Anda di halaman 1dari 58

1

BAB I. SALMONELLOSIS

Salmonellosis adalah penyakit pada hewan dan manusia yang disebabkan


oleh bakteri Salmonella (S. enterica dan S. bongori). Salmonellosis merupakan
penyakit zoonosis. Penyakit ini dapat menyerang manusia dan semua jenis hewan.
Beberapa jenis serotipe dapat menyerang berbagai jenis host. Serotipe S.
typhimurium dan S.enteritidis selain dapat menyerang unggas, juga dapat
menyerang manusia. Beberapa serovar bersifat host specific (misalnya S.
abortusovis pada domba dan S. typhi pada manusia; S. gallinarum dan S. pullorum
pada unggas) atau host adapted (contohnya S. choleraesuis pada babi dan S. dublin
pada sapi). Nama Salmonella diambil dari ahli bakteriologi veteriner yaitu Daniel E.
Salmon (1850—1914). Salmonella, termasuk family Enterobacteriaceae. Menurut
nomenklatur dalam taksonomi Grimont & Weill ( 2007), genus Salmonella terdiri
dari 2 spesies utama yaitu S. enterica dan S. bongori. Salmonella enterica terdiri dari
6 subspesies yaitu subspecies enterica, subspecies salamae, subspecies arizonae,
subspecies diarizonae, subspecies houtenae dan subspecies indica. Bakteri
Salmonella terdiri dari lebih 2500 sero varian (Grimont & Weill, 2007).
Infeksi bakteri genus Salmonella pada unggas menyebabkan penyakit akut
dan kronis. Pada unggas infeksi Salmonella menyebabkan penyakit pullorum, fowl
typhoid dan infeksi paratyphoid. Unggas merupakan reservoir Salmonella yang
dapat menularkan bakteri tersebut pada manusia misalnya melalui makanan (food
borne disease).

I. Pullorum

Sinonim : Berak kapur, Bacillary white diarrhea

Etiologi
Penyakit pullorum merupakan penyakit sistemik yang menyerang unggas
terutama ayam dan kalkun, unggas lain seperti puyuh, merpati dan itik juga
rentan. Penyakit pullorum dapat ditularkan secara vertikal (transovarian) dan
horizontal.

Patologi Unggas – Wiwin Winarsih – Divisi Patologi FKH IPB


2

Salmonella pullorum merupakan kausa penyakit pullorum. Bakteri tersebut


digolongkan dalam spesies yaitu S. enterica subsp. enterica serovar Pullorum.
Bakteri ini termasuk serogrup D menurut Kauffman White scheme.
Salmonella pullorum bersifat Gram negatif, nonsporogenik, dan fakultatif
anaerobik. Bakteri tersebut non motil dan berbentuk batang dengan ukuran
0.3 - 1.5 x 1.0 - 2.5 mm. S. pullorum memiliki antigen O : 1, 9 dan 12. S.
pullorum menghasilkan endotoxin.
Host
Ayam merupakan host/inang alami Salmonella pullorum. Namun pernah
dilaporkan kejadian wabah penyakit pullorum pada kalkun, puyuh, dan parrot.
Terdapat perbedaan kepekaan terhadap pullorum diantara breed ayam. Tipe
ringan misalnya leghorn lebih tahan dibandingkan dengan tipe berat.
Mortalitas akibat pullorum sering terjadi pada umur 2-3 minggu. Infeksi
akut pada ayam umur tua jarang terjadi. Mortalitas akibat pullorum pada
kalkun juga terjadi pada hewan muda. Ayam dan kalkun dapat bersifat sebagai
karier penyakit pullorum.
Penularan
Penyakit pullorum dapat ditularkan dengan berbagai cara. Unggas yang
terinfeksi dapat bersifat sebagai reaktor dan carrier yang dapat menularkan
penyakit. Penularan dapat terjadi secara vertikal (transovarian) dan horizontal.
S. pullorum dapat menular melalui pakan yang terkontaminasi atau melalui
penetrasi ke dalam telur. Pada induk ayam yang terinfeksi S. pullorum sekitar
33% telurnya juga terinfeksi. Penularan juga dapat terjadi melalui kontak
langsung antara ayam sakit dengan ayam sehat. Penularan melalui luka pada
kulit akibat kanibalisme juga dapat terjadi. Feses dari penderita juga
merupakan sumber infeksi yang dapat mengkontaminasi pakan, air minum atau
litter. Pekerja kandang, kendaraan pengangkut pakan dapat menyebarkan
penyakit antar kandang. Burung liar, lalat dan hewan lainnya dapat bertindak
sebagai vektor mekanik. Kadar maternal antibody dalam kuning telur
menentukan penularan penyakit melalui telur. Maternal antibody terhadap

Patologi Unggas – Wiwin Winarsih – Divisi Patologi FKH IPB


3

S.pullorum dapat mencegah kematian embrio akibat infeksi melalui


telur/transovarial.
Gejala klinis
Masa inkubasi pullorum adalah 5-7 hari. Pada anak ayam penyakit pullorum
biasanya bersifat akut, sedangkan pada ayam dewasa biasanya kronis. Gejala
klinis penyakit pullorum pada anak ayam yaitu lemah, anorexia, pertumbuhan
buruk, diare dan feses yang berwarna putih atau coklat kehijauan menempel di
sekitar kloaka (Gambar 1). Mortalitas akibat pullorum mulai terjadi pada anak
ayam umur 5 – 10 hari. Puncak kematian biasanya terjadi pada umur dua dan
tiga minggu. Sanitasi yang buruk, pakan yang tidak baik, adanya penyakit lain
serta cuaca merupakan faktor predisposisi kejadian penyakit.

Gambar 1. Pullorum : Feses menempel di sekitar kloaka (A); arthritis pada tibiotarsal (B)

Infeksi S.pullorum juga dapat menyebabkan kebengkakan pada persendian


tibiotarsal akibat arthritis dan synovitis (Gambar 1). Gejala klinis pullorum pada
ayam dewasa biasanya tidak jelas atau sub klinis. Gejala klinis pada ayam
dewasa adalah berat badan turun, diare, dan produksi telur turun.
Infeksi Salmonella serovar Pullorum selain menyebabkan mortalitas tinggi
pada anak ayam, juga dapat menyebabkan infeksi sub klinis yang persisten.
Bakteri tersebut dapat berkolonisasi pada traktus reproduksi dan menghasilkan
telur yang terinfeksi (transovarian). Salmonella serovar Pullorum dapat
bertahan (persisten) pada traktus reproduksi dan limpa selama 40 minggu.
Salmonella serovar Pullorum berkolonisasi pada ovarium dan oviduk induk
ayam, sehingga dihasilkan 6 - 30% telur yang terinfeksi. Morbiditas dan

Patologi Unggas – Wiwin Winarsih – Divisi Patologi FKH IPB


4

mortalitas bervariasi tergantung pada strain ayam, umur, nutrisi, manajemen,


kondisi ayam, jumlah dan rute infeksi. Mortalitas akibat pullorum biasanya
tinggi pada umur minggu kedua dan ketiga.
Lesio dan diagnosis patologi
Pada anak ayam pullorum menyebabkan lesio PA berupa kebengkakan dan
kongesti pada hati dan limpa. Pada hati terdapat fokus nekrotik berwarna putih
(hepatitis nekcroticans milier) (Gambar 2), gangguan penyerapan kuning telur,
kuning telur mengental atau seperti keju. Kadang ditemukan fokus nekrotik
berwarna putih pada paru-paru. Jantung dan limpa (Gambar 3). Kongesti pasif
kronis pada hati dan ascites kadang terjadi. Perikardium menebal dan berisi
eksudat sereus atau fibrinus. Fokus nekrotik berwarna putih juga terdapat pada
gizzard dan sekum. Sekum berisi eksudat perkejuan (caseus core/secal core)
(Gambar 4). Muksosa usus menebal dan terdapat eksudat kataral. Limpa dan
ginjal membesar. Persendian yang mengalami arthritis mengandung cairan
eksudat kental berwarna kekuningan.

Gambar 2. Pullorum : Fokus nekrotik pada hati

Patologi Unggas – Wiwin Winarsih – Divisi Patologi FKH IPB


5

A B
Gambar 3. Pullorum : Fokus nekrotik pada jantung (A) dan limpa (B)

Gambar 4. Pullorum : Eksudat perkejuan pada sekum (A); Ovarium hemorhagi dan
peradangan (B)

Patologi Unggas – Wiwin Winarsih – Divisi Patologi FKH IPB


6

Pada ayam dewasa lesio PA akibat pullorum adalah peradangan pada


ovarium (oophoritis) yaitu bentuk ovum tidak bulat, pendarahan, sistik ova,
kadang terdapat eksudat perkejuan (Gambar 4) dan peradangan pada oviduk
(salpingitis). Juga terjadi peritonitis akibat pecah telur dalam rongga abdomen,
disertai perikarditis dan perihepatitis fibrinosa.
Pada kasus perakut, pullorum menimbulkan lesio mikroskopis berupa
kongesti yang hebat pada berbagai organ terutama hati, limpa dan ginjal. Pada
kejadian akut atau sub akut lesio mikroskopik pada hati adalah fokus nekrotik,
akumulasi fibrin dan infiltrasi heterofil, dan limfosit serta sel plasma di daerah
portal dan peradangan (Gambar 5). Pada kejadian kronis, ditemukan kongesti
pasif kronis dan fibrosis pada hati. Pada anak ayam terjadi nekrotik pada
mukosa dan sub mukosa sekum, disertai dengan infiltrasi sel radang. Pada
ovarium lesio mikroskopik yang terjadi adalah peradangan fibrinosupuratifa
dengan infiltrasi sel radang heterofil, limfosit, sel plasma dan makrofag (Gambar
5). Pada ayam jantan menyebabkan degenerasi, nekrosis dan peradangan serta
atrofi pada tubulus seminiferi.

AB
Gambar 5. Pullorum : Fokal nekrosis (*) dan infiltrasi sel radang pada hati (A); kongesti dan
infiltrasi sel radang pada ovarium (B)

Diagnosis penyakit pullorum perlu diteguhkan dengan melakukan isolasi dan


identifikasi bakteri penyebab. Sampel yang baik untuk pemeriksaan bakteri
adalah hati, limpa dan sekum. Pada anak ayam sampel dapat juga diambil dari
kuning telur. Pada ayam dewasa, bakteri S. pullorum dapat diisolasi dari organ

Patologi Unggas – Wiwin Winarsih – Divisi Patologi FKH IPB


7

reproduksi yaitu ovarium atau testes. Sampel juga dapat diambil dari cairan
sinovial.
Diferensial diagnosis
Gejala klinis pullorum tidak patognomonis. Infeksi bakteri Salmonella lainnya
(fowl typhoid dan paratifoid) dan kolera unggas menunjukkan gejala klinis dan
lesio PA yang mirip terutama lesio pada organ hati, limpa dan usus. Bakteri
Mycoplasma synoviae, Staphylococcus aureus, Pasteurella multocida, dan
Erysipelothrix rhusiopathiae juga dapat menyebabkan arthritis dan synovitis.
Coliform, staphylococci, P. multocida, streptococci, dan salmonellae dapat
menyebabkan peradangan pada ovarium.
Pengendalian
Penyelenggaraan managemen yang baik pada suatu peternakan sangat
penting dalam pengendalian penyakit pullorum. Penyakit pullorum dapat
ditularkan secara vertikal dan horizontal, maka beberapa hal perlu diperhatikan
dalam pengendalian pullorum yaitu memasukan DOC atau telur tetas dari
breeder bebas pullorum; fumigasi mesin tetas; kandang dan peralatan kandang
menggunakan bahan yang mudah dibersihkan dan didisinfeksi; penerapan
program biosekuriti yang ketat untuk mencegah pemasukan bibit penyakit;
bebas rodensia, burung liar, insekta dan hewan lainnya; kualitas air minum dan
gudang pakan; insenerator atau tempat pemusnahan ayam yang mati serta
pengendalian dan eliminasi reaktor. Pengendalian reaktor dilakukan dengan
melakukan uji serologis misalnya rapid whole blood agglutination test dan ELISA.
Vaksin pullorum tidak menunjukkan hasil yang protektif. Pengobatan dapat
menggunakan antibiotik misal enrofloxacin. S. pullorum dilaporkan resisten
terhadap beberapa antibiotik misalnya chlortetracycline dan nitrofurazone. Oleh
karena itu perlu dilakukan uji sensitivitas terhadap antibiotik, sehingga diperoleh
antibiotik yang tepat.

