Anda di halaman 1dari 15

Jakarta Waterfront City | https://adipatirahmat.wordpress.

com/2010/01/06/jakarta-waterfront-city/

JANUARY 6, 2010JANUARY 6, 2010  /  ADIPATI RAHMAT


JAKARTA WATERFRONT CITY

oleh

Dameria Panjaitan, Rahmat Yananda, Adipati Rahmat

Jakarta Waterfront City, pada dasarnya merupakan pembangunan
pantai   terpadu   yang   meliputi   pembenahan,   penataan   dan
pembangunan   pantai,   sebagai   proses   menangani   masalah
perkotaan   yang   jauh   lebih   besar.   Seperti,   penataan   permukiman
dipesisir   pantai,   penanganan   masalah   sampah,   regulasi   masalah
pembuangan limbah serta masalah sosial yang menyangkut kondisi
nelayan dan kondisi kesehatan masyarakat di sekitar pantai.

Sebagai kota pesisir yang merupakan kawasan strategis, Jakarta
Utara perlu dikembangkan sebagai Jakarta Waterfront City yang
mempunyai tujuan utama merevitalisasi, memperbaiki kehidupan
masyarakat pantai, termasuk nelayannya. Pantai juga ditata
kembali bagi kesejahteraan masyarakat, dengan memberdayakan
keunggulan ekonomis dari pantai tersebut, seperti pariwisata,
industri, pelabuhan, pantai untuk publik dan juga perumahan.

1. PENDAHULUAN

1.1. Paradigma Pembangunan

Pembangunan   Indonesia   sejauh   ini   telah   menitikberatkan


pembangunan   pada   bidang   ekonomi.   Pendekatan   dalam   bidang
ekonomi   tersebut,   dianggap   mampu   mengatasi   masalah
pemenuhan   kebutuhan   hidup,   penyediaan   infrastruktur,
penciptaan lapangan kerja dan menumbuhkan ekonomi bagi sektor
riil.   Namun,   perlu   diperhatikan   bahwa,   aspek   pembangunan
tersebut   lebih   terfokus   kepada   upaya   menumbuhkembangkan
sektor‐sektor   unggulan   yang   berbasis   daratan.   Hal   ini   mudah

1 of 15 4/10/2020, 1:15 PM
Jakarta Waterfront City | https://adipatirahmat.wordpress.com/2010/01/06/jakarta-waterfront-city/

dimengerti   mengingat   sebagai   zambrud   khatulistiwa,   Indonesia


dikaruniai   daya   dukung   alam   yang   tinggi.   Sebagaimana
disampaikan   dalam   hasil   penelitian   Worldbank   Tahun   2005,
tentang   sebaran   income   negara,   sektor   berbasis   kelautan   hanya
menghasilkan   kurang   dari   5%   dari   keseluruhan   pendapatan
negara.

Tak terhindarkan, bahwa orientasi pembangunan di Indonesia jauh
lebih lebih dititikberatkan pada potensi alam di daratan (landward
oriented   development),   sementara   pembangunan   berbasis   kelautan
(seaward   oriented   development)   jauh   dari   nilai   optimal.   Jika   kita
berpegangan kepada faktor sejarah, budaya maritim dan proporsi
luasan darat –laut Indonesia, seharusnya, pembangunan kita lebih
ditumpukan pada pembangunan yang berbasis kelautan.
[1]
Namun sebagaimana yang disampaikan oleh Adisasmita  (2008),
bahwa   pendekatan   pembangunan   berbasis   daratan   dan   lautan
tidak   perlu   dipertentangkan.   Sebaliknya,   keduanya   harus
dilakukan secara simultan. Simultan dalam pengertian ini berarti
serentak   dan   serempak.   Keduanya,   landward   dan   seaward   harus
bersinergi satu sama lain.

Pembangunan   yang   berbasis   kepada   paradigma   kelautan   sudah


didengung‐dengunkan   sejak   terbentuknya   Departemen   Kelautan
dan   Perikanan   di   Tahun   1999   yang   lalu.   Pemicunya   adalah
kesadaran atas besarnya potensi kelautan dan perikanan perairan
Indonesia yang secara laten terus menerus mengalami penjarahan
oleh   negara   tetangga.   Selain   itu   mulai   berkurangnya   pemasukan
negara dari sektor hasil hutan dan tambang juga mejadi pemicu.

Fakta   menunjukkan,   bahwa   sekitar   60%   dari   populasi   dunia


berdiam di kawasan selebar  60 km dari pantai dan diperkirakan
akan meningkat menjadi 75% pada tahun 2025, dan 85% pada 2050.
Ditjen Pesisir dan Pulau‐pulau Kecil sendiri menyebutkan bahwa[2]
sejumlah 166 kota di Indonesia berada ditepi air (Waterfront) .

Teknologi   penginderaan   jauh   dua   tahun   silam   menyajikan   kabar


yang   mengkhawatirkan.   Disebutkan   bahwa   sebagai   dampak   dari
pemanasan   global,   permukaan   air   laut   secara   lobal   telah
mengalami percepatan kenaikan dari 1 hingga 3 mm/tahun. Hal ini
merupakan ancaman bagi setiap kawasan perkotaan yang berada
pada tepi air, khususnya tepi laut.

Paper ini merupakan upaya penggalian pra resolusi atas ancaman
kenaikan   muka   air   laut   bagi   kawasan   perkotaan   di   Indonesia,
khususnya   Kotamadya   Jakarta   Utara   sebagai   kawasan   pesisir
dengan   nilai   ekonomi   (baik   secara   potensi   maupun   ketersediaan
infrastruktur) yang terbesar di Indonesia.

1.2. Kota Jakarta Utara

2 of 15 4/10/2020, 1:15 PM
Jakarta Waterfront City | https://adipatirahmat.wordpress.com/2010/01/06/jakarta-waterfront-city/

Jakarta   Utara   adalah   kota   administrasi   di   sebelah   utara   Daerah


Khusus   Ibukota   Jakarta,   yang   berbatasan   dibagian   Utara   dengan
Laut Jawa, dibagian Timur dengan Bekasi, dibagian Selatan dengan
Jakarta Barat, Jakarta Pusat dan Jakarta Timur; dan dibagian barat
dengan   Kota   Tangerang.   Secara   administratif,   wilayah   Jakar     ta
Utara   terdiri   atas   7   Kecamatan,   yaitu   kecamatan   Pulau   Seribu,
Kecamatan   Penjaringan,   Kecamatan   Pademangan,   Kecamatan
Tanjung   Priok,   Kecamatan   Koja,   Kecamatan   Kelapa   Gading   dan
Kecamatan Cilincing.

