Anda di halaman 1dari 144

buku jwa: Buku Induk Ilmu Tasawuf dalam - Risalatul

Qusyairiyah - Bab KETIGA (bagian pertama)


https://bukuj.blogspot.com/2013/12/induk-ilmu-tasawuf-dalam-risalatul.html?m=1

Buku Induk Ilmu Tasawuf dalam - Risalatul Qusyairiyah - Bab


KETIGA (bagian pertama)

SEJAK TAHUN 1046 MASEHI - RUJUKAN  TASAWUF SAMPAI SEKARANG

“RISALATUL QUSYAIRIYAH”
(INDUK ILMU TASAWUF)
            Penerbit la s : RISALAH GUSTI - SURABAYA   
Tahun : April 1997
Alih Bahasa : Mohammad Luqman Hakiem
Penyadur : Pujo Prayitno

BAB III.
PENJELASAN TENTANG
TAHAPAN-TAHAPAN (MAQAMAT) PARA PENEMPUH JALAN “SUFI”

DATAR  ISI
1.     TOBAT
2.     MUJAHADAH
3.     KHALWAT DAN ‘UZLAH
4.     TAQWA
5.     WARA’
6.     ZUHUD
7.     DIAM
8.     KHAUF
9.     RAJA’
10.  SEDIH
11.  LAPAR DAN MENINGGALKAN SYAHWAT
12.  KHUSYU’ DAN TAWADHU’
13.  MELAWAN NAFSU
14.  DENGKI
15.  PERGUNJINGAN
16.  QANA’AH
17.  TAWAKKAL
18.  SYUKUR
19.  YAKIN
20.  SABAR
21.  MURAQABAH
22.  RIDHA
23.  UBUDIYAH
24.  IBADAT
25.  ISTIQAMAH
26.  IKHLAS
27.  KEJUJURAN
28.  MALU

1.
TOBAT
Edit : Pujo Prayitno
“Bertobatlah kamu sekalian kepada Allah, wahai orang-orang yang
beriman, supaya kamu beruntung.” (Qs. An-Nuur : 31).
Diriwayatkan dari Anas bin Malik (10 H-93 H/612 M – 712 M) dari suku
Khazraj golongan Anshar. Meriwayatkan 2286 hadis. Lahir di Madinah dan
kemudian pergi ke Damaskus dan meninggal di Bashrah), bahwa
Rasulullah saw. bersabda :
“Orang yang bertobat dari dosa seperti orang tidak berdosa, dan jika Allah
mencintai seorang hamba, niscaya dosa tidak melekat pada dirinya.” (H.r.
Ibnu Majah, Tirmidzi dan Hakim).
Selanjutnya, membacakan ayat : “Sesungguhnya Allah menyukai orang-
orang yang bertobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri.”
(Qs. Al-Baqarah : 222).
Ketika belaiau ditanya : “Waha Rasulullah, apa pertanda bertobat.?”, beliau
menjawab : “Menyesali kesalahan.”
Anas bin Malik meriwayatkan, bahwa Rasulullah saw. bersabda : “Tiada
sesuatu yang dicintai oleh Allah selain pemuda yang bertobat.” (as-Syuyuti
dalam kisah ash-Jami’ah as-Shaghir, Jilid II, hlm. 8050, mengatakan bahwa
hadis ini diriwayatkan Abul Mudzaffar as-Sam’any, dari Salman. Menurut
as-Suyuthy, hadis tersebut hadis dha’if).
Oleh karena itu, tobat merupakan tingkat pertama di antara tingkat-tingkat
yang dialami oleh para Sufi dan tahapan pertama di antara tahapan-
tahapan yang dicapai oleh penempuh jalan Allah (salik).
Makna tobat dalama Bahasa Arab adalah “Kembali”. “Ia bertobat” beraarti
“Ia kembali”. Jadi tobat adalah kembali dari sesuatu yang dicela oleh syara’
menuju sesuatu yang dipuji olehnya. Rasulullah saw. bersabda “Menyesali
kesalahan merupakan sutu tobat.” (H.r. Bukhari dan Ahmad).
Para Ahli Ushul di kalangan Ahli Sunnah mengatakan : “Terdapat tiga
syarat tobat yang musti dipenuhi agar tobat itu sah : Menyesali
pelanggaran yang telah dilakukan; meninggalkan secara langsung
penyelewengan; dan dengan mantap seseorang memutuskan tidak kembali
pada kemaksiatan yang sama.”
Hadis di atas menunjukkan betapa agungnya tobat itu, sebagaimana ketika
Rasulullah saw. bersabda : “Haji adalah Arafah”, maksudnya, adalah
menyampaikan pesan bahwa bukannya tidak ada unsur-unsur haji yang
yang lain selain wukuf di Arafah, melainkan bahwa bagian terbesar
unsurnya adalah wukuf di Arafah. Demikian pulalah maksud dari pesan
yang disampaikan Rasulullah saw. bahwa, “Menyesali kesalahan
merupakan suatu tobat.” – bahwa bagian utama tobat adalah menyesali
keselahan.”
“Menyesali kesalahan adalah cukup untuk memenuhi persyaratan tobat.”
Demikian kata mereka yang telah melaksanakannya, karena tindakan
tersebut mempunyai akibat berupa dua persyaratan yang lain. Artinya,
orang tidak mungkin bertobat dari suatu tindakan yang tetap dilakukan
atau yang ia mungkin bermaksud melakukannya. Inilah makna tobat
secara global.
Sebagai penjelasan lebih lanjut, kami katakan bahwa tobat mempunyai
sebab-sebab, urutan, aturan dan bagian-bagian. Sebab langsung tobat yang
pertama ialah kebangunan hati dari kealpaan, menyadari bahwa hamba
tersebut berada dalam perilaku buruk. Ia mencapai ini dengan batuan
Allah swt. terhadap pikirannya. Ini berlangsung dengan cara
mendengarkan kata hati, lantaran sebuah hadis menyatakan : “Allah
mengingatkan pada kalbu Muslim.” Hadis yang menyatakan : “Ada
segumpal daging di dalam jasad, yang apabila ia bagus, maka keseluruhan
jasad akan bagus, dan apabila ia rusak, maka keseluruhan jasad akan
rusak. Ketahuilah, itu adalah hati.” (H.r. Bukhari-Muslim).
Apabila seseorang merenungi perbuatan-perbuatan jahatnya, biscaya ia
akan memahami tindakan-tindakan tercela yang dilakukannya, dan
keinginan untuk bertobat akan datang ke lubuk hatinya, bersamaan
dengan tindakan menahan diri dari tindakan-tindakan tercela tersebut.
Kemudan Allah swt. akan membantunya dalam melaksanakan niatnya
yang kukuh ini, dalam menempuh jalan kembali menuju kebaikan.
Cara bertobat pertama adalah, memisahkan diri dari orang-orang yang
berbuat jahat, karena mereka akan mendorong untuk mengingkari tujuan
ini, dan keraguan atas kelurusan niat yang telah teguh. Dan hal ini tidak
akan lengkap kecuali dibarengi keteguhan dalam bersyahadat, secara terus
menerus, dan dibarengi motif-motif yang mendorong pelaksanaan
ketetapan dalam hati, yang darinya dapat memperkuat rasa khauf dan
raja’. Selanjutnya, tindakan-tindakan tercela, yang membentuk simpul
kebandelan dalam hati akan mengendor, ia akan menghentikan perbuatan-
perbuatan yang terlarang, dan kendali diri akan terjaga dari
memperturutkan hawa nafsu. Kemudian, ia harus segera meninggalkan
dosanya dan berketetapan hati untuk tidak kembali ke dosa-dosa serupa di
masa mendatang. Apabila terus bertindak sesuai dengan tujuan yang
selaras dengan kehendaknya ini, berarti bahwa ia telah dianugerahi rasa
aman yang sebenarnya.
Apabila sekali waktu meredup dan hasratnya mendorong untuk
melakukan penyelewengan kembali, suatu hal yang mungkin seringkali
terjadi, kita harus tetap berrharap orang seperti itu akan bertobat lagi
karena : “Bagi tiap-tiap masa ada ketentuannya.” (Qs. Ar.Ra’ad : 38).
Abu Sulaiman ad-Darany mengtakan : “Aku seringkali mengunjungi majelis
seorang ahli kisah, kemudia kata-katanya membekas di kalbu. Tetapi,
ketika aku pulang, kata-katanya itu pun lenyap. Aku menghadiri majelis
untuk kedua kalinay, mendengar uacapnnay dan membekas di kalbu, lalu
hingga di jalan aku lupa kembali. Bahkan aku pun hadir di majelisnya
untuk yang ketiga kalinya, berulah kata-katanya membekas hingga di
rumah. Selnjutnya kuhancurkan segala peralatan yang mengarah pada
dosa dan aku meneguhi Jalan. Setelah itu, kisah ini kusampaikan kepada
Yahya bin Mu’adz, sembari memberi komentar atas kisah ini. :”Seekor
burung pipit mengkap seekor burung gbangau : “Dengan burung pipit yang
dimaksudkannya adalah si pengisah itu dan burung bangau adalah Abu
Sulaiman ad-Darany sendiri.
Abu Hafs al Haddad mengatakan : “Aku meninggalkan suatu perbuatan
tercela, lalu kembali padanya. Kemudain perbuatan itu meninggalkanku,
dan sesudah itu aku tidak kembali lagi padanya.”
Abu Amr bin Nujayd pada awal perjalanan spiritualnya, seringkali
mengunjungi majelis Abu Utsman. Kata-kata Abu Utsmman amat berkesan
di dalam hatinya, hingga membuatnya bertobat. Selanjutnya ia mendapat
cobaan. Ia meninggalkan Abu Utsman, dengan mengundurkan diri dari
majelisnya. Pada suatu hari ketika Abu Utsman berpapasan dengannya,
Abu Amr segera berpaling dan mengambil jalan lain. Abu Utsman
mengikutinya, berjalan di belakangnya, seraya berkata : “Wahai anakku,
jangan menjadi sahabat orang yang tidak mencintaimu, kecuali ia seorang
yang bersih dari dosa! Hanya Abu Utsman yang mau membntumu dalam
keadaanmu seperti sekarang ini.” Selanjutnya Abu Amr bertobat dan
kembali sebagai murid setia.
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq r.a. mengatakan : “Salah seorang murid bertobat,
kemudian menerima cobaan. Ia bertanya dalam hati, ‘Jika aku bertobat,
bagaimana hukuman atas diriku nanti?’ Maka terdengarlah bisikan dalam
jiwanya, “Hai Fulan, engkau taat kepada kami, lalu Kami terima syukurmu,
kemudian engkau tinggalkan Kami, maka Kami biarkan saja dirimu. Bila
engkau kembali kepada Kami, pasti Kami terima.” Akhirnya si pemuda itu
pun bertobat, kembali ke cita-cita semula.”
Apabila ia meninggalkan kemaksiatan dan melepaskan diri dari ikatan
kebandelan dalam hati, lalu bertekad untuk tidak kembali pada perbuatan
odsa, maka pada saat itulah tobat sejati menyeleusup ke lubuk hati. Ia
menyesali terhadap segala sesuatu seperti telah dilakukannya, menjauhi
tindakan-tindakan tercela, sehingga tobatnya sempurna, mujahadahnya
haq, dan diganti dengan upaya uzlah. Ia menghindari sekawanan orang-
orang yang jahat lewat kahlwat, ia bekerja sepanjag siang dan malam
dalam keadaan sengsara, dan bertobat dalam situasi bagaimanapun,
menghapus jejak-jejak dosanya dengan linangan air mata, dan mengobati
hati dengan tobatnya. Ia dikenal di antara sejawatnya karena
kesintingannya, namun kurus-kering tubuhnya memberikan kesaksian
kengenai kewarasannya.
Tahap Tahap pertama pertobatana seseorang adalah menghadapi iri hati
para musuhnya sebisa mungkin, dengan harapan nahwa yang dimilikinya
cukup untuk memenuhi hak-hak mereka atau bahwa mereka sepakat
untuk meninggalkan klaim yang bekenaan dengan dirinya dan bersedia
menerimanya. Dan apabila harapannya tidak terpenuhi, ia harus
menerima klaim-klaim mereka, dan kembali kepada Allah swt. dengan
penuh kejujuran, disamping itu juga mendoakan mereka.
Saya mendengar Ustadz Abu Ali ad-Daqqaq berkata : “Tobat dibagi menjadi
tiga tahap, tahap awal adalah tobat (tawbah), tahap tengah adalah kembali
(inabah) dan ketiga awbah.” Ia menempatkan tawabh di awal, awbah di
akhir, dan inabah di antara keduanya.
Barangsiapa bertobat karena takut siksa, maka ia tergolong orang yang
tobat. Siapa pun yang bertobat karena ingin mendapatkan pahala Ilahi,
berada dalam keadaan inabah. Siapa pun yang bertobat lantaran
mematuhi printah Ilahi, bukan akrena ingin mendapatkan pahala maupun
takut akan hukuman, berada dalam keadaan awbah.
Juga dikatakan, obat adalah sifat kaum Mukminin.” Allah swt. berfirman :
“Ia adalah sebaik-baik hamba. Sesungguhnya ia amat taat (kepada
Tuhannya).” (Qs. Shaad:30).
Inabah adalah sifat para Auliya’ dan Muqarrabun. Allah swt. berfirman :
“Ia adalah sebaik-baik hamba. Sesungguhnya ia amatlah taat (kepada-
Nya).” (Qs. Shaad : 44).
Al-Junayd berkata : “Tobat itu mempunyai tiga makna. Pertama, menyesali
kesalahan; kedua, berketatapan hati untuk tidak kembali pada apa yang
telah dilarang Allah swt.; dan ketiga adalah menyelesaikan/membela orang
yang teraniaya.”
Sahl bin Abdullah berkata : “Tobat adalah menghentikan sikap suka
menunda-nunda.”
Al-Junayd berkunjung kepada as=Sary pada suatu hari, dan mendapatinya
sedang kebingungan. Ia bertanya : “Apa yang telah terjadi atas dirimu?” As-
Sary menjawab : “Aku bertemu dengan seorang pemuda, dan ia bertanya
tentang tobat kepadaku. Kukatakan kepadanya. “Tobat adalah bahwa
engkau tidak melupakan dosa-dosamu.” Lantas ia menyanggahnya dengan
mengatakan, ‘Tobat adalah justru engkau benar-benar melupakan dosa-
dosamu.” Al-Junayd menjawab, “Karena apabila aku berada dalam kondisi
kering, lantas aku dipindahkan ke kondisi dingin, maka menyebut masa
kering di masa dingin, adalah kekeringan itu sendiri.” Dan akhirnya as-Sary
pun terdiam.
Abu Nashr as-Sarraj dilaporkan mengatakan : “Sahl sedang
memberitahukan kondisi ruhani murid-murid dan pendatang baru, yang
terus menerus berubah. Al-Junayd merujuk tobatnya orang-orang yang
telah mencapai kebenaran, yang tidak ingat akan dosa-dosa mereka lagi
karena keagungan Allah Swt. yang telah meluapi hati mereka, dan
senantiasa mengingat (dzikr) kepada-Nya.”
Dzun Nuun al-Mishry memberi komentar : “Tobat kalangan awam adalah
tobat dari dosa, dan tobat kaum kahwash adalah tobat dari kealpaan.”
Abul Husain an-Nury mengatakan : “Tobat adalah bahwa engkau berpaling
dari segala sesuatu selain Allah swt.”
Abdullah bin Ali bin Muhammad al-Tamimi mengatakan : “Betapa besar
perbedaan antara orang yang bertobat dari dosa, orang yang bertobat dari
kealpaan, dan orang yang bertobat dari kesadaran akan perbuatan baiknya
sendiri.”
Al-Wasithy berkata : “Tobat sejati adalah tobat yang tidak menisakan
pengaruh maksiat, baik secara batin maupun lahir.”
Yahya bin Mu’adz berdoa, “ahai Tuhanku, aku tidak akan mengatakan,
“Aku telah bertobat” dan aku tidak kembali kepada-Mu hanya karena
sesuatu yang menurutku adalah kecenderunganku, aku tidak bersumpah
bahwa aku tidak aka berbuat dosa lagi, karena aku mengetahui
kelemahanku sendiri.”
Dzun Nuun berkata : “Permohonan ampun yang diajukan dengan tidak
disertai pencabutan dosa adalah tobat para pendusta.”
Ketika al-Busyanjy ditanya soal tobat, ia menjawab : “Ketika dirimu ingat
dosa, lantas tidak engkau temui manisnya ketika mengingatnya, itulah
tobat.”
Dzun Nuun mengatakan : “Esensi tobat adalah bahwa bumi ini terlalu
sempit bagimu meskipun ia luas sehinngga engkau tidak menjumpai
tempat untuk beristirahat. Lalu engkau merasakan jiwamu terhimpit,
karena Allah swt. telah menyatakan di dalam Kitab-Nya, “Dan jiwa mereka
pun telah sempit (pula terasa) oleh mereka, serta mereka telah mengetahui
bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah, melainkan kepada-Nya saja.
Kemudian Allah menerima tobat mereka agar mereka tetap dalam
tobatnya.” (Qs. At-Taubah :118).
Ibnu Atha’ berkata: “Terdapat dua jenis tobat : Inabah (kembali) dan
istijabah (menjawab atau memenuhi). Dalam inabah sang hamba bertobat
karena takut akan hukuman; dalam istijabah ia bertobat karena malu akan
kemurahan-Nya.”
Abu Hafs ditanya : “Mengapa orang yang bertobat membenci dunia?” Ia
menjawab : “Karena ia merupakan tempat di mana dosa-dosa dikejar.” Dan
dikatakan kepadanya : “Ia juga tempat tinggal yang dijunjung tinggi oleh
Allah karena tobat.” Dikatakannya pula, “Sungguh dunia termasuk bagian
dosa dengan amat yakin, tetapi mendapatkan bahaya dari penerimaan atas
tobatnya.”
Sebagian kalangan Sufi mengatakan : “Tobat para pendusta berada di
bibirnya, karena mereka hanya membatasi ucapannya pada
Astaghfirullah.”
Diriwayatkan bahwa Allah swt. berfirman kepada Adam : “Wahai Adam,
Aku telah mewariskan kepada anak cucumu beban dan penderitaan. Aku
menjawab salah seorang di antara mereka, yang berdoa dengan sungguh-
sungguh kepada-Ku, persis sebagaimana Aku menjawabmu. Wahai Adam,
Aku akan membangkitkan orang-orang yang bertobat dari kubur-kubur
mereka dalam keadaan gembira; doa mereka akan Kujawab .”
Seseorang bertanya kepada Rabi’ah Adawiyah : “Aku telah sering berbuat
dosa dan menjadi semakin tidak taat. Tetapi, apabila aku bertobat, akankah
Dia mengampuninya?” Dijawab oleh Rabi’ah, “Tidak. Tetapi apabila Dia
mengampunimu, maka engkau akan bertobat.”
Ketahuilah bahwa Allah swt. berfirman : “Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang bertobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan
diri.” (Qs. Al-Baqarah :222). Orang yang membiarkan dirinya larut dalam
kesalahan, benar-benar identik dengan menggelincirkan diri sendiri. Tetapi
apabila ia bertobat, niscaya penerimaan tobatnya oleh Tuhan diragukan,
terutama karena kecintaan Tuhan kepadanya adalah satu syarat bagi
penerimaan itu. Dan itu bakal terjadi pada suatu waktu sebelum si pendosa
sampai pada satu titik dimana ia menjumpai tanda-tanda kecintaan Allah
kepada dirinya dalam sifatnya. Tugas hamba tersebut, ketika mengetahui
bahwa dirinya telah melakukan suatu tindakan yang mengharuskan tobat,
ialah bertobat secara sungguh-sungguh, dengan menolak secara gigih
perbuatan odsa dan memohon ampunan, sebagaimana tertuang dalam
ucapan mereka, “Seperti kesadaran akan rasa takut menjelang ajal.”
Firman Allah swt. “Jika kamu (benar-benar)  mencintai Allah, ikutilah aku,
niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” (Qs. Ali Imran :
31).
Di antara Sunnah Nabi saw. adalah beristighfar terus menerus.
Beliau bersabda :
“Hatiku terasa dahaga, oleh karena itu aku memohon ampunan Allah
tujuhpuluh kali dalam sehari.” (Hr. Muslim dan Abu Dawud).
Yahya bin Mu’adz mengatakan : “Satu penyelewengan saja sesudah
bertobat lebih buruk ketimbang tujuhpuluh penyelewengan sebelum
bertobat.”
Abu Utsman berkata : “Akan halnya firman-Nya : “Kepada-Nya-lah mereka
dikembalikan.” (Qs. Al-An’am :36), maknanya jika mereka bebas
berkeliaran melakukan perbuatan dosa.”
Abu Amr al-Anmathy berkata : “Ali bin Isa, seorang perdana Menteri,
mengendari sebuah kendaraan pada suatu prosesi, dan orang-orang yang
tidak mengenalnya bertanya : ‘Siapakah ia? Siapakah ia? Seorang wanita
yang berdiri di sisi jalan menyahut, “Sampai kapan Anda akan mengatakan
, ‘Siapakah ia? Siapakah Ia? Dialah seorang hamba yang terlepas dari
perlindungan Allah swt. Dan Allah telah memberikan cobaan sebagaimana
Anda lihat.’ Katika Ali bin Isa mendengar jawaban wanita tersebut, ia
kembali ke rumahnya, seketika itu pula mengundurkan diri dari jabatan
perdana menteri, lalu pergi ke Mekkah, dan menetplah ia dikota suci itu.

2.
MUJAHADAH
Edit : Pujo Prayitno
“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari) keridhaan Kami, benar-
benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan
sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.”
(Qs. Al-Ankabut : 69).
Diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khurdry, (Sa’id bin Malik bin Sanan al-
Nashari al-Kahzrajy (10.sH – 74 H/613 -693 M), seorang sahabat Rasulullah
saw. Ikut berperang duabelas kali, dan meriwayatkan 1170 hadis.
Meninggal di Madinah). Bhawa ketika Rasulullah saw. ditanya mengenai
jihad terbaik, beliau menjawab, “Adalah perkataan yang adil yang
disampaikan kepada seorang pengausa yang zalim.” (Qs. Hr. Tirmidzi, Abu
Dawud dan Ibnu Majah). Mka air mata berlinang dari kedua mata Abu
Sa’id ketika mendengar hal ini.
Syeikh Abu Ali ad.-Daqqaq r.a. berkata : “Barangsiapa menghiasai
lahiriahnya dengan mujahadah, Allah akan memperindah rahasia batinnya
melalui musyahadah. Siapa yang permulaannya tidak memiliki mujahadah
dalam tharikat ini, ia tidak akan menemui cahaya yang mencar darinya.”
Abu Utsman al-Maghriby mengatakan : “Adalah kesalahan besar bagi
seseorang membayangkan bahwa dirinya akan mencapai sesuatu di jalan-
Nya atau bahwa sesuatu di jalan-Nya akan tersingkap baginya, tanpa
bermujahadah.”
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq r.a. menegaskan : “Orang yang tidak berdiri
dengan mantap di awal perjalanan spiritualnya tidak akan diizinkan
beristirahat pada akhir perjalanannya.” Dikatakannnya pula, “Gerak
adalah suatu berkat.” Dan katanya kemudian, “Gerakan-gerakan dzahir
akan melahirkan barakah-barakah batin.”
As- Sary berkata : “Wahai kaum muda, tekunlah kalian, sebelum kamu
sekalian menginjak usia seperti diriku, sehingga kalian lemah dan lengah
seperti diriku.” Padahal pada saat itu tidak seorang pun di antara para
pemuda yang mampu menyejajari langkah as-Sary dalam bidang ibadat.
Saya mendengar al-Hasan al-Qazzaz berkata : “Jangan makan kecuali amat
lapar, jangan tidur kecuali amat kantuk, jangan bicara kecuali dalam
keadaan darurat.”
Ibrahim bin Adham mengatakan : “Seseorang akan baru mencapai derajat
kesalehan, sesudah melakukan enam hal : (1) Menutup pintu bersenang-
senang dan membuka pintu penderitaan; (2) Menutup pintu keangkuhan
dan membuka pintu kerendahan hati; (3) Menutup pintu istirahat dan
membuka pintu perjuangan; (4) Menutup pintu tidur dan membuka pintu
jaga; (5) Menutup pintu kemewahan dan membuka pintu kemiskinan; (6).
Menutup pintu harapan duniawi dan membuka pintu persiapan
menghadapi kematian.”
Abu Amr bin Nujayd berkata : “Barangsiapa menghargai hawa nafsunya
berarti meremehkan agamanya dan pendengarannya.”
Abu Ali ar-Rudzbary mengatakan : “Apabila seorang Sufi – sesudah lima
hari kelaparan – berkata : “Aku lapar.” Kirimlah ia ke pasar untuk mencari
nafkah. Prinsip mujahadah pada dasarnya adalah mencegah jiwa dari
kebaisaan-kebiasaannya dan memaksanya menentang hawa nafsunya
sepanjag waktu.”
Jiwa; mempunyai dua sifat yang menghalangi dalam mencapai kebaikan;
keberlarutan dalam memuja hawa nafsu dan penolakan pada tindak
kepatuhan . Manakala jiwa menunggang nafsu, maka Anda harus
mengendalikannya dengan kendali takwa. Manakala jiwa bersikukuh
menolak untuk selaras dengan kehendak Tuhan, maka Anda harus
mengendalikannya agar menolak hawa nafsunya. Manakala Jiwa bangkit
memberontak, maka Anda harus mengendalikan keadaan ini. Tiada satu
hal pun yang berakibat lebih utama selain sesuatu yang muncul
menggantikan kemarahan yang kekuatannya telah dihancurkan dan yang
nyalanya telah ddipadamkan oleh akhlak mulia. Manakala jiwa
menemukan kemanisan dalam  anggur kecongkakan, niscaya ia akan
merana bila tidak sanggup menunjukkan kemampuannya dan menghiasai
perbuatan-perbuatannya kepada siapapun yang melihatnya. Orang harus
memutuskannya dari kecenderungan seperti ini dan menyerahkannya
pada hukuman kehinaan yang akan datang tatkala diingatkan akan
hargadirinya yang rendah, asal-usulnya yang hina dan amal-amalnya yang
emnijikan. Perjuangan kaum awam berupa pelaksanaan tindakan-
tindakan; tujuan kaum khawash adalah menyucikan keadaan spiritual
mereka. Bertahan dalam lapar dan jaga, adalah sesuatu yang  mudah.
Sedangkan membina akhlak dan membersihkan semua hal negatif yang
melekat padanya, sangatlah sulit.
Satu dari sekian sifat jiwa yang merugikan dan paling sulit dilihat adalah
ketergantungannya pada pujian manusia . Orang yang bermental seperti
ini berarti menyangga beban langit dan bumi dengan satu alisnya. Satu
pertanda yang mengisyaratkan mental seperti ini adalah apabila pujian
orang tidak diberikan kepadanya, niscaya ia menjadi pasif dan pengecut.
Dikabarkan bahwa Abu Muhammad al-Murta’isy berkata : “Aku berangkat
haji berkali-kali seorang diri. Pada suatu ketika aku menyadari bahwa
segenap upayaku terkotori oleh kegembiraanku dalam melakukannya. Hal
ini kusadari saat ibu memintaku menarikan sguci air untuknya. Jiwaku
merasakan hal ini sebagai beban yang berat. Saat itulah aku mengetahui
bahwa apa yang kusangka merupakan kepatuhan kepada Allah swt. dalam
hajiku selama ini tidak lain hanyalah kesenanganku semata, yang datang
dari kelemahan dalam jiwa, karena apabila nafsuku sirna, niscaya tidak
akan mendapati tugas kewajibanku sebagai suatu yang memberatkan
dalam hukum syaritat.”
Pada suatu ketika seorang wanita lanjut usia ditanya mengenai keadaan
ruhaninya. Ia menjawab : “Semasa Muda, aku berpikir bahwa keadaan-
keadaan ruhani itu berasal dari kekuatan dan semangat yang tak kujumpai
saat ini, ketika sudah tua, semua itu sirna sudah.”
Dzun Nuun al-Mishry berkata : “Penghormatan yang Allah berkenan
memberikannya kepada seorang hamba, maka Allah menunjukkan
kehinaan dirinya, penghinaan yang Allah berkenan menimpakannya
kepada seorang hamba, maka Allah menyembunyikan kehinaan dirinya
dari pengetahuan akan kehinaan itu sendiri.”
Ibrahim bin Khawwas menegaskan : “Aku tidak menghadapi seluruh
ketakutanku, kecuali secara langsung menghadapinya dengan
menungganginya.”
Muhammad bin Fadhl mengatakan : “Istirahat total adalah kebebasan dari
keinginan hawa nafsu.”
Saya mendengar Abu Ali ar.Rudzbary berkata : “Bahaya yang menimpa
manusia datang dari tiga hal : Kelemahan watak, keterpakuan pada
kebiasaan, dan mempertahankan teman yang merusak.” Saya bertanya
kepadanya, “Apakah kelemahan watak itu?” Ia menjawab. “Mengkonsumsi
hal-hal-yang haram.” Lalu saya tanyakan : “Apakah keterpakuan pada
kebiasaan itu?” Ia berkata : “Memandang dan mendengarkan segala
sesuatu yang haram dan melibatkan diri dalam firnah.” Saya bertanya :
“Apakah mempertahankan teman yang  merusak itu? Dijawabnya : “Itu
terjadi ketika Anda menuruti hasrat nafsu dalam diri, lalu diri Anda
mengikutinya.”
An-Nashr Abadzy mengatakan : “Penjara adalah jiwa Anda. Apabila Anda
melepaskan diri darinya, niscaya akan sampai pada kedamaian.” Ia juga
berkata : “Aku mendengar Muhammad al-Farra’ berkisah bahwa Abul
Husain al-Warraq mengatakan : “Ketika kami memulai menempuh jalan-
Nya lewat Tasawuf di Masjid Abu Utsman al-Hiry, praktek terbaik yang
kami lakukan adalah bahwa kami mempriorotaskan kemudahan bagi
orang lain; kami tidak pernah tidur dengan menyimpan sesuatu tanpa
disedekahkan; kami tidak pernah menuntut balas kepada seseorang yang
menyinggung hati kami, bahkan kami selalu memaffkan tindakannya dan
bersikap rendah hati kepadanya; dan jika kami memandang hina
seseorang dalam hati kami, maka kami akan mewajibkan diri kami untuk
melayaninya sampai perasaan memandang hina itu lenyap.”
Abu Ja’far berkata : “Nafsu, seluruhnya gelap gulita, peliatanya adalah
batinnya. Cahaya pelita ini adalah taufiq. Orang yang tidak disertai taufik
dari Tuhannya, maka kegelapan akan menyelimutinya.” Ketika
mengatakan, “Pelita adalah batinnya.” Dimaksudkan adalah rahasia antara
dirinya dan Allah swt. yakni tempat keikhlasannya. Dengannya si hamba
tersebut mengetahui bahwa semua peristiwa adalah karya Tuhan;
peristiwa-peristiwa bukanlah ciptaan dirinya, tidak pula berasal darinya.
Bila mengetahui hal ini, ia akan bebas dalam setiap keadaannya, dari
kekuatan dan kekuasaannya sendiri dalam melestarikan manfaat
waktunya. Orang yang tidak disertai taufik tidak akan memperoleh
manfaat dari pengetahuan tentang jiwanya atau tentang Tuhannya. Itulah
sebabnya mengapa para syeikh mengatakan “Orang yang tidak mempunyai
sirr akan terus bersikeras menuruti hawa nafsunya.”
Abu Utsman berkata : “Selama orang melihat setiap sesuatu baik dalam
jiwanya, ia tidak akan mampu melihat kelemahan-kelemahannya. Hanya
orang yang berani mendakwa dirinya terus menerus selalu berbuat
salahlah yang akan sanggup melihat kesalahannya itu.
Abu Hafs mengatakan : “Tidak ada jalan yang lebih cepat ke arah
kerusakan, kecuali jalan orang yang tidak mengetahui kekurangan dirinya,
karena kemaksiatan kepada Tuhan adalah jalan cepat menuju kekafiran.”
Abu Sulaiman berkata : “Aku tahu bahwa tidak sedikit pun kebaikan dapat
ditemukan dalam suatu perbuatan yang kulakukan sendiri, aku berharap
diberi pahala karenanya.”
As-Sary berkomentar : “Waspadalah terhadap orang yang suka bertetangga
dengan orang kaya, pembaca-pembaca Al-Qur’an yang sering mengunjungi
pasar, dan ulama-ulama yang mendekati penguasa.”
Dzun Nuun al-Mishry mengatakan : Kerusakan merasuki diri manusia
dikarenakan enam hal (1) Mereka memliki niat yang lemah dalam
melaksanakan amal untuk akhirat; (2) Tubuh mereka diperbudak oleh
nafsu; (3) Mereka tidak henti-hentinya mengharapkan perolehan duniawi,
bahkan menjelag ajal; (4) Mereka lebih suka menyenagkan makhluk,
mengalahkan ridha Sang Pencipta; (5) Mereka memperturutkan hawa
nafsunya, dan tidak menaruh perhatian yang cukup kepada Sunnah Nabi
saw. (6) Mereka membela diri dengan menyebutkan beberapa kesalahan
orang lain, dan mengubur prestasi pendahulunya.