Patologi Unggas – Wiwin Winarsih – Divisi Patologi FKH IPB


8

2. Fowl Typhoid

Etiologi
Fowl typhoid disebabkan oleh S. gallinarum. Bakteri ini digolongkan dalam
spesies S. enterica subsp. enterica serovar Gallinarum. S. gallinarum termasuk
serogrup D menurut Kauffman White scheme. Penyakit fowl typhoid dan
pullorum memiliki banyak persamaan dalam gejala klinis, lesio, kontrol dan
prosedur eradikasi.
Salmonella gallinarum bersifat Gram negatif, nonsporogenik, dan fakultatif
anaerobik. Bakteri tersebut bersifat non motil dan berbentuk batang dengan
ukuran 0.3 - 1.5 x 1.0 - 2.5 mm. S. gallinarum memiliki antigen O : 1, 9 dan 12
dan menghasilkan endotoxin.
Host
Ayam merupakan host/inang alami S. gallinarum. Kalkun, puyuh, dan parrot
pernah dilaporkan terserang wabah fowl typhoid. Fowl typhoid sering
menyerang ayam dewasa, walaupun pernah dilaporkan kematian tinggi pada
anak ayam. Angka mortalitas akibat fowl typhoid pada ayam umur 4 minggu
dapat mencapai 26%.
Penularan
Penularan fowl typhoid dapat terjadi dengan berbagai cara. Unggas yang
terinfeksi dapat bersifat sebagai reaktor dan carrier yang dapat menularkan
penyakit. Penularan dapat terjadi secara vertical (transovarian) dan horizontal.
Pada induk ayam yang terinfeksi S. gallinarum, telurnya dapat terinfeksi.
Kontak langsung antara ayam sakit dengan ayam sehat dapat menularkan
penyakit. Penularan juga dapat terjadi melalui luka pada kulit akibat
kanibalisme. Feses dari penderita juga merupakan sumber infeksi yang dapat
mengkontaminasi pakan, air minum atau litter. Penyebaran penyakit antar
kandang dapat terjadi melalui pekerja kandang, kendaraan pengangkut pakan.
Burung liar, lalat dan hewan lainnya dapat bertindak sebagai vektor mekanik.
penularan penyakit melalui telur juga ditentukan oleh kadar maternal antibodi
dalam kuning telur.

Patologi Unggas – Wiwin Winarsih – Divisi Patologi FKH IPB


9

Gejala klinis
Fowl typhoid sering menyerang ayam dewasa. Gejala klinis akibat fowl
typhoid pada anak ayam yaitu lemah, anorexia, pertumbuhan buruk dan feses
yang berwarna putih menempel di sekitar kloaka. Infeksi akut fowl typhoid pada
ayam dewasa menimbulkan gejala klinis berupa penurunan konsumsi pakan,
pucat, penurunan produksi telur, penurunan daya tetas telur dan suhu tubuh
meningkat, diare dan dehidrasi. Kematian dapat terjadi dalam waktu 5 – 10 hari
setelah infeksi.
Lesio dan diagnosis patologi
Pada kejadian akut fowl typhoid menimbulkan lesio PA berupa kebengkakan
pada hati, limpa dan ginjal (Gambar 7). Pada subakut atau kronis lesio yang
terbentuk adalah hati bengkak dan berwarna coklat kehijauan, peritonitis dan
perikarditis. Fokal nekrotik pada hati dan jantung, hemorhagi pada ovarium dan
oophoritis. Pada anak ayam lesion PA berupa fokal nekrotik pada hati, jantung
dan gizard.

A B

C D
Gambar 7. Fowl typhoid : hati bengkak dan berwarna merah kehijauan (A); limpa bengkak
(B); enteritis (C); oophoritis (D)

Patologi Unggas – Wiwin Winarsih – Divisi Patologi FKH IPB


10

Lesio mikroskopik yang ditimbulkan akibat fowl typhoid bervariasi


tergantung perjalanan penyakit yaitu per akut, akut atau kronis. Lesio
mikroskopis pada kasus perakut, berupa kongesti yang hebat pada hati, limpa
dan ginjal. Pada kejadian akut atau sub akut lesio mikroskopik yang terjadi
adalah akumulasi fibrin dan infiltrasi heterofil pada hati, infiltrasi heterofil dan
limfosit serta sel plasma di daerah portal. Pada kejadian kronis, ditemukan
kongesti pasif kronis dan fibrosis pada hati. Pada anak ayam terjdi nekrotik
pada mukosa dan sub mukosa sekum, disertai dengan infiltrasi sel radang. Lesio
mikroskopik yang terjadi pada ovarium adalah peradangan fibrinosupuratifa
dengan infiltrasi sel radang heterofil, limfosit, sel plasma dan makrofag. Pada
ayam jantan menyebabkan degenerasi, nekrosis dan peradangan pada tubulus
seminiferi.
Diagnosis penyakit fowl typhoid perlu diteguhkan dengan melakukan isolasi
dan identifikasi bakteri penyebab. Sampel yang baik untuk pemeriksaan bakteri
ini adalah hati, limpa dan sekum. Pada anak ayam sampel dapat juga diambil
dari kuning telur. Pada ayam dewasa, bakteri S. gallinarum dapat diisolasi dari
organ ovarium, testes dan cairan sinovial.
Diferensial diagnosis
Fowl typhoid menunjukkan lesi yang mirip dengan pullorum, paratifoid dan
kolera unggas.
Pengendalian
Pengendalian fowl typhoid secara umum sama dengan pengendalian
pullorum. Penyelenggaraan managemen yang baik pada suatu peternakan
sangat penting dalam pengendalian penyakit fowl typhoid serta biosekuriti yang
ketat seperti memasukan DOC atau telur tetas dari breeder bebas fowl typhoid.
Vaksin fowl typhoid tidak menunjukkan hasil yang protektif. Pengobatan dapat
menggunakan antibiotik misal enrofloxacin, gentamisin. S. gallinarum
dilaporkan resisten terhadap beberapa antibiotik misalnya furazolidone.
Sehingga uji sensitivitas terhadap antibiotik perlu dilakukan untuk memperoleh
antibiotik yang tepat.

Patologi Unggas – Wiwin Winarsih – Divisi Patologi FKH IPB


11

3. Infeksi Paratifoid

Etiologi
Bakteri Salmonella yang bersifat motil disebut salmonellae paratifoid.
Bakteri ini dapat menyerang berbagai jenis hewan dan manusia serta sering
menyebabkan penyakit yang asimptomatis (subklinis). S. enterica terdiri dari
2500 serotipe motil dan non host-adapted antara lain S. enterica serotype
Enteritidis dan S. enterica serotype Typhimurium. Salmonella berbentuk
batang, Gram negatif, motil, memiliki flagela dan anaerob fakultatif. Tumbuh
optimal pada suhu 37°C, dengan kisaran suhu 5 - 45°C, pH antara 4.0 - 9.0
dengan pH optimum 7.0.
Bakteri Salmonella secara umum rentan terhadap panas, S.typhimurium
mati pada suhu 79°C, walaupun beberapa strain menunjukkan lebih toleran
terhadap panas. Pemakaian desinfektan dapat mengeliminasi bakteri ini dari
telur. Aplikasi hidrogen peroksidasi, klorin, asam asetat, asam laktat dapat
menurunkan kontaminasi Salmonella pada karkas. Fumigasi dengan formaldehid
dan dipping dapat mengurangi kontaminasi pada telur tetas. S. typhimurium
dapat bertahan selama 16 bulan dalam pakan dan 18 bulan dalam litter pada
suhu 25°C. Bakteri Salmonella menghasilkan endotoksin dan beberapa strain
juga menghasilkan enterotoksin dan sitotoksin. Adhesi Salmonella pada sel
epitel usus merupakan tahap awal infeksi.
Host
Paratifoid dapat menyerang ayam pada berbagai umur. Anak ayam sangat peka
terhadap infeksi Salmonella. Bakteri Salmonella dapat menyerang berbagai
jenis unggas.
Penularan
Penularan dapat terjadi secara vertikal (transovarian) dan horizontal.
Penularan horizontal dapat terjadi melalui pakan atau air minum yang
terkontaminasi. Unggas liar yang terinfeksi dapat menjadi sumber penularan.
Penularan penyakit antar kandang atau peternakan dapat terjadiKendaraan
pengangkut pakan dan pekerja kandang dapat menyebarkan penyakit antar

Patologi Unggas – Wiwin Winarsih – Divisi Patologi FKH IPB


12

kandang atau peternakan. Penularan pada telur tetas sering terjadi di dalam
mesin tetas yang sudah terkontaminasi (Gambar 8).

Importation
of poultry &
Breedin Lateral
poultry
g flocks spead
products
Vertical transmission :
Poultr
Contamination of
y Hatch
eggshell
Feedst ery
Contamination of egg
uffs
via ovaries
Wildlif
e Broiler & Lateral
Horizontal
Enviro egg spead
transmission :
ments productio
Lateral spread among
Vehicl Processin
n flocks Carcass cross-
day-old stocks
es g plant contamination
Contaminated
Delivery vehicle,
Equip wastepersonel
& wild birds
etc
ment
Huma
ns

Gambar 8. Siklus infeksi Salmonella (Wray et al. 1999)

Penularan secara vertikal dapat terjadi dari induk yang terinfeksi. Induk
ayam yang terinfeksi S. enteritidis dapat menularkan secara transovarial pada
telur yang dihasilkan. Infeksi dapat terjadi pada ovarium atau pada saluran telur
atau oviduk, sehingga telur yang dihasilkan mengandung bakteri S. enteritidis
(Gambar 9). Infeksi S. enteritidis terjadi secara peroral. Infeksi Salmonella
diawali dengan adhesi pada sel epitel dan berkolonisasi. Kemudian invasi ke

Patologi Unggas – Wiwin Winarsih – Divisi Patologi FKH IPB


13

submukosa, folikel limfoid (Peyer’s patches) untuk difagosit oleh sel makrofag
dan sel RES seperti sel dendrit serta memasuki aliran darah dan menginvasi
berbagi organ antara lain organ reproduksi, sehingga dapat menginfeksi telur
yang dihasilkan. Infeksi dapat terjadi pada ovarium atau oviduk. Salmonella juga
dapat menginfeksi telur dengan cara penetrasi melalui kerabang.