Berdasarkan Tabel dibawah ini, dapat diketahui bahwa dari jumlah
penduduknya,   jumlah   terbesar   berada   pada   Kecamatan   Tanjung
Priok sebesar 312.349 jiwa, dan jumlah penduduk terendah ada di
Kecamatan Kelapa Gading sebesar 107.557 jiwa.

Tanpa perlu diancam oleh kenaikan muka air laut pada Tahun 2050
nantipun, pada dasarnya jumlah penduduk di Kota Jakarta Utara
secara   signifikan   terus   mengalami   penurunan.   Tingkat
pertumbuhan   negatif   ini   secara   logis   diakibatkan   oleh   semakin
tidak   kondusifnya   Kota   Jakarta   Utara   sebagai   tempat   tinggal,
dikarenakan  biaya hidup yang semakin tinggi,  NJOP  lahan yang
meroket, polusi udara, air dan suara yang melebihi batas hingga
minimnya   sarana   dan   prasarana   umum   karena   telah
bertransformasi menjadi kawasan bisnis terpadu.

Secara   geomorfologis,   wilayah   Pantai   Utara   (Pantura)   Jakarta


berada   pada   satuan   geomorfologi   dataran   aluvial.   Wilayah   ini
terutama tersusun atas endapan aluvial lempung hingga lanauan,
yang   sebagian   besar   berupa   lempung   rawa   yang   banyak
mengandung  sisa‐sisa tumbuhan, lembab,  plastisitas rendah,  dan
kedap air. Karena didominasi oleh lapisan sedimen, maka wilayah
pantai utara Jakarta sangat berpotensi mengalami fenomena Land
[4]
subsidence . Fenomena   penurunan   tanah   ini   disebabkan   oleh
beberapa   faktor   yaitu   :   pengambilan   air   tanah   yang   berlebihan,
penurunan   karena   beban   bangunan,   penurunan   karena   adanya
konsolidasi   alamiah   dari   lapisan‐lapisan   tanah,   serta   penurunan
karena gaya‐gaya tektonik.

Land   Subsidence   telah   cukup   lama   dilaporkan   terjadi   di   wilayah


Jakarta Utara. Menurut para peneliti selama ini ada empat tipe land
subsidence   yang   mungkin   terjadi   di   basin   Jakarta,   yaitu   land
subsidence   karena   pengambilan   air   tanah   yang   berlebihan,   land
subsidence karena beban bangunan, land subsidence   karena   adanya
konsolidasi alamiah dari lapisan‐lapisan tanah, serta land subsidence
yang diakibatkan oleh timbulnya gaya tektonik.

Terjadinya   penurunan   tanah   sebanyak   20   hingga   200   sentimeter


telah   terdeteksi   dalam   periode   1982   hingga   1997.   Kecepatan
penurunan tanah di Jakarta Utara berkisar sekitar satu hingga lima
sentimeter   per   tahun.   Bahkan   berdasarkan   pengukuran   terbaru

3 of 15 4/10/2020, 1:15 PM
Jakarta Waterfront City | https://adipatirahmat.wordpress.com/2010/01/06/jakarta-waterfront-city/

pada Tahun 2007‐2008, terjadi penurunan 17 hingga 26 sentimeter
per tahun.

1.3. Ancaman Kenaikan Muka Air Laut

Kawasan   Jakarta   Utara   yang   merupakan   kawasan   yang   berada


pada   wilayah   pesisir,   akan   merasakan   kemungkinan   dampak
negatif langsung dari fenomena perubahan kedudukan muka laut
terutama   di   beberapa   wilayah   seperti   Kelurahan   Kamal   Muara,
Kelurahan Muara Angke, Kelurahan Penjaringan, Kelurahan Pluit,
Kelurahan Pademangan, Kelurahan Ancol, dan Kelurahan Tanjung
Priok.

Dampak lain yang menimpa ekosistem pesisir bisa disebabkan oleh
naiknya   permukaan   air   atau   naiknya   temperatur   permukaan   air,
seperti   memicu   terjadinya   coral   bleaching   dan   coral   desease,
terganggunya   habitat   mangrove   dan   ekologi   rumput   laut   dan
ganggang (Windriani, 2009:12).

Dampak lain yang timbul akibat naiknya permukaan laut adalah
mundurnya   garis   pantai.   Tidak   hanya   pantai   utara   Jawa,   garis
pantai   utara   dari   Propinsi   Jawa   Tengah   sampai   Propinsi   Banten
juga   akan   berpotensi   mengalami   kemunduran.   Jika   di   Marunda
diperkirakan garis pantai akan mundur sejauh 32,05 meter, maka di
pantai   Bedono   Kabupaten   Demak   kemundurannya   mencapai
hingga 175,60 meter (Windriani, 2009:22‐23).

1.4. Integrated Coastal Zone Management dan Waterfront City

Dengan   demikian,   timbul   suatu   pertanyaan,   bagaimanakan


Integrated   Coastal   Zone   Management   dapat   membangun   kawasan
pesisir dalam menghadapi perubahan iklim?

Ada   empat   jenis   respon   yang   disampaikan   dilakukan   dalam


perencanaan kota terhadap naiknya permukaan air laut. Pertama,
tidak   melakukan   tindakan   apapun   (doing   nothing)     kerena   tidak
yakin   dengan   kenaikan   permukaan   air   laut.   Kedua,   daerah   garis
pantai dimundurkan (managed retreat) agar tersedia tempat untuk
menampung   luapan   air   akibat   kenaikan   permukaan.   Ketiga,
beradaptasi   secara   struktural   (structural   protection)   terhadap
kenaikan   permukaan   air   laut.   Misalnya,   rumah   dibuat   bisa
terapung.   Keempat,   respon   yang   dilakukan   tidak   hanya   terkait
kenaikan permukaan air laut, tetapi lebih jauh mengarah kepada
pendekatan regional. Respon perencanaan ini melingkupi seluruh
permasalahan terkait pesisir  seperti ekosistem pesisir, area rekreasi
dan   perikanan.   Respon   ini   dinamakan   dengan   Integrated   Coastal
Zone Management (ICM) (Antin, 2009:16‐24).

