Anda di halaman 1dari 52

Oleh:

Victoriano K. D. Mbula 1409010011


Faustinus M. Kaka 1409010016
Jenet M.D. Rotte 1409010047
Olivia Maria Udjan 1409010002
Winda A. Tosi 1409010010
 Clostridium sp. adalah bakteri gram positif
berbentuk batang anaerobik atau mikroaerofilik
yang menghasilkan endospora. Kebanyakan
spesies menguraikan protein dan meragi
karbohidrat, banyak pula yang menghasilkan
eksotoksin. Beberapa spesies bersifat patogenik
dan banyak yang terdapat sebagai saprofit di
dalam tanah dan saluran pencernaan manusia
dan hewan.
 Bakteri genus Clostridium memiliki jumlah spesies yang sangat banyak yaitu
181 spesies. Beberapa spesies Clostridium bersifat patogen bagi manusia,
hewan domestik, atau satwa liar dan bertanggung jawab untuk penyakit
clostridial terkenal seperti tetanus, gangren gas, botulisme, kolitis
pseudomembran, dan penyakit karena makanan. Selain itu, Clostridia dapat
terlibat dalam berbagai infeksi manusia, seperti kolesistitis, pneumonia,
bakteremia, empiema, dan abses.
 Namun, terdapat banyak pula klostridia nonpathogenic, dan mungkin tidak
terlibat dalam proses penyakit. Oleh karena itu, identifikasi diandalkan
clostridia, diisolasi dari spesimen klinis, adalah penting. Selain itu, link
harus dibangun antara clostridia terisolasi dan perubahan patologis.
 Domain: Bacteria
 Phylum: Firmicutes
 Class: Clostridia
 Order: Clostridiales
 Family: Clostridiaceae
 Genus: Clostridium
 Selected species: C. botulinum, C. tetani, C. perfringens, C. novyi, C.
haemolyticum, C. septicum, C. chauvoei, C. sordelli, C. spirofrome, C.
difficile, C .colinum, C. piliforme
 Habitat

Distribusi mereka bervariasi tergantung pada spesies


yang terlibat, tetapi secara umum dapat ditemukan di
dalam tanah, air tawar dan sedimen laut.
Beberapa jenis dari bakteri ini merupakan penghuni
umum dari saluran usus manusia dan hewan lainnya.
Untuk beberapa spesies, kanal usus adalah habitat utama
dan kehadiran mereka dalam tanah di karenakan
kontaminasi feses.
Mereka bertahan dalam ruang ekologi dengan potensi
oksidasi-reduksi yang rendah, dan dapat bertahan hidup
pada lingkungan yang merugikan sebagai spora.
 Perkembangbiakkan

 Oksigen bebas menghambat pertumbuhan Clostridium,


meskipun mereka memiliki perbedaan dalam hal. Lebih
dari 2% sampai 10% CO2 dapat membunuh bakteri ini.
 Kebanyakan Clostridium akan tumbuh dalam inkubator
jika potensi oksidasi-reduksi cukup rendah. Hal ini dapat
dilakukan dengan menambahkan zat reduksi, beberapa di
antaranya dengan menyerap oksigen
 Akan tumbuh pada agar nutrien tanpa penambahan darah
atau serum namun pertumbuhan dapat ditingkatkan
dengan fermentasi karbohidrat misalnya glukosa.
 Sistem Pertahanan

 Sebagai sel vegetatif, bakteri ini tidak tahan terhadap


panas jika dibandingkan dengan organisme vegetatif
lainnya.
 Pada tahap sporing semua anggota Clostridium memiliki
ketahanan terhadap variabel panas yang berbeda-beda.
Spora C. botulinum, misalnya, tahan terhadap air didih
selama 3 sampai 4 jam. Spora C.novyi kurang tahan
daripada C. botulinum. Air didih dapat
 Semua Clostridia sensitif terhadap PENICILLIN
meskipun sensitivitas mereka untuk agen antimikroba
lainnya adalah TIDAK dapat diprediksi.
 How do they cause disease?

 Clostridium menghasilkan berbagai macam eksotoksin yang


berbeda dan memiliki berbagai sifat. Produksi eksotoksin
dapat dikodekan pada DNA genomik, tetapi lebih sering
dikaitkan dengan plasmid atau fag.
 Terdapat banyak cara untuk membahas Clostridia dan
penyakit yang disebabkan. Salah satunya adalah dengan
mempelajari organisme secara individual dan sampai batas
tertentu. Cara lain adalah dengan melihat mereka dalam
kelompok-kelompok sesuai dengan jenis umum dari kondisi
penyakit yang terjadi.
 Penyakit klostridial dapat dibagi menjadi tiga kategori:
 Histotoksik - toksin dalam jaringan (otot, ambing, hati)
 ENTEROTOXIC - racun dalam darah, tetapi diserap dari usus
 Neurotoksik - racun dalam saraf
Point Penting: The major disease syndromes
caused by Clostridium species are botulism,
tetanus, malignant oedema, black leg, black
disease and enterotoxaemia
 I) Penyakit histotoksik
Setiap jaringan dalam tubuh mungkin terlibat dalam
penyakit histotoksik tetapi jaringan utama yang diserang
adalah Otot, Hati, Kel. Ambing, dan Usus.
Organisme yang terlibat: C.perfringens, C.chauvoei,
C.novyi, C.sordellii, C.septicum, C.haemolyticum.
 a) gas gangren (myonecrosis atau edema ganas)
Jenis utama penyakit histotoksik melibatkan otot dan disebut
myonecrosis, GAS gangren atau Edema ganas. Racun dan
enzim yang diproduksi selama penggandaan organisme dan
kerusakan terjadi pada otot dan jaringan lokal. Penyerapan
toksik secara sistemik menyebabkan kematian. Nama "gas
gangren" dikarenakan produksi gas oleh Clostridium (terutama
hidrogen dan nitrogen), yang mengarah ke "krepitus" (terasa
seperti "bubble wrap" ketika kita menyentuh kulit).
 Dasar kerusakan jaringan adalah dengan kehadiran
organisme dalam jaringan dan kondisi yang tepat
untuk perkecambahan spora.
 Umumnya disebabkan oleh beberapa kontaminasi
eksternal jaringan (melalui luka, patah tulang
majemuk, dll), atau dengan menelan organisme yang
kemudian berkembang biak secara luas.
 Organisme kemudian bertambah banyak,
menghasilkan racun dan enzim.
 lesi akan menyebar dengan pertumbuhan lanjutan
dari bakteri oleh aktivitas toksin yaitu nekrosis
akibat berkurangnya pasokan oksidasi darah dan
jaringan berkurang.
C.perfringens adalah penyebab utama
myonecrosis / gas gangren - lebih dari 70%
kasus. Bakteri ini mungkin terlibat sendiri atau
dalam kombinasi dengan spesies lain. Patologi
gangren gas karena C.perfringens mungkin
adalah hasil dari alpha toksin tapi protease
lainnya yang mungkin terlibat, misalnya Dnase
dan kolagenase.
 b) Selulitis Anaerobik
 Merupakan bentuk gangren myonecrosis /
gas yang kurang agresif . Namun, mungkin
berkembang waktu dengan waktu dapat
menjadi gas gangren.
 Selulitis anaerobik dapat terjadi oleh infeksi
berbagai spesies klostridial.
 c) Blackleg
Nama ‘blackleg' secara khusus disediakan untuk
myonecrosis emphysematous yang disebabkan C.
chauvoei, terutama pada sapi (tapi kadang-kadang
domba) dan sering tanpa adanya luka menembus jelas.
Blackleg paling sering terjadi pada anak sapi yang berusia
kurang dari 3 tahun.
otot hindlimb paling sering terkena tetapi dapat juga pada
miokardium, diafragma atau lidah.
Tanda-tanda klinis mungkin termasuk demam, anoreksia,
depresi dan ketimpangan tapi kematian mendadak tanpa
tanda-tanda klinis yang diamati adalah umum.
Gejala Klinis
 Onsetnya biasa cepat, beberapa sapi ditemukan mati tanpa tanda atau
gejala klinis
 Kepincangan hebat yang akut dan depresi berat umum terlihat
 Awalnya, demam namun ketika gejala klinis semakin jelas, suhu tubuh
menjadi normal ataupun subnormal
 Pembengkakan edematous yang khas terjadi di daerah pinggul, bahu,
dada, punggung, leher, atau tempat lain.
 Mulanya berukuran kecil, panas, dan sakit. Namun ketika berlanjut akan
membasar teraba krepitasi dan kulit dingin dan insensitif karena
menurunnya suplai darah ke daerah tsb.
 Gejala umum meliputi lesu dan tremor. Kematian terjadi dalam 12 – 48 jam
 Pada beberapa sapi, lesi terbatas pada myocardium dan diafragma
Diagnosis
 Penyakit fatal yang berjalan secara cepat yang terjadi pada sapi yang
dalam keadaan score tubuh baik, terutama sapi potong, menderita
pembengkakan kresipitasi pada otot-otot berat mengindikasikan
blacklag
 Otot yang terserang berwarna merah gelap hingga hitam, kering, dan
berbusa. Otot memiliki bau agak khas, terinfiltrasi oleh gelembung udara
dan sedikit edema
 Kadang perubahan jaringan yang disebabkan oleh C septicum, C
novyi, C sordellii, dan C perfringens menyerupai blacklag
 Diagnosis lapangan diteguhkan dengan menemukan C chauvoei di
dalam otot
 Sampel otot supaya diambil sesegera mungkin setelah hewan mati.
 Fluorescent antibody test (FAT) merupakan uji yang cepat untuk
mendeteksi adanya C chauvoei
Kontrol
 Vaksin multivalen yang mengandung antigen C chauvoei, C septicum, C
novyi sudah tersedia dan aman digunakan untuk sapi dan domba
 Pedet umur 3-6 bulan harus divaskinasi 2 kali, dengan interval 4 minggu,
diikuti dengan booster tahunan
 Pada keadaan wabah, semua hewan peka harus divaksinasi dan disuntik
penicillin untuk mencegah munculnya kasus baru setidaknya untuk selama
14 hari
 Sapi harus dipindahkan dari padang yang terinfeksi
 Domba induk harus divaksinasi 2 kali 1 bulan sebelum melahirkan dan
vaksinasi tahunan
 Domba muda harus divaksinasi sebelum mulai merumput
 Dalam keadaan wabah, penyuntikan penicillin dianjurkan sebagai
profilaktik
 d) Big Head
Umumnya terjadi infeksi pada domba jantan
dan terkait dengan C.novyi tipe A (tetapi
spesies lain mungkin terlibat juga). Ditandai
dengan pembengkakan kepala, leher dan /
atau thorax kranial, karena edema. Hasil dari
kepala menyeruduk, yang memungkinkan
masuknya organisme tanah ke dalam
subcutis kepala.
 e. INFECTIOUS NECROTIC HEPATITIS
(“BLACK DISEASE”)
 Disebut juga infeksi Clostridium novyi, dan
black disease
 Infectious necrotic hepatitis adalah penyakit
toksemia akut pada domba dan kadang
terjadi pada sapi dan jarang terjadi pada babi
dan kuda
Etiologi dan Patogenesis
 Agen etiologik adalah C novyi tipe B. Kuman berada
di tanah dan terdeposisi di dalam usus dan liver
herbivora. Kuman bisa berada di kulit dan menjadi
sumber infeksi bagi luka
 Kuman berproliferasi di daerah nekrosis pada hati.
Nekrosis disebabkan oleh migrasi cacing hati dan
menghasilkan toksin penyebab nekrosis hebat (ά
toksin)
 Menimbulkan kerusakan pada parenkim hati,
memungkinkan bakteri untuk bermultiplikasi dan
menghasilkan sejumlah toksin lethal.
Gejala Klinis
 Biasanya hewan mati tanpa gejala yang jelas
 Hewan yang diserang berumur 2-4 tahun
 Kasus infeksi terjadi bersamaan dengan
tingginya infeksi cacing hati
 Penyakit lebih banyak dialami oleh domba
dewasa yang dipelihara baik
 Hewan yang mati secara perakut dan
menunjukkan lesi tipikal saat nekropsi harus
dicurigai sebagai infectious necrotic hepatitis
Kontrol
 Insiden penyakit dapat diturunkan dengan
menurunkan populasi siput Lymnea spp,
hospes intermediat cacing hati (Fasciola sp)
 Vaksinasi dengan toxoid presipitat
alumunium C novyi efektif mencegah infeksi
 Pemusnahan bangkai yang tepat
 f) Basiler Haemoglobinuria (“red water")
 Haemoglobinuria basiler disebabkan oleh
infeksi C.haemolyticum (sebelumnya dikenal
sebagai C.novyi tipe D).
 Bakteri ini mungkin memiliki distribusi di
seluruh dunia, tetapi tidak melimpah seperti
Clostridium lain dalam usus atau tanah.
 Penyakit ini dilaporkan terutama di Amerika
Serikat, tetapi jarang di Australia (sehingga
vaksin tidak tersedia di sini). Paling sering
terlihat pada sapi, kurang umum pada domba.
Etiologi dan Patologi
 haemoglobinuria basiler adalah paling
umum pada sapi.
 Modus penularan adalah melalui saluran
pencernaan.
 Organisme diperkirakan mencapai hati secara
hematogen.
 Jika ada kerusakan pada hati (misalnya. Cacing
hati kutu), organisme berkembang biak di
lingkungan anaerobik.
 Gejala Klinis
 Toksin yang dihasilkan adalah racun beta
(fosfolipase C) - bersifat mematikan,
necrotising dan juga hemolisis.
 Hewan mengalami demam, sakit perut dan
urin berwarna merah tua (haemoglobinuria).
 Edema subkutan kadang-kadang hadir.
 Biasanya mati karena anoksia (yang
disebabkan oleh anemia hemolitik akut)
dalam 1 sampai 4 hari.
 II) Clostridium yang Menyebabkan ENTEROTOXEMIA
a) ENTEROTOXEMIA domba dan kambing (“Pulpy Kidney")

 Enterotoksemia klasik pada domba, cukup sering pada kambing,


dan jarang pada sapi
 Tersebar di seluruh dunia, menyerang hewan semua umur
 Lebih banyak terjadi pada domba yang diberi pakan tinggi
karbohidrat, atau kadang pada hewan yang merumput pada
pastura hijau yang subur
 Penyakit ini dikaitkan dengan pedet yang mendapatkan pakan
gizi bagus, merumput di padang yang subur, dan sindrom
kematian mendadak (sudden death syndrome) pada sapi yang
digemukkan (feedlot)
Etiologi

 Agen utama adalah C perfringens tipe D


 Faktor predisposis adalah ingesti sejumlah besar pakan secara
berlebihan atau pada hewan muda ingesti susu dalam jumlah
banyak
 Pada hewan yang digemukkan, penyakit sering terjadi pada
individu yang dirubah pakannya dengan biji-bijian kaya
karbohidrat
 Meningkatnya kandungan karbohidrat akan menjadi media yang
cocok untuk proliferasi C perfringens dan menghasilkan toksin
epsilon
 Toksin epsilon menyebabkan kerusakan vaskuler, terutama pada
kapiler di otak
 Banyak domba dewasa membawa strain C perfringens tipe D
sebagai bagian mikroflora di dalam intestinumnya, yang
kemudian menjadi sumber infeksi bagi hewan yang dilahirkannya
 Sebagian besar hewan karier tersebut, meski tidak divaksinasi,
memiliki titer serum antitoksin
Gejala klinis
 Sudden death pada domba muda yang mendapatkan pakan baik
adalah indikasi pertama penyakit ini
 Opisthotonus, berputar, dan menyandarkan kepala kepada obyek
keras tertentu adalah gejala-gejala gangguan neurologik
 Seringkali, hiperglisemia ataupun glikosuria
 Diare dapat/ataupun tidak terlihat
 Domba dewasa dapat juga diserang, menunjukkan kelemahan,
inkoordinasi, konvulsi, dan mati dalam 24 jam
 Pada kambing, penyakit berjalan perakut hingga kronis, dengan
gejala diare berair dengan/tanpa darah hingga sudden death
Kontrol
 Metode kontrol bergantung pada umur domba, frekuensi penyakit,
dan manajemen peternakan (pakan)
 Jika penyakit terjadi secara konstan pada suatu peternakan maka
imunisasi merupakan pilihan terbaik untuk pengendalian penyakit
 Induk pembiak harus mendapatkan 2 kali injeksi toksoid tipe D di
tahun pertama, lalu injeksi booster 4-6 minggu sebelum
melahirkan, dan kemudian vaksinasi tahunan
 Enterotoksemia pada domba penggemukan (feedlot) dikendalikan
dengan mengurangi jumlah konsentrat di dalam diet/pakan.
 Akan tetapi cara tsb di atas tidak ekonomis. Imunisasi semua
domba muda dengan toksoid sebelum masuk program
penggemukan merupakan cara terbaik dan dapat mengurangi
kerugian hingga level yang acceptabel
b) Enterotoksemia oleh C. perfringens tipe A

 Strain-strain C. perfringens tipe A adalah bagian


mikroflora normal di dalam usus hewan dan tidak
memiliki toksin poten sebagaimana diproduksi oleh
strain tipe lain
 C. perfringens enterotoksin (CPE) adalah toksin utama
yang terlibat di dalam penyakit keracunan makanan
(foodborne illness) dan juga dikaitkan diare bukan
keracunan makanan (non-foodborne diarrheal disease)
pada berbagai hewan.
 C. perfringens juga menghasilkan toksin penyebab
nekrosis pada kasus enteritis nekrotik pada unggas
dan anjing, colitis pada kuda, babi, dan diare
nosokomial akut atau kronik pada anjing.
c) Enterotoksemia oleh C perfringens tipe B dan C

 Menyebabkan enteritis berat, disentri, toksemia, dan


mortalititas tinggi pada anak domba, pedet, genjik, dan anak
kuda
 Tipe B dan C menghasilkan toksin beta yang bersifat sangat
nekrotik dan lethal menimbulkan kerusakan hebat pada
intestinum
 Toksin beta ini sensitif terhadap enzim proteolitik, dan penyakit
ini dikaitkan dengan inhibisi (hambatan) proteolisis di dalam
intestinum
 Kolostrum babi mengandung inhibitor trypsin diduga sebagai
faktor meningkatnya kepekaan anak babi terhadap infeksi
 Tipe C juga menimbulkan enterotoksemia pada sapi, domba,
dan kambing dewasa
d) Clostridium perfringens Tipe E
 Yang disebut "enterotoxemia" disebabkan
oleh C.perfringens Jenis E lebih mengarah
pada penyakit histotoksik karena
menghasilkan toxik alpha dan iota yang
disebabkan nekrosis mukosa usus yang
menyebabkan disentri.
 Penyakit ini dilaporkan di Amerika Serikat,
Inggris dan Australia.
Gejala Klinis
 Disentri pada anak domba umur kurang dari 3 minggu
 Hewan dapat mati tanpa tanda sakit, namun
kebanyakan berhenti minum susu, lesu, dan tetap
berbaring
 Diare dengan sedikit warna darah umum ditemukan
 Kematian terjadi dalam beberapa hari
 Pada pedet, diare akut, disentri, kesakitan perut,
kejang. Kematian dapat terjadi dalam beberapa hari
 Pada genjik: diare akut, disentri, kemerahan anus,
mortalitas tinggi. Sebagian besar mati dalam 12 jam
 Pada anak kuda: disentri akut, toksemia, dan mati
cepat.
Treatment dan Kontrol
 Treatment biasanya tidak efektif karena cepat
dan ganasnya penyakit. Namun dapat dicoba
menggunakan serum hiperimun dan antibiotika
per oral
 Penyakit dapat dikontrol dengan cara vaksinasi
pada induk bunting terutama pada 3 bulan
terakhir masa kebuntingan; 2 kali vaksinasi
dengan jeda 1 bulan. Selanjutnya dilakukan
vaksinasi setiap tahun
 Ketika terjadi wabah pada hewan muda,
antiserum harus diberikan segera setelah hewan
lahir
 III) NEUROTOXIC DISEASE (penyakit
Neurotoksis)
A) Botulismus
 Botulismus adalah penyakit lumpuh secara
cepat yang disebabkan oleh ingesti toksin yang
diproduksi oleh Clostridium botulinum tipe A-G
 Kuman anaerob, berspora, berproliferasi di
dalam jaringan hewan yang mengalami
dekomposisi dan kadang-kadang pada material
tanaman.
 Botulismus pada prinsipnya adalah suatu intoksikasi, bukan
infeksi, dan dihasilkan oleh ingesti toksin di dalam makanan
 Ada 7 tipe C botulinum, dibedakan berdasarkan spesifitas
antigenik terhadap toksin: A, B, C1, D, E, F, dan G. Tipe A, B,
dan E adalah yang paling penting bagi orang; C1 bagi hewan,
terutama bebek liar, angsa, ayam, mink (cerpelai), sapi, dan
kuda; dan D pada sapi.
 Hanya 2 wabah pada orang yang pernah dilaporkan terjadi
oleh tipe F. Sedangkan tipe G belum diketahui efek
toksisitasnya baik pada orang maupun hewan
 Sumber utama toksin adalah karkas yang mulai membusuk,
ataupun bahan-bahan vegetasi seperti rumput, hay, biji-bijian
yang mulai membusuk, atau silase yang tercemar.
 Semua tipe toksin memiliki efek farmakologik sama
 Seperti tetanus, toksin botulinum adalah suatu enzim
metalloprotease yang mengikat zink dan efeknya adalah
memotong protein spesifik pada vesikel sinapsis.
 Reseptor permukaan neuron motorik sangat bervariasi dalam
respon terhadap toksin botulinum. Hal ini menjelaskan fakta
adanya perbedaan species dalam kepekaannya terhadap berbagai
toksin botulinum
 Tingkat insidensi botulismus pada hewan tidak diketahui secara
pasti, namun relatif rendah pada sapi dan kuda, mungkin lebih
sering pada ayam, dan tinggi pada unggas air yang liar
 Anjing, kucing, dan babi relatif resisten terhadap semua tipe
toksin botulinum ketika diberikan per oral
 Gejala botulismus berupa paralisis otot yang meliputi
paralisis motorik secara progresif, gangguan penglihatan,
sukar mengunyah dan menelan, dan kelemahan progresif
secara umum
 Kematian biasanya akibat paralisis otot jantung atau otot
respiratorik
 Toksin mencegah/menghambat pelepasan asetilkolin pada
ujung sambungan neuromuskuler (neuromusculer junction)
 Tidak ada lesi histologik ataupun perubahan makro anatomi
menciri yang bisa diamati
 Perubahan patologik lebih berhubungan dengan aksi
paralitik toksin terhdap otot-otot sistem pernafasan, dan
tidak berefek pada organ lain
 Filtrat lambung dan usus dapat digunakan
untuk menguji toksisitas pada mencit
 Dalam kasus toxico-infectious, organisme
mungkin dapat diisolasi dari jaringan hewan
terinfeksi
 ELISA adalah uji yang cukup efektif dan
efisien dalam menguji sejumlah besar sampel
yang diduga mengandung toksin botulinum
 Rumput dan komponen pakan lain yang busuk tidak
boleh digunakan sebagai pakan
 Imunisasi sapi dengan toksoid tipe C dan D di Afrika
Selatan dan Australia dilaporkan efektif
 Treatment menggunakn antitoksin botulinum tipe C
pada bebek dilaporkan berhasil; namun treatmen ini
jarang diterapkan kepada sapi
 Pengobatan dini menggunakan antitoksin B (30.000
IU, IV) pada anak kuda sebelum hewan rebah
dilaporkan sukses
 Prognosis biasanya buruk pada hewan yang telah
roboh (recumbency)
B) Tetanus (Lockjaw)
 Toksemia tetanus disebabkan oleh neurotoksin
spesifik yang dihasilkan oleh Clostridium tetani di
dalam jaringan nekrotik
 Hampir semua mamalia peka, meskipun anjing dan
kucing relatif resisten dibandingkan hewan domestik
dan hewan laboratorium lainnya
 Burung cukup resisten; dosis letal untuk merpati dan
ayam adalah 10.000 – 30.000 kali lebih besar (atas
dasar berat badan) dari kuda
 Kuda nampaknya adalah species yang paling sensitif,
di samping manusia
 C tetani adalah bakteri anaerob dengan spora yang berbentuk oval dan terletak di
ujung sel vegetatif-nya
 Organisme di temukan di tanah dan saluran pencernaan
 Pada sebagian besar kasus, kuman masuk ke dalam jaringan melalui luka,
terutama luka tusuk yang dalam, yang memberikan kondisi/lingkungan anaerobik
yang cocok untuk pertumbuhan
 Pada domba, dan kadang species hewan yang lain, tetanus biasnya menyertai
tindakan pemotongan organ (telinga, tanduk) ataupun kastrasi
 Spora kuman tidak mampu untuk tumbuh pada jaringan normal atau pada luka
yang jaringannya tetap mengalami potensi oksidasi-reduksi akibat darah yang
bersirkulasi
 Kondisi yang cocok terjadi ketika sejumlah kecil tanah ataupun obyek asing
menimbulkan nekrosis jaringan
 Bakteri tetap terlokalisir di dalam jaringan nekrotik tsb dan mulai menggandakan
diri
 Ketika bakteri mengalami autolisis, neurotoksin poten terbebaskan
 Masa inkubasi berlangsung 1 hingga beberapa minggu
tetapi biasanya 10 – 14 hari
 Kekakuan lokal, sering melibatkan otot masseter dan
otot-otot di bagian leher, kaki belakang, dan daerah di
sekitar luka terinfeksi adalah merupakan tanda-tanda
awal
 Kekakuan umum muncul sehari kemudia, dan spasmus
tonik serta hiperestesia muncul jelas
 Oleh karena tingkat resistensi yang tinggi, anjing dan
kucing biasanya memiliki masa inkubasi yang lebih
panjang dan sering kali menunjukkan tetanus lokal; akan
tetapi tetanus umum juga terjadi pada species ini
 Ketika refleks meningkat di dalam intensitasnya, hewan mudah
tereksitasi dan bergerak secara kasar tidak terkendali
 Spasmus pada otot kepala menyebabkan kesukaran melakukan
prehensi dan mastikasi makan, karena itu dinamakan ‘lockjaw’
(rahang terkancing)
 Pada kuda, telinga berdiri, ekor kaku dan lurus, lubang hidung
dilatasi, kelopak mata ketiga prolapsus
 Hewan biasanya berkeringat banyak
 Spasmus umum mengganggu sirkulasi dan respirasi,
menyebabkan denyut jantung meningkat, pernafasan cepat, dan
kongesti selaput lendir (membrana mukosa)
 Biasanya suhu tubuh sedikit di atas normal, tetapi dapat
meningkat menjadi 42 – 43 C
 Mortalitas rata-rata 80%
 Pada hewan yang sembuh, periode convalesens 2-6 minggu
 Imunitas protektif biasanya tidak berkembang pada hewan yang
sembuh
 Jika dilakukan di awal penyakit, pemberian agen curariform, tranquilizer,
atau sedativa barbiturat, berbarengan dengan injeksi IV 300.000 IU
antitoksin 2 kali sehari memberikan hasil efektif pada kuda
 Hasil yang baik juga dilaporkan dengan injeksi 50.000 IU antitoksin tetanus
langsung ke dalam ruang subarachnoide melalui cisterna magna
 Terapi ini juga harus didukung dengan pengeringan dan pembersihan luka
dan pemberian penicillin atau antibiotik spektrum luas
 Perawatan yang baik juga harus diperharikan selama periode akut
 Kuda harus ditempatkan di dalam kandang yang tenang dan gelap dengan
tempat makan dan minum cukup tinggi sehingga kuda dapat mengakses
tanpa perlu merendahkan kepalanya
 Imunisasi aktif dapat dilakukan dengan injeksi toksoid tetanus
 Jika suatu luka berbahaya terjadi setelah imunisasi, injeksi toksoid kedua
dapat dilakukan untuk meningkatkan antibody yang bersisrkulasi
 Jika hewan belum pernah diimunisasi sebelumnya, ia perlu
diinjeksi dengan 1500 – 300 IU atau lebih antitoksin tetanus, yang
biasanya kan memberikan perlindungan pasif sampai 2 minggu.
 Toksoid harus diberikan secara simultan (bersamaan) dengan
antitoksin dan diulangi 30 hari kemudian

 Kuda betina harus divaksinasi pada 6 minggu terakhir masa


kebuntingannya dan anaknya divaksinasi pada umur 5-8 minggu
 Pada daerah yang berisiko tinggi, anak kuda harus diberikan
antitoksin tetanus segera setelah lahir dan setiap 2-3 minggu
hingga berumur 3 bulan, pada saat dimana mereka sudah boleh
mendapatkan injeksi toxoid
 A) C.spiroforme
 organisme ini menyebabkan enterotoxaemia
kelinci dan tikus laboratorium.
 Kebersihan yang buruk, stres dan diet
mempengaruhi kemungkinan penyakit.
 Terapi antibiotik atau proses penyapihan
mengganggu mikroflora sekum dan
memungkinkan organisme untuk berkembang
biak.
 Tanda-tanda klinis mencakup berisi cairan usus
buntu sangat melebar.
 B) C.difficile
 C.difficile telah diisolasi dari sedimen laut, tanah, pasir,
lingkungan rumah sakit, kotoran non diarrhoeic manusia,
unta, keledai, anjing dan kucing (hingga 39% prevalensi),
burung peliharaan, ternak. kolitis pseudomembran pada
manusia, babi dan anak kuda.
 Menghasilkan dua racun – Toxin A (an enterotoksin -
menyebabkan akumulasi cairan dalam usus) dan toksin B
(racun mematikan).
 Terkait dengan penggunaan antibiotik (paling sering
ampisilin, klindamisin dan sefalosporin) atau beberapa
obat anti-kanker.
 Gejalanya mulai dari diare ringan sampai megakolon
toksik dan perforasi usus
 C) C. Colinum
 enteritis ulseratif pada burung (penyakit puyuh)
 D) C.septicum
 Abomasitis (alias Braxy atau Bradcot) adalah
penyakit domba, terutama di Inggris dan Eropa.
 Timbul setelah makan pakan sukulen beku yang
merusak dinding abomasal dan duodenum dan
memungkinkan invasi organisme clostridial yang
tertelan.
 Hal ini menyebabkan nekrosis dan perdarahan
edema dari abomasal dan dinding duodenum.
 Textbook for Veterinary Microbiology (VETS3040) and
Animal Disease (VETS3038)
 www. Wikipedia.com//clostridium//
 International Programme on Chemical Safety Poisons
Information Monograph 858 Bacteria – WORLD HEALTH
ORGANIZATION
 Widyasari, Kumala.2004. Clostridium difficile: penyebab diare
dan kolitis pseudomembranosa, akibat konsumsi antibiotika
yang irasional. Jurnal Kedokteran Trisakti. Bagian
Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti

Anda mungkin juga menyukai