Anda di halaman 1dari 45

BENCANA ALAM KEKERINGAN

MAKALAH

UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH MANAJEMEN BENCANA

Yang Dibina oleh Ibu Novida Pratiwi, S.Si, M. Sc.

dan Bapak Agung Mulyo Setiawan, S.Pd., M. Si.

Disusun Oleh:

1. Reni Aprilia 180351619035


2. Rindiana Ika Nurmala 180351619070
3. Yuraida Fifa Dwiya C. 180351619045

Kelompok 8/Offering B

Pendidikan IPA UM 2018

UNIVERSITAS NEGERI MALANG

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN IPA

2020
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR...............................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1
1.1 Latar Belakang..........................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah.....................................................................................2

1.3 Tujuan........................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................3
2.1 Pengertian Kekeringan..............................................................................3

2.2 Karakteristik Kekeringan..........................................................................5

2.3 Faktor Penyebab Kekeringan....................................................................6

2.4 Jenis Kekeringan.......................................................................................7

2.5 Gejala Terjadinya Kekeringan...................................................................9

2.6 Dampak Kekeringan................................................................................10

2.7 Dampak Kekeringan bagi Kesehatan......................................................11

2.8 Daerah Terdampak Kekeringan...............................................................13

2.9 Upaya Yang Dilakukan Untuk Mengatasi Kekeringan...........................21

2.10 Peraturan Perundang-undangan Mengenai Dampak Bencana................26

2.11 Bangunan Penunjang Ketersediaan Air...................................................28

2.12 Adaptasi Masyarakat Terhadap Bahaya Kekeringan..............................30

2.13 Aspek Ke Ipa-an......................................................................................31

BAB III PENUTUP...............................................................................................34


3.1 Kesimpulan..............................................................................................34

3.2 Saran........................................................................................................35

DAFTAR RUJUKAN TEKS.................................................................................36


DAFTAR RUJUKAN GAMBAR.........................................................................39
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Mekanisme terjadinya kekeringan meteorologi, hidrologi, pertanian,

dan sosial ekonomi................................................................................8

Gambar 2 Peta kejadian bencana kekeringan di Indonesia tahun 1979-2009 oleh

BNPB..................................................................................................13

Gambar 3 Kekeringan di Wonogiri........................................................................14

Gambar 4 Kekeringan di kabupaten Bandung.......................................................15

Gambar 5 Petugas BPBD membagikan air bersih pada warga terdampak

kekeringan di Bima, NTB...................................................................15

Gambar 6 Kekeringan di Jawa Timur....................................................................15

Gambar 7 kekeringan di Kulonprogo, DIY...........................................................16

Gambar 8 kekeringan di Banten.............................................................................16

Gambar 9 Kekeringan di NTT...............................................................................17

Gambar 10 Warga Desa Banjar Sari, Kecamatan Banyumas, Kabupaten

Pringsewu, Lampung: mengantre air bersih........................................17

Gambar 11 Grafik Tren Kejadian Bencana............................................................18

Gambar 12 Peta peringatan dini kekeringan meteorologis....................................19

Gambar 13 Kelas kekeringan berdasarkan kelas VHI...........................................20

Gambar 14 Grafik presipitasi di Jawa Timur.........................................................21

Gambar 15 Kekeringan mengancam kelangsungan ekonomi para petani.............22

Gambar 16 Supply air bersih untuk warga terdampak musim kemarau di

Kecamatan Pecangaan Kabupaten Jepara, Jawa Tengah....................24

Gambar 17 Tips Siaga Bencana kekeringan dalam bentuk poster merupakan

bentuk sosialisasi dari BNPB..............................................................26


Gambar 18 Pesan BMKG untuk siaga bencana.....................................................26

Gambar 19 Salah satu program pemerintah dalam meningkatkan efektifitas lahan

.............................................................................................................28

Gambar 20 Model Embung....................................................................................29

Gambar 21 Denah Bangunan ABSAH...................................................................30

Gambar 22 Pemanasan global yang berdampak pada perubahan iklim.................32

Gambar 23 Pola suhu dan curah hujan yang khas pada kondisi musim panas El

Niño.....................................................................................................32
BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu
kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor
alam dan/ atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga
mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan,
kerugian harta benda, dan dampak psikologis. (Definisi bencana menurut UU
No. 24 tahun 2007). Bencana merupakan pertemuan dari tiga unsur, yaitu
ancaman bencana, kerentanan, dan kemampuan yang di picu oleh suatu
kejadian. Kekeringan pada dasarnya diakibatkan oleh kondisi hidrologi suatu
daerah dalam kondisi air tidak seimbang. Kekeringan terjadi akibat dari tidak
meratanya distribusi hujan yang merupakan satu-satunya input bagi suatu
daerah. Ketidak merataan hujan ini akan mengakibatkan beberapa daerah yang
curah hujannya kecil akan mengalami ketidakseimbangan antara input dan
output air (Shofiyati, 2007).
Posisi geografis menyebabkan Indonesia berada pada belahan bumi
dengan iklim monsoon tropis yang sangat sensitif terhadap anomali iklim El-
Nino Southern Oscillation (ENSO). ENSO menyebabkan terjadinya
kekeringan apabila kondisi suhu permukaan laut diPasifik Equator bagian
tengah hingga timur menghangat (El Nino).
Kekeringan adalah keadaan kekurangan pasokan air pada suatu daerah
dalam masa yang berkepanjangan (beberapa bulan hingga bertahun-tahun).
Biasanya kejadian ini muncul bila suatu wilayah secara terus-menerus
mengalami curah hujan di bawah rata-rata. Musimkemarau yang panjang akan
menyebabkan kekeringan karena cadangan air tanah akan habis akibat
penguapan (evaporasi), transpirasi, ataupun penggunaan lain oleh manusia.
Kekeringan merupakan ancaman yang paling sering mengganggu sistem
dan produksi pertanian, terutama terhadap tanaman pangan. Kekeringan tidak
saja meningkat dalam luas dan intensitas serta dampaknya, tetapi juga
perubahan sebaran wilayah yang terkena kekeringan. Keadaan dampak dari
kekeringan ini diperparah lagi dengan rendahnya respon dan kesiapsiagaan

1
masyarakat dalam menghadapi bencana kekeringan. Terutama para petani
yang terkena dampak secara langsung dari bencana kekeringan.
Kekeringan dapat menjadi bencana alam apabila mulai menyebabkan
suatu wilayah kehilangan sumber pendapatan akibat gangguan pada pertanian
dan ekosistem yangditimbulkannya. Dampak ekonomi dan ekologi kekeringan
merupakan suatu proses sehingga batasan kekeringan dalam setiap bidang
dapat berbeda-beda. Namun demikian, suatu kekeringan yang singkat tetapi
intensif dapat pula menyebabkan kerusakan yang signifikan.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang di atas dapat di simpulkan rumusan masalah
berikut dalam penyusunan makalah ini adalah:
1. Apa yang dimaksud dengan kekeringan?
2. Apa saja penyebab kekeringan?
3. Apa saja tanda-tanda kekeringan?
4. Bagaimana dampak kekeringan?
5. Bagaimana cara untuk menanggulangi kekeringan?

1.3 Tujuan
1. Untuk Mengetahui Pengertian Kekeringan
2. Untuk Mengetahui Penyebab Kekeringan
3. Untuk Mengetahui Tanda-Tanda Kekeringan
4. Untuk Mengetahui Dampak Kekeringan
5. Untuk mengetahui Cara Penanggulangan Bencana Kekeringan.

2
BAB II

PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Kekeringan
Secara umum kekeringan merupakan suatu kondisi dimana terjadi
kekurangan air untuk memenuhi kebutuhan (Bayong, 2004). Kekeringan
merupakan salah satu masalah serius yang sering muncul ketika musim
kemarau tiba. Banyak tempat di Indonesia mengalami masalah kekurangan air
atau defisit air atau kekeringan. Dari perspektif kebencanaan kekeringan
didefinisikan sebagai kekurangan curah hujan dalam periode waktu tertentu
(umum-nya dalam satu musim atau lebih) yang menyebabkan kekurangan air
untuk berbagai kebutuhan (UN-ISDR, 2009).
Kekurangan air tersebut berpengaruh terhadap besarnya aliran
permukaan pada suatu DAS. Pada umumnya bencana kekeringan tidak dapat
diketahui mulainya, namun dapat dikatakan bahwa kekeringan terjadi saat air
yang ada sudah tidak lagi mencukupi untuk kebutuhan sehari-hari. Kerusakan
lahan dan dampak kerugian yang diakibatkan oleh kejadian kekeringan sangat
luas dan nilai ekonomi kerugian cukup besar. Secara umum kejadian
kekeringan dapat ditinjau dari aspek: hidro-meteorologi, pertanian, dan
hidrologi (Wilhite, 2010).
Dari aspek hidro-meteorologi kekeringan timbul dan disebabkan oleh
berkurangnya curah hujan selama periode tertentu. Dari aspek pertanian
dinyatakan kekeringan jika lengas tanah berkurang sehingga tanaman
kekurangan air. Lengas tanah (soil moisture) merupakan parameter yang
menentukan potensi produksi tanaman. Ketersediaan lengas tanah juga
eratkaitannya dengan tingkat kesuburan tanah. Secara hidrologi kekeringan
ditandai dengan berkurang-nya air pada sungai, waduk dan danau (Nalbantis
et al., 2008).
Kekeringan berkaitan dengan kondisi rata-rata jangka panjang
kesetimbangan antara presipitasi dan evapotranspirasi (yaitu evaporasi dan
transpirasi) di daerah tertentu pada kondisi yang sering dianggap “normal”.
Kekeringan juga berkaitan dengan waktu (adanya penundaan pada awal
musim penghujan, sehingga periode musim kemarau lebih panjang) dan