Antin menjelaskan bahwa pendekatan ICM satu kota menghadapi
masalah kenaikan permukaan air laut bekerja sama dengan kota‐

4 of 15 4/10/2020, 1:15 PM
Jakarta Waterfront City | https://adipatirahmat.wordpress.com/2010/01/06/jakarta-waterfront-city/

kota   lainnya   secara   nasional   dan   internasional.   Kota   dan   negara


bersama‐sama membuat kesepakatan, tentang informasi kenaikan
muka   air   laut   di   masing‐masing   wilayah   misalnya.   Kerja   sama
bentuk lain, misalnya satu kota mengalami penurunan permukaan
tanah.   Kota   yang   mengalami   sedimentasi   dapat   membantunya
dengan   mengirimkan   sedimen.   Kota‐kota   tersebut   tinggal
mengatur   pengangkutannya.   Pendekatan   hybrid   diyakini   lebih
efektif   dalam   mengatasi   dan   mengantisipasi   naiknya   permukaan
air   laut.   Dalam   tulisan   ini,   pendekatan   ICM   menjadi   platform
membangun kota pesisir yakni Waterfront City, dimana paradigma
pembangunan   akan   menyelaraskan   pendekatan   dengan   berbasis
kepada daratan dan lautan sebagai panduannya.

2. STUDI LITERATUR

2.1. Integrated Coastal Zone Management (ICZM)

Menurut Intergovernmental Panel on Climate Change IPCC (2004)
dalam Dahuri (1996)[6], pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu
(Integrated Coastal Zone Management) merupakan cabang ilmu baru
bukan   saja   di   Indonesia,   namun   juga   ditingkat   dunia.   Dahuri
mengatakan   bahwa   pengelolaan   zona   pantai   terpadu   (ICZM)
adalah   sebuah   proses   untuk   pengelolaan   pantai   menggunakan
pendekatan   terpadu,   mengenai   semua   aspek   dari   zona   pantai,
termasuk batas geografis dan politik, dalam usaha untuk mencapai
pengelolaan sumberdaya yang keberlanjutan.

Konsep ini mulai diperkenalkan pada tahun 1992 selama KTT Bumi
Rio   de   Janeiro[7].   Kebijakan   tentang   ICZM   diatur   dalam
persidangan dari puncak dalam Agenda 21, Bab 17. Komisi Eropa
mendefinisikan   ICZM   sebagai   berikut:   ICZM   adalah   dinamis,
multidisiplin   dan   proses   berulang‐ulang   untuk   mempromosikan
pengelolaan   berkelanjutan   wilayah   pesisir.   ICZM     meliputi
perencanaan   (dalam   arti   luas),   pengambilan   keputusan,
pengelolaan   dan   pemantauan   pelaksanaan.   ICZM   menggunakan
partisipasi   dan   kerjasama   dari   semua   stakeholder   untuk   menilai
tujuan‐tujuan masyarakat dalam suatu wilayah pesisir, dan untuk
mengambil tindakan terhadap tujuan‐tujuan pertemuan ini. ICZM
mencari, selama jangka panjang, untuk keseimbangan lingkungan,
ekonomi, sosial, budaya dan tujuan rekreasi, semua dalam batas‐
batas yang ditentukan oleh dinamika alam.

Konsep ‘Terpadu’ di bagan diatas mengacu pada tujuan integrasi
dari   komponen   darat   dan   laut   dari   wilayah   pesisir,   baik   dalam
waktu   dan   ruang.   Dengan   demikian   ICZM   dapat   sangat
bermanfaat   bagi   pembangunan   perkotaan:   memfasilitasi   alokasi
sumber   daya;   merencanakan   resolusi   konflik;   memberikan
perlindungan   lingkungan   hingga   meningkatkan   kualitas   hidup
manfaat ekonomi.

5 of 15 4/10/2020, 1:15 PM
Jakarta Waterfront City | https://adipatirahmat.wordpress.com/2010/01/06/jakarta-waterfront-city/

Hal‐hal   tersebut   diatas   sendiri,   merupakan   prinsip‐prinsip   dasar


pembangunan suatu Waterfront City (Kota Pesisir). Dimana isu‐isu
kawasan perkotaan dan pesisir harus diintegrasikan dalam proses,
serta tidak dilihat sebagai penghalang namun sebagai keuntungan.
Dan   perencanaan   kota‐kota   pesisir   pantai   harus
mempertimbangkan   ICZM   sebagai   proses   manajemen   dalam
mengelola potensi sumber daya pesisir dan laut.

2.2. Waterfront City

Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau‐pulau Kecil dalam Pedoman
[9]
Kota   Pesisir   (2006)   mengemukakan   bahwa   Kota   Pesisir   atau
Waterfront City merupakan suatu kawasan yang terletak berbatasan
dengan air dan menghadap langsung ke laut, sungai, danau dan
sejenisnya.   Wilayah   waterfront   tersebut   terletak   dalam   satu   kota
yang   pada   mulanya   dapat   diartikan   sebagai   simpul   akhir   untuk
tempat penyimpanan sementara serta bongkar‐muat produk yang
diperdagangkan sebelum dikirim kewilayah lain, dengan kata lain
biasa disebut sebagai daerah dermaga atau Dockland.