3.
KHALWAT  DAN ‘UZLAH
Edit : Pujo Prayitno
Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. (Abdurrahman bin Shakhr ad-Dausy
(21s.H – 59H/602-679 M), seorang sahabat sejak ia yatim. Masuk Islam tahun
7 H. Dan senantiasa mendampingi Nabi saw. serta meriwayatkan 5.374
hadits), Bahwa Nabi saw. besabda :
“Di antara cara-cara terbaik bagi manusia dalam mencari penghidupan
adalah seseorang mengendarai kuda di jalan Allah, dan apa bila ia
mendengar suara manusia-manusia yang panik atau ketakutan dalam
peperangan, ia memacu kudanya mencari mati syahid atau kemenangan di
medan jihad; atau seseorang menggembalakan biri-biri dan kambing-
kambingnya di puncak gunung atau di kedalamanan lembah, namum tetap
mendirikan shalat, membayarkan zakat, dan beribadat kepada Tuhan
sampai datang suatu keyakinan. Tidak ada urusan dengan sesama manusia
kecuali didasarkan pada kebaikan.” (H.r. Muslim).
Menyendiri dari pengaruh duniawi (khalwat) adalah sifat orang-orang suci.
Sedangkan mengasingkan diri (‘uzla) adalah lambang orang yang ber-
wushul kepada-Nya. Memisahkan diri dari manusia sangat diperlukan bagi
murid pada awal kondisi ruhaninya, dan selnjutnya mengasingkan diri
pada akhir kondisi ruhani, karena telah mencapai keakraban sukacita
ruhani. Sikap seorang yang layak ketika memutuskan untuk memisahkan
diri dari manusia adalah meyakini bahwa masyarakat akan terhindar dari
kejahatannya (dengan tindakannya memisahkan diri dari mereka), bukan
bahwa ia akan terhindar dari kejahatan mereka. Sikap pertama adalah
hasil dari seseorang yang memandang rendah dirinya sendiri; sikap kedua
adalah akibat seseorang merasa bahwa dirinya lebih baik dari masyarakat.
Orang yang mengganggap dirinya tiak berharga adalah rendah hati, dan
orang yang menganggap dirinya lebih bergarga ketimbang orang lain
adalah takabur.
Seseorang melihat seorang rahib dan berkata kepadanya : “Anda seorang
rahib.” Ia menjawab : “Bukan, aku adalah anjing penjaga. Jiwaku adalah
seekor anjing yang menyerang ummat manusia. Aku telah menjauhkannya
dari mereka supaya mereka aman.”
Seseorang lewat di hadapan syeikh yang shaleh. Sementara syeikh itu
bergegas merapatkan jubahnya supaya tidak bersentuhan dengan pakaian
orang tersebut. Orang tersebut bertanya : “Mengapa Anda menarik jubah
Anda?” Pakaian saya tidak kotor.” Sang Syeikh menjawab : “Dugaan Anda
salah. Saya menarik jubah supaya tidak menyentuh pakaian Anda karena
jubah saya kotor, kalau tidak, jubah saya pasti mengotori pakaian Anda.
Jadi bukan karena saya bermaksud menjaga jubah saya supaya tidak
kotor.”
Untuk dapat ber-Uzlah dengan tepat, seseorang harus mempunyai
pengetahuan agama untuk memantapkan tauhidnya, agar setan tidak
menggodanya dengan bisikan-bisikannya. Ia juga harus mempunyai
pengetahuan yang dapat diperolehnya dari syariat – tentang kewajibannya,
sgar segala urusannya berada di atas dasar yang kokoh. Sesungguhnya,
‘uzlah adalah menjauhi sifat-sifat hina, mengubah sifat-sifat hina tersebut,
bukannya amenjauhkan diri lewat jarak tempat. Itulah sebabnya mengapa
lahir pertanyaan : “Siapakah orang ‘arif itu?” Mereka menjawab : “Orang
yang ada dan yang jelas, yakni ada bersama makhluk, jelas namun jauh
dari mereka lewt rahasianya.”
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq r.a. berkata : “Aku memakai pakaian
sebagaimana orang banyak memakaianya, makan makanan yang seperti
mereka makan. Namun aku menyendiri dari mereka dalam rahasia.” Saya
mendengar ia berkata : “Ada orang yang datang kepadaku dan bertanya,
‘engkau datang dari jarak yang jauh?” saya menjawabnya, ‘Pembicaraan ini
bukannya peristiwa bepergian dengan jarak dan ukuran perjalanan.
Berpisahlah dari diri Anda sendiri dalam satu langkah saja, dan Anda pasti
mencapai tujuan Anda.”
Abu Yazid mengatakan : “Aku melihat Tuhan dalam mimpi, lalu aku
bertanya : “Bagaimana aku musti menjumpai-Mu?” Tuhan menjawab :
“Tinggalkan dirimu dan kemarilah.”
Abu Utsman al-Maghriby berkomentar : “Adalah wajar bagi seseorang yang
memutuskan memisahkan diri dari kesertaan bersama sesamanya supaya
bebas dari segala jenis pengingatan, kecuali pengingatan kepada Tuhan,
terbebas dari semua hawa nafsu kecuali keinginan mencari ridha Tuhan,
dan terbebas dari tuntutan diri akan segala sebab duniawi. Apabila tidak
demikian, maka tindakannya berkhalwat hanya akan melemparkannya ke
dalam cobaan atau petaka.”
Dikatakan bahwa sendiri dalam khalwat sangat dekat pada ketenangan
jiwa .
Seseoarng mengunjungi Abu Bakr al-Warraq, dan sewaktu akan pulang, ia
berkata : “Saya telah menemukan yang terbaik dari dunia dan akhirat
dalam khalwat dan kemiskinan, dan saya telah menemukan yang terjelek
dari keduanya (dunia dan akhirat) dalam pergaulan dengan manusia dan
kemewahan.
Ditanya tentang ‘uzlah, Abu Muhammad al-Jurairy menjawab : “’Uzlah
adalah Anda masuk ke dalam kumpulan orang banyak sambil menjaga
batin Anda supaya tidak diharu-biru oleh mereka. Anda menjauhkan diri
dari dosa-dossa, dan batin Anda berhubungan dengan al-Haq.”
Ada yagn mengatakan : “Siapa pun memlih ‘Uzlah akan mencapai
kemuliannya.”
Sahl mengatakan : “Khalwat tidak sah, kecuali dengan memakan makanan
haalal, dan memakan makanan halal tidak sempurna kecuali menunaikan
Hak Allah swt.”
Dzun Nuun al-Mishry mengatakan : “Aku tidak menemukan sesuatu hal
pun yang lebih baik yang dapat melahirkan keikhlasan selain kahlwat.”
Abu Abdullah ar-Ramly bekata : “Gantilah sahabat Anda dengan khalwat,
makanan Anda adalah lapar, dan ucapan Anda menjadi munajat. Maka
Anda akan mati atau mencapai Allah swt.”
Dzun Nuun al-Mishry mengatakan : “Orang yang menyembunyikan dirinya
dari sesama manusia melalui khalwat tidaklah seperti orang yang
menyembunyikan dirinya dari sesamanya melalui Tuhan.”
Al-Junayd berkata : “Kesulitan dalam ‘uzlah lebih mudah diatasi ketimbang
kesenangan berada bersama orang lain.” Makhul asy-Syaami mengatakan :
“Memang bergaul dengan sesama manusia ada baiknya, tetapi ada rasa
aman dalam ‘uzlah.”
Yahya bin Mu’adz berkata : “Keheningan adalah sahabat orang jujur.”
Abu Bakr asy-Syibly selalu mengatakan : “Rusak ... rusak, wahai sahabt!”
Seseorang bertanya kepadanya : “Wahai Abu Bakr, apa pertanda
kerusakan?” Ia menjawab : “Satu dari sekian kerusakan adalah berakrab-
akrab dengan orang banyak.”
Yahya bin Abu Katsir berkata : “Barangsiapa bergaul dengan orang banyak
haruslah menyenangkan hati mereka, dan barangsiapa menyenangkan
hati mereka, berarti telah bertindak munafik .”
Sa’id bin Harb mengatakan : “Aku berangkat menemui Malik Bin Mas’ud di
Kufah, dan ia sendirian di dalam rumahnya. Aku bertanya, “Apakah Anda
tidak merasa takut sendirian?” Ia menjawab : “Aku tidak menganggap
bahwa seseorang yang bersama Allah swt. adalah ketakutan.”
Al-Junayd berkata : “Barangsiapa menginginkan agamanya sehat dan raga
serta jiwanya tenteram, lebih baik ia memisahkan diri dari orang banyak.
Sesungguhnya zaman yang penuh ketakutan, dan orang yang bijak adalah
yang memiliki kesendiriannya.”
Abu Ya’qub as-Susy mengatakan : “Hanya orang-orang yang sangat kuat
sajalah yang harus menyendiri. Akan halnya orang-orang seperti kita,
bergaul dengan orang banyak lebih menguntungkan.”
Asy-Syibly memerintah Abu Abbas ad-Dimaghani demikian : “Praktikkan
kesendirian dan hapuslah nama Anda dari khalayak, hadapkan muka Anda
ke dinding sampai Anda meninggal dunia.”
Seseorang menemui Syu’aib bin Harb, yang bertanya : “Mengapa Anda ke
sini?” Orang tersebut menjawab : “Wahai sahabatku! Sesungguhnya ibadat
tidaklah lestari lewat bergabung dengan yang lain. Seseorang yang belum
menjalin kemesraan dengan Allah swt. tidak akan menjadi mesra dengan
apa-pun.”
Seseorang ditanya : “Hal mengagumkan apakah yang telah Anda temukan
dalam perjalanan Anda?” Ia menjawab : “AlKhidhr menjumpaiku dan ia
ingin menyertaiku. Aku khawatir ia mengacaukan tawakalku kepada Allah
swt.”
Salah seorang Sufi ditanya : “Adakah seseorang atau sesuatu di tempat ini
yang dengannya Anda  merasa akrab?” Ia menjawab : “Ada”. Dengan
meletakkan Al-Qur’an di atas pangkuannya, ia menjawab : “Ini”, Berkenaan
makna ucapannya itu, para Sufi membacakan baris-baris berikut :
Buku-bukumu di sekitarku
Tidak meningglakan tempat tidurku
Di dalamnya terdapat obat pelipur
Bagi sakit yang kusembunyikan .
Salah seorang Suf ditanya Dzun Nuun al-Mishry : “Kapan ‘uzlah yang tepat
bagi diriku?” Ia menjawab : “Ketika Anda sanggup memisahkan diri Anda
dari diri Anda sndiri.” Ditanyakan kepada Ibnul Mubarrak : “Apakah obat
bagi hati yang sakit?” Ia menjawab : “Berjumpa dengans sesama manusia
sejarang mungkin .”
Dikatakan : “Apabila Tuhan hendak memindahkan hamba-Nya dari
kehinaan kekafiran menuju kemuliaan ketaatan, Dia menjadikannya intim
dengan kesendirian, kaya dalam kesederhanaan, dan mampu melihat
kekurangan dirinya. Barangsiapa telah dianugerahi semua ini berarti telah
mendapatkan yang terbaik dari dunia dan akhirat.”

4.
TAQWA
Edit : Pujo Prayitno
Alah berfirman :
“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah
orang yang paling bertaqwa di antara kamu.” (Qs. Al-Hujarat :13).
Diriwayatkan oleh Abu Sa’id ak-Khudry, bahwa seseorang menghadap Nabi
saw. dan berkata : “Wahai Rasulullah, nsehatilah saya!.” Beliau menjawab :
“Engkau harus mempunyai ketakwaan kepada Allah, karena ketakwaan
adalah kumpulan seluruh kebaikan. Engkau harus melaksanakan jihad,
karena jihad adalah kerahiban kaum Muslimin. Dan engkau harus dzikir
kepada Allah, karena dzikir adalah cahaya bagimu.” (H.r. Ibnu Dharies,
dari Abu Said).
Anas r.a. meriwayatkan, seseorang bertanya kepada rasulullah saw.
“Siaakah keluarga Muhammad?” Beliau menjawab “Setiap orang yang
takwa.”
Takwa merupakan kumpulan seluruh kebaikan, dan hakikatnya adalah
seseorang melindungi dirinya dari hukum Tuhan dengan ketundukan
kepada-Nya. Asal-Usul taqwa adalah menjaga dari syirik, dosa dan
kejahatan, dan hal-hal yang meragukan (syubhat), serta kemudian
meninggalkan hal-hal utama (yang menyenangkan).
Menurut Syeikh Abu Ali ad.-Daqqaq r.a. masing-masing bagian tersebut
memiliki bab tersendiri. Dan dinyatakan di dalam tafsir menganei firman
Allah swt. “Bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa
kepada-Nya.” (Qs. Ali Imran : 102), ayat ini mempunyai makna bahwa Dia
harus dipatuhi dan tidak ditentang, diingat dan tidak dilupakan, dan
bahwa kita harus bersyukur kepada-Nya, dan tidak mengufuri-Nya.
Sahl bin Abdullah menegaskan : “Tiada penolong sejati selain Allah; tidak
satu pun pembimbing yang sebenarnya selain Utusan Allah; tak satu pun
perbekalan yang mencukupi selain takwa, dan tidak satu pun amal yang
langgeng keteguhannya selain bersabar.
Al-Jurairy mengatakan : “Dunia dibagi secara adil sesuai dengan cobaan,
dan akhirat dibagi secara adil sesuai dengan takwa.”
AL-Jurairy mengatakan : “Orang yang belum menjadikan taqwa dan
muraqabah sebagai hakim, antara dirinya dan Tuhan tidak akan
memperoleh musyafah dan musyahadah.”
An-Nashr Abadzy menjelaskan : “Taqwa adalah bahwa hamba waspada
terhadap segala sesuatu selain Allah swt. Barangsiapa menginginkan takwa
yang sempurna, hendaknya menghindari setiap dosa. Siapa pun yang teguh
dalam taqwa akan merindukan pepisahan dengan dunia, karena Allah swt
berfirman : “Dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-
orang  yang bertakwa. Maka tidakkah kamu memahaminya.” (Qs. Al-An’am
:32).
Sebagian Sufi berkata : “Tuhan menjadikan berpaling dari dunia dengan
mudah bagi orang yang benar-benar bertaqwa.” Abu Abdullah ar-Rudzbary
mengatakan : “Takwa adalah menghindarkan diri dari segala sesuatu yang
menjadikan diri jauh dari Allah swt.”
Dzun Nuun al-Mishry mengatakan : “Orang yang bertakwa kepada Allah
adalah orang yang tidak menodai aspek lahirian dirinya dengan sikap
keras kepala, tidak pula aspek batiniahnya dengan alamat-alamat
keruhanian. Ia berdiri di sisi Allah dalam keadaan selaras.”
Abul Hasan al-Farisy berkata : “Takwa mempunyai dimensi lahir dan batin.
Dimensi lahir adalah pelaksanaan syariah, dan aspek batinnya adalah niat
dan mujahadah.”
Dzun Nuun membacakan baris-baris sejak berikut :
Tak ada kehiduan
Selain bersama mereka
Yang hatinya mendambakan takwa
Dan yang istirahat dalam dzikir
Tentram dalam ruh keyakinan
Seperti anak menyusu di pangkuan ibunya.
Dikatakan : “Takwa seseorang ditandai oleh tiga sikap yang baik : Tawakal
terhadap apa yang belum dianugerahkan, berpuasa diri dengan apa yang
telah dianugerahkan, dan bersabar dalam menghadapi milik yang hilang.”
Thalq bin Habib menjelaskan : “Takwa adalah bertindak sesuai dengan
ketundukan kepada Allah sesuai dengan cahaya Allah swt.”
Abu Hafs mengatakan : “Takwa adalah sikap seseorang membatasi dirinya
terhdap hal-hal yang jelas diperbolehkan, hanya itu.”
Abu Husyn az-Zanjany mengatakan : “Barangsiapa yang modal hartanya
adalah takwa, ia akan lelah menghitung labanya.”
Al-Wasithy menegaskan : “Takwa adalah sikap seseorang menjauhi
ketakwaannya; artinya menghindari kesadaran akan taqwa. Contoh orang
yang bertakwa adalah Ibnu Sirin. Suatu saat Ibnu Sirin membeli empat
puluh kaleng mentega. Ketika salah seorang membantunya menyingkirkan
seekor tikus dari salah satu gucinya, Ibnu Sirin bertanya kepadanya, “Guci
mana yang darinya tikus itu kamu singkirkan? Ia menjawab : “Saya tidak
tau! Selanjutnya Ibnu Sirin memutuskan mengosongkan semua guci
dengan menuang seluruh mentega ke atas tanah. Contoh orang saleh
adalah Abu Yazid al-Bisthamy. Pada suatu hari ia membeli kunyit jingga di
Hamadhan. Ia menjumpai hanya sedikit kunyit-jingga, dan ketika kembali
ke Bistham, ditemukannya dua ekor semut di kunyit tersebut. Maka, ia
kembali ke Hamadhan dan melepaskan kedua semut itu.”
Abu hanifah tidak pernah mau berteduh di bawah kerindangan pohon
milik orang yang gberhutang kepadanya. Ia menjelaskan, “sebuah hadis
menyatakan :
“Setia hutang yang pengembaliannya disertai kelebihan adalah riba”
(Riwayat al-Ajluni, namun as-Suyuti menganggap hadis ini dha’if).
Abu Yazid sedang mencuci jubah di luar kota bersama seorang sahabat,
ketika sahabatnya berkata : “Kita jemur jubah di dinding pagar kebun buah
itu.” Abu Yazid menjawab : “Jangan menancapkan paku di dinding orang.!”
Sahabatnya menyarankan : “Jemur saja di atas pohon.” Abu Yazid
menjawab : “Aku khawatir ia akan menyebabkan cabang-cabangnya
patah.” Ia berkata : “Bentangkanlah ia di atas rerumputan!” Abu Yazid
menjawab : “Rerumputan itu makanan hewan ternak. Jangan kita
menutupi dengan jubah ini!>” Selanjutnya, ia menghadapkan punggungnya
hingga satu sisi jubahnya mengering, lantas membalik sisi yang lain hingga
mengering pula.
Dikisahkan, pada suatu hari Abu Yazid memasuki masjid dan
menancapkan tongkatnya ke tanah. Tongkat itu roboh dan menimpa
tongkat seseorang yang berusisa lanjut, yang juga menancapkannya di
tanah, dan menyebabkan tongkat orang tersebut roboh. Orang tua itu
membungkuk, lalu mengambil tongkatnya. Abu Yazid pergi ke rumah
orang tua tersebut dan minta maaf kepadanya, dengan mengatakan : “Anda
tentu merasa terganggu disebebkan oleh kelalaian saya, ketika Anda
terpaksa  membungkuk.
Utbah al-Ghulam tampak bercucuran keringat di musim dingin. Ketika
orang-orang di sekitarnya menanyakan hal itu kepadanya, ia memberikan
penjelasan. “Ini adalah tempat di mana aku telah bermaksiat kepada Allah
swt.” Ketika diminta memberikan penjelasan lebih lanjut, ia mengatakan :
“Aku mengambil sebongkah lempung dari dinding ini, supaya tamuku
dapat membersihkan tangan dengannya, tetapi aku tidak meminta izin
terlebih dahulu kepada pemilik dinding ini.”
Ibrahim bin Adham berkaa : “Pada suatu malam aku menggisi waktu di
bawah kubah Masjid Kubah Batu Karang di Baitul Maqdis. Di tengah
malam sepi turun dua malaikat. Malaikat pertama bertanya kepada
sahabatnya : “Siapakah orang yang berdiam di sini? Sahabatnya menjawab
: “Ibrahim bin Adham.” Malaikat pertama itu berkata : “Inilah orang yang
derajatnya telah diturunkan Allah swt. satu tingkat! Maka, Malaikat ke dua
bertanya : “Mengapa? Ia menjawab : “Karena ketika ia membeli sedikit
kurma di Nashrah, sebutir kurma bercampur menjadi satu dengan kurma
yang dibelinya, ia tidak mengembalikan kepada pemiliknya.”
Kemudia Ibrahim melaporkan : “Aku berangkat ke Bashrah, membeli
kurma dari orang tersebut, dan menjatuhkan se butir kurma ke dalam
kurma-kurma miliknya. Aku kembali ke Yerusalem dan dan mengisi malam
hariku di Masjid  Kubah Batu Karang. Ketika sebagian malam berlalu, aku
melihat dua malaikat turun dari langit, dan malaikat yang satu bertanya
kepada sahabatnya : “Siapakah orang yang berdiam di sini? Sahabatnya
menjawab : “Ibrahim bin Adham.” Malaikat yang bertanya berkata lagi :
“Ini adalah orang yang telah dikembalikan dan dinaikan derajatnya oleh
Allah swt.”
Dikatakan bahwa takwa mempunyai bermacam-macam aspek; bagi kaum
awam taqwa adalah menghindari syirik, bagi kaum terpilih (khawash)
adalah menghindari dosa-dosa, bagi para auliya’ adalah menghindari
ketergantungan pada amal, dan bagi para Nabi menghindari menisbatkan
amal kepada selain Allah swt. Sebab taqwa mereka datang dari-Nya dan
kembali kepada-Nya.
Amirul Mukminin Ali bin Abu Thalib r.a. berkata : “Kaum termulia di
dalam dunia adalah kaum dermawan dan yang paling mulia di akhirat
adalah kaum yang taqwa. ”
Diriwayatkan oleh Abu Umamah, bahwa Nabi. Saw. menegaskan :
“Apabila seseorang menatap kecantikan seorang wanita dan kemudian
menundukkan matanya setelah tatapan pertama, maka Allah menjadikan
tindakannya itu suatu ibadat yang rasa manisnya dirasakan oleh hati orang
yang melakukannya .” (Hr. Ahmad dalam Musnad-nya).
Al-Junayd sedang duduk-duduk bersama Ruwaym, Al-Jurairy dan Ibnu
Atha’. Al-Junayd berkata : “Seseorrang tidak akan selamat kecuali bila
berlindung secara ikhlas kepada Allah.” Allah swt. berfirman : “Dan
terhadap tiga orang yang tidak ikut serta (berjihad), hingga ketika bumi
telah menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas dan jiwa mereka
pun telah sempit (pula terasa) oleh mereka, serta mereka telah mengetahui
bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah, melainkan kepada-Nya saja.
Kemudian Allah menerima tobat mereka agar mereka tetap dalam
tobatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.”
(Qs. At-Taubah :118).
“Dan Allah menyelamatkan orang-orang yang bertaqwa kaena kemenagan
mereka, mereka tiada disentuh oleh azab (neraka dan tidak pula) mereka
berduka cita.” (Qs. Az-Zumar :61).
Al-Jurairy berkata : “Seseorang akan selamat hanya dengan tekun
beribadat. Allah swt. berfirman : “.... (yaitu) orang-orang yang memenuhi
janji Allah dan tidak merusak perjanjian.” (Qs. Ar-Ra’ad :20).
Ibnu Atha’ menegaskan : “Seseorang akan tidak selamat kecuali dengan
sikap malunya di hadapan Allah swt. Allah swt. berfirman : “Tidakkah ia
mengetahui bahwa sesungguhnya Allah melihat segala perbuatannya.” (Qs.
Al’Alaq :14). “Bahwa sanya orang-orang yang telah ada untuk mereka
ketetapan yang baik dari kami, mereka itu dijauhkan dari neraka.: (Qs. Al-
Anbiya :101).
Diaktakan, seseorang tidak akan selamat kecuali dengan pilihan yang telah
ditetapkan atas dirinya. Allah swt. berfirman : “Dan kami telah memilih
mereka (untuk menjadi Nabi-nabi dan Rasul-rasul) dan Kami menunjuki
mereka ke jalan yang lurus.” (Qs. Al-An’am :87).
5.
WARA‘
Edit : Pujo Prayitno
Diriwayatkan oleh bu Dzar al-Ghiffary, (Abu Dzar adalah Jundub bin
Junadah al-Ghiffary (wafat 23 H/652 M.) dari bagi Ghiffar, seorang sahabt
yang telah dulu masuk Islam. Beliau sangat jujur dan memiliki
keteladanan. Tinggal di Damaskus), bahwa Rasulullah saw. bersabda :
“Sebagian dari kebaikan tindakan keIslaman seseorang adalah bahwa ia
menjauhi segala sesuatu yang tidak berarti.” (H.r. Malik Bin Anas, Tirmidzi
dan Ibnu Majah).
Syeikh Abu Ali ad.daqqaq mengatakan : “Wara’ adalah meninggalkan apa
pun yang syubhat.” Dmeikian pula, Ibrahim bin Adham memberika
penjelasan : “Wara’ adalah meninggalkan segala sesuatu yang meragukan,
segala sesuatu yang tidak berarti, dan apa pun yang berlebihan.”
Abu Bakr ash.Shiddiq r.a. berkaa : “Kami dahulu selalu meninggalkan
tujuhpuluh perkara yang termasuk ke dalam hal-hal yang dihalalkan,
karena khawatir terjerumus ke dalam satu hal yang haram.”
Diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a. bahwa Nabi saw. bersabda :
“Bersikaplah wara’, dan kamu akam nejadi orang yang paling taat
beribadat di antara ummat manusia.” (H.r. Ibnu Majah, Thabrani dan
Baihaqi).
As. Saru berkata : “Terdapat empat orang yang wara’ di zaman mereka :
Hudzaifah al-Murta’isy, Yusuf bin Asbat, Ibrahim bin Adham dan Sulaiman
al-Khawwas. Mereka bersikap wara’. Dan apabia usaha untuk
mendapatkan sesuatu yang halal begitu sulit bagi mereka, mereka
mencarinya seminimal mungkin.”
Asy-Syibli berkomentar : “Wara’ adalah sikap menjauhi segala sesuatu
selain Allah swt.”
Ishaq bin Khalaf mengatakan : “Wara’ dalam bicara lebih sulit ketimbang
menjauhi emas dan perak, dan zuhud dari kekuasaan lebih sulit ketimbang
menyerahkan emas dan perak, karena Anda siap mengorbankan emas dan
perak demi kekuasaan.”
Abu Sulaiman ad-Darany mengatakan : “Wara’ adalah titik tolak zuhud,
sebagaimana sikap puas  terhadap apa yang ada adalah bagian utama dari
ridha.”
Abu Utsman mengatakan : “Pahala bagi wara’ adalah kemudahan
penghitungan amal di akhirat.”
Yahya bin Mu’adz berkata : “Wara’ adalah berpangku pada batas ilmu
tanpa menakwilkannya.”
Dikatakan : “Sekeping uang loga kecil milik Abdullah bin Marwan jatuh ke
dalam sebuah sumur yang berisi kotoran, lalu ia meminta bantuan
seseorang untuk mengambilnya dengan membayarnya tiga belas dinar.
Ketika seseorang bertanya kepadanya, ia memberikan penjelasan : Nama
Allah swt. tertera pada uang itu.”
Yahya bin Mu’adz menegaskan : “Ada dua jenis wara’ : Wara’ dalam
pengertian dzahir, yaitu sikap yang mengisyaratkan bahwa tidak ada satu
tindakan pun selain karena Allah swt. dan wara’ dalam pengertian batin,
yaitu sikap yang mengisyaratkan bahwa tidak ada sesuatu pun yang
memasuki hati Anda kecuali Allah swt.”
Ia juga berkata : “Orang yang tidak memeriksa dan meahami seluk beluk
wara’ tidak akan mendapatkan anugerah.”
Dikatakan : “Orang yang pandangan atas agama jeli, akan memperoleh
peringkat yang tinggi di Hari Kebangkitan”
Yunus bin Ubaid mengatakan : Wara’ berarti keluar dari segala syubhat,
dan merefleksikan diri dalam setiap pandangan.”
Sufyan ats-tsaury berkomentar : “Aku belum pernah melihat sesuatu yang
mudah selain wara’. Apap pun yang diinginkan oleh hawa nafsu Anda,
tinggalkanlah!.”
Ma’ruf al-Karkhy mengajarkan : “Jagalah lidah Anda dari pujian,
sebagaimana Anda menjaganya dari cacian.”
Bisyr ibnul Harits berkata : “Hal-hal paling sulit untuk dilaksanakan, ada
tiga : Dermawan di masa-masa sulit, wara’ adalah khalwat, dan
menyampaikan kebenaran kepada seseorang yang Anda takuti dan Anda
jadikan harapan.
Saudara wanita Bisyr al-Hafi mengunjungi Ahmad bin Hanbal dan
memberitahukan kepadanya : “Kami sedang memintal di atas atap rumha,
ketika obor kaum Dzahiriyah berlalu dan cahayanya menyinari kami.
Apakah diperbolehkan bagi kami memintal di dekat cahaya mereka?”
Ahmad bertanya : “Siapakah Anda, (semoga Allah menjaga kesehatan
Anda)?” Ia menjawab : “Saya adalah saudara wanita Bisyr al-Hafi.” Ahmad
menangis, lau berkata, “Wara’ yang jujur muncul dari keluarga Anda.
Jangan memintal di dekat cahaya itu!.”
Ali al-Atthar berkata : “Suatu ketika aku sedang berjalan melewati Bashrah
melintasi sebuah jalan, dan aku melihat beberapa orang Syeikh sedan
duduk, sementara beberapa pemuda bermain di dekatnya. Oleh karena itu
aku bertanya kepada mereka, ‘Apakah Anda sekalian tidak malu bermain
di depan Syeikh-Syeikh ini? Salah seorang pemuda tersebut menjawab,
‘Wara’ para syeikh ini demikian kecil sehingga kami memandang kecil
mereka.”
Dikatakan bahwa Malik Bin Dinar tinggal di Bashrah selama empatpuluh
tahun, ia tidak pernah memakan kurma kering maupun yang masih segar
dari kota tersebut. Sampai saat musim berlalu, ia berkata, ‘Wahai
penduduk Bashrah, inilah perutku, tidak kurang juga tidak pernah
bertambah!.”
Seseorang bertanya kepada Ibrahim bin Adham, “Mengapa Anda tidak
minum Zam-zam?” Ia menjawab : “Apabila aku mempunyai timba, aku
akan meminumnya.”
Apabila al-Harits al-Muhasiby mengambil makanan yang syubhat, maka
urat di ujung jarinya berdenyut, dan ia menganggap bahwa makanan
tersebut syubhat.
Suatu ketika Bisyr al-Hafi diundang ke jamuan makan, dan dihidangkan
makanan di depannya. Ia hendak menyantap makanan itu, tetapi
tangannya tidak dapat digerakkan, Ia berusaha menggerakkannya hingga
tiga kali. Seseorang yang akrab dengan situasi ini mengatakan :
“Tangannya tidak pernah mengambil makanan yang syubhat. Percuma saja
tuan mengundang Syeikh ini.”
Ketika Sahl bin Abdullah ditanya tentang halal yang murni, ia menjawab :
“Yaitu yang di dalamnya tidak pernah dicampuri maksiat kepada Allah swt.
Dan Halal yang murni adalah yang Allah tidak dilupakan di dalamnya.”
Hasan al-Bashry memasuki Mekkah, ia melihat salah seorang keturunan Ali
bin Abi Thalib r.a. bersandar ke Ka’bah dan berceramah di hadapan
sekumpulan orang. Hasan bergegas menghampirinya, lalu bertanya :
“Siapakah yang menguasai agama-agama?” Ia menjawab : “Orang wara’.”
Hasan bertanya lagi : “Apakah yang merusak agama?” Ia menjawab :
“Kesereakahan.” Maka Hasan mengaguminya, seraya berkata : “Bobot
sebutir wara’ yang cacat adalah lebih baik ketimbang bobot seribu hari
berpuasa dan shalat,”
Abu Hurairah mengatakan : “Sahabat-sahabt dalam majelis Allah swt, di
akhirat adalah orang-orang yang wara’ dan zuhud.”
Sahl bin Abdullah berkata : “Apabila wara’ tidak menyertai seseorang, ia
tidak akan pernah merasa kenyang, sekalipun diwajibkan baginya makan
kepala gajah.”
Sedikit minyak kasturi yang berasal dari rampasan perang dibawa ke
hadapan Umar bin Abdul Aziz. Katanya : “Manfaat satu-satunya adalah
aroma keharumannya, dan aku tiak ingin hanya diriku sendiri yang
mencium aromanya, sementara seluruh kaum Muslim tidak berbagi
mambauinya.”
Ketika ditanya tentang wara’ Abu Utsman al-Hiry berkata : “Abu Shalih
Hamdunal al-Washshar berada bersama salah seorang sahabatnya yang
sedang menjelang maut. Orang tersebut meninggal, dan Abu Shalih
memadamkan lampu. Seseorang bertanya kepadanya tentang hal ini, lalu
ia mengatakan. “Sampai sekarang minyak yang di dalam lampu ini menjadi
milik para ahli warisnya. Carilah minyak yang bukan miliknya!.”
Hamisan berkata : “Aku meratapi dosaku selama empatpuluh tahun. Salah
seorang sauddara mengunjungiku, dan kubelikan sepotong ikan rebus
untuknya. Ketika ia selessai memakannya, aku mengambil sebongkah
lempung dinding milik tetanggaku, sampai ia dapat membersihkan
tangannya, dan aku belum meminta haalnya.”
Seseorang sedang menulis suatu catatan saat ia tinggal di sebuah rumah
swa dan ingin mengeringkan tulisannya dengan debu yang dapat diperoleh
dari dinign rumah tersebut. Ia teringat bahwa rumah yang ditempatinya
adalah ruamh sewa, akan tetapi ia bependapat bahwa hal itu tidaklah
penting. Karenanya, ia pun menegeringkan tulisan tersebut dengan debu.
Kemudian ia mendengar sebuah suara mengatakan : “Orang meremehkan
debu akan melihat betapa lama perhitungan amalnya kelak.”
Ahmad bin Hanbal – semoga Allah melimpahkan kasih sayang kepadanya –
menggadaikan sebuah ember kepada seorang penjual bahan makanan di
Mekkah. Ketika ingin menebusnya, penjual bahan makanan tersebut
mengeluarkan dua ember, sembari mengatakan “Ambillah, yang mana
ember milik Anda.?” Ahmad menjawab : “Saya ragu. Oleh karena itu,
simpan saja, baik kedua meber maupun uang itu untuk Anda!” Penjual
makanan tersebut memberri tahu, “Inilah ember Anda. Saya hanya ingin
menguji Anda.” Ahmad menyahut : “Saya tidak akan mengambilnya.” Lalu
pergi, dengan meninggalkan ember kepunyaannya kepada si penjual bahan
makanan.
Sayyab Ibnul Mubarak membiarkan kudanya yang mahal berkeliaran
dengan bebas ketika ia sedang melkukan shalat dzuhur. Kuda tersebut
merumput di ladang milik Kepala Desa. Akhirnya, Ibnul Mubarak
meninggalkan kuda tersebut dengan tidak mengandarainya. Dikatakan
bahwa Ibnul Mubarak sutu ketika pergi pulang dari Marw ke Syria, gara-
gara telah meminjam sebuah pena dan lupa mengembalikannya.
An-Nakha’y menyewa seekor kuda. Ketika cambuknya terlepas dari tangan
dan jatuh, ia pun turun seraya mengikat kudanya, dan berjalan untuk
memungut cambuk tersebut. Seseoang berkomentar, “Akan lebih mudah
sandainya Anda mengendalikan kuda Anda menuju tempat di mana
cambuk itu jatuh dan kemudain mengambilnya.” An-Nakha’y menyahut :
“Aku menyewa kuda itu untuk pergi ke arah sana, bukan ke arah sini.”
Abu Bakr ad-Daqqaq berkata : “Aku berkelana di padang belantara bani
Israil selama limabelas hari, dan ketika tiba di sebuah jalan, seorang
prajurit menemuiku dan memberi seteguk air minum. Air itu
menumbuhkan penderitaan dalam hatiku, dan aku menderita selama
tigapuluh tahun.”
Rabi’ah Adawiyah menjahit bajunya yang sobek di dekat lampu sultan,
tiba-tiba ia tersentak den kemudian sadar. Maka, Rabi’ah pun menyobek
pakaiannya, dan menemukan hatinya.
Sufyan ats-tsaury suatu ketika bermimpi mempunyai sepasang sayap yang
dapat digunakan untk terbang ke surga. Kemudian ia ditanya : “Dengan apa
hingga Anda dianugerahi ini?” Dijawabnya : “Wara.”
Ketika Hissan bin Abi Sinan menghampiri murid-murid al-Hasan, ia
bertanya : “Hal apakah yang paling sulit bagi Anda?” Mereka menjawab :
“Wara”, IA berkata : “Tiada sesuatu yag paling mudah bagiku selain ini
(wara’). Mereka bertanya : “Mengapa demikina?” Hissan bin Abi Sinan
menanggapi : “Aku belum pernah minum air dari mata air milik Anda
semua selama empatpuluh tahun.”
Hissan bin Abi Sinan tidak tidur terlentang atau makan-makanan berlemak
atau minum air dingin selama empat puluh tahun. Seseorang bermimpi
bertemu dengan Hissan bin Abi Sinan, lalu bertanya kepadanya tentang
apa yang telah Allah lakukan atas dirinya. Dijelaskan oleh Hissan bin Abi
Sinan : “Baik, kecuali bahwa pintu surga tertutup bagiku, karena jarum
yang pernah kupinjam belum ku kembalikan.”
Badul Wahid bin Zaid mempunyai seorang pembantu rumah tangga yang
bekerja kepadanya selama bertahun-tahun dan beribadah secara khusyu’
selama empat puluh tahun. Sebelumnya ia adalah seorang penimbang
gandum. Dan ketika ia meninggal, seseorang bermimpi bertemu
dengannya. Ditanya tentang apa yang telah Allah lakukan atas dirinya?”
Dijawabnya : “Baik, kecuali bahwa aku dihalangi memasuki pintu surga,
disebabkan oleh debu pada timbangan gandum yang dengannya aku
menimbang empatpuluh porsi gandum.
Ketika Isa putra Maryam a.s. melewati sebuah makam, seseorang berteriak
dari dalam kuburnya. Allah swt. menghidupkannya kembali dan Isa
bertanya kepadanya : “Siapakah Anda? Ia menjawab : “Aku adalah seorang
kuli, dan pada suatu hari, saat aku mengantarkan kayu bakar untuk
seseorang, aku mematahkan sepotong kayu kecil. Sejak aku meninggal, aku
dianggap bertanggung jawab atas hal itu.”
Abu Sa’id al-Kharraz berbicara tentang wara’, ketika Abbas bin la-Muhtadi
berlalu didhadapannya. IA bertanya : “Wahai Abu Sa’id, apakah anda tidak
mempunyai rasa malu? Anda duduk di bawah atap Abu ad-Dawaniq,
minum dari penampungan air Zubaydah, berniaga dengan riba, tetapi
berbicara tentang wara’.

