kita akan
mengalami tekanan kognitif untuk menyukai orang yang ada hubungannya dengan kita.
• Orang memiliki harapan untuk berinteraksi lebih sering dengan mereka yang tinggal paling
dekat dengannya. Hal ini menyebabkan is cenderung untuk menekankan aspek-aspek
positif dan meminimalkan aspek-aspek negatif dan hubungan itu sehingga hubungan di
masa datang akan lebih menyenangkan.
c. Keakraban (familiarity)
Semakin seringnya kita berhadapan dengan seseorang akan meningkatkan rasa suka kita
terhadap orang tersebut. Sebagaimana basil penelitian Robert Zajonc tentang efek terpaan
(more exposure effect) dimana hasil penelitiannya menunjukkan bahwa orang akan
mengembangkan perasaan positifpada obyek dan individu yang sering mereka lihat (dalam
Dayakisni, 2006:161). Mungkin hal ini bisa dikutipkan dan ungkapan dalam bahasa Jawa
"wiling tresno jalaran soko kulino" (jatuh cinta karena sering atau terbiasa bertemu) dimana
rasa cinta tumbuh dan berkembang seiring intensitas keakraban yang terjalin antar individu.

d. Daya Tarik Fisik


Ketika kita suka — atau tidak suka- kepada seseorang pada pndangan pertama, reaksi ini
mengindikasikan bahwa sesuatu mengenai orang itu memunculkan afek positif atau
negative. Kemungkinan, reaksi semacam ini didasarkan pada pengalaman dimasa lalu,
stereotip, dan atribusi yang mungkin relevan atau tidak. Misalnya jika seorang asing
mengingatkan kita pada seseorang yang kita ketahui atau kita suka, maka kita cenderung
menyukainya, begitupun sebaliknya, ketika kita memiliki stereotip terhadap kelompok
tertentu maka kita cenderung tidak menyukainya. Namun, reaksi terhadap karakteristik
superficial terjadi cukup sering, meskipun kadangkala tak masuk akal. Hal ini sebagian
besar dipengaruhi oleh daya tarik fisik (physical attractiveness). Dalam masyarakat kita
biasanya muncul stereotip daya tarik fisik, yang mengasumsikan bahwa segala sesuatu
yang cantik adalah baik. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan sepintas seorang individu
akan membuat suatu kesimpulan tentang sejumlah asumsi kepribadian dan kompetensi
semata-mata berdasarkan penampilan. Penelitian Dion (dalam Baron & Byrne, 2004:278)
misalnya tentang penilaian wajah cantik, membuktikan bahwa mereka cenderung dinilai
akan lebih berhasil dalam hidupnya dan dianggap memiliki sifat-sifat baik. Beberapa
penelitian lain mengungkapkan bahwa karangan orang yang dipandang cantik dinilai lebih
baik daripada karangan serupa yang dibuat oleh orang yang dipandang jelek. Orang cantik
atau tampan juga lebih efektif dalam mempengaruhi pendapat orang lain dan biasanya
diperlakukan lebih sopan.
Salah satu alasan mengapa daya tarik fisik menjadi faktor yang penting adalah karena daya
tarik fisik ini adalah sumber informasi yang tampak dan dengan cepat mudah didapat. Jika
informasi karakteristik personal lainnya seperti intelegensia atau kebaikan hati tidak cepat
tersedia clan kurang kurang menonjol. Hal lainnya adalah kecantikan bagi pasangan dapat
meningkatkan harga din (radiating beauty effect). Meskipun penampilan fisik mungkin juga
akan berakibat negatif artinya seseorang yang dikelilingi banyak wanita cantik mungkin akan
menjadi kurang menarik (sekalipun jika sendirian sebenarnya dia juga cantik dan menarik)
karena adanya proses pembandingan. Hal ini disebabkan oleh contrast effect.