3
tingkat keefektifitasan hujan (yaitu intensitas curah hujan, jumlah kejadian
hujan). Faktor iklim lainnya seperti temperatur yang tinggi, angin kencang dan
kelembapan relatif yang rendah sering dikaitkan sebagai faktor-faktor yang
memperparah kekeringan di banyak daerah didunia. Fenomena IOD (Indian
Ocean Dipole) dan El Nino mempunyai dampak terhadap curah hujan di
Indonesia. Fenomena El Nino dapat menimbulkan bencana kekeringan, banjir,
dan bencana lain yang dapat mengacaukan dan merusak pertanian, perikanan,
lingkungan, kesehatan, kebutuhan energi, kualitas udara dan sebagainya
(Bayong, 2008).
El Nino menyebabkan variasi iklim tahunan. Ketika tahun El Nino,
sirkulasional di atas Indonesia divergen, sehingga terjadi subsidensi udara
atas. Divergensi massa udara mengakibatkan penyimpangan awan-awan yang
terbentuk bergeser ke Pasifik tengah dan timur (Bayong, 2003).
Kekeringan merupakan salah satu jenis bencana alam yang terjadi
secara perlahan berlangsung lama sampai hujan tiba, berdampak sangat
luas pada ekonomi, sosial, kesehatan, pendidikan, dan lain-lain.
Kekeringan menjadi bencana yang sulit dicegah dan datang berulang.
Secara umum pengertian kekeringan adalah ketersediaan air yang jauh di
bawah dari kebutuhan air untuk kebutuhan hidup, pertanian, kegiatan
ekonomi dan lingkungan. Terjadinya kekeringan di suatu daerah bisa
menjadi kendala dalam peningkatan produksi pangan di daerah tersebut.
Di Indonesia pada setiap musim kemarau hampir selalu terjadi
kekeringan pada tanaman pangan dengan intensitas dan luas daerah yang
berbeda tiap tahunnya (Santoso,1989).
Kekeringan pada dasarnya adalah keadaan kekurangan pasokan air pada
suatu daerah untuk berbagai kegiatan, kelompok-kelompok dan sektor
lingkungan dalam masa berkepanjangan, dapat mencapai beberapa bulan
hingga tahunan (Wilhite dan Svoboda, 2000 dalam UNDP, 2011). Kejadian
ini muncul bila suatu wilayah secara terus-menerus mengalami curah hujan di
bawah rata-rata. Musim kemarau yang panjang akan menyebabkan kekeringan
karena cadangan air tanah akan habis akibat penguapan, transpirasi, ataupun
penggunaan lain oleh manusia. Situasi demikian dapat ditinjau secara

4
klimatologi maupun hidrologis. Tinjauan secara klimatologis dapat dilakukan
melalui penilaian terhadap Suhu Permukaan Tanah dan tinjauan secara
hidrologis melalui penilaian Indeks Standar Curah Hujan. Nilai LST mampu
mengidentifikasi permukaan yang relatif basah dan kering, sedangkan SPI
dapat memantau pasokan air jangka pendek dan sumber daya air jangka
panjang.

2.2 Karakteristik Kekeringan


Pemahaman bagaimana kekeringan mulai terjadi, berevolusi, meluas dan
berdampak terhadap lingkungannya sangat penting dalam melakukan upaya
untuk memitigasi dampaknya. Yevjevich (1967) mengemukakan teori untuk
mengidentifikasi kekeringan dan menentukan karakteristiknya secara statistik
yaitu intensitas, durasi, dan tingkat keparahan (severity). Intensitas
menggambarkan tingkat defisit curah hujan pada periode tertentu. Durasi
adalah periode dimana parameter kekeringan selalu berada di bawah nilai
kritisnya. Tingkat keparahan merupakan akumulasi kejadian kekeringan yang
dihitung dari awal terjadinya kondisi dibawah normal sampai berakhir.
Kekeringan dapat berkembangan cepat pada beberapa wilayah, namun
biasanya memerlukan waktu 2-3 bulan sebelum stabil dan dapat berlangsung
dalam beberapa bulan bahkan setahun.
Wilhite (2000) berpendapat bahwa sebagai bencana alam, karakteristik
kekeringan berbeda dari bahaya alam lainnya. Perbedaan tersebut adalah 1)
awal dan akhir kekeringan sulit ditentukan, dampak peningkatan kekeringan
terjadi secara perlahan dan sering menumpuk melebihi periode waktu yang
dipertimbangkan. Oleh karena itu, kekeringan sering disebut sebagai
fenomena merayap; 2) kesulitan menetapkan batasan kekeringan yang
menyebabkan kebingungan karena tidak memiliki definisi kekeringan yang
universal/umum; 3) dampak kekeringan bersifat nonstruktural sehingga area
menyebar lebih luas dibandingkan dengan kerusakan yang disebabkan oleh
bahaya alam lainnya. Berbeda dengan kejadian-kejadian banjir, badai, gempa,
dan tornado, kejadian kekeringan mempengaruhi badan air dari struktur
sumber daya air dan jarang menyebabkan kerusakan pada bangunan badan

5
air; 4) kegiatan manusia secara langsung dapat memicu memperburuk
kekeringan, seperti pertanian intensif, irigasi berlebihan, penggundulan hutan,
eksploitasi air tersedia secara berlebih, erosi yang berdampak negatif pada
kemampuan tanah untuk menangkap dan menahan air.

2.3 Faktor Penyebab Kekeringan


Kekeringan terutama disebabkan oleh fluktuasi-fluktuasi berkala jangka
pendek dalam tingkat curah hujan; mungkin oleh perubahan-perubahan iklim
jangka panjang; desertifikasi disebabkan oleh hilangnya vegetasi dan diikuti
oleh erosi tanah yang disebabkan oleh kombinasi kekeringan, terlalu
banyaknya lahan penggembalaan dan manajemen tanah yang jelek.
Penyebab Kekeringan Kekeringan tidak hanya disebabkan oleh kurangnya
curah hujan saja, tetapi ada beberapa faktor lain yang berpengaruh (Adi,
2011), antara lain :
1. Faktor Meteorologi
Kekeringan yang disebabkan oleh faktor meteorologi merupakan
ekspresi perbedaan presipitasi dari kondisi normal untuk suatu periode
tertentu, karena itu faktor meteorologi bersifat spesifik wilayah sesuai
dengan iklim normal di suatu wilayah. Selain dipengaruhi oleh dua
iklim pulau Jawa juga dipengaruhi oleh dua gejala alam yaitu gejala
alam La Nina yang dapat menimbulkan banjir dan gejala alam El Nino
yang menimbulkan dampak musim kemarau yang kering.
2. Faktor Hidrologi
Pada saat ini kondisi hutan memprihatinkan. Sering terjadi
penjarahan dan pemotongan pohon yang tidak terprogram, sehingga
menyebabkan gundulnya tanah di daerah tangkapan air, hal ini
menyebabkan bertambahnya koefisien run-off dan berkurangnya
resapan air ke dalam tanah (infiltrasi). Kondisi ini sangat berpengaruh
dengan berkurangnya air yang meresap ke dalam tanah maka
variabilitas aliran sungai akan meningkat dan pada musim kemarau
berkurang pula debit air pada sungai-sungai sebagai sumber air yang
menyebabkan kekeringan di bagian hilir sungai tersebut.

6
3. Faktor Agronomi
Kekurangan kelembaban tanah menyebabkan tanah tidak mampu
memenuhi kebutuhan tanaman tertentu pada periode waktu tertentu,
karena itu apabila para petani tidak disiplin dan tidak patuh pada
pelaksanaan pola tanam dan tata tanam yang telah disepakati dan
merupakan salah satu dasar untuk perhitungan kebutuhan air, maka
akan mempengaruhi efektifitas dan efisiensi pemberian air untuk
tanaman.
4. Faktor Prasarana Sumberdaya Air
Meningkatnya kebutuhan air untuk irigasi, air minum, industri,
rumah tangga dan berbagai keperluan lainnya memerlukan
ketersediaan air yang lebih banyak pula, sedangkan air yang tersedia
sekarang jumlahnya terbatas. Di sisi lain prasarana sumber daya air
sebagai penampung air seperti waduk, embung dan lain-lain masih
sangat terbatas, disamping kondisi prasarana yang ada tersebut banyak
yang rusak atau kapasitasnya menurun.
5. Faktor Penegakan Hukum
Kurangnya kesadaran masyarakat/aparat dan belum terlaksananya
penegakan hukum secara tegas menjadi salah satu faktor yang
mengakibatkan bencana kekeringan yaitu pencurian air, perusakan
sarana dan prasarana sumberdaya air sehingga mengakibatkan
kesulitan pembagian air yang akhirnya menimbulkan kerugian serta
konflik antar pengguna karena tidak terpenuhinya kebutuhan air.
6. Faktor Sosial Ekonomi
Tingkat sosial ekonomi masyarakat di sekitar sumber air
mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat akan pentingnya
pelestarian sumberdaya air dan lingkungannya karena tata guna lahan
yang tidak serasi (tidak sesuai master plan/tata ruang wilayah) serta
pemakaian air yang tidak efisien.

