Entamoeba histolytica
Giardia lambia
Schistosoma
Taenia
Ascaris lumbricoides
Enterobius vermicularis
Chlostridium botulinum
Campylobacter jejuni
Vibrio cholerae
Vibrio parahaemolyticus
Escherichia coli
Shigella dysenteriae
Salmonella typhi
Rotavirus
Calicivirus
Enteric Adenovirus
Hepatitis A
Poliovirus
1
http://www.indonesian-publichealth.com/waterborne-disease/
Penyebab Waterborne Disease karena Parasit
A. Giardia Lambia
Giardia lambia merupakan jenis protozoa yang ditemukan di duodenum dan jejenum
manusia, sehingga menyebabkan giardiasis. Secara morfologi, giardia lambia terbagi
menjadi fase tropozoit dan kista. Pada tropozoit, Giardia Lambia berbentuk seperti
jantung, simetrik, tral dengan panjang 10-20 µm, mempunyai 4 pasang flagela, 2
nukleus dengan prominan karyosome sentral dan 2 axostyle. Sedangkan dalam bentuk
kista, yang berada dalam kolon, dapat ditemukan dalam tinja dalam jumlah banyak,
mempunyai dinding tebal, dengan bentuk elips, panjang 8-14 µm, serta mempunyai 2
nukleus sebelum matur dan 4 nukleus pada kista yang matur.
B. Entamoeba Histolytica
Entamoeba histolytica merupakan parasit yang dapat berada pada usus manusia dan
usus hewan (dengan sebagian ada yang asimptomatik). Patogenesis entamoeba
histolytica dimulai dengan tahap proses keberadaan Kista yang masuk per oral,
kemudian masuk usus duodenum sehingga terjadi amebulae. Kemudian kista ini
masing-masing menghasilkan 8 trophozoite. Sedangkan dampak yang terjadi dapat
timbul penyakit (10% dari infeksi), ketika trophozoite menginfeksi epitel usus.
C. Escherichia coli
Keberadaan escherichia coli dalam tubu, antra lain dapat menyebabkan penyakit
diare, infeksi saluran kencing, meningitis, juga dapat menjadi penyebab terjadinya
infeksi nosokomial di tempat pelayanan kesehatan seperti rumah sakit. Diare yang
disebabkan e.coli antara lain jenis ETEC (Entero oxigenic E. coli) yang
menyebabkan “Treveller’s diarrhoea”, EPEC (Entero Pathogenic E. coli), EIEC
entero Invasive E. coli), EHEC (Entero Hemorrhagic E. coli), EAggEC (Entero
Aggregative E. coli), serta EAEC (Entero Adherence E. coli) sebagai penyebab
“Treveller’s diarrhoea”. Sedangkan E. coli penyebab Infeksi saluran kencing (ISK),
pada umumnya mempunyai karakteristik antigen O bernomer rendah, mempunyai
antigen K, serta tipe pili tertentu.
D. Salmonellosis
Salmonellosis dapat disebabkan oleh Salmonella typhi, Salmonella paratyphi, dan
Salmonella choleraseuis. Reservoir salmonellosis antara lain unggas, binatang
pengerat, ternak, binatang piaraan, seperti kura-kura atau burung beo. Sedangkan
mekanisme infeksi melalui makanan dan minuman seperti telur, daging, susu, dan air.
Terjadinya diare pada salmonellosis antara lain karena kemampuan invasi dan
transitosis enterosit mengakibatkan meningkatkan permeabilitas vaskular dan respon
inflamasi pada sel enterosit. Juga adanya enterotoksin tidak tahan panas yang dikenali
oleh anti LT (E. coli) dan Koleragen (dari V. cholerae), tetapi tidak dikenal oleh
reseptor GM1. Beberapa strain mampu menembus lebih dalam sehingga dapat masuk
pembuluh darah.
E. Shigella
Shigella pertama kali diisolasi pada 1896 oleh Kivoshi Shiga. Beberapa spesies yang
sering menimbulkan diare pada manusia, antara lain S. dysenteriae, S. flexneri, S.
sonnei, S. boidii. Dosis infeksi shigella beraada pada range 103 sel bakteri, dengan
masa inkubasi 1-2 hari. Secara prinsip pathogenesis shigella dimulai ketika terjadi
invasi epitel mukosa yang menghasilkan toksin sehingga menyebabkan nekrosa
membran mukosa, ulserasi superfisial, serta perdarahan, sehingga pada akhirnya
menyebabkan terjadinya pseudomembran.
Gejala umum penyakit ini antara lain sakit perut mendadak, demam, diare berat yang
disertai lendir dan darah. Diare ini berkurang dalam 2-5 hari. Sedangkan pengobatan
dapat dilakukan melalui pemberian cairan (rehidrasi) dan pemberian antibiotika
ampisilin, tetrasiklin,siprofloksasin, kloramfenikol, trimetroprim-sulfametoksasol.
F. Staphylococcus
Toksin dan enzim yang dihasilkan staphylococcus
Staphylococcus banyak menghasilkan enzim dan toksin yang berfungsi sebagai faktor
virulensi, antara lain Leukosidin yang pada S. aureus mampu membunuh leukosit;
Hialuronidase yang dapat memecah asam hialuronat (komponen jaringan ikat)
sehingga menjadi faktor penyebaran; Stafilokinase yang dapat menyebabkan
fibrinolisis, tetapi tidak sekuat streptokinase
G. Clostridium botulinum
C. botulinum biasa terdapat di tanah atau pada kotoran binatang. Spora C. botulinum
sangat tahan panas (100oC, 3-5 jam), namun tidak tahan pemanasan pada pH rendah
atau pada konsentrasi garam tinggi. Toksin C. botulinum dilepaskan pada waktu sel
tumbuh atau lisis. Sedangkan toksin butulinum terdiri dari tipe A, B, E. Toksin ini
menyebabkan botulisme dalam 8-48 jam dengan dengan gejala antara pusing, nausea,
vomiting, sukar menelan atau bernafas. Diagnosa keberadaan C. botulinum dilakukan
dengan deteksi toksin pada serum dan faeces.
H. Leptospira
Keberadaan leptospira dapat dilakukan dengan sampel untuk isolasi yang berasal dari
darah dengan heparin, cairan cerebrospinal, jaringan, atau dengan urine. Patogenesis
leptospira, pada umumnya infeksi dapat terjadi melalui makanan atau air yang
terkontaminasi, melalui membran mukosa, serta melalui kulit yang terluka.
Sedangkan masa penyakit umumnya selama 1-2 minggu, dengan ditandai demam
(bakteremia), masuk ke organ seperti liver dan ginjal, yang pada akhirnya
menyebabkan perdarahan dan kerusakan pada jaringan.
I. Rotavirus
Rotavirus merupakan penyebab diare pada manusia dan binatang, bahkan dapat
menyebabkan terjadinya infeksi silang antar spesies. Patogenesis rotavirus antara lain
melalui beberapa tahapan berikut :
• Infeksi terjadi di usus kecil
• Multiplikasi dalam sitoplasma enterosit
• Sel rusak yang menyebabkan terjadinya pelepasan partikel virus (1010 partikle/
gram tinja)
• Pemulihan kerusakan sel dalam 3-8 minggu
• Terjadinya diare mungkin karena pengurangan absorbsi glukosa dan natrium