Daya tarik fisik sendiri dapat mempengaruhi kepribadian si pemiliknya. Kita dapat
mengidentifikasikan tiga faktor sosial yang berkaitan dengan daya tarik fisik (dalam
Dayakisni, 2006: 162-163) yaitu:
• Orang-orang memiliki harapan yang berbeda tentang individu yang menarik penampilan
fisiknya dibandingkan dengan individu yang kurang atau tidak menarik.
• Orang-orang yang secara fisik menarik menerima perlalcuan yang ber-beda dan lebih
mendapatkan keberuntungan dalam pertukaran sosial.
• Perlakuan yang berbeda akan mengarahkan pada perbedaan kepribadi an dan
ketrampilan sosial (social skill) barangkali hal ini disebabkan oleh adanya keinginan untuk
memenuhi kebutuhan diri sendiri (self-fulfilling prophecy).
• Beberapa penelitian menunjukkan bahwa anak-anak yang memiliki daya tarik fisik
cenderung memiliki harga diri yang lebih tinggi daripada anak yang kurang menarik fisiknya
serta cenderung kurang agresif dibandingkan anak-anak yang kurang menarik.
• Mereka yang cenderung memiliki hubungan yang lebih baik, lebih asertif dan lebih percaya
diri.
Meskipun daya tank fisik kuat, banyak orang yang tidak terlalu akurat dalam memperkirakan
bagaimana orang lain menilai penampilan mereka. Laki-laki (terutama), mempunyai
perkiraan yang lebih tentang daya tank mereka bagi orang lain. Masalahnya lebih berat
pada perempuan dibandingkan laki-laki, tetapi beberapa orang baik laki-laki maupun
perempuan memberikan respons berupa kecemasan penampilan (appearance anxiety).
Kecemasan penampilan adalah pemahaman atau kekhawatiran mengenai apakah
penampilan fisiknya cukup menarik dan mengenai bagaimana penilaian dari orang lain.
Sebagai contoh mereka yang memiliki kecemasan penampilan akan memiliki kepedulian
yang berlebih-an mengenai bagaimana seseorang dilihat, misalnya "saya merasa sebagian
besar teman-teman saya lebih meenarik secara fisik dibandingkan saya".
e. Kemampuan (ability)
Menurut teori pertukaran sosial dan reinforcement, ketika orang lain memberi ganjaran atau
konsekuensi yang positif terhadap diri kita, maka kita cenderung ingin bersamanya dan
menyukainya. Orang yang mampu, kompeten dan pintar dapat memberi beberapa ganjaran
(keuntungan) kepada kita. Mereka dapat membantu kita menafsirkan kejadian-kejadian yang
ada, dan sebagainya. Hal-hal seperti ini menyebabkan orang yang memiliki kompetensi,
pintar, lebih disukai daripada yang tidak memiliki kemampuan tersebut.

Suatu perkecualian yang menarik adalah hasil telaahan Aronson, Willerman & Floyd (dalam
Dayakisni, 2006: 163-164) yang menemukan bahwa orang yang paling disenangi justru
orang yang memiliki kemampuan tinggi tetapi menunjukkan beberapa kelemahan. la
menciptakan empat kondisi eksperimental yaitu:
• Pertama, orang yang memiliki kemagtpuan tinggi dan berbuat salah. Orang-orang dengan
tipe pertama ini dinilai paling menarik.
• Kedua, orang yang berkemampuan tinggi tetapitidak berbuat salah. Orang-orang dengan
tipe kedua ini dinilai menarik.
• Ketiga, orang yang memiliki kemampuan rata-rata dan berbuat salah. Orang dengan tipe
ketiga ini dinilai sebagai orang yang paling tidak menarik.
• Keempat, orang yang berkemampuan rata-rata dan tidak berbuat kesalahan. Orang biasa
yangbtidak berbuat salah ini ditempatkan dalam urutan ketiga dan sisi 'Jaya tank.

Namun beberapa penelitian berikutnya menunjukkan bahwa orang semakin tidak menarik
karena ia sering berbuat kesalahan, sekalipun orang tersebut adalah orang yang dianggap
memiliki kompetensi tinggi.

f. Tekanan Emosional (stress)