2.4 Jenis Kekeringan

7
Berdasarkan penyebab dan dampak yang ditimbulkan, kekeringan
diklasifikasikan sebagai kekeringan yang terjadi secara alamiah dan
kekeringan akibat ulah manusia. Kekeringan alamiah dibedakan dalam 4 jenis
kekeringan, dapat digambarkan dengan diagram di bawah ini:

Gambar 1 Mekanisme terjadinya kekeringan meteorologi, hidrologi, pertanian, dan sosial ekonomi (WMO,
2006 dalam Hatmoko)

a. Kekeringan Meteorologis
Kekeringan yang berkaitan dengan tingkat curah hujan di bawah
normal dalam satu musim di suatu kawasan. Pengukuran kekeringan
meteorologis merupakan indikasi pertama adanya kekeringan.
b. Kekeringan Hidrologis
Kekeringan yang berkaitan dengan kekurangan pasokan air
permukaan dan air tanah. Kekeringan ini diukur berdasarkan elevasi
muka air sungai, waduk, danau dan elevasi muka air tanah. Ada
tenggang waktu mulai berkurangnya hujan sampai menurunya elevasi
air sungai, waduk, danau dan elevasi muka air tanah.
c. Kekeringan Agronomis

8
Kekeringan yang berhubungan dengan berkurangnya lengas tanah
(kandungan air dalam tanah), sehingga tidak mampu memenuhi
kebutuhan tanaman tertentu pada periode waktu tertentu pada wilayah
yang luas. Kekeringan pertanian ini terjadi setelah gejala kekeringan
meteorologis.
d. Kekeringan Sosial Ekonomi
Kekeringan yang berkaitan dengan kondisi dimana pasokan
komoditi ekonomi kurang dari kebutuhan normal akibat terjadinya
kekeringan meteorologi, hidrologi dan agronomi (pertanian).
Adapun kekeringan akibat perilaku manusia utamanya disebabkan karena
ketidaktaatan pada aturan yang ada. Kekeringan jenis ini dikenal dengan
nama kekeringan antropogenik, dapat dibedakan dalam 2 jenis, yaitu :
a. Kebutuhan air lebih besar daripada pasokan yang direncanakan akibat
ketidak taatan pengguna terhadap pola tanam/pola penggunaan air.
b. Kerusakan kawasan tangkapan air dan sumber-sumber air akibat
perbuatan manusia
(Adi, 2011).
2.5 Gejala Terjadinya Kekeringan
1. Menurunnya tingkat curah hujan di bawah normal dalam satu musim.
Pengukuran kekeringan Meteorologis merupakan indikasi pertama adanya
bencana kekeringan.
2. Kemudian terjadi kekurangan pasokan air permukaan dan air tanah.
Kekeringan ini diukur berdasarkan elevasi muka air sungai, waduk, danau
dan air tanah.
3. Kekeringan pada lahan pertanian ditandai dengan kekurangan lengas
tanah (kandungan air di dalam tanah).
Tingkat kekeringan suatu daerah dapat diketahui dengan menghitung
indeks kekeringannya. Salah satu metode perhitungan indeks kekeringan telah
dikemukakan oleh Thornthwaite (1957) dengan prinsip neraca air
menggunakan faktor evapotraspirasi sebagai faktor utama. Metode yang
digunakan adalah Metode Thornthwaite yang didasarkan input dan output
aliran air di wilayah tersebut. Metode lain yang biasa dipakai antara lain

9
Model FJ Mock, model NRECA dan Model Tangki (Setyono, 2011; Gustian
et al., 2014).

Neraca air merupakan hubungan antara aliran air ke dalam tanah yang
berupa masukan (input) dengan luaran air (output) dalam rentang waktu
tertentu. Luaran air (output) bisa dalam bentuk evapotranspirasi aktual dan
aliran permukaan. Di sini faktor yang paling penting untuk menghitung
neraca air adalah ketersediaan data air hujan (precipitation) selain suhu udara,
tutupan lahan dan jenis dan kondisi tanah (soil) di daerah penelitian. Oleh
karena itu, membicarakan neraca air tidak terlepas dari komponen curah
hujan, penyinaran matahari, kelembaban, tutupan lahan, kondisi soil dan
batuannya. Dari perhitungan neraca air ini akan bisa diketahui penggunaan air
maksimum yang masih diperbolehkan (Hartanto, 2017).

2.6 Dampak Kekeringan


Kekeringan tidak dapat dielakkan dan secara perlahan berlangsung lama
hingga musim hujan tiba. Berdasarkan penyebabnya, bahaya kekeringan
termasuk kedalam kategori bahaya yang disebabkan oleh alam. Karakteristik
bahaya kekeringan cukup berbeda dari bahaya yang lain, karena datangnya
yang tidak tiba-tiba namun timbul secara perlahan dan mudah diabaikan.
Dampaknya akan terasa ketika lahan-lahan produktif seperti pertanian tiba-
tiba mengalami kegagalan panen maupun penurunan kualitas. Akibat yang
lebih ekstrim lagi adalah rusaknya sistem tanah yang berujung tidak
termanfaatkannya guna lahan yang optimal, kelaparan, dan rusaknya sistem
sektor pertanian.
Bahaya kekeringan adalah dampak dari perubahan iklim global El Nino
dan La Nina. El Nino sebagai penyimpangan iklim yang mengakibatkan
kemarau panjang, sedangkan La Nina yang menyebabkan musim penghujan
panjang. Keduanya merupakan fenomena alam yang bersifat normal dan
selalu terulang pada pola tertentu (Kodoatie: 2011).
Menurut Wilhite (2009), kekeringan kekeringan baru menjadi bencana
telah menimbulkan dampak pada masyarakat lokal, ekonomi, lingkungan dan
kemampuan untuk beradaptasi atau pulih. Oleh karena itu prediksi kekeringan

10
pertanian dibangun berdasarkan model dampak antara kekeringan
meteorologis dengan kekeringan pertanian.
Dampak yang timbul dari kekeringan dibagi atas 3 tahap
yakni dampak jangka pendek, jangka menengah dan jangka
panjang.
a. Kondisi yang dirasakan masyarakat saat kekeringan
jangka pendek adalah :
 Timbulnya kekurangan air bersih untuk keperluan
rumah tangga
 Timbulnya kesulitan ekonomi bagi keluarga miskin
yang usaha taninya mengalami puso (tidak
mengeluarkan hasil) akibat kekeringan
 Timbulnya wabah penyakit akibat kekeringan,
seperti: diare, campak, pneumonia, kulit dan cacar
 Menurunnya kualitas gizi balita di wilayah
kekeringan.
b. Dampak Jangka Menengah
Dalam konteks jangka menengah, permasalahan
yang timbul akibat bencana alam kekeringan adalah:
 Kuantitas sumber air kurang untuk menyuplai air
bersih bagi masyarakat di musim kemarau
 Sarana dan prasarana penyedia air bersih, sehingga
layanan air bersih bagi masyarakat kurang optimal
c. Dampak Jangka Panjang. Dalam konteks jangka
panjang, kondisi yang timbul adalah:
 Menurunnya debit sumber mata air
 Kualitas lingkungan hidup sekitar sumber mata air
dan waduk yang rusak
 Wilayah kawasan hutan rusak akibat penjarahan
hutan
 Kawasan lahan kritis makin meluas.