2.2.1. Karakteristik Kota Pesisir

Sebagai   bagian   dari   kawasan   pesisir,   kota   pesisir   mempunyai


karakteristik   open   acces,   multi   use,   namun   rentan   terhadap
kerusakan   serta   perusakan,   sehingga   dalam   pengelolaannya
mensyaratkan   perlunya   landasan   keterpaduan.   Kota   pesisir
merupakan   kawasan   yang   strategis   dengan   berbagai   keunggulan
komparatif   dan   kompetitif   yang   dimilikinya   sehingga   berpotensi
menjadi   prime  mover   bagi   pengembangan   wilayah   lokal,   regional
dan nasional. Bahkan secara historis menunjukan bahwa wilayah
pesisir   ini   telah   berfungsi   sebagai   pusat   kegiatan   masyarakat
karena berbagai keunggulan fisik dan geografis yang dimilikinya.

Secara sosial, potensi jumlah penduduk kota pesisir sangat besar
dan   dapat   dikatakan   bahwa   wilayah   ini   merupakan   cikal   bakal
perkembangan urbanisasi Indonesia pada masa yang akan datang.
Dengan   mata   pencaharian   dalam   sektor   marjinal   seperti   buruh
pelabuhan,   nelayan   kecil,   industri   perikanan   rumah   tangga   dan
lain‐lain,   maka   tingkat   penghasilan   dan   kesejahteraan
masyarakatnya masih sangat rendah. Disamping itu dengan tingkat
pendidikan   yang   belum   memadai   maka   makin   membuat   sulit
untuk berkembang.

2.2.2. Waterfront City di Indonesia

Secara administratif kondisi kota pesisir pada era otonomi daerah,
menunjukkan   bahwa   ada   kecenderungan   masing‐masing   daerah
otonom memiliki kewenangan yang lebih luas dalam pengelolaan
dan   pemanfaatan   wilayahnya.   Kondisi   ini   berpotensi
memunculkan   adanya   konflik   kepentingan   dan   tumpang   tindih

6 of 15 4/10/2020, 1:15 PM
Jakarta Waterfront City | https://adipatirahmat.wordpress.com/2010/01/06/jakarta-waterfront-city/

antar   sektor   dan   stakeholders   lainnya   dalam   pengelolaan   dan


pemanfaatan kota pesisir. Kondisi ini muncul sebagai konsekuensi
beragamnya   sumberdaya   pesisir   yang   ada   serta   karakteristik
wilayah   pesisir   yang   open   acces   sehingga   mendorong   wilayah
pesisir telah menjadi salah satu lokasi utama bagi kegiatan‐kegiatan
beberapa sektor pembangunan (multi‐use).

Secara fisik, kota pesisir di Indonesia merupakan pusat pelayanan
aktivitas sosial‐ekonomi, dimana didalamnya terkandung berbagai
aset sosial dan ekonomi yang memiliki nilai ekonomi dan finansial
yang   sangat   besar.   Akan   tetapi   pembangunan   kota   pesisir
berpotensi   memberikan   dampak   lingkungan   yang   merupakan
akibat dari dampak yang ditimbulkan oleh kegiatan pembangunan
yang   dilaksanakan   di   daratan,   seperti   pertanian,   perkebunan,
kehutanan, industri, permukiman dan sebagainya. Demikian pula
dengan   berbagai   kegiatan   yang   dilakukan   di   laut   lepas,   seperti
kegiatan pengeboran minyak lepas pantai dan perhubungan laut.
Pencemaran akibat kegiatan industri, rumah tangga dan pertanian
di darat (land‐based pollution sources) maupun akibat kegiatan di laut
(marine‐based   pollution   sources)   termasuk   perhubungan   laut   dan
kapal pengangkut minyak dan kegiatan pertambangan dan energi
lepas pantai.

Secara  ekonomi,  kota  pesisir memberikan kontribusi  yang cukup


signifikan dalam  PDB  nasional. Selain itu, pada   wilayah ini  juga
terdapat berbagai sumber daya masa depan dengan potensi yang
belum dikembangkan secara optimal, misalnya potensi perikanan
sekaligus investasi yang dapat berperan di dalamnya. Akan tetapi
kemiskinan   masyarakat   pesisir   dapat   memperberat   tekanan
terhadap   pemanfaatan   sumberdaya   pesisir   menjadi   tidak
terkendali. Hal ini makin diperparah dikarenakan kerangka hukum
yang tidak jelas, tingkat pendidikan dan kesejahteraan masyarakat
yang   masih   rendah   sehingga   yang   terjadi   adalah   pemanfaatan
berlebih (over ekploitated) pada sumberdaya hayati laut.

Secara politik dan hankam, sebagian kota pesisir juga merupakan
kawasan   perbatasan   antar‐negara   maupun   antar‐daerah   yang
sensitif dan memiliki implikasi terhadap pertahanan dan keamanan
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pembangunan yang
belum merata, keterbatasan sarana dan prasarana dan kurangnya
pengawasan   menjadikan   kawasan   ini   rawan   terhadap   kegiatan
ilegal dan kejahatan lintas negara seperti penyelundupan manusia,
senjata,   perdagangan   obat‐obatan   terlarang,   pencucian   uang,
imigran gelap, dan lain‐lain.

2.3. Waterfront City di Jakarta

Mayoritas kota‐kota di Indonesia dapat dikategorikan sebagai kota
pesisir. Beberapa pertimbangan yang melandasi hal ini diantaranya
adalah   lokasinya   yang   berada   di   wilayah   pesisir,   seperti   Kota

7 of 15 4/10/2020, 1:15 PM
Jakarta Waterfront City | https://adipatirahmat.wordpress.com/2010/01/06/jakarta-waterfront-city/

Jakarta Utara yang berada dipesisir bagian Utara Pulau Jawa.

Berdasarkan   pengamatan   secara   umum   terhadap   isu   dan


permasalahan   yang   sering   muncul   di   pesisir   kota   Jakarta   Utara,
seperti abrasi, degradasi lingkungan, kepunahan ekosistem pesisir
dan   laut,   sedimentasi,   pencemaran,   banjir,   semakin   menurunnya
kualitas lingkungan hingga isu yang menjadi pembahasan saat ini
yaitu   kenaikan   paras   muka   air   laut   di   Tahun   2050,   bahwa   pada
umumnya   pesisir   Kota   Jakarta   Utara   dikembangkan   tanpa
mempertimbangkan   jatidirinya,   serta   kurang   memperhatikan
keseimbangan antara kebutuhan pembangunan dengan kelestarian
lingkungan.