Bila individu berada dalam situasi yang mencemaskan atau menakutkan ia cenderung
menginginkan kehadiran orang lain. Dan hal ini lama kelamaan akan menimbulkan rasa
suka kepada orang yang menemaninya tersebut. Hasil penelitian Schahter (dalam
Dayakisni, 2006:164) menunjukkan bahwa subyek dengan rasa takut tinggi lebih ingin
berafiliasi dibandingkan subyek dengan rasa takut rendah. Semakin besar rasa takut maka
semakin besar pula keinginan untuk berafiliasi dengan orang lain.
Terdapat dua kemungkinan dalam hal proses psikologi yang menyebabkan orang yang takut
melakukan afiliasi dengan orang lain. Pertama, hipotesis pengalihan yaitu orang yang
merasa takut melakukan afiliasi untuk mengalihkan pikiran mereka dari masalah yang
mereka hadapi. Dalam hal ini orang tersebut cenderung tidak mempersoalkan dengan siapa
is berafiliasi. Kedua adalah hipotesis yang diajukan oleh teori perbandingan sosial (social
comparison theory) yaitu bahwa orang berafiliasi untuk membandingkan perasaan mereka
sendiri dengan perasaan orang lain dalam situasi yang sama. Bila kita berada dalam situasi
yang ba' atau luar biasa dan tidak mempunyai kepastian tentang bagaimana kita hams
bereaksi, kita meminta bantuan orang sebagai sumber informasi. Dalam hal ini penting bagi
kita tntuk berafiliasi hanya dengan orang yang menghadapi situasi yang sama. Teori
perbandingan sosial ini lebih banyak mendapatkan dukungan dibanding teori pertama
diatas.

g. Munculnya perasaan/mood yang positif (positive emotional arousal)


Keadaan emosi kita (gembira, sedih, takut dan lain-lain) pada suatu waktu akan
mempengaruhi persepsi, kognisi, motivasi, pengambilan keputusan dan ketertarikkan
interpersonal (Baron & Byrne, 2004:268-269). Psikolog sering menggunakan istilah afek
(affect) yaitu keadaan emosional seseorang, perasaan dan suasana hati. Kita cenderung
tertarik atau suka kepada orang dimana kehadirannya bersamaan dengan munculnya
perasaan positif, bahkan ketika perasaan positif tersebut tidak berkaitan dengan perilaku
orang yang dimaksud. Beberapa telaah penelitian menunjukkan bahwa kita cenderung
tertarik pada orang-orang yang kita jumpai saat di sekeliling kita menyenangkan. Misalnya
kita lebih menyukai dan menilai positif ketika kita bersama dengan orang lain berada dalam
suatu lingkungan yang nyaman, sebuah ruangan dengan suhu yang sejuk daripada dalam
ruangan yang panas. Sebaliknya ketertarikan kita akan berkurang kepada orang lain ketika
kita bertemua dalam sebuah lingkungan atau ruang pertemuan yang panas, bising dan
padat. Dari contoh situasi diatas, dapat kita lihat bahwa afek mempengaruhi ketertarikan kita
dengan dua cara. Efek langsung (direct effect) terjadi jika orang lain mengatakan atau
melakukan sesuatu yang membuat Anda merasa baik atau buruk, dimana kita cenderung
menyukai orang yang membuat diri kita merasa baik dan sebaliknya, tidak menyukai orang
yang membuat kita merasa buruk. Efek asosiatif (associated effect) terjadi ketika orang lain
hadir pada suatu saat dimana keadaan emosional kita positif atau negative, untuk suatu
alasan yang tidak ada hubungannya dengan orang yang kita respons. Meskipun dia
bukanlah penyebab dan apa yang kita rasakan, tetapi kita cenderung mengevaluasi orang
tersebut berdasarkan keadaan afektik kita.

h. Harga diri yang rendah


Penelitian yang dilakukan Elaine Walster menarik kesimpulan bahwa bila harga dirinya
direndahkan maka hasrat berafiliasi individu akan bertambah dan is makin responsif untuk
menerima kasih sayang dan orang lain.

i. Kesukaan secara timbal balik (resiprocal liking)