11
2.7 Dampak Kekeringan bagi Kesehatan
1. Masalah Paru-Paru
Kemarau panjang dapat meningkatkan polusi udara, sebab
frekuensi hujan yang membersihkan polutan-polutan tersebut akan
berkurang. Polusi udara baik di alam atau ruangan dapat berhubungan
langsung dengan sel paru saat kita menarik napas. Dari sel paru ini, zat
polutan bisa menyerang organ lain dalam tubuh melalui peredaran darah.
Ketika masuk ke tahap lanjut, kerusakan sel ini akan semakin luas dan
bisa menyerang saluran pernapasan bawah dan atas.
Di lain tempat, ahli dari Centers for Disease Control and
Prevention (CDC) mengatakan, kemarau panjang dapat mengurangi
kualitas udara dan membahayakan kesehatan orang dengan kondisi
tertentu. Selama musim ini, tanah kering dan kebakaran hutan akan
meningkatkan jumlah partikel udara dalam bentuk asap. Partikel inilah
yang bisa mengiritasi saluran udara dan memperburuk penyakit
pernapasan kronis. Misalnya asma dan meningkatkan infeksi saluran
pernapasan akut (ISPA).
2. Meningkatnya Penyebaran Agen Penyakit
Musim kemarau panjang dan kekeringan ekstrem juga bisa
meningkatkan risiko penyebaran wabah penyakit, seperti leptospirosis,
diare, dan kolera. Peluang kejadian penyakit ini akan meningkat ketika
terjadinya kekurangan air untuk sanitasi atau kekeringan, atau saat terjadi
banjir.
Penelitian yang dilakukan oleh Azage et al, 2017 yang
menunjukkan bahwa periode risiko tinggi yang paling mungkin
mengalami kejadian diare adalah di awal musim kemarau. Hal ini
menunjukkan bahwa faktor iklim ini memiliki keterkaitan yang erat
dengan terjadinya penyakit diare. Faktor lain yang berkaitan dengan
penyakit diare terdiri dari sanitasi lingkungan, higienitas individu,
ketersediaan air bersih, sanitasi atau kebersihan makanan, perilaku

12
membuang kotoran atau tinja, dan ketersediaan jamban (Rahman et al.,
2016).
3. Dehidrasi
Dehidrasi ini bisa disebabkan oleh beberapa penyakit seperti diare
dan kolera, atau kondisi lingkungan seperti kekeringan ekstrem. Sekitar
60 persen berat tubuh terdiri dari air. Seseorang dengan bobot 70
kilogram, menandakan terdapat 42 liter air dalam tubuhnya. Organ
penting seperti otak dan jantung tiga perempatnya terdiri dari air.
Bahkan, tulang yang keliatannya 'kering' sekalipun, 31 persennya terdiri
dari air. Dehidrasi parah bisa menimbulkan sederet komplikasi. Mulai
dari kejang, gagal ginjal, syok hipovolemik, hingga kematian.
4. Sakit Mata
Udara yang kering dan debu mudah berterbangan ketika musim
kemarau mampu meningkatkan risiko sakit mata dengan gejala mata
menjadi kering, mata merah, belekan, hingga rasa mengganjal pada
mata.. Kondisi ini bisa terjadi ketika air mata tak memiliki kemampuan
yang cukup untuk lubrikasi mata.
Berdasarkan data UN Water, pada 2025 seluruh wilayah Indonesia
masuk ke dalam krisis air tingkat medium. Artinya, air bersih ada tapi
terbatas. Sedangkan Pulau Jawa (lebih dari 140 juta penduduk) masuk ke
dalam kategori krisis air tingkat tinggi.
Menurut data United Nations (UN) pada 2050 permintaan terhadap
air bersih diproyeksikan meningkat sebanyak lebih dari 40 persen.
Imbasnya, seperempat populasi dunia akan hidup di negara-negara
dengan krisis air bersih yang sangat kronis (https://www.unwater.org/the-
32nd-un-water-meeting/, 2020)

2.8 Daerah Terdampak Kekeringan

13
Gambar 2 Peta kejadian bencana kekeringan di Indonesia tahun 1979-2009 oleh BNPB
(https://nasional.kompas.com)

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG)


menyebutkan, musim kemarau di sebagian besar wilayah di
Indonesia pada 2018 telah dimulai Mei dan akan berakhir
pada Oktober mendatang Berdasarkan rangkuman BMKG
mengenai bencana kekeringan di Indonesia selama 30 tahun,
sejak 1979-2009, Jawa, menjadi pulau yang paling sering
dilanda bencana kekeringan. Rinciannya, Jawa Tengah 300
kejadian, Jawa Barat 278 kejadian, dan Jawa Timur 156
kejadian. Kejadian bencana kekeringan di Indonesia selama tahun 2002-
2009 menempati urutan kedua setelah banjir dengan rata-rata 156 kejadian
per tahun (BNPB, 2009).
Sementara itu, berdasarkan data terbaru Badan
Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) per 6 Agustus
2018, sejumlah kabupaten/kota di 8 provinsi yang mengalami
kekeringan di Indonesia. Data ini diperoleh dari Pusat Data
Informasi dan Humas BNPB. Wilayah provinsi tersebut adalah:
1. Jawa Tengah

14
Gambar 3 Kekeringan di Wonogiri (https://news.detik.com)

Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD)


Jateng memetakan setidaknya 360 desa/kelurahan
yang berada di 31 dari 35 Kabupaten Daerah
berpotensi kekeringan di musim kemarau tahun ini.
Kepala BPBD Jateng, Sudaryanto, mengatakan
kekeringan pada bulan ini belum terlalu dirasakan
dampak besarnya di Jawa Tengah. Namun dengan
kondisi cuaca saat ini, setidaknya dipetakan beberapa
daerah berpotensi kekeringan. Ada 22 kabupaten/kota
di Provinsi Jawa Tengah dilanda kekeringan, di
antaranya Kabupaten Magelang, Jepara, Kebumen,
Semarang, Wonogiri, Temanggung, dan Grobogan.
Total jumlah warga terdampak diperkirakan berjumlah
825.959 jiwa.
2. Jawa Barat
Sebagian besar
wilayah di Jawa
Barat mengalami
kekeringan akibat
rendahnya curah
hujan selama
Gambar 4 Kekeringan di kabupaten
Bandung (https://news.detik.com) musim kemarau. Bahkan
beberapa daerah
berpotensi mengalami kekeringan dengan status awas.
Di Jawa Barat, ada 13 kabupaten/kota yang mengalami

15
kekeringan di antaranya Kota Tasikmalaya, Bogor,
Bekasi, Cirebon, Kabupaten Bandung Barat, Ciamis, dan
Cianjur. Total jumlah warga terdampak diperkirakan
725.293 jiwa.
3. Nusa Tenggara Barat

Gambar 5 Petugas BPBD membagikan air bersih pada warga terdampak kekeringan di Bima,
NTB (https://regional.kompas.com)

Sebanyak 9 kabupaten di Provinsi Nusa Tenggara


Barat dilanda kekeringan, di antaranya Lombok Timur,
Lombok Tengah, Lombok Utara, Sumbawa Barat,
Sumbawa, dan Bima. Total jumlah warga yang
terdampak diperkirakan 527.411 jiwa.
4. Jawa Timur

Gambar 6 Kekeringan di jawa timur (https://www.cnnindonesia.com)

Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD)


Provinsi Jatim memprediksi puncak kemarau di Jatim
terjadi pada Agustus 2019. Hingga kini, kemarau masih
memasuki fase awal. Di Provinsi Jawa Timur, ada 4
kabupate/kota yang dilaporkan mengalami kekeringan
yaitu Mojokerto, Ponorogo, Trenggalek, dan Magetan.

16
Total jumlah warga yang terdampak diperkirakan
25.327 jiwa.
5. Daerah Istimewa Yogyakarta

Gambar 7 kekeringan di Kulonprogo, DIY (https://www.cnnindonesia.com)

Tiga kabupaten di Provinsi DIY yang dilanda


kekeringan yaitu Kabupaten Kulonprogo, Gunung Kidul,
dan Bantul. BMKG merilis hasil monitoring hari tanpa
hujan (HTH) berurutan di wilayah Daerah Istimewa
Yogyakarta (DIY). Hasilnya, terdapat 49 kecamatan
yang berstatus Awas potensi kekeringan meteorologis,
yakni berkurangnya curah hujan dari keadaan normal
dalam jangka waktu yang panjang berurutan. Total
warga yang terdampak diperkirakan berjumlah 131.693
jiwa.
6. Banten

Gambar 8 kekeringan di Banten (https://news.detik.com)

BMKG Stasiun Klimatologi Kelas II Tangerang Selatan


mengeluarkan peringatan dini kekeringan meteorologis
di wilayah Banten dan DKI Jakarta. Diperlukan
kewaspadaan terkait adanya ancaman

17
kekeringan. BMKG menganalisis bahwa data hari tanpa
hujan (HTH) hingga 20 Agustus 2019 menunjukkan
sebagian besar wilayah Banten dan Jakarta mengalami
kekeringan dalam rentang waktu dari 20 hari hingga
lebih dari 60 hari. Ada 13 kabupaten/kota yang
mengalami kekeringan, di antaranya Kabupaten
Pandeglang, Serang, dan Kabupaten Lebak.
7. Nusa Tenggara Timur

Gambar 9 Kekeringan di NTT (https://www.liputan6.com)

Berdasarkan monitoring hari tanpa hujan berturut-


turut (HTH) dasarian I Juli 2019, Provinsi Nusa Tenggara
Timur, pada umumnya mengalami hari tanpa hujan
dengan kategori panjang (21-30 hari) hingga
kategori kekeringan ekstrem (>60 hari). Ada 11
kabupaten/kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur yang
dilanda kekeringan, di antaranya Kabupaten Lembata,
Sumba Timur, Rote Ndao, dan Nagekeo.
8. Lampung

Gambar 10 warga Desa Banjar Sari, Kecamatan Banyumas, Kabupaten Pringsewu, Lampung:
mengantre air bersih (https://regional.kompas.com)

18
Ada 4 kabupaten/kota yang mengalami kekeringan,
salah satunya Kabupaten Lampung Selatan. Musim
kemarau yang panjang membuat sumur-sumur di Desa
Banjar Sari, Kecamatan Banyumas, Kabupaten
Pringsewu mengalami kekeringan.
Kekeringan meteorologis merupakan indikator awal kekeringan, dan
dapat dideteksi berdasarkan defisit curah hujan. Kekeringan hidrologis dan
kekeringan pertanian merupakan manifestasi fisik dari kekeringan
meteorologis. Kekeringan hidrologis dapat dideteksi dari penurunan muka air
di waduk, sungai, atau danau. Namun, pengamatan kekeringan pertanian sulit
dilakukan lebih awal, karena baru dapat dideteksi jauh setelah indikasi awal
terjadi, yaitu setelah tanaman mengalami kerusakan, puso atau penurunan
produksi pada saat panen. Namun demikian, karena kekeringan pertanian
terjadi beberapa waktu setelah terjadinya kekeringan meteorologis (Boken
2005).

