BAB I. SALMONELLOSIS
I. Pullorum
Etiologi
Penyakit pullorum merupakan penyakit sistemik yang menyerang unggas
terutama ayam dan kalkun, unggas lain seperti puyuh, merpati dan itik juga
rentan. Penyakit pullorum dapat ditularkan secara vertikal (transovarian) dan
horizontal.
Gambar 1. Pullorum : Feses menempel di sekitar kloaka (A); arthritis pada tibiotarsal (B)
A B
Gambar 3. Pullorum : Fokus nekrotik pada jantung (A) dan limpa (B)
Gambar 4. Pullorum : Eksudat perkejuan pada sekum (A); Ovarium hemorhagi dan
peradangan (B)
AB
Gambar 5. Pullorum : Fokal nekrosis (*) dan infiltrasi sel radang pada hati (A); kongesti dan
infiltrasi sel radang pada ovarium (B)
reproduksi yaitu ovarium atau testes. Sampel juga dapat diambil dari cairan
sinovial.
Diferensial diagnosis
Gejala klinis pullorum tidak patognomonis. Infeksi bakteri Salmonella lainnya
(fowl typhoid dan paratifoid) dan kolera unggas menunjukkan gejala klinis dan
lesio PA yang mirip terutama lesio pada organ hati, limpa dan usus. Bakteri
Mycoplasma synoviae, Staphylococcus aureus, Pasteurella multocida, dan
Erysipelothrix rhusiopathiae juga dapat menyebabkan arthritis dan synovitis.
Coliform, staphylococci, P. multocida, streptococci, dan salmonellae dapat
menyebabkan peradangan pada ovarium.
Pengendalian
Penyelenggaraan managemen yang baik pada suatu peternakan sangat
penting dalam pengendalian penyakit pullorum. Penyakit pullorum dapat
ditularkan secara vertikal dan horizontal, maka beberapa hal perlu diperhatikan
dalam pengendalian pullorum yaitu memasukan DOC atau telur tetas dari
breeder bebas pullorum; fumigasi mesin tetas; kandang dan peralatan kandang
menggunakan bahan yang mudah dibersihkan dan didisinfeksi; penerapan
program biosekuriti yang ketat untuk mencegah pemasukan bibit penyakit;
bebas rodensia, burung liar, insekta dan hewan lainnya; kualitas air minum dan
gudang pakan; insenerator atau tempat pemusnahan ayam yang mati serta
pengendalian dan eliminasi reaktor. Pengendalian reaktor dilakukan dengan
melakukan uji serologis misalnya rapid whole blood agglutination test dan ELISA.
Vaksin pullorum tidak menunjukkan hasil yang protektif. Pengobatan dapat
menggunakan antibiotik misal enrofloxacin. S. pullorum dilaporkan resisten
terhadap beberapa antibiotik misalnya chlortetracycline dan nitrofurazone. Oleh
karena itu perlu dilakukan uji sensitivitas terhadap antibiotik, sehingga diperoleh
antibiotik yang tepat.
2. Fowl Typhoid
Etiologi
Fowl typhoid disebabkan oleh S. gallinarum. Bakteri ini digolongkan dalam
spesies S. enterica subsp. enterica serovar Gallinarum. S. gallinarum termasuk
serogrup D menurut Kauffman White scheme. Penyakit fowl typhoid dan
pullorum memiliki banyak persamaan dalam gejala klinis, lesio, kontrol dan
prosedur eradikasi.
Salmonella gallinarum bersifat Gram negatif, nonsporogenik, dan fakultatif
anaerobik. Bakteri tersebut bersifat non motil dan berbentuk batang dengan
ukuran 0.3 - 1.5 x 1.0 - 2.5 mm. S. gallinarum memiliki antigen O : 1, 9 dan 12
dan menghasilkan endotoxin.
Host
Ayam merupakan host/inang alami S. gallinarum. Kalkun, puyuh, dan parrot
pernah dilaporkan terserang wabah fowl typhoid. Fowl typhoid sering
menyerang ayam dewasa, walaupun pernah dilaporkan kematian tinggi pada
anak ayam. Angka mortalitas akibat fowl typhoid pada ayam umur 4 minggu
dapat mencapai 26%.
Penularan
Penularan fowl typhoid dapat terjadi dengan berbagai cara. Unggas yang
terinfeksi dapat bersifat sebagai reaktor dan carrier yang dapat menularkan
penyakit. Penularan dapat terjadi secara vertical (transovarian) dan horizontal.
Pada induk ayam yang terinfeksi S. gallinarum, telurnya dapat terinfeksi.
Kontak langsung antara ayam sakit dengan ayam sehat dapat menularkan
penyakit. Penularan juga dapat terjadi melalui luka pada kulit akibat
kanibalisme. Feses dari penderita juga merupakan sumber infeksi yang dapat
mengkontaminasi pakan, air minum atau litter. Penyebaran penyakit antar
kandang dapat terjadi melalui pekerja kandang, kendaraan pengangkut pakan.
Burung liar, lalat dan hewan lainnya dapat bertindak sebagai vektor mekanik.
penularan penyakit melalui telur juga ditentukan oleh kadar maternal antibodi
dalam kuning telur.
Gejala klinis
Fowl typhoid sering menyerang ayam dewasa. Gejala klinis akibat fowl
typhoid pada anak ayam yaitu lemah, anorexia, pertumbuhan buruk dan feses
yang berwarna putih menempel di sekitar kloaka. Infeksi akut fowl typhoid pada
ayam dewasa menimbulkan gejala klinis berupa penurunan konsumsi pakan,
pucat, penurunan produksi telur, penurunan daya tetas telur dan suhu tubuh
meningkat, diare dan dehidrasi. Kematian dapat terjadi dalam waktu 5 – 10 hari
setelah infeksi.