Ketika kita mengetahui orang lain menyukai kita maka kita dapat mengharapkan ganjaran
(reward) dari mereka. Karena itu, mengetahui kita disukai merupakan ganjaran yang
menguatkan. Kita dapat mengharapkan orang lain membantu kita di masa yang akan datang
dan kita juga akan mengalami perasaan baik atau positif menghadapi suatu kenyataan
bahwa orang lain memikirkan tentang kita menjadi teman (meningkatkan harga diri). Maka
kesukaan akan melahirkan kesukaan dan rasa seperti persahabatan biasanya memberikan
arti bahwa persahabatan itu akan kembali lagi. Hubungan timbal balik merupakan sesuatu
yang kompleks. Beberapa studi mengemukakan bahwa seberapa banyak kita memikirkan
orang lain menyukai kita (perceived reciprocity) adalah lebih penting daripada seberapa
banyak seseorang sebenarnya menyukai kita (actual reciprocity). Beberapa hasil penelitian
menunjukkan bahwa orang pada umumnya menyukai seseorang yang menyukai dirinya,
bahkan ketika rasa suka itu tidak secara langsung timbal balik. Sebagai ilustrasi hasil
penelitian Curtis & Miller (dalam Dayakisni, 2006:166) menemukan bahwa orang yang
secara salah dibimbing pada suatu keyakinan bahwa subyek lain menyukai mereka. Maka
orang tersebut akan lebih setuju dengan subyek yang menyukainya itu, akan lebih
mengungkapkan din dan lebih memiliki nada suara dan sikap yang umumnya positif
terhadap subyek tersebut, dibandingkan ketika is tidak dibimbing pada suatu keyakinan
bahwa mereka disukai. Pada orang pertama ternyata perilakunya yang demikian itu akan
membimbing pada perilaku positif yang timbal balik oleh subyek lain tersebut dan
meningkatkan kesukaan diantara mereka. Dengan demikian terjadi fenomena self fulfilling-
prophecy yaitu keyakinan bahwa ketika kita disukai orang lain maka mungkin hal tersebut
akan menyebabkan kita berperilaku dalam cara-cara yang menyenangkan orang lain
tersebut, sehingga menyebabkan orang lain itupun akan berbalik menyukai kita juga.

j. Ketika yang berlawanan saling tertarik: saling melengkapi (complementary)


Kita telah melihat bahwa kesamaan sikap dannilai mendorong meningkatnya daya tarik.
Namun bagaimana dengan fenomena sadistis dan masochisme? Keduanya tampak benar-
benar tidak sama, sadistis menyukai untuk melukai orang lain sedangkan masochisme justru
senang diperlakukan kasar oleh orang lain. Dalam hal ini terlihat daya tank yang
berlawanan. Individu yang memiliki kepribadian dominan tidak akan berhubungan lebih lama
dengan orang lain yang dominan juga. Individu yang dominan membutuhkan pasangan
yang submisif yang akan membantu memenuhi kebutuhan-kebutuhan diantara mereka.
Perilaku yang saling melengkapi adalah mungkin untuk tingkah laku yang dominan submisif.
 
2.8 Pengertian Perilaku Prososial

Berikut adalah beberapa definisi perilaku atau tindakan prososial menurut beberapa ahli :

 Perilaku prososial merupakan tindakan bertujuan untuk kepentingan orang lain


(Kassin, Fein & Markus, 2011).
 Lebih lanjut, perilaku prososial merupakan semua jenis tindakan yang dimaksudkan
untuk memberikan manfaat bagi orang lain selain diri sendiri, seperti bekerja sama,
berbagi, dan menghibur (Batson, dalam Sanderson, 2011).
 Prososial diartikan sebagai sosial positif, sehingga perilaku prososial merupakan
perilaku yang mempunyai akibat atau konsekuensi yang positif bagi orang lain,
sehingga ketika seseorang melakukan bantuan terhadap orang lain, prososial
memiliki arti sebagai sosial positif atau mempunyai konsekuensi positif
(Fetchenhauer, dkk, 2006).
 Sosial positif ini didasarkan atas nilai-nilai positif yang ada di masyarakat dan
biasanya di tuntut untuk dilakukan (Staub, dalam Ma, Li, & Pow, 2011).
 Definisi lain menurut Baumeister dan Bushman (2011), Perilaku prososial
didefinisikan sebagai perilaku yang baik untuk orang lain atau bagi masyarakat
secara keseluruhan. Perilaku prososial adalah perilaku baik yang memberikan
kesejahteraan sosial. Hal ini bisa bermacam dari perilaku altruistik (sukarela),
menjadi murah hati (seperti memberikan uang atau darah), atau perilaku sejenis
lainnya (Bierhoff, 2002).
 Perilaku prososial merupakan salah satu bentuk perilaku yang muncul dalam kontak
sosial, sehingga perilaku prososial adalah tindakan yang dilakukan atau
direncanakan untuk menolong orang laintanpa mempedulikan motif-motif si
penolong (Asih & Pratiwi,2010:1).
 Chaplin dalam Asih dan Pratiwi (1995:53) memberikan pengertian sebagai segala
sesuatu yang dialami oleh individu meliputi reaksi yang diamati.
 Sedangkan Myers dalam Sarwono (2002:328) menyatakan bahwa perilaku prososial
adalah hasrat untuk menolong orang lain tanpa memikirkan kepentingan-
kepentingan sendiri. Perilaku prososial dapat dimengerti sebagai perilaku yang
menguntungkan orang lain.
 Secara konkrit, pengertian perilaku prososial meliputi
tindakan berbagi (sharing), kerjasama(cooperation), menolong (helping), kejujuran 
(honesty), dermawan (generousity) serta mempertimbangkan hak dan
kesejahteraan orang lain (mussen dalam Dayakisni, 1988:15).
 Dahriani (2007:30) mengatakan bahwa perilaku prossosial adalah perilaku yang
mempunyai tingkat pengorbanan tertentu yang tujuannya memberikan
keuntungan bagi orang lain baik secara fisik maupun psikologis, menciptakan
perdamaian dan meningkatkan toleransi hidup terhadap sesama, namun tidak ada
keuntungan yang jelas bagi individu yang melakukan tindakan.
 Eisenberg dalam Saripah, mengatakan perilaku prososial adalah tingkah laku
seseorang yang bermaksud merubah keadaan psikis atau fisik penerima
sedemikian rupa, sehingga penolong akan merasa bahwa penerima menjadi
sejahtera atau puas secara material ataupun psikologis.
 Tingkah laku prososial menurut Baron dan Byrne (2005) adalah suatu tindakan
menolong yang menguntungkan orang lain tanpa harus menyediakan suatu
keuntungan langsung pada orang yang melakukan tindakan tersebut, dan mungkin
mengandung suatu resiko bagi orang yang menolongnya tersebut.
 Perilaku prososial bisa menjadi perilaku alturisme ataupun tidak alturisme. Wispe
(dalam Hogg & Voughan, 2002) mendefinisikan perilaku prososial sebagai perilaku
yang memiliki konsekuensi sosial positif yang menyambung bagi kesejahteraan
fisiologis atau psikologis orang lain. Greener mendefinisikan secara ringkas perilaku
sebagai perilaku suka rela (voluntary), dan bertujuan(intention) yang menghasilkan
dampak yang menguntungkan bagi orang lain.

