Anda di halaman 1dari 17

SKENARIO 1 MODUL 3

MULTIPLE MYELOMA
PENDAHULUAN
Multiple myeloma adalah suatu kanker sel plasma dimana sebuah clone dari sel plasma yang abnormal
berkembangbiak, membentuk tumor di sumsum tulang dan menghasilkan sejumlah besar antibodi yang
abnormal, yang terkumpul di dalam darah atau air kemih. Multiple myeloma (myelomatosis, plasma cell
myeloma, Kahler's disease) merupakan keganasan sel plasma yang ditandai dengan penggantian sumsum
tulang, kerusakan tulang , dan formasi paraprotein. Myeloma menyebabkan gejala-gejala klinik dan tanda-tanda
klinis melalui mekanisme yang bervariasi. Tumor menghambat sumsum tulang memproduksi cukup sel darah.
Hal ini dapat menyebabkan masalah kesehatan pada ginjal, saraf, jantung, otot dan traktus digestivus. Meskipun
myeloma masih belum bisa diobati, perkembangan terapi yang terbaru, termasuk penggunaan thalidomide dan
obat-obatan lain seperti bortezomib dan CC-5013 cukup menjanjikan.1,2,3,4
referat lengkap dapat didownload di sini

INSIDEN DAN EPIDEMIOLOGI


Di Amerika Serikat, insiden multiple myeloma sekitar 4 kasus dari 100.000 populasi. Pada tahun 2004,
diperkirakan ada 15.000 kasus baru multiple myelosis di Amerika Serikat. Insidennya ditemukan dua kali lipat
pada orang Afro Amerika dan pada pria. Meskipun penyakit ini biasanya ditemukan pada lanjut usia, usia rata-
rata orang yang didiagnosis adalah 62 tahun, dengan 35% kasus terjadi di bawah usia 60 tahun. Secara global,
diperkirakan setidaknya ada 32.000 kasus baru yang dilaporkan dan 20.000 kematian setiap tahunnya.5,6
referat lengkap dapat didownload di sini

ETIOLOGI 
Penyebab multiple myeloma belum jelas. Paparan radiasi, benzena, dan pelarut organik lainnya, herbisida, dan
insektisida mungkin memiliki peran. Multiple myeloma telah dilaporkan pada anggota keluarga dari dua atau
lebih keluarga inti dan pada kembar identik.7 Beragam perubahan kromosom telah ditemukan pada pasien
myeloma seperti delesi 13q14, delesi 17q13, dan predominan kelainan pada 11q.8
referat lengkap dapat didownload di sini

ANATOMI 
Lokasi predominan multiple myeloma mencakup tulang-tulang seperti vertebra, tulang iga, tengkorak, pelvis, dan
femur. 9
Awal dari pembentukan tulang terjadi di bagian tengah dari suatu tulang. Bagian ini disebut pusat-pusat
penulangan primer. Sesudah itu tampak pada satu atau kedua ujung-ujungnya yang disebut pusat-pusat
penulangan sekunder. 10
Bagian-bagian dari perkembangan tulang panjang adalah sebagai berikut:
1. Diafisis
Diafisis merupakan bagian dari tulang panjang yang dibentuk oleh pusat penulangan primer, dan merupakan
korpus dari tulang.
2. Metafisis
Metafisis merupakan bagian tulang yang melebar di dekat ujung akhir batang (diafisis).
3. Lempeng epifisis
Lempeng epifisis adalah daerah pertumbuhan longitudinal pada anak-anak, yang akan menghilang pada tulang
dewasa.
4. Epifisis
Epifisis dibentuk oleh pusat-pusat penulangan sekunder.

Secara makroskopis tulang terdiri dari dua bagian yaitu pars spongiosa (jaringan berongga) dan pars kompakta
(bagian yang berupa jaringan padat). Permukaan luar tulang dilapisi selubung fibrosa (periosteum); lapis tipis
jaringan ikat (endosteum) melapisi rongga sumsum & meluas ke dalam kanalikuli tulang kompak.
Berdasarkan bentuknya, tulang-tulang tesebut dikelompokkan menjadi :
1. Ossa longa (tulang panjang): tulang yang ukuran panjangnya terbesar, contohnya os humerus dan os femur.
2. Ossa brevia (tulang pendek): tulang yang ukurannya pendek, contoh: ossa carpi.
3. Ossa plana (tulang gepeng/pipih): tulang yg ukurannya lebar, contoh: os scapula.
4. Ossa irregular (tulang tak beraturan), contoh: os vertebrae.
5. Ossa sesamoid, contoh: os patella.