Gambar 11 Grafik Tren Kejadian Bencana (www.bnpb.go.id)

19
Berdasarkan data grafik bencana dari Badan Nasional
Penanggulangan Bencana (BNPB) selama sepuluh tahun terakhir yaitu pada
tahun 2011-2020. Bencana kekeringan terjadi secara fluktuatif dari tahun ke
tahun. Pada tahun 2011 terdapat 219 kali kejadian, pada 2012 sebanyak 263
kasus, pada 2013 menurun menjadi 66 kasus. dan pada 2014-2017 tidak
terdapat kasus kekeringan. dan kembali meningkat pada 2018 sebanyak 129
kasus dan 33 kasus di tahun 2019.
BMKG secara rutin memberikan informasi pemantauan kekeringan
dalam bentuk SPI dengan skala waktu satu bulan, persentasi kelembaban
tanah bulanan, dan hari tanpa hujan dan untuk wilayah Indonesia. Informasi
tersebut tersedia dalam bentuk peta Indonesia atau peta per pulau dan
diperbarui setiap bulan. Peta dan informasi terkait kekeringan, awal musim,
kejadian iklim ekstrim dapat diakses melalui alamat http://cews.bmkg.go.id/.
Sebagai contoh, peta monitor SPI dan deret hari kering berturut-turut wilayah
Indonesia untuk bulan Juni 2019 disajikan pada gambar 12.

Gambar 12 Peta peringatan dini kekeringan meteorologis ( http://cews.bmkg.go.id/.)

Peta peringatan tersebut didasarkan dari hasil pemantauan curah hujan


hingga tanggal 20 Juni 2019 dengan status di beberapa daerah antara lain:

20
1. Status AWAS (telah mengalami HTH >61 hari dan prospek peluang
curah hujan rendah <20mm/dasarian pada 20 hari mendatang >80% ) di
Sebagian besar Yogyakarta, Jawa Timur (Sampang dan Malang), Nusa
Tenggara Timur, Jawa Barat (Indramayu), Bali (Buleleng).

2. Status SIAGA (telah mengalami HTH >31 hari dan prospek peluang
curah hujan rendah <20mm/dasarian pada 20 hari mendatang >80%) di
Jakarta Utara, Banten (Lebak dan Tangerang), Nusa Tenggara Barat,
Sebagian besar Jawa Tengah.

3. Status WASPADA (telah mengalami HTH >21 hari dan prakiraan


curah hujan rendah <20 mm dalam 10 hari dengan peluang >70%).

Musim kemarau tidak berarti tidak ada hujan sama sekali. Beberapa
daerah diprediksikan masih berpeluang mendapatkan curah hujan. Pada
umumnya prospek akumulasi curah hujan 10 harian ke depan, berada pada
kategori Rendah (<50 mm dalam 10 hari). Meski demikian beberapa daerah
masih berpeluang mendapatkan curah hujan kategori memengah dan tinggi.
Terdapat indeks lain yang juga bisa digunakan dalam skala kekeringan,
salah satunya adalah VHI (Vegetation Health Index). VHI merupakan indeks
yang menggambarkan kesehatan vegetasi tanpa melihat penyebabnya.
Kesehatan vegetasi yang buruk dapat disebabkan oleh cekaman (stress) akibat
kekeringan, banjir, atau serangan hama. VHI diestimasi menggunakan kondisi
kelembaban (VCI) dan suhu (TCI).

Gambar 13 Kelas kekeringan berdasarkan kelas VHI (Kogan, 1987)

Indeks yang beragam juga digunakan oleh berbagai negara untuk


memonitor kekeringan pertanian, baik yang berbasis data observasi maupun
data satelit. Namun, perkembangan sistim peringatan dini dan prediksi
kekeringan pertanian masih sangat lambat dibanding bencana alam lainnya.

21
Salah satu penyebabnya adalah kompleksnya proses terbentuk dan
berakhirnya kekeringan, sehingga sulit untuk mendapatkan prediksi
kekeringan yang handal. Hal ini menjadi kendala atau salah satu kekurangan
dalam membangun sistim peringatan dini kekeringan (Surmaini, 2016).
Selain lembaga nasional, beberapa lembaga internasional memberikan
informasi kekeringan adalah United Stated Department of Agriculture-USDA
(Departemen Pertanian, Amerika Serikat). Informasi tersebut tersedia global
dan regional, misalnya untuk Asia tersedia untuk Asia Tenggara, China, Asia
Tengah dan Korea). Informasi kekeringan tersedia dalam berbagai bentuk
seperti SPI, deret hari kering berturut-turut, kelembaban tanah, anomali
evapotranspirasi, anomali curah hujan, suhu udara, dan suhu udara ekstrim,
dan beberapa informasi lainnya. Informasi tersebut diperbaharui setiap 10
hari sekali. Sebagai contoh, grafik presipitasi di daerah Jawa Timur pada
gambar 14.

Gambar 14 Grafik presipitasi di Jawa Timur (https://ipad.fas.usda.gov/cropexplorer/, 2020)

Dalam meteorologi (ilmu yang mempeajari cuaca), presipitasi adalah


segala bentuk air yang jatuh ke permukaan bumi. dapat dilihat pada 20 Mei
2019/2020 nilai presipitasi sangat rendah sehingga Jawa timur akan
mengalami bulan kering pada saat itu dan meningkat pada bulan Oktober.
Lalu pada 10 November akan mengalami kenaikan hingga puncak musim
penghujan pada bulan Desember hingga Januari. Namun, hal tersebut masih

22
lah perkiraan saja karena adanya faktor-faktor lain yang mungkin terjadi
seperti perubahan iklim tak menentu.
2.9 Upaya Yang Dilakukan Untuk Mengatasi Kekeringan
Sebagai negara agraris yang mayoritas masyarakatnya bekerja sebagai
petani, ketersediaan air merupakan faktor yang cukup penting untuk
diperhatikan. Namun, tidak semua daerah di Indonesia mendapat pasokan air
yang cukup, terutama di musim kemarau. Air akan menjadi hal langka, dan
banyak daerah mengalami krisis air, sehingga banyak petani yang mengalami
kerugian. Tak hanya sektor pertanian yang yang terkena dampak dari
kekeringan. Kegiatan ekonomi dan kebutuhan hidup masyarakat juga
terpengaruh jika kekeringan melanda suatu daerah.

Gambar 15 Kekeringan mengancam kelangsungan ekonomi para petani (disasterchannel.co,)

Kekeringan tidak dapat dielakkan dan secara perlahan berlangsung lama


hingga musim hujan tiba. Berdasarkan penyebabnya, bahaya kekeringan
termasuk kedalam kategori bahaya yang disebabkan oleh alam. Karakteristik
bahaya kekeringan cukup berbeda dari bahaya yang lain, karena datangnya
yang tidak tiba-tiba namun timbul secara perlahan dan mudah diabaikan.
Dampaknya akan terasa ketika lahan-lahan produktif seperti pertanian tiba-
tiba mengalami kegagalan panen maupun penurunan kualitas. Akibat yang
lebih ekstrim lagi adalah rusaknya sistem tanah yang berujung tidak
termanfaatkannya guna lahan yang optimal, kelaparan, dan rusaknya sistem
sektor pertanian (Hastuti, 2017).
Bahaya kekeringan telah menimbulkan banyak kerugian-kerugian dan
penderitaan yang cukup berat. Untuk itu diperlukan upaya-upaya yang dapat
menanggulangi bahaya kekeringan. Kegiatan penanggulangan bahaya
kekeringan terdiri atas kesiapsiagaan, mitigasi, peringatan dini, tanggap