Dari berbagai penejelasan mengenai definisi perilaku prososial di atas dapat diambil sebuah
kesimpulan bahwa perilaku prososial adalah perilaku menolong yang menguntungkan bagi
orang lain tanpa mengharapkan sesuatu ibalan apa pun dan dilakukan secara sukarela
tanpa adanya tekanan. Hal ini sesuai dengan pendapat Myers hasrat untuk menolong orang
lain tanpa memikirkan kepentingan-kepentingan sendiri

2.9 Dimensi Perilaku Prososial


Menurut Mussen dalam Tinne (2012:7), perilaku prososial mencakup hal-hal sebagai berikut
:

 Berbagi, artinya kesedihan seseorang untuk berbagi perasaan dengan orang lain,


baik dalam suasana suka maupun duka suasana duka
 Menolong, artinya kesedihan seseorang untuk memberikan bantuan kepada yang
membutuhkan baik bantuan material maupun moral, termasuk di dalamnya menawarkan
sesuatu yang dapat menunjang, terlaksananya kegiatan orang lain
 Kerjasama, artinya kesediaan seseorang untuk melakukan kerjasama dengan orang
lain untuk mencapai tujuan bersama, termasuk di dalamnya saling memberi, saling
menguntungkan
 Bertindak jujur, artinya kesediaan seseorang untuk bertindak dan berkata apa
adanya, tidak membohongi orang lain dan tidak melakukan kecurangan terhadap orang lain
 Berdarma, artinya kesediaan seseorang untuk memberikan sebagian barang yang
dimilikinya secara sukarela kepada orang yang mebutuhkan

Menurut Schoeder dalam Bierhoff (2002), perilaku prososial dapat mencakup hal-hal
sebagai berikut :

1. Menolong

artinya suatu tindakan yang memiliki konsekuensi memberikan keuntungan atau


meningkatkan kesejahteraan orang lain. Menurut Mc Guire dalam Tinne (2012:5) menolong
dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

 Casual helping, artinya memberikan bantuan kecil kepada seseorang yang baru


dikenal, sebagai contoh : mengambilkan barang yang jauh dan memberikannya kepada
pemiliknya meskipun tidak mengenal pemiliknya.
 Subtantial personal helping, artinya memberikan keuntungan yang nyata kepada
seseorang dengan mengeluarkan usaha-usaha yang cukup dapat diperhitungkan, sebagai
contoh : membantu teman mengangkut barang ketika akan pindah kos.
 Emotional helping, artinya memberikan dukungan secara emosional dan personal
pada seseorang, sebagai contoh : mendengarkan cerita seorang teman yang tengah
menghadapi masalah
 Emergency helping, artinya memberikan bantuan kepada seseorang (lebih kepada
orang yang tidak kenal) yang tengah menghadapi masalah yang serius dan mengancam
keselamatan jiwa, sebagai contoh : menolong korban kecelakaan.