Gambar 9. Patogenesis kontaminasi telur oleh S. enteritidis (Gantois et al 2009)

Gejala klinis
Gejala klinis pada anak ayam akibat paratifoid berupa diare, lemah, anorexia
dan omphalitis. Pada ayam dewasa gejala klinis yang timbul antara lain
anorexia, lemah dan produksi telur turun. Pada ayam breeder juga terjadi
penurunan daya tetas akibat kematian embrio. Pada ayam sering terjadi infeksi
subklinis. Penderita subklinis merupakan carrier dan sumber penularan.
Lesio dan diagnosis patologi

Patologi Unggas – Wiwin Winarsih – Divisi Patologi FKH IPB


14

Pada anak ayam lesio PA berupa perikarditis, perihepatitis, omphalitis,


gangguan penyerapan kuning telur, limpa dan ginjal membengkak, enteritis dan
secal core pada sekum serta fokus nekrotik pada hati (Gambar 10). Kematian
terjadi akibat septikemia. Pada ayam dewasa lesio PA berupa pembengkakan
dan kongesti pada hati, limpa dan ginjal. Enteritis (button type lesion) dan fokus
nekrotik pada hati dan limpa (Gambar 11). Perikarditis, perihepatitis dan
ditemukan secal core pada sekum. Peradangan pada ovarium dan oviduk
(Gambar 12).

Gambar 10. Paratifoid : Fokal nekrotik pada hati (A); Typhlitis pada sekum : secal core (B)

Winarsih, 2005
Gambar 11. Paratifoid : pendarahan (→) dan nekrotik -- button type lesion (▼) pada usus

Patologi Unggas – Wiwin Winarsih – Divisi Patologi FKH IPB


15

Gambar 12. Paratifoid : Peradangan pada ovarium (oophoritis)

Winarsih,
2005

Gambar 13. Paratifoid : fokus nekrotik pada hati (*)(Winarsih, 2005)

Pada pemeriksaan histopatologi pada organ hati terjadi fokus nekrotik sel
hepatosit dan infiltrasi sel radang limfosit, makrofag dan heterofil (Gambar 13).
Pada usus terjadi hiperemi/pembendungan, edema, pendarahan, peradangan
dan deskuamasi epitel (Gambar 14).

Patologi Unggas – Wiwin Winarsih – Divisi Patologi FKH IPB


16

Winarsih,
2005

Gambar 14. Paratifoid : Villi memendek, edema dan infiltrasi sel radang (*),
deskuamasi epitel (→) pada sekum (Winarsih, 2005)

Diagnosa penyakit paratifoid perlu diteguhkan dengan melakukan isolasi dan


identifikasi bakteri penyebab. Sampel yang baik untuk pemeriksaan bakteri ini
adalah hati, limpa dan sekum. Pada anak ayam sampel dapat juga diambil dari
kuning telur. Pada ayam dewasa, bakteri dapat diisolasi dari organ ovarium dan
telur.
Diferensial diagnosis
Infeksi bakteri Salmonella lainnya (fowl typhoid dan pullorum) dan kolera
unggas menunjukkan gejala klinis dan lesio PA yang mirip. Kolera unggas dan
infeksi E. coli dapat menyebabkan oophoritis.
Pengendalian
Penyelenggaraan managemen yang baik pada suatu peternakan sangat
penting dalam pengendalian penyakit dengan melaksanakan biosekuriti yang
ketat. Paratifoid dapat ditularkan secara vertikal dan horizontal, maka beberapa
hal perlu diperhatikan yaitu memasukan DOC atau telur tetas dari breeder
bebas Salmonella; fumigasi mesin tetas; kandang dan peralatan kandang
menggunakan bahan yang mudah dibersihkan dan didisinfeksi; penerapan
program biosekuriti yang ketat untuk mencegah pemasukan bibit penyakit;

Patologi Unggas – Wiwin Winarsih – Divisi Patologi FKH IPB


17

bebas rodensia, burung liar, insekta dan hewan lainnya; kualitas air minum dan
gudang pakan; insenerator atau tempat pemusnahan ayam yang mati serta
pengendalian dan eliminasi reaktor. Pengendalian reaktor dilakukan dengan
melakukan uji serologis misalnya rapid whole blood agglutination test dan ELISA.
Beberapa negara seperti AS menggunakan competitive exclusion misalnya
probiotik dalam pengendalian salmonellosis. Vaksin terhadap S. enteritidis dan
S. typhimurium digunakan untuk pencegahan. Pengobatan dapat menggunakan
antibiotik misal gentamicin dan spectinomycin. Salmonellae dilaporkan resisten
terhadap beberapa antibiotik misalnya nalidixic acid dan enrofloxacin. Oleh
karena itu perlu dilakukan uji sensitivitas terhadap antibiotik, sehingga diperoleh
antibiotik yang tepat.

BAB II. Omphalitis

Omphalitis adalah peradangan pada pusar atau umbilicus. Omphalitis


merupakan penyakit infeksi yang multikausal pada umbilicus yang sering
menyerang jaringan lainnya. Penyakit ini mengakibatkan kematian pada anak ayam
dalam jumlah tinggi terutama pada minggu pertama (umur 1-7 hari). Sinonim
omphalitis adalah Mushy Chick Disease; Navel ill dan Navel Infection.

Etiologi

Kausa omphalitis multikausal. Bakteri yang sering menyebabkan omphalitis


antara lain Escherichia coli, Salmonella, Staphylococcus aureus, Bacillus cereus,
Pseudomonas aeruginosa. Faktor yang menunjang kejadian penyakit adalah
sanitasi yang buruk terutama mesin tetas.

Gejala klinis

Gejala klinis omphalitis adalah anak ayam terlihat lemah, mengumpul dan
anorexia. Bagian abdomen membesar berwarna kebiruan. Bagian pusar basah,
edematous berwarna merah kehitaman atau terdapat keropeng. Kadang-

Patologi Unggas – Wiwin Winarsih – Divisi Patologi FKH IPB


18

kadang terjadi diare berwarna putih dengan konsistensi seperti pasta. Angka
mortalitas akibat omphalitis dapat mencapai 50%.

Lesio dan diagnosis patologi

Lesio PA yang terjadi adalah pusar mengalami peradangan, basah, berwarna


merah atau kehitaman. Otot abdomen dan dada basah edematous serta edema
sub kutan. Sering diikuti dengan peritonitis, infeksi pada kuning telur dan
gangguan penyerapan kuning telur. Kuning telur mengental seperti keju.

Pengendalian

Penerapan biosekuriti yang ketat terutama sanitasi yang baik pada kandang
dan mesin tetas. Pencucian dan dipping telur tetas dalam desinfektan.
Fumigasi mesin tetas untuk mengurangi kontaminasi. Pengambilan telur dari
kandang lebih sering dilakukan. Pengobatan dengan antibiotik broad spectrum
dapat mengurangi mortalitas. Culling dapat dilakukan pada ayam sakit.

Gambar 15. Omphalitis disertai peritonitis

Patologi Unggas – Wiwin Winarsih – Divisi Patologi FKH IPB


19

Patoipb

Gambar 16. Omphalitis

Gambar 17. Cheesy peritonitis (A) dan infeksi kuning telur – perkejuan (B)

DAFTAR PUSTAKA

Ahmed, AKM., MT Islam, MG Haider and MM Hossain. 2008. Seroprevalence and


pathology of naturally infected salmonellosis in poultry with isolation and
identification of causal agents. J. Bangladesh Agril. Univ. 6 (2) : 327-334

Atterbury, R. J., M. A. P. Van Bergen, F. Ortiz, M. A. Lovell, J. A. Harris, A. De Boer, J.


A. Wagenaar, V. M. Allen, and P. A. Barrow. 2007. Bacteriophage Therapy To
Reduce Salmonella Colonization of Broiler Chickens. Appl Environ Microbiol.
73(14): 4543–4549.

Atlas of Avian Disease , Cornell University, College of veterinary medicine,


http://partnersah.vet.cornell.edu 9 Desember 2011

Barrow, PA. 2000. The paratyphoid salmonellae. Rev. sci. tech. off. Int. Epiz. 19 (2) :
351-375

Berry, JG. And D. Whitenack. 2012. Bacterial diseases of poultry. Division of


Agricultural Sciences and Natural Resources. Oklahoma State University.
http://osufacts.okstate.edu. 18 Januari 2012

Patologi Unggas – Wiwin Winarsih – Divisi Patologi FKH IPB


20

Calenge,F., P. Kaiser, A. Vignal and C. Beaumont. 2010. Genetic control of


resistance to salmonellosis and to Salmonella carrier-state in fowl: a review.
Genet Sel Evol. 42 (1): 11.

De Buck, J., F. van Immerseel, F. Haesebrouk and R. Dutacelle. 2004. Colonization of


the chicken reproductive tract and egg contamination by Salmonella. J. of
Appl. Mic. 97 : 233-245

Dhama, K., M. Mahendran and S. Tomar. 2008. Pathogens transmitted by migratory


birds : Threat perceptions to poultry health and production. International
Journal of Poultry Science 7 (6): 516-525

Dinev, I. 2011. Diseases of poultry.


http://www.thepoultrysite.com/publications/6/diseases-of
poultry/179/salmonelloses 9 Desember 2011

Divisi Patologi FKH IPB. Kasus-kasus diagnostik di Divisi Patologi. Fakultas


Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor

Foley, S. L. and A. M. Lynne. 2008. Food animal-associated Salmonella challenges :


Pathogenicity and antimicrobial resistance. J Anim Sci. 86 : E173-E187.

Gantois, I., R. Ducatelle, F. Pasmans, F. Haesebrouck, R. Gast, TJ. Humphrey and F.


Van Immerseel. 2009. Mechanisms of egg contamination by Salmonella
enteritidis. FEMS Microbiol Rev . 1–21

Guard-Petter, J. 2001. The chicken, the egg and Salmonella enteritidis.


Environmental Microbiology 3 (7), 421- 430

Henderson, S.C., D. Bounous and M.D. Lee. 1999. Early events in the pathogenesis
of avian salmonellosis. Infection and immunity 67 ( 7) : 3580–3586

Kabir S.M.L. 2010. Avian Colibacillosis and Salmonellosis : A Closer Look at


Epidemiology, Pathogenesis, Diagnosis, Control and Public Health Concerns.
Int. J. Environ. Res. Public Health, 7 : 89-114

Khan, K.A., S. A. Khan, A. Aslam, M. Rabbani and M.Y. Tipu. 2004. Factors
contributing to yolk retention in poultry : A review. Pakistan Vet. J., 24(1) :
46-50

Ohl, M. E. and S. I. Miller. 2001. Salmonella : A model for bacterial Pathogenesis.


Annu. Rev. Med. 52:259–74

OIE Terrestrial Manual 2010. Salmonellosis.


http://www.oie.int/fileadmin/Home/eng/Health_standards/tahm/2.09.09_S
ALMONELLOSIS.pdf 15 Desember 2011

Patologi Unggas – Wiwin Winarsih – Divisi Patologi FKH IPB


21

OIE Terrestrial Manual 2008. Fowl typhoid and pullorum disease.


http://www.oie.int/fileadmin/Home/eng/Health_standards/tahm/2008/pdf
/2.03.11_FOWL_TYPHOID.pdf 15 Desember 2011

Maddadi, M.S., M.Hassanzadeh, M.Bozogmehrifard, H.Shojaei, A.Yazdani, V.


Karimi1 and A. Barin. 2010. Study on two inoculation routs of Salmonella
enteritidis in abilities to colonize in internal organs and to contaminate of
eggs in broiler breeder hen. Poultry topics : 29

Pui, C.F. et al. 2011. Salmonella : A foodborne pathogen. Int. Food Res. J. 18 : 465 –
473

Randall, LP., SW. Cooles, NC. Coldham, KS. Stapleton, LJV. Piddock and MJ.
Woodward. 2006. Modification of Enrofloxacin Treatment Regimens for
Poultry Experimentally Infected with Salmonella enterica Serovar
Typhimurium DT104 To Minimize Selection of Resistance. Antimicrob.
Agents Chemother. 50 (12) : 4030-4037

Saif, YM et al. (editors). 2003. Diseases of Poultry, 11 thed. Iowa State University
Press, USA.