DIAGNOSIS 
Diagnosis multiple myeloma dapat ditegakkan melalui gejala klinis, pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan
radiologi, dan pemeriksaan patologi anatomi.
a. Gejala klinis 
Gejala yang umum pada multiple myeloma adalah lemah, nyeri pada tulang, dan infeksi yang berulang. Anemia
terjadi pada sekitar 70% pasien yang terdiagnosis. Nyeri pada tulang merupakan gambaran paling sering pada
multiple myeloma dengan persentasi sekitar 70%. Lokasi yang paling sering terjadi pada tulang vertebra
lumbalis. 13
Fraktur patologis sering ditemukan pada multiple myeloma. Kompresi tulang belakang terjadi pada 10- 20%
pasien. Gejala-gejala yang dapat dipertimbangkan kompresi tulang belakang berupa nyeri punggung,
kelemahan, mati rasa, atau disestesia pada ekstremitas.
Kadang ditemukan pasien datang dengan keluhan perdarahan yang diakibatkan oleh trombositopenia. Gejala-
gejala hiperkalsemia berupa somnolen, nyeri tulang, konstipasi, nausea, dan rasa haus dapat ditemukan pada
30% pasien.
Imunitas humoral yang abnormal dan leukopenia dapat berdampak pada infeksi yang melibatkan infeksi
pneumococcus, shingles dan Haemophilus11

Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan :14


Pucat yang disebabkan oleh anemia
Ekimosis atau purpura sebagai tanda dari thrombositopeni
Gambaran neurologis seperti perubahan tingkat sensori , lemah, atau carpal tunnel syndrome.
Amiloidosis dapat ditemukan pada pasien multiple myeloma.

b. Laboratorium
Anemia normositik normokrom ditemukan pada hampir 70% kasus.Jumlah leukosit umumnya normal .
Thrombositopenia ditemukan pada sekitar 15% pasien yang terdiagnosis. Adanya sel plasma pada apusan
darah tepi jarang ; proporsi plasma sel jarang mencapai 5%, kecuali pada pasien dengan leukemia sel plasma.
Formasi Rouleaux ditemukan pada 60% pasien. Hiperkalsemia ditemukan pada 30% pasien saat didiagnosis.
Sekitar seperempat hingga setengah yang didiagnosis akan mengalami gangguan fungsi ginjal dan 80% pasien
menunjukkan proteinuria, sekitar 50% proteinuria Bence Jones yang dikonfirmasi dengan imunoelektroforesis
atau imunofiksasi.6,8

c. Gambaran radiologi
1) Foto polos x-ray
Gambaran foto x-ray dari multiple myeloma berupa lesi multiple, berbatas tegas, litik, punch out, dan bulat pada
tengkorak, tulang belakang, dan pelvis. Lesi terdapat dalam ukuran yang hampir sama. Lesi lokal ini umumnya
berawal di rongga medulla , mengikis tulang cancellous, dan secara progresif menghancurkan tulang kortikal.
Sebagai tambahan, tulang pada pasien myeloma, dengan sedikit pengecualian, mengalami demineralisasi difus.
Pada beberapa pasien, ditemukan gambaran osteopenia difus pada pemeriksaan radiologi.6,8,11,15,16
Saat timbul gejala sekitar 80-90% di antaranya telah mengalami kelainan tulang. Film polos memperlihatkan :
Osteoporosis umum dengan penonjolan pada trabekular tulang, terutama tulang belakang yang disebabkan oleh
keterlibatan sumsum pada jaringan myeloma. Hilangnya densitas tulang belakang mungkin merupakan tanda
radiologis satu-satunya pada myeloma multiple. Fraktur patologis sering dijumpai.11
Fraktur kompresi pada badan vertebra , tidak dapat dibedakan dengan osteoprosis senilis.
Lesi-lesi litik “punch out” yang menyebar dengan batas yang jelas, lesi yang berada di dekat korteks
menghasilkan internal scalloping.
Ekspansi tulang dengan perluasan melewati korteks , menghasilkan massa jaringan lunak.
Walaupun semua tulang dapat terkena, distribusi berikut ditemukan pada suatu penelitian yang melibatkan
banyak kasus : kolumna vertebra 66%, iga 44%, tengkorak 41%, panggul 28%, femur 24%, klavicula 10% dan
scapula 10%.15

Gambar 1. Foto skull lateral yang menggambarkan sejumlah lesi litik yang
khas pada myeloma. (dikutip dari kepustakaan 9)

Gambar 2. Foto lumbal lateral menggambarkan deformitas pada CV lumbal


4 akibat plasmacytoma.(dikutip dari kepustakaan 9)

Gambar 3. Gambaran radiologi pada os femur dekstra. Tampak gambaran khas suatu lesi myeloma tunggal
berupa gambaran lusen berbatas tegas pada regio interocanter. Lesi-lesi lebih kecil tampak pada trocanter
mayor.(dikutip dari kepustakaan 9)
2) CT-Scan
CT Scan menggambarkan keterlibatan tulang pada myeloma. Namun, kegunaan modalitas ini belum banyak
diteliti, dan umumnya CT Scan tidak dibutuhkan lagi karena gambaran pada foto tulang konvensional
menggambarkan kebanyakan lesi yang CT scan dapat deteksi.9

Gambar 4. CT Scan axial pada plenoid yang menggambarkan lesi berbatas


tegas , gambaran khas myeloma pada CT scan. Korteks tampak intak.(dikutip dari kepustakaan 9)

3) MRI
MRI potensial digunakan pada multiple myeloma karena modalitas ini baik untuk resolusi jaringan lunak. Secara
khusus, gambaran MRI pada deposit myeloma berupa suatu intensitas bulat , sinyal rendah yang fokus di
gambaran T1, yang menjadi intensitas sinyal tinggi pada sekuensi T2.8,9,15
Sayangnya, hampir setiap tumor muskuloskeletal memiliki intensitas dan pola menyerupai myeloma. MRI
meskipun sensitif terhadap adanya penyakit namun tidak spesifik. Pemeriksaan tambahan untuk diagnosis
multiple myeloma seperti pengukuran nilai gamma globulin dan aspirasi langsung sumsum tulang untuk menilai
plasmasitosis. Pada pasien dengan lesi ekstraosseus, MRI dapat berguna untuk menentukan tingkat keterlibatan
dan untuk mengevaluasi kompresi tulang.9

Gambar 5. Foto potongan koronal T1 weighted-MRI pada suatu lesi


myeloma di humerus. Gambaran ini menunjukkan lesi dengan intensitas rendah. Batas korteks luar terkikis tetapi
intak ; namun, lesi telah melewati korteks bagian dalam.(dikutip dari kepustakaan 9)

4) Radiologi Nuklir9
Myeloma merupakan penyakit yang menyebabkan overaktifitas pada osteoklas. Scan tulang radiologi nuklir
mengandalkan aktifitas osteoblastik (formasi tulang) pada penyakit dan belum digunakan rutin. Tingkat false
negatif skintigrafi tulang untuk mendiagnosis multiple myeloma tinggi. Scan dapat positif pada radiograf normal,
membutuhkan pemeriksaan lain untuk konfirmasi.

5) Angiografi9
Gambaran angiografi tidak spesifik. Tumor dapat memiliki zona perifer dari peningkatan vaskularisasi. Secara
umum, teknik ini tidak digunakan untuk mendiagnosis multiple myeloma.

d. Patologi Anatomi14,15
Pada pasien multiple myeloma , sel plasma berproliferasi di dalam sumsum tulang. Sel-sel plasma memiliki
ukuran yang lebih besar 2 – 3 kali dari limfosit, dengan nuklei eksentrik licin (bulat atau oval) pada kontur dan
memiliki halo perinuklear. Sitoplasma bersifat basofilik.

Kriteria minimal untuk menegakkan diagnosis multiple myeloma pada pasien yang memiliki gambaran klinis
multiple myeloma dan penyakit jaringan konektif, metastasis kanker, limfoma, leukemia, dan infeksi kronis telah
dieksklusi adalah sumsum tulang dengan >10% sel plasma atau plasmasitoma dengan salah satu dari kriteria
berikut :6
- Protein monoclonal serum (biasanya >3g/dL)
- Protein monoclonal urine
- Lesi litik pada tulang

Sistem derajat multiple myeloma6-8,14


Saat ini ada dua derajat multiple myeloma yang digunakan yaitu Salmon Durie system yang telah digunakan
sejak 1975 dan the International Staging System yang dikembangkan oleh the International Myeloma Working
Group dan diperkenalkan pada tahun 2005.
Salmon Durie staging :
a) Stadium I
Level hemoglobin lebih dari 10 g/dL
Level kalsium kurang dari 12 mg/dL
Gambaran radiograf tulang normal atau plasmositoma soliter
Protein M rendah (mis. IgG <>7 g/dL, IgA > 5 g/dL, urine > 12 g/24 jam)
d) Subklasifikasi A meliputi nilai kreatinin kurang dari 2 g/dL
e) Subklasifikasi B meliputi nilai kreatinin lebih dari 2 g/dl

International Staging System untuk multiple myeloma


a) Stadium I
β2 mikroglobulin ≤ 3,5 g/dL dan albumin ≥ 3,5 g/dL
CRP ≥ 4,0 mg/dL
Plasma cell labeling index <>3.5 hingga <5.5>5.5 g/dL
referat lengkap dapat didownload di sini

DIAGNOSIS BANDING 
Diagnosis multiple myeloma seringkali jelas karena kebanyakan pasien memberikan gambaran klinis khas atau
kelainan hasil laboratorium, termasuk trias berikut :6
- Protein M serum atau urin (99% kasus)
- Peningkatan jumlah sel plasma sumsum tulang
- Lesi osteolitik dan kelainan abnormal lain pada tulang.
Keadaan yang dapat menjadi diagnosis banding multiple myeloma berupa MGUS, smoldering myeloma,
amiloidosis primer, dan metastasis karsinoma.6
Perbedaan pasien MGUS (benign monoclonal gammanophaty) dengan pasien yang mengalami MM sulit bila
pada awalnya ditemukan protein M. pada pasien asimtomatik, protein M < asct =" autologous" cr =" complete"
dex =" dexamethasone;" mp =" melphalan" mpt =" MP" dex =" lenalidomide" dex =" thalidomide" vgpr =" very">
60 bulan
Stadium II , 41 bulan
Stadium III , 23 bulan
Stadium B memiliki dampak yang lebih buruk.
Berdasarkan klasifikasi derajat penyakit menurut the International staging system maka rerata angka bertahan
hidup pasien dengan multiple myeloma sebagai berikut :6
stadium I , 62 bulan
stadium II, 44 bulan
Stadium III, 29 bulan.
r

WALDENSTROM
Makroglobulinemia (Makroglobulinemia Waldenstrom)

Makroglobulinemia (Makroglobulinemia Waldenstrom) adalah suatu kelainan dimana


sel plasma menghasilkan sejumlah besar makroglobulin (antibodi yang besar) yang
tertimbun di dalam darah.

Makroglobulinemia dihasilkan oleh sekelompok limfosit dan sel plasma yang


abnormal dan ganas. Penyakit ini lebih sering terjadi pada pria dan rata-rata pada
usia 65 tahun.

PENYEBAB
Penyebabnya tidak diketahui.

GEJALA
Banyak penderita yang tidak menunjukkan gejala.

Penderita lainnya memiliki darah yang mengental (sindroma hiperviskositas) karena


banyaknya jumlah makroglobulin, disertai berkurangnya aliran darah ke kulit, jari
tangan, jari kaki dan hidung.

Gejala lainnya adalah:


- perdarahan abnormal dari kulit dan selaput lendir (misalnya lapisan mulut, hidung
dan saluran pencernaan)
- kelelahan
- kelemahan
- sakit kepala
- pusing
- koma.
Pengentalan darah juga bisa mempengaruhi jantung dan menyebabkan peningkatan
tekanan dalam otak. Pembuluh darah kecil di belakang mata bisa tersumbat dan
bisa mengalami perdarahan, menyebabkan kerusakan retina dan gangguan
penglihatan.

Terdapat pembesaran kelenjar getah bening, ruam kulit, pembesaran hati dan limfa,
infeksi bakteri berulang dan anemia.

Makroglobulinemia seringkali menyebabkan krioglobulinemia, suatu keaddan yang


ditandai dengan krioglobulin, yang merupakan antibodi abnormal yang membeku di
dalam darah jika didinginkan dibawah suhu tubuh dan akan larut jika dihangatkan.
Penderita krioglobulinemia menjadi sangat peka terhadap dingin atau
mengalami fenomena Raynaud, dimana tangan dan kakinya menjadi sangat nyeri
dan warnanya menjadi keputihan jika terpapar oleh dingin.

DIAGNOSA
Pemeriksaan darah menunjukkan adanya kelainan:
- jumlah sel darah merah, sel darah putih dan trombosit rendah
- laju endah darah tinggi
- tes pembekuan darah memberikan hasil abnormal
- ditemukan krioglobulin.

Protein Bence-Jones (pecahan antibodi yang abnormal) ditemukan di dalam air


kemih.

Pemeriksaan diagnostik yang paling bermakna adalah elektroforesis protein


serum danimunoelektroforesis, yang bisa menemukan sejumlah besar makroglobulin
abnormal di dalam contoh darah.

Rontgen bisa menunjukkan adanya pengeroposan tulang (osteoporosis).


Biopsi sumsum tulang bisa menunjukkan adanya peningkatan jumlah limfosit dan
sel plasma, yang membantu memperkuat diagnosis.

PENGOBATAN
Plasmaferesis dilakuakan pada penderita yang darahnya mengental. Pada prosedur
ini, darah penderita dikeluarkan, kemudian antibodi yang abnormal dibuang dan sel
darah merah dikembalikan kepada penderita.
@mypotik
Kemoterapi (biasanya menggunakan klorambusil) bisa memperlambat pertumbuhan
sel plasma yang abnormal tetapi tidak menyembuhkan penyakit ini. Bisa juga
digunakan melfalan atausiklofosfamid.

PROGNOSIS
Perjalanan penyakit ini berbeda-beda pada setiap penderitanya.
Walalupun tanpa pengobatan, banyak penderita yang bertahan hidup selama 5
tahun atau lebih.

LEUKEMIA GRANULOSITIK
KRONIK
Leukimia granulositik kronik (LGK) (chronic granulocytic leukemia) dikenal juga
dengan nama leukemia myeloid kronik (chronic myeloid leukemia) merupakan suatu
jenis kanker dari leukosit. LGK adalah bentuk leukemia yang ditandai dengan
peningkatan dan pertumbuhan yang tak terkendali dari sel myeloid pada sum-sum
tulang, dan akumulasi dari sel-sel ini di sirkulasi darah. LGK merupakan gangguan
stem sel sum-sum tulang klonal, dimana ditemukan proliferasi dari granulosit
matang (neutrofil, eosinofil, dan basofil) dan prekursornya. Keadaan ini merupakan
jenis penyakit myeloproliferatif dengan translokasi kromosom yang disebut dengan
kromosom Philadelphia.

Darah tepi (pewarnaan MGG) Leukemia Granulositik Kronik (LGK); leukositosis


dengan shift kiri granulosit

Gejala Klinis

Pasien biasanya asimptomatik saat diagnosis, dengan kenaikan jumlah leukosit pada
pemeriksaan laboratorium rutin. Gejala klinis dari LGK dapat berupa: malaise,
demam yang tidak terlalu signifikan, gout, kenaikan rerata infeksi, anemia, dan
trombositopenia dengan memar yang ringan (meskipun kenaikan jumlah trombosit
(trombositosis) juga dapat terjadi dalam keadaan LGK). Splenomegali seringkali
terjadi.

Diagnosis
Diagnosis LGK seringkali ditetapkan berdasarkan pemeriksaan darah lengkap, yang
memperlihatkan kenaikan seluruh tipe granulosit, dan termasuk sel-sel myeloid
dewasa.

Basofil dan eosinofil hampir selalu mengalami kenaikan yang signifikan; halini
membantu membedakan LGK dari reaksi leukemoid. Biopsi sum-sum tulang biasanya
dilakukan sebagai pemeriksaan penunjang dignosis LGK, tetapi morfologi sum-sum
tulang saja tidak cukup untuk menetapkan diagnosis LGK.

Lebih jauh lagi, LGK didiagnosis dengan mendeteksi kromosom Philadelphia.


Karakteristik abnormalitas kromosomal ini dapat dideteksi dengan pemeriksaan
sitogenetik rutin, mengguanakan hibridisasi fluorescent in situ, atau dengan PCR
untuk gen bcr-abl.

Patofisiologi/ Patogenesis

LGK merupakan keganasan pertama yang dihubungkan dengan abnormalitas genetik


secara langsung, yaitu translokasi kromosomal yang dikenal dengan kromosom
Philadelphia. Kelainan kromosomal ini dinamai berdasarkan penemunya pada tahun
1960, dua orang ilmuwan dari Philadelphia, Pennsylvania: Peter Nowell dan David
Hungerford.

Pada translokasi ini, bagian dari 2 kromosom (9 dan 22) bertukar tempat. Akibatnya,
bagian dari gen BCR (breakpoint cluster region) dari kromosom 22 bercampur
dengan gen ABL dari kromosom 9. Dari penggabungan abnormal ini terjadi sintesis
protein berat p210 atau p185 (p merupakan ukuran berat protein selular dalam
kDa). Karena ABL membawa domain yang dapat menambahkan gugus phosphat ke
residu tirosin (suatu tirosin kinase), produk penggabungan gen BCR-ABL juga berupa
tirosin kinase.

Protein gabungan BCR-ABL berinteraksi dengan subunit reseptor interleukin


3beta(c). Transkrip BCR-ABL terus-menerus aktif dan tidak memerlukan pengaktifan
oleh protein selular lain. Hasilnya, BCR-ABL mengaktifkan kaskade protein yang
mengontrol siklus sel, mempercepat pembelahan sel. Lebih lagi, protein BCR-ABL
menghambat perbaikan DNA, mengakibatkan ketidakstabilan pada sistem gen dan
membuat sel lebih rawan mengalami abnormalitas genetik lain. Aktivitas dari protein
BCR-ABL merupakan penyebab patofisologis dari LGK. Dengan berkembangnya
pemahaman terhadap sifat-sifat dari protein BCR-ABL dan aktivitasnya sebagai
tirosin kinase, terapi spesifik telah dikembangkan, yaitu dengan menghambat
aktivitas protein BCR-ABL.

Klasifikasi

LGK dapat dibagi atas 3 fase berdasarkan karakteristik klinis dan hasil pemeriksaan
laboratorium. Dengan tidak adanya intervensi, LGK berawal dari fase kronik, dan
beberapa tahun kemudian berkembang menjadi fase terakselerasi (accelerated) dan
akhirnya terjadi krisis blast (blast crisis). Krisis blast merupakan fase terminal dari
LGK dan secara klinis mirip dengan leukemia akut. Beberapa pasien telah berada
pada fase terakselerasi atau krisis blast saat didiagnosis.

Fase Kronik

Sekitar 85% pasien penderita LGK berada pada fase kronik saat didiagnosis. Selama
fase ini, pasien seringkali asimptomatik atau hanya menderita gejala-gejala lemah
yang ringan, dan rasa tidak nyaman pada abdomen. Durasi dari fase kronik
bervariasi dan bergantung pada seberapa cepat penyakit didiagnosis dan seberapa
efektif terapi yang diberikan.

Fase Terakselerasi

Kriteria diagnosis perkembangan dari fase kronik ke fase terakselerasi yang paling
umum digunakan adalah kriteria dari M.D. Anderson Cancer Center dan kriteria
WHO. Menurut kriteria WHO, fase terakselerasi telah terjadi bila:

10-19% myeloblast pada darah atau sum-sum tulang

>20% basofil pada darah atau sum-sum tulang


Jumlah trombosit < 100.000, tidak berhubungan dengan terapi

Jumlah trombosit > 1.000.000, tidak merespon pada terapi

Perubahan sitogenetik dengan abnormalitas baru selain kromosom Philadelphia

Pertambahan splenomegali atau jumlah leukosit, tidak merespon pada terapi

Pasien dikatakan berada dalam fase terakselerasi jika terdapat salah satu keadaan
diatas.

Krisis Blast

Krisis blast merupakan fase akhir dari LGK, dan terlihat seperti leukemia akut
dengan perkembangan sangat cepat. Krisis blast didiagnosis jika terdapat salah satu
tanda berikut pada pasien LGK:

> 20% myeloblast atau limfoblast pada darah atau sum-sum tulang

Persebaran luas sel-sel blast pada biopsi sum-sum tulang

Terjadi perkembangan kloroma (inti padat dari leukemia diluar sum-sum tulang)

Referensi:

Faderl S, Talpaz M, Estrov Z, Kantarjian HM (1999). “Chronic myelogenous leukemia:


biology and therapy”. Annals of Internal Medicine.

Tefferi A (2006). “Classification, diagnosis and management of myeloproliferative


disorders in the JAK2V617F era”. Hematology Am Soc Hematol Educ Program.

Hehlmann R, Hochhaus A, Baccarani M; European LeukemiaNet (2007). “Chronic


myeloid leukaemia”.

Nowell PC (2007). “Discovery of the Philadelphia chromosome: a personal


perspective”. Journal of Clinical Investigation.
Karbasian Esfahani M, Morris EL, Dutcher JP, Wiernik PH (2006). “Blastic phase of
chronic myelogenous leukemia”. Current Treatment Options in Oncology.
Leukemia Limfositik Akut (LLA) 

Suatu penyakit yang berakibat fatal, dimana sel-sel yang dalam keadaan normal
berkembang menjadi limfosit berubah menjadi ganas dan dengan segera akan
menggantikan sel-sel normal di dalam sumsum tulang.
LLA merupakan leukemia yang paling sering terjadi pada anak-anak.
Leukemia jenis ini merupakan 25% dari semua jenis kanker yang mengenai anak-
anak di bawah umur 15 tahun.
Paling sering terjadi pada anak usia antara 3-5 tahun, tetapi kadang terjadi pada
usia remaja dan dewasa.
Sel-sel yang belum matang, yang dalam keadaan normal berkembang menjadi
limfosit, berubah menjadi ganas.
Sel leukemik ini tertimbun di sumsum tulang, lalu menghancurkan dan
menggantikan sel-sel yang menghasilkan sel darah yang normal.
Sel kanker ini kemudian dilepaskan ke dalam aliran darah dan berpindah ke hati,
limpa, kelenjar getah bening, otak, ginjal dan organ reproduksi; dimana mereka
melanjutkan pertumbuhannya dan membelah diri.
Sel kanker bisa mengiritasi selaput otak, menyebabkan meningitis dan bisa
menyebabkan anemia, gagal hati, gagal ginjal dan kerusakan organ lainnya.
A. Epidemiologi
 Insidensi LLA adalah 1/60.000 orang/tahun, dengan 75% pasien berusia ♀
B. Etiologi
 Penyebab LLA dewasa sebagian besar tidak diketahui
 Pada anak-anak: faktor keturunan dan sindroma predisposisi genetik
C. Faktor risiko
 Radiasi dosis tinggi : Radiasi dengan dosis sangat tinggi, seperti waktu bom atom
di Jepang pada masa perang dunia ke-2 menyebabkan peningkatan insiden penyakit
ini. Terapi medis yang menggunakan radiasi juga merupakan sumber radiasi dosis
tinggi. Sedangkan radiasi untuk diagnostik (misalnya rontgen), dosisnya jauh lebih
rendah dan tidak berhubungan dengan peningkatan kejadian leukemia.
 Pajanan terhadap zat kimia tertentu : benzene, formaldehida
 Kemoterapi : Pasien kanker jenis lain yang mendapat kemoterapi tertentu dapat
menderita leukemia di kemudian hari. Misalnya kemoterapi jenis alkylating agents.
Namun pemberian kemoterapi jenis tersebut tetap boleh diberikan dengan
pertimbangan rasio manfaat-risikonya.
 Sindrom Down : Sindrom Down dan berbagai kelainan genetik lainnya yang
disebabkan oleh kelainan kromosom dapat meningkatkan risiko kanker.
 Human T-Cell Leukemia Virus-1(HTLV-1). Virus tersebut menyebabkan leukemia T-
cell yang jarang ditemukan. Jenis virus lainnya yang dapat menimbulkan leukemia
adalah retrovirus dan virus leukemia feline.
 Sindroma mielodisplastik : sindroma mielodisplastik adalah suatu kelainan
pembentukkan sel darah yang ditandai berkurangnya kepadatan sel (hiposelularitas)
pada sumsum tulang. Penyakit ini sering didefinisikan sebagai pre-leukemia. Orang
dengan kelainan ini berisiko tinggi untuk berkembang menjadi leukemia.
 Merokok : ↑ risiko LLA pada usia > 60 tahun
D. Manifestasi klinis
 Anemia: mudah lelah, letargi, pusing, sesak, nyeri dada
 Anoreksia
 Nyeri tulang dan sendi (infiltrasi sumsum tulang)
 Demam, banyak berkeringat (gejala hipermetabolisme)
 Infeksi mulut, saluran napas atas dan bawah, selulitis, atau sepsis
 Perdarahan kulit (petechiae, atraumatic ecchymosis), perdarahan gusi, hematuria,
perdarahan saluran cerna, perdarahan otak
 Organomegali (hepatomegali, splenomegali, limfadenopati)
 Massa di mediastinum (sering pada LLA sel T)
 Leukemia sistem saraf pusat: nyeri kepala, muntah (gejala ↑ tekanan intrakranial),
perubahan status mental, kelumpuhan saraf otak terutama saraf VI dan VII,
kelainan neurologik fokal
 Keterlibatan organ lain: testis, retina, kulit, pleura, perikardium, tonsil.
E. Diagnosis 
 Pendekatan diagnosis:
1. Anamnesis
2. Pemeriksaan fisik
3. Pemeriksaan laboratorium:
 Hitung darah lengkap
 Apusan darah tepi
 Pemeriksaan koagulasi
 Kadar fibrinogen
 Kimia darah
 Golongan darah ABO dan Rh
 Penentuan HLA
4. Foto toraks atau CT
5. Pungsi lumbal
6. Aspisrasi dan biopsi sumsum tulang: pewarnaan sitokimia, analisis sitogenetik,
analisis imunofenotip, analisis molekuler BCR-ABL
 Tahap-tahap diagnosis leukemia akut:
1. Klinis
 Adanya gejala gagal sumsum tulang: anemia, perdarahan, dan infeksi, sering
disertai gejala hiperkatabolik
 Sering dijumpai organomegali: limfadenopati, hepatomegali, atau splenomegali
2. Darah tepi dan sumsum tulang
 Blast dalam darah tepi > 5%
 Blast dalam sumsum tulang > 30%
Dari kesua pemeriksaan di atas kita dapat membuat diagnosis klinis leukemia akut.
Langkah berikutnya adalah menentukan jenis leukemia akut yang dihadapi
3. Tentukan jenisnya: dengan pengecatan sitokimia ditentukan klasifikasi FAB. Jika
terdapat fasilitas, lakukan:
 Immunophenotyping
 Pemeriksaan sitogenetika (kromosom)
 Gambaran laboratorium
• Hitung darah lengkap:
 Leukosit n/↑/↓, hiperleukositosis (>100.000/mm3) terjadi pada kira-kira 15%
kasus
 Anemia normokromik-normositer (berat dan timbul cepat) dan trombositopenia
(1/3 pasien mempunyai hitung leukosit < 25.000/mm3)
 Apusan darah tepi: khas menunjukkan adanya sel muda (mieloblast, promielosit,
limfoblast, monoblast, eritroblast, atau megakariosit) yang melebihi 5% dari sel
berinti pada darah tepi. Sering dijumpai pseudo Pelger-Huet Anomaly, yaitu netrofil
dengan lobus sedikit (dua atau satu) yang disertai dengan hipo atau agranular.
• Aspirasi dan biopsi tulang
 Hiperseluler dengan limfoblas yang sangat banyak
 Lebih dari 90% sel berinti pada LLA dewasa
 Tampak monoton oleh sel blast
• Imunofenotip (dengan sitometri arus/flow cytometry)
• Sitogenetik
• Biologi molekuler
• Pemeriksaan lain
 Klasifikasi FAB
• L1 – Small cells with homogeneous chromatin, regular nuclear shape, small or
absent nucleolus, and scanty cytoplasm; subtype represents 25-30% of adult cases
• L2 – Large and heterogeneous cells, heterogeneous chromatin, irregular nuclear
shape, and nucleolus often large; subtype represents 70% of cases (most common)
• L3 – Large and homogeneous cells with multiple nucleoli, moderate deep blue
cytoplasm, and cytoplasmic vacuolization that often overlies the nucleus (most
prominent feature); subtype represents 1-2% of adult cases

F. Penatalaksanaan
Tahapan terapi LLA:
1. Terapi induksi remisi
• Tujuan: eradikasi sel leukemia yang dapat dideteksi secara morfologi dalam darah
dan sumsum tulang dan kembalinya hematopoiesis normal
• Terapi ini biasanya terdiri dari prednison, vinkristin, dan antrasiklin (pada
umumnya daunorubistin) dan juga L-asparginase
2. Terapi intensifikasi atau konsolidasi
• Tujuan: eliminasi sel leukemia residual untuk mencegah relaps dan juga timbulnya
sel yang resisten obat.
3. Profilaksis SSP
• Profilaksis SSP sangat penting pada pasien LLA. Sekitar 50 – 75% pasien LLA yang
tidak mendapat terapi ini akan mengalami relaps pada SSP
• Terdiri dari kombinasi kemoterapi intrarektal, radiasi kranial, dan pemberian
sistemik obat yang mempunyai bioavalibilitas SSP yang tinggi seperti metotreksat
dosis tinggi dan sitarabin dosis tinggi.
4. Pemeliharaan jangka panjang
Terapi ini tersiri dari 6-merkaptopurin tiap hari dan metotreksat seminggu sekali
selama 2 – 3 tahun
G. Prognosis
 Kebanyakan pasien LLA dewasa mencapai remisi tapi tidak sembuh dengan
kemoterapi saja, dan hanya 30% yang bertahan hidup lama.
 Kebanyakan pasien yang sembuh dengan kemoterapi adalah usia 15 – 20 tahun
dengan faktor prognostik baik lainnya.
 Overall disease-free survival rate untuk LLA dewasa kira-kira 30%
 faktor prognostik uantuk lamanya remisi LLA dewasa

faktor prognostik untuk lamanya remisi LLA dewasa


I. Komplikasi
 Kematian mungkin terjadi karena infeksi (sepsis) atau perdarahan yang tidak
terkontrol
 Komplikasi yang paling sering terjadi adalah kegagalan leukemia untuk berrespon
terhadap kemoterapi.
H. Patogenesis

Anda mungkin juga menyukai