Pembangunan   yang   tidak   seimbang   tersebut   pada   dasarnya


disebabkan karena kota Kota Jakarta Utara memiliki potensi yang
sangat   beragam   misalnya   potensi   perekonomian,   potensi
sumberdaya   alamnya,   serta   potensi   nilai   estetika   yang   dimiliki.
Selain ini Kota Jakarta Utara juga memiliki karakteristik unik yang
berbeda dengan kota‐kota lain di DKI  Jakarta yang berbasis pada
wilayah   daratan.   Sumberdaya   alam   di   Kota   Jakarta   Utara
khususnya   yang   berada   di   wilayah   pesisir   dan   lautnya   bersifat
dinamis serta sifat kepemilikan laut yang merupakan asset umum
(common property). Hal‐hal inilah yang menyebabkan Kota Jakarta
Utara   ini   khususnya   wilayah   pesisir   dan   lautnya   merupakan
wilayah   yang   dapat   dimanfaatkan   oleh   beragam   aktivitas   (multi
use).   Realita   ini   merupakan   faktor   utama   penyebab   munculnya
konflik pemanfaatan antar stakeholder maupun antar sektor yang
memiliki akses terhadap pengembangan wilayah pesisir dan laut di
Kota Jakarta Utara.

Secara umum, kota pesisir di Indonesia berpotensi sebagai pusat
biodiversity laut tropis dunia karena hampir 30% hutan bakau dan
terumbu   karang   dunia   terdapat   di   Indonesia.   Karena   itu   adanya
ancaman   kenaikan   muka   air   laut   (sea   level   rise)   sebagai   akibat
fenomena global warming memberikan dampak yang serius yang
perlu diantisipasi penanganannya, termasuk di pesisir Kota Jakarta
Utara.   Kenaikan   muka   air   laut   akan   mengakibatkan   dampak
sebagai berikut : (a) meningkatnya frekuensi dan intensitas banjir,
(b) perubahan arus laut dan meluasnya kerusakan mangrove, (c)
meluasnya intrusi air laut, (d) ancaman terhadap kegiatan sosial‐
ekonomi   masyarakat   pesisir,   dan   (e)   berkurangnya   luas   daratan
atau   hilangnya   pulau‐pulau   kecil.   Karena   itu   fakta   bahwa   luas
hutan mangrove di Kota Jakarta Utara terus mengalami penurunan
merupakan   suatu   hal   yang   sangat   disayangkan.   Apalagi
keberadaan mangrove tersebut tidak dipertahankan karena digeser
oleh   fungsi‐fungsi   peruntukan   lain,   seperti   proyek   raksasa
Reklamasi   Pantai   Jakarta   Utara;   maka   dari   itu   terjadinya   abrasi
pantai,   meningkatnya   tingkat   pencemaran   dari   sungai   ke   laut
karena  tidak   adanya  filter   polutan,  dan  rusaknya   zona   budidaya

8 of 15 4/10/2020, 1:15 PM
Jakarta Waterfront City | https://adipatirahmat.wordpress.com/2010/01/06/jakarta-waterfront-city/

aquaculture pun akan terancam dengan sendirinya.

3. CRITICAL REVIEW, STUDI KASUS REKLAMASI PANTAI
JAKARTA UTARA

Rencana pengembangan reklamasi pantai di kawasan Pantai utara
Jakarta   seluas   2.700   Ha   pada   dasarnya   merupakan   upaya
Pemerintah DKI Jakarta untuk meningkatkan kualitas lingkungan
Pantai Utara Jakarta serta dapat mewujudkan Jakarta sebagai kota
pantai berkelanjutan (sustainable) yang sejajar dan bersaing dengan
kota‐kota lain di dunia seperti Sidney, Singapura dan Hongkong.

Rencananya  kawasan reklamasi yang dikembangkan harus  dapat


menjadi   tempat   tinggal   dan   tempat   bekerja   yang   nyaman   dan
berkualitas,   yang   tidak   hanya   dicirikan   dengan   pertumbuhan
investasi yang tinggi, tetapi juga kualitas lingkungan yang baik dan
manusiawi,   dengan   dukungan   partisipasi   masyarakat   dalam
pembangunannya.

Oleh karena itu, melalui Keppres Nomor 52 Tahun 1995, Presiden
Soeharti   kala   itu   memberikan   kewenangan   dan   tanggung   jawab
kepada Gubernur DKI Jakarta untuk menyelenggarakan reklamasi
kawasan Pantura Jakarta, yang ditindaklanjuti oleh Perda DKI No.
8   Tahun   1995   tentang   Penyelenggaraan   Reklamasi   dan   Rencana
Tata   Ruang   Kawasan   Pantura   Jakarta.   Sementara   itu   Perda   DKI
Jakarta   No.   6   Tahun   1999   tentang   RTRW   Jakarta   2010   juga   ikut
memberikan   panduan   kebijakan   terhadap   penyelenggaraan
reklamasi Kawasan Pantura Jakarta.

Secara teknis, kawasan Pantura Jakarta yang terletak di Kotamadya
Jakarta   Utara,   direncanakan   sebagian   merupakan   kawasan   hasil
reklamasi   dan   sebagian   lagi   merupakan   kawasan   daratan   pantai
lama. Areal hasil reklamasi akan meliputi bagian perairan laut yang
diukur dari garis pantai utara Jakarta secara tegak lurus ke arah
laut,   sehingga   mencakup   garis   yang   menghubungkan   titik‐titik
terluar dengan kedalaman laut – 8.00 m.

Panjang garis pantai Utara Jakarta adalah ± 32 km, meliputi garis
pantai yang berbatasan dengan Pantai Utara Tangerang di bagian
Barat hingga perbatasan Pantai Utara Bekasi di Bagian Timur. Areal
daratan pantai lama termasuk kawasan Pantura Jakarta mencakup
Kecamatan   Pademangan,   Penjaringan,   Koja,   Tanjung   Priok   dan
Cilincing. Di  bagian selatan,  kawasan Pantura  Jakarta  berbatasan
dengan Kecamatan Kelapa Gading di Kodya Jakarta Utara, Kodya
Jakarta Barat, Kodya Jakarta Pusat dan Kodya Jakarta Timur.