Santos, R.L., R.M. Tsolis, A.J. Bäumler, and L.G. Adams. 2003. Pathogenesis of
Salmonella-induced enteritis. Braz J Med Biol Res. 36 : 3-12

Shivaprasad, HL. 2000. Fowl typhoid and pullorum disease. Rev. sci. tech. off. Int.
Epiz. 19 (2) : 405 – 424

Stevens M. P., T. J. Humphrey and D. J. Maskell. 2009. Molecular insights into farm
animal and zoonotic Salmonella infections. Phil. Trans. R. Soc. B 364 : 2709-
2723

Wigley P., A. Berchieri Jr., K. L. Page, A. L. Smith and P. A. Barrow. 2001. Salmonella
enterica Serovar Pullorum Persists in Splenic Macrophages and in the
Reproductive Tract during Persistent, Disease-Free Carriage in Chickens.
Infect. Immun. 69 (12) : 7873-7879

Wigley, P., SD. Hulme, C.Powers, RK. Beal, A. Berchieri Jr., A. Smith and P. Barrow.
2005. Infection of the Reproductive Tract and Eggs with Salmonella enterica
Serovar Pullorum in the Chicken Is Associated with Suppression of Cellular
Immunity at Sexual Maturity. Infect. Immun. 73 ( 5) : 2986-2990

Winarsih, W. 2005. Pengaruh Probiotik Dalam Pengendalian Salmonellosis Subklinis


Pada Ayam : Gambaran Patologis dan Performan. Disertasi. Institut
Pertanian Bogor

Patologi Unggas – Wiwin Winarsih – Divisi Patologi FKH IPB


22

Wray, C., RH Davies and SJ Evans. 1999. Salmonella infection in poultry : the
production environment. In Richardson, RI and GC. Mead (eds). Poultry meat
science : 257-275. http://www.adiveter.com/ftp/articles/articulo1549.pdf

Patologi Unggas – Wiwin Winarsih – Divisi Patologi FKH IPB


23

BAB III. PASTEURELLOSIS

Pasteurellosis adalah nama penyakit yang disebabkan oleh bakteri famili


Pasteurellaceae. Penyakit pada unggas yang disebabkan oleh bakteri famili
Pasteurellaceae yaitu kolera unggas dan infeksi Riemerella anatipestifer.

1. Kolera unggas

Sinonim
Fowl cholera (FC), avian cholera, avian pasteurellosis, dan avian hemorrhagic
septicemia.
Etiologi
Penyebab kolera unggas adalah bakteri Pasteurella multocida. Bakteri ini
bersifat Gram negatif, tidak membentuk spora, tidak motil, batang bipolar,
kadang membentuk rantai dan membentuk kapsul. Berdasarkan kapsul yang
dimiliki bakteri P. multocida terdapat 5 tipe kapsul yaitu A, B, D, E dan F.
Sedangkan klasifikasi berdasarkan komponen lipopolisakarida dinding sel bakteri
terdapat 16 tipe yaitu 1 sampai dengan 16.
Bakteri ini dapat mati dengan desinfektan seperti formaldehid 1%, phenol,
betapropiolakton dan glutaraldehid. Juga mati apabila terkena sinar matahari
langsung, kekeringan atau panas. Bakteri ini mati dengan pemanasan 56 oC
selama 15 menit atau 60oC selama 10 menit.
Patogenitas P. multocida bervariasi tergantung strain, spesies host/inang
dan lingkungan. Kemampuan P. multocida untuk invasi dan berkembang pada
host meningkat dengan adanya kapsul. Kehilangan kemampuan untuk
membentuk kapsul pada P. multocida patogen dapat menurunkan patogenitas
bakteri tersebut. Kandungan atau susunan kimia kapsul lebih menentukan
virulensi daripada ketebalan kapsul.
Bakteri P. multocida menghasilkan endotoksin. Bakteri P. multocida yang
memiliki kapsul tipe A dan D selain endotoksin juga menghasilkan toksin protein
lainnya. Pada tipe D toksin tersebut merupakan toksin yang bersifat labil
terhadap suhu dan dapat menyebabkan nekrose pada kulit (dermonecrotic).

Patologi Unggas – Wiwin Winarsih – Divisi Patologi FKH IPB


24

Host
Kolera unggas dapat menyerang hampir semua jenis unggas baik unggas
domestik maupun liar. Kalkun merupakan unggas yang paling rentan. Kematian
pada kalkun dapat mencapai 90 – 100% dalam 48 jam setelah infeksi.
Ayam dewasa lebih rentan daripada anak ayam. Ayam biasanya terinfeksi
pada umur 16 minggu ke atas, tetapi pernah dilaporkan broiler yang berumur
20-46 hari terserang kolera. Kematian pada ayam bervariasi antara 10 – 20%.
Itik dan angsa sangat peka terhadap kolera. Itik biasanya terserang kolera
pada umur 4 minggu ke atas dengan mortalitas berkisar 50%. Pada itik muda
serangan kolera biasanya lebih parah dan kematian dapat mencapai 100%.
Penyakit kolera juga dapat menyerang burung puyuh, merpati dan jenis unggas
lainnya. Kelinci dan mencit juga sangat peka terhadap infeksi P. multocida.
Penularan
Infeksi P. multocida dapat terjadi melalui saluran pernafasan (perinhalasi),
saluran pencernaan (peroral) dan mukosa atau luka (hematogen). Penularan
kolera dapat terjadi secara kontak langsung antara hewan yang sehat dengan
yang sakit. Unggas penderita kolera kronis merupakan sumber penularan.
Penularan juga dapat terjadi secara tidak langsung misalnya melalui air minum,
pakan atau peralatan kandang yang tercemar. Penularan ke peternakan lain
dapat terjadi antara lain melalui kendaraan pengangkut pakan dan hewan lain
yang berkeliaran di sekitar kandang seperti tikus dan burung gereja.
Stress merupakan faktor predisposisi kejadian penyakit kolera. Stress dapat
berupa perubahan cuaca, kelembaban, pemotongan paruh atau penggantian
pakan yang tiba-tiba. Transportasi, kandang yang terlalu penuh atau
pemindahan kandang juga dapat menimbulkan stress pada ayam. Faktor
predisposisi lainnya adalah adanya penyakit lain dan sanitasi yang buruk.
Gejala klinis
Berdasarkan gejala klinis terdapat 3 tipe penyakit yaitu perakut, akut dan kronis.
a. Perakut
Pada tipe perakut unggas yang terserang kolera tidak memperlihatkan gejala
klinis. Unggas mati mendadak dengan perubahan utama septikemi.

Patologi Unggas – Wiwin Winarsih – Divisi Patologi FKH IPB


25

b. Akut
Pada kolera akut gejala klinis berupa anoreksia, keluar eksudat dari hidung,
sesak nafas, diare cair dan berwarna putih atau hijau (Gambar 1). Sianosis
pada pial dan jengger dapat terlihat beberapa saat sebelum mati. Pada
hewan yang tidak mati, penyakit kemudian menjadi kronis.

Winarsih, 1996 Winarsih, 1996

Gambar 1. Kolera akut : sesak nafas dan sianosis (Winarsih, 1996)

Gambar 2. Kolera kronis : Kebengkakan dan radang pada pial (A), sinus infraorbital (B),
dan telinga tengah (C), serta tortikolis (D)

Patologi Unggas – Wiwin Winarsih – Divisi Patologi FKH IPB


26

c. Kronis
Kolera kronis dapat merupakan lanjutan dari kolera akut atau merupakan
penyakit yang timbul karena infeksi oleh P. multocida yang kurang virulen.
Kolera kronis umumnya ditandai dengan infeksi yang bersifat lokal seperti
pembengkakan persendian sayap dan kaki; pembengkakan telapak cakar dan
pial; eksudat pada konjunktiva (konjunktivitis); tortikolis serta sesak nafas
(Gambar 2).
Lesio dan diagnosis patologi
Lesio yang terjadi tergantung pada tipe dan keparahan penyakit. Pada kolera akut
atau perakut biasanya terjadi septikemi. Lesio patologi anatomi (PA) yang terjadi
adalah hiperemi/pembendungan umum, pendarahan ptekhie atau ekhimosa pada
epikardium jantung dan jaringan serosa. Pendarahan juga terjadi pada jaringan lemak,
paru-paru dan mukosa usus. Pneumonia sering terjadi pada kalkun dan ayam.
Peradangan sering meluas ke pleura dengan eksudat fibrinus (pleuropneumonia
fibrinosa) (Gambar 3 dan 4). Organ limpa membengkak.

Gambar 3. Kolera : Pendarahan pada jantung (A) dan Pleuropneumonia fibrinosa(B)

Patologi Unggas – Wiwin Winarsih – Divisi Patologi FKH IPB


27

A B
Gambar 4. Kolera : peradangan dan pendarahan pada ovarium (A) dan usus (B)
Hati membengkak, pendarahan dan nekrosa yang bersifat multi fokal (Hepatitis
nekrotikans milier) (Gambar 5). Pada ayam petelur lesio PA pada traktus reproduksi
berupa folikel telur lembek, perdarahan dan ruptur atau pecah folikel telur sering
terjadi dan kebengkakan pada limpa.

Gambar 5. Kolera : nekrotik (A) dan pendarahan (B) pada hati

Patologi Unggas – Wiwin Winarsih – Divisi Patologi FKH IPB


28

Gambar 6. Kolera kronis : Peradangan pada pial dan sinus (A), eksudat perkejuan pada sinus
kalkun (B) dan ayam (C), peradangan dengan eksudat perkejuan pada telapak
kaki (D)

Pada kolera kronis terjadi edema subkutis dan peradangan di daerah muka, pial,
sinus, persendian dan telapak kaki/cakar. Peradangan dapat terjadi pada telinga
tengah dan menyebabkan tortikolis.
Lesio mikroskopis pada kolera terutama pada kolera akut adalah hiperemi,
kongesti dan trombus pada pembuluh darah dan fibrin. Pada hati terjadi fokal
nekrotik dan infiltrasi sel radang terutama heterofil (Gambar 7). Infiltrasi sel
heterofil juga terjadi pada paru-paru dan organ lain (Gambar 8).

Winarsih, 1996

Patologi Unggas – Wiwin Winarsih – Divisi Patologi FKH IPB


29

Gambar 7. Kolera : A. trombus (t) dan nekrotik hepatosit (n), B. fokal nekrotik pada hati

Winarsih, 1996
Gambar 8. Kolera : fibrin (f) dan infiltrasi sel heterofil pada paru-paru (Winarsih, 1996)

Diferensial diagnosis
Diagnosis penyakit kolera berdasarkan gejala klinis, lesio patologi anatomi
dan histopatologi (mikroskopis). Penyakit kolera menunjukkan lesio yang mirip
dengan salmonellosis, koriza, kolibasilosis dan staphylococcosis, ND.
Pengendalian
Pengobatan akan bermanfaat bila penyakit cepat diketahui. Pengobatan
kolera dapat menggunakan antibiotik atau obat sulfa. Antibiotik yang digunakan
antara lain fluoroquinolones, spektinomisin, tetrasiklin.
Untuk pengendalian dapat diberikan vaksinasi, misalnya vaksin diberikan
pada ayam umur 8—10 minggu dan diulang pada umur 18—20 minggu.
Penyelenggaraan managemen yang baik pada suatu peternakan sangat penting
dalam pengendalian penyakit dengan melaksanakan biosekuriti yang ketat.

2. Infeksi Riemerella anatipestifer


Sinonim

Patologi Unggas – Wiwin Winarsih – Divisi Patologi FKH IPB


30

New duck disease, duck septicemia, anatipestifer syndrome, anatipestifer


septicemia, dan infectious serositis. Pada angsa disebut goose influenza atau
septicemia anserum exsudativa.
Etiologi
Infeksi Riemerella anatipestifer adalah penyakit menular pada itik, angsa,
kalkun dan unggas liar. Penyakit dapat bersifat akut atau kronis dengan lesio
perikarditis fibrinosa, perihepatitis, airsacculitis, salpingitis kaseosa dan
meningitis.
Kausa penyakit ini adalah bakteri R. anatipestifer. Bakteri R. anatipestifer
bersifat Gram negatif, berbentuk batang, non motil dan tidak membentuk spora.
Terdapat 20 serotipe bakteri R. anatipestifer.
Host
Penyakit ini terutama menyerang itik yang berumur 1 sampai 8 minggu.
Pada itik yang berumur dibawah 5 minggu kematian terjadi pada 1-2 hari
setelah gejala klinis muncul. Mortalitas berkisar antara 5 – 80%.

Penularan
Infeksi terjadi melalui saluran pernafasan (perinhalasi) atau melalui luka pada
kulit terutama pada kaki.
Gejala klinis
Masa inkubasi penyakit ini berkisar 2-5 hari, pada kejadian akut bahkan 1-2
hari. Gejala klinis yang muncul adalah lemah, keluar discharge/eksudat dari
mata dan hidung, batuk, diare yang berwarna kehijauan, ataxia, tortikolis dan
tremor (Gambar 9). Hewan yang sembuh biasanya pertumbuhannya tidak baik.

Patologi Unggas – Wiwin Winarsih – Divisi Patologi FKH IPB


31

Gambar 9. Infeksi R. anatipestifer : tortikolis pada itik (A) dan paralisa pada kalkun (B)

Lesio dan diagnosis patologi


Pada itik lesio PA yang terjadi adalah peradangan dengan eksudat fibrinus
pada serosa terutama pada perikardium (perikarditis fibrinosa), hati
(perihepatitis fibrinosa) dan kantung hawa (airsacculitis).

Gambar 10. Infeksi R. anatipestifer : perikarditis dan perihepatitis fibrinosa (A); erosi pada
kartilago persendian (B)
Eksudat mukopurulen pada nasal dan sinus, eksudat perkejuan pada oviduk
serta limpa membengkak. Pada kejadian kronis, lesio PA berupa peradangan
pada kulit dan persendian. Pada kulit terjadi dermatitis nekrotikan.
Pada pemeriksaan mikroskopik pada jantung terjadi peradangan dengan
eksudat fibrinus dan infiltrasi sel radang heterofil dan sel mononukleus. Pada
hati pada infeksi akut ditemukan degenerasi berbutir dan hidropis hepatosit,
infiltrasi sel radang pada daerah portal. Infiltrasi sel radang juga terjadi pada
kantung hawa. Pada paru-paru terjadi proliferasi folikel limfoid diinterstitial dan
pneumonia fibrinopurulen. Lesio pada susunan syaraf pusat akibat infeksi R.

Patologi Unggas – Wiwin Winarsih – Divisi Patologi FKH IPB


32

anatipestifer adalah meningitis fibrinosa dengan infiltrasi sel radang leukosit


dan mikroglia.
Diferensial diagnosis
Infeksi R. anatipestifer menunjukkan lesio yang mirip dengan penyakit kolera,
salmonellosis, kolibasilosis, ND dan chlamydiosis.
Pengendalian
Obat sulfa dapat dipergunakan untuk pengobatan, misalnya sulfamethazine,
sulfaquinoxaline. Antibiotik dapat dipergunakan untuk pengobatan antara lain
lincomycin, spectinomycin, dan enrofloxacin.
Untuk pengendalian perlu diperhatikan biosekuriti terutama sanitasi.
Vaksinasi dapat diberikan misalnya vaksin inaktif diberikan pada umur 2 – 3
minggu. Vaksin live dapat diberikan secara aerosol (spray) pada umur 1 hari.

DAFTAR PUSTAKA

Atlas of Avian Disease , Cornell University, College of veterinary medicine


http://partnersah.vet.cornell.edu 17 Desember 2011

Blanchong, JA., MD. Samuel, DR. Golberg, DJ. Shadduck and MA. Lehr. 2006.
Persistence of Pasteurella multocida in wetlands following avian cholera
outbreaks. J. of wildlife dis. 42 (1) : 33-39

Dhama, K., M. Mahendran and S. Tomar. 2008. Pathogens transmitted by


migratory birds:Threat perceptions to poultry health and production.
International Journal of Poultry Science 7 (6): 516-525.
Dinev, I. 2011. Diseases of poultry.
http://www.thepoultrysite.com/publications/6/diseases-of
poultry/179/salmonelloses 9 Desember 2011

Divisi Patologi FKH IPB. Kasus-kasus diagnostik di Divisi Patologi. Fakultas


Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor

Glisson, J. 2012. Fowl Cholera. Canadian Poultry Mag.


http://www.canadianpoultrymag.com/content/view/2510/38/ 2 Januari
2012

Hablolvarid, M.H., J.G. Moazeni and A.R Jabbari. 2009. Experimintal study of
peracute Fowl Cholera due to Pasteurella multocida vaccinal strain (serotype
A1) in chickens. Archives of Razi Institute 64. ( 1) : 57-60

Patologi Unggas – Wiwin Winarsih – Divisi Patologi FKH IPB


33

OIE Terrestrial Manual 2008. Fowl cholera.


http://www.oie.int/fileadmin/Home/eng/Health_standards/tahm/2.03.09_F
OWL_CHOLERA.pdf 18 Desember 2011

Saif, YM et al. (editors). 2003. Diseases of Poultry, 11 thed. Iowa State University
Press, USA.

Winarsih, W. 1996. Gambaran patologi berbagai rute infeksi Pasteurella multocida


pada itik alabio. Thesis. Institut Pertanian Bogor

Woo, Yong-Ku and Jae-Hak Kim. 2006. Fowl Cholera outbreak in domestic poultry
and epidemiological properties of Pasteurella multocida isolate. The Journal
of Microbiology. 44 (3) : 344-353

BAB IV. MIKOSIS

Mikosis adalah penyakit yang disebabkan oleh fungi. Mikosis pada unggas
sangat banyak jenisnya antara lain aspergillosis, candidiasis (thrush),
dermatophytosis, histoplasmosis dan cryptococcosis. Mikosis yang dibahas pada
mata kuliah ini adalah aspergillosis dan candidiasis. Aspergillosis merupakan mikosis
yang paling sering menyerang unggas dan sangat merugikan peternak. Candidiasis
(thrush) adalah mikossis yang menyerang organ sistem pencernaan.

1. Aspergillosis

Patologi Unggas – Wiwin Winarsih – Divisi Patologi FKH IPB


34

Sinonim
Aspergillosis adalah penyakit yang disebabkan oleh fungi genus Aspergillus,
yang terdiri dari 600 spesies. Kejadian aspergillosis umumnya merupakan
kejadian sekunder yang mengikuti stress, immunosupresif, penggunaan obat
antibakteri yang lama (Khosravi et al, 2008). Manifestasi aspergillosis pada
unggas tergantung pada organ yang terinfeksi. Nama lain penyakit ini adalah
avian aspergillosis, mycotic pneumonia, pneumonomycosis, brooderpneumonia,
asper mycosis, pseudotuberculosis dan bronchomycosis.
Etiologi
Aspergillosis disebabkan oleh Aspergillus terutama A. fumigatus. Penyebab
aspergillosis lainnya adalah A. flavus A. terreus, A. glaucus,A. nidulans, A. niger,
A. amstelodami, dan A. nigrescens. A. fumigatus dan A. flavus. Aspergillus
diklasifikasikan termasuk dalam divisi Deuteromycota, kelas Deuteromycetes,
ordo Moniliales, famili Moniliaceae, dan genus Aspergillus. Fungi genus
Aspergillus dapat ditemukan di tanah, pakan, dan bahan pakan (jagung dll).
Spora Aspergillus terdapat pada debu dan litter kandang. Genus Aspergillus
menghasilkan toksin (mikotoksin) misalnya aflatoksin yang dihasilkan terutama
oleh A. flavus dan A. fumigatus. Mikotoksin yang dihasilkan oleh A. fumigatus,
selain aflatoksin juga menghasilkan toksin lain yaitu gliotoksin. Gliotoksin
merupakan toksin yang dapat menimbulkan kondisi immunosupresif. Toksin
tersebut merupakan sitotoksik dan dapat menghambat blastogenesis limfosit
pada kalkun. Gliotoksin juga menyebabkan apoptosis dan nekrotik sel. A.
fumigatus juga menghasilkan beberapa enzim proteolitik yang dapat merusak
jaringan pada inang seperti elastinolitik dan kolagenolitik yang turut berperan
dalam patogenesis kejadian pulmonary aspergillosis.
Host
Aspergillus dapat menginfeksi berbagai jenis hewan baik hewan domestik
maupun liar. Ayam, kalkun, itik, puyuh, angsa merupakan unggas domestik
sering dilaporkan terserang aspergillosis. Unggas lainnya antara lain burung
unta, kanari, merpati, parrot dan penguin. Aspergillosis dapat terjadi tidak
hanya pada unggas, tetapi juga pada hewan lainnya seperti sapi, hewan

Patologi Unggas – Wiwin Winarsih – Divisi Patologi FKH IPB


35

mamalia lainnya serta manusia. Kondisi immunosupresif merupakan faktor


predisposisi utama kejadian aspergillosis.
Penularan
Penularan terjadi secara horizontal. Penularan aspergillosis terjadi secara
perinhalasi yaitu konidia (spora) terhirup. Ukuran diameter konidia 2—3 μm,
dapat melalui saluran pernafasan bagian atas dan dapat menginfeksi organ
pernafasan bagian bawah terutama paru-paru. Litter yang terkontaminasi
merupakan sumber penularan. Sanitasi kandang yang buruk, stress, malnutrisi,
immunosupresif, penyakit lain, penggunaan kortikosteroid dan pemakaian
antibiotik yang ekstensif merupakan faktor presdisposisi kejadian aspergillosis.
Penularan melalui telur pernah dilaporkan.
Gejala klinis
Masa inkubasi penyakit ini bervariasi. Aspergillosis dapat bersifat akut atau
kronis. Aspergillosis akut biasanya menyerang anak ayam dengan angka
morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Pada ayam dewasa kejadian aspergillosis
lebih sering kronis.
Gejala klinis aspergillosis tidak spesifik tergantung pada organ yang
terinfeksi. Gejala klinis aspergillosis yaitu dispnea, anoreksia, polidipsi, poliuria,
sianosis, kurus, pertumbuhan terhambat dan penurunan produksi telur.
Kebengkakan dan keluar eksudat dari mata pada kejadian ophtalmitis
aspergillosis. Tortikolis dan inkoordinasi apabila aspergillus menginfeksi otak.

Gambar 1. Aspergillosis : sesak nafas

Patologi Unggas – Wiwin Winarsih – Divisi Patologi FKH IPB


36

Lesio dan diagnosis patologi


Kejadian aspergillosis dimulai dengan terinhalasi konidia oleh inang yang
rentan. Target organ pada aspergillosis adalah paru-paru dan kantung hawa.
Akan tetapi pada infeksi sistemik, aspergillus dapat menginfeksi organ lain
separti hati, ginjal, mata, kulit, otak dan tulang. Aspergillosis dapat
menimbulkan kejadian penyakit yaitu pulmonary aspergillosis, aspergillosis
sistemik, dermatitis, ophtalmitis, osteomikosis dan encephalitis. Pada anak
ayam sering terinfeksi aspergillus pada masa brooder dengan lesio utama pada
paru-paru, sehingga disebut brooder pneumonia.
Lesio pada aspergillosis dapat berupa sarang-sarang radang granuloma pada
organ sistem respirasi terutama paru-paru dan kantung hawa. Pada paru-paru
terdapat sarang radang berwarna putih krem dengan ukuran bervariasi (Gambar
2). Kantung hawa menebal dan terdapat sarang radang, kadang disertai dengan
eksudat perkejuan (Gambar 3).
Sarang radang juga dapat ditemukan pada organ lain seperti usus,
mesenterium, otak serta organ lainnya (infeksi sistemik). Sarang radang berupa
nodul-nodul berwarna putih krem atau kelabu (Gambar 4). Pada mata terdapat
peradangan pada konjunktiva dan eksudat perkejuan (Gambar 4). Pada kulit
infeksi aspergillus menyebabkan dermatitis. Kulit menebal, nekrotik dan terjadi
bulu rontok. Pada otak terdapat sarang radang abses (Gambar 5)

Gambar 2. Aspergillosis : pulmonary aspergilosis

Patologi Unggas – Wiwin Winarsih – Divisi Patologi FKH IPB


37

A B
Gambar 3. Aspergillosis : radang granuloma pada kantung hawa (A) dan serosa (B)

Patoipb

Gambar 4. Aspergillosis : ophtalmitis (A), dermatitis (B)

Gambar 5. Aspergillosis : encephalitis

Patologi Unggas – Wiwin Winarsih – Divisi Patologi FKH IPB


38

A Patoipb B Patoipb
U97/07 U97/07

Gambar 6. Aspergillosis : bronchopneumonia (A), trombotic vasculitis (B) – hifa


dalam pembuluh darah

Secara mikroskopik pada paru-paru terjadi bronkhopneumonia. Pada sarang


radang granuloma ditemukan infiltrasi sel radang makrofag, neutrofil, limfosit, sel
raksasa tipe benda asing, sel nekrotik, hiphae jamur dan fibrosis (Gambar 6,7,8).
Pewarnaan khusus untuk jamur yaitu Periodical Acid Shiff (PAS), Grocott’s,
methenamine silver nitrate dan gridley dapat dilakukan untuk memperjelas agen
penyakit ini.

A Patoipb B
U97/07

Gambar 7. Aspergillosis-bronchopneumonia U97/07 : A. jaringan nekrotik (*) dikelilingi


sel radang makrofag, limfosit, heterofil; B. sel raksasa (→), hifa (∆)

Patologi Unggas – Wiwin Winarsih – Divisi Patologi FKH IPB


39

Patoipb U97/07 Patoipb U97/07

Gambar 8. Aspergillosis : dermatitis granulomatous (A), hifa dan konidiospora (B), PAS

Diferensial diagnosis
Pada pulmonary aspergillosis menunjukkan lesio PA terutama pneumonia
dan airsacculitis dengan eksudat fibrinus atau perkejuan. Lesio tersebut mirip
dengan mycoplasmosis, colibacillosis, kolera unggas dan chlamydiosis.
Mycobacteriosis dan mycoses lainnya juga merupakan diferensial diagnosis
aspergillosis, karena menunjukkan lesio berupa peradangan granuloma.

Pengendalian
Pengobatan aspergillosis dapat mempergunakan obat antifungi seperti
nystatin, amphotericin B, crystal violet, brilliant green dan hamycin. Hamycin
diberikan dalam air minum. Dimethyldithiocarbamate dapat diberikan secara
sub kutan pada ayam berumur 5 – 10 tahun. Pemberian kupri sulfat dalam air
minum dengan perbandingan 1 : 2000 dapat mengurangi penyebaran penyakit.
Secara umum pengobatan aspergillosis kurang efektif, pencegahan lebih
efektif daripada pengobatan. Manejemen yang baik terutama dengan
menerapkan biosekuriti yang ketat dapat mencegah penyebaran penyakit.
Sanitasi kandang terutama litter, peralatan kandang dan mesin tetas harus baik.
Karena penularan Sanitasi, kelembaban dan ventilasi dalam gudang
penyimpanan pakan harus baik untuk mencegah pertumbuhan jamur.

Patologi Unggas – Wiwin Winarsih – Divisi Patologi FKH IPB


40

Mengurangi debu dalam kandang, litter yang kering dan ventilasi yang baik
dapat mengurangi kejadian mikosis.

2. Thrush (Candidiasis)
Thrush adalah infeksi candida pada traktus digesti. Candidiasis adalah
penyakit mikosis yang disebabkan oleh khamir genus candida, terutama C.
albicans. Stomatitis oidica, muguet, soor, moniliasis, oidiomycosis, dan sour crop
adalah nama lain dari infeksi mikotik pada traktus digesti. Kejadian penyakit
biasanya berhubungan dengan kondisi immunosupresif pada inang/host.
Penggunaan obat antimikroba yang kurang tepat atau lama merupakan faktor
pendukung kejadian penyakit.
Etiologi
Candida albicans merupakan agen penyebab thrush yang utama. Spesies
candida lainnya juga dapat diisolasi dari unggas. Sekitar 95% terisolasi Candida
albicans sisanya adalah C. ravautii, C. salmonicola, C. guilliermondi, C.
parapsilosis, C. catenulata, atau C. brumptii. Pada kalkun selain C. albicans, juga
dapat diisolasi C. rugosa, C. famata, C.tropicalis, and C. guilliermondii with C.
rugosa dari tembolok pada kejadian wabah thrush. Candida merupakan
organisme komensal dan merupakan bagian dari mikroflora dalam traktus
digesti unggas, hewan lain maupun manusia.

Host
Thrush dapat menyerang berbagai jenis unggas, hewan lain dan manusia.
Jenis unggas yang pernah dilaporkan terserang thrush antara lain ayam, kalkun,
angsa, merpati, burung puyuh, merak, parrot, parkit.
Penularan
Candida merupakan mikroflora normal dalam saluran digesti unggas, hewan
lain dan manusia. Penularan terjadi secara horizontal. Penularan dapat terjadi
melalui pakan dan air minum yang terkontaminasi. Litter, peralatan kandang
yang terkontaminasi juga merupakan sumber penularan.
Gejala klinis

Patologi Unggas – Wiwin Winarsih – Divisi Patologi FKH IPB


41

Gejala klinis yang muncul adalah kurus, pertumbuhan terhambat, lemah dan
bulu kasar serta penurunan produksi. Candidiasis sering merupakan infeksi
sekunder yang mengikuti penyakit lainnya, sehingga gejala klinis merupakan
gejala klinis dari penyakit/infeksi primer pada unggas tersebut. Unggas muda
lebih rentan terhadap candidiasis.
Lesio dan diagnosis patologi
Lesio yang diakibatkan thrush terutama terjadi pada tembolok. Pada tembolok
terjadi peradangan (ingluvitis). Mukosa tembolok menebal berwarna putih atau
disebut Turkish bath towel.

Gambar 1. Candidiasis : Penebalan mukosa dan sarang radang putih kekuningan dan
membentuk pseudomembran pada tembolok

A B
Gambar 2. Candidiasis : Sarang radang pada esophagus (A), nekrotik pada proventrikulus (B)
Lesio juga terjadi pada mulut dan esophagus berupa erosi mukosa dan
jaringan nekrotik yang membentuk pseudomembran. Proventrikulus menebal,

Patologi Unggas – Wiwin Winarsih – Divisi Patologi FKH IPB


42

hemorhagi dan nekrotik. Erosi pada gizzard dan enteritis. Pada infeksi sistemik
candidiasis terjadi kongesti pada hati, ginjal dan limpa.

Patoipb U225/06

Gambar 3. U225/06 Tembolok : pseudohifa candida – PAS

Secara mikroskopik pada mukosa tembolok, esophagus terjadi nekrotik dan


deskuamasi epitel, infiltrasi sel radang (makrofag, limfosit, sel plasma dan
heterofil), pseudohifa candida dan edema sub mukosa. Pewarnaan Periodic
acid Schiff (PAS) dan Gomori’s methenamine silver dapat memperjelas
keberadaan agen penyebab.
Diferensial diagnosis
Lesio candidiasis mirip dengan lesio pada defisiensi vitamin A. Lesio PA yang
mirip terutama lesio pada rongga mulut dan esophagus.
Pengendalian
Oleh karena mikosis pada traktus digesti selalu berhubungan dengan sanitasi
dan hygiene yang buruk, serta kondisi kandang yang terlalu padat
(overcrowded), maka dalam pengendalian manajemen sangat penting
diperhatikan. Biosekuriti yang ketat terutama sanitasi yang baik dapat
mencegah kejadian penyakit. Thrush (candidiasis) sering merupakan infeksi
sekunder atau mengikuti kondisi imunosupresif dan stress pada host. Maka
harus dihindarkan kondisi stress pada ayam misalnya kandang terlalu padat.
CuSO4 dapat dipergunakan untuk pengobatan dengan mencampur dengan air
minum. Juga penggunaan antibiotik dihentikan. Nystatin dapat diberikan
dengan mencampur dengan air minum.

DAFTAR PUSTAKA

Atlas of Avian Disease , Cornell University, College of veterinary medicine,


http://partnersah.vet.cornell.edu

Patologi Unggas – Wiwin Winarsih – Divisi Patologi FKH IPB


43

Cacciuttolo, E., G. Rossi, S. Nardoni, R. Legrottaglie and P. Mani. 2009.


Anatomopathological aspects of avian aspergillosis Vet Res Commun. 33 :
521–527

Churria, C. D. G., F. J. Reynaldi, J. A. Origlia, H. A. Marcantoni, M. V. Píscopo, M. A. H.


Loyola, E. H. Reinoso, and M. A. Petruccelli. 2012. Pulmonary Aspergillosis
due to Aspergillus flavus Infection in a Captive Eclectus Parrot (Eclectus
roratus). Braz J Vet Pathol, 5 (1), 4 - 6

Divisi Patologi FKH IPB. Kasus-kasus diagnostik di Divisi Patologi. Fakultas


Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor

Friend, M. 1999. Fungal diseases. In Field manual of wildlife diseases : Birds.


University of Nebraska.
http://www.nwhc.usgs.gov/publications/field_manual/chapter_13.pdf
27 Januari 2012
Kamei, K. and A. Watanabe. 2005. Aspergillus mycotoxins and their effect on the
host. Medical Mycology Supplement 1, 43, S95-S99

Naglik, J., A. Albrecht, O. Bader and B. Hube. 2004. Candida albicans proteinases
and host/pathogen interactions. Cellular Microbiology 6 (10) : 915–926

Bedard, LL. and TE. Massey. 2006. Aflatoxin B1-induced DNA damage and its repair.
Cancer Letters 241 : 174–183

Khosravi, A. R., H. Shokri, T. Ziglari, A. R. Naeini, Z. Mousavi and H. Hashemi. 2008.


Outbreak of severe disseminated aspergillosis in a flock of ostrich (Struthio
camelus). Mycoses 51, 557–559

Hohl, T M. and M. Feldmesser. 2007. Aspergillus fumigates : Principles of


pathogenesis and host defense. Eukaryotic Cell doi:10.1128/EC.00274-07.
Ec.asm.org. 29 Desember 2008

Saif, YM et al. (editors). 2003. Diseases of Poultry, 11 thed. Iowa State University
Press, USA.
Velasco, M.C. 2000. Candidiasis and Cryptococcosis in Birds. W. B. Saunders
Company.

Patologi Unggas – Wiwin Winarsih – Divisi Patologi FKH IPB


44

BAB V. MIKOTOKSIKOSIS

Mikotoksikosis adalah penyakit yang disebabkan oleh metabolit toksin yang


dihasilkan oleh jamur (mikotoksin). Beberapa jenis jamur dapat menghasilkan
mikotoksin misalnya Aspergillus spp. , Fusarium spp., dan Penicillium spp. Terdapat
ratusan jenis mikotoksin yang telah diidentifikasi antara lain aflatoksin,
trichothecenes, fumonisin, zearalenone, ochratoxin dan citrinin.

Patologi Unggas – Wiwin Winarsih – Divisi Patologi FKH IPB


45

Gambar 1. Faktor yang mempengaruhi kejadian dan keparahan mikotoksikosis

Setiap mikotoksin mempunyai toksisitas dan target organ yang bervariasi.


Contohnya aflatoksin, ochratoxin dan trichothecenes dapat menyebabkan
immunosupresif pada host. Target organ aflatoksin adalah hati, sedangkan target
organ ochratoxin adalah ginjal. Keparahan kejadian mikotoksikosis tergantung pada
jenis mikotoksin; durasi dan dosis; umur; nutrisi dan status kesehatan; sinergis efek
dengan toksin lain; serta target organ yang utama seperti hati, ginjal, otak, endokrin
atau sistem imun (Gambar 1).

1. Aflatoksikosis
Etiologi
Aflatoksin adalah mikotoksin yang sangat toksik, karsinogenik dan
imunosupresif. Aflatoksin dihasilkan oleh by Aspergillus flavus, A. parasiticus,
and Penicillium puberulum. Jamur biasanya tumbuh pada pakan atau bahan
pakan seperti jagung. Aflatoksin mempunyai 2 cincin dihidrofuran. Jenis
aflatoksin adalah B1, B2, G1 dan G2. B1 merupakan jenis yang paling poten dan
bersifat hepatotoksik. Pembentukan aflatoksin dipengaruhi berbagai faktor
yang mempengaruhi pertumbuhan jamur seperti temperatur dan kelembaban
yang tinggi. Aflatoksin dapat menyebabkan neoplasma pada hati, kantung
empedu, pankreas, vesika urinaria dan tulang.
Host
Kejadian aflatoksikosis dilaporkan pada ayam, itik, kalkun, puyuh, hewan lainnya
dan manusia. Aflatoksikosis dapat bersifat akut atau kronis. Kerentanan
terhadap aflatoksin bervariasi tergantung pada spesies, breed dan umur. Itik
dan kalkun lebih peka terhadap aflatoksin dibandingkan ayam dan puyuh.

Tabel 1. Kadar aflatoksin pada pakan yang dapat ditoleransi


Jenis unggas Kadar toleran (ppb)
Cross-bred broilers 400

Patologi Unggas – Wiwin Winarsih – Divisi Patologi FKH IPB


46

Pure bred broiler chicks 200


White leghorn chicks 150
Puyuh 300
Puyuh layer 300
Guinea fowl keets 1500
Layers 600
Sumber : Hossain et al., 2011

Penularan
Aflatoksin terdapat di kandang dan lingkungan dimana jamur tumbuh, misalnya
litter. Aflatoksin juga terdapat pada pakan maupun bahan pakan. Penularan
terjadi secara peroral.
Gejala klinis
Gejala klinis aflatoksikosis adalah lemah, anoreksia, gangguan pertumbuhan,
penurunan produksi telur, warna kaki pucat, ataxia dan paralisa (Gambar 1).
Bulu kasar dan warna kulit pada kaki pucat. Mortalitas meningkat apabila hewan
mengalami malnutrisi misal defisiensi vitamin atau mineral.

Gambar 1. Aflatoksikosis : gangguan pertumbuhan (kanan) dibandingkan ayam normal (kiri)

Kondisi stress juga meningkatkan mortalitas seperti heat stress.


Aflatoksikosis menyebabkan kondisi imunosupresif, sehingga hewan lebih peka
terhadap penyakit dan kegagalan vaksinasi. Pada ayam imunosupresif terjadi
karena atrofi bursa Fabricius, timus dan limpa, penurunan fungsi sel RES dan
aktivitas komplemen. Pada itik aflatoksin menyebabkan abnormalitas limfosit,

Patologi Unggas – Wiwin Winarsih – Divisi Patologi FKH IPB


47

deplesi pada timus dan limpa. Penurunan respon sistem pertahanan seluller
pada ayam dan kalkun.

Lesio dan diagnosis patologi

Keparahan aflatoksikosis tergantung pada spesies, umur, jenis kelamin, dan


status imunitas inang serta lingkungan kandang. Aflatoksikosis menimbulkan
lesio PA yaitu hati berwarna pucat dan bengkak, ginjal membesar dan berwarna
pucat. Pada kasus kronis terjadi sirosis hati, ascites dan hidroperikardium. Hati
dipalpasi mengeras, distensi kantung empedu dan enteritis kataralis.

Gambar 2. Aflatoksikosis : hati bengkak, pucat dan rapuh

Pada ayam lesio mikroskopis pada hati adalah degenerasi lemak,


karyomegali hepatosit, proliferasi duktus empedu dan fibrosis. Degenerasi sel
tubulus pada ginjal. Pada bursa Fabricius dapat menyebabkan deplesi folikel
limfoid (Gambar 5), sehingga lebih peka terhadap penyakit.

Patologi Unggas – Wiwin Winarsih – Divisi Patologi FKH IPB


48

Gambar 3. Aflatoksikosis : degenerasi hidropik hepatosit (A), fibrosis periportal (B)

Pada kalkun terjadi degenerasi sel hepatosit yaitu sel hati membesar
terdapat vakuola pada sitoplasma. Fokal nekrosis terutama di bagian
centrolobular hati, fibrosis dan proliferasi duktus empedu. Lesio degenerasi
juga terjadi pada jantung dan ginjal.
Pada itik aflatoksikosis menyebabkan degenerasi lemak dan nekrotik,
hemoragi, proliferasi hepatosit duktus empedu dan fibrosis. Pada ginjal terjadi
degenerasi, interstitial fibrosis dan nekrotik sel tubulus.

Patoipb U6/07 Patoipb U6/07

Gambar 4. Aflatoksikosis : proliferasi duktus empedu pada hati

Patologi Unggas – Wiwin Winarsih – Divisi Patologi FKH IPB


49

Gambar 5. Aflatoksikosis : deplesi folikel limfoid pada ayam yang diberi aflatoksin (A),
folikel limfoid normal pada bursa Fabribius (B)

Aflatoksikosis sering sulit didiagnosis karena variasi gejala klinis, patologi


anatomi dan adanya penyakit lain yang menyertai akibat kondisi imunosupresif.
Prognosis aflatoksikosis tergantung pada lesio terutama lesio pada hati.
Pengendalian
Kondisi imunosupresif akibat aflatoksin sering menyebabkan unggas
terserang infeksi sekunder misalnya kolibasilosis. Oleh karena itu perlu
dilakukan pencegahan aflatoksikosis dan memberikan pengobatan untuk
mengobati penyakit yang diakibatkan infeksi sekunder pada unggas.
Pelaksanaan manajemen yang baik di peternakan merupakan tindakan
pencegahan aflatoksikosis, terutama mencegah kondisi stress.
Pencegahan dilakukan dengan mencegah pertumbuhan jamur. Oleh karena
pertumbuhan jamur dipengaruhi oleh suhu, kelembaban dan kadar air
terutama pada pakan atau bahan pakan, maka penanganan pasca panen sangat
penting. Jamur tumbuh pada jagung dengan kadar air diatas 14% dan
kelembaban 70-75%. Oleh karena itu jagung untuk bahan pakan harus segera
dikeringkan setelah panen dan kadar air kurang dari 14% dapat mencegah
pertumbuhan Aspergillus dan pembentukan toksin. Menjaga sanitasi dan
ventilasi gudang penyimpanan pakan. Asam organik seperti asam propionate
dan asam benzoate, juga kupri sulfat dapat mencegah pertumbuhan jamur pada
pakan. Zeolit, bentonite dan hydrated sodium calcium aluminosilicate (HSCAS)
dapat mengikat aflatoksin (toxin binders). Pembuatan pakan dalam bentuk
pellet dapat mengurangi pertumbuhan jamur.

Patologi Unggas – Wiwin Winarsih – Divisi Patologi FKH IPB


50

2. Ochratoxicosis

Etiologi
Kausa ochratoxicosis adalah ochratoxin. Ochratoxin merupakan mikotoksin
yang dihasilkan oleh beberapa jenis jamur yaitu Aspergillus dan Penicillium.
Contohnya Aspergillus ochraceus, A. alliaceus, A. auricomus, A. carbonarius, A.
glaucus, A. melleus, A.niger, Penicillium verrucosum dan P. viridicatum.
Ochratoxin bersifat nephrotoksik. Jenis ochratoxin adalah A, B, C dan D,
ochratoxin A (OTA) merupakan jenis yang paling toksik. Produksi ochratoxin oleh
jamur dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti suhu, kelembaban dan kadar air
pada pakan atau bahan pakan. P. viridicatum tumbuh dan menghasilkan
mikotoksin apabila kadar air pada gandum atau jagung 18,5 – 40,4 %. Target
organ ochratoxin adalah ginjal (nephrotoksik). Ochratoxin bersifat karsinogenik
dan imunosupresif.
Host
Ochratoxicosis dapat menyerang berbagai jenis unggas, hewan mamalia dan
manusia. Unggas yang dilaporkan terserang ochratoxicosis antara lain ayam,
itik, angsa, kalkun dan puyuh. Kepekaan host bervariasi (table 1). Kadar
ochratoxin 2 – 8 ppm dalam pakan menyebabkan kerusakan usus pada ayam.
Kadar 0,2 ppm dalam pakan menyebabkan nephrophaty pada babi, kadar 1,0 –
2,7 ppm toxik pada babi.
Tabel 1. Nilai LD50 ochratoxin pada beberapa hewan
Species Ochratoxin A Oral LD50 (mg/kg bb)
Ayam 2-4
Kalkun 6
Puyuh 16,5
Tikus 22 - 30
Mencit 22 - 58

Penularan
Jamur penghasil ochratoxin (Aspergillus dan Penicillium) tumbuh pada pakan
atau bahan pakan serta lingkungan seperti jagung dan kacang atau litter. Suhu
mempengaruhi pertumbuhan jamur, misalnya P. ochraceus memproduksi OTA

Patologi Unggas – Wiwin Winarsih – Divisi Patologi FKH IPB


51

pada temperatur lingkungan yang panas, sedangkan P. verrucosum


memproduksi OTA pada suhu rendah. Penularan terjadi secara peroral melalui
pakan yang terkontaminasi.
Gejala klinis
Ochratoxicosis menimbulkan penyakit yang akut, sub akut dan kronis.
Gejala klinis yang ditimbulkan bervariasi antara lain anoreksia, kurus,
pertumbuhan terhambat, FCR tinggi, produksi telur turun, penurunan daya tetas
telur diare dan kematian. Pada kasus kronis menyebabkan sirosis hati dan
ascites.

A B
Gambar 1. Ochratoxicosis : sesak nafas (A); pertumbuhan terganggu (B)

Ochratoxin mempunyai efek sinergis dengan mikotoksin lain, misalnya


aflatoksin dan citrinin. Ochratoxin menghambat sintesis protein karena
berkompetisi dengan phenylalanine, sehingga mempengaruhi aktivitas
beberapa enzim seperti phenylalanine hydroxylase dan phosphoenolpyruvate
carboxykinase. Selain menghambat sintesis protein, ochratoxin juga
menghambat sintesis RNA.
Lesio dan diagnosis patologi
Ochratoxin mempunyai target organ utama yaitu ginjal, sehingga
menimbulkan lesio patologi anatomi pada ginjal (Gambar 2 dan 3). Pada ginjal
lesio yang terbentuk yaitu bengkak, berwarna pucat dan nephrosis. Pada ayam
ochratoxin menyebabkan degenerasi dan nekrose sel tubulus proksimal dan

Patologi Unggas – Wiwin Winarsih – Divisi Patologi FKH IPB


52

distal serta fibrosis pada intersitium. Pada kalkun menyebabkan nephrosis dan
secara mikroskopik ditemukan edema dan nekrose sel tubulus.

A B
Gambar 2. Ochratoxicosis : sirosis hati (A), ginjal bengkak dan pucat (B)

Pada kejadian akut pada ayam ochratoxicosis menyebabkan kebengkakan


dan pucat pada hati, pankreas dan ginjal; akumulasi urat pada ureter dan pada
berbagai organ (visceral gout). Perubahan mikroskopik yang terjadi adalah
nephrosis yang ditandai dengan adanya fokal nekrotik sel tubulus, endapan
protein dan asam urat. Pada hati terjadi degenerasi hepatosit, fokal nekrotik
dan fibrosis. Deplesi terjadi di limpa dan bursa Fabricius.

Gambar 3. Ochratoxicosis : A. hidroperikardium (→) dan sirosis (A); B. ascites dan fibrin (*)

Patologi Unggas – Wiwin Winarsih – Divisi Patologi FKH IPB


53

Gambar 4. Ochratoxicosis : kongesti vena sentralis, degenerasi hepatosit, inti piknotik (p)
dan shrunken (s)

Gambar 5. Ochratoxicosis : endapan protein pada lumen tubulus, infiltrasi sel mononukleus
pada intersitium ginjal
Pada kasus sub akut OTA pada ayam, itik dan kalkun menyebabkan
kebengkakan pada hati dan ginjal, sedangkan organ-organ limfoid mengecil
serta enteritis katarhalis. Lesio mikroskopik yang ditemukan adalah degenerasi
hepatosit dan deplesi pada organ pertahanan. Infiltrasi sel radang pada lamina
propia usus dan nephrosis. Pada kasus kronis terjadi nephrosis pada ginjal dan
osteoporosis.
Ochratoxin menyebabkan immunosupresif pada inang, sehingga menjadi
lebih peka terhadap infeksi panyakit unggas lainnya. Imunosupresif akibat
ochratoxin terjadi karena ochratoxin menghambat sistem imun (humoral, innate

Patologi Unggas – Wiwin Winarsih – Divisi Patologi FKH IPB


54

dan seluler), deplesi pada organ limfoid, menurunkan konsentrasi


immunoglobulin, dan menurunkan aktifitas fagositosis.
Pengendalian
Pencegahan ochratoxicosis dilakukan dengan mencegah pertumbuhan jamur
pada pakan, bahan pakan maupun lingkungan peternakan. Menerapkan
manajemen yang baik seperti biosekuriti yang ketat, pakan yang baik
merupakan tindakan pencegahan. Penanganan pasca panen produk pertanian
untuk bahan pakan sangat penting terutama kadar air dan penyimpanannya.
Sanitasi dan ventilasi gudang pakan harus baik.

DAFTAR PUSTAKA

Atlas of Avian Disease , Cornell University, College of veterinary medicine,


http://partnersah.vet.cornell.edu

Benkerroum, S. and A. Tantaoui-elaraki. 2001. Study of toxigenic moulds and


mycotoxins in poultry feeds. Revue Méd. Vét. 152 (4) :335-342

Bennett1, J. W. and M. Klich. 2003. Mycotoxins. Clinical Microbiology reviews 16


(3) : 497–516

Bondy, G.S. and J. J. Pestka. 2000. Immunomodulation by fungal toxins. Journal of


Toxicology and Environmental Health Part B. 3 : 109 - 143

Bozzo, G., E. Ceci, E. Bonerba, S. Desantis and G. Tantillo. 2008. Ochratoxin A in


Laying Hens : High-Performance Liquid Chromatography Detection and
Cytological and Histological Analysis of Target Tissues. J. Appl. Poult. Res. 17
(1) : 151-156

Carmen, S., I. Coman, Gh. Solcan, L. Miron and O.Z. Oprean. 2008. Histological and
ultrastructural lesions of the kidney in experimental ochratoxicosis of broiler
chickens. Bulletin UASVM, Veterinary Medicine 65(1)

Dhanasekaran, D., A. Panneerselvam, N. Thajuddin. 2009. Evaluation of aflatoxicosis


in hens fed with commercial poultry feed. Turk. J. Vet. Anim. Sci. 33(5) : 385-
391

Divisi Patologi FKH IPB. Kasus-kasus diagnostik di Divisi Patologi. Fakultas


Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor

Elaroussi, M.A., F.R. Mohamed, M.S. Elgendy, E.M. El Barkouky, A.M. Abdou and M.
H. Hatab. 2008. Ochratoxicosis in Broiler Chickens: Functional and

Patologi Unggas – Wiwin Winarsih – Divisi Patologi FKH IPB


55

Histological Changes in Target Organs. International Journal of Poultry


Science 7 (5) : 414-422

Ezekiel C.N., A.C. Odebode, S.O. Fapohunda, G.O. Tayo, O.J. Olawuyi, O.B. Olaoye,
A.O. Olarinmoye and O.O. Adeyemi. 2011. Toxigenic Potential of Co-
occurring Aflatoxin and Ochratoxin A Detected in Poultry feed on Clarias
gariepinus Larvae. Nature and Science : 9(5).
http://www.sciencepub.net/nature

Food and Agriculture Organization of The United Nations. 2004. Assessing quality
and safety of animal feeds. FAO, Animal Production and Health. 159p.

Hohl, T. M. and M. Feldmesser. 2007. Aspergillus fumigatus: Principles of


pathogenesis and host defense. Eukaryotic Cell :10.1128/EC.00274-07

Hossain, SA., N. Haque, M. Kumar, UB. Sontakke and AK. Tyagi. 2011. Mycotoxin
residues in poultry product : Their effect on human health and control.
Wayamba J. Anim. Sci. 1303453009 : 92 – 96

Iheshiulor, O.O.M., B.O. Esonu, O.K. Chuwuka, A.A. Omede, I.C. Okoli and I.P.
Ogbuewu. 2011. Effect of mycotoxins in animal nutrition : A review. Asian J.
of Anim. Sci. 5 (1) : 19 – 33.

Janaczyk, B., A. Pliszczak-Król, S.Graczyk, M.Houszka and K. Rouibah. 2006.


Morphological and Functional Evaluation of Chicken Blood Leukocytes in
Chronic Ochratoxicosis. International Journal of Poultry Science 5 (2) : 191-
194

Kamei, K. and A. Watanabe. 2005. Aspergillus mycotoxins and their effect on the
host. Med. Mycology. Supplement 1 (43) : S95-S99

Manegar G. A., B.E. Shambulingappa and K.J. Ananda. 2010. Studies on Tolerance
Limit of Aflatoxin in Commercial Broilers. Libyan Agric. Res. Cen. J. Intl., 1 (3):
177-181

Masilamani, S.M. and G. V. S.Rao. 2010. Effect of Ochratoxin A on Body Weight,


Feed Intake and Feed Conversion in Broiler Chicken. Vet Med Int. 2010:
590432.

Muñoz, R., M.E. Arena, J. Silva, and S.N. González. 2010). Inhibition of mycotoxin-
producing Aspergillus nomius VSC 23 by lactic acid bacteria and
Saccharomyces cerevisiae. Brazilian Journal of Microbiology 41: 1019-1026

Ortatatli, M., H. Oguz, F. Hatipoglu and M. Karaman. 2005. Evaluation of


pathological changes in broilers during chronic aflatoxin (50 and 100 ppb)
and clinoptilolite exposure Research in Veterinary Science 78 : 61–68

Patologi Unggas – Wiwin Winarsih – Divisi Patologi FKH IPB


56

Saif, YM et al. (editors). 2003. Diseases of Poultry, 11 thed. Iowa State University
Press, USA.

Sakthivelan, M. and G. V. Sudhakar Rao. 2010 S. Effect of Ochratoxin A on Body


Weight, Feed Intake and Feed Conversion in Broiler Chicken. Vet Med Int.:
590432.

Shareef, A. M. 2010. Molds and mycotoxins in poultry feeds from farms of potential
mycotoxicosis. Iraqi Journal of Veterinary Sciences, 24 (1) : 17-25

Stanley, V. G., M. Winsman, C. Dunkley, T. Ogunleye, M. Daley, W. F. Krueger, A. E.


Sefton, and A. Hinton, Jr. 2004. The Impact of yeast culture residue on the
suppression of dietary aflatoxin on the performance of broiler breeder hens.
J. Appl. Poult. Res. 13:533–539

Tejada-Castañeda, Z.I., E. Ávila-Gonzalez, M. T. Casaubon-Huguenin, R. A.


Cervantes-Olivares, C. Vásquez-Peláez, E. M. Hernández-Baumgarten and E.
Moreno-Martínez. 2008. Biodetoxification of Aflatoxin-Contaminated Chick
Feed. Poult. Sci. 87 (8) : 1569-1576

Tessari, E. N. C., E. Kobashigawa, A. L. S. P. Cardoso, D. R. Ledoux, G. E. Rottinghaus


and C. A. F. Oliveira. 2010. Effects of Aflatoxin B1 and Fumonisin B1 on Blood
Biochemical Parameters in Broilers. Toxins 2 : 453-460

Wang G. H., C. Y. Xue, F. Chen, Y. L. Ma, X. B. Zhang, Y. Z. Bi and Y. C. Cao. 2009


Effects of combinations of ochratoxin A and T-2 toxin on immune function of
yellow-feathered broiler chickens. Poult. Sci. 88 (3): 504-510

Xue C.Y., G.H. Wang, F. Chen, X.B. Zhang, Y.Z. Bi, and Y.C. Cao. 2010.
Immunopathological effects of ochratoxin A and T-2 toxin combination on
broilers. Poultry Science 89 :1162–1166

Yunus, A.W., E. Razzazi-Fazeli, and J. Bohm. 2011. Aflatoxin B 1 in Affecting Broiler’s


Performance, Immunity, and Gastrointestinal Tract: A Review of History and
Contemporary Issues. Toxins, 3(6): 566–590.

Patologi Unggas – Wiwin Winarsih – Divisi Patologi FKH IPB


57

PATOLOGI UNGGAS

Patologi Unggas – Wiwin Winarsih – Divisi Patologi FKH IPB


58

OLEH

Dr Drh WIWIN WINARSIH, MSi, APVet

DIVISI PATOLOGI
DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2019

Patologi Unggas – Wiwin Winarsih – Divisi Patologi FKH IPB

Anda mungkin juga menyukai