23
darurat, rehabilitasi dan rekonstruksi (LIPI: 2006). Mitigasi dilakukan untuk
mengurangi risiko/ dampak yang ditimbulkan oleh bahaya khususnya bagi
penduduk, seperti korban jiwa, kerugian ekonomi, dan kerusakan sumberdaya
alam. Dengan mitigasi bahaya kekeringan diharapkan dampak dari
kekeringan dapat berkurang sehingga dapat memperkecil kerugian akibat
kekeringan. Upaya-upaya yang telah dilakukan pemerintah dalam
menghadapi masalah kekeringan di negara ini diantaranya yaitu
1. Mengatasi Kekeringan Dengan Waduk :
 Waduk atau penampung air hujan bisa menjadi cara untuk
mengatasi kekeringan saat musim kemarau.
 Waduk diperuntukan untuk menyediakan air ketika kemarau
panjang.
 Waduk bisa membantu untuk mengairi tanaman yang kering,
sehingga membuat tanaman tidak mati karena kekurangan air.
 Waduk bisa dimanfaatkan oleh petani yang menjadi sumber air
ketika kemarau.
2. Mengatasi kekeringan dengan pengerukan waduk :
 Saat musim kemarau tiba banyak sekali sumber air mengalami
kekeringan. Misalnya Waduk/embung, oleh sebab itu sangat
penting untuk mengatasi kekeringan dengan mencegah waduk
mengalami pendangkalan. Sebab jika mengalami pendangkalan
maka kapasitas air dalam waduk akan berkurang. Oleh sebab itu
cara mengatasinya adalah dengan melakukan pengerukan waduk
agar lebih dalam sehingga waduk bisa menampung air lebih
banyak.
3. Mengatasi Kekeringan dengan Penghijauan :
 Penghijauan merupakan cara sederhana mengatasi kekeringan
saat musim kemarau.
 Penghijauan alangkah baiknya dilakukan didaerah hulu diikuti
dengan melakukan pengurangan konversi lahan didaerah hulu.
 Konversi lahan bisa mengurangi kemampuan lahan dalam
menyerap air hujan.

24
 Penghijauan nantinya bermanfaat untuk mengurangi sedimentasi
sehingga tidak akan terjadi pendangkalan waduk.
Dalam upaya antisipatif menghadapi ancaman bahaya kekeringan BNPB
telah melakukan koordinasi dengan daerah berpotensi terdampak kekeringan,
untuk melakukan pengurangan risiko bencana dan kesiapsiagaan menghadapi
bencana kekeringan, sebagai berikut :

Gambar 16 Supply air bersih untuk warga terdampak musim kemarau di Kecamatan Pecangaan
Kabupaten Jepara, Jawa Tengah (medcom.id)

 Melakukan pemantauan dan peninjauan lapangan/ groundcheck


bersama dinas-dinas terkait untuk mengantisipasi dan menangani
terjadinya;
 Mengambil langkah-langkah penguatan kesiapsiagaan pemerintah
dan masyarakat terkait ancaman kekeringan di daerah masing-
masing, antara lain:
 Menyiapkan logistik dan peralatan, seperti tangki air bersih dan
penyediaan pompa air di tiap kecamatan, diprioritaskan pada
wilayah yang terdampak kekeringan;
 Berkoordinasi dengan petugas pintu air sungai untuk melakukan
pembagian air untuk pertanian, peternakan dan kebutuhan sehari-
hari;
 Mengecek debit air pada beberapa sungai maupun kali yang
melintasi daerahnya;
 Mengintensifkan koordinasi dengan PDAM, terutama dalam
penerapan sistem gilir aliran;

25
 Melakukan kampanye hemat air;
 Berkoordinasi dengan Dinas Pekerjaan Umum untuk membuat
sumur pantek atau sumur bor untuk mendapatkan air;
 Menyiapkan/ meng-update dan mensimulasikan rencana
kontinjensi menghadapi ancaman kekeringan dan asap akibat
kebakaran hutan dan lahan dan menyusun rencana operasi atau
SOP-nya dengan melibatkan seluruh stakeholder setempat
termasuk TNI dan Polri;
 Menyiapkan helpdesk atau call center pelaporan dan pelayanan
cepat penanggulangan bencana kekeringan;
 Mengaktifkan posko antisipasi bencana kekeringan serta
mengembangkan sistem komunikasi dan informasi sampai ke
lokasi rawan bencana kekeringan (Siaga.bnpb.go.id)
Sedangkan langkah antisipatif yang dilakukan oleh pemerintah
antara lain:
 Penyusunan peraturan Pemerintah tentang pengaturan system
pengiriman data iklim dari daerah ke pusat pengolahan data.
 Penyusunan PERDA untuk menetapkan skala prioritas penggunaan
air dengan memperhatikan historical right dan azas keadilan.
 Pembentukan pokja dan posko kekeringan pada tingkat pusat dan
daerah.
 Penyediaan anggaran khusus untuk pengembangan atau perbaikan
jaringan pengamatan iklim pada daerah-daerah rawan kekeringan.
 Pengembangan/perbaikan jaringan pengamatan iklim pada daerah-
daerah rawan kekeringan.
Menurut Pelaksana Harian Kapusdatin dan Humas Badan Nasional
Penanggulangan Bencana (BNPB) Agus Wibowo dalam wawancaranya
dengan cnnindonesia.com BNPB bersama pihak terkait telah melakukan
upaya meminimalisasi dampak yang didapat oleh warga. Salah satunya
dengan penyaluran air bersih ke beberapa desa yang terdampak parah
bencana kekeringan. Dan kedepannya, BNPB bersama BMKG juga akan
mengupayakan operasi untuk rekayasa cuaca. Terutama untuk menghadirkan

26
hujan di daerah terdampak kekeringan parah. BNPB telah menyiapkan dua
posko untuk membuat rekayasa cuaca yakni di kawasan Halim, Jakarta, serta
Kupang, NTT (cnnindonesia.com).
BPBD juga melakukan beragam sosialisasi di lapangan. salah satunya
melalui laman blog mereka yakni dengan memposting tips siaga bencana
sebagai berikut

.
Gambar 17 Tips Siaga Bencana kekeringan dalam bentuk poster merupakan bentuk sosialisasi dari BNPB
(https://bnpb.go.id/, 2020)

Gambar di samping merupakan fitur


climate early warning system yang bisa
diakses melalui portal bmkg.go.id. Pesan
tersebut juga akan terkirim otomatis
kepada warga di daerah yang
bersangkutan agar mereka mampu
mempersiapkan diri.

Gambar 18 Pesan BMKG untuk siaga bencana

2.10 Peraturan Perundang-undangan Mengenai Dampak Bencana

27
Dampak dari kekeringan dapat dirasakan oleh petani sehingga Peraturan
Menteri Pertanian Nomor 50/Permentan/Ot.140/6/2007 menyatakan bencana
pada petani berupa gagalnya panen dan rusaknya sarana usahatani, selain
mengakibatkan kerugian yang cukup besar pada masyrakat juga merugikan
pemerintah karena pada akhirnya dapat berdampak pada terjadinya
kekurangan pangan. Penanggulangan dampak bencana dilaksanakan pada
tahap pascabencana, yakni meliputi kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi.
1. Rehabilitasi
Rehabilitasi bidang pertanian pada lokasi pascabencana
dilaksanakan melalui kegiatan :
a. Perbaikan ekosistem daerah bencana;
b. Perbaikan sarana dan prasarana pertanian;
c. Pemberian bantuan sarana produksi seperti benih/bibit, pupuk,
pestisida/vaksin dan obat-obatan ternak, serta alat mesin
pertanian;
d. Pemulihan kegiatan penyuluhan dan pelatihan, dan
e. Pemulihan fungsi kelembagaan tani dan pedesaan.
2. Rekonstruksi
a. Pembangunan kembali sarana dan prasarana pertanian;
b. Penerangan rancang bangun yang tepat dan penggunaan
peralatan pertanian yang lebih baik dan tahan bencana;
c. Peningkatan kondisi sosial, ekonomi dan budaya masyarakat
petani;
d. Peningkatan fungsi pelayanan publik;
e. Peningkatan partisipasi dan peran serta lembaga dan organisasi
kemasyarakatan, dunia usaha dan masyarakat; dan
f. Peningkatan pelayanan utama kegiatan pertanian dalam
masyarakat.
Pemerintah telah berkoordinasi dengan berbagai pihak, dari
mulai pemerintah daerah dan TNI untuk memetakan kebutuhan alat
dan mesin pertanian (alsintan) dan pemanfaatan sumber air yang
harus dibangun. Ditjen PSP (Prasarana dan Sarana Pertanian)

28
sendiri sudah menyiapkan mobilisasi alsintan seperti pompa,
infrastruktur pertanian dukungan lainnya seperti pipanisasi.
Sementara Ditjen Tanaman Pangan dan Litbang Pertanian
menyiapkan benih tanaman pangan.

Gambar 19 Salah satu program pemerintah dalam meningkatkan efektifitas lahan


(https://www.pertanian.go.id/)

Program pemerintah untuk meningkatkan efektifitas lahan


nampak pada gambar 16 dimana musim kemarau juga bisa menjadi
momentum untuk meningkatkan Luas Tambah Tanam (LTT),
terutama di wilayah yang banyak memiliki lahan rawa lebak.