Kebijakan   reklamasi   kawasan   Pantura   Jakarta   ditunjukan   untuk


mewujudkan   lahan   hasil   reklamasi   seluas   2700   ha   yang   akan
dilaksanakan   secara   terpadu   dengan   penataan   kembali   daratan
pantai   lama   seluas   2500   ha   melalui   program   revitalisasi   untuk

9 of 15 4/10/2020, 1:15 PM
Jakarta Waterfront City | https://adipatirahmat.wordpress.com/2010/01/06/jakarta-waterfront-city/

meningkatkan kualitas fungsional, visual maupun lingkungannya
dan   biaya   dari   dana   pembangunan   fisik   reklamasi,   baik   yang
sifatnya langsung maupun tidak langsung.

Secara   visi,   pengembangan   Pantura   Jakarta   memiliki   nilai   yang


sangat positif yakni :

1. Terwujudnya kota Jakarta sejajar dengan kota besar lainnya di
dunia dengan bercirikan kota pantai,
2. Terwujudnya kota pantai Jakarta siap menghadapi persaingan
global,

Sedangkan misi dari pengembangan Pantura Jakarta adalah :

1. Terciptanya model mamanjemen pembangunan pantai yang
baru dan handal (intregrated coastal management).
2. Tercapainya pemanfaatan ruang yang berkualitas untuk
mewujudkan keseimbangan kepentingan mkesejahteraaan dan
keamanan.
3. Terselenggaranya pemanfaatan ruang berwawasan lingkungan
dengan memperhatikan kawasan lindung dan kawasan
budidaya serta kelestarian bangunan dan lingkungan
bersejarah.
4. Mengendalikan pertumbuhan kota jakarta kearah selatan untuk
melindungai wilayah selatan Jakarta sebagai daerah resapan air.

Berdasarkan penyampaian konsep, visi dan misi diatas, dapat kami
simpulkan bahwa, pada dasarnya konsep reklamasi yang menurut
rencananya dilaksanakan pada tahun 1995 namun hingga saat ini
belum terlaksana adalah konsep pembangunan pantai terpadu, di
antaranya terdiri dari penataan dan pengelolaan pantai dan pesisir
secara terpadu, yang merupakan pendekatan lintas sektor.

Namun   pada   dasarnya   reklamasi   bukanlah   jawaban   yang   paling


tepat   dari   upaya   penataan   kawasan   pesisir   secara   terpadu
(Integrated   Coastal   Zone   Management).   ICZM   tidak   memandang
upaya reklamasi sebagai suatu proses pengelolaan wilayah pesisir
yang   berkelanjutan,   karena   reklamasi   secara   harafiah   (reclaim)
merupakan proses penambahan luas daratan dan mengurangi luas
lautan.   Adalah   benar   bahwa   ICZM   bersifat   dinamis   demi
kesejateraan masyarakatnya, namun jika berpikir jangka panjang,
dan juga untuk keseimbangan lingkungan; maka tidak hanya faktor
ekonomi   yang   diperhatikan,   karen   amasih   ada   faktor‐faktor   lain
seperti   sosial,   budaya   dan   terutama   lingkungan,   yang   semuanya
harus   berada   dalam   batas‐batas   yang   ditentukan   oleh   dinamika
alam.

Proses reklamasi juga secara nyata berdampak positif dan negatif,
dengan   kata lain   tidak   langsung  menyelesaikan   masalah,   namun
juga   menambah   permasalahan   baru,   apalagi   jika   menghitung

10 of 15 4/10/2020, 1:15 PM
Jakarta Waterfront City | https://adipatirahmat.wordpress.com/2010/01/06/jakarta-waterfront-city/

dampak   masif   reklamasi   secara   jangka   panjang,   maka   penataan


dan  pengelolaan  pantai   dan   pesisir   secara   terpadu   dalam   wujud
reklamasi adalah sangat kurang tepat.

4. JAKARTA WATERFRONT CITY

Jakarta Waterfront City, pada dasarnya merupakan pembangunan
pantai   terpadu   yang   meliputi   pembenahan,   penataan   dan
pembangunan   pantai,   sebagai   proses   menangani   masalah
perkotaan   yang   jauh   lebih   besar.   Seperti,   penataan   permukiman
dipesisir   pantai,   penanganan   masalah   sampah,   regulasi   masalah
pembuangan limbah serta masalah sosial yang menyangkut kondisi
nelayan dan kondisi kesehatan masyarakat di sekitar pantai.

Jakarta   Waterfront   City   merupakan   konsep   yang   berbasis


pengembangan   sumberdaya   kelautan   dan   perikanan   karena   itu
sangat berkorelasi dengan kehidupan nelayan.

Saat   ini,   keadaan   obyektif   Pantura   Jakarta   sungguh


memprihatinkan   dan   terjadi   degradasi   terus   menerus   terhadap
lingkungan maupun infrastruktur yang  ada. Jumlah nelayan dan
pemukimannya terus bertambah, begitu juga dengan fasilitas yang
perlu diperbaiki. Mangrove semakin merana dan rusak, serta sudah
tidak   lagi   menjadi   tempat   memijah   ikan.   Sampah   dimana‐mana
memenuhi 13 sungai dan bantaran sungai penuh dengan hunian
tanpa izin. Kecuali itu sarana transportasi, air bersih, kota tua yang
sangat   berpotensi   untuk   wisata,   semua   dalam   keadaan   yang
memprihatinkan.

Sebagai   kota   pesisir   yang   merupakan   kawasan   strategis,   Jakarta


Utara   perlu   dikembangkan   sebagai   Jakarta   Waterfront   City   yang
mempunyai tujuan utama merevitalisasi, memperbaiki kehidupan
masyarakat   pantai,   termasuk   nelayannya.   Pantai   juga   ditata
kembali   bagi   kesejahteraan   masyarakat,   dengan   memberdayakan
keunggulan   ekonomis   dari   pantai   tersebut,   seperti   pariwisata,
industri, pelabuhan, pantai untuk publik dan juga perumahan.