Lesio dan diagnosis patologi
Pada kejadian akut fowl typhoid menimbulkan lesio PA berupa kebengkakan
pada hati, limpa dan ginjal (Gambar 7). Pada subakut atau kronis lesio yang
terbentuk adalah hati bengkak dan berwarna coklat kehijauan, peritonitis dan
perikarditis. Fokal nekrotik pada hati dan jantung, hemorhagi pada ovarium dan
oophoritis. Pada anak ayam lesion PA berupa fokal nekrotik pada hati, jantung
dan gizard.
A B
C D
Gambar 7. Fowl typhoid : hati bengkak dan berwarna merah kehijauan (A); limpa bengkak
(B); enteritis (C); oophoritis (D)
3. Infeksi Paratifoid
Etiologi
Bakteri Salmonella yang bersifat motil disebut salmonellae paratifoid.
Bakteri ini dapat menyerang berbagai jenis hewan dan manusia serta sering
menyebabkan penyakit yang asimptomatis (subklinis). S. enterica terdiri dari
2500 serotipe motil dan non host-adapted antara lain S. enterica serotype
Enteritidis dan S. enterica serotype Typhimurium. Salmonella berbentuk
batang, Gram negatif, motil, memiliki flagela dan anaerob fakultatif. Tumbuh
optimal pada suhu 37°C, dengan kisaran suhu 5 - 45°C, pH antara 4.0 - 9.0
dengan pH optimum 7.0.
Bakteri Salmonella secara umum rentan terhadap panas, S.typhimurium
mati pada suhu 79°C, walaupun beberapa strain menunjukkan lebih toleran
terhadap panas. Pemakaian desinfektan dapat mengeliminasi bakteri ini dari
telur. Aplikasi hidrogen peroksidasi, klorin, asam asetat, asam laktat dapat
menurunkan kontaminasi Salmonella pada karkas. Fumigasi dengan formaldehid
dan dipping dapat mengurangi kontaminasi pada telur tetas. S. typhimurium
dapat bertahan selama 16 bulan dalam pakan dan 18 bulan dalam litter pada
suhu 25°C. Bakteri Salmonella menghasilkan endotoksin dan beberapa strain
juga menghasilkan enterotoksin dan sitotoksin. Adhesi Salmonella pada sel
epitel usus merupakan tahap awal infeksi.
Host
Paratifoid dapat menyerang ayam pada berbagai umur. Anak ayam sangat peka
terhadap infeksi Salmonella. Bakteri Salmonella dapat menyerang berbagai
jenis unggas.
Penularan
Penularan dapat terjadi secara vertikal (transovarian) dan horizontal.
Penularan horizontal dapat terjadi melalui pakan atau air minum yang
terkontaminasi. Unggas liar yang terinfeksi dapat menjadi sumber penularan.
Penularan penyakit antar kandang atau peternakan dapat terjadiKendaraan
pengangkut pakan dan pekerja kandang dapat menyebarkan penyakit antar
kandang atau peternakan. Penularan pada telur tetas sering terjadi di dalam
mesin tetas yang sudah terkontaminasi (Gambar 8).
Importation
of poultry &
Breedin Lateral
poultry
g flocks spead
products
Vertical transmission :
Poultr
Contamination of
y Hatch
eggshell
Feedst ery
Contamination of egg
uffs
via ovaries
Wildlif
e Broiler & Lateral
Horizontal
Enviro egg spead
transmission :
ments productio
Lateral spread among
Vehicl Processin
n flocks Carcass cross-
day-old stocks
es g plant contamination
Contaminated
Delivery vehicle,
Equip wastepersonel
& wild birds
etc
ment
Huma
ns
Penularan secara vertikal dapat terjadi dari induk yang terinfeksi. Induk
ayam yang terinfeksi S. enteritidis dapat menularkan secara transovarial pada
telur yang dihasilkan. Infeksi dapat terjadi pada ovarium atau pada saluran telur
atau oviduk, sehingga telur yang dihasilkan mengandung bakteri S. enteritidis
(Gambar 9). Infeksi S. enteritidis terjadi secara peroral. Infeksi Salmonella
diawali dengan adhesi pada sel epitel dan berkolonisasi. Kemudian invasi ke
submukosa, folikel limfoid (Peyer’s patches) untuk difagosit oleh sel makrofag
dan sel RES seperti sel dendrit serta memasuki aliran darah dan menginvasi
berbagi organ antara lain organ reproduksi, sehingga dapat menginfeksi telur
yang dihasilkan. Infeksi dapat terjadi pada ovarium atau oviduk. Salmonella juga
dapat menginfeksi telur dengan cara penetrasi melalui kerabang.
Gejala klinis
Gejala klinis pada anak ayam akibat paratifoid berupa diare, lemah, anorexia
dan omphalitis. Pada ayam dewasa gejala klinis yang timbul antara lain
anorexia, lemah dan produksi telur turun. Pada ayam breeder juga terjadi
penurunan daya tetas akibat kematian embrio. Pada ayam sering terjadi infeksi
subklinis. Penderita subklinis merupakan carrier dan sumber penularan.
Lesio dan diagnosis patologi
Gambar 10. Paratifoid : Fokal nekrotik pada hati (A); Typhlitis pada sekum : secal core (B)
Winarsih, 2005
Gambar 11. Paratifoid : pendarahan (→) dan nekrotik -- button type lesion (▼) pada usus
Winarsih,
2005
Pada pemeriksaan histopatologi pada organ hati terjadi fokus nekrotik sel
hepatosit dan infiltrasi sel radang limfosit, makrofag dan heterofil (Gambar 13).