2.11 Bangunan Penunjang Ketersediaan Air


a. Embung
Bangunan embung adalah bangunan penyediaan yang dibuat
terbuka dengan memanfaatkan air hujan yang disimpan/ditampung
dalam reservoir untuk menunjang kebutuhan air bersih penduduk
sekitar, serta menunjang sektor ekonomi dan optimasi daya resapan
air. Lokasi yang sesuai untuk bangunan ini adalah :
 Daerah sulit air karena faktor geologi misal daerah karst/gamping
(lolos air).
 Daerah yang mengalami kekeringan.

29
 Pulau pulau kecil.
 Daerah berair asin, payau, rawa, bergambut, mempunyai Fe dan
Mn tinggi.
 Daerah puncak bukit.

 Daerah pemukiman yang sistem penyediaan airnya tidak bisa


diandalkan.
Berikut ini adalah model embung yang hendaknya dibangun di
kawasan yang memiliki luas daerah aliran air (tampungan) yang
cukup sehingga limpasan air hujan dapat disalurkan ke dalam embung
hingga terisi penuh. misalkan untuk embung yang volumenya 400 m 3,
daerah aliran (tangkapan) air hujan di atasnya minimum 800 m3 (Fagi,
2007). Dalam pembangunan, bagian dasar dan dinding embung akan
dilakukan pemadatan di dasar dan dinding embung.

Gambar 20 Model Embung (Adi, 2011)

b. ABSAH ( Akuifer Buatan dan Simpanan Air Hujan )


Bangunan ABSAH adalah bangunan penyediaan yang dibuat
tertutup rapat dengan memanfaatkan air hujan yang disimpan dan
mengalir di dalam akuifer buatan yang kemudian ditampung di dalam
reservoir. Bangunan penyediaan air baku mandiri yang merupakan
modifikasi terhadap bangunan PAH (Penampung Air Hujan) atau yang
serupa, untuk memanfaatkan air hujan. Bangunan ABSAH memang
dibuat tertutup rapat hal ini bertujuan supaya sinar matahari tidak bisa
masuk ke dalam bangunan akuifer buatan dan reservoir sehingga tidak

30
bisa terbentuk ganggang serta untuk menjaga temperatur air tetap
konstan. Bangunan ABSAH terdiri dari tiga bak:
 Bak pemasukan air dengan penyaringan bantalan kerikil dan
pasir, dimana air yang tertangkap oleh atap bangunan dimasukkan
ke dalamnya melalui talang.
 Bak akuifer buatan, yang berfungsi untuk memperkaya
kandungan mineral dan sebagai penyaring.
 Bak penyimpan air atau reservoir.
Akuifer buatan adalah lapisan pembawa air atau air tanah buatan
yang dibuat menirukan kondisi akuifer (air tanah) alami, berupa bak
yang dibentuk dan diisi dengan material pasir, kerikil, pasir laut,
arang, hancuran bata merah, arang, kapur, ijuk dan bahan lainnya, dan
diisi air melalui talang dan berasal dari curah hujan yang tertangkap
oleh atap
bangunan atau
bangunan
penangkap
lainnya.
Kedalaman bak
sebaiknya
diambil sama
dengan
bangunan
Gambar 21 Denah Bangunan ABSAH (Adi, 2011)
tampungan,
yaitu 2,5 m dengan ditanam sedalam 1,5 m dan menonjol ke
permukaan tanah setinggi 1 m. Lebar bangunan dibuat antara 0,90 –
1,25 m dengan sekat-sekat berselang seling posisinya pada setiap
panjang 1,25 m. Panjang bangunan bak akuifer buatan minimal 9 m,
yang semakin panjang semakin baik. Agar ukuran bangunan
tampungan tidak terlalu besar maka dalam perhitungan harus
dikaitkan dengan besarnya pengambilan air yang dibutuhkan (didesain
bersifat tetap atau berubah-ubah setiap saat).

31
2.12 Adaptasi Masyarakat Terhadap Bahaya Kekeringan
Menurut Hastuti, 2017 masyarakat selalu mencoba beradaptasi terhadap
adanya bencana kekeringan yang biasa terjadi tahunan untuk mempertahankan
kelangsungannya. Bentuk adaptasi tersebut meliputi:
1. Adaptasi dalam bidang pertanian
Kekeringan mengakibatkan penurunan produksi pertanian.
Adaptasi dalam bidang pertanian seperti yang dilakukan masyarakat di
Kabupaten Grobogan yaitu dengan adaptasi pola tanam. Pola tanam
yang diterapkan untuk menghadapi kekeringan yaitu pola tanam padi,
kemudian palawija, dan setelah itu beras.
2. Adaptasi dalam bidang ketersediaan air.
Usaha adaptasi dalam ketersediaan air dilakukan dengan cara
penggunaan air secara efisien dan efektif. Masyarakat menyebutkan
bahwa dalam adaptasi persediaan air, mereka hanya menggunakan air
untuk mandi dan keperluan memasak. Warga tidak menggunakan air
untuk mencuci kendaraan dan memandikan hewan ternak. Selama
musim kemarau warga tidak mencuci kendaraan dan hewan ternak.
3. Adaptasi dalam bidang ekonomi
Adaptasi yang dilakukan dalam bidang ekonomi yaitu dengan cara
menyediakan alokasi dana khusus untuk menghadapi kekeringan. Pada
saat terjadi puncak kekeringan, bantuan air dari pemerintah masih
belum dapat mencukupi kebutuhan seluruh masyarakat sehingga
masyarakat membeli air sendiri untuk keperluan sehari-hari.
Masyarakat membeli air setiap satu tangki mobil seharga Rp.
200.000,00.
4. Adaptasi dalam bidang kesehatan
Dalam bidang kesehatan adaptasi dilakukan dengan menjaga
kesehatan dengan penyediaan obat-obatan karena masyarakat mudah
terserang penyakit seperti panas dalam dan penyakit yang lain yang
dapat mengganggu aktivitas sehari-hari.

32
2.13 Aspek Ke Ipa-an
Aspek ke-IPA an yang dapat ditinjau dalam kejadian kekeringan ini
adalah dari segi faktornya yakni cuaca dan pemanasan global. Pemanasan
global (global warming) yang diakibatkan oleh terjebaknya panas
matahari (heat) yang seharusnya terpantul ke luar angkasa di atmosfir oleh
peningkatan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer yang dipicu oleh
aktivitas manusia (antropogenik) seperti pembakaran bahan bakar fosil di
sektor energi, transportasi, industri, penebangan pohon, penggundulan hutan,
kebakaran hutan, dan lahan basah. Jenis gas rumah kaca tersebut adalah uap
air, gas karbondioksida (CO2), metana (CH4), klorofluorokarbon (CFC),
dinitrogen oksida (N2O), dan ozon (O3). Gas ini membuat bumi makin panas
telah berdampak pada perubahan iklim (climate change).

Gambar 22 Pemanasan global yang berdampak pada perubahan iklim (https://gapki.id/)

Perubahan iklim mengakibatkan terjadinya pergeseran musim dan


mempengaruhi anomali iklim seperti kejadian El-Nino. Di beberapa daerah,
musim kemarau akan semakin panjang sementara musim hujan menjadi lebih
pendek dengan intensitas curah hujan tinggi, yang mengakibatkan timbulnya
bencana kekeringan (http://balingtan.litbang.pertanian.go.id/ )

33
Gambar 23 Pola suhu dan curah hujan yang khas pada kondisi musim panas El Niño (NOAA Climate.gov,
berdasarkan sumber asli dari Pusat Prediksi Iklim)

Berdasarkan peta tersebut dapat dilihat dampak dari El-Nino di beberapa


negara kawasan Amerika Latin seperti Peru, saat terjadi El-Nino akan
berdampak pada meningkatnya curah hujan di wilayah tersebut. Sedangkan di
Indonesia secara umum dampak dari El-Nino adalah kondisi kering dan
berkurangnya curah hujan. Hal inilah yang pada akhrnya akan menyebabkan
kekeringan di Indonesia.

34
BAB III

PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Secara umum kekeringan merupakan suatu kondisi dimana terjadi
kekurangan air untuk memenuhi kebutuhan (Bayong, 2004).
2. Penyebab Kekeringan Kekeringan tidak hanya disebabkan oleh kurangnya
curah hujan saja, tetapi ada beberapa faktor lain yang berpengaruh (Adi,
2011), antara lain :
a. Faktor meteorologi
b. Faktor hidrologi
c. Faktor agronomi
d. Faktor prasarana sumberdaya air
e. Faktor penegakan hokum
f. Faktor sosial ekonomi
3. Tanda-tanda kekeringan adalah :
 Menurunnya tingkat curah hujan di bawah normal dalam satu
musim.
 Terjadi kekurangan pasokan air permukaan dan air tanah.
 Kekeringan pada lahan pertanian ditandai dengan kekurangan
lengas tanah (kandungan air di dalam tanah).
4. Dampaknya akan terasa ketika lahan-lahan produktif seperti pertanian tiba-
tiba mengalami kegagalan panen maupun penurunan kualitas. Akibat yang
lebih ekstrim lagi adalah rusaknya sistem tanah yang berujung tidak
termanfaatkannya guna lahan yang optimal, kelaparan, dan rusaknya
sistem sektor pertanian.
5. Upaya-upaya yang telah dilakukan pemerintah dalam menghadapi masalah
kekeringan di negara ini diantaranya yaitu
 Mengatasi Kekeringan Dengan Waduk
 Mengatasi kekeringan dengan pengerukan waduk
 Mengatasi Kekeringan dengan Penghijauan

35
3.2 Saran
Bagi para masyarakat hendaknya menggunakan air dengan baik dan bijak.
Jangan terlalu berlebihan dalam menggunakan air karena bisa menyebabkan
kekurangan air yang berujung kekeringan

36
DAFTAR RUJUKAN TEKS

Adi, Henny Pratiwi, 2011. Seminar Nasional Mitigasi dan Ketahanan Bencana.
Semarang : UNNISSULA

Azage, M., Kumie, A., Worku, A., Amvrossios, C., Bagtzoglou, & Anagnostou,
E. 2017. Effect of climatic variability on childhood diarrhea and its high
risk periods in northwestern parts of Ethiopia. PLoS ONE, 12(10), 1–18.
https://doi.org/10.1371/journal.pone.0186933

Bayong, Tjastono. 2003. Geosains. Bandung: ITB.

Bayong, Tjastono. 2004. Klimatologi. Bandung: ITB.

Bayong, Tjastono. 2008. Meteorogi Terapan. Bandung: ITB Press.

Boken, V.K. 2005. Agricultural drought and its monitoring and prediction: some
concepts. New York Oxford University Press..

Fagi, A.M dan I, Las. (2007). Membekali Petani dengan Teknologi Maju Berbasis
Kearifan Lokal pada Era Revolusi Hijau Lestari. Di dalam: Kasryno, F,
Pasandaran, E, dan Fagi, A.M (Eds) Membalik Arus Menuai Kemandirian
Petani. Jakarta: Yayasan Padi Indonesia.

Gustian, M., Azmeri, Yulianur, A., 2014. Optimasi Parameter Model DR. Mock
Untuk Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Jurnal Teknik Sipil Pascasarjana
Universitas Syiah Kuala, 3 (1): 36- 45.

Hartanto, P. 2017. Perhitungan Neraca Air DAS Cidanau Menggunakan Metode


Thornthwaite. Riset Geo.Tam ISSN 0125-9849 27(2): 213-225 (Desember
2017).

Hastuti, D., Sarwono, Muryani, C. 2017. Mitigasi, Kesiapsiagaan, Dan Adaptasi


Masyarakat Terhadap Bahaya Kekeringan, Kabupaten Grobogan
(Implementasi Sebagai Modul Konstektual Pembelajaran Geografi Sma
Kelas X Pokok Bahasan Mitigasi Bencana). Jurnal GeoEco ISSN: 2460-076
3 (1): 47-57 (Januari 2017).

37
http://balingtan.litbang.pertanian.go.id/ind/index.php/berita/202-dampak-
perubahan-iklim-global-terhadap-bencana-kekeringan-di-indonesia

https://nasional.kompas.com/read/2018/08/24/15554271/musim-kemarau-ini-8-
wilayah-yang-alami-kekeringan?page=all Diakses 23 februari 2020

https://siaga.bnpb.go.id/hkb/berita/musim-kemarau-datang-hati-hati-kekeringan
diakses pada 7 Februari 2020

https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190722182920-20-414487/55-
kabupaten-kota-tetapkan-status-siaga-darurat-kekeringan Diakses 23
februari 2020 Diakses 23 februari 2020

https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190731162709-20-417130/2347-desa-
dilanda-kekeringan-bnpb-siapkan-rekayasa-cuaca

https://www.unwater.org/the-32nd-un-water-meeting/ dipublikasi pada 6 Februari


2020

Kodoatie, Robert J. 2011. Pengantar Manajemen Infrastruktur. Yogyakarta:


Penerbit Pustaka Pelajar.

LIPI-UNESCO/ISDR. 2006. Kajian Kesiapsiagaan Masyarakat Dalam


Mengantisipasi Bencana Gempa dan Tsunami. Jakarta: Deputi Ilmu
Pengetahuan Kebumian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesian.

Nalbantis, I. 2008. Assesment of Hydrological Drought Revisited. Water


Resources Management 23 (5) (July 22): 881-887.

Peraturan Menteri Pertanian Nomor 50/Permentan/Ot.140/6/2007

Rahman, H. F., Widoyo, S., Siswanto, H., & Biantoro. 2016. Faktor-faktor yang
berhubungan dengan kejadian diare di Desa Solor Kecamatan Cermee
Bondowoso. NurseLine Journal, 1(1), 24–35. https://doi.org/2540-7937

Setyono, E., 2011. Pemakaian Model Deterministik Untuk Transformasi Data


Hujan Menjadi Data Debit Pada DAS Lahor. Media Teknik Sipil, 9 (1): 17–
28.

38
Shofiyati, Rizatus dan Kuncoro G.P, Dwi. 2007. Inderaja Untuk Mengkaji
Kekeringan Di Lahan Pertanian. Bogor: Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian 1: 923-936

Surmaini, Elza. 2016. Review Makalah: Pemantauan dan Peringatan Dini


Kekeringan Pertanian di Indonesia. Bogor: Balai Penelitian Agroklimat dan
Hidrologi

UN-ISDR. 2009. Terminology on Disaster Risk Reduction. Switzerland: Jeneva.

Wilhite, D. A. 2010. Quantification Of Agriculture Drought Mitigation, In


Agriculture Droughtindices. Proceedings Of An Expert Meeting 2-4 June.
Murcia, Spain, WMO, Geneva. National Drought.

Wilhite, D.A. 2000. Drought preparedness and response in the context of Sub-
Saharan Africa. Journal of Contingencies and Crisis Management.

Yevjevich, V. 1967. An Objective Approach to Definitions and Investigations of


Continental Hydrologic Drought. Hydrology Paper No. 23, Colorado State
Univ.Fort Collins, Colo.

39
DAFTAR RUJUKAN GAMBAR

Hatmoko, W. Radhika, B. Raharja, D. Tollenaar, dan R. Vernimmen. 2015.


Monitoring and prediction of 48 Elza Sumaini: Pemantauan dan
Peringatan Dini Kekeringan Pertanian hydrological drought using a
drought early warning system in Pemali-Comal river basin, Indonesia.
Procedia Environmental Sciences 24:56-64

http://disasterchannel.co/2015/08/13/upaya-upaya-menghadapi-kekeringan/

https://bnpb.cloud/dibi/

https://gapki.id/news/2101/industri-minyak-sawit-bagian-solusi-dari-pemanasan-
global-dan-perubahan-iklim

https://ipad.fas.usda.gov/cropexplorer/chart.aspx?
regionid=seasia&nationalGraph=False&startdate=4%2f1%2f2019&enddate
=1%2f31%2f2020&cntryid=IDN&fctypeid=40&fcattributeid=1

https://news.detik.com/berita/d-4610798/9843-ha-lahan-pertanian-4-kabupaten-di-
banten-dilanda-kekeringan
https://news.detik.com/berita-jawa-barat/d-4675144/kekeringan-ancam-sebagian-
besar-wilayah-jabar
https://news.detik.com/berita-jawa-tengah/d-4581187/360-desa-di-jawa-tengah-
berpontensi-alami-kekeringan-tahun-ini
https://regional.kompas.com/read/2019/07/11/13163631/sebanyak-674017-jiwa-
di-ntb-kesulitan-air
https://regional.kompas.com/read/2019/08/23/15374191/kekeringan-warga-
pringsewu-lampung-mandi-3-hari-sekali?page=all
https://www.bmkg.go.id/press-release/?p=potensi-kekeringan-meteorologis-di-
beberapa-wilayah-di-indonesia&tag=&lang=ID

https://www.climate.gov/news-features/blogs/enso/el-ni%C3%B1o-likely-what-
climate-impacts-are-favored-summer

https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190704083035-20-408924/sejumlah-
daerah-di-jawa-bali-berpotensi-kekeringan-ekstrem

40
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20191013094127-20-439064/delapan-
kecamatan-di-kulon-progo-dilanda-kekeringan
https://www.liputan6.com/regional/read/4013991/kekeringan-ekstrem-melanda-9-
kabupaten-di-ntt
https://www.medcom.id/nasional/daerah/DkqV89WK-bpbd-jepara-ajukan-
anggaran-tambahan-pengadaan-air-bersih Rhobi Shani
https://www.pertanian.go.id/home/index.php?
show=news&act=view&id=3847

Kogan, F.N. 1987. Vegetation index for area analysis of crop conditions. Pp. 103-
106. In Proceedings of 18th Conference on Agricultural and Forest
Meteorology.

WMO. 2006. Drought monitoring and early warning: Concepts, progress and
future challenges. WMO no. 1006. World Meteorological Organization,
Geneva, Switzerland.

41

Anda mungkin juga menyukai