Pada   dasarnya,   pengelolaan   pesisir   secara   empirik   tidak   harus


dilakukan dengan basis akar teori yang kuat, seperti halnya ilmu‐
ilmu dasar.Pengelolaan pesisir harus mengkombinasikan berbagai
pendekatan mulai dari teoritis sampai pragmatis untuk mencapai
tujuan pengelolaan itu sendiri. Pengelolaan pesisir memiliki fungsi
utama untuk mengelola seluruh keiatan dan apa yang ada dalam
wilayah   pesisir   dalam   satu   kerangka   pengelolaan   yang   telah
didesain sebelumnya (Kay dan Adler, 1999) [12].

Dibatasi   oleh   air,   Jakarta   Waterfront   City   ditantang   untuk


menggunakan   lahan   terbatas   sekaligus   melindungi   sumber   daya
alam   kritis   dari   efek   berpotensi   merusak   lingkungan.   Jakarta
Waterfront   City   harus   mempertimbangkan   keseluruhan   masalah

11 of 15 4/10/2020, 1:15 PM
Jakarta Waterfront City | https://adipatirahmat.wordpress.com/2010/01/06/jakarta-waterfront-city/

ketika mengelola sumberdaya daratan dan lautan.

Beberapa   hal   yang   menjadi   prinsip   dalam   Jakarta   Waterfront   City


adalah :

1)     Fleksibel terhadap Bahaya Alam dan Perubahan Iklim

Jakarta Waterfront City harus siap untuk merespon dan pulih dari
bahaya   yang   diciptakan   oleh   cuaca   dan   iklim.   Ketidakpastian
tentang   bagaimana   iklim   akan   berubah   tidak   boleh   ditepikan
dalam melindungi infrastruktur dan lingkungan.

Perencanaan   infrastruktur   dan   prasarana   dengan   prinsip‐prinsip


‘smart growth principal’ akan membuat efisien investasi di gedung
dan   infrastruktur   lainnya,   melindungi   dan   memulihkan   daerah
lingkungan   kritis,   dan   melindungi   kesehatan   masyarakat.   Dalam
menerapkan prinsip‐prinsip ini pada setiap proyek pembangunan,
perlu   secara   eksplisit   dipertimbangkan   bahaya   alam,   termasuk
potensi   dampak   perubahan   iklim.   Ketahanan   terhadap   bencana
alam, seperti kenaikan permukaan laut, adalah terkait erat dengan
penentuan   tapak   dan   desain   pembangunan,   serta   hijau   yang
dibangun   dan   infrastruktur   yang   mendukung.   Well‐planned   and
well‐maintained natural systems dapat membantu melindungi Jakarta
Waterfront City dalam banyak cara. Misalnya, dataran banjir alami
dapat bertindak sebagai pelindung penyangga yang menyerap air
banjir,   mengurangi   kecepatan   dan   jumlah   banjir,   mengendalikan
erosi, melindungi pasokan air minum dan kualitas air, dan isolasi
bangunan dan jalan‐jalan dari kerusakan.

2)     Tahan terhadap Efek‐Efek Kombinasi dari Pembangunan

Kawasan   pesisir   merupakan   kawasan   hilir   yang   menerima   efek


kumulatif   dan   sekunder   dari   pembangunan   didaerah   hulu.
Misalnya,   pembangunan   perumahan   dan   pembangunan   jalan   di
dataran   tinggi   bagian   dari   DAS   pantai   dapat   menyebabkan
kumulatif dan dampak pesisir sekunder, seperti mengurangi aliran
air   tawar   ke   daerah   pantai,   degradasi   kualitas   air   muara,   dan
peningkatan   polusi   udara   dari   peningkatan   lalu   lintas.   Dampak
dari   setiap   proyek   pengembangan   tunggal   mungkin   kecil,   tetapi
ketika   dikombinasikan   dengan   semua   dampak   pembangunan
lainnya   ke   daerah   aliran   sungai   sepanjang   waktu,   mereka   bisa
mengancam   pesisir   dan   pantai   rapuh   sumber   daya   dan   kualitas
kehidupan.   Karena   itu   kebijakan   Jakarta   Waterfront   City   harus
diutamakan   mengatur   pertumbuhan   dan   perkembangan   di
sepanjang jalur air yang peka terhadap kerentanan lingkungan dan
dapat melindungi aset‐aset perkotaan yang berharga.

3)     Membangun Paradigma Melestarikan Lingkungan Pesisir

Pemerintah   melalui   partisipasi   masyarakat   harus   mampu

12 of 15 4/10/2020, 1:15 PM
Jakarta Waterfront City | https://adipatirahmat.wordpress.com/2010/01/06/jakarta-waterfront-city/

mendorong   kesadaran   masyarakat   secara   regeneratif   akan


pentingnya   menjaga   ekosistem   lingkungan   pesisir.   Masyarakat
harus memahami bahwa pesisir dan laut sebagai common property
adalah   hak   bersama.   Paradigma   ini   harus   dijadikan   doktrin
kepercayaan publik termasuk lewat penggalian sejarah budaya dan
kebanggaan bangsa, karena paradigma ini adalah faktor kunci yang
mempengaruhi   partisipasi   masyrakat   secara   aktif   dalam
mendorong dan menjaga pembangunan pesisir dan pantai Jakarta
Waterfront City.

4)     Perlidungan Hukum melalui Undang‐undang dan Peraturan
Daerah

Kebijakan dan program tidak akan bertahan tanpa dukungan UU
dan   peraturan   daerah   yang   mengatur   dibawahnya.   Masalah
daratan dan pesisir merupakan isu yang sangat kompleks karena
itu perlu payung hukum yang fleksibel dan dinamis sekaligus kuat
dalam   menata   penggunaan   lahan,   melestarikan   lingkungan,   dan
mendorong pembangunan infrastruktur untuk pembangunan.