Pada usus terjadi hiperemi/pembendungan, edema, pendarahan, peradangan
dan deskuamasi epitel (Gambar 14).
Winarsih,
2005
Gambar 14. Paratifoid : Villi memendek, edema dan infiltrasi sel radang (*),
deskuamasi epitel (→) pada sekum (Winarsih, 2005)
bebas rodensia, burung liar, insekta dan hewan lainnya; kualitas air minum dan
gudang pakan; insenerator atau tempat pemusnahan ayam yang mati serta
pengendalian dan eliminasi reaktor. Pengendalian reaktor dilakukan dengan
melakukan uji serologis misalnya rapid whole blood agglutination test dan ELISA.
Beberapa negara seperti AS menggunakan competitive exclusion misalnya
probiotik dalam pengendalian salmonellosis. Vaksin terhadap S. enteritidis dan
S. typhimurium digunakan untuk pencegahan. Pengobatan dapat menggunakan
antibiotik misal gentamicin dan spectinomycin. Salmonellae dilaporkan resisten
terhadap beberapa antibiotik misalnya nalidixic acid dan enrofloxacin. Oleh
karena itu perlu dilakukan uji sensitivitas terhadap antibiotik, sehingga diperoleh
antibiotik yang tepat.
Etiologi
Gejala klinis
Gejala klinis omphalitis adalah anak ayam terlihat lemah, mengumpul dan
anorexia. Bagian abdomen membesar berwarna kebiruan. Bagian pusar basah,
edematous berwarna merah kehitaman atau terdapat keropeng. Kadang-
kadang terjadi diare berwarna putih dengan konsistensi seperti pasta. Angka
mortalitas akibat omphalitis dapat mencapai 50%.
Pengendalian
Penerapan biosekuriti yang ketat terutama sanitasi yang baik pada kandang
dan mesin tetas. Pencucian dan dipping telur tetas dalam desinfektan.
Fumigasi mesin tetas untuk mengurangi kontaminasi. Pengambilan telur dari
kandang lebih sering dilakukan. Pengobatan dengan antibiotik broad spectrum
dapat mengurangi mortalitas. Culling dapat dilakukan pada ayam sakit.
Patoipb
Gambar 17. Cheesy peritonitis (A) dan infeksi kuning telur – perkejuan (B)
DAFTAR PUSTAKA
Barrow, PA. 2000. The paratyphoid salmonellae. Rev. sci. tech. off. Int. Epiz. 19 (2) :
351-375
Henderson, S.C., D. Bounous and M.D. Lee. 1999. Early events in the pathogenesis
of avian salmonellosis. Infection and immunity 67 ( 7) : 3580–3586
Khan, K.A., S. A. Khan, A. Aslam, M. Rabbani and M.Y. Tipu. 2004. Factors
contributing to yolk retention in poultry : A review. Pakistan Vet. J., 24(1) :
46-50
Pui, C.F. et al. 2011. Salmonella : A foodborne pathogen. Int. Food Res. J. 18 : 465 –
473
Randall, LP., SW. Cooles, NC. Coldham, KS. Stapleton, LJV. Piddock and MJ.
Woodward. 2006. Modification of Enrofloxacin Treatment Regimens for
Poultry Experimentally Infected with Salmonella enterica Serovar
Typhimurium DT104 To Minimize Selection of Resistance. Antimicrob.
Agents Chemother. 50 (12) : 4030-4037
Saif, YM et al. (editors). 2003. Diseases of Poultry, 11 thed. Iowa State University
Press, USA.
Santos, R.L., R.M. Tsolis, A.J. Bäumler, and L.G. Adams. 2003. Pathogenesis of
Salmonella-induced enteritis. Braz J Med Biol Res. 36 : 3-12
Shivaprasad, HL. 2000. Fowl typhoid and pullorum disease. Rev. sci. tech. off. Int.
Epiz. 19 (2) : 405 – 424
Stevens M. P., T. J. Humphrey and D. J. Maskell. 2009. Molecular insights into farm
animal and zoonotic Salmonella infections. Phil. Trans. R. Soc. B 364 : 2709-
2723
Wigley P., A. Berchieri Jr., K. L. Page, A. L. Smith and P. A. Barrow. 2001. Salmonella
enterica Serovar Pullorum Persists in Splenic Macrophages and in the
Reproductive Tract during Persistent, Disease-Free Carriage in Chickens.
Infect. Immun. 69 (12) : 7873-7879
Wigley, P., SD. Hulme, C.Powers, RK. Beal, A. Berchieri Jr., A. Smith and P. Barrow.
2005. Infection of the Reproductive Tract and Eggs with Salmonella enterica
Serovar Pullorum in the Chicken Is Associated with Suppression of Cellular
Immunity at Sexual Maturity. Infect. Immun. 73 ( 5) : 2986-2990
Wray, C., RH Davies and SJ Evans. 1999. Salmonella infection in poultry : the
production environment. In Richardson, RI and GC. Mead (eds). Poultry meat
science : 257-275. http://www.adiveter.com/ftp/articles/articulo1549.pdf
1. Kolera unggas
Sinonim
Fowl cholera (FC), avian cholera, avian pasteurellosis, dan avian hemorrhagic
septicemia.
Etiologi
Penyebab kolera unggas adalah bakteri Pasteurella multocida. Bakteri ini
bersifat Gram negatif, tidak membentuk spora, tidak motil, batang bipolar,
kadang membentuk rantai dan membentuk kapsul. Berdasarkan kapsul yang
dimiliki bakteri P. multocida terdapat 5 tipe kapsul yaitu A, B, D, E dan F.
Sedangkan klasifikasi berdasarkan komponen lipopolisakarida dinding sel bakteri
terdapat 16 tipe yaitu 1 sampai dengan 16.
Bakteri ini dapat mati dengan desinfektan seperti formaldehid 1%, phenol,
betapropiolakton dan glutaraldehid. Juga mati apabila terkena sinar matahari
langsung, kekeringan atau panas. Bakteri ini mati dengan pemanasan 56 oC
selama 15 menit atau 60oC selama 10 menit.
Patogenitas P. multocida bervariasi tergantung strain, spesies host/inang
dan lingkungan. Kemampuan P. multocida untuk invasi dan berkembang pada
host meningkat dengan adanya kapsul. Kehilangan kemampuan untuk
membentuk kapsul pada P. multocida patogen dapat menurunkan patogenitas
bakteri tersebut. Kandungan atau susunan kimia kapsul lebih menentukan
virulensi daripada ketebalan kapsul.
Bakteri P. multocida menghasilkan endotoksin. Bakteri P. multocida yang
memiliki kapsul tipe A dan D selain endotoksin juga menghasilkan toksin protein
lainnya. Pada tipe D toksin tersebut merupakan toksin yang bersifat labil
terhadap suhu dan dapat menyebabkan nekrose pada kulit (dermonecrotic).
Host
Kolera unggas dapat menyerang hampir semua jenis unggas baik unggas
domestik maupun liar. Kalkun merupakan unggas yang paling rentan. Kematian
pada kalkun dapat mencapai 90 – 100% dalam 48 jam setelah infeksi.
Ayam dewasa lebih rentan daripada anak ayam. Ayam biasanya terinfeksi
pada umur 16 minggu ke atas, tetapi pernah dilaporkan broiler yang berumur
20-46 hari terserang kolera. Kematian pada ayam bervariasi antara 10 – 20%.
Itik dan angsa sangat peka terhadap kolera. Itik biasanya terserang kolera
pada umur 4 minggu ke atas dengan mortalitas berkisar 50%. Pada itik muda
serangan kolera biasanya lebih parah dan kematian dapat mencapai 100%.
Penyakit kolera juga dapat menyerang burung puyuh, merpati dan jenis unggas
lainnya. Kelinci dan mencit juga sangat peka terhadap infeksi P. multocida.
Penularan
Infeksi P. multocida dapat terjadi melalui saluran pernafasan (perinhalasi),
saluran pencernaan (peroral) dan mukosa atau luka (hematogen). Penularan
kolera dapat terjadi secara kontak langsung antara hewan yang sehat dengan
yang sakit. Unggas penderita kolera kronis merupakan sumber penularan.
Penularan juga dapat terjadi secara tidak langsung misalnya melalui air minum,
pakan atau peralatan kandang yang tercemar. Penularan ke peternakan lain
dapat terjadi antara lain melalui kendaraan pengangkut pakan dan hewan lain
yang berkeliaran di sekitar kandang seperti tikus dan burung gereja.
Stress merupakan faktor predisposisi kejadian penyakit kolera. Stress dapat
berupa perubahan cuaca, kelembaban, pemotongan paruh atau penggantian
pakan yang tiba-tiba. Transportasi, kandang yang terlalu penuh atau
pemindahan kandang juga dapat menimbulkan stress pada ayam. Faktor
predisposisi lainnya adalah adanya penyakit lain dan sanitasi yang buruk.
Gejala klinis
Berdasarkan gejala klinis terdapat 3 tipe penyakit yaitu perakut, akut dan kronis.
a. Perakut
Pada tipe perakut unggas yang terserang kolera tidak memperlihatkan gejala
klinis. Unggas mati mendadak dengan perubahan utama septikemi.
b. Akut
Pada kolera akut gejala klinis berupa anoreksia, keluar eksudat dari hidung,
sesak nafas, diare cair dan berwarna putih atau hijau (Gambar 1). Sianosis
pada pial dan jengger dapat terlihat beberapa saat sebelum mati. Pada
hewan yang tidak mati, penyakit kemudian menjadi kronis.
Gambar 2. Kolera kronis : Kebengkakan dan radang pada pial (A), sinus infraorbital (B),
dan telinga tengah (C), serta tortikolis (D)
c. Kronis
Kolera kronis dapat merupakan lanjutan dari kolera akut atau merupakan
penyakit yang timbul karena infeksi oleh P. multocida yang kurang virulen.
Kolera kronis umumnya ditandai dengan infeksi yang bersifat lokal seperti
pembengkakan persendian sayap dan kaki; pembengkakan telapak cakar dan
pial; eksudat pada konjunktiva (konjunktivitis); tortikolis serta sesak nafas
(Gambar 2).
Lesio dan diagnosis patologi
Lesio yang terjadi tergantung pada tipe dan keparahan penyakit. Pada kolera akut
atau perakut biasanya terjadi septikemi. Lesio patologi anatomi (PA) yang terjadi
adalah hiperemi/pembendungan umum, pendarahan ptekhie atau ekhimosa pada
epikardium jantung dan jaringan serosa. Pendarahan juga terjadi pada jaringan lemak,
paru-paru dan mukosa usus. Pneumonia sering terjadi pada kalkun dan ayam.
Peradangan sering meluas ke pleura dengan eksudat fibrinus (pleuropneumonia
fibrinosa) (Gambar 3 dan 4). Organ limpa membengkak.
A B
Gambar 4. Kolera : peradangan dan pendarahan pada ovarium (A) dan usus (B)
Hati membengkak, pendarahan dan nekrosa yang bersifat multi fokal (Hepatitis
nekrotikans milier) (Gambar 5). Pada ayam petelur lesio PA pada traktus reproduksi
berupa folikel telur lembek, perdarahan dan ruptur atau pecah folikel telur sering
terjadi dan kebengkakan pada limpa.
Gambar 6. Kolera kronis : Peradangan pada pial dan sinus (A), eksudat perkejuan pada sinus
kalkun (B) dan ayam (C), peradangan dengan eksudat perkejuan pada telapak
kaki (D)
Pada kolera kronis terjadi edema subkutis dan peradangan di daerah muka, pial,
sinus, persendian dan telapak kaki/cakar. Peradangan dapat terjadi pada telinga
tengah dan menyebabkan tortikolis.
Lesio mikroskopis pada kolera terutama pada kolera akut adalah hiperemi,
kongesti dan trombus pada pembuluh darah dan fibrin. Pada hati terjadi fokal
nekrotik dan infiltrasi sel radang terutama heterofil (Gambar 7). Infiltrasi sel
heterofil juga terjadi pada paru-paru dan organ lain (Gambar 8).
Winarsih, 1996
Gambar 7. Kolera : A. trombus (t) dan nekrotik hepatosit (n), B. fokal nekrotik pada hati
Winarsih, 1996
Gambar 8. Kolera : fibrin (f) dan infiltrasi sel heterofil pada paru-paru (Winarsih, 1996)
Diferensial diagnosis
Diagnosis penyakit kolera berdasarkan gejala klinis, lesio patologi anatomi
dan histopatologi (mikroskopis). Penyakit kolera menunjukkan lesio yang mirip
dengan salmonellosis, koriza, kolibasilosis dan staphylococcosis, ND.
Pengendalian
Pengobatan akan bermanfaat bila penyakit cepat diketahui. Pengobatan
kolera dapat menggunakan antibiotik atau obat sulfa. Antibiotik yang digunakan
antara lain fluoroquinolones, spektinomisin, tetrasiklin.
Untuk pengendalian dapat diberikan vaksinasi, misalnya vaksin diberikan
pada ayam umur 8—10 minggu dan diulang pada umur 18—20 minggu.
Penyelenggaraan managemen yang baik pada suatu peternakan sangat penting
dalam pengendalian penyakit dengan melaksanakan biosekuriti yang ketat.
Penularan
Infeksi terjadi melalui saluran pernafasan (perinhalasi) atau melalui luka pada
kulit terutama pada kaki.
Gejala klinis
Masa inkubasi penyakit ini berkisar 2-5 hari, pada kejadian akut bahkan 1-2
hari. Gejala klinis yang muncul adalah lemah, keluar discharge/eksudat dari
mata dan hidung, batuk, diare yang berwarna kehijauan, ataxia, tortikolis dan
tremor (Gambar 9). Hewan yang sembuh biasanya pertumbuhannya tidak baik.
Gambar 9. Infeksi R. anatipestifer : tortikolis pada itik (A) dan paralisa pada kalkun (B)
Gambar 10. Infeksi R. anatipestifer : perikarditis dan perihepatitis fibrinosa (A); erosi pada
kartilago persendian (B)
Eksudat mukopurulen pada nasal dan sinus, eksudat perkejuan pada oviduk
serta limpa membengkak. Pada kejadian kronis, lesio PA berupa peradangan
pada kulit dan persendian. Pada kulit terjadi dermatitis nekrotikan.
Pada pemeriksaan mikroskopik pada jantung terjadi peradangan dengan
eksudat fibrinus dan infiltrasi sel radang heterofil dan sel mononukleus. Pada
hati pada infeksi akut ditemukan degenerasi berbutir dan hidropis hepatosit,
infiltrasi sel radang pada daerah portal. Infiltrasi sel radang juga terjadi pada
kantung hawa. Pada paru-paru terjadi proliferasi folikel limfoid diinterstitial dan
pneumonia fibrinopurulen. Lesio pada susunan syaraf pusat akibat infeksi R.
DAFTAR PUSTAKA
Blanchong, JA., MD. Samuel, DR. Golberg, DJ. Shadduck and MA. Lehr. 2006.
Persistence of Pasteurella multocida in wetlands following avian cholera
outbreaks. J. of wildlife dis. 42 (1) : 33-39
Hablolvarid, M.H., J.G. Moazeni and A.R Jabbari. 2009. Experimintal study of
peracute Fowl Cholera due to Pasteurella multocida vaccinal strain (serotype
A1) in chickens. Archives of Razi Institute 64. ( 1) : 57-60
Saif, YM et al. (editors). 2003. Diseases of Poultry, 11 thed. Iowa State University
Press, USA.
Woo, Yong-Ku and Jae-Hak Kim. 2006. Fowl Cholera outbreak in domestic poultry
and epidemiological properties of Pasteurella multocida isolate. The Journal
of Microbiology. 44 (3) : 344-353
Mikosis adalah penyakit yang disebabkan oleh fungi. Mikosis pada unggas
sangat banyak jenisnya antara lain aspergillosis, candidiasis (thrush),
dermatophytosis, histoplasmosis dan cryptococcosis. Mikosis yang dibahas pada
mata kuliah ini adalah aspergillosis dan candidiasis. Aspergillosis merupakan mikosis
yang paling sering menyerang unggas dan sangat merugikan peternak. Candidiasis
(thrush) adalah mikossis yang menyerang organ sistem pencernaan.
1. Aspergillosis
Sinonim
Aspergillosis adalah penyakit yang disebabkan oleh fungi genus Aspergillus,
yang terdiri dari 600 spesies. Kejadian aspergillosis umumnya merupakan
kejadian sekunder yang mengikuti stress, immunosupresif, penggunaan obat
antibakteri yang lama (Khosravi et al, 2008). Manifestasi aspergillosis pada
unggas tergantung pada organ yang terinfeksi. Nama lain penyakit ini adalah
avian aspergillosis, mycotic pneumonia, pneumonomycosis, brooderpneumonia,
asper mycosis, pseudotuberculosis dan bronchomycosis.
Etiologi
Aspergillosis disebabkan oleh Aspergillus terutama A. fumigatus. Penyebab
aspergillosis lainnya adalah A. flavus A. terreus, A. glaucus,A. nidulans, A. niger,
A. amstelodami, dan A. nigrescens. A. fumigatus dan A. flavus. Aspergillus
diklasifikasikan termasuk dalam divisi Deuteromycota, kelas Deuteromycetes,
ordo Moniliales, famili Moniliaceae, dan genus Aspergillus. Fungi genus
Aspergillus dapat ditemukan di tanah, pakan, dan bahan pakan (jagung dll).
Spora Aspergillus terdapat pada debu dan litter kandang. Genus Aspergillus
menghasilkan toksin (mikotoksin) misalnya aflatoksin yang dihasilkan terutama
oleh A. flavus dan A. fumigatus. Mikotoksin yang dihasilkan oleh A. fumigatus,
selain aflatoksin juga menghasilkan toksin lain yaitu gliotoksin. Gliotoksin
merupakan toksin yang dapat menimbulkan kondisi immunosupresif. Toksin
tersebut merupakan sitotoksik dan dapat menghambat blastogenesis limfosit
pada kalkun. Gliotoksin juga menyebabkan apoptosis dan nekrotik sel. A.
fumigatus juga menghasilkan beberapa enzim proteolitik yang dapat merusak
jaringan pada inang seperti elastinolitik dan kolagenolitik yang turut berperan
dalam patogenesis kejadian pulmonary aspergillosis.
Host
Aspergillus dapat menginfeksi berbagai jenis hewan baik hewan domestik
maupun liar. Ayam, kalkun, itik, puyuh, angsa merupakan unggas domestik
sering dilaporkan terserang aspergillosis. Unggas lainnya antara lain burung
unta, kanari, merpati, parrot dan penguin. Aspergillosis dapat terjadi tidak
hanya pada unggas, tetapi juga pada hewan lainnya seperti sapi, hewan
A B
Gambar 3. Aspergillosis : radang granuloma pada kantung hawa (A) dan serosa (B)
Patoipb
A Patoipb B Patoipb
U97/07 U97/07
A Patoipb B
U97/07
Gambar 8. Aspergillosis : dermatitis granulomatous (A), hifa dan konidiospora (B), PAS
Diferensial diagnosis
Pada pulmonary aspergillosis menunjukkan lesio PA terutama pneumonia
dan airsacculitis dengan eksudat fibrinus atau perkejuan. Lesio tersebut mirip
dengan mycoplasmosis, colibacillosis, kolera unggas dan chlamydiosis.
Mycobacteriosis dan mycoses lainnya juga merupakan diferensial diagnosis
aspergillosis, karena menunjukkan lesio berupa peradangan granuloma.
Pengendalian
Pengobatan aspergillosis dapat mempergunakan obat antifungi seperti
nystatin, amphotericin B, crystal violet, brilliant green dan hamycin. Hamycin
diberikan dalam air minum. Dimethyldithiocarbamate dapat diberikan secara
sub kutan pada ayam berumur 5 – 10 tahun. Pemberian kupri sulfat dalam air
minum dengan perbandingan 1 : 2000 dapat mengurangi penyebaran penyakit.
Secara umum pengobatan aspergillosis kurang efektif, pencegahan lebih
efektif daripada pengobatan. Manejemen yang baik terutama dengan
menerapkan biosekuriti yang ketat dapat mencegah penyebaran penyakit.
Sanitasi kandang terutama litter, peralatan kandang dan mesin tetas harus baik.
Karena penularan Sanitasi, kelembaban dan ventilasi dalam gudang
penyimpanan pakan harus baik untuk mencegah pertumbuhan jamur.
Mengurangi debu dalam kandang, litter yang kering dan ventilasi yang baik
dapat mengurangi kejadian mikosis.
2. Thrush (Candidiasis)
Thrush adalah infeksi candida pada traktus digesti. Candidiasis adalah
penyakit mikosis yang disebabkan oleh khamir genus candida, terutama C.
albicans. Stomatitis oidica, muguet, soor, moniliasis, oidiomycosis, dan sour crop
adalah nama lain dari infeksi mikotik pada traktus digesti. Kejadian penyakit
biasanya berhubungan dengan kondisi immunosupresif pada inang/host.
Penggunaan obat antimikroba yang kurang tepat atau lama merupakan faktor
pendukung kejadian penyakit.
Etiologi
Candida albicans merupakan agen penyebab thrush yang utama. Spesies
candida lainnya juga dapat diisolasi dari unggas. Sekitar 95% terisolasi Candida
albicans sisanya adalah C. ravautii, C. salmonicola, C. guilliermondi, C.
parapsilosis, C. catenulata, atau C. brumptii. Pada kalkun selain C. albicans, juga
dapat diisolasi C. rugosa, C. famata, C.tropicalis, and C. guilliermondii with C.
rugosa dari tembolok pada kejadian wabah thrush. Candida merupakan
organisme komensal dan merupakan bagian dari mikroflora dalam traktus
digesti unggas, hewan lain maupun manusia.
Host
Thrush dapat menyerang berbagai jenis unggas, hewan lain dan manusia.
Jenis unggas yang pernah dilaporkan terserang thrush antara lain ayam, kalkun,
angsa, merpati, burung puyuh, merak, parrot, parkit.
Penularan
Candida merupakan mikroflora normal dalam saluran digesti unggas, hewan
lain dan manusia. Penularan terjadi secara horizontal. Penularan dapat terjadi
melalui pakan dan air minum yang terkontaminasi. Litter, peralatan kandang
yang terkontaminasi juga merupakan sumber penularan.
Gejala klinis
Gejala klinis yang muncul adalah kurus, pertumbuhan terhambat, lemah dan
bulu kasar serta penurunan produksi. Candidiasis sering merupakan infeksi
sekunder yang mengikuti penyakit lainnya, sehingga gejala klinis merupakan
gejala klinis dari penyakit/infeksi primer pada unggas tersebut. Unggas muda
lebih rentan terhadap candidiasis.
Lesio dan diagnosis patologi
Lesio yang diakibatkan thrush terutama terjadi pada tembolok. Pada tembolok
terjadi peradangan (ingluvitis). Mukosa tembolok menebal berwarna putih atau
disebut Turkish bath towel.
Gambar 1. Candidiasis : Penebalan mukosa dan sarang radang putih kekuningan dan
membentuk pseudomembran pada tembolok
A B
Gambar 2. Candidiasis : Sarang radang pada esophagus (A), nekrotik pada proventrikulus (B)
Lesio juga terjadi pada mulut dan esophagus berupa erosi mukosa dan
jaringan nekrotik yang membentuk pseudomembran. Proventrikulus menebal,
hemorhagi dan nekrotik. Erosi pada gizzard dan enteritis. Pada infeksi sistemik
candidiasis terjadi kongesti pada hati, ginjal dan limpa.
Patoipb U225/06
DAFTAR PUSTAKA
Naglik, J., A. Albrecht, O. Bader and B. Hube. 2004. Candida albicans proteinases
and host/pathogen interactions. Cellular Microbiology 6 (10) : 915–926
Bedard, LL. and TE. Massey. 2006. Aflatoxin B1-induced DNA damage and its repair.
Cancer Letters 241 : 174–183
Saif, YM et al. (editors). 2003. Diseases of Poultry, 11 thed. Iowa State University
Press, USA.
Velasco, M.C. 2000. Candidiasis and Cryptococcosis in Birds. W. B. Saunders
Company.
BAB V. MIKOTOKSIKOSIS
1. Aflatoksikosis
Etiologi
Aflatoksin adalah mikotoksin yang sangat toksik, karsinogenik dan
imunosupresif. Aflatoksin dihasilkan oleh by Aspergillus flavus, A. parasiticus,
and Penicillium puberulum. Jamur biasanya tumbuh pada pakan atau bahan
pakan seperti jagung. Aflatoksin mempunyai 2 cincin dihidrofuran. Jenis
aflatoksin adalah B1, B2, G1 dan G2. B1 merupakan jenis yang paling poten dan
bersifat hepatotoksik. Pembentukan aflatoksin dipengaruhi berbagai faktor
yang mempengaruhi pertumbuhan jamur seperti temperatur dan kelembaban
yang tinggi. Aflatoksin dapat menyebabkan neoplasma pada hati, kantung
empedu, pankreas, vesika urinaria dan tulang.
Host
Kejadian aflatoksikosis dilaporkan pada ayam, itik, kalkun, puyuh, hewan lainnya
dan manusia. Aflatoksikosis dapat bersifat akut atau kronis. Kerentanan
terhadap aflatoksin bervariasi tergantung pada spesies, breed dan umur. Itik
dan kalkun lebih peka terhadap aflatoksin dibandingkan ayam dan puyuh.
Penularan
Aflatoksin terdapat di kandang dan lingkungan dimana jamur tumbuh, misalnya
litter. Aflatoksin juga terdapat pada pakan maupun bahan pakan. Penularan
terjadi secara peroral.
Gejala klinis
Gejala klinis aflatoksikosis adalah lemah, anoreksia, gangguan pertumbuhan,
penurunan produksi telur, warna kaki pucat, ataxia dan paralisa (Gambar 1).
Bulu kasar dan warna kulit pada kaki pucat. Mortalitas meningkat apabila hewan
mengalami malnutrisi misal defisiensi vitamin atau mineral.
deplesi pada timus dan limpa. Penurunan respon sistem pertahanan seluller
pada ayam dan kalkun.
Pada kalkun terjadi degenerasi sel hepatosit yaitu sel hati membesar
terdapat vakuola pada sitoplasma. Fokal nekrosis terutama di bagian
centrolobular hati, fibrosis dan proliferasi duktus empedu. Lesio degenerasi
juga terjadi pada jantung dan ginjal.
Pada itik aflatoksikosis menyebabkan degenerasi lemak dan nekrotik,
hemoragi, proliferasi hepatosit duktus empedu dan fibrosis. Pada ginjal terjadi
degenerasi, interstitial fibrosis dan nekrotik sel tubulus.
Gambar 5. Aflatoksikosis : deplesi folikel limfoid pada ayam yang diberi aflatoksin (A),
folikel limfoid normal pada bursa Fabribius (B)
2. Ochratoxicosis
Etiologi
Kausa ochratoxicosis adalah ochratoxin. Ochratoxin merupakan mikotoksin
yang dihasilkan oleh beberapa jenis jamur yaitu Aspergillus dan Penicillium.
Contohnya Aspergillus ochraceus, A. alliaceus, A. auricomus, A. carbonarius, A.
glaucus, A. melleus, A.niger, Penicillium verrucosum dan P. viridicatum.
Ochratoxin bersifat nephrotoksik. Jenis ochratoxin adalah A, B, C dan D,
ochratoxin A (OTA) merupakan jenis yang paling toksik. Produksi ochratoxin oleh
jamur dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti suhu, kelembaban dan kadar air
pada pakan atau bahan pakan. P. viridicatum tumbuh dan menghasilkan
mikotoksin apabila kadar air pada gandum atau jagung 18,5 – 40,4 %. Target
organ ochratoxin adalah ginjal (nephrotoksik). Ochratoxin bersifat karsinogenik
dan imunosupresif.
Host
Ochratoxicosis dapat menyerang berbagai jenis unggas, hewan mamalia dan
manusia. Unggas yang dilaporkan terserang ochratoxicosis antara lain ayam,
itik, angsa, kalkun dan puyuh. Kepekaan host bervariasi (table 1). Kadar
ochratoxin 2 – 8 ppm dalam pakan menyebabkan kerusakan usus pada ayam.
Kadar 0,2 ppm dalam pakan menyebabkan nephrophaty pada babi, kadar 1,0 –
2,7 ppm toxik pada babi.
Tabel 1. Nilai LD50 ochratoxin pada beberapa hewan
Species Ochratoxin A Oral LD50 (mg/kg bb)
Ayam 2-4
Kalkun 6
Puyuh 16,5
Tikus 22 - 30
Mencit 22 - 58
Penularan
Jamur penghasil ochratoxin (Aspergillus dan Penicillium) tumbuh pada pakan
atau bahan pakan serta lingkungan seperti jagung dan kacang atau litter. Suhu
mempengaruhi pertumbuhan jamur, misalnya P. ochraceus memproduksi OTA
A B
Gambar 1. Ochratoxicosis : sesak nafas (A); pertumbuhan terganggu (B)
distal serta fibrosis pada intersitium. Pada kalkun menyebabkan nephrosis dan
secara mikroskopik ditemukan edema dan nekrose sel tubulus.
A B
Gambar 2. Ochratoxicosis : sirosis hati (A), ginjal bengkak dan pucat (B)
Gambar 3. Ochratoxicosis : A. hidroperikardium (→) dan sirosis (A); B. ascites dan fibrin (*)
Gambar 4. Ochratoxicosis : kongesti vena sentralis, degenerasi hepatosit, inti piknotik (p)
dan shrunken (s)
Gambar 5. Ochratoxicosis : endapan protein pada lumen tubulus, infiltrasi sel mononukleus
pada intersitium ginjal
Pada kasus sub akut OTA pada ayam, itik dan kalkun menyebabkan
kebengkakan pada hati dan ginjal, sedangkan organ-organ limfoid mengecil
serta enteritis katarhalis. Lesio mikroskopik yang ditemukan adalah degenerasi
hepatosit dan deplesi pada organ pertahanan. Infiltrasi sel radang pada lamina
propia usus dan nephrosis. Pada kasus kronis terjadi nephrosis pada ginjal dan
osteoporosis.
Ochratoxin menyebabkan immunosupresif pada inang, sehingga menjadi
lebih peka terhadap infeksi panyakit unggas lainnya. Imunosupresif akibat
ochratoxin terjadi karena ochratoxin menghambat sistem imun (humoral, innate
DAFTAR PUSTAKA
Carmen, S., I. Coman, Gh. Solcan, L. Miron and O.Z. Oprean. 2008. Histological and
ultrastructural lesions of the kidney in experimental ochratoxicosis of broiler
chickens. Bulletin UASVM, Veterinary Medicine 65(1)
Elaroussi, M.A., F.R. Mohamed, M.S. Elgendy, E.M. El Barkouky, A.M. Abdou and M.
H. Hatab. 2008. Ochratoxicosis in Broiler Chickens: Functional and
Ezekiel C.N., A.C. Odebode, S.O. Fapohunda, G.O. Tayo, O.J. Olawuyi, O.B. Olaoye,
A.O. Olarinmoye and O.O. Adeyemi. 2011. Toxigenic Potential of Co-
occurring Aflatoxin and Ochratoxin A Detected in Poultry feed on Clarias
gariepinus Larvae. Nature and Science : 9(5).
http://www.sciencepub.net/nature
Food and Agriculture Organization of The United Nations. 2004. Assessing quality
and safety of animal feeds. FAO, Animal Production and Health. 159p.
Hossain, SA., N. Haque, M. Kumar, UB. Sontakke and AK. Tyagi. 2011. Mycotoxin
residues in poultry product : Their effect on human health and control.
Wayamba J. Anim. Sci. 1303453009 : 92 – 96
Iheshiulor, O.O.M., B.O. Esonu, O.K. Chuwuka, A.A. Omede, I.C. Okoli and I.P.
Ogbuewu. 2011. Effect of mycotoxins in animal nutrition : A review. Asian J.
of Anim. Sci. 5 (1) : 19 – 33.
Kamei, K. and A. Watanabe. 2005. Aspergillus mycotoxins and their effect on the
host. Med. Mycology. Supplement 1 (43) : S95-S99
Manegar G. A., B.E. Shambulingappa and K.J. Ananda. 2010. Studies on Tolerance
Limit of Aflatoxin in Commercial Broilers. Libyan Agric. Res. Cen. J. Intl., 1 (3):
177-181
Muñoz, R., M.E. Arena, J. Silva, and S.N. González. 2010). Inhibition of mycotoxin-
producing Aspergillus nomius VSC 23 by lactic acid bacteria and
Saccharomyces cerevisiae. Brazilian Journal of Microbiology 41: 1019-1026
Saif, YM et al. (editors). 2003. Diseases of Poultry, 11 thed. Iowa State University
Press, USA.
Shareef, A. M. 2010. Molds and mycotoxins in poultry feeds from farms of potential
mycotoxicosis. Iraqi Journal of Veterinary Sciences, 24 (1) : 17-25
Xue C.Y., G.H. Wang, F. Chen, X.B. Zhang, Y.Z. Bi, and Y.C. Cao. 2010.
Immunopathological effects of ochratoxin A and T-2 toxin combination on
broilers. Poultry Science 89 :1162–1166
PATOLOGI UNGGAS
OLEH
DIVISI PATOLOGI
DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2019