Toksoplasmosis
Toksoplasmosis
Kiking Ritarwan
Neurology Department Faculty of Medicine
Sumatera Utara University
ABSTRACT
Cerebral toxoplasmosis is a major cause of morbidity and mortality among HIV-
infected patients, particularly from developing countries. Toxoplasma gondii is an
important intracellular protozoal pathogen of human and animals. T. gondii was the
most often cause opportunistic infections in the brain people with HIV/ AIDS (Human
Immunodeficiency Virus / Acquired Immunodeficiency Syndrome). Patients with AIDS
may develop CNS Toxoplasmosis at some stage. The mechanism in HIV Patients was
depletion of CD 4 T Cells. Greatest incidence when CD4 < 100 cells/mL . Cerebral
toxoplasmosis has typically findings on brain imaging, such as a multiple ring-enhancing
lesions. The majority with seropositive anti-toxoplasmosis IgG antibodies, peaks within
1-2 months after infection. Anti-toxoplasmosis Ig M antibody positive only in the early
phase of infection, decreased / disappeared until the third month in the acute phase.
The antiparasitic drug combination employed is key for effective treatment.
However, the recommended drugs act primarily against the tachyzoites, but do not
eradicate the bradyzoites.
Cerebral toxoplasmosis therapy in AIDS patients includes acute treatment,
secondary prophylaxis (treatment maintenance) and primary prophylaxis. Targeted
therapy to eradicate the parasite and anti-retroviral drugs (ARVs) is intended to correct
immune dysfunction in patients with HIV / AIDS.
Key words: Cerebral Toxoplasmosis, HIV/ AIDS patients, diagnosis, effective treatment
1. PENDAHULUAN
2. DEFINISI
3. EPIDEMIOLOGI
Insiden penyakit ini bervariasi dari satu tempat dengan tempat yang lain, hal ini
bergantung pada keberadaan parasit Toxoplasma sebagai penyebabnya dan
bergantung pada kebersihan daerah tersebut. 3
Di Amerika Serikat dijumpai 3-675 penderita memiliki seropositif terhadap antibodi
T.gondii. Studi awal menunjukkan bahwa 24-47 % penderita AIDS dengan seropositif
T.gondii akhirnya mengalami Ensefalitis Toksoplasmosis. Di Austria, 47% penderita
AIDS dengan seropositif T.gondii dijumpai Ensefalitis Toksoplasmosis. Di Eropa dan
Afrika, diperkirakan 25-50% penderita AIDS dengan seropositif akan mengalami
Ensefalitis Toksoplasmosis. 3
4. ETIOLOGI
Terdapat dua macam siklus hidup dari Toxoplasma gondii ini, yaitu siklus seksual
yang terjadi pada pada hospes definitif (kucing) dan siklus aseksual yang terjadi pada
hospes sekunder (mamalia yang lain, termasuk manusia dan pada beberapa jenis
burung) dan terjadi ekstraintestinal.3
Pada kondisi yang menguntungkan, misalnya panas dan lembab, maka terjadilah
sporogoni didalam ookis. Ookis yang mengalami sporulasi bersifat menular dan bila
termakanoleh rodensia (hewan pengerat), akan mengeluarkan sporozoit didalam usus
halus, sporozoit ini akan berpenetrasi di dinding usus melakukan replikasi dan
menyebar secara hematogen pada hampir semua jaringan. Sekali berada didalam sel,
maka sporozoit ini akan membelah sampai sel inangnya robek dan melepaskan
sporozoit yang akan menginfeksi sel-sel disekitarnya. Seiring dengan berjalannya waktu
kista jaringan akan membelah sangat perlahan. Kista di jaringan ini sangat tidak reaktif
dan bisa bertahan bertahun-tahun tanpa menimbulkan respon inflamasi. Reaktivasi
kista terjadi bila imunitas penderita turun, seperti pada penderita kanker, transplantasi
organ, penggunaan kortikosteroid jangka panjang, dan penderita HIV/AIDS. 3,13,14
III.5. PATOGENESIS
Sering juga terjadi penularan melalui plasenta. Sangat jarang terjadi penularan
melalui transplantasi organ atau transfusi darah. Setelah memasuki usus, maka dinding
kista akan dirusak oleh enzim pencernaan dan akan dilepaskan sporozoit yang
bentuknya lonjong dan kecil. Sporozoit ini akan membentuk tachyzoit dan bradyzoit
(terdapat dalam jaringan dan berkembang lambat). Tachzoit ini akan menginduksi
pembentukan IgA yang spesifik terhadap adanya parasit (parasite spesific secretory IgA
response). Dari dalam usus parasit ini akan menyebar ke berbagai organ, terutama ke
jaringan limfe, otot skelet, myokard, retina, plasenta dan sistem saraf pusat. Parasit
akan menginfeksi sel dan bereplikasi yang akan mengakibatkan kematian dari sel, serta
terjadinya nekrosis fokal yang dikelilingi dengan inflamasi disekitarnya. 3,4,15
Pada penderita yang immunokompeten baik sistem imun seluler maupun humoral
akan mengontrol infeksi yang terjadi. Infeksi Toxoplasma gondii ini akan merangsang
dengan kuat pada Th-1 untuk memproduksi sitokin proinflamasi yaitu IL-12, interferon γ,
TNF-α. Sitokin proinflamasi ini dan mekanisme imunologi yang lain akan menghambat
replikasi tachyzoite dan perubahan patologi yang lain. Setelah masuk ke dalam
enterosit Toxoplasma gondii akan menginfeksi APC (antigen Presenting Cell) lamina
propria usus dan menginduksi terjadinya respon lokal Th-1. 16
T limfosit CD4+ dan CD8+ yang tersensitasi bersifat sitotoksik terhadap sel yang
telah terinfeksi oleh Toxoplasma gondii dan akan menghancurkan parasit yang berada
ekstraselluler, serta yang terinfeksi. Setelah fase akut ini lewat, maka akan terdapat
bradizoit dalam jaringan, terutama di sistem saraf pusat dan retina. Belum diketahui
mekanisme bagaimana Toxoplasma gondii dapat bertahan hidup dalam makrofag
jaringan.16
Kerusakan pada sistem saraf pusat yang disebabkan oleh Toxoplasma gondii
memberikan gambaran khas, yaitu lesi yang banyak/multipel dengan nekrosis luas dan
nodul mikroglia. Pada bayi (infant) adanya gambaran nekrosis dan vaskulitis pada
daerah periventrikuler dan periaquaductus merupakan ciri khas infeksi ini. Area nekrotik
ini dapat mengalami kalsifikasi dan memberikan gambaran radiologis yang nyata, tetapi
tidak khas untuk infeksi Toxoplasma gondii. Apabila terjadi penyumbatan pada
aquaductus sylvii atau foramen Monroe dapat mengakibatkan terjadinya hidrosefalus.
6. GAMBARAN KLINIS
Gejala klinis infeksi Toxoplasma bergantung pada sistem imun penderita. Delapan
puluh persen kasus primer tanpa gejala (asimptomatis). Masa inkubasi periode ini
berlangsung sekitar 1-2 minggu, yang selanjutnya baik yang timbul gejala maupun yang
tanpa gejala akan berlanjut menjadi fase kronis. Biasanya gejala klinis yang timbul tidak
khas, gejala klinis yang paling sering adalah limfadenopati servikal, kadang didapatkan
sedikit peningkatan suhu tubuh, nyeri otot, nyeri telan, sakit kepala, urtika, kemerahan
pada kulit dan hepatosplenomegali sehingga memerlukan pemeriksaan lebih cermat.
Gejala klinis dari ensefalitis toksoplasma dapat berupa gangguan status mental,
panas badan yang dapat terus-menerus atau hilang timbul, sakit kepala, defisit
neurologis fokal, gelisah sampai terjadi penurunan kesadaran, kadang didapatkan
kejang, gangguan penglihatan, selain itu dapat pula didapatkan tanda iritasi selaput
otak. Terjadinya defisit neurologis fokal adalah akibat adanya lesi massa intrakranial,
kadang juga didapatkan adanya gerakan involunter. Pada beberapa penderita dapat
timbul pneumonia dan miokarditis.
2)meningoensefalitis akut dengan nyeri kepala, kaku kuduk, seizure fokal atau
umum, dapat menjadi status epileptikus dan koma,
3) tanda-tanda fokal disebabkan oleh lesi massa tunggal atau multipel, ini
kemungkinan yang paling sering dijumpai dan cenderung bersifat kronik
7. PROSEDUR DIAGNOSTIK
Test terhadap IgM digunakan untuk menetukan apakah suatu pasien telah terkena
infeksi baru-baru ini atau di waktu yang lalu. Oleh karena ada kemungkinan dalam
salah menafsir hasil positif IgM dari hasil percobaan, pengujian untuk konfirmasi
harus dilakukan.
8. NEUROIMAGING
Sekitar 75% nodul-nodul berlokasi di basal ganglia, tetapi dapat juga tersebar
sampai ke bagian serebral lain pada gray matter-white matter. Toxoplasmosis
mempunyai kecendrungan untuk melibatkan basal ganglia, lesi juga dapat timbul di
sepanjang serebellum, batang otak dan medulla spinalis. Perdarahan dan kalsifikasi
dapat timbul selama pengobatan dan dikatakan kalsifikasi berupa cincin tergambar
pada awal dilakukan CT-scan sebagai diagnosis pertama, walaupun dikatakan bahwa
kalsifikasi berupa cincin jarang terjadi pada penyakit yang didapat dibandingkan dengan
kelainan kongenital.15
Tanda karakteristik dari Toxoplasmosis di SSP adalah target yang asimetris yang
dapat dideteksi baik dengan CT-scan maupun dengan MRI, dengan MRI lebih sensitif
dibandingkan CT-scan. Target asimetri yang timbul berupa abses ring enhancement
yang mengandung nodul eksentris pada kavitas absesnya. Tanda target asimetris ini
sebenarnya patognomonik untuk Toxoplasmosis SSP tetapi hanya terlihat pada 30%
penderita.16
MRI lebih sensitif dibandingkan CT-scan pada awal infeksi. MRI dapat
mendeteksi lesi pada penderita Toxoplasmosis aktif yang pada CT-scan didapatkan
hasil yang normal. Dengan demikian MRI direkomendasikan pada penderita yang
dijumpai gejala neurologis dan antibodi toxoplasma dengan gambaran CT-scan normal.
Tooplasmosis memperlihatkan area hipointens ringan pada T1W1 dan hiperintense
T2W1. Kadang lesi dapat menunjukkkan sedikit isointense sampai hipointense pada
T2W1, dikelilingi oleh edema dengan intensitas lebih tinggi. Pada CECT dan CEMR,
ring-like dan nodular ehancement dikelilingi edema white matter dengan berbagai
tingkatan. Nodul atau ring enhancement fokal dijumpai sekitar 70% pendera setelah
pemberian gadolinium.16
Axial T1W MR image post contrast shows a ring enhancing mass with "target
appearance" in the left lentiform nucleus with marked surrounding edema, resulting in
midline shift in an AIDS patient.
T1-weighted axial brain magnetic resonance image at the level of the basal ganglia in a
24-year-old man with human immunodeficiency virus infection. The image shows
hypointense lesions in the region of the thalami (arrows) caused by toxoplasmosis.
Dikutip dari : Subauste CS. Toxoplasmosis and HIV. HIV InSite Knowledge Base
Chapter. Maret 2006. Available from : www.hivinsite.org/Insite?page=kb-05-04
9. Diagnosa
Diagnosis didasarkan pada gejala klinis, tingkat resiko, pemeriksaan antibodi IgG
terhadap Toxoplasma gondii dan hasil dari pemeriksaan radiologi yang menunjang,
selain itu dugaan diagnosis dapat pula didasarkan adanya respon klinis pengobatan
terhadap Toxoplasma.3,6,8
Diagnosa banding penyakit yang paling dekat adalah primary central nervous system
(PCNSL). Diagnosa banding yang lain adalah tumor metastase, tuberkuloma, abses
otak.3
11. PENATALAKSANAAN
Terapi diberikan dalam jangka waktu minimal 6 bulan dan dibagi menjadi dua
bagian, yaitu terapi fase akut yang diberikan selama sekitar 4 sampai 6 minggu, yang
kemudian dilanjutkan dengan fase perawatan. 3
Terapi empiris Toxoplasmosis dapat diberikan pada penderita HIV dengan CD4
yang kurang dari 100/mm3 dan didapatkan gambaran abses otak dengan seropositif
dari Toxoplasma.3
Terapi fase akut dapat diberikan pyrimethamine dengan dosis awal 200 mg
peroral yang kemudian dilanjutan dengan dosis 75-100 mg/hari ditambaha dengan
sulfadiazin 1-1,5 gr yang diberikan setiap 6 jam atau 100 mg/kg/hari (maksimum dosis 8
gr/hari) dan ditambah pula dengan asam folat 10-20 mg/hari. Pada penderita yang
mempunyai allergi terhadap sulfa, maka preparat sulfa ini dapat digantikan dengan
clindamycin dengan dosis 600-1200 mg yang diberikan setiap 6 jam sekali, selain ini
dapat pula diberikan preparat lain sebagai alternatif, yaitu trimethoprim
sulfamethoxazole 5mg/kg/12 jam (dosis maksimum 15 – 20 mg/kg/hari), azithromycin
(900-1200 mg/hari), clarithromycin 1000 mg diberikan per oral setiap 12 jam atau
atovaquone 1,5 mg per oral setiap 12 jam, minocyclin 150 – 200 mg diberikan setiap 12
jam atau doksisiklin diberikan 300-400 mg/hari. Kombinasi pemberian pyrimethamin
dengan sulfadiazin dibandingkan kombinasi pyrimethamine dengan clindamycin tidak
memberikan hasil yang berbeda.3
12. PENCEGAHAN
13. KOMPLIKASI
Komplikasi yang terjadi dapat berupa kejang, defisit neurologis fokal dan
penurunan kesadaran. Penderita yang menderita toksoplasmosis okuler dapat timbul
kebutaan total atau sebagian. Pada toksoplasmosis kongenital dapat terjadi banyak
komplikasi, antara lain retardasi mental, kejang, tuli dan kebutaan. 3
14. PROGNOSA
Gambar. 2. Algoritma tata laksana lesi massa intrakranial pada penderita HIV/AIDS
Dikutip dari : Sugianto P. Infeksi Toksoplasmosis Pada Sistem Saraf Pusat, dalam:
Infeksi Pada Sistem saraf Pusat, Editor: Sudewi, Sugianto, Ritarwan K. Kelompok Studi
Neuro Infeksi. Airlangga University Press.2011.
DAFTAR PUSTAKA
1. Jubelt B. Miller JR. Parasitic Infections. In : Rowland LP, editor. Merrit’s
Neurology.10th ed. Philadelphia : Lippincot William & wilkins; 2000.p.192-202.
2. Luft BJ, Sidavas R. Toxoplasmosis. In : Scheldt WM, Whitley RJ, Marra CM,
editors. Infections of the Nervous System 3 rd ed. Philadelphia: Lippincot William &
Wilkins; 2004.p.755-756
3. Sugianto P. Infeksi Toksoplasmosis Pada Sistem Saraf Pusat, dalam: Infeksi
Pada Sistem saraf Pusat, Editor: Sudewi, Sugianto, Ritarwan K. Kelompok Studi
Neuro Infeksi. Airlangga University Press.2011.
4. Subauste CS. Toxoplasmosis and HIV. HIV InSite Knowledge Base Chapter.
Maret 2006. Available from : www.hivinsite.org/Insite?page=kb-05-04
5. Yunihastuti E, djauzi s, Djoerban Z. Infeksi Oppurtunistik pada AIDS. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI; 2005.
6. Cardona N, Basto N, Parra B. Detection of Toxoplasma DNA in the Peripheral
blood of HIV-Positive Patients with Neuro-opportunistics Infections by a Real
Time PCR Assay. Journal of Neuroparasitology. 20011; 2; 1-6.
7. Gilroy J.Infectious Diseases.Basic Neurology.3 rded. New York: Mc-Graw Hill;
2005. p. 447-49
8. Trucksis M.Toxoplasmosis CNS. In : Shakir RA, Newman PK, Poser CM, editors.
Tropical Neurology. London. WB Saunders Company Ltd; 1996. p 183-93
9. Victor M, Ropper AH. Adams and Victor’s Principles of Neurology. 7 th edition. New
York : McGraw-Hill.2006. p.1271-73
10. Jayawerdana S, Singh S, Burzyyantseva. Cerebral toxoplasmosis in Adult
Patients with HIV infection. Journal Hospital Physician;2008;7;17-24.
11. Colebunderes R. Evaluation of serological marker for the Immunodiagnosis of
Acute Acquired Toxoplasmosis. J Med Microbiol 2007;50:62-70
12. Billicer S. HIV-1 Associated Oppurtunistic Infections:CNS Toxoplasmosis. 2007:
Available : : http://www.emedicine.com/neuro/topic452.htm
13. Hahn BM, Schrell V, Sauer R, Fahlbusch R. Laboratory test for the Diagnosis of
Toxoplasmosis : results of a pilot study. J Micro 2005 ; 74 : 157 – 65.
14. Loven D, Hardoff R, Sever ZB, Steinmetz AP. Treatment of Toxoplasmosis the
HIV patient. J Neuro-Oncology 2004 ; 1 : 221 – 225.
15. Naqi R, Azeemuddin M, ahsan H. Cerebral Toxoplasmosis in a patient with AIDS.
J Pak Med Assoc;2010;60;316-18.
16. Ministry of Health & Family Welfare Government of India.Guidelines and
Management of Common Opportunistics Infections of Malignancies among HIV
infected Adult and Adolescent. 2007.