Dengan   demikian   strategi   pengembangan   Jakarta   Waterfront   City


adalah sebagai berikut, yaitu :

1. Pengembangan Jakarta Waterfront City dikembangkan
berbasiskan ekonomi sumber daya laut,
2. Jakarta Waterfront City ditempatkan sebagai primemovers yang
memiliki multi dampak untuk merevitalisasi berbagai fungsi
yang sudah ada dan menjadi medium untuk pengembangan
fungsi‐fungsi baru
3. Mitigasi dan Adaptasi terhadap naiknya muka air laut
diselaraskan dengan fungsi‐fungsi.
4. Sosialisasi dan informasi pentingnya memahami Jakarta
Waterfront City akan diterapkan melalui program‐program
pemberdayaan masyarakat,
5. Jakarta Waterfront City akan mendukung seluas‐luasnya upaya
pelestarian fungsi ekologis lingkungan dan biota lautnya.

5. PENUTUP

Dengan   melihat   kembali   kepada   isu   dan   permasalahan   serta


potensinya, maka mengantisipasi dampak kenaikan muka air laut
di Tahun 2050 nanti, dapat diposisikan sebagai salah satu coastal
isu   yang   perlu   diantisipasi   dalam   mengembangkan   Jakarta
Waterfront City. Karena pada dasarnya Jakarta Waterfront City perlu
dikelola   sedemikian   rupa   untuk   dapat   menciptakan   lingkungan
kehidupan kota pesisir yang nyaman, aman dan berkelanjutan.

Dalam era globalisasi yang terjadi saat ini, batas teritorial dan letak
geografis sudah tidak menjadi masalah lagi. Khusus negara‐negara
di   Asia‐Pasifik   yang   mengalami   pertumbuhan   ekonomi   yang

13 of 15 4/10/2020, 1:15 PM
Jakarta Waterfront City | https://adipatirahmat.wordpress.com/2010/01/06/jakarta-waterfront-city/

sangat   pesat   pada   dekade   belakangan   ini   diprediksikan   akan


menjadi   ajang   kegiatan   investasi   dari   negara‐negara   maju.
Kesempatan ini dimanfaatkan tidak hanya untuk menarik modal
tetapi   sekaligus   untuk   merangsang   pertumbuhan   baru   pada
kawasan‐kawasan   yang   strategis   dengan   model   pembangunan
yang dapat mengantisipasi perkembangan kota di masa yang akan
datang maupun peningkatan kesempatan kerja.

Pada saat ini terjadi, maka Kota Jakarta Utara harus bangkit sebagai
Jakarta Waterfront City harus yang berdiri sejajar dengan kota‐kota
pesisir   didunia.   Diharapkan   konsep   Jakarta   Waterfront   City   dapat
mengembalikan   kejayaan   Indonesia   sebagai   negara   maritim
melalui   berbagai   pembenahan   dikawasan   pesisirnya,   secara
terpadu, terencana, adil dan makmur.

DAFTAR PUSTAKA

Adisasmita,   Rahardjo.   2008.   Ekonomi   Archipelago.   Jakarta:   Graha


Ilmu

Antin,   Elizabeth.   2009.How   Are   City   Planning   to   Adapt   to   Threat


Caused   By   Climate   Change   Induce   Sea‐Level   Rise   and   Flooding?   A
Thesis   In   Partial   Fulfillment   of   Requirement   for   The   Degree   of
Master   Art,   Urban   and   Enviromental   Policy   Planning,   Tufts
University

Cicin‐Sain   and   Knecht.   1998.   Integrated   Coastal   and   Ocean


Management.   Island  Press,  1718 Connecticut  Avenue, N.W.  Suite
300, Washington DC. 20009.

Dahuri. 1996. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan
Secara Terpadu

Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau‐pulau Kecil, 2006. Pedoman
Kota Pesisir. Departemen Kelautan dan Perikanan.

Google Earth, Retrieved from : Googleearth.com

Kay,   R.   and   Alder,   J.   1999.   Coastal   Planning   and   Management.


London: EF&N Spoon. Articles in Refereed Publications. Alder, J.
and Lugten, G. (in press).

Pernetta, J. C. Milliman, J. D. 1995, Land‐ Ocean Interaction in the
Coastal Zone (LOICZ) Implementation Plan, IGBP, Stockholm. 20.
N. N

Rencana Kawasan Reklamasi Pantura Jakarta. 2007. Retrieved from
:   www.panturajakarta.blogspot.com
(http://www.panturajakarta.blogspot.com)

United   Nations   Conference   on   Environment   and   Development,

14 of 15 4/10/2020, 1:15 PM
Jakarta Waterfront City | https://adipatirahmat.wordpress.com/2010/01/06/jakarta-waterfront-city/

Earth   Summit   Retrieved   from   :   http://www.un.org/geninfo


/bp/enviro.html (http://www.un.org/geninfo/bp/enviro.html).

Windriani,   Umi   et.al.   2009.   Means   of   Adaption   and   Adaptation   of


Climate   Change   and   Disaster     At   Coastal   Areas   and   Small   Island.
Direktorat Pesisir dan Lautan, Direktoral Jenderal Kelautan,Pesisir
dan Pulau‐pulau Kecil, Departemen Kelautan dan Perikanan

[1] Adisasmita, R. 2008. Ekonomi Archipelago

[2] Adisasmita, Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau‐pulau Kecil,
2006. Pedoman Kota Pesisir

[3] Adisasmita, R. 2008. Ekonomi Archipelago

[4] Hasanuddin Z. Abidin, Laboratorium Teknik Geodesi ITB, Penelitian
2008.

[5] Google Earth, Googleearth.com.

[6] Dahuri, R. 1996. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan
Secara Terpadu

[7] United Nations Conference on Environment and Development, 1992

[8] Cicin‐Sain   and   Knecht.   1998.   Integrated   Coastal   and   Ocean


Management

[9] Direktorat   Jenderal   Pesisir   dan   Pulau‐pulau   Kecil,   2006.   Pedoman


Kota Pesisir

[10] Pernetta dan Milliman, 1995 Land‐ Ocean Interaction in the Coastal
Zone (LOICZ)

[11] Rencana   Kawasan   Reklamasi   Pantura   Jakarta.   2007.


www.panturajakarta.blogspot.com
(http://www.panturajakarta.blogspot.com)

[12] Kay dan Adler, 1999. Coastal Planning and Management

Scientific Paper

BLOG AT WORDPRESS.COM.

15 of 15 4/10/2020, 1:15 PM

Anda mungkin juga menyukai