2. Kerjasama

artinya hubungan antara dua orang atau lebih yang secar positif saling tergantung
berkenaan dengan tujuan mereka, sehingga gerak seseorang dalam mencapai tujuan
cenderung akan dapat meningkatkan gerak orang lain untuk mencapai tujuannya.

Dimensi perilaku prososial juga diungkapkan oleh Soekanto dalam Robbik (2011), yang
mengatakan :

 Simpati

Simpati adalah satu sikap emosional yang dicirikan oleh perasaan ikut merasa terhadap
pribadi lain yang mengalami satu pengalaman emosional. Dalam hal ini simpati bertujuan
untuk mengurangi penderitaan orang lain dan ikut merasakan apa yang dirasakan oralng
lain.

 Kerja Sama

Kerja sama adalah kegiatan dua orang atau lebih yang saling membantu dalam satu bidang
kerja atau mencapai tujuan yang sama. Menurut Stewart kerja sama dapat diartikan sebagai
collaboration, karena dalam bersosialisasi bekerja sama memiliki kedudukan yang sentral
karena esensi dari kehidupan sosial dan berorganisasi adalah kesepakatan bekerja sama.

Sedangkan dalam sudut pandang sosiologis, pelaksanaan kerjasama antar kelompok


masyarakat ada tiga bentuk (Soekanto, 1986: 60-63) yaitu:

1. bargaining yaitu kerjasama antara orang per orang dan atau antarkelompok


untuk mencapai tujuan tertentu dengan suatu perjanjian saling menukar barang,
jasa, kekuasaan, atau jabatan tertentu,
2. cooptation yaitu kerjasama dengan cara rela menerima unsur-unsur baru
dari pihak lain dalam organisasi sebagai salah satu cara untuk menghindari
terjadinya keguncangan stabilitas organisasi,
3. coalition yaitu kerjasama antara dua organisasi atau lebih yang mempunyai
tujuan yang sama. Di antara oganisasi yang berkoalisi memiliki batas-batas tertentu
dalam kerjasama sehingga jati diri dari masing-masing organisasi yang berkoalisi
masih ada.
 Berderma

Berderma adalah memberikan sesuatu pada yang membutuhkan

 Membantu

Membantu adalah memberi sokongan atau tenaga supaya menjadi kuat. Wise (dalam
zanden, 1984) menguraikan berbagai bentuk perilaku proposial yaitu:

1. simpati yaitu perilaku yang menunjukkan kepedulian terhadap rasa sakit atau
kesedian orang lain,
2. bekerjasama, yaitu perilaku yang menunjukkan kemampuan dan kesediaan
individu untuk bekerja bersama orang lain, tetapi biasanya tidak selalu untuk keuntungan
bersama,
3. menyumbang, yaitu prilaku member hadiah, sumbangan atau kontribusi
kepada orang lain, biasanya berupa amal,
4. menolong, yaitu perilaku member bantuan kepada orang lain, sehingga orang
lain tersebut dapat mencapai tujuan tertentu atau mendapatkan sesuatu,
5. altruisme, yaitu perilaku menolong yang dilakukan untuk keuntungan orang
lain, tanpa mengharapkan imbalan apapun, umumnya dalam bentuk penyelamatan orang
lain dari bahaya yang mengancam.

Penner et al dalam Mercer dan Debbie (2010:93) membagi prosocial literature dalam


tiga kategori, yaitu:

1. Meso level
Tindakan menolong ditinjau dari segi tingkat interpersonal (contoh : spesifikasi dan
situasi tindakan prososial diantara seseorang dengan lawannya). Faktor-faktor yang
dikatakan dapat menghambat maupun meningkatkan perilaku prososial sebagai
berikut:

 Who need help


Kita akan lebih membantu teman dengan cepat dibandingkan membantu orang
lain yang tidak dikenal.
 Similarity
Kita akan lebih senang membantu orang yang terlihat sama atau mirip dengan
kita. (Contoh : ras, gender)
 Attribution of the cause of the distress
Kita akan kurang membantu orang yang sudah seharusnya bertanggung jawab
atas insiden secara personal. (Contoh : Pemabuk yang terjatuh di jalanan)
 Alcohol
Alkohol dapat mengurangi ketegangan situasi yang diakibatkan oleh orang-orang
di sekitarnya, sehingga pada saat orang minum, mereka menunjukkan tingkat
kecenderungan ingin membantu dikarenakan mereka tidak terpengaruh oleh
kepanikan yang terjadi di sekitarnya.
 Weighing up the costs and benefits
Sebagai bagian dari decision-making process menyarankan bahwa agar para
individu mempertimbangkan antara beban (waktu) yang dipakai jika membantu
dengan beban (perasaan bersalah) jika tidak membantu.

2. Micro level
Terdapat dua pendekatan asal usul kecenderungan prosocial behavior
yaitu : evolutionary theory dan social norm.

 Pertama, pendekatan evolutionary theory ini berpendapat bahwa kita secara


biologis cenderung untuk membantu mereka yang berbagi gen yang sama dengan kita. Hal
ini dikenal sebagai inclusive fitness(kemampuan inklusif) yang merupakan kemampuan
langsung dari keturunan.
 Kedua, Gouldner dalam Mercer dan Debbie (2010:98) mengatakan bahwa norma
timbal balik atau reciprocity merupakan bagian dari genetik bersama dan menyarankan
bahwa norma timbal balik adalah norma budaya bersama. Nilai helping behavior dalam
segi social psychology disebut sebagai social norm.

Social norm adalah kepercayaan atau jenis perilaku yang dianggap normal dan dapat
diterima dalam kelompok tertentu atau masyarakat. Melalui proses sosialisasi, menjadi
keyakinan normatif yang secara internal diadakan yang dapat memiliki efek yang kuat
terhadap cara kita berperilaku.

Berkowitz dalam Mercer dan Debbie (2010:98) juga mengatakan bahwa beberapa orang
akan membantu orang yang membutuhkan serta tidak mengekspetasikan pujian atau rasa
terima kasih dari orang lain. Ini dikatakan memiliki relasi dengan norma dari social
responsibility yang dikatakan membantu orang lain merupakan hal yang harus kita lakukan,
baik tidak tergantung pada imbalan di masa yang akan datang maupun orang tersebut
pernah membantu kita.

3. Macro level
Volunteering merupakan tipe yang beda dari helping behavior karena direncanakan,
biasanya berjangka panjang, dan dianggap kurang karena lebih cenderung
merupakan rasa kewajiban pribadi.

Clary et al dalam Mercer dan Debbie (2010:101) mengembangkan volunteering


functions inventory (VFI) dalam enam dimensi, sebagai berikut;

o Values
Untuk mengekspresikan atau bertindak dalam nilai yang penting (Contoh : paham
kemanusiaan atau humanitarianism).
o Understanding
Untuk belajar lebih mengenai dunia atau melatih skill yang sering tidak dipakai.
o Inventory enhancement
Untuk meningkatkan dan mengembangkan psikologis pribadi (Contoh : terlibat dalam
kegiatan sukarela).
o Social
Untuk memperkuat relasi sosial.
o Career
Untuk mendapatkan pengalaman yang berkaitan dengan karir.
o Protective
Untuk mengurangi perasaan negatif (Contoh : rasa bersalah, kesepian) atau untuk
mengatasi masalah pribadi.

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Interaksi sosial adalah suatu hubungan antara dua atau lebih individu manusia, dimana
kelakuan individu yang satu mempengaruhi, mengubah, atau memperbaiki kelakuan individu
yang lain, atau sebaliknya. Suatu interaksi sosial tidak akan mungkin terjadi apabila tidak
memenuhi dua syarat yaitu adanya kontak sosial dan komunikasi. Kontak sosial dapat
berlangsung dalam tiga bentuk yaitu antara orang perorangan, antara orang perorangan
dengan suatu kelompok manusia atau sebaliknya, antara suatu kelompok manusia dengan
kelompok manusia lainnya. Komunikasi adalah bahwa seseorang yang memberi tafsiran
kepada orang lain (yang berwujud pembicaraan, gerak-gerak badaniah atau sikap),
perasaan-perasaan apa yang ingin disampaikan oleh orang tersebut. Orang yang
bersangkutan kemudian memberi reaksi terhadap perasaan yang ingin disampaikan.
Dengan adanya komunikasi sikap dan perasaan kelompok dapat diketahui oleh kelompok
lain atau orang lain. Hal ini kemudian merupakan bahan untuk menentukan reaksi apa yang
akan dilakukannya.
Ada tiga jenis interaksi sosial, yaitu: Interaksi antara Individu dan Individu, Interaksi antara
Kelompok dan Kelompok, dan Interaksi antara Individu dan Kelompok. Interaksi sosial
mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: Ada pelaku dengan jumlah lebih dari satu orang, Ada
komunikasi antarpelaku, Ada dimensi waktu, dan Ada tujuan-tujuan tertentu. Faktor-faktor
dalam interaksi sosial yaitu Faktor Imitasi, Faktor Sugesti, Fakor Identifikasi, dan Faktor
Simpati.
DAFTAR PUSTAKA
Angraini, Dewi, Hijriati Cucuani. Hubungan Kualitas Persahabatan Dan Empati Pada
Pemaafan Remaja Akhir.Jurnal Psikologi 10.1 (2014). http://ejournal.uin-
suska.ac.id/index.php/psikologi/article/viewFile/1175/1067

Brahmasari, Ida Ayu , Agus Suprayetno. Pengaruh Motivasi Kerja, Kepemimpinan dan
Budaya Organisasi Terhadap Kepuasan Kerja Karyawan serta Dampaknya pada
Kinerja Perusahaan (Studi kasus pada PT. Pei Hai International Wiratama
Indonesia). Jurnal Manajemen dan Kewirausahaan 10.2 (2008).
http://jurnalmanajemen.petra.ac.id/index.php/man/article/view/17039

Fernanda , Mistio Mesa, Afrizal Sano, Nurhafanah. “HUBUNGAN ANTARA KEMAMPUAN


BERINTERAKSI SOSIAL DENGAN HASIL BELAJAR.” Jurnal Ilmiah Konseling 1
(2012). http://ejournal.unp.ac.id/index.php/konselor/article/view/698/592 .

Herimanto., Winarno. (2014). Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Jakarta: PT Bumi Aksara.

Mawardi, Nur Hidayati. (2009). Ilmu Alamiah Dasar, Ilmu Sosial Dasar, Ilmu Budaya Dasar.
Bandung: Pustaka Setia

Muslim, Asrul. INTERAKSI SOSIAL DALAM MASYARAKAT MULTIETNIS. Jurnal Diskursus


Islam 1.3 (2013). file:///C:/Users/ASUS/Downloads/6642-16029-1-SM.pdf

Sartika, Widya., Azrul Said, Indra Ibrahim.” MASALAH-MASALAH INTERAKSI SOSIAL


SISWA DENGAN TEMAN SEBAYA DI SEKOLAH.” Jurnal Ilmiah Konseling 2 (2013).
http://ejournal.unp.ac.id/index.php/konselor/article/view/877/736.

Putri, Hening Pramesthi. Daya Tarik Interpersonal Alumni Hitman System. Tugas Akhir (2015).
file:///C:/Users/ASUS/Downloads/dayatarik%201.pdf

Ria, Benny Dikta Rianggi, Fadillah, Desni Yusniarni., Faktor Dominan yang Mempengaruhi
Kemampuan Berinteraksi Sosial.
http://jurnal.untan.ac.id/index.php/jpdpb/article/view/2020/1965
Ristianti, Amie. Hubungan Antara Dukungan Sosial Teman Sebaya dengan Identitas Diri
Pada Remaja di SMA Pusaka 1 Jakarta.
http://publication.gunadarma.ac.id/handle/123456789/1581

Roan, Barrah Arawinda. (2017). Apa yang dimaksud perilaku prososial.


https://www.dictio.id/t/apa-yang-dimaksud-dengan-tindakan-atau-perilaku-
prososial/8392. Diakses pada Minggu, 9 desember 2018, pukul 11.04

Syafitri, Nuriza. HUBUNGAN INTERAKSI SOSIAL DENGAN MOTIVASI BELAJAR


MAHASISWA SEMESTER II PROGRAM STUDI DIPLOMA III
KEBIDANAN STIKES MUHAMMADIYAH KLATEN. Karya Tulis Ilmiah (2010).
https://eprints.uns.ac.id/8193/

Anda mungkin juga menyukai