6.
ZUHUD
Edit : Pujo Prayitno
Nabi saw. bersabda :
“Apabila kamu sekalian melihat seseorang yang telah dianugerahi zuhud
berkenaan dengan dunia dan ucapan, maka dekatilah ia, karena ia
dibimbing oleh hikmah.” (H.r. Abu Khallad dan di-Takhrij oleh Abu Nu’im
dan Baihaqi).
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq mengatakan : “Pada umumnya banyak orang
berbeda pendapat berkenaan dengan zuhud. Sementara orang ada yang
mengatakan, ‘Zuhud bersangkutan dengan perkara yang haram saja, sebab
perkara yang halal diterima Allah swt. Apabila Allah swt. memberikan
berkat kepada hamba-Nya berupa harta yang halal dan hamba itu
bersyukur kepada-Nya atas berkat itu, maka ia meninggalkan menurut
upayanya, tanpa harus mengajukan hak izin untuk mengekangnya.”
Sebagian yang lain mengatakan : “Zuhud terhadap perkara yang haram
adalah suatu kewajiban, sementara zuhud terhadap perkara yang halal
adalah suatu keutamaan. Apabila hamba yang berzuhud miskin, tetapi
sabar terhadap keadaannya, bersyukur serta merasa puas atas segala
sesuatu yang telah dianugerahkan Allah swt. kepadanya maka hal itu lebih
baik ketimbang berusaha menimbun kekayaan berlimpah di dunia.”
Alalh swt. telah menghimbau ummat manusia untuk bersikap zuhud
berkenaan dengan pemerolehan kekayaan, melalui firmannya :
“Katakanlah, Kesenangandi dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih
baik untuk orang-orang yang bertaqwa.” (Qs. An-Nisa’:77).
Banyak ayat lainnya yang dapat dijumpai berkenaan dengan tidak
berharganya dunia dan seruan untuk bersikap zuhud terhadapnya.
Sebagian orang yang mengatakan : “Apabila seorang hamba
membelanjakan harta dalam ketaatan kepada Allah swt. bersabar, dan tiak
mengajukan keberatan terhadap larangan-larangan syariat untuk
dilakukannya dalam menghadapi kesulitan hidup, maka adalah lebh baik
baginya bersikap zuhud terhadap harta yang dihalalkan.”
Sebagian yang lain berkomentar : “Seyogyanya bagi seorang hamba
memutuskan untuk tidak memilih meninggalkan yang halal dengan
bebannya, dan tidak pula berusaha memenuhi keperluan-keperluannya
harta yang halal, ia harus bersyukur kepada-Nya. Apabila Allah swt
menentukan dirinya berada pada batas kecukupan hidup, maka
hendaknya tidak memaksakan diri mencari kemewahan, karena kesabaran
merupakan suatu yang paling utama bagi pemilik harta yang halal.”
Sofyan ats.Tsauri berkata : “Zuhud terhadap dunia adalah membtasai
keinginan untuk memperoleh dunia, bukannya memakan makanan kasar
atau mengenakan jubah dari kain kasar.
Saru as-Saqathy menegaskan : “Allah SWT. menjauhkan dunia dari para
auliya’-Nya, menjauhkan dari makhluk-makhluk-Nya yang berhati suci,
dan menjauhkannya dari hati mereka yang dicintai-Nya lantaran Dia tidak
memperuntukkannya bagi merak.”
Zuhud disinggung secara tidak langsung di dalam firman-Nya, (“Kami
jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap
apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira
terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu.” (Qs. Al-Hadid :23). Sebab
sang hamba tidak gembira atas apa yang dimilikinya di dunia, dan tidak
pula bersedih atas apa yang tiada dimilikinya.
Abu Utsman berkata : “Zuhud alah hendaknya Anda meninggalkan dunia
dan kemudian tidak peduli dengan mereka yang mengambilnya.”
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq mengatakan : “Zuhud adaah hendaknya Anda
meninggalkan dunia sebagaimana adanya ia, bukan berkata “Aku akan
membangun pondok Sufi (ribath) atau mendirikan masjid.”
Yahya bin Mu’adz mengatakan : “Zuhud menyebabkan kedermawwanan
berkenaan dengan hak milik, dan cinta yang mengantarkan pada semangat
kedermawanan.”
Ibnul Jalla’ berkomentar : “Zuhud adalah sikap Anda memandang dunia ini
hina di mata Anda, maka berpaling darinya akan menjadi mudah bagi diri
Anda.”
Ibu Khafif berkata : “Pertanda zuhud adalah adanya sikap tenang ketika
berpisah dari harta milik.” Dikatakannya pula : “Zuhud adalah ketidak
senangan jiwa pada dunia, dan melepaskan urusan hak milik itu.”
An-Nashr Abadzy berkata : “Orang zuhud selalu asing di dunia dan seorang
ahli ma’rifat )’arif) adalah orang asing di akhirat.”
Dikatakan : “Bagi orang yang benar-benar bersikap zuhud, dunia akan
menyerahkan diri kepadanya dengan penuh kerendahan dan kehinaan.”
Oleh sebab itu, dikatakan : “Apabila sebuah topi jatuh dari langit, ia akan
jatuh di atas kepala seseorang yang tidak menghendakinya.”
Al-Junayd mengajarkan : “Zuhud adalah kekosongan hati dari sesuatu yang
tangan tidak memilikinya.”
Ulama salaf berbeda pendapat soal zuhud. Sufyan ats-Tsaury; Ahmad bin
Hanbal; Isa bin Yunus dan lain-lainnya menegaskan bahwa zuhud di dunia
berarti membatasi angan-angan dan keinginan. Ungkapan sebagaimana
mereka tegaskan, cenderung dipahami sebagai faktor-faktor penyebab
zuhud, sekaligus sebgai faktor pembangkit zuhud dan makna esensial yang
mencakup disiplin zuhud itu sendiri.
Abdullah ibnul Mubarak berkomentar : “Zuhud adalah tawakkal kepada
Alalh swt. dipadu dengan kecintaan kepada kefakiran.
Syaqiq al-Balkhy dan Yusuf bin Asbat juga mengatakan demikian. Jadi, ini
juga merupakan satu dari tanda-tandan zuhud, lantaran si hamba tidak
mampu merelakan kecuali dengan tawakkal kepada Allah swt.
Abdul Wahid bin Zaid memberikan penjelasan : “Zuhud, adalah
menjauhkan diri dari apa pun yang memalingkan Anda dari Allah swt.”
Ketika AL-Junayd bertanya soal zuhud, Ruwaym menjawab, “Zuhud adalah
meremehkan dunia dan menghapus bekas-bekasnya dari hati.”
As-Sary berkata : “Kehidupan seorang zahid tidak akan baik apabila dirinya
terpalingkan dari kepedulian terhadap jiwanya, dan kehidupan seorang
‘arif tidak akan baik apabila terlalu mementingkan jiwanya.”
Al-Junayd berkata : “Zuhud adalah mengosongkan tangan dari harta dan
mengosongkan hati dari kelatahan.”
Ditanya tentagn zuhud, asy-Syibli menjawab : “Zuhud adalah hendaknya
Anda menjauhkan diri dari segala sessuatu selain Allah swt.”
Yahya bin Mu’adz berkata : “Tidak akan sempurna zuhud seseorang,
kecuali memiliki tiga karakter ini : Berbuat tanpa diserta keterikatan,
berbicara tanpa disetai ambisi, dan kemudian tanpa adanya kekuasaan
atas orang lain.”
Abu Hafs mengatakan : “Tidak ada zuhud kecuali dalam perkara yang
halal, dan di dunia ini tiada yang halal, karena tiada pula zuhud.”
Abu Utsman berkata : “Allah swt. memberi seorang zahid sesuatu lebih
daripada sekedar yang diinginkannya, dan Dia memberikan sesuatu
kepada hamba yang dicintai-Nya kurang dari yang ia inginkan, Dia
memberi hamba yang mustqim sesuai yang diinginkannya.”
Yahya bin Mu’adz berkata : “Orang zuhud adalah yang mengusik hidung
Anda dengan bau cuka, tetapi kaum ‘arif menyebarkan keharuman minyak
kasturi.”
Hasan al-Bashry berkata : “Zuhud di dunia, hendaknya Anda membenci
muatan dan pendukungnya.”
Seseorang bertanya kepada Dzun Nuun al-Mishry : “Kapan aya dapat
menjauhkan diri dari dunia?” Daun Nuun menjawab : “Ketika Anda
menjauhkan diri dari Nafsu.”
Muhammad ibnul Fadhl mengatakan : “Sikap memprioritaskan orang lain
bagi kaum zuhud adalah pada waktu mereka berkecukupan, sedangkan
kaum ksatria adalah pada waktu sangat membutuhkan.”
“Dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka
sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan .” (Qs. Al-Hasyr : 9).
Al-Kattany mengatakan : “Sesuatu yang tidak ditentang oleh orang Kufah,
tidak oleh orang Madinah, orang Irak, juga tidak oleh orang Syria, adalah
zuhud terhadap dunia, kedermawanan dan berdoa supaya ummat manusia
mendapatkan kebaikan.” Artinya, tidak seorang pun yang mengatakan
bahwa hal-hal ini tidak terpuji.”
Seseorang bertanya kepada Yahya bin Mu’adz : “Bilakah saya akan
memasuki kedai tawakal, mengenakan jubah zuhud dan duduk dalam
majelis bersama kaum zuhud?” Yahya menjawab : “Ketika Anda tiba pada
suatu keadaan dalam olah ruhani (riyadhah) dalam diri Anda secara
rahasia, sehingga sampai pada batas ketika Allah memutuskan rezeki
kepada Anda sebelum tiga hari tidak merasakan lemah. Tetapi apabila
tujuan ini tidak tercapai, maka duduk di atas karpet kaum zuhud hanyalah
kebodohan, dan saya tidak dapat menjamin bahwa diri Anda tidak akan
terhinakan di tengah-tengah mereka.”
Bisyr al-Hafi menegaskan : “Zuhud adalah seorang raja yang tidak
menempati suatu tempat selain hati yang kosong.”
Muhammad ibnul Asy’ats al-Bikandy berkata : “Barangssiapa berbicara
tentang zuhud dan menyeru manusia kepada zuhud disamping juga
menginginkan sesuatu yang mereka miliki, maka Allah swt. akan
melepaskan kecintaan pada akhirat dari hatinya.”
Dikatakan : “Manakala seoarang hamba menjauhkan diri dari dunia, maka
Allah swt. mempercayakan dirinya kepada malaikat yang menanamkan
kebijaksanaan di dalam hatinya.”
Seorang ‘Sufi ditanya : “Mengapa Anda menolak dunia>” Ia menjawab :
“Karena ia telah menolakku.”
Ahmad bin Hanbal memberikan penjelasan  : “Ada tiga macam zuhud :
Bersumpah menjauhi perkara yang haram adalah zuhud kaum awam;
Bersumpah menjauhi sikap berlebih-lebihan dalam perkara yang halal
adalah zuhud kaum terpilih (Khawash), dan bersumpah menjauhi apa pun
yang memalingkan sang hamba dari Allah swt. adalah zuhud kaum ‘Arifin
.”
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq menuturkan : “Salah seorang Sufi ditanya :
“Mengapa Anda menolak dunia ?” Dijawab sang Sufi : “Karena aku menarik
diri dari kemewahan dan menolak menginginkannya barang sedikit pun.”
Yahya bin Mu’adz berkata : “Dunia ini bagaikan pengantin wanita. Orang
yang menerimanya akan membelai rambutnya penuh kelembutan. Sedang
bagi si zahid, di dalamnya akan tampak kusam, mengacak-acak rambutnya,
dan membakar gaunnya. Kaum ‘Arifin, senantiasa sibuk dengan Allah swt.
tidak sedikit pun menoleh pada sang pengantin wanita.”
As-Sary berkata : “Aku melaksanakan seluruh aturan zuhud dan
dianugerahi segala sesuatu yang kuminta dalam doa, keculai zuhud
terhadap masyarakat. Aku belum mencapai ini, dan aku pun belum
sanggup menanggungnya.”
Dikatakan : “ Kaum zuhud teleh mengucilkan diri dan berkumpul hanya
dengan sesama mereka saja, sebab mereka menjauhi nikmat-nikmat
sementara, demi nikmat-nikmat yang abadi.”
An-Nashr Abadzy berkomentar : “Zuhud adalah memelihara darah kaum
zahidin dan menumpahkan darah kaum ‘Arifin.”
Hatim al-Asham mengatakan : “Kaum zuhud menghabiskan isi dompetnya
sebelum dirinya, dan orang yang berperilaku zuhud menghabiskan dirinya
sebelum dompetnya.”
Al-Fudhailbin ‘Iyadh berkata : “Allah swt. menempatkan seluruh kejahatan
dalam satu rumah dan menjadikan kecintaan kepada dunia sebagai
kuncinya. Dia amenempatkan seluruh kebaikan di rumah yang lain dan
menjadikan zuhud sebagai kuncinya.

7.
DIAM
Edit : Pujo Prayitno
Diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a. Bahwa Rasulullah saw. bersabda :
“Barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah ia tidak
mengganggu tetangganya. Barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari
Akhir, hendaklah menghomati tamunya. Dan barangsiapa beriman Kepada
Allah dan Hari Akhir, hendaklah berkata baik atau diam.” (H.r. Bukhari-
Muslim dan Abu Dawud).
Dari Abu Umamah, bahwasanya ‘Uqbah bin ‘Amir bertanya : “Wahai
Rasulullah, apakah keselamatan itu?”
Beliau menjawab : “Jagalah lidahmu, berpuaslah dengan rumahmu, dan
menangislah untuk dosa-dosamu.” (Hr.Tirmidzi).
Syeikh ad.Daqqaq berkata : “Diam mencerminkan rasa aman dan
merupakan aturan yang mesti dilaksanakan; penyesalan akan
mengikutinya apabila orang terpaksa mencegahnya. Seharusnya dalam
diam, mempertimbangkan di dalamnya hukum syara’, perintah-perintah
dan larangan-larangan harus dipatuhi di dalam sikap diam. Dalam waktu
yang tepat adalah termasuk siffat para tokoh. Begitu pun bicara pada
tempatnya merupakan karakter yang mulia.”
Selanjutnya Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq mengatakan : “Barangsiapa
menahan diri untuk mengucapkan kebenaran dalah setan yang bisu.”
Diam adalah salah satu sikap yang layak dalam menghadiri majelis Sufi,
karena Allah swt. berfirman : “Dan apabila dibacakan Al-Qur’an, maka
dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu
mendapat rakhmat.” (Qs. Al-A’raf :204). Dan Allah swt. menjelaskan
pertemuan jin dan Rasul saw. Firman-Nya, “ ..... maka tatkala mereka
menghadiri pembacaan(nya) lalu mereka berkata, “Diamlah kamu (untuk
mendengarkannya)” (Qs. Al-Ahqaf :29). Allah swt. berfirman : “...... dan
merendahlah semua suara kepada Tuhan Yang Maha Pemurah, maka kamu
tidak mendengar kecuali bisikan saja.” (Qs. Thaaha :108).
Betapa besar perbedaan antara seorang hamba yang diam, menjaga
dirinya dari kebohongan dan fitnah, dengan hamba yang diam karena
takut kepada raja yang menakutkan. Mengenai makna pernyataan ini,
dibacakan baris-baris syair berikut ini :
Aku merenung, apa yang akan kukatakan saat kita berpisah,
Dan terus menerus kusempurnakan ucapan hiba,
Tiba-tiba kulupakan ketika kita berjumpa,
Dan, kalau toh aku bicara, kuucapkan kata-kata hampa .
Para Sufi juga mendendangkan nada-nada ini :
Betapa banyak kata-kata yang inginn kuucurahkan padamu,
Hingga ketika kesempatan bertemu denganmu,
Segalanya jadi kelu .
Juga baris berikut ini  :
Kulihat bicara menghiasi orang muda,
Sedang diam adalah paling baik bagi yang tenang,
Karenanya, betapa banyak huruf yang membawa maut,
Dan betapa banyak pembicara yang berangan
Seandainya ia bisa DIAM .
Ada dua jenis diam : Diam lahir dan diam batin. Hati orang gyang tawakal
adalah diam pada ketentuan rezeki yang diberikan. Sedang orang arif,
hatinya diam untuk berhadapan dengan ketentuan melalui sifat
keselarasan. Yang pertama adalah dengan senantiasa memperbagus
pebuatannya secara kokoh, dan yang kedua, adalah merasa puas terhadap
semua yang ditetapkan oleh-Nya.
Alasan untuk diam boleh jadi merupakan ketakjuban yang disebabkan oleh
pemahaman secara mendadak, lantaran apabila masalah tertentu tiba-tiba
tampak jelas, maka kata-kata menjadi bisu dan tidak ada kefasihan
maupun ucapan. Dalam situasi seperti ini, kesaksian terhapuskan dan tidak
dijumpai baik pengetahuan maupun penginderaan.
Allah saw. berfirman :
“(Ingatlah), hari di waktu Allah mengumpulkan pra Rasul, lalu Allah
bertanya (kepada mereka), ‘Apa jawaban kamu terhadap (seruan)mu?”
Para Rasul menjawab, ‘Tidak ada pengetahuan kami (tentang itu)” (Qs. Al-
Maidah :109).
Prioritas dalam mujahadah adalah diam, sebab mereka mengetahui
bahaya yang terkandung dalam kata-kata. Mereka juga menyadari bahaya
nafsu bicara, memamerkan sifat-sifat mengundang pujian manusia dan
ambisi untuk meraih popularitas di kalangan sejawatnya karena
keindahan tutur katanya. Mereka menyadari bahwa ini semua termasuk
dalam kelemahan-kelemahan manusia. Ini merupakan gambaran orang
yang terlibat dalam olah ruhani. Diam sebagai salah satu prinsip bagi
aturan tahapan dan penyempurnaan akhlak.
Ketika Dawud ath-Tha’y  berkeinginan tetap tinggal di rumah, ia
memutukan untuk menghadiri  majelis Abu Hanifah, sebab ia adalah salah
seorang muridnya. Ia duduk bersama ulama yang lain, dan tidak
memberikan komentar berkenan dengan masalah-masalah yang
didiskusikan. Ketika jiwanya menjadi kuat dengan diam dan praktik diam
yang dilakukan selama setahun, ia lalu tinggal di rumah dan memutuskan
ber’uzlah.
Bisyr ibnu Harits mengajarkan : “Apabila berbicara menyenangkan Anda,
diamlah. Apabila diam menyenangkan Anda , berbicaralah. ”
Sahl bin Abdullah menegaskan : “Diam seorang hamba tidak akan
sempurna, kecuali sesudah ia memaksakan diam atas dirinya.”
Abu Bakr al-Farisy mengatakan : “Apabila tanah kelahiran seorang hamba
bukanlah diam, maka hamba tersebut akan berbicara berlebihan,
meskipun tidak mempergunakan lidahnya. Diam tidak terbatas pada lidah,
tetapi meliputi hati dan semua anggota badan.”
Salah seorang Sufi berkata : “Orang yag tidak menggunakan diam ketika
berbicara, adalah tolol.”
Mumsyad ad-Dinawary berkata : “Orang-orang bijak mewarisi
kebijaksanaan dengan diam dan kontemplasi.”
Ketika Abu Bakr al-Farisy ditanya tentang diam sirri, dijawabnya : “Diam
sirri adalah menjauhkan diri dari kepedihan terhadap masa lampau dan
masa depan.” Dikatakannya pula : “Apabila seorang hamba berbicara
hanya mengenai sesuatu yang menyangkut kepentingannya, dan
keharusan-keharusan bicaranya, maka ia termasuk diam.
Mu’az bin Jabal r.a. berkata : “Kurangilah berbicara berlebihan dengan
sesama manusia dan perbanyaklah berbicara dengan Tuhanmu, mudah-
mudahan hatimu akan (dapat) melihat-Nya.”
Dzun Nuun al-Mishry ditanya : “Di antara manusia, siapakah pelindung
terbaik bagi hatinya?” Dijawab Dzun Nuun : “Yaitu orang yang paling
mampu menguasai lidahnya.”
Ibnu ma’ud berkata : “Tidak ada sesuatu pun yang gpatut diikt berlama-
lama lebih dari lidah.”
Ali bin Bukkar mencatat : “Allah menjadikan dua pintu bagi segala sesuatu,
tetapi Dia menjadikan empat pintu bagi lidah, yaitu dua bibir dan dua baris
gigi.”
Konon Abu Bakr ash-Shiddiq r.a. (Abu Bakr ash-Shiddiq r.a. adalah
Abdullah bin Abi Quhaah (51 s.H – 13 H/ 573 – 634 M) Khalifah pertama dari
Khulafaur Rasyidin. Orang pertama yang masuk Islam. Lahir di Mekkah,
merupakan tokoh Quraisy. Beliau memerangi orang murtad dan membuka
syria dan Irak), biasa engulum sebutir batu selama beberapa tahun dengan
tujuan agar lebih sedikit berbicara.
Abu Hamzah al-Baghdady adalah seorang pembicara ulung. Pada suatu
ketika sebuah suara menyeru kepadanya : “Engkau berbicara, dan
bicaranya sangat bagus. Sekarang tinggalah bagimu untuk berdiam,
sehingga engkau menjadi bagus!” Akhirnya ia tidak pernah lagi berbicara
sampai wafat menjemputnya.
Manakalah asy-Syibly sedang duduk di tengah lingkaran murid-muridnya
dan mereka tidak mengajukan pertanyaan, maka ia bermaksud akan
mengatakan : “Dan jatuhlah perkataan (azab) atas mereka disebabkan
kezaliman mereka, maka mereka tidak dapat berkata (apa-apa).” (Qs.An-
Naml:85). Terkadang seseorang yang terbiasa berbicara menjadi diam,
karena ada kaum Sufi yang lebih layak dari dirinya untuk berbicara.
Ibnu Sammak menuturkan, bahwa Syah al-Kirmany dan Yahya bin Mu’adz
berteman, dan mereka tinggal di kota yang sama, tetapi Syah tidak
menghadiri majelisnya. Ketika ditanya alasannya, ia menjawab : “Sudah
sepatutnya begini.” Orang-orang pun lantas mendesaknya terus hingga
suatu hari al-Kirmany datang ke majelis Yahya dan duduk di pojok di mana
Yahya tidak akan dapat melihatnya. Yahya pun mulai berbicara, naum
secara tiba-tiba ia diam. Kemudian Yahya mengumumkan : “Ada seseorang
yang dapat berbicara lebih baik dariku.” Dan ia tidak mampu melanjutkan
perkataannya itu. Maka al-Kirmany berkata : “Sudah kukatakan kepada
Anda semua bahwa, adalah lebih baik jika aku tidak datang ke majelis ini.”
Terkadang seoarng pembicara memaksakan diri untuk diam karena
keadaan tertentu yang ada pada salah seorang yang hadir. Barangkali
seseorang gyang hadir tidak layak mendengar pembicaraan terkait, hingga
Allah swt. mencegah lidah si pembicara demi ketentraman dan
perlindungan dari mendengar pembicaraan itu. Shingga Allah swt.
menjaganya terhadap pendengar yang bukan kompetennya.
Para Syeikh yang ahli mengenai tharikat ini telah menjelaskan, “Terkadang
alasan diamnya seseoang adalah karena ada jin yang hadir, yang bukan
kompetennya. Karena majelis para Sufi tidak pernah sepi dari kehadiran
sekelompok jin.”
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq menuturkan : “Suatu ketika aku jatuh sakit di
Marw, dan ingin kembali ke Naisabur. Aku bermimpi bahwa sebuah suara
menyeru kepadaku : “Engkau tidak dapat meninggalkan kota ini. Ada
sekelompok jin yang menghadiri majelis-majelis dan mereka memperoleh
manfaat dari ceramah-ceramah yang engkau berikan. Demi mereka,
tinggallah di tempatmu!.”
Sala seorang ahli hikmah berkata : “Manusia diciptakan hanya dengan satu
lidah, namun dianugerahi dua mata dan dua telinga, agar ia mendengar
dan mau melihat lebih banyak dari berbicara.”
Ibrahim bin Adham diundang ke sebuah pesta. Ketia ia duduk, orang-orang
mulai bergunjing dan memfitnah satu sama lain. Ia lalu berkata :
“Kebiasaan kami adalah makan daging sesudah makan roti. Anda ini malah
makan daging lebih dahulu.” Ucapannya ini merujuk kepada firman Allah
swt. :
“Maukah salah seorang di antaramu memakan daging saudaranya yang
mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepada perbuatan itu.” (Qs. Al-
Hujurat :12).
Salah seorang Sufi berkata : “Diam adalah bahasa ketabahan.”
Sebagian mereka mengatakan : “Belajarlah diam sebagaimana kamu
belajar berbicara. Jika bicara menjadi pembimbingmu, maka diam
menguatkanmu.”
Dikatakan : “Menjaga lisan adalah lewat diamnya.” Ada yang mengatakan :
“Lisan ibarat binatang buas, jika tidak kamu ikat, akan menyerangmu.”
Abu Hafs ditanya : “Keadaan manakah yang lebih baik bagi seorang wali,
diam atau berbicara?” Ia menjawab : “Jika si pembicara mengetahui ada
efek negatif dari pembicaraannya, hendaklah ia tinggal diam, bila mungkin
selama usia Nabi Nuh as. Tetapi jika orang yang diam mengetahui efek
negatif dari diamnya, hendaklah berdoa kepada Allah swt. agar diberi
waktu dua kali usia Nabi Nuh as. Agar dapat berbicara (agar bisa
menunjukkan kebaikan).”
Dikatakan : “Diam bagi kaum awam dengan lidahnya; diam bagi kaum
yang ma’rifat kepada Allah swt, dengan hatinya, dan diam bagi para
pecinta (muhibbin) adalah menahan pikiran menyimpang yang
menyelusup pada hati sanubari meraka.”
Sebagian Sufi mengisahkan : “Aku mengekang lidahku selama tigapuluh
tahun, sehingga aku tidak mendengar ucapan kecuali dari kalbuku.
Kemudian aku mengekang kalbuku tiga puluh tahun, sehingga tidak
mendengar kalbuku kecuali ucapanku.”
Salah seorang Sufi mengatakan : “Jika lidah Anda didiamkan, maka belum
tentu Anda telah diselamatkan dari kata hati Anda. Jika Anda telah menjadi
batang tubuh  yang kering kerontang, Anda masih belum terbebas dari
kata-kata hawa nafsu Anda. Dan bahkan jika Anada berjuang dengan susah
payah, jiwa Anda masih belum akan berbicara dengan Anda, sebab ia
adalah tempat tersimpannya batin.”
Dikatakan : “Lidah seorang tolol adalah kunci menuju kematiannya.”
Dikatakan juga : “Jika seorang pecinta berdiam diri, maka ia akan binasa,
dan jika seorang ‘arif berdiam diri, ia akan berkuasa.”
Al-Fudhail bin ‘Iyadh berkata : “Barangsiapa memperhitungkan kata-
katanya dibanding amalnya, maka kata-katanya akan menjadi sedikit,
kecuali apa yang berarti (menurut kebutuhannya).”

8.
KHAUF
Edit : Pujo Prayitno
Allah swt. berfirman :
“Mereka menyeru kepada Tuhan mereka dengan penuh rasa takut (khauf)
dan harap.” (Qs. As-Sajdah :16).
Diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw. telah bersabda
:
“Tidak akan masuk neraka, orang yang menangis karena takut kepada
Allah swt, selama air susu masih mengalir dari susu seorang Ibu. Dan debu
dari jalan Allah tidak akan pernah bercampur dengan asap api neraka
pada batang hidung seorang hamba selamanya.” (H.r. Ar-Rafu’y).
Anas r.a. meriwayatkan, bahwa Rasulullah saw. bersabda : “Seandainya
kamu semua tahu apa yang kuketahui, niscaya kamu akan sedikit tertawa
dan banyak menangis.” (H.r. Bukhari dan Tirmidzi).
Saya katakan bahwa takut (al-khauf) adalah masalah yang berkaitan
dengan kejadian yang akan datang, sebab seseorang hanya merasa takut
jika apa yang dibenci tiba dan yang dicintai sirna. Dan realita demikian
hanya terjadi di masa depan. Apabila dalam seketika timbul rasa takut,
maka ketakutan itu tidak ada kaitannya. Takut kepada Allah swt. berarti
takut pada hukum-Nya, “Maka takutlah kepada-Ku, jika kamu orang-orang
yang beriman.” (Qs. Ali Imran :175). Dia juga berfirman : “Maka hendaklah
kepada-Ku saja kamu menyembah>” (Qs. An-Nahl :51). Juga firman-Nya :
ereka takut kepada Tuhan mereka yang berkuasa atas mereka.” (Qs. An-
Nahl:50).
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq menjelaskan : Takut memliki berbagai tahapan.
Yaitu, Khauf, khasyyah dan haibah.”
Khauf merupakan salah satu syarat iman dan hukum-hukumnya. Allah swt.
berfirman : “Takutlah kepada-Ku, jika kamu orang-orang yang beriman.”
(Qs. Ali Imran :75). Sedangkan Khasyyah adalah salah satu syarat
pengetahuan, karena Allah swt. berfirman : “Sesungguhnya yagn takut
kepada Allahdi antara hamba-hamba-Nya hanyalah para Ulama.” (Qs.
Fathir :28). Sedangkan Haibah adalah salah satu syarat pengetahuan
ma’rifat, sebab Allah swt. berfirman : “Dan Allah memperingatkan kamu
terhadap diri (siksa)Nya.” (Qs. Ali Imran : 28).
Abu Hafs menegaskan : “Takut adalah cambuk Allah swt. yang digunakan-
Nya untuk menghukum manusia yang berontak ke luar dari ambang pintu-
Nya.”
Abul Qasim al-Hakim mencatat : “Ada dua jenis takut, yaitu gentar
(Rahbah) dan takut (Khasyyah). Orang yang merasa gentar mencari
perlindungan dengan cara lari ketika takut, Tetapi orang yang merasa takut
(khasyyah) akan berlindung kepada Allah swt.”
Memang benar kata-kata rahaba dan lari (haraba) memliki arti yang sama,
sebagaimana halnya kata menarik (jadzaba) dan jabadza. Jika seseorang
melarikan diri (rahaba), maka ia ditarik kepada hasratnya sendiri, seperti
halnya para rahib (ruhban) yang mengikuti hasrat nafsu mereka sendiri.
Tetapi jika kendali mereka adalah pengetahuan yang didasarkan pada
kebenaran hukum, maka itu adalah takut (khasyyah).
Abu Hafs berkata : “Takut adalah pelita hati, dengan takut akan tampak
baik dan buruk hati seseorang.”
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkomentar : “Takut adalah bahwa Anda
berhenti mengemukakan dalih dengan kata-kata “seandainya” (‘asaa) dan
“mungkin sekali akan” (saufa).”
Abu Umar ad-Dimasqi menegaskan : “Orang yang takut aalah yang takut
akan dirinya sendiri. Lebih takut dari rasa takutnya kepada setan.”
Ibnul Jalla’ berkata : “Manusia yang takut (kepada Allah swt) adalah yang
dirinya merasa aman dari hal-hal yang membuatnya takut.”
Ditanyakan kepada Ibnu ‘Iyadh. “Mengapa kita tidak pernah melihat orang-
orang yang takut?” Ia menjawab : “Jika Anda termasuk orang-orang yang
takut, niscaya Anda akan melihat mereka, sebab hanya orang-orang yang
takut saja yang melihat orang yang takut.” Hanya Ibu yang kehilangan
anaknya saja yang mau memandang kepada ibu-ibu yang berkabung.”
Yahya bin Mu’adz mengatakan : “Alangkah malangnya anak Adam.
Seandainya ia takut pada neraka sebesar rasa takutnya pada kemiskinan,
niscaya ia akan masuk surga/.”
Syah al-Kiramny berkata “Tanda takut adalah sedih yang terus menerus.”
Abul Qaim al-Hakim berkata : “Orang yang takut kepada sesuatu akan lari
darinya, tapi orang yang takut kepada Allah swt. akan lari kepada-Nya.”
Dzun Nuun al-Mishry – semoga Allah merahmatinya – ditanya, “Bilakah
jalan takut menjadi mudah bagi seorang hamba?” Ia menjawab : “Apabila
ia mengibaratkan dirinya dalam keadaan sakit dan menghindari dari
segala sesuatu yang dikhaatirkan justru akan menjadikan penyakit
berkepanjangan.”
Mu’adz bin Jabal r.a. menuturkan : “Seoang beriman tidak akan merasa
tenteram, dan rasa takutnya tidak dapat ditenangkan sampai ia melewati
jembatan sirathal mustaqim di atas neraka.”
Bisyr al-Hafi berkomentar : “Takut kepada Allah swt. adalah raja yang
hanya bersemayam di dalam hati seorang yang saleh.”
Abu Utsman al-Hiry mengatakan : “Kekurangan yang dihadapi oleh seorang
yang takut adalah justru dalam rasa takutnya.”
Al-Wasithy mengatakan : “Takut adalah tabir antara Allah swt. dan hamba.”
Pernyataan ini mengandung kemusykilan, tetapi maknanya ialah bahwa
seorang yang takut menunggu-nunggu saat yang akan datang, sementara
“anak-anak waktu kini” tidak punya harapan akan masa depan. Sedag
keutamaan orang saleh adalah dosa bagi kaum yang dekat dengan Allah
swt. (Muqarrabun).”
Ahmad an-Nury menegaskan : “Seorang yang takut adalah orang yang lari
dari Tuhannya  kepada Tuhannya.”
Salah seorang Sufi berkata : “Tanda rasa takut adalah kebingungan dan
menunggu-nunggu di pintu gerbang kegaiban.”
Ketika al-Junayd ditanya mengenai takut, ia menjawab : “Takut adalah
datangnya deraan dalam setiap hembusan nafas.”
Abu Sulaiman ad-Darany mengatakan : “Manakala takut telah
meninggalkan hati, maka binasalah ia.”
Abu Utsman berkata : “Ketulusan dalam takut adalah wara’ lahir maupun
batin.”
Dzun Nuun berkata : “Manusia akan tetap berada di jalan selama tiakut
tidak tercabut dari hati, sebab jika takut telah hilang dari hati mereka,
maka mereka akan tersesat.”
Hatim al-Asham menjelaskan : “Setiap sesuatu ada perhiasannya, dan
perhiasan ibadat adalah takut. Tanda takut adalah membatasi keinginan.”
Seseorang mengatakan kepada Bisyr al-Hafi : “Saya lihat Anda takut mati.”
Bisyr al-Hafi menjawab : “Datang ke hadirat Allah swt. adalah suatu
perkara yang sangat dahsyat.”
Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq bertutur : “Aku pergi
mengunjungi Abu Bakr furak ketika ia sakit. Ketika melihatku, air matanya
amengalir bercucuran. Lalu aku pun berkata kepadanya : “Semoga Allah
mengembalikan kesehatanmu dan menyembuhkanmu dari sakit.” Ia
memprotes : “Anda pikir aku takut mati? Sebaliknya aku takut akan apa
yang ada di balik kematina.”
Diriwayatkan oleh Aisyah r.a. (Aisyah putri Abu Bakr ash-Shiddiq r.a.
(wafat 58 H/678 M.) merupakan salah seorang wanita paling pandai di
bidang agama. Beliau Istri Rasulullah saw. dan paling dicintainya.
Disamping itu beliau terbanyak meriwayatkan hadis, dibanding istri-istri
Rusalullah yang lain). Yang bertanya : “Wahai Rasulullah, (sambil membaca
ayat) ‘dan orang-orang yang memberikan hartanaya dengan hati penuh
rasa takut (karena mereka akan kembali kepada Tuhannya)’ (Qs. Al-
Mu’minun : 60-1), apakah mereka itu orang-orang yang pernah mencuri
dan berzina serta minum-minuman keras? Beliau menjawab : “Bukan,
mereka adalah orang-orang yang berpuasa dan shalat dan membayar
zakat, namun takut kalau-kalau semua amal mereka itu tidak diterima.
‘Mereka adalah orang-orang yang bergegas pada kebajikan dan sangat
berpacu (menuju kebajikan itu”’ (Qs. Al-Mu’minun :60-1).”
Abdullah ibnul Mubarak berkata : “Sesuatu yang menimbulkan rasa takut
hingga bersemayam dalam hati adalah mengabadikan muraqabah secara
terus menerus, baik secara lahir maupun batin.”
Ibrahim bin Syaiban berkomentar : “Manakala takut menetap dalam hati,
maka obyek nafsu akan terbakar habis darinya dan hasrat atas dunia akan
terusir,” Dikatakan : “Takut adalah supramasi ilmu sesuai dengan hukum-
hukum.”
Dikatakan : “Takut adalah gerak kalbu dari keagungan Allah swt.”
Abu Sulaiman ad-Darany menegaskan : “Seyogyanya kalbu tidak
dikalahkan, kecuali oleh rasa takut. Sesungguhnya apabila harapan telah
melimpah dalam kalbu, musnahlah kalbu.” Kemudian ia katakan : “Wahai
Ahmad (muridnya), mereka naik melalui takut, dan jika mereka
mengabaikan, mereka akan jatuh.”
Al-Wasithy menegaskan : “Takut (khauf) dan harap (raja’) adalah kendali
bagi diri agar ia tidak dibiarkan dengan kesia-siaan.” Ia pun berkata : “Jika
Tuhan menguasai wujud manusia yang paling dalam (sirr), maka harapan
dan ketakutan tidak akan tersisa lagi. Sebab takut dan harap itu sendiri
merupakan akibat-akibat belaka dari rasa indera hukum kemanusiaan.”
Al-Husain bin Manshur berkata : “Barangsiapa takut akan sesuatu selain
Allah swt. atau berharap akan sesuatu selain Dia, maka semua pintu akan
tertutup baginya dan rasa takut akan mendominasinya, menabiri hatinya
dengan tujuhpuluh tabir, yang paling tipis diantaranya adalah keragguan.
Yang membuatnya takut adalah perenungannya atas akibat-akibat nanti
dan ketakutannya jika perilakunya berubah.”
Firman-Nya :
“Dan jelaslah bagi mereka azan dari Allah yang belum pernah mereka
perrkirakan.” (Qs. Az-Zumar :47).
Alalh swt. berfiman : “Katakanlah, Apakah akan Kami beritahukan
kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?” Yaitu
orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini,
sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.”
(Q.s. Al-Kahfi :103-4).
Maka, betapa banyak orang yang akan merasa senang dengan keadaan
mereka dan mereka diuji, sehingga perilakunya berbalik secara antagonis.
Ketika itulah muqarabah dengan perbuatan keji, dan hudhur menjadi
ghaib.
Saya sering mendengar Syeikh Abu Ali ad.-Daqqaq r.a. mendendangkan
syair :
Engkau duga hari-hari penuh kebaikan jika engkau baik
Tapi engkau tak pernah takut tentang takdir buruk yang bakal tiba
Malam-malam hari memberikan ketentraman kepadamu
Hingga engkau tertipu olehnya,
Sesudah malam yang cerah datanglah kesedihan.
Saya mendengar Manshur bin Khalaf al-Maghriby, membacakan sebuah
kisah :
“Ada dua orang yang saling menemani dalam menempuh cita-cita spiritual.
Kemudian salah seorang diantaranya pergi meninggalkan sahabatnya.
Seiring perjalanan waktu yang cukup lama, tidak terdengar lagi kabar
berita mengenainya. Sahabat yang ditinggal pergi itu kemudian ikut
berperang bersama tentara Muslim memerangi balatentara Romawi.
Dalam pertempuran itu, seorang tentara musuh yang memakai baju besi
menyerang tentara Muslim dan menantang duel. Seorang ksatria Muslim
maju ke depan dan tentara musuh itu membunuhnya. Kemudian maju lagi
seorang ksatria Muslim, dan ia pun terbunuh. Kasatria Muslim yang ketiga
maju ke depan, juga terbunuh. Kemudian majulah Sang Sufi ke depana dan
keduanya lalu terlibat dalam pertempuran. Topeng yang menutupi wajah
tentara Romawi itu terlepas, dan ternyata aia adalah sahabat sang Sufi
yang dulu telah menemaninya beribadah selama bertahun-tahun! Maka
berserulah san Sufi : Model apa ini?”
Musuhnya menjawab : “Aku telah murtad dan menikah dengan sorang
wanita dari kaum ini. Aku sudah memiliki anak-anak dan harta kekayaan.”
Sang Sufi berteriak : “Dan engkau adalah orang yang dahulu bisa membaca
Al-Qur’an dengan berbagai gaya bacaannya!.”
Ia menjawab : “Satu huruf pun aku tidak ingat lagi dari padanya.”
Maka, sang Sufi lalu berkata kepadanya : “Berhentilah dari sikap
perilakumu itu, bertobatlah!>”
Ia menjawab dengan ketus : “Aku tidak mau, sebab aku telah memperoleh
kemasyhuran dan kekayaan. Tinggalkan saja diriku, atau aku akan
melakukan atas dirimu sebagaimana yang telah kulakukan terhadap ketiga
orang temanmu!.”
Sang Sufi berkata : “Ketahuilah, bahwa engkau telah membunuh tiga orang
Muslim. Tidak ada malu yang akan menimpamu jika kamu pergi saja dari
sini. Karena itu, pergilah dan aku akan memberimu tenggang waktu!.”
Maka, orang itu pun mundur ke belakang dan berbalik. Sang Sufi
mengikutinya dan membunuh dengan pedangnya. Sungguh ironis, setelah
menempuh perjuangan dan disiplin spiritual yang cukup lama dan berat,
orang itu akhirnya mati sebagai orang Nasrani!.”
Dikatakan : “Ketika iblis tampail sebagaimana dirinya, Jibril dan Mikail –
semoga kesejahteraan dilimpahkan kepada mereka – tiba-tiba menangis
cukup lama hinggal Allah swt berfirman kepada mereka : “Wahai kalian
berdua, mengapa menangis sedemikian itu?” Mereka menjawab : “”Wahai
Tuhan kami, kami tidak merasa aman dari cobaan-Mu.” Allah swt.
berfirman : “Nah, kalian berdua ternyata tidak bisa aman dari cobaan-Ku.”
Riwayat dari Sary as-Saqathy yang menjelaskan : “Aku melihat hidungku
beberapa kali dalam sehari dengan cara seperti ini, karena takut hidungku
menghitam karena hukuman yang kutakuti.”
Abu Hafs menuturkan : “Selama empat puluh tahun aku benar-benar yakin
bahwa Allah swt. memandangku dengan murkan dan semua amal
perbuatanku membuktikan hal itu.”
Hatim al-Asham menegaskan : “Janganlah kamu tertipu oleh tempat-
tempat yang saleh, sebab tidak ada tempat yang lebih saleh daripada surga,
dan pikirkanlah apa yang telah menimpa Adam as. Di tempat yang begitu
saleh! Jangan Jangan pula kamu tertipu oleh banyaknya amal ibadat.
Sebab, setelah iblis melakukan ibadat begitu lama, ternyata ia harus
mengalami nasibnya seperti itu. Juga, janganlah kamu tertipu oleh
banyaknya ilmu, sebab Bal’am pun mengetahui Nama Allah Yang Teragung
(Al-Ismul A’dzham), tapi lihatlah apa yag terjadi padanya? Jangan pula
kamu tertipu karena bertemu dengan seorang yang saleh, sebab tidak ada
orang yang takdirnya lebih agung daripada al-Musthafa Muhammad saw,
sebab para kerabat dan musuh-musuhnya tidak mengambil manfaat atas
perjumpaan dengannya.”
Ketika bertemu dengan sahabt-sahabtnya pada suatu hari, Ibnul Mubarak
melaporkan : “Aku begitu memberanikan diri kepada Allah swt. kemarin.
Dan aku benar-benar meminta surga.”
Dikatakan bahwa Isa as. Sedang bepergian, dan bersamanya ada seorang
saleh dari bani Israil. Seorang yang terkenal karena kebobrokan akhlaknya,
mengikuti mereka. Duduk agar jauh dari mereka berdua, ia beseru kepada
Allah swt. dengan penuh kerendahan hati : “Wahai Tuhanku, ampunilah
aku!” Sedang si orang saleh berdoa : Ya Allah, bebaskan aku dari orang
berdosa yang mengikuti aku ini, mulai besok pagi.” Maka Allah swt. pun
mewahyukan kepada Isa as. : “Aku telah menjawab doa keda orang yang
berdoa ini; telah Ku tolak doa orang yang saleh ini, dan telah Kuampuni
sipendosa ini.”
Dzun Nuun al-Mishry menuturkan : “Aku bertanya kepada seorang yang
alim : “Mengapa orang-orang mengatakan Anda gila?” Ia menjawab :
“Ketika Dia mengusirku dari sisi-Nya untuk waktu yang lama, aku menjadi
gila karena takut terpisahkan dari-Nya di akhirat.”
Mengenai makna ucapan ini, para Sufi membacakan bait-bait berikut ini :
Bahkan kalaupun aku terbuat dari batu,
Niscaya aku akan meleleh
Maka, bagaimana satu makhluk
Yang terbuat dari tanah
Akan menahannya?
Salah seorang Sufi berkomentar : “Aku tidak pernah melihat seorang yang
lebih besar harapannya di tengah-tengah ummat ini, dan lebih takut
berkenaan dengan dirinya sendiri daripada Ibnu Sirin.”
Sufyan ats-Tsauri jatuh sakit. Ketika alasan sakitnya diberitahukan kepada
tabib, tabib itu berkata : “Ini adalah orang yang hatinya telah tersobek
karena rasa takut.” Tabib itu datang dan memeriksa denyut nadinya, lalu
berkata : “Aku tidak tahu bahwa di kalangan orang beragama ada manusia
yang seperti ini.”
Syibly ditanya : “Mengapa matahari warnanya pucat ketika akan
terbenam?” Ia menjawab : “Sebab matahari telah tergelincir dari tempat
kesempurnaan. Ia menjadi kekuning-kuningan karena ketakutannya
terhadap tahapannya sendiri. Bagi orang yang beriman, saat menjelang
keberangkatannya dari dunia ini telah dekat, warna kulitnya akan menjadi
pucat karena ia takut akan berdiri di hadapan Tuhannya. Dan ketika
matahari terbit, ia bersinar cemerlang. Sama halnya dengan seorang
beriman, ketika dibangkitkan dari kubur, ia muncul dengan wajah yang
bersinar.”
Ahmad bin Hanbal r.a. berkata : “Aku memohon kepada Tuhanku swt. agar
membukakan pintu takut. Dia membukakannya, dan aku pun lalu
mengkhawatirkan kewarasan pikiranku. Karena itu aku beroda : “Ya Allah,
anugerahkan kepadaku rasa takut sebatas yang bisa kumampui.”
Kemudian ketenangan menghapus kekhawatiranku.”

9.
RAJA’
Edit : Pujo Prayitno
“Barangsiapa mengharap pertemuan dengan Allah, maka sesungguhnya
waktu (yang dijanjikan) Allah itu pasti datang.” (Qs. Al-Ankabut :5).
Al-‘Ala’ bin Zaid menuturkan : “Amu menemui Malik bin Dinar dan
menemukan Syahr bin Hausyab bersamanya. Ketika Syahr dan aku pergi
meninggalkan Malik, aku berkata kepada Syahr : “Semoga Allah
merahmatimu, berilah aku nasihat dan perkayalah jiwaku. Semoga Allah
memberimu kekayaan!.” Ia menjawab. Dengan senang hati bibiku Ummu
Darda’ menceritakan kepadaku melalui Abu Darda’, bahwa Rasulullah saw.
mengabarkan bahwa sanya malaikat Jibril as. Mengatakan : “Allah swt.
berfirman : “Wahai hambaKu, selama engkau menyembahKu, berharap
akan bertemu denganKu, dan tidak menyekutukan Aku, niscaya Aku akan
mengampuni apa pun dosa yang tenegah engkau lakukan. Bahkan
sekalipun engkau datang dengan membawa keburukan dan dosa sebesar
bumi, Aku akan mengampunimu, dan tidak mempedulikan (berapa banyak
dosa yang telah engkau lakukan).” (Hr. Thabrani).
Anas bin Malik mengabarkan bahwa Rasulullah saw. bersabda,
bahwasanya Allah swt. berfirman (dalam hadis Qudsi) :
Keluralah dari neraka, wahai kalian yang dalam hatinya masih terdapat
iman walaupun sebesar biji gandum.” Kemudian Dia akan memerintahkan
: “Aku bersumpah demi keagungan-Ku, bahwa perlakuan-Ku terhadap
manusia yang beriman kepada-Ku walaupun sesaat saja di siang hari
ataupun malam, tidak akan sama perlakuan-Ku terhadap orang yang tidak
pernah beriman kepada-Ku.” (H.r. Bukhari – Muslim).
Harapan (Raja’) adalah keterpautan hati kepada sesuatu yang
diinginkannya terjadi di masa yang akan datang, sebagaimana halnya takut
berkaitan dengan apa yang akan terjadi di masa datang. Karena itu,
harapan berlaku bagi sesuatu yang diharapkan oleh seseorang akan terjadi.
Hati menjadi hidup oleh harapan-harapan melenyapkan beban hati.
Perbedaan antara harapan dan angan-angan (tamany) adalah bahwa
angan-angan membuat seseorang menjadi malas. Orang yang hanya
berangan-angan sesuatu tidak akan pernah berusaha untuk membulatkan
tekad (untuk mencapai apa yang diangankannya). Hal yang sebalikya juga
berlaku atas diri seseorang yang memiliki harapan. Harapan adalah sifat
yang terpuji, tetapi angan-angan adalah sifat tercela.
Para Sufi telah berbicara banyak tentang harapan. Syah al-Kirmany berkata
: “Tanda-tanda harapan adalah tat yang baik.”
Ibnu Khubaiq menjelaskan : Ada tiga macam harapan : Ada manusia yang
melakukan amal baik; dengan harapan amal perbuatannya itu akan
diterima oleh Allah swt. Ada lagi orang yang melakukan amal buruk,
kemudian bertobat; harapannya adalah memperoleh pengampunan.
Akhirnya ada orang yang tertipu diri sendiri, yang terus melakukan dosa,
sambil berkata : “Aku berharap untuk memperoleh pengampunan.” Bagi
orang yang tahu bahwa dirinya melakukan amal buruk, takut selayaknya
lebih berkusa atas dirinya daripada harap.”
Dikatakan : “Harapan adalah mengandalkan kemurahan dari Yang Maha
Pemurah dan Maha mencintai.”
Dikatakan pula : “Harapan adalah melihat kegemilangan Ilahi dengan mata
keindahan.”
Juga dikatakan : “Harapan adalah kedekatan hati kepada kemurahan
Tuhan.”
Dikaakan pula : “Harap adalah kesenangan hati terhadap keutamaan tobat
seseorang.”
Dikatakan juga : “Harapan berarti melihat pada kasih sayang Allah swt.
Yang Maha Meliputi.”
Abu Ali ar-Rudzbary berkomentar : “Takut dan harap adalah seperti
sepasang sayap burung. Manakala kedua belah sayap itu seimbang, si
burung pun akan terbang dengan sempurna dan seimbang. Tetapi
manakala salah satunya kurang berfunsi, maka hal ini akan menjadikan si
burung kehilangan kemampuannya untuk terbang. Apabila takut dan
harap keduanya tidak ada, maka si burung akan terlemepar ke jurang
kematiannya.”
Ahmad bin Ashim al-Anthaky ditanya : “Apakah tanda adanya harapan
pada seorang hamba?” Ia menjawab : “Tandanya adalah manakala ia
menerima nikmat anugerah (ihasan), ia terilhami untuk bersyukur, penuh
harap akan menuhnya rahmat Allah swt. di dunia ini dan penuhnya
pengampunan-Nya di akhirat.”
Abu Utsman al-Maghriby berkata : “Barangsiapa mendorong dirinya untuk
berharap saja, maka ia akan terjerumus ke dalam kemalasan, dan
barangsiapa mendorong dirinya kepada takut saja, maka ia akan
terjerumus pada keputusasaan. Yang patut adalah, ada waktu untuk
berharap dan ada waktu untuk takut; keduanya mempunyai tempatnya
sendiri.”
Bakr bin Salim as-Sawwaf menuturkan : “Kami pergi mengunjungi Malik
bin Anas pada petang hari menjelang kematiannya, kami bertanya : “Wahai
Abu Abdullah, bagaimana keadaanmu? Ia menjawab : “Aku tidak tahu apa
yang harus ku katakan kepadamu selain ini : “Kamu akan melihat dengan
mata kepalamu sendiri ampuna dari Allah swt. dalam ukuran yang
melampaui khayalanmu.” Kami menungginya sesudah itu sampai kami
menutupkan matanya setelah ia meninggal dunia.”
Yahya bin Muadz menegaskan : “Harapan yang kutaruh kepada-Mu karena
berbuat dosa nyaris lebih mengalahkan daripada harapanku kepada-Mu
disertao amal. Ini disebebkan, manakala aku melakukan amal baik, aku
mendapat diriku mengandalkan pada ketulusanku dalam melakukannya.
Tapi bagaimana aku bisa menjaga amalku dari kekurangan, sedangkan aku
adalah makhluk yang bersifat penuh kekuarangan?” Sebaliknya, manakala
aku melakukan dosa, aku mendapati diriku mengandalkan ampunan-Mu.
Bagaimana Engkau tidak akan mengampuni dosa-dosaku, sedangkan
Engkau adalah Dzat Yanga Maha Pemurah?”
Beberapa orang sedang berbicara kepada Dzun Nuun al-Mishry saat
menjelang ajalnya. Dzun Nuun mengajarkan kepada mereka : “Janganlah
kalian memperdulikan aku, sebab aku telah terpesona oleh kelembutan
Allah swt. kepada diriku.”
Yahya bin Mu’adz berkata : “Wahai Tuhanku, anugerahkanlah untukku
yang termanis dalam hati berupa harapan kepada-Mu. Kata-kata paling
sedap yang keluar dari lidahku berupa pujian kepada-Mu. Saat yang
kuangap paling berharga adalah saat aku akan berjumpa dengan-Mu.”
Ditemukan dalam salah sati kitab tafsir bahwa Rasulullah saw. datag
menemui para sahabat melalui pintu bani Syaibah. Beliau mendapati
mereka sedang tertawa-tawa. Beliau lalu bersabda : “Apkah kalian tertawa-
tawa?” Seandainya kalian mengetahui apa yang kuketahui, niscaya kalian
akan sedikit tertawa dan banyak menangis.” Beliau lalu meninggalkan
mereka, kemudian kembali lagi, seraya menyampaikan wahyu. Sabdanya :
“Jibril turun membawa firman Allah swt. Beritahukanlah kepada hamba-
hamba-Ku, bahwa sesungguhnya Aku Maha Pengampun dan Maha
Penyayang.” (Qs. Al-Hijr :49).
Diriwayatkan oleh Aisyah r.a. bahwa Rasulullah saw. telah bersabda :
“Allah swt. tertawa ketika hambahamba-Nya ditimpa keputus-asaan,
sedangkan rahmatnya dekat dengan mereka.” Aisyah bertanya : “Demi
ayah dan ibuku, wahai Rasulullah, apakah Tuhan kita swt. benar-benar
tertawa? Beliau menjawab : “Demi Dia yang jiwaku berada di tangan-Nya,
Dia benar-benar tertawa.” Aisyah mengatakan : “Apakah Dia tidak akan
menjauhkan kita dari kebaikan jika Dia tertawa.?”
Ketahuilah, bahwa tertawa adaah sifat yang berkaitan dengan perbuatan-
perbuatan-Nya. Ia adalah ungkapan kemurahn-Nya. Hal ini adalah
sebagaimana perkataan : “Bumi menertawakan tanaman,” (yang berarti
bumi mengeluarkannya). Tertawanya Allah pada keputus asaan manusia
adalah tanda anugerah-Nya, sebagai tanda kelemahan penantian para
makhluk kepada-Nya.
Dikatakan, ada seorang Majusi yang meminta kepada Ibrahim as. Agar
diizinkan menginap di rumahnya. Ibrahim berkata kepadanya : “Kalau
kamu masuk Islam, aku mau menjadikanmu sebagai tamuku.” Orang
Majusi menjawab : “Jika aku memeluk Islam, bagaimana mungkin engkau
akan berbuat kebajikan kepadaku?” Kemudian sang Majusi itu berlalu,
lantas Allah swt. berfirman kepada Ibrahim : “Wahai Ibrahim, engkau tidak
mau memberinya makan kecuali jika ia mau mengubah agamanya?
Padahal Aku memberi makanan kepadanya selama tujuhpuluh tahun,
sedang ia dalam kekafirannya. Jika engkau menerimanya satu malam saja,
bagaimana dengan dirimu?” Mendengar itu Ibrahim lalu mengejar si orang
Majusi itu dan mengundangnya menjadi tamunya. Ketika si orang Majusi
itu bertanya kepada Nabi Ibrahim as. Mengapa berubah pikiran, beliau pun
mengatakan kepada si Majusi apa yang didengarnya dari Allah swt. Si
orang Majusi itu bertanya : “Beginikah cara Dia memperlakukan aku?
Berikanlah Islam kepadaku!.” Lalu ia masuk Islam.
Saya mendengar Abu Bakr bin Aykib berkata : “Suatu malam aku bermimpi
bertemu Abu Sahl as-Sha’luky, dengan keadaannya yang indah sekali. Aku
bertanya : “Bagaimana Anda mendapatkan semuai ini?” Ia menjawab :
“Dengan husnudzan-ku kepada Allah swt.”
Malik bin Dinar meriwayatkan sial mimpinya, bertemu dengan ash-
Sha’luky : “Apa yang telah Allah beikan kepada Anda hingga seperti ini?” Ia
menjawab : “Aku datag kepada Tuhanku swt. dengan dosa yang sangat
banyak, namun Allah swt. menghapusnya lewat sangkaan baikku kepada-
Nya.”
Diriwaytakan oleh Abu Huraitah r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda :
“Allah swt. berfirman : “Aku adalah sebagaimana yang disangka oleh
hamba-Ku, dan Aku ada bersamanya manakala ia mengingat-Ku. Jika ia
mengingat-Ku dalam hatinya, maka Aku akan mengingatnya dalam Diri-Ku,
Jika ia mengingat-Ku di tengah kumpulan orang banyak, maka Aku akan
mengingatnya di tengah kumpulan yang lebih baik dari itu. Jika ia datang
kepada-Ku sejarak satu jengkal, Aku akan mendatanginya sejarak satu
hasta. Jika ia melangkah kepada-Ku satu hasta, Aku akan melangkah
kepadanaya dua hasta. Jika ia datang kepada-Ku dengan berjalan, Aku akan
datang kepadanya dengan berlari.” (H.r. Bukhari).
Diceritakan bahwa pada suatu ketika Ibnul Mubarak sedang bertempur
melawan salah seorang tentara kafir (non Arab). Ketika tiba waktunya bagi
si orang kafir itu untuk sembahyang, ia meminta waktu kepada Ibnul
Mubarak. Ibnul Mubarak pun membiarkannya mengerjakan ibadatnya.
Ketika tentara kafir itu sedang bersujud ke matahari, Ibnu Mubarak
merasakan keinginan untuk menikamnya dengan pedangnya. Namun tiba-
tiba Ibnul Mubarak mendengar sebuah suara di angkasa yang berseru :
“Dan penuhilah janji; sesungguhnya janji itu pasti akan diminta
pertanggung jawabannya.” (Qs. Al-Isra’ :34). Maka Ibnul Mubarak pun
menyarungkan kembali pedangnya. Ketika si penyembah berhala selesai
bersembahyang, ia bertanya kepada Ibnul Mubarak : “Mengapa Anda
mengurungkan niat Anda?” Ibnul Mubarak mengatakan kepadanya
tentang suara yang didengarnya. Si penyembah berhala berseru : “Betapa
sempurnanya Tuhan Yang memarahi wali-Nya demi membela musuh-
Nya!.” Lalu ia pun masuk Islam dan menjadi seorang Muslim yang sangat
baik.”
Dikatakan : “Allah menjadikan manusia melakukan dosa ketika Dia
menamakan Diri-Nya “Yang Maha Pengampun”.
Dikatakan : “Seandainya Allah berfirman : “Aku tidak akan mengampuni
dosa; niscaya tidak seorang Muslim pun yang akan pernah berbuat dosa.
Sebab ketika Dia berfirman : “Allah tidak akan mengampuni (manusia yang
) menyekutukannya.” (Qs. An-Nisa : 48). Kaum Muslimin lalu ingin sekali
mendapatkan ampunan-Nya.”
Ibrahim bin Adham – semoga Allah merahmatinya – berkata : “Pada suatu
ketika aku menunggu waktu luag dan tenangnya orang di sekitar Ka’bah.
Saat itu adalah malam yang gelap gulita dan hujan turun dengan derasnya.
Akhirnya tempat itu pun sepi, aku lalu mulai melakukan thawaf, sambil
bedoa : “Ya Allah, lindungilah aku dari dosa, lindungilah aku dari dosa!”.
Lalu aku mendengar suara yang mengatakan : “Wahai Ibnu Adham, engkau
meminta kepada-Ku untuk melindungimu dari dosa, sebagaimana doa
orang –orang yang lain. Tapi jika Aku jadikan kamu semua tanpa dosa,
lantas kepada siapa aku harus bersikap Maha Pengasih?”
Ketika Abul Abbas bin Suraij menderita sakit – yang akhirnya
membawanya pada kematian – bermimpi bahwa hari Kebangkitan telah
tiba. Allah Yang Maha Kuasa bertanyi mana para ulama itu?” Semua ulama,
termasuk diriku, maju ke depan. Allah swt. bertanya : “Apakah yang telah
kalian lakukan dengan ilmu yang telah kalian amalkan?” Kami semua
menjawab : “Wahai Tuhan, kami telah ebrbuat llai dan kami telah berbuat
jahat.” Maka Allah swt. pun mengulangi lagi pertanyaan-Nya seolah-olah
Dia tidak menyukai jawaban yang telah kami berikan dan menghendaki
jawaban yang lain. Maka aku pun maju dan menjawab : “Mengenai diriku,
maka catatan dalam halaman lembaranku tidaklah mengandudng dosa
menyekutukan sesuatu dengan-Mu dan Engkau telah berjanji bahwa
Engkau akan mengampuni semua Dosa selain itu.” Lalu Allah swt.
berfirman : “Pergilah kamu semua. Aku telah mengampunimu!” Abul
Abbas pun meninggal dunia tiga malam setelah mimpinya ini.
Pada suatu ketika ada seorang pemabuk yang mengumpulkan sekelompok
para pemabuk temannya. Ia memberikan uang empat dirham kepada salah
seorang budaknya dan menyuruhnya pergi membeli buah-buahan. Si
budak pergi, dan ditengah jalan ia melewati majelis Manshur bin ‘Ammar,
saat dimana yang disebut belakangan ii sedang meminta kepada orang
banyak untuk memberikan sedekah kepada beberapa orang pengemis,
dengan mengaakan : “Barangsiapa memberikan empat dirham, aku akan
memanjatkan empat doa untuknya.”
Si Budak memberikan uang empat dirham yang dibawanya kepada
Mansur, dan kemudian ia pun ditanya : “Doa apa yang engkau inginkan
dariku.”
Si Budak menjawab : “Aku ingin bebas dari tuanku.” Manshur menodakan
hal itu, lalu bertanya lagi : “Apa lagi?”
Si budak menjawab : “Aku ingin agar Allah memberiku ganti uang empat
dirham itu.” Manshur mendoakan hal itu, dan bertanya kembali : “Apa
lagi?”
Si Budak menjawab : “Aku ingin agar Allah mengampuni dosaku, dosa
tuanku, dosamu dan dosa semua orang yang ada di rumah tuanku itu.”
Manshur mendoakan hal itu. Si budak lalu pulang ke rumah tuannya.
Ketika tuannya bertanya kepadanya mengapa ia pulang terlambat, si budak
menceritakan apa yang telah dilakukannya. Tuannya bertanya : “Dan doa
apa saja yang kamu mintakan?”
Si budak menjawab : “Saya minta didoakan supaya bebas dari
perbudakan.” Tuannya berrkata : “Kamu telah kubebaskan. Dan apa
permintaanmu yang kedua?”
Si budak menjawab : “Agar Allah memberi saya ganti uang empat dirham
itu.” Tuannay berkata : “Ini, kuberi engkau uang empatribu dirham. Lalu,
apa permintaanmu yang  keteiga?”
Si budak menjawab : “Agar Allah menyadarkan tuan untuk segera
bertobat.” Tuannya mengatakan : “Aku bertobat kepada Allah swt. Apa
permintaanmu yang ketiga ?”
Si budak mengatakan : “Agar Allah mengampuni Anda, saya, orang-orang
yang ada di rumah ini, dan juga Manshur.” Si tuan berkata. “Ini adalah
permintaan yang berada di luar kemampuanku untuk memenuhinya.”
Malam itu, ketika si tuan tidur, ia bermimpi mendengar sebuah suara yang
mengatakan : “Engkau telah melakukan apa yang berada dalam batas
kemampuanmu. Apakah engkau mengira bahwa Aku tidak akan
melakukan apa yang berada dalam kemampuan-Ku? Kuampuni dosamu,
dosa budakmu itu, dosa Manshur bin ‘Ammar dan dosa semua orang yang
berkumpul di rumahmu.”
Dikatakan bahwa Rabah al-Qaysi mengerjakan Haji beberapa kali. Suatu
ketika ia berdiri (dekat Ka’bah) di bawah talang air dan berdoa : “Wahai
Tuhanku, aku menghadiahkan sejumlah sekian dan sekian dari ibadat
Hajiku kepada Rasulullah saw. sepuluh ibadat Haji bagi sepuluh orang
sahabt beliau, dua iabdat haji untuk kedua oarng tuaku, dan sisanya untuk
semua kaum Muslimin.” Dihadiahkannya semua ibadat hajinya tanpa
menyisakan satu pun bagi dirinya sendiri. Kemudian ia mendengar suara
bisikan yang mengatakan : “Inilah orang yang menunjukkan kemurahan
hatinya kepada Kami! Aku ampuni dosamu, dosa kedua orang tuamu, dan
dosa semua orang yang memeluk Islam.”
Muhammad bin Abdul Wahhab ats-Tsaqafy menuturkan : “Pada suatu hari
aku melihat iringan keranda yang dipikul oleh tiga orang laki-laki dan
seorang wanita. Aku maju dan menggantikan si wanita. Kami terus
berjalan menuju ke kuburan. Kami melaksanakan shalat untuk simayit,
lalu menguburkannya. Setelah itu aku bertanya kepada si wanita : “Apa
hubungan Anda dengan orang yang meninggal ini?” Ia menjawab : “Ia
anakku.” Aku bertanya : “Apakah Anda tidak punya tetangga?” Ia
menjawab : “Ya, tetapi mereka semua memandang hina anakku yang
meninggal itu.” Aku bertanya : “Mengapa?” Ia menjawab : “Karena ia
seorang banci>” Aku merasa kasihan kepada wanita itu. Kuajak ia ke
rumahku dan kuberi sedikit uang, gandum dan pakaian. Dalam tidurku
malam itu, aku bermimpi melihat seseorang datang kepadaku. Wajahnya
berseri bagaikan bulan purnama. Ia berpakaian putih dan mengucapkan
terima kasih  kepadaku. Ketika aku bertanya siapa dirinya, ia menjelaskan :
“Aku adalah si orang banci yang anda kuburkan tadi siang. Tuhanku telah
melimpahkan rahmat-Nya kepadaku disebabkan hinaan orang-orang
kepadaku.”
Saya mendengar Syeikh Abi Ali ad.-Daqqaq berkata : “Abu Amr al-Bikandy
sedang melewati sebuah jalan pada suatu hari, bersamaan itu pula
menjumpai sekelompok orang beramai-ramai menyerukan pengusiran
terhadap seorang pemuda dari lingkungan mereka karena perbuatan-
perbuatannya yang tidak bermoral. Sementara tampak seorang wanita di
tempat itu sedang menangis, konon adalah ibu sang pemuda. Abu Amr
merasa kasihan kepadanya, lalu meminta kepada orang banyak itu agar
mengampuni si pemuda. “Bebakanlah pemuda ini demi aku. Jika ia
mengulang perbuatannya sekali lagi, maka lakukanlah apa yang kalian
kehendaki terhadapnya!.” Mereka lalu melepaskan pemuda itu, dan Amr
pun pergi.
Beberapa hari kemudian, Au Amr al-Bikandy melalui jalan itu lagi dan
mendengar suara tangis wanita dari balik sebuah pintu. Abu Amr berkata
dalam hati : “Barangkali si pemuda mengulangi lagi perbuatan odsanya,
dan mereka telah mengusirnya dari lingkungan ini. Abu Amr lalu
mengetuk pintu rumah si wanita dan bertanya apa yang telah terjadi pada
si pemuda. “Ia meninggal!” jawabnya. Ketika Abu Amr bertanya kepadanya
bagaimana keadaannya menjelang akhir hayatnya, si ibu menjawab :
“Menjelang sakaratul maut ia sempat mengatakan padaku. “Janganlah ibu
memberi tahukan kepada pra tetangga kita tentang kematianku. Sebab,
settelah mereka menderita karena aku, mereka akan senang atas
kemalanganku dan tidak mau menghadiri pemakamanku. Jika Ibu
menguburkanku, inilah cincinku yang tertulis Bismillah, pendamlah
bersamaku. Jika selesai menguburkan diriku, pintalah syafaat dari
Tuhanku buat diriku!” Aku melakukan seperti yang diwasiatkannya. Dan
sepulang dari penguburannya, aku mendengar suaranya : “Pergilah Ibu!
Aku telah datang ke hadirat Tuhan Yang Maha Pemurah.”
Dikatakan bahwa Allah mewahyukan kepada Daud as. Katakanlah kepada
manusia bahwa Aku menciptakan mereka bukan dengan tujuan agar Aku
memperoleh manfaat dari mereka, tapi Kuciptakan mereka supaya mereka
memperoleh keuntungan dari-Ku.”
Ibrahim al-Atrusy berkata : “Kami sedang duduk-duduk di tepi Sungai
Tigris berssama Ma’ruf al-Karkhy ketika segerombolan pemuda melewati
kami dengan sebuah perahu. Mereka memukul-mukul rebana, minum
anggur dan bermain-main dengan penuh hura-hura. Kami bertanya kepda
Ma’ruf, Tidakkah engkau lihat bagaimana mereka secara terrang-terangan
bermaksiat kepada Allah swt? Berdoalah kepada Allah agar Dia
menghukum mereka!” Ma’ruf lalu mengangkat tangannya dan berdoa : “Ya
Allah, sebagaimana Engkau telah menjadikan mereka bersenang-senang di
dunia ini, jadikanlah mereka bersenang-senang di akhirat nanti!” Kami
bertanya penasaran. Tapi kami memintamu untuk berdoa memohonkan
hukuman bagi mereka!” Ia menjawab : “Jika Dia menjadidkan mereka
bersenang-senang di akhirat, berarti Dia telah mengampuni mereka.”
Abu Abdullah al-Husain bin Sa’id mengabarkan : “Bahwa Yahya bin Aktsam
al-Qadhi adalah seorang sahabtku. Ia mencintaiku dan aku pun
mencintainya. Setelah ia meninggal, aku ingin bertemu dengannya dalam
mimpi agar aku bisa bertanya kepadanya apa yag telah diperbuat Allah
swt. terhadap dirinya. Suatu malam aku pun bermimpi bertemu
dengannya, dan aku bertanya kepadanya. Ia menjawab : “Allah telah
mengampuni dosaku. Tetapi Dia memarahiku dengan kata-kata-Nya :
“Wahai Yahya! Kau telah berbuat kejahatan kepada-Ku di dunia. “ Aku
menjawab : Itu memang benar, wahai Tuhanku. Aku mengandalkan
sebuah hadis yang disampaikan kepadaku dengan riwayat Abu Hurairah
bahwasanya Rasulullah saw. telah bersabda : “Engkau telah berfirman :
“Aku malu menghukum seseorang yang telah berambut putih di neraka.”
Lalu Allah pun berfirman : “Aku mengampunimu wahai Yahya, dan benar
Nabi-Ku itu. Tetapi engkau telah berlaku dosa kepada-Ku ketika di dunia.”

10.
SEDIH
Edit : Pujo Prayitno
Allah swt. berfirman :
“Dan mereka akan mengatakan (ketika berada di surga), “Segala puji bagi
Allah yang telah menghilangkan kesedihan dari kita.” (Qs. Fathir :34).
Diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudry bahwa Rasulullah saw.  bersabda :
“Tidak sesuatu pun keburukan menimpa seorang hamba yang beriman,
apakah itu penderitaan, penyakit, kesedihan, atau rasa sakit yang
merisaukan, kecuali Allah swt. akan mengampuni dosa-dosanya.” (H.r.
Ahmad, Bukhari – Muslim).
Sedih (huzn) adalah keadaan yang menyelamatkan hati tersesat di lembah
kealpaan. Dan kesedihan adalah salah satu sifat para ahli penempuh jalan
ruhani (suluk).
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq r.a. berkata : “Orang yag dipenuhi kesedihan
mampu menempuh jalan Allah dalam waktu satu bulan, sepanjang jarak
yang tidak bisa ditempuh dalam waktu satu tahun oleh orang yang tidak
memiliki kesedihan.”
Dalam hadis dikatakan : “Sesungguhnya Allah mencintai setiap hati yang
sedih.”
Dalam Kitab Taurat disebutkan : “Jika Allah mencintai seorang hamba,
maka Dia akan menempatkan suatu PENYEDIH dalam hatinya, dan jika Dia
membenci seorang hamba, maka ditempatkan-Nya sebuah SERULING
dalam hatinya.”
Dikatakan bahwa Rasulullah saw. selalu berada dalam keadaan sedih dan
merenung sepanjang masa.
Bisyr bin Haris mengatakan : “Sedih adalah raja, manakala bertahta dalam
sebuah tempat, tidak akan sudi menerima orang lain tinggal bersamanya.”
Dikatakan : “Jika tidak ada kesedihan dalam hati, maka ia akan menjadi
rusak, sebagaimana sebuah rumah akan menjadi roboh manakala tidak
ada orang yang tinggal di dalamnya.”
Abu Sa’id al-Qurasyi berkomentar : “Air mata kesedihan membuat orang
buta, tetapi air mata kerinduan meredupkan pandangan, namun tidak
membutakannya.” Allah swt. berfirman : “Dan kedua matanya menjadi
putih karena kesedihan dan ia adalah seorang yang menahan amarahnya
(terhadap anak-anaknya).” (Qs. Yunus :84).”
Ibnu Khafif menjelaskan : “Sedih adalah mencegah diri dari bangkit
mencari kesenangan.”
Rabi’ah Adawiyah mendengar seorang laki-laki meratap : “Aduhai
kesedihan!” Rabi’ah menyela : “Katakanlah; Aduhai kecilnya kesedihan
kita! Jika engkau benar-benar bersedih, niscaya engkau tidak akan bisa
bernafas.”
Sufyan bin ‘Uyainah mengatakan : “Apabila ada seorang tertimpa
kesedihan dan menangis di kalangan suatu kaum, maka Allah swt. akan
mengasihani mereka semua karena air matanya.”
Dawud ath-Tha’y ketika tertimpa kesedihan, dan di malam hari ia akan
berdoa : “Ilahi, kerinduanku terhadap-Mu membuat diriku gelisah dan
menghalangi antaraku dengan tidurku.” Dan Allah pun menjawab :
“Bagaimana mungkin bagi seorang yang penderitaanya diperbarui setiap
saat, akan mencari penghiburan dari kesedihan?”
Dikatakan : “Sedih menahan orang dari makan, sedangkan takut,
menahannya dari dosa.”
Salah seorang Sufi ditanya : “Dengan apa kesedihan manusia dinilai?” Ia
menjawab : Dengan banyaknya ratapan.”
As-Sary as-Saqathy berkata : “Aku ingin seandainya kesedihan seluruh
manusia di muka bumi ini ditumpahkan kepadaku.” Banyak oang telah
berbicara tentang kesedihan, dan mereka semua mengatakan bahwa hanya
kesedihan yang diilhami oleh kepedulian pada akhiratlah yang patut dipuji,
sedang kesedihan karena dunia ini, patut dicela. Tetapi Abu Utsman al-Hiry
menjelaskan : “Kesedihan dalam semua seginya adalah suatu keutamaan
dan peningkatan bagi seorang beriman, selama kesedihan itu bukan
karena dosa. Sekalipun kesedihan itu tidak menghasilkan satu derajat
khusus, ia akan membawakan pengampunan.”
Seorang Syeikh tertentu, apabila murid-muridnya akan pergi melakukan
perjalanan, ia akan berpesan : “Jika engkau melihat seorang yang sedang
bersedih, sampaikan salamku padanya.”
Syeikh Abu ali ad-Daqqaq berkata : “Salah seorang Sufi bertanya kepada
matahari selagi terbenam, “Apakah hari inni engkau telah menyinari
sorang yang tertimpa kesedihan?”
Orang tidak pernha melihat Hasan al-Bashry tanpa mengira bahwa ia baru
saja mengalami bencana.
Ketika Fudhail bin ‘Iyadh meninggal dunia, Waki’ mengatakan, “Hari ini
kesedihan telah lenyap dari muka bumi.”
Salah seorang dari kaum Muslimin geberasi salaf berkata : “Sebagian besar
dari apa yang ditemukan oleh seorang beriman dalam catatan amal
perbuatan baiknya adalah penderitaan dan kesedihan.”
Fudhail bin ‘Iyadh berkomentar : “Kaum salaf mengatakan : “Setiap sesuatu
ada zakatnya, dan zakat hati adalah kesedihan yang panjang.”
Ketika Abu Utsman al-Hiry ditanya tentang kesedihan, ia menjawab :
“Orang yang sedih adalah yang tidak punya waktu untuk menyibukkan diri
dengan pertanyaan tentang kesedihan. Maka berjuanglah untuk mencari
kesedihan, lalu bertanyalah.”

11.
LAPAR DAN MENINGGALKAN SYAHWAT
Edit : Pujo Prayitno
Allah berfirman :
“Dan, sungguh akan kami berikan cobaan kepadamu, dengan sebagian
ketakutan dan kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan
berikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar.” (Qs. Al-
Baqarah :155).
Berikanlah kabar gembira dengan pahala yang indah karena kesabaran
mereka dalam menanggung lapar. Allah swt. berfirman :
“Dan mereka memprioritaskan (Muhajirin) atas diri mereka sendiri,
sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka beikan itu).” (Qs. Al-
Hasyr :9).
Anas bin Malik menuturkan  bahwa ketika Fatimah r.a. (Fatimah az-Zahra’
(18 s.H – 11 H/605 – 632 M). Putri Rasulullah saw. keturunan Bani Hasyim,
suku Quraisy. Ibundanya Khadijah binti Khuwailid. Fatimah dinikahkan Ali
bin Abu Thalib r.a. melahirkan Hasan dan Husein, Ummu Kaltsum dan
Zainab). Fatimah r.a. memberikan sekerat roti bagi Rasulullah saw. beliau
bertanya : “Apa ini, wahai Fatimah?” Fatimah menjawab : “Sepotong roti
yang saya masak sendiri. Hati saya tidak dapat tenang sebelum
memberikan roti ini kepadamu.”
Beliau menjawab : “Ini adalah sepotong  makanan pertama yang masuk ke
mulut ayahmu sejak tiga hari ini.” (Hadis ini diriwayatkan oleh al-Harits
bin Abu Usamah dalam Musnad-nya, melalui sanad yang dha’if, namun
memiliki bukti kebajikan sanad dalam maknanya).
Alasan inilah yang menjadikan lapar termasuk dalam sifat kaum Suf dan
salah satu tiang mujahadah. Para penempuh suluk selangkah demi
selngkah membiasakan berlapar-lapar menahan diri dari makan, dan
mereka menemukan mata air kebijaksanaan di dalam lapar. Cerita tentang
mereka dalam hal ini cukup banyak.
Ibnu Salim berkata : “Etika berlapar diri adalah bahwa seseorang terus
menerus tidak mengurangi porsi makanannya, kecuali sebesar telinga
kucing (amat sedikit).” Dikatakan bahwa Sahl bin Abdullah tidak makan,
kecuali setiap limabelas hari. Manakala Bulan Rmadhan tiba, ia bahkan
tidak makan sampai melihat bulan baru. Dan tiap kali berbuka hanya
minum air putih saja.
Yahya bin Mu’adz menjelaskan : “Seandainya orang dapat membeli lapar di
pasar, maka para pencari akhirat niscaya tidak akan perlu membeli
sesuatu yang lain di sana.”
Sahl bin Abdullah berkomentar : “Ketika Allah swt. menciptakan dunia, Dia
menempatkan dosa dan kebodohan di dalam kepuasan nafsu makan dan
minum, dan menepatkan kebijaksanaan dalam lapar.”
Yahya bin Mu’adz mengatakan : “Lapar bagi para penempuh jalan Allah
(murid) adalah olah ruhani (riyadah), sebuah cobaan bagi orang-orang
yang bertobat, dan siasat bagi para zahid, tanda kemuliaan bagi para ahli
ma’rifat.”
Yeikh Abu Ali ad.-Daqqaq menuturkan : “Seseorang datang menjumpai
salah seorang syeikh, dan ketika melihat sang syeikh menangis, ia
bertanya, ‘Mengapa Anda menangis?’ Sang Syeikh menjawab : “Aku lapar.”
Ia mencela, “Seorang seperti Anda, menangis karena lapar?” Sang Syeikh
balas mencela : “Diamlah! Engkau tidak mengetahui bahwa tujuan-Nya
menjadidkan aku lapar adalah agar aku menangis.”
Dawud bin Mu’adz mengisahkan, bahwasanya Mukahllid mengabarkan :
“Al-Hajjah bin Furafishah sedang berada bersama kami si Syam, dan
selama lima puluh malam ia tidak minum air ataupun mengisi perut
dengans esuap makanan pun.”
Abu Abdulalh Ahmad bin Yahya al-Jalla’ berkata : “Abu Turab an-
Nakhsyaby datang mengarungi padang pasir Bashrah ke Mekkah – Semoga
Allah melindungi kota ini – dan kami bertanya kepadanya tentang
makanannya. Ia menjawab : “Aku meninnggalkan Bashrah, makan di Nibaj
dan kemudian di Dzat Araq. Dari Dzat Araq aku datang kepada kalian.”
Jadi, ia menyebari padang itu dengan hanya makan sebanyak dua kali.”
Setiap kali Sahl bin Abdullah lapar, ia tegar, dans etiap kali makan, ia
menjadi lemah.
Abu Utsman al-Maghriby berkata : Orang yang mengabdi kepada Tuhan
(rabbany) hanya makan setiap empat puluh hari, dan orang yang mengabdi
kepada Yang Abadi (Shamadany) hanya makan setiap delapan puluh hari.”
Abu Sulaiman ad-Darany menegaskan : “Kunci dunia ini adalah mengisi
perut, dan kunci akhirat aalah lapar.”
Sahl bin Abdullah ditanya : “Bagaimana pendpat Anda tentang orang yang
makan sekali sehari?” Dijawabnya : “Itulah makan orang beriman.”
Bagaimana dengan yang makan tiga kali sehari?” Ia mencela : “Suruh saja
orang membuat gentong makanan untukmu.”
Yahya bin Mu’adz berkomentar : Lapar adalah pelita, dan kenyang adalah
api. Hawa nafsu adalah seperti kayu api yang darinya muncul api yang
berkobar, dan tidak akan padam sampai ia membakar pemiliknya.”
Abu Nash as-Sarraj ath-Thausy menuturkan : “Seorang laki-laki dari kaum
Sufi datang menemui seorang syeikh dan menyuguhkan sedikit makanan.
Lalu ia bertanya : “Sudah berapa lama Anda tidak makan?” Sang Syeikh
menjawab : “Lima hari.” Si Sufi berkata : “Lapar Anda adalah lapar orang
bakhil> Anda memakai pakaian (bagus) sementara Anda lapar. Itu
bukanlah lapar orang fakir!”
Abu Sulaiman ad-Darany menegaskan : “Bahwa meninggalkan sepotong
daging di waktu makan malam lebih kusukai daripada melakukan shalat
sepanjang malam.”
Berkata Abul Qasim Ja’far bin Ahmad ar-Razy : “Beberapa hari Abul Khayr
al-“Asqalany ingin sekali mengkonsumsi ikan. Lalu sejumlah ikan sampai
ke tangannya melalui jalan yang halal. Tetapi ketika tangannya meraih
ikan itu untuk dimakannya, lalu ia berkata : “Ya Alalh, jika hal ini menimpa
orang yang mengulurkan tangannya karena ingin memakan barang yang
halal, apa pula yang akan terjadi kepada orang yang mengulurkan
tangannya untuk sesuatu yang haram?”
Saya mendengar Rustam asy-Syirazy as-Shufy menuturkan : “Abu Abdullah
bin Khafif sedang menghadiri jamuan makan, tiba-tiba salah seorang
muridnya bermaksud mengambil makanan mendahului sang syeikh,
karena laparnya. Salah seorang murid syeikh, yang ingin menegus atas
ketidak sopanannya itu, meenpatkan sedikit makanan di hadapan si fakir
itu. Menyadari bahwa dirinya dicela karena kurang beradab, si fakir itu
lalu tidak mau makan selama limabelas hari sebagai hukuman dan
pendisiplinan jiwanaya, serta sebagai tanda tobat atas ketidak sopanannya
itu. Padahal selama ini ia telah menderita kelaparan.”
Malik bin Dinar berkata : “Barangsiapa telah mengalahkan syahwat dunia,
maka itulah tindakan yang dapat memisahkan setan dari lindungannya.”
Abu Ali ar-Rudzbary mengajarkan : “Jika seorang Sufi setelah lima hari
tidak makan, mengatakan ‘aku lapar’ maka kirimlah ia ke pasar agar
mendapatkan pekerjaan.
Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq menuturkan ucapan seorang
syeikh, bahwa penghuni neraka telah dikalahkan oleh syahwatnya atas
kewaspadaan mereka, hingga mereka tercela. Beliau juga berkata :
“Seseorang bertanya kepada salah seorang syeikh : “Apakah Anda tidak
enginginkan sesuatu?” Sang Syeikh menjawab, ‘Aku menginginkannya,
akan tetapi aku menahan diri.”
Syeikh yang lain ditanya : “Adakah sesuatu yang tuan inginkan?”
Jawabnya : “Aku menginginkan untuk tidak ingin lagi.”
Abu Nashr at-Tammar mengatakan : “Pada suatu malam Bisyr datang
kepadaku, dan aku berkata : “Segala Puji Bai Allah yang telah membawamu
ke sini. Sejumlah kapas dari Khurasan telah sampai kepada kami; budak
wanita telah menenunnya, menjualnya dan membeli sedikit daging untuk
kita. Engkau bisa berbuka puasa dengan kami. Ia menjawab : “ Jika aku
mesti makan dengan seseorang, aku akan memilih makan denganmu.” Lalu
ia menjelaskan : “Telah bertahun-tahun aku ingin makan terung, tetapi aku
belum ditakdirkan untuk memakannya. Lalu aku menjawab : “Ada terung
yag halal dalam makanan ini.” Ia menjawab : “Bahkan sampai bersih dari
bijinya.”
Saya mendengar Abu Ahmad ash-Shagir berkata : “Abu Abdullah bin Khafi
menyuruhku menyuguhinya sepuluh butir kismis untuk buka puasa setiap
malam. Suatu malam aku merasa kasihan kepadanya, dan kusuguhkan
limabelas butir kismis. Ia memandangku dan bertanya : “Siapa yang
menyuruhmu (memberi lima belas kismis?)’ Lalu dimakannya sepuluh
butir dan membiarkan sisanya.”
Abu Turab an-nakhsyaby berkomentar : “Jiwaku tidak pernah cenderung
kepada hawa nafsu kecuali sekali saja : Aku ingin sekali makan roti dan
telur ketika aku sedang berada dalam perjalanan. Lalu aku pun memasuki
sebuah kampung. Seseorang gbangkit dan memegang tanganku sambil
berkata : “Orang ini adalah salah seorang dari perampok itu!” Lalu oang-
orang itu memukuliku tujuhpuluh kali. Seseorang laki-aki di antara mereka
mengenaliku dan menyela, Ini adalah Abu Thurab an-Nakhsyaby!”
Mendengar itu, mereka cepat-cepat meminta maaf kepadaku, dan laki-laki
itu lalu membawaku ke rumahnya karena rasa hormat dan kasihan
kepadaku, dan ia menjamu aku dengan roti dan telur. Maka aku berkata
kepada diri sendiri : “Makanlah, seteelh tujuh puluh kali pukulan!.”

12.
KHUSYU’ DAN TAWADHU’
Edit : Pujo Prayitno
Allag swt. berfiman :
“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, mereka yang
khusyu dala shalatnya.” (Qs. Al-Mu’minun :-1-2).
Diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas’ud, lbahwa Rasulullah saw. bersabda :
“Tidak akan masuk surga, barangsiapa yang dalam hatinya terdapat
kesombongan walau sekecil biji sawi, dan tidak akan masuk neraka
barangsiapa yang dalam hatinya terdaapt iman walaupun sekecil biji sawi.”
Seseorang bertanya : “Wahai Rasulullah, bagaimana jika seseorang suka
berbapakain bagus?” Beliau menjawab : Allah swt. Maha Indah dan
menyukai keindahan; sombong adalah berpaling dari Al-Haq dan
mencemooh manusia.” (H.r. Muslim).
Anas bin Malik mengabarkan : “Rasulullah saw. suka mengunjungi orang
sakit, mengiringkan jenazah, mengendari keledai dan memenuhi
undangan budak-budak.”
Dalam peperangan melawan bani Quraidhah dan bai nadhir, Rasul
mengendari seekor keledai yang diberi tali kendali dari ijuk korma dan di
atasnya diberi pelana ijuk pula.”
Khsyu’ adalah berkaitan kepada Allah swt. dan tawadhu’ adalah menyerah
kepada Allah dan menjauhi sikap kontra dalam menerima hukum.”
Hudzaifah berkata : “Khusyu’ adalah hal yang pertama-tama hilang dari
agamamu.” Ketika salahs eorang Sufi ditanya tentang khusyu’, ia menjawab
: “Khusyu’ adalah tegaknya hati di hadapan Allah swt.”
Sahl bin Abdullah menegaskan : Setan tidak akan mendekati orang yang
hatinya khusyu’. Dikatakan : “Di antara tanda-tanda kehusyu’an hati
seorang hamba adalah manakala ia diprovokasi, disakiti hatinya atau
ditolak, maka ia, semua itu diterimanya.”
Salah seorang Sufi berkomentar : “Kekhusyu’an hati adalah menahan mata
dari melirik ke sana ke mari.
Muhammad bin Ali at-Tirmidzy menjelaskan : “Khusyu’ adalah begini : Jika
api hawa nafsu dalam diri seseorang padam, asap dalam dadanya reda dan
cahaya kecemerlangan bersinar dalam hatinya, lalu hawa nafsunya mati,
dan hatinya hidup khusyu’lah semua angota badannya.”
Al- Hasan al-Bashry berkata : “Khusyu’ adalah rasa takut yang terus
menerus dalam hati.”
Ketika al-Juany ditanya tentang khusyu’, ia menjawab : “Khusyu’ adalah
jika hati menghinakan dirinya di hadapan Yang Maha Tahu kegaiban.”
Allah swt. berfirman :
“Hamba-hamba Ar-Rahman yaitu orang-orang yang bejalan di muka bumi
dengan sikap rendah hati.” (Qs. Al-Furqan :63).
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq mengatakan : Bahwa makna ayat ini adalah
hamba-hamba Allah itu berjalan di muka bumi dengan penuh khusyu’ dan
tawa dhu’.
Saya juga mendengar beliau mengatakan, bahwa mereka adalah orang-
orang yang tidak memperdengarkan bunyi sandal mereka ketika berjalan.
Kaum Sufi sepakat bahwa tempat khusyu’ adalah di dalam hati.
Ketika salah seorang Sufi melihat seorang laki-laki yang memperlihatkan
sikap rendah hati dalam perilaku lahiriahnya, dengan mata yang
memandang ke bawah dan bahu yang rendah, ia berkata kepadanya.
“Wahai sahabat, khusyu’ itu di sini.” Sambil menunjuk ke dadanya, “bukan
di sini, sambil menunjuk bagunya.
Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw. melihat seorang laki-laki sedang
mengelus-elus jenggotnya dalam shalat, dan beliau lalu bersabda :
“Jika hatinya khsyu, niscaya anggota badannya juga akan khusyu’.” (Hr.
Tirmidzi).
Dikatakan : “Khusyu’ dalam shalat berarti seseorang tidak menyadari siapa
yang sedang berdiri di sebelah kanan atau kirinya.”
Syeikh ad-Daqqaq berkata : “Khusyu’ mirip dengan perkataan, bahwa hati
nurani seseorang dikhidmatkan sambil musyahadah kepada Allah swt.”
Dikatakan “Khusyu’” adalah perasaan papa dan hina yang meresap ke
dalam hati manakala menyaksikan Allah swt.”
Dikatakan pula : “Khusyu’ adalah kegentaran hati di kala hati dikuasai
hakikat.”
Khusyu’ adalah mukadimah bagi luapan anugerah.
Dikatakan : “Khusyu’ adalah kegentaran hati secara tiba-tiba ketika
Kebenaran terungkapkan secara tba-tiba.
Fudhail bin ‘Iyadh menegasskan, bahwa dirinya tidak senang melihat
seseorang terlihat lebih khusyu’ daripada batinnya.
Abu Sulaiman ad-Darany berkata : Seandainya semua manusia bersatu
padu untuk menghinakan aku, niscaya mereka tidak akan mampu
mencapai kedalaman dimana aku menghinakan diriku sendiri.”
Dikatakan : “Orang yang tidak merendahkan dirinya, orang lain tdak akan
menghormatinya pula.”
Umar bin Abdul Aziz tidak mau bersujud kecuali hanya di tanah.
Diriwayatkan oleh Ibnu Abbas r.a. bahwa Rasulullah saw. telah bersabda :
“Tidak akan masuk surga oang-orang yang di dalam hatinya terdapat
kesombongan walaupun sebesar biji sawi.” (H.r. Abu Dawud).”
Mujahid berkata : “Ketika Allah swt. menenggelamkan kaum Nabi Nuh,
gunung-gunung bersikap congkak dan meninggikan diri, tetapi Bukit Judy
merendahkan dirinya. Karena itu Allah swt. menjadikannya sebagai tempat
mendaratnya perahu Nabi Nuh as.” (Bukit Judy berada di sebelah timur
laut Jazirah Ibnu Umar, Ketingginya dari permukaan laut 4.000 meter.
Diriwayatkan bahwa perahu Nabi Nuh pernah melintasi bukit ini kertika
terjadi banjir bandang).
Umar bin Khaththab r.a. selalu berjalan cepat-cepat, tentang ini
dijelaskannya bahwa berjalan secara demikian akan membawanya lebih
cepat kepada kebutuhan dan menjaganya dari keangkuhan.
Pada suatu malam Umar bin Abdul Aziz, r.a. sedang menulis, lalu datanglah
seorang tamu. Meliaht lampu hampir padam, si tamu menawarkan diri :
“Biarlah saya yang membesarkan nyalanya.” Tapi Umar menjawab :
“Jangan, tidaklah ramah menjadidkan tamu sebagai pelayan.” Maka si
tamu lalu berkata : “Kalau begitu, biarlah saya panggilkan pelayan.” Umar
menolak : “Jangan, ia baru saja pergi tidur.” Lalu beliau sendiri pergi ke
tempat penyimpanan minyak dn mengisi lampu itu. Si tamu berseru :
“Tuan lakukan pekerjaan ini sendiri, wahai Amirul Muminin?” Umar
berkata kepadanya : “Aku melangkah dari sini sebagai Umar, dan kembali
ke sini masih sebagai Umar pula.”
Abu Sa’id al-Khudry r.a. meriwayatkan bahwa Nabi saw. selalu memberi
makan unta-unta, menyapu lantai rumah, memperbaiki sandal, menambal
baju, memerah susu, makan bersama pelayan dan membantunya
menggiling gandum jika pelayan lelah. Beliau tiak pernah merasa malu
membawwa barang-barang beliau sendiri dari pasar untuk keluarganya.
Beliau biasa berjabat tangan dengan orang kaya maupun miskin, dan lebih
dahulu memberi salam jika bertemu. Nabi saw. tiak pernah mencela
makanan apa yang dihidangkan kepada beliau, sekalipun hanya berupa
kurma kering. Beliau sangat sederhana dalam hal makanan, lemah lembut
dalam berperilaku, mulia dalam sikap, baik dalam berteman, wajahnya
bercahaya, tersenyum tapi tanpa terrtawa, sedih tapi tiak cemberut,
rendah hati tapi tidak lembek, murah hati tetapi tidak boros. Rasulullah
saw. juga berhati lembut dan kasih sayang kepada setiap Muslim. Tidak
pernah memperlihatkan tanda-tanda telah makan kenyang, dan juga tidak
pernah mengulurkan tangan dengan rakus.
Fudhail bin “Iyadh berkata : “Para Umala dari Yang Maha Pengasih
memiliki sikap khusyu’ dan tawadhu’, sedangkan para ulama penguasa
memiliki sikap takjub dan sombong.” Ia juga berkomentar : “Barangsiapa
menganggap dirinya masih berharga, berarti tidak memiliki sifat tawadhu’
sama sekali.”
Ketika Fudhail ditanya tentang tawadhu’, ia mengajarkan : “Pasrahlah
kepada kebenaran; patuh dan terimalah ia dari siap pun yang
mengatakannya.” Ia juga mengatakan : “Allah swt. mewahyukan kepada
gunung-gunung : “Aku akan berbicara dengan soerang Nabi di salah satu
puncak di antaramu.” Maka, gunung-gunung itu lalu berlomba-lomba
meninggikan diri dengan sobongnya, sedangkan Gunung Thursina justru
merendahkan dirinya dengan penuh kerendahan hati. Maka Allah swt. lalu
Berbicara kepada Musa as, di puncka gunung ini, dikarenakan
ketawadhu’annya.”
Ketika al-Junayd ditanya tentang tawadhu’, ia menjawab : “Tawadhu’
adalah merendahkan sayap terhadap semua makhluk dan bersikap lembut
kepada mereka.”
Wahb berkata : “Teah tertulis dalam salah satu kitab suci, “Sesungguhnya
Aku mengambil sari zat dari tulang sulbi Adam, dan Aku tidak menemukan
hati yang lebih tawadhu’ daripada hati Musa as. Maka Ku pilih ia dan Aku
aku berbicara langsung dengannya.”
Ibnul Mubarak mengatakan : “Kesombongan terhadap orang kaya dan
rendah hati terhadap yang miskin adalah bagian dari sifat tawadhu’.
 Au Yazid ditanya : “Bilakah seseorang mencapai sifat tawadhu?”
Dijawabnya : “Jika ia tidak menisbatkan dirinya pada suatu maqam dan
haal, serta menganggap bahwa tidak seorang pun di antara ummat
manusia di dunia ini yang lebih buruk dari dirinya.”
Dikatakan : “Tawadhu’ adalah anugerah Allah yang tidak pernah diiri
dengki orang dan kesombongan adalah penderitaan yang tidak
membangkitkan belas kasihan. Kemudian terletak pada sikap tawadhu’
dan orang yang mencari kemuliaan dalam kesombongan tidak akan
pernah mendapatkannya.”
Ibrahim bin Syaiban menegaskan : “Kehormatan terletak di dalam sikap
tawadhu’, kemuliaan di dalam takwa, dan kemerdekaan di dalam qnaah.”
Abu Sa’id A’raby mengatakan, telah sampai kepadanya tentang Sufyan ats-
Tsaury yang berkata : “Ada lima macam manusia termulia di dunia ini :
Ulama yang zuhud, seorang faqih yang Sufi, seorang kaya yag rendah hati,
seorang fakir yang bersyukur, dan seorang bangsawan yang mengikuti
sunnah.”
Yahya bin Muadz menegaskan : “Kerendahan hati adalah sifat yang sangat
baik bagi setiap orang, tapi ia paling baik bagi seorang yang kaya.
Kesombongan adalah sifat yang menjijikan bagi setiap orang tetapi ia
paling menjijikan jika terdapat pada orang yang miskin.”
Ibnu Atha’ bekomentar : “Tawadhu’ adalah menerima kebenaran dari
siapapun datangnya.”
Dikisahkan, ketika Zaid bin Tsabit sedang mengendari kuda, Ibnu Abbas
datang mendekatinya agar dapat memegang kendali kudanya. Maka Zaid
lalu mencegahnya : “Jangan, wahai anak paman Rasulullah!” Ibnu Abbas
berkata : “Itulah yang diperintahkan kepada kami terhadap para ulama
kami.” Maka, Zaid bin Tsabit meraih tangan Ibnu Abbas lalu menciuminya,
sambil berkata : “Ini adalah yang diperintahkan untuk kami lakukan
terhadap keluarga Rasulullah saw.”
Urwah bin az-Zubair menuturkan : “Ketika aku melihat Umar bin
Khaththab memikul segantang air di atas pundaknya, aku berkata
kepadanya : “Wahai Amirul Mukminin, pekerjaan ini tidak patut bagi
Anda,” Beliau menjawab : “Ketika para delegasi datang kepadaku,
mendengarkan dan menaatiku, suatu perasan sombong merasuk ke dalam
hatiku, dan kini aku ingin menghancurkannya. “ Beliau terrus memikul air
an membawanya ke rumah seorang wnita Anshar dan mengisikannya ke
dalam genthong milik wanita itu.”
Abu Nashr as-Sarraj at-Thausy mengabarkan : “Ketika Abu Hurairah r.a.
menjabat Amir di Madinah, ia pernah terlihat sedang memikul seikat kayu
di atas punggungnya, danberteriak-teriak.” Beri jalan untuk amir.”
Abdullah ar-Razy menjelaskan : “Tawadhu adalah tidak membeda-bedakan
dalam memberikan pelayanan.”
Abu Sulaiman ad-Darany berkata : “Barangsiapa yang masih memberikan
nilai kepada dirinya sendiri tidak akan merasakan manisnya ibadat.”
Yahya bin Mu’adz mengatakan : “Keangkuhan terhadap oang yang bersikap
sombong terhadapmu dikaernakan kekayaannya, adalah sikap tawashu’.
Seorang laki-laki datang kepada Ay-Syibly dan bertanyalah kepadanya :
“Sipakah engkau?” Ia menjawab : “Wahai tuanku, sebuah titik di bawah
(ba’).” Lalu laki-laki itu berkata :”Engkau adalah saksiku, sepanjang engkau
mengangap rendah kedudukan dirimu sendiri.”
Ibnu Abbas r.a. mengatakan : “Salah satu bagian tawadhu’ adalah bahwa
orang yang meminum sisa minuman yang ditinggalkan oleh saudaranya.”
Bisyr mengajarkan : “Berilah salam kepada para pecinta dunia dengan cara
tidak memberi salam kepada mereka.”
Syu’aib bin Harba menuturkan : “Ketika aku sedang melakukan thawaf di
Ka’bah, seorang buruh laki-laki menyikutku, dan aku menoleh kepdanya.
Ternyata orang itu adalah Fudhail bin ‘Iyadh, yang berkata : “Wahai Abu
Shalih, jika engkau berpikiran bahwa di antara manusia yang melakukan
ibadat haji ini ada yang lebih hina daripada dirimu atau diriku, maka
betapa buruknya pikiranmu itu.”
Salah seorang Sufi mengatakan : “Aku melihat seorang laki-laki ketika
sedang melakukan thawaf di Ka’bah. Ia sedang dikelilingi oleh orang-orang
yang menjunjung dan memujinya. Karena ulah mereka itu, hingga
menghalangi orang lain dari melakukan thawaf. Sedang beberapa waktu
setelah itu, kau melihat ia meminta-minta kepada orang-orang yang lewat
di sebuah jembatan di Baghdad. Aku terkejut dan heran. IA lalu berkata
kepadaku : “Aku dulu membanggakan diri di tempat di mana manusia-
manusia mestinya merendahkan diri, maka Alalh swt. lalu menimpakan
kehinaan kepadaku di tempat di mana manusia berbangga diri>”
Ketika Umar bin Abdul Aziz mendengar bahwa salah sorang putranya telah
membeli sebuah permata yang sangat mahal seharga seribu dirham. Beliau
lalu menulis surat kepadanya : “Aku telah mendengar bahwa engkau telah
membeli sebutir permata seharga seribu dirham. Jika surat ini telah
sampai kepadamu, juallah cincin itu dan berilah makan seribu orang
miskin. Selanjutlah buatlah sebuah cincin seharga dua dirham, dengan
batu dari besi Cina, dan tulislah padanya, “Allah mengasihi orang yang
mengetahui harga dirinya yang sebenarnya.”
Dikatakan bahwa seorang budak dijual kepada seorang penguasa dengan
seharga seribu dirham!” Si penguasa bertanya : “Apakah sifat-sifat itu?” Si
budak menjawab : “Sifat yang paling kecil diantaranya adalah behwa
seandainya tuan membeli saya dan kemudian menyayangi saya melebihi
semua budak tuan a g lain, saya tidak akan keliru memandang posisi saya
yang sesungguhnya; saya akan tetap sadar bahwa saya adalah budak
tuanku.” Maka penguasa itu jadi membelinya.
Dikatakan bahwa Jabir bin Hayawah berkomentar : “Ketika Umar bin
Abdul Aziz sedang berkhitbah, kutaksir-taksir pakaian yang dikenakannya
berharga sekitar duableas dirham saja, yang terdiri dari jubah luar,
surban, celana , sepasang sandal, dan selendang.”
Dikatakan bahwa ketika Abdullah bin Muhammad bin Wasi” berjalan
dengan lagak tak terpuji, ayahnya berkata kepadanya : “Tahukan kamu
dengan harga berapa aku dulu membeli ibumu? Cuma tiga ratus dirham.
Dan ayahmu ini, semoga Allah tidak memperbanyak jumlah manusia yang
sepertinya di kalangan Kaum Muslimin. Lanatas, dengan orang tua yang
semacam ini, engkau berjalan dengan lagak begitu?”
Hamdun al-Washshar berkata : “Tawadhu’ adalah engkau tidak
memandang dirimu dibutuhkan oleh siapa pun, baik di dunia ini maupun
di dalam hal Agama.”
Dikataka bahwa Abu Dzar dan Bilal – semoga Allah meridhai mereka
berdua – sedang bertengkar. Abu Dzar menghina Bilal karena kulitnya
yang hitam. Bilal mengadu kepada Rasulullah saw. yang lalu bersabda,
“Wahai Abu Dzar, sungguh!. masih ada sifat Jahiliyah dalam hatimu.”
Mendengar itu, Abu Dzar menjatuhkan dirinya ke tanah dan bersumpah
tidak akan mengangkat kepalanya sampai Bilal menginjakkan kakinya
pada pipinya. Ia tidak bangun-bangun sampai bilal melakukan hal itu.
Ktika al-Hasan bin Ali r.a. berjalan melewati sekelompok anak-anak yang
sedang makan roti, mereka mengajaknya pula makan. Beliau pun turun
dari atas kendaraan dan makan bersama mereka. Kemudian beliau
membawa mereka ke rumah beliau, mengajak mereka makan, memberi
mereka pakaian, dan berkata : “Aku berhutang budi kepada mereka, sebab
mereka tidak memperoleh lebih dari apa yang mereka tawarkan kepadaku,
sedangkan aku memeperoleh keuntungan labih dari mereka.”
Dikatakan : “Umar bin Khaththab r.a. membagi-bagikan bahan pakaian
yang berasal dari pampasan perang kepada para sahabtnya. Beliau
mengirmkan sepotong mantel buatan Yaman kepada Mu’adz. Oleh Mu’adz
mantel tersebut dijual dan kemudian digunakan untuk membeli enam
orang budak dan memerdekakannya. Hal ini sampai kepada telinga Umar.
Pada pembagian bahan pakaian berikutnya, kepada Mu’adz diberikannya
bahan pakaian yang harganya lebih murah. Ketika Mu’adz memprotesnya,
Umar bertanya : “Mengapa protes?” Engkau telah menjual bagianmu waktu
pembagian yang lalu.” Mu’adz tetap menuntut, “Apa urusannya dengan
Anda? Berikan bagian saya, sebab saya telah bersumpah akan
mengenakannya pada kepala Anda!” Umar berkata : “Inilah kepalaku di
depanmu. Barang yang usang sepatutnya di pasang pada barang yang
usang. Pula.”

13.
MELAWAN  NAFSU
Edit : Pujo Prayitno
Firman Allah swt.
“Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan
menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah
tempat tinggalnya.” )Qs. An-Naazi’aat : 40-1).
Diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah r.a. (Jabir bin Abdullah al-Khazrajy
al-Nashari as-Sulamy (16sH-78 H/607 -697) ikut berperang sebelas kali. Ia
mempunyai majelis halaqah ilmiah di Masjid Nabawi. Meriwayatkan 1.540
Hadist). Bahwa Rasulullah saw. telah bersabda :
“Hal yang paling kutakutkan kepada ummatku adalah mengumbar hawa
nafsu dan melamun panjang. Mengumbar hawa nafsu memalingkan
manusia adari Al-Haq, sedang melamun panjang membuat orang lupa pada
akhirat. Karena itu, ketahuilah bahwa melawan hawa nafsu adalah modal
ibadat.” (H.r. Hakim dan Dailamy).
Ketika salah seorang Syeikh ditanya tentang Islam, ia menjawab :
“Membabat nafsu dengan pisau perlawanan, Dan ketahuilah bahwa bagi
seseorang yang nafsunya telah bangkit, maka pencerahan hati yang
menyebabkan sukacita jiwanya di hadalapan Allah swt. akan hilang.”
Dzun Nuun al-Mishry mengatakan : “Kunci ibadat adalah tafakur. Tanda
terrcapainya tujuan adalah perlawanan terhadap hawa nafsu dengan
mninggalkan keinginan-keinginannya.”
Ibnu Atha’ berkta : “Nafsu itu dengan sendirinya cenderung pada perilaku
yang jahat. Pada saat yang sama, si hamba diperintahkan agar bersabar di
dalam beribadat. Jadi, hawa nafsu berperilaku sesuai dengan wataknya
dengan cara menetang, dan si hamba menolak hawa nafsu dengan
perjuangan melawan tuntutan-tuntutannya yang jahat.”
Al-Junayd berkomentar : “Nafsu amarah yang terus menerus mendorong
pada kejahatan adalah penyeru kepada kebinasaan, pembantu musuh,
pengikut hawa nafsu, dan diharu biru dengan berbagai macam kejahatan.”
Abu Hafs mengajarkan : “Barangsiapa tidak mencurigai diri sendiri dalam
setiap waktu, tidak menetangnya dalam setiap keadaan ruhani, dan tidak
memaksakan kepada diri sendiri apa yang tidak sesuai dalam hari-harinya,
adalah manusia yang tertipu. Dan barangsiapa memberikan
perhatiankepada nafsu dan menyetujui sebagian darinya identik dengan
menghancurkan diri sendiri. Bagaimana bisa membenarkan bagi orang
yang memiliki akal untuk menyenangi diri sendiri? Sedangkan Yusuf a.s.
yang mulia, putra dari keturunan yang mulia, Ya’qub dan Ishaq bin
Ibrahim as. Berkata : “Aku tidak membersihkan diriku dari kesaahan;
sesungguhnya nafsu itu cenderung kepada kejahatan.” (Qs. Yusuf : 53).
Al-Junayd menuturkan, : “Suatu malam aku tidak dapat tidur, lalu aku
bangun untuk melakukan wirid. Tetpai aku tidak menemukan kemanisan
atau kenikmatan yang bisanya kurasakan. Maka Aku menjadi bingung dan
berharap untuk dapat tidur saja, tetapi tetap tidak dapat. Lalu aku duduk,
namun demikian aku tidak dapat duduk nyaman. Maka kubuka jendela
dan aku pergi ke luar. Klihat seorang laki-laki berselimutkan mantel sedang
berbaring di jalan. Ketika ia menyadari kehadiranku, ia mengangkat
kepalanya dan berkata : “Wahai Abul Qasim, lihatlah waktu!” Aku
menjawab : “Tuanku, tidak da ketentuan waktu.” Ia berkata : “Bahkan aku
sudah memohon kepada si Pembangkit hati agar menggerakan hatimu
kepadaku. “Aku berkata : “ Dia telah melakukannya. Jadi, apa kemauan
anda ?” Aku menjawab : “ Jika nafsu mentang hawanya, maka penyakitnya
menjadi obatnya.” Kemudian laki-laki itu berpaling dan berkata kepada
dirinya sendiri, :Dengar (hai nafsu), aku telah menjawab pertanyaanmu
tujuh kali dengan jawaban seperti itu, tapi engkau menolak menerimanya
sampai engkau mendengarnya dari al-Junayd, dan sekang engkau telah
mendengarnya.” Kemudian ia berlalu meninggalkan aku. Aku tidak tau
siapa dirinya dan tidak pernah bertemu dengannya lagi.”
Abu Bakr ath-Thamastany berkata : “Nikmat terbesar adalah jika engkau
keluar dari dirimu sendiri, sebab ia adalah tabir terbesar antara dirimu
dengan Allah, swt.”
Sahl bin Abdulllah mengatakan : “Tidak ada ibadat bagi Allah selain yang
lebih utama dari menentang hawa nafsu.”
Ketika ditanya tentang perkara yang paling dibenci Allah swt. Ibnu Atha’
menjawab : “Memberikan perhatian kepada diri sendiri dengan segala
keadaannya. Lebih buruk dari itu adalah mengharapkan imbalan atas
perbuatan-perbuatannya.”
Ibrahim al-Khawwa menuturkan : “Aku sedang berada di atas gunung al-
Lakam, ketika aku melihat segerombolan pohon delima, timbul
keinginanku untuk mencicipannya sebuah. Lalu aku naik ke atas memetik
sebuah dan membelahnya, akan tetapi rasanya asam. Lalu aku melihat
seorang glaki-laki terbaring di tanah, dikerumuni lebah. Aku berkata
kepadanya : “Assalamu’alaikum.” Ia menjawab : “Wa’alaikum salam, wahai
Ibrahim.” Aku bertanya : “Bagaimana engkau mengenalku?” Ia menjawab :
Tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi dari manusia yang mengenal
Allah swt. Aku berkata : “Kulihat engkau berada dalam keadaan bersama
Allah swt.” Mengapa engkau tidak meminta kepada-Nya agar
melindungimu dari gangguan lebah-lebah itu?” Ia berkata : “Dan engkau,
kulihat juga berada dalam keadaan bersama Allah swt. Mengapa engkau
tidak meminta kepada-Nya juga agar melindungimu dari keinginan makan
delima?” Manusia akan mengalamai rasa sakit dari sengatan delima di
akhirat, sementara sengatan lebah hanya terasa sakit di dunia.” Aku pun
pergi berlalu meninggalkan orang itu.”
Dalam satu riwayat Ibrahim bin Syaiban mengabarkan : “Selama empat
puluh tahun aku tidak pernah bermalam satu kali  pun di bawah atap
rumahku atau di tempat tertutup yang lain. Namun Terkadang  aku masih
menginginkan agar bisa  makan ‘ada dengan kenyang. Sayang, keinginanku
itu tidak pernah terpenuhi. Pada suatu hari, ketika aku berada di Syam,
seseorang menghidangkan semangkok penuh ‘adas kepadaku. Aku makan
isinya dan kemudian berangkat. Di tengah jaan aku melihat botol-botol
berisi semacam cairan, yang kukira adalah cuka. Di antara mereka
menegurku : “Bagaimana pendapatmu?” Ini adalah botol-botol anggur, dan
ini guci anggur!” Aku berkaa pada diri sendiri, “Adalah kewajibanku
....”Kemudian aku pun masuk ke dalam warung dan menumpahkan isi-isi
botol serta guci-guci itu. Orang itu mengira bahwa  aku menumpahkan isi
botol-botol itu  atas perintah Sultan. Tapi ketika mengetahui bahwa itu
hanya inisitaifku sendiri, ia lalu membawaku kepada Ibnu Thaulun yang
memerintahkan agar aku didera duaratus kali dan dimasukan ke dalam
penjara. Aku tinggal di penjara beberapa waktu lamanya sampai Abu
Abdullah al Maghriby, guruku, datang ke negeri itu dan membebaskanku.
Ketika melihatku, beliau bertanya : “Apa yang telah engkau perbuat?” Aku
menjawab : “Satu perut yag penuh berisi ‘adas dan duaratus deraan!”
Beliau berkata : “Engkau telah diselematkan dari segala tuduhan di
akhirat.”
Dalam suatu riwyat  Sari as-SaqathY pernah menuturkan : “Selama tiga
puluh tahun, nafsuku telah meminta kepadaku sepotong wortel yang
dicelup dalam madu kurma, tetapi aku belum sempat memakannya!” Saya
dengar Abu Abbas ala Baghdady menuturkan bahwa kakeknya pernah
berkata : “Bencana seorang hamba adalah rasa pusnya terhadap keadaan
dirinya.”
Isham bin Yusuf al-Balky menghadap kepada Hatim al-Asham, ia pun
diterima. Seseorang bertanya : “Mengapa Anda menerimanya?” Hatim
menjawab : “Dengan menerimanya aku merasakan rasa hinaku sekaligus
merasakan kebanggaannya. Sebaliknya, apabila aku menolaknya, aku
merasa kebangganku sekaligus merasakan rasa hinanya. Maka aku
memilih kebanggaannya daripada kebangganku dan kehinaanku daripada
kehinaannya.”
Seseorang berkata kepada salah seorang Sufi : “Aku ingin melaksanakan
ibadat haji dalam keadaan menyepi (tajrid).” Sang Sufi menjawab : “Lebih
tajridlah sifat alpa dari dalam hatimu, kekurang-seriusan dari dirimu, dan
perkataan yang sia-sia dari lidahmu; setelah itu tempuhlah ke mana saja
engkau mau.”
Abu Sulaiman ad-Darany berkata : “Orang yang melewati malam harinya
dengan cukup baik akan memperoleh balasan di siang harinya, dan orang
yang melewati siang dengan cara yang baik akan memperoleh balsan di
malam harinya. Barangsiapa tulus dalam menjauhi hawa nafsu akan
terbebas dari beban memberi nafsu makanan. Allah swt. bersifat Maha
Pemurah hingga tidak berkehendak untuk menghukum hati yang menjauhi
hawa nafsu demi Dia.”
Allah swt. mewahyukan kepada Daud as. “Wahai Daud, peringatkanlah
para sahabatnya  terhadap sikap menuruti hawa nafsu, sebab hati yang
terikat kepada hawa nafsu dunia tertutup dari-Ku.”
Dikatakan bahwa seseorang sedang duduk melayang di udara, dan
seseorang bertanya kepadanya, “Bagaimana engkau bisa melakukan hal
ini?” Ia menjelaskan : Aku meninggalkan hawa nafsu, karenanya Allah swt.
menjadikan udara tunduk kepadaku.”
Dikatakan : “Jika (pemenuhan) seribu hawa nafsu ditawarkan kepada
seorang Mukmin, niscaya ia akan meolaknya dengan rasa takut kepada
Allah Swt. Tetapi jika pemenuhan satu kehendak hawa nafsu ditawarkan
kepada seorang pndosa, pemenuhan itu akan mengusir darnya rasa takut
kepada Allah swt.” Dikatakan juga, : “Janganlah engkau tempatkan
kendalimu di tanag nafsu, sebab ia pasti membawamu pada kegelapan.”
Yusuf bin Asbat berkata : “Hanya takut yang sangat atau kerinduan yang
bergelora sajalah yang bisa memadamkan “NAFSU”.
Al-Khawwa berkata : “Barangsiapa meninggalkan hawa nafsu, tapi tidak
menemukan pengganti dalam hatinya adalah seorang pendusta dalam
meninggalkan hawa nafsu itu sendiri.”
Ja’far bin Nashr mengabarkan : “Al-Junayd memberiku uang satu dirham
dan menyuruhku membeli semacam buah kenari. Kubeli beberapa buah,
dan ketika saat berbuka puasa tiba, ia memecah sebuah dan memakan
isinya. Tapi kemudian ia memuntahkannya dan menangis. : “Singkirkan
buah-buah ini.” Pintanya> Ketika aku bertanya apa yang telah terjadi, ia
menjawab : “Sebuah suara berseru dalam hatiku : “Tidakkah engkau
merasa malu? Engkau menjauhi satu nafsu demi untuk-Ku, tapi kemudian
mengambilnya lagi!.”
Kaum Sufi bersyair :
Huruf Nun dari kehinaan (haan) dari hawa..
Telah dicuri.
Menyerah kepada hawa nafsu
Jatuh dalam kehinaan.

14.
DENGKI
Edit : Pujo Prayitno
Allah set. Berfirman :
“Katakanlah : “Aku berlindung kepada Tuhan yang menguasai sebuah dari
kejahatan makhluk-Nya.” Kemudian dia berfirman : “Dan dari kejahatan
orang yang dengki apabila ia dengki.” (Qs. Al-Falaq : 1,2 dan 5.).
DI sini, Allah menutup Surat, yang dijadikan sebagai perlindungan dengan
menyeburkan kata “Dengki”.
Diriwayatkan dari Ibnu Ma’ud bahwa Rasulullah saw. bersabda :
“Ada tiga hal yang menjadi akar semua dosa. Jagalah dirimu dan
waspadalah terhadap ketiganya. Waspadalah terhadap kesombongan,
sebab kesombongan telah menjadikan iblis menolak bersujud kepada
Adam. Waspadalah terhadap kerakusan, sebab kerakusan telah
menyebabkan Adam memakan buah dari pohon terlarang. Dan jagalah
dirimu dari dengki, sebab dengki telah menyebabkan salah seorang anak
Adam membunuh saudaranya.” (H.r. Ibnu Asakir).
Salah seorang Sufi mengatakan : “Orang yang dengki adalah orang yang
tidak beriman, sebab ia tidak merasa puas dengan takdir Allah Yang Maha
Esa,” Dikatakan : “Orang yang dengki tidak pernah berjaya.”
Disebutkan dalam firman Allah swt. : “Katakanlah, “Tuhanku hanya
mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang tampak maupun yang
tersembunyi.” (Qs. Al-A’raf :33).
Dikatakan bahwa : “perbuatan keji yang tersembunyi itu adalah dengki.”
Dalam beberapa kitab tertulis bahwa : “Orang yang dengki adalah musuh
nikmat-Ku.”
Dikatakan pula : “Pengaruh dengki tampak padamu sebelum ia tampak
pada musuhmu.”
Al-Asmu’i menuturkan : “Aku melihat seorang Badui yang berumur seratus
dua puluh tahun, dan aku berkata : “Alangkah panjangnya umur Anda!.” Ia
menjawab : “Aku telah meninggalkan dengki, hingga umurku panjang.”
Ibnul Mubarak mengatakan : “Segala puji bagi Allah, Yang tidak
menempatkan dengki dalam hati pemimpinku sebagaimana yang telah
ditempatkan-Nya dalam hati pendengkiku.”
Dalam satu hadis dikatakan : “Ada seorang malaikat di langit kelima yang
amal perbuatan seseorang manusia melaluinya, dan ia bersinar kemilau
seperti matahari. Malaikat itu memerintahkan : “Berhentilah karena kau
adalah malaikat dengki. Pukullah pelaku dengki pada mukanya, sebab ia
adalah seorang pendengki!.”
Mu’awiyah bin Abu Sufyan berkata : “Aku mampu menyenangkan semua
orang kecuali pendengki. Ia tidak pernah merasa puas dengan apa pun
selain berhentinya kenikmatan bagi semua orang.”
Dikatakan : “Seorang pendengki adalah seorang yang paling zalim. Ia tidak
membiarkan sesuatu pun tetap tinggal di tempatnya.”
Umar bin Abdul Aziz menegaskan : “Aku tidak pernah melihat orang yang
lebih zalim yang sama dengan kezaliman pendengki. Sebab ia senantiasa
berada dalam keadaa sengssara dan nafas sesak.”
Dikatakan : “Di antara tanda-tanda seorng pendengki adalah penjilat orang
lain manakala orang itu berada di dekatnya, memfitnahnya manakala tidak
berada di dekatnya, dan merasa senang apabila ada bencana yang
menimpa diri orang lain.”
Mu’awiyah berkata : “Tidak ada sifat-sifat kejahatan yang lebih tegak
daripada dengki. Orang yang dengki binasa sebelum orang yang
didengkinya.”
Dikatakan bahwa Allah Swt. mewahyukan kepada Sulaiman putra Daud, as.
“Kuperintahkan engkau agar melakukan tujuh perkara, “Janganlah engkau
menggunjing dan mendengki salah seorang hamba-Ku yagn ssaleh!”
Sulaiman menjawab : “”Tuhanku”, cukuplah perintah itu bagiku.”
Dikatakan bahwa Musa as. Melihat seorang manusia di dekat “Arasy.
Karena Musa ingin menempati kedudukan itu, beliau bertanya, “Apa
amalnya?” Pertanyaanya itu dijawab : “Ia tidak pernah dengki terhadap
manusia karena anugerah Allah swt. kepadanya.”
Dikatakan : “Seorang pendengki menjadi bingung bila melihat adanya
rahmat atas diri orang lain dan merasa senang jika melihat adanya
kekurangan pada diri orang lain.”
Dikatakan : “Jika engkau ingin selamat dari seorang pendengki,
sembunyikan urusanmu darinya.”
Dikatakan pula : “Seorang pendengki sangat marah terhadap manusia yang
tidak mempunyai dosa, dan bersikap kikir terhadap yang tidak ia miliki.”
Dikatakan juga : “Waspadalah! Jangan sampai engkau mengharapkan
untuk mencintai orang yang mendengkimu, sebab ia pasti tidak akan
menerima kebaikanmu.”
Kata salah seorang Sufi : “Apabila Allah swt. Berkehendak memberikan
kekuasaan kepada seorang musuh yang tak mengenal kasihan, terhadap
salah seorang hamba-Nya, maka kekuasaan itu diberikan-Nya kepada
pendengkinya.”
Dalam syair Sufi :
Cukuplah bagimu kisah tentang seorang
Yang dikasihani oleh para pendengkinya.
Mereka juga membacakan syair berikut :
Semua permusuhan terkadang diharapkan
Kematiannya
Keculai permusuhan dari orang
Ang melawanmu dengan rasa dengki.
Mereka juga membacakan syair :
Manakala Allah berkehendak menebar kebajikan
Digulunglah lidah pendengkinya.
Ibnul Mu’tazz mengatakan :
Katakan pada pendengki
Ketika nafasnya terengah-engah,
“Hai si zalim!.”
Sedang ia
Seakan-akan orang yang ditindas.

15.
PERGUNJINGAN
Edit : Pujo Prayitno
Allah swt. berfirman :
“Dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah
ssalah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah
mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah
kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Menerima Tobat lagi Maha
Penyayang.” (qs, Al-Hujurat :12).
Abu Hurairah r.a. meriwayatkan bahwa ada seorang laki-laki yang ikut
duduk bersama Rasulullah saw. kemudian ia bangkit berdiri dan pergi.
Salah seorang yang hadir berkata : “Alangkah lemahnya orang itu.”
Rasulullah saw. bersabda : “Engkau telah memakan daging saudaramu
ketika engkau menggunjingnya.”
Allah swt. mewahyukan kepada Musa, as. : “Barangsiapa meninggal dengan
bertobat dari menggunnjing, akan menjadi orang terakhir yang masuk
surga, dan barangsiapa meninggal dengan berterus-terusan melakukan
gunjingan itu, akan menjadi orang yang pertama masuk neraka.”
Auf menuturkan : “Aku datang kepada Ibnu Sirin, aku aku menggunjing Al-
Hallaj. Ibnu Sirin berkata :”Sesungghnya Allah swt. adalah hakim yang
paling adil, maka sebanyak yag diambilnya dari al-Hallaj, sebanyak itu pula
yang diberikan-Nya kepadanya. Ketika engkau berjupa dengan Allah awt.
Di akhirat nanti, dosa sekecil apapun yang telah dilakukan al-Hallaj akan
menjadi lebih besar bagimu daripada dosa terbesar yang teah dilakuka al-
Hallaj.”
Diriwaytkan bahwa Ibrahim bin Adham diundang ke sebuah pesta, dan ia
pun bersedia menghadirinya. Ketika orang-orang membicarakan seseorang
yang tidak hadir, mereka mengatakan : “Seorang yang kurus kering dan
tidak meenarik.” Ibrahim berkata : “Inilah yang dilakukan nafsuku
terhadap diriku.” Kutemukan diriku dalam perkumpulan dimana
pergunjingan dilakukan.” Ia lalu pergi begitu saja, setelah itu ia tidak
makan selama tiga hari.
Dikaakan : “Barangsiapa menggunjing orang lain adalah seperti orang yang
menyiapkan ketapil. Ia menembak amal-amal baiknya sendiri dengan
perbuatannya itu ke Barat dan ke Timur. Ia menggunjing seseorang dari
Khurasan, seorang lagi dari Hijaz, seorang lagi dari Turki, ia mencerai-
beraikan amal-amal baiknya sendiri, dan ketika berdiri, tak satu pun amal
baiknya.”
Dikatakan, : “Seorang hamba akan diberi catatan amalnya pada hari
Kiamat, tetapi ia tidak melihat satu pun amal baiknya di dalamnya. Ia akan
bertanya : “Di mana shalat, puasa dan amal-amal ibadatku yang lain?”
Dikatakan kepadanya : “Semua amalmu telah hilang karena engkau terlibat
dalam pergunjingan.”
Dikatakan : “Barangsiapa digunjing, Allah mengampuni separo dosanya.”
Sufyan ibnul Husain mengatakan : “Aku sedang duduk-duduk dengan Iyas
bin Mu’awiyah, dan menggunjing seseorang. Iyas bertanya kepadaku :
“Apakah engkau telah menyerang orang-orang Romawi atau Turki tahun
ini?” Aku menjawab : “Tidak” Ilyas berkata : Orang-orang Turki dan
Romawi telah selmat dari seranganmu, sementara saudaramu sendiri yang
Muslim tidak!” Dikatakan : “Seorang manusia akan diberi catatan amalnya
di hari Kiamat, dan ia menemukan di dalamnya amal-amal baik yag tidak
pernah diperbuatnya. Dikatakan kepadanya : “Ini adalah imbalan bagi
gunjingan orang terhadapmu, yang tidak kamu ketahui.”
Sufyan ats-Tsauri ditanya tentang sabda Nabi saw. : “Sesungguhnya Alalh
membenci keluarga pemakan daging manusia.” (H.r. Baihaqi). Sufyan
mengomentari : “Yang dimaksud di sini adalah orang-orang yang
menggunjing, mereka memakan daging manusia.”
Ketika menggunjing ditanyakan di hadapan Abdullah ibnul Mubarak, ia
berkata : “Jika aku menggunjing seseorang niscaya aku akan menggunjing
kedua orang tuaku, sebab mereka yang paling berhak atas amal-amal
baiku.”
Yahya bin Mu’adz berkata : “Jadikanlah keuntungan seorang Muslim
terhadap dirimu berupa tiga hal ini : Jika engkau tidak bisa membantunya,
maka janganlah engkau mengganggunya; Jika engkau tidak bisa
memberinya kegembiraan, maka janganlah engkau membuatnya sedih;
Jika engkau tidak bisa memujinya, maka janganlah engkau mencari-cari
kesalahannya .
Dikatakan kepada Hasan al-Bashry : “ Si Fulan telah menggunjing Anda”,
maka al-Hasan lalu mengirimkan kue-kue kepada orang yang
menggunjingnya, dengan pesan : “Aku mendengar bahwa engkau telah
melimpahkan amal baimu kepadaku. Aku ingin membalas kebaikanmu.”
Diriwayatkan oleh Anas bin Malik r.a. bahwa Rasulullah saw. telah
bersabda : “Jika orang melepaskan tabir rasa malu dari wajahnya, niscaya
tidak akan ada masalah pergunjingan bagimu.” (H.r. Ibnu Abdi dan Abu
Asy-Syeikh).
Al-Junay menuturkan : “Aku sedang dudukduduk di masjid asy-Syuniziyah,
menunggu jenazah agar aku bisa ikut melaksanakan shalat jenazah. Orag-
orang Baghdad dengan berbagai kelasny duduk menunggu iringan
tersebut. Lalu aku melihat seorang miskin yang kelihatan bekas ibadatnya
mengemis dari orang banyak. Aku berkata kepada diriku sendiri : “Jika
orang ini mau bekerja untuk memperoleh rezekinya, itu akan lebih
baginya.” Ketika aku kembali ke rumah, maka seperti biasanya, aku mulai
melakukan wirid di malam hari, menangis dan shalat, serta amalan-
amalan lainnya. Tetapi semua  wiridku itu terasa memberatkan jiwaku, aka
aku lalu tidak dapat tidur, dan hanya duduk-duduk saja. Ketika aku terjaga,
kantuk datang kepadaku, aku melihat si pengemis itu. Kulihat orang-orang
sedang meletakkan tubuhnya di atas sehamparan kain yang lebar, dan
mereka memerintahkan kepadaku : “Makanlah daging orang ini, karena
engkau telah menggunjingnya.” Keadan orang itu diungkapkan kepadaku,
dan aku memprotes, “Aku tiak menggunjingya.” Aku hanya mengatakan
sesuatu kepada diriku sendiri.” Lalu dikatakan keapdaku : “Perbuatan
seperti itu pun tidak layak. Pergilah kepada orang itu dan meminta
maaflah!” Paginya aku terus mencari orang itu sampai aku menemukannya
sedang mengumpulkan dedaunan yang tersisa dalam air yag digunakan
untuk mencuci sayur mayur. Ketika aku memberi salam kepadanya, ia
bertanya : “Wahai abul Qasim, apakah engkau atang ke sini lagi?” Aku
menjawab : “Tidak” Ia berkata : “Semoga Allah mengampuni dosa kami dan
dosamu.”
Abu Ja’far al-Baklhy berkata : “Seorang pemuda dari kalngan warga Balkh
sedang berada di antara kami, ia bermujahadah dan mengabdikan dirinya
untuk melayani Allah. Hanya saja ia terus menerus terlibat dalam
gunjingan. Ia suka mengatakan : “Si Fulan dan si Fulan itu demikian.” Pada
suatu hari aku melihatnya sedang mengunjungi beberapa tukang
memandikan jenazah yang disebut orang sebagai “orang-orang banci”.
Ketika pemuda itu meninggalkan mereka, aku bertanya kepadanya :
“Wahai Fuan, apa yang telah terjadi padamu?” Ia menjawab : “Begiliha
akibatnya atas perbuatanku mengunjing. Hal itu telah emncampakkanku
dalam kehinaan ini. Aku telah tergila-gila kepada salah seorang banci dan
aku melayani mereka atas namanya. Semua amal ibadatku sebelumnya
telah musnah. Maka doakan agar Allah swt.mengasihiku!.”

16.
QANA’AH
Edit : Pujo Prayitno
Allah swt. berfirman :
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki- maupun
perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan kami
berikan kepadanya kehidupan yang baik.” (Qs. An-Nahl : 97).
Diriwayatkan oleh Jabir bin Abdullah, bahwa Rasulullah saw. telah
bersabda :
“Qana’ah (menerima pemberian Allah) adalah harta yng tidak pernah
sirna.” (Hr. Thabrani).
Diriwayatkan oleh Abu Hrairah r.a. bahwa Rasulullah saw. telah bersabda :
“Jadilah orang yang wara’ maka engkau akan menjadi orang yang paling
berbakti kepada Allah swt. Jadilah engkau orang yang menerima
(pemberian-Nya), engkau akan menjadi orang yang paling bersyukur.
Cintailah manusia sebagaimana (kamu mencinta0 dirimu sendiri, maka
engkau menjadi orang yang beriman. Perbaikilah dalam hidup bertetangga
dengan tetanggamu, engkau akan menjadi orang Muslim. Dan sedikitlah
tertaa, sebab banyak tertawa mematikan hati.” (H.r. Baihaqi).
Dikatakan : “rang-orang miskin itu mati, kecuali mereka yang dihidupkan
Allah dengan kebesaran qana’ah.”
Bisyr al-Hafi berkata : “Qana’ah adalah seorang raja yang hanya tinggal di
dalam hati yang beriman.”
Abu Sulaiman ad-Darany berkomentar : “Hubungan Qana’ah dengan ridha
adalah seperti hubungan antara maqam wara’ dengan zuhud. Qana’ah
adalah awal ridha, dan wara’ adalah awal zuhud.”
Dikatakan : “Qana’ah adalah sikap tenang dalam menghadapi hilangnya
sesuatu yang biasa ada.”
Abu Bakr al-Maraghy menjelaskan : “Orang yang cerdas adalah orang yang
menagani dunianya, dengan qana’ah dan tidak bergegas-gegas, tapi
mengurusi urusan akhiratnya dengan penuh kerakusan dan ketergesaan,
menangani urusan agamanya denga ilmu dan ijtihad.”
Abu Abdullah bin Khafif berkata : “Qana’ah adalah meningkatkan
keinginan terhadap apa yang telah hilang atau yang tidak dimiliki, dan
menghindari ketergantungan keapda apa yang dimiliki.”
Dikaakan mengenai firman Allah swt. “Allah akan menganugerahi mereka
rezeki yang berlimpah)>” (Qs. Al-Hajj : 88), bahwa yang dimaksud di sini
adalah qana’ah.
Muhammad bin Ali at-Tirmidzy menegaskan : “Qana’ah adalah kepuasan
jiwa terhadap rezeki yang diberikan.”
Dikatakan : “Qana’ah adalah menemukan kecukupan di dalam apa yang
ada dan tidak menginginkan apa yang tiada.”
Wahb menuturkan : “Kehormatan dan kekayaan berkelana mencari teman.
Mereka berjumpa dengan qaba’ah dan mereka hinggap menetap apdanya.”
Dikatakan : “Orang yang merasa qana’ah akan menemukan bubur yang
lezat.” Dikatakan juga, “Orang yag selalu kembali kepada Allah swt. dalam
segala hal, akan dianugerahi qana’ah.”
Dalam sebuah cerita disebutkan ketika Abu Hazim melewati seorang
penjual daging yang mempunyai sejumlah daging berlemak, si penjual
berkata kepadanya : “Ambillah sedikit, wahai Abu Hazim, karena daging ini
berlemak!.” Abu Hazim menjawab, “Aku tidak membawa uang.” Si
pedagang berkata : “Aku beri engkau waktu untuk mebayarnya.” Abu
Hazim menjawab : “Jiwaku masih lebih baik menunggu daripadamu.”
Salah seorang Sufi ditanaya : “Siapakah orang yang paling qana’ah di
antara ummat manusia>” Ia menjawab : “Yaitu orang yang paling berguna
bagi ummat manusia dan paling sedikit upahnya.”
Dikatakan dalam kiab Zabur : “Orang yang Qana’ah adalah orang yang
kaya, sekalipun ia dalam keadaan lapar.”
Dikatakan : “Allah swt. menempatkan lima perkara dalam lima tempat :
Keagungan dalam ibadat, kehinaan dalam dosa, kehidmatan dalam bangun
malam, kebijaksanaan dalam perut kosong, dan kekayaan/cukup dalam
qana’ah.”
Ibrahim al-Maristany berkata : “Lakukanlah pembalaan terhadap
kerakusanmu dengan qana’ah sebagaimana engkau membalas dendam
kepada musuhmu dengan qisas.”
Dzun Nuun al-Mishry berkata : “Orang yang qana’ah selamat dari orang-
orang semasanya dan berjasa atas semua orang.”
Dikatakan, Orang yang qana’ah akan menemukan istirah dari kecemsan
dan berjaya atas segala sesuatu.”
Al-Kattany mengatakan : “Barangsiapa menjual kerakusan demi qana’ah
berarti telah memperoleh keagungan dan kebesaran.”
Dikatakan : “Kesedihan dan rasa gelisah menjadi panjang bagi orang yang
matanya mengejar apa yang dimiliki orang lain”
Kaum Sufi sering membacakan syair berikut :
Betapa indahnya pemuda.
Dari hari-hari yang lapar
Lebih terhormat dari kekayaan yang disetai lapar.
Dalam suatu cerita disebutkan : “Seorang laki-laki melihat seorang yang
bijaksana sedang mengunyah potongan-potongan sayur yang dibuang di
tempat air, dan berka kepadanya,: “Jika saja Anda mau mengabdi kepada
Sultan, niscaya Anda tidak perlu makan-makanan begini. Orang bijak itu
menjawab : “Dan Anda, seandainya saja Anda mau berqana’ah dengan
makanan begini, niscaya Anda tidak pelu mengabdi kepada Sultan.”
Mengenai firman Allah swt. :
“Sesungguhnya orang-orang yang banyak berbakti benar-benar berada
dalam surga yang penuh kenikmatan.” (Qs. Al-Infithar :13).
Dikatakan bahwa kata na’im adalah qana’ah di dunia. Dalam Ayat
berikutnya :
“Dan sesungguhnya orang-orang yang durhaka benar-benar berada dalam
neraka.” (Qs. Al-Infithar :14).
Kata Jahim berarti kerakusan di dunia.
Mengenai firman Alalh swt. :
“Tahukah kamu, apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu? (Yaitu)
melepaskan budak dari perbudakan.” (Qs. Al-Balad :12-3).
 Dikatakan bahwa ayat ini berarti : Membebaskan orang dari kerendahan
sifat tamak.”
Dikatakan bahwa firman Allah swt. : “Sesungguhnya Allah bermaksud
hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait.” (Qs. Al-Ahza :33),
berarti, “menghilangkan sifat kikir dan iri.”
Dan firman-Nya selanjutnya : “Dan membersihkan kamu sebersih-
bersihnya.” (Qs. Al-Hazab :33)) berarti : Melalui sifat murah hati dan tidak
pelit dalam memberi.”
Mengenai firman Allah Swt. : “Ia berkata : “Ya Tuhanku, ampunilah aku
dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak dimiliki oleh seorang
jua pun sesudahku.” (Qs. Shaad:35). Berarti : “Anugerahkanlah kepadaku
derajat qana’ah yang dapat membuatku sendiri, dibanding sibuk dengan
pesoalanku, yang dengannya aku akan merasa ridha dengan ketentuan-
Mu.”
Dikatakan mengenai firman Allah swt. : “Aku (Sulaiman) pasti akan
menghukum (burung hud-hud) dengan hukuman yang pedih.” (Qs. An-
Naml :21), bahwa ayat ini berarti : “Aku akan menaggalkan darinya sifat
qana’ah dan memberinya cobaan dengan sifat rakus.” Yakni : “Aku akan
memohon kepada Allah swt. agar melakukan hal ini terhadapnya.”
Abu Yazid Bisthamy ditanya : “Bagaimana Anda bisa sampai pada
kedudukan  sekarang ini?” Ia menjawab : “Aku mengumpulkan harta
benda dunia ini lalu mengikatnya dengan tali qana’ah. Lalu aku
menempatkan mereka dalam ketepil keikhlasan dan melontarkannya ka
lautan putus asa. Maka aku pun bisa istirahat.”
Abdul Wahahb, paman Muhammad bin Farhan, menuturkan, : “Aku sedang
duduk-duduk bersama al-Junayd di sat musim haji, dan disekelilingnya ada
sekelompok besar orang non Arab, termasuk beberapa orang yang telah
dibesarkan di lingkungan rang Arab. Seseorang datang kepadanya dengan
membawa uang limaratus dinar, yang diletakkannya di hadapan al-Junayd,
lalu Junayd berkata, : “Sebarkan pada orang-orang fakir.” Sambil bertanya
kepadanya : “Apakah kamu masih punya uang selain ini?” Ia menjawab :
“Ya, aku masih punya banyak.” Al-Junayd bertanya kepadanya : “Apakah
kamu ingin memperoleh lebih banyak dari yang kamu miliki sekarang?” Ia
menjawab : “Ya”. Maka al-Junayd lalu berkata kepadanya : “Ambillah
kembali uangmu ini, sebab engkau lebih memerlukannya daripada kami.”
Junayd tidak menerimanya.”

17.
TAWAKKAL
Edit : Pujo Prayitno
Firman Allah swt. berfirman :
“Dan barangsiapa bertawakal kepada Allah, niscaya Alalh akan
mencukupkan (keperluan)nya.” (Qs. Ath-Thalaq:3).
“Karena itu, hendaklah kepada Alalh saja orang-orang Mukmin
bertawakkal.” (Qs. Ali Imran:160).
“Dan hanya kepada Alalh hendaknya kamu bertawakkal, jika kamu benar-
benar orang yang beriman.” (Qs. Al-Maidah:23).
Diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas’ud r.a. bahwa Rasulullah saw.
bersabda :
“Telah diperlihatkan kepadaku semua ummat di tempat berkumpul haji.
Kulihat bahwa ummatku mememnuhi lembah dan gunung-gunung. Jumlah
dan penampilan mereka mengagumkan hatiku. Aku ditanya : “Apakah
engkau ridha?” Aku menjawab : “Ya”. Bersama dengan mereka akan ada
tujuh puluh ribu orang  yang masuk surga tanpa hisab. Mereka adalah
orang-orang yang tidak pernah berobat dengan besi panas, tidak pernah
mencari ramalan dengan burung, dan idak penah pula mencuri; dan
mereka hanya bertawakkal kepada Allah.” Mendengar perkataan Nabi itu,
Ukasyah bin Muhsan al-Asady bangkit berdiri dan meminta, “Wahai
Rasulullah, doakanlah kepada Allah agar memasukan aku ke dalam salah
seorang di antara mereka.” Rasulullah lalu berdoa>’ Ya Allah, jadikanlah ia
salah seorang dari mereka.” Yang lain bangkit pula, juga berkata : “Doakan
juga saya, wahai Rasulullah.” Beliau menjawab, : “Engkau telah didahului
akasyah.” (H.r. Ahmad).
Abu Ali ar.Rudzbary menuturkan : “Aku berkta kepada ‘Amar bin Sinan :
“Ceritakan kepadaku tentang Sahl bin Abdullah! Maka ia pun berkata
kepadaku : “Ia berkata bahwa ada tiga tanda orag gyang bertawakkal
kepada Allah swt. Tidak meminta-minta, tidak menolak sesuatu
(pemberian) dan tidak pula menahan sesuatu.”
Abu Musa ad-Dubaily mengabarkan : “Abu Yazid al-Bisthamy ditanya :
“Apakah tawwakl itu?” Maka ia lalu bertanya kepadaku, “ Bagaimana
apendapatmu?” Aku menjawab : “Para murid kami mengatakan : “Bahkan
jika seekor binatang buas dan ular berada di kiri dan kananmu, jiwamu
tidak akan bergetar karenanya.” Abu Yazid mengatakan : “Ya” itu
mendekati. Tetapi jika  penghuni surga hidup dengan penuh kenyamanan
dan penghuni neraka hidup dengan penuh siksaan, kemudian terrlintas
dalam pikiranmu untuk lebih menyukai kehidupan yang satu daripada
kehidupan yang lain, berarti engkau telah keluar dari golongan tawakkal!.”
Sahla bin Abdullah menjelaskan : “Maqam pertama dalam tawakkal adalah
bahwa si hamba berada di tangan Allah swt. seperti mayit di tangan orang
yang memandikannya, yang membolak-balikannya sesuka hatinya, tanpa
ia bergerak dan berangan-angan.”
Hamdun al-Qashshar, menandaskan : “Tawakkal adalah berpaut erat pada
Allah swt.”
Seorang laki-laki bertanya kepada Hatim al-Asham : “Siapa yang
memberrimu makanan?” Ia menjawab : “Milik Allah-lah harta kekayaan
dalngit dan bumi, tetapi orang munafik tidak memahaminya.” (Qs. Al-
Munafiqun :7).
Ketahuilah bahwa tempat tawakkal adalah hati. Sedangkan gerakan
lahiriah tidak menaggalkan tawakkal dalam hati manakala si hamba telah
yakin bahwa takdir datang ari Allah swt, di dalamnya, dan jika sesuatu
dimudahkan kepadanya, ia melihat kemudahan dari Alalh swt. di
dalamnya.
Diriwayatkan oleh Anas bin Malik bahwa seorang laki-laki datang kepada
Rasulullah saw. dengan mengendari unta, dan ia bertanya : “Wahai
Rasulullah, haruskah aku biarkan saja unta tanpa ditambatkan atau
kemudian aku bertawakal saja kepada Allah?” Beliau menjawab
“Tambatkanlah untamu dan sesudah itu bertawakkallah.” (H.r. Tirmidzi).
Ibrahim al-Khawwas berkomentar : “Barangsiapa benar-benar bertawakkal
kepada Allah di dalam urusan dirinya sendiri, pasti juga akan bertawakkal
kepada Allah dalam urusan dengan orang lain.”
Bisyr al-Hafi mengabarkan : “Salah seorang Sufi mengatakan : “Aku telah
bertawakkal kepada Allah swt. padahal aku berdusta kepada Allah swt.
Seandainya ia bertawakkal tentu akan puas dengan segala sesuatu yang
diberikan Allah kepadanya.”
Yahya bin Mu’adz ditanya : “Bilakah seseorang dikatakan bertawakkal?” Ia
menjawab : “Jika ia rela menerima Allah sebagai pelindungnya.”
Brahim al-Khawwa menuturkan : “Ketika aku sedang melakukan
perjalanan ke pedalaman, sebuah suara memanggilku dan seorang Badui
berjalan menghampiriku. Ia berkata kepadaku : “Wahai Ibrahim di antara
kami ada yang bertawakkal kepada Allah. Tinggallah bersama kami sampai
keyakinanmu menjadi benar (Shahih). Tidakkah engkau tahu bahwa
harapanmu untuk sampai ke sebuah kota aalah dmei memperoleh citarasa
makananyang berbeda?” Berhentilah mengharapkan kota-kota dan
bertawakkalh kepada Allah.”
Ketika Ibnu Atha’ ditanya hakikat tawakkal, ia menjelaskan : “Tawakkal
adalah bahwa hendaknya hasrat yang menggebu-gebu terhadap perkara
duniawi tidak muncul dalam dirimu, meskipunengkau sangat
membutuhkannya, dan bahwa hendaknya engkau senantiasa bersikap
qana’ah dengan Allah, meskipun engkau tergantung paa kebutuhan-
kebutuhan duniawi itu.”
Abu Nashr as- Sarraj berkata : “Keadaan bertawakkal kepada Allah adalah
seperti yang dikatakan oleh Abu Turab an-Nakhsyaby : “Mengabdikan
jasad untuk beribadat, mengaitkan hati kepada Allah, dan bersikap tenang
dalam mencari kebutuhan. Jika diberi bersyukur, jika tidak, tetap
bersabar.”
Seperti dikatakan Dzun Nuun al-Mishry : “Tawakkal kepada Allah swt.
berarti meninggalkan daya upaya, sebab si hamba hanya mampu
bertawakkal kepada-Nya jika ia mengetahui bahwa Alalh swt. Maha Tahu
dan Maha Melihat akan keadaannya.”
Abu Ja’far bin Abu Faraj menuturkan : “Aku melihat seorang dari kalangan
jahat dikenal dengan sebutan Unta Aisyah, yang sedang menerima
hukuman cambuk. Aku bertanya kepadanya : “Pada saat bagaimana rasa
sakitmu akibat cambukkan menjadi reda?” Ia menjawab : “Manakala orang
yang menyebabkan kami dicambuk melihat kami.”
Al-Husain bin Manshur bertanya kepada Ibrahim al-Khawwas : “Apa yag
telah engkau capai dalam perjalananmu menyeberangi padang pasir?”
Ibrahim al-Khawwas menjawab : “Aku tetap berada dalam keadaan
tawakkal kepada Allah dan menyembuhkan diriku dengannya.” Al-Husain
lalu bertanya kepadanya : “Engkau telah menghabiskan usiamu demi
menumbuh suburkan jiwamu. Tapi bagaimana pendapatmu tentang
pemusnahan jiwa demi keesaan Allah.?”
Abu Nashr as-Sarraj mengatakan : “Tawakkal adaalh sebagaimana
dikatakan oleh Abu Bakr ad-Daqqaq : “Membatasi kepedulain mencari
rezeki sehari saja, dan tidak berharap suatu apa pun untuk esok hari.”
Ia menegaskan : “Tawakkal juga seperti yang dikatakan oleh Sahlbin
Abdullah : “Menyerahkan diri kepada Allah swt. dalam apa pun yang
dikehendaki-Nya.”
Abu Ya’kub an-Nahrajury berkata : “Tawakkal kepada Allah, pada
hakikatnya adalah keadaan yang dicerminkan oleh Ibrahim as. Ketika
menaggapi tawaran Jibril as. Untuk menolongnya, Maka Ibrahim As.
Menjawab : “Darimu, aku tiak perlu bantuanmu.” Ibrahim telah lebur
dalam Allah swt. dan bersama-ya, dan karenanya tidak melihat bersama
Allah selain Allah swt.
Seorang laki-laki bertanya kepada Dzun Nuun am-Mishry : “Apakah
tawakkal itu?” dan ia menjawab : “Tawakkal adalah menyingkirkan semua
yang dipertuan (selain Alalh swt.) dan meninggalkan hukum sebab akibat.”
Orang itu meminta : “Apa lagi?” Dzun Nuun melanjutkan : “Tawakkal aalah
menghambakan diri kepada Allah dan mengeluarkan diri dari rububiyah.”
Ketika Hmadun al-Qashshar ditanya tentag tawakkal, ia menjelaskan :
“Tawakkal adalah jika engkau punya sepuluhribu dirham dan engkau
berhutang seperenam dirham, engkau tetap merasa cemas kalau-kalau
engkau mati sementara hutangmu itu belum terbayar. Dan jika engkau
punya hutang sepuluh ribu dirham dan tidak mampu mewariskan harta
yang cukup untuk melunasi hutangmu, engkau tidak putus asa bahwa
Allah swt. niscaya akan menyelesaikan hutangnmu itu.”
Ketika ditanay tentang tawakkal, Abu Abdullah al-Qurasyi berkomentar :
“Tawakkal berarti bergantung kepada Allah swt. dalam setiap keadaan.” Si
penanya minta penjelasan lebih jauh, dan beliau mengatakan : “Tinggalkan
ketergantungan kepada setiap sebab yang membawa kepada sebab yang
lain, hingga Allah sendiri yang menguasai semua itu.”
Sahl bin Abdullah mengatakan : “Tawakkal adalah keadaan ruhani (haal)
Nabi saw. dan Ikhtiar adalah Sunnahnya. Maka, barangsiapa yang tetap
keadaannya, berarti janganlah meninggalkan Sunnahnya.”
Abu Sa’id bin Isa al-Kharraz berkata : “Tawakkal adalah kecemasan tanpa
perasaan puas dan kepuasan tanpa kecemasan.”
Dikatakan : “Tawakkal adalah menganggap kemewahan dan kekurangan
tidak ada bedanya bagi diri sendiri.”
Ibnu Masruq menegaskan : “Tawakkal adalah menyerahkan diri kepada
alur qadha’entuan Allah.”
Abu Utsman al-Hiry menegaskan : “Tawakkal adalah sikap cukup bersama
Allah swt. dengan menggantungkan diri kepada-Nya.”
Al Husain bin Manshur mengatakan : “Orang yang benar-benar tawakkal
kepada Allh swt. tidak akan memakan sesuatu, karena di negara itu ada
orang yang lebih berhak akan makanan itu daripada dirinya.”
Umar bin Sinan menuturkan : “Ibrahaim al-Khawwas berjalan melewati
kami, dan kami berkata kepadanya : “Katakan kepada kami hal paling aenh
yang Anda lihat dalam perjalanan-perjalanan Anda!” Ia menjawab : “Al-
Khidhr as. Menemuiku dan minta diperbolehkan menyertaiku, tapi aku
takut jika tawakkalku kepada Allah swt. menjadi rusak dengan
keberadaannya bersamaku. Karena itu, aku lalu memisahkan diri darinya.”
Ketika Shal bin Abdullah ditanya tentang tawakkal, ia menjelaskan : “Kalbu
yang hidup bersama Allah swt.dan tidak tertarik kepada yang lain.”
Syeikh Abu Ali ad-daqqaq berkata : “Ada tiga tingkatan bagi orang yang
bertawakkal : (1) Tawakkal (2). Taslim dan (3), Tafwidh.” Orang yang
tawakkal akan merasa tenteram denan janji-Nya, orang yang taslim akan
merasa cukup dengan pengetahuan-Nya, dan orang yang Tafwidh kepada
Allah akan merasa puas dengan kebijaksanaan-Nya.”
Saya mendengar beliau berkata : “Tawakkal kepada Allah adalah awal;
Taslim adalah tengah-tengahnya, dan Tafwidh segenap urusan kepada
Allah adalah ujungnya.”
Ad-Daqqaq ditanya tentang tawakkal, dan ia berkomentar : “Tawakkal
adalah makan tanpa tamak.”
Yahya bin Muadz mengatakan : “Memakai pakaian dari wol adalah sebuah
toko; berbicara tentang zuhud adalah sebuah pekerjaan, dan menyertai
sebuah kaffilah adalah nafsu. Semua ini adalah ketergantungan-
ketergantungan.”
Seoang laki-laki datang kepada Asy-Syibly dan mengeluhkan tanggungan
keluarganya yang banyak. Asy-Syibly mengatakan : “Pulanglah ke
rumahmu dan usirlah siapa-siapa yang rezekinya bukan berkat Allah swt.”
Sahl bina Abdullah menegaskan : “Barangsiapa menghantam dalam
aktivitas geraknya, berarti menghantan Sunnah, dan abrangsiapa
menghantam dalam tawakkal berarti menghantam dalam iman.”
Ibrahim al-Khawwas mengisahkan : “Ketika aku sedang dalam perjalanan
menuju  ke Mekkah, tiba-tiba aku melihat seorang yang beringas. Aku
bertanya kepadanya : “Engkau seorang manusia ataukah jin?” Ia menjawab
: “Aku Jin.” Aku bertanya lagi : “Engkau hendak pergi ke mana?” Ia
menjawab tegas : “ke Mekkah, Aku kembali bertanya : “Tanpa bekal apa
pun?” Ia menjawab tegas : “Ya, Di kalangan kamijuga ada jin-jin yang
melakukan perjalanan dalam keadaan tawakkal kepada Allah.” Aku
bertanya kepadanya : “Dan apakah tawakkal itu?” Ia menjawab : “
Menerima dari Allah swt.”
Ibrahim al-Khawwa adalah seorang yang tiada taranya dalam hal tawakkal
kepaa Allah. Ia belaku sangat cermat dalam hal itu, Ia selalu membawa
jarum dan benang, sebuah timba kecil untuk berwudhu, dan sebuah
guntung. Seseorang bertanya kepadanya : “Wahai Abu Ishaq, mengapa
anda membawa barng-barang ini, sementara Anda mencegah diri dari
segala hal?” Ia menjawab : “Barang-barang ini tidak merusak tawakkal
kepada Allah set. Sebab Allah swt. telah menjadikan kewajiban-kewajiban
mengikat kita semua. Seorang fakir tak memiliki kecuali hanya sepotong
jubah, dan jubahnya bisa robek. Jika ia tidak membawa jarum dab benang
dan benang, niscaya auratnya akan terbuka, maka kesuciannya akan
ternoda. Jika engkau melihat seorang fakir yang tidak membawa timba,
jarum dan benang, maka patutu engkau ragukan kesempurnaan shalatnya.
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkata : “Tawakkal sifat orang beriman, taslim
sifata para wali, dan menyerahkan segenap urusan kepaa Allah (tafwidh)
adalah sifat ahli tauhid. Tawakkal adalah sifat kaum awam, taslim adalah
sifat manusia-manusia khawash, dan tafwidh adalah sifat khawashul
khawash.” Saya juga mendengar beliau berkata : “Tawakkal kepada Allah
adalah sifat para Nabi, taslim adalah sifat Nabi Ibrahim as. Dan tafwidh
adalah sifat Nabi kita Muhammad saw.”
Abu Ja’far al-Haddad menuturkan : “Selama kira-kira sepuluh tahun tetap
berada dalam keadaan pasrah kepada Allah, sementara aku juga bekerja di
pasar. Setiap hari aku menerima upah, dan tanpa menggunakan sedikit
pun darinya untuk membeli seteguk air atau pergi ke kamar mandi umum,
aku membawa upah hasil jerih payahku kepada para fakir di Syuniziyah,
dan kondisiku sendiri tetap seperti semula.”
Al-Husain, saudara Sinan, berkata : “Aku melakukan ibadat haji empatbelas
kali dengan kaki telanjang dan penuh tawakkal kepada Alalh. Jika kakiku
tercocok duri, kuingatkan diriku bahwa aku telah mewajibkan pada jiwaku
untuk bertawakkal kepada Allah. Kugosok-gosokan kakiku ke tanah dan
kuteruskan perjalananku.”
Abu Hamzah berkata : “Aku merasa malu kepada Allah swt. memasuki
padang pasir dalam ekadaan perut kenyang, padahal aku meyakini diriku
bertawakal, karena khawatir jangan-jangan perjalananku dengan rasa
kenyang itu sendiri merupakan bekal yang kusiapkan begi dirimu.”
Etika Hamdun al-Qashshar ditanya tentang tawwakl kepada Allah, ia
menjawab : “Tawakkal adalah derajat yang belum kucapai, dan bagaimana
seseorang yang belum menyempurnakan kondisi imannya berbicara
tentang tawwakal?”
Dikatakan : “Orang yang bertawakkal kepada Allah swt. seperti seorang
gbayi. IA tidak tahu tempat lain di mana harus berlindug, kecuali payudara
ibunya. Seperti itulah keadaan orang gyang bertawakkal kepada Allah swt.
Ia dibimbing hanya kepada Allah swt.”
Salah seorang Sufi menuturkan : “Aku sedang berada di padang pasir dan
berjalan di depan sebuah kafilah. Aku melihat seseorang di depanku, lalu
aku bergegas menyusulnya. Ternyata ia adalah seorang wanita yang
memegang tongkat dan berjalan cukup pelan. Karena kupikir ia seorang
yang lemah, maka aku merogoh saku dan mengeluarkan uang duapuluh
dirham, dan kukatakan kepadanya, “Ambillah ini. Tunggulah sam[ai kafilah
di belakang menyusulmu dan sewalah seekor unta dengan uang ini!.”
Tetapi wanita itu hanya mengangkat tangannya ke udara, dan tiba-tiba di
tangannya sudah tergenggam uang-uang dinar. Katanya : “Engkau
mengambil dirham dari kantung bjumu, tetapi aku mengambil dinar dari
Yang Gaib.”
Abu Sulaiman ad- Darany melihat seorang laki-laki di Mekkah – semoga
Allah memuliakan tempat ini --- yang tidak mengonsumsi apa pun selain
air Zam-zam. Setelah beberrapa hari, Sulaiman bertanya kepadanya.”
Bagaimana pendapat Anda, jika sumur Zam-zam kering, apa yang akan
Anda minum?” Orang itu berdiri, mencium kening Sulaiman, dan berkata :
“Semoga Allah membalas kebaikanmu karena engkau telah memberi
petunjuk kepadaku; sebab sungguh aku telah menyembah Zam-zam selama
beberpa hari ini.” Kemudian laki-laki itu un berlalu.”
Ibrahim al-Khawwas mengabarkan : “Aku melihat seorang pemuda di jalan
yang menuju ke Syam dengan perilaku menawan hati. Ia bertanya
kepadaku : “Apakah Anda ingin ditemani?” Aku menjawab : “ Tapi aku
orang yang lebih lapar.” Ia berkata : “Jika Anda lapar, saya juga akan
berlapar-lapar bersama Anda.” Maka kami pun berrjalan bersama-sama
selama empat hari. Kemudian sesuatu dihadiahkan orang kepada kami,
dan aku mengajaknya makan.” Mari kita makan!”
Ia berkata : “Saya telah bertekad untuk tidak menerima apa pun melalui
seorang perantara.” Maka aku lalu berkata : “Wahai anak muda, betapa
ketatnya engkau berlaku atas dirimu sendiri.” Ia menjawab : “Wahai
Ibrahim, janganlah Anda memujiku, sebab Dia yang membuat perhitungan
melihat kita.” Apa yang engkau ketahui tentang tawakkal?” Lalu ia
menjawab : “Permulaan tawakkal adalah bahwa jika Anda merasakan
sesuatu kebutuhan, Anda menolak, dan Anda tidak menginginkan sesuatu
pun selain Dia yang memiliki segala kecukupan.”
Dikatakan : “Tawakkal kepada Allah berarti menafikan keraguan dan
menyerahkan segala urusan kepada Sang Maha Diraja.”
Dikatakan juga : “Sekelompok orang datang kepada al-Junayd dan bertanya
: Ke manakah kita harus mencari rezeki?” Ia menjawab : “Jika kalian
semua tahu, pergi dan carilah di sana!” Mereka berkata : “Tetapi kami
memang meminta kepada Allah swt.” Al-Junayd mengajarkan : “Jika kalian
mengira bahwa Dia melupakan diri kalian, maka ingatkanlah Dia.” Mereka
bertanya : “haruskah kita pulang dan bertawakkal kepada Allah?” Al-
Junayd menjawab : “Menguji berarti meragukan.” Mereka bertanya :
“Lantas, apakah rekayasa itu?” Al-Junayd menjawab : “Yaitu meninggalkan
rekayasa itu sendiri.”
Abu Sulaiman ad-Darany berkata kepada Ahmad bin al-Hawary : “Wahai
Ahmad, sesungguhnya jalan menuju ke akhirat itu banyak, dan Syeikhmu
mengetahui banyak diantaranya, kecuali jalan tawakkal yang diberkati ini,
sebab aku belum pernah mencium baunya.”
Dikatakan : “Tawakkal adalah mengandalkan apa yang ada di tanagn Allah
swt. dan berputus-asa apa yang ada di tangan manusia.”
Dikatakan juga : “Tawakkal adalah mengosongkan batin dari pikiran untuk
menuntut terpenuhinya kebutuhan dalam upaya mencari rezeki.”
Al-Harits al-Muhasiby – semoga Allah merahmatinya – ditanya tentang
orang yang beratawakkal : “Apakah nafsu mempengaruhinya?”
Ia menjawab : “Kebinasaan yang disebabkan oleh watak yag
mempengaruhi, tetapi hal itu tidak membahayakan dirinya sama sekali,
dan berputus asa dari semua yang ada di tangan manusia memberinya
kekuatan untuk mengatasi tamak.”
Dikatakan bahwa an-Nury sedang berada di apdang pasir dalam keadaan
lapar ketika sebuah suara membisikan kepadanya : “Manakah yang lebih
engkau cintai, penyebab kecukupan ataukah kecukupan itu sendiri?” An-
Nury menjawab : “Kecukupan. Sebab tidak ada lagi selain itu.” Maka ia pun
selama tujuhbelas hari tidak makan.”
Abu Ali ar-Rudzbary berkata : “Jika setelah lima hari seorang fakir
mengatakan : “Aku lapar,” Maka kirimlah ia ke pasar untuk mencari
pekerjaan dan memperoleh sesuatu untuk dimakan.”
Dikatakan bahwa Abu Turab an-Nakhstaby sekali waktu melihat seorang
Sufi memungut kulit semangka untuk dimakan setelah tiga hari menahan
lapar. Maka an-Nakhsyaby lalu berkata kepadanya, : “Tidak cocok untukmu
perilaku Sufi. Pergi saja ke pasar (Untuk kerja)!.
Abu Ya’kub al-Aqtha’ al-Bashry menuturkan : “Suatu ketika aku kelaparan
selama sepuluh hari di Masjdil Haram, dan aku merasa lemah, Nafsu
menggodaku. Maka aku pergi ke lembah sungai untuk mencari sesuatu
yang menguatkan tubuhku. Aku melihat sebuah saljamat (sejenis sayuran)
dibuang seseorang, lalu aku memungutnya. Aku merasakan suatu
kegelisahan yang menakutkan dalam hati karena perbuatanku itu, seolah-
olah ada suara  yang mengatakan kepadaku : “Engkau telah lapar selama
sepuluh hari, dan sekarang bagianmu hanya sebuah saljamat yang busuk!”
Maka saljamat itu pun kubuang. Aku masuk ke Masjid, kemudian duduk.
Tiba-tiba ada seorang non Arab di hadapanku seraya meletakkan sebuah
bingkisan dan berkaa : “Ini untuk Anda!” Aku bertanya kepadanya :
“Bagaimana Anda telah memilih saya, untuk memberikan bingkisan ini?”
Ia berkata kepadaku : “Ketahuilah bahwa kami telah berada di laut selama
sepuluh hari. Dan ketika kapal yang kami tumpangi nyaris tenggelam,
masing-masing dari kami bernadzar bahwa jika Allah swt. menyelamatkan,
kami akan memberikan sesuatu sedekah. Saya sendiri bernadzar, bahwa
jika Allah swt. menyelamatkan saya, saya akan memberikan bingkisan ini
kepada orang pertama yang saya temui di antara mereka yang tinggal di
dekat Masjid ini, dan Andalah orang pertama yang saya temui.” Aku lalu
meminta orang itu agar membuka bingkisannya. Ia pun membukanya dan
kudapati  di dalamnya ada kue-kue samid Mesir, buah kenari berbalut
tepung, dan daging manis yag dipotong kotak-kotak kecil. Aku mengambil
sedikit dari masing-masing jenis makanan itu dan berkata : “Bawalah sisa
makanan ini kepada para pelayan Anda! Ini adalah hadiah saya untuk
Anda, karena saya telah menerima hadiah Anda.” Kemudian aku berkata
kepada diri sendiri : “Selama sepuluh hari, rezekimu sedang diperjalanan
menuju ke tempatmu, tapi engkau malah mencarinya ke lembah.”
Abu Bakr ar-Razy mengabarkan : “Aku sedang berada bersma Mumsyad ad-
Dinawary ketika mencuat pembicaraaan tentang hutang . Ia berkata :
“Suatu ketika aku punya hutang, dan pikiranku terganggu memikirkannya.
Kemudian aku bermimpi bertemu seseorang yang berkata kepadaku :
“Wahai orang yang kikir, engkau merampas hak kami sebesar jumlah itu.
Kewajibanmu adalah mengambil dan kamilah yang memberi.” Maka sejak
saat itu aku tidak pernah lagi berurusan dengan tukang sayur, tukang
daging, ataupun pedagang lainnya.”
Diceritakan tentang Bannan al-Hammal bahwa ia menuturkan : “Aku
sedang berada di tengah perjalanan menuju ke Mekkah --- semoga Allah
menjaganya – datang dari Mesir, dengan membawa bekal. Tiba-tiba
seorang wanita mendatangiku dan berkata : “Wahai Bannan, engkau
seorang kuli, engkau memikul perbeklan di atas punggungmu, dengan
membayangkan bahwa Dia tidak akan memberikan rezeki kepadamu!.”
Mendengar itu, aku lalu meletakkan bawaanku. Tapi kemudian tiga kali
melintas dalam pikiranku bahwa aku belum makan. Aku menemukan
sebuah gelang kaki di tengah jalan dan aku berkata dalam hatiku : “Barang
ini akan terus ku pegang sampai pemiliknya datang. Mungkin ia akan
memberiku sesuatu manakala aku mengembalikannya.” Kemudain
muncullah wanita tadi, yang kemudian berkata kepadaku : “Nah, sekarang
engkau adalah seorang pedagang! Engkau mengatakan, mungkin
pemiliknya akan datang dan aku akan mempeoleh sesuatu darinya!” Lalu
dilemparkannya uang bebeerapa dirham kepadaku, sambil berkata :
“Belanjakanlah uang ini!” Ternyata uang itu mencukupi kebutuhanku
hingga aku sampai ke Mekkah.”
Dalam suatu riwayat tentang Bannan disebutkan, bahwa ia memerlukan
seorang budak wanita untuk melayaninya. Maka ia lalu mengungkapkan
keperluannya itu kepada saudara-saudaranya. Mereka pun mengumpulkan
uang untuk membeli seorang budak, dan memberitahu kepadanya : “Inilah
uang untuk membeli budak itu! Sekelompok budak sedang dibawa orang
kemari. Pilihlah mana yang engkau sukai!” Ketika rombongan budak itu
tiba, semua mata tertuju kepada salah seorang budak, dan mereka berkata
: “Itulah budak yang cocok untuknya.” Mereka bertanya kepada pemiliknya
: “Berapa harga budak ini?” Ia menjawab “Ia tidak dijual.” Mereka meminta
dengan sangat agar budak itu dijual kepada mereka, tapi pemiliknya
mengatakan : “Ia telah didperuntukkan bagi Bannan al-Hammal!. Seorang
wanita dari Samarkand mengirimkan kepadanya sebagai hadiah.” Dan
kemudian budak itu pun dibawa kepada Bannan, dan si budak tersebut
lalu menuturkan perihal dirinya kepada Bannan.
Al-Hasan al-Khayyath meriwayatkan : “Aku sedang berada bersama Bisyir
al-Hafi ketika serombongan musyafir datang dan memberi salam
kepadanya. Ia bertanya kepada mereka : “Dari mana Anda sekalian?”
Mereka menjawab : “Kami dari Syam. Kami datang untuk memberi salam
kepada Anda dan sekaligus untuk menunaikan ibadah haji.” Bisyr berkata :
“Semoga Allah swt. menerima syukur Anda sekalian.” Mereka bertanya :
“Maukah Anda pergi bersama kami? Bisyr menjawab : “Dengan tiga syarat :
Kita tidak usah membawa (bekal) apa pun; kita tidak akan meminta apa
pun kepada sipa pun; dan jika ada orang memberikan sesuatu kepada kita,
kita tidak akan menerimanya.” Mereka menjawab : “Mengenai persyaratan
pertama, kami setuju. Persyaratan kedua juga kami setuju. Tapi mengenai
persyaratan ketiga, kami tidak setuju.” Maka Bisyr lalu berkata : “Anda
semua telah datang dengan bertawakkal pada perbekalan untuk berhaji.”
Kemudian ia menjelaskan : “Wahai Hasan,a da tiga macam fakir. Ada fakir
yang tidak meminta-minta, tapi jika diberi ia tidak mau menerimanya,
dialah tergolong fakir ruhani. Lalu, ada fakir yang tidak meminta-minta
dan jika diberi sesuatu mau menerimanya, sebagai tawadhu.” Baginya di
hadirat Yang Maha Suci. Dan si fakir yang meminta-minta, jika diberi
menerimanya sebatas kebutuhan. Tebusannya adalah dengan
memeberikan sedekah.”
Habib al-‘Ajamy ditanya : “Mengapa Anda berhenti berdagang?” Ia
menjawab : “Aku telah mendapati bahwa jaminan Allah swt. itulah yang
patut diandalkan.”
Diceritakan bahwa pada masa dahulu ada seorang laki-laki yang sedang
melakukan perjalanan membawa sepotong roti. Ia berkata : “Jika aku
memakan roti ini, aku akan mati.” Maka Allah lalu menyerahkannya
kepada seorang malaikat, dengan perintah : “Jika ia memakan roti itu
berilah ia rezeki. Jika ia tidak memakannya, maka janganlah engkau beri
apa pun.” Sepotong roti itu tetap dipegangnya sampai ia meninggal (karena
kelaparan), tanpa pernah dimakannya. Dan ketika ia meninggal, roti itu
masih ada bersamanya.
Dikatakan : “Orang yang berjalan di medan tafwidh, maka tujuannya akan
datang kepadanya sebagaimana pengantin wanita diiringkan kepada
keluarga pengantin laki-laki. Perbedaan antara menyia-nyiakan anugerah
Allah (tadhyi”) dengan menyerahkan sepenuhnya kepada Allah (tafwidh)
aalah bahwa tadhyi’ berkaitan terhadap hak-hak Allah swt. dan merupakan
tindakan tercela, sedangkan tafwidh berkaitan dalam hak-hak Anda, dan
merupakan tindakan yang terpuji.”
Abdullah ibnul Mubarak mengatakan : “Barangsiapa menerima uang satu
sen dari sumber yang tidak halal, beraarti ia tidak bertawakkal kepada
Allah.”
Abu Sa’id al-Kharraz menuturkan : “Suatu ketika aku berjalan menelusuri
padang pasir tanpa membawa bekal dan tiba-tiba aku memerlukan
kebutuhan yang sangat. Jauh di sana, kulihat sebuah tempat perhentian,
aku senang karena aku telah sampai. Maka aku berpikir : “Aku telah
menjadi tenang, dan bertawakkal kepada sesuatu selain Dia.” Karenanya
aku pun lalu bersumpah, bahwa aku tidak akan masuk ke suha tempat
kecuali jika aku dibawa ke dalamnya. Aku menggali lubang dan mengubur
badanku hingga sebatas dada. Tengah malam, terdengar suara bergema
yang mengatakan : “Wahai penduduk desa, salah seorang wali Alalh telah
menguburkan dirinya di pasir. Cari dan temukanlah ia!” Lalu jamaah
datang kepadaku, mengeluarkanku dan membawaku ke Desa.”
Abu Hamzah al-Khurasany mengabarkan : “Suatu ketika aku pergi
menunaikan ibadat haji. Di tengah perjalanan aku jatuh tercebur ke dalam
sebuah sumur. Jiwaku mendesak agar aku segera minta tolong, tapi aku
berkata : “Tidak, demi Allah, aku tidak akan minta tolong!.”Begitu aku
berpikir demikian. Lewatlah dua orang laki-laki. Salah seorang diantaranya
berkata : “Mari kita tutup lobang sumur ini agar tidak ada orang orang
yang masuk jatuh ke dalamnya.” Mereka membawakan jerami dan
anyaman, dan menutupi bibir sumur itu dengan tanah. Aku ingin
berteriak, namun aku berkata kepada diri sendiri : “Aku hanya akan
berteriak kepada Dia yang lebih dekat daripada kedua orang ini.” Maka aku
pun tetap diam. Setelah satu jam, tiba-tiba datanglah sessuatu yang
membuka tutup lubang itu dan menjulurkan kakinya. Saat itulah kudengar
suara raungan pelan yang seolah-olah mmerintahkan aku : “Berpeganglah
kepadaku!” Aku tahu apa yang dimaksudkan. Maka aku pun berpegang paa
kakinya dan makhluk itu lalu menarikku ke luar dari lubang sumur.
Ternyata ia seekor singa! Dan binatang itu lalu mneruskan perjalanannya.
Sebuah suara gaib berseru kepadaku : “Wahai Abu Hamzah, tidakkah ini
lebih baik? Satu kebinasaan menyelamatkanmu dari kebinasaan yang
lain.” Aku pun terus berjalan, sambil bersyair :
Aku berteriak keras-keras kepada-Mu agar aku tampak.
Kepada-Mu apa yag kusembunyikan.
Rahasiaku mengatakan apa yang dikatakan mataku kepadanya.
Maluku terhadap-Mu mencegahku menyembunyikan nafsu,
Dan Kau buat aku paham, dari-Mu tersingkapnya tabir
Membuat kelembutan-Mu dalam persoalanku
Lalu Engkau tampakkan kesaksianku pada gaibku
Sedang kelembutan bertemu kelembutan
Engkau hadirkan Diri-Mu secara gaib kepadaku,
Seakan-akan Engkau beri daku kabar gembira,
Bahwa Kau dalam genggaman.
Kini kulihat Engkau, dan bagiku
Dari gentarku kepada-Mu.
Lalu Kau anugerahi sukacita kelemah-lembutan dari-Mu
Dan kasih-sayang-Mu.
Dan Kau hidupkan kembali seorang pecinta yang cintanya
Pada-Mu berarti kematian baginya
Duhai mengagumkan; hidup ada pada kematian.”
Hudzaifah al-Mar’asyi, yang telah emlayani dan menemani Ibrahim bin
Adam dan para muridnya, ditanya : “Apakah kejadian paling aneh yang
Anda saksikan bersamanya?” Ia menjawab : “Kami pernah menempuh
perjalanan menuju Mekkah selama beberapa hari tanpa menemukan
makanan. Kami datang ke kufah dan mencari tempat berteduh di sebuah
reruntuhan masjid. Ibrahim melihat kepadaku dan berkata : “Wahai
Huzaifah, kulihat tanda-tanda lapar pada dirimu.” Aku menjawab : “Seperti
yang tuan guru lihat.” Ia lalu berkata kepadaku : “Bawalah kepadaku tinta
dan selembar kertas!.”
Kubawakan apa yang yang dimintanya itu, dan ia menulis : “Dengan Nama
Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang. Engkau adalah Dia yang
diinginkan dalam setiap keadaan.” Maksud keseluruhannya adalah :
Aku pemudi, aku bersyukur, aku pengingat..
Aku lapar, aku haus, aku telanjang.
Inilah enam sifat, dan aku akan menjamin yang setengahnya.
Maka Engkau-lah penjamin yang setengahnya wahai Pencipta.
Pujiku, selain Diri-Mu bagaikan api,
Janganlah hamba-Mu yang kecil ini memasuki neraka
Lalu ia memberikan kertas bertulis itu kepadaku dan memerintahkan :
“Pergilah keluar dan jangan engkau lekatkan hatimu pada sesuatu pun
selain Allah swt. Berikan kertas ini kepada orang pertama yang engkau
jumpai!” Aku pun pergi ke luar, dan orang pertama yang kulihat adalah
seorang laki-laki yang sedang mengendarai seekor keledai. Kuberikan
kertas itu kepadanya. Orang itu mengambilnya dan menangis. Ia bertanya :
“Di mana orang yang telah menuliskan kata-kata pada kertas ini?”
Kukatakan kepadanya, : “Ia berada di Masjid Anu.” Ia memberikan
kepadaku sebuah kantong berisi uang enamratus dinar. Kemudian aku
bertemu dengan seseorang lainnya dan aku bertanya kepadanya siapa
orang yang mengendari keledai itu. Ian memberitahuku bahwa orang
tersebut adalah seorang Nasrani. Aku kembali kepada Ibahim dan
kuceritakan semuanya kepadanya. Ia berkata : “Jangan kau sentuh uang
itu, sebab ia sedang menuju ke mari!.” Sejam kemudian orang Nasrani itu
pun muncul, mencium kepala Ibrahim dan menyatakan keislamannya.”

18.
syukur
Edit : Pujo Prayitno
Allah berfirman :
‘Jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat pemberian-
Ku) kepadamu.” (Qs. Ibrahim : 7).
Diriwayatkan oleh Yahya bin Ya’la dan Abu Khabab, dari Atha’ yang
berkata : “Aku bersama Ubaid bin Umair mengunjungi Aisyah r.a. dan
berkata akepadanya : “Ceritakanlah kepada kami sesuatu yang paling
mengagumkan yang Anda lihat pada Rasulullah saw.” Beliau menangis dan
bertanya : “Adakah yang beliau lakukan, yag tidak mengagumkan?” Suatu
malam, beliau datag kepadaku, dan kami tidur di tempat tidur hingga
tubuh beliau bersentuhan dengan tubuhku. Setelah beberapa saat, beliau
berkata : “Wahai putri Abu Bakr, izinkanlah aku bangun untuk beribadat
kepada Tuhanku!”  Aku menjawab : “Saya senang berdekatan dengan
Anda.” Tapi aku mengijinkannya. Kemudan beliau bangun, pergi ke tempat
kantong air dan berwudhu dengan mecucurkan banyak air, lalu shalat.
Beliau mulai menangis hingga air matanya membasahi dadanya, kemudian
beliau ruku’ dan terus menangis, lalu sujud dan terus menangis, lalu
mengangkat kepala dan terus menangis. Terus menerus beliau dalam
keadaan demikian sampai Bilal datang dan memanggil beliau untuk shalat
subuh. Aku bertanya kepada beliau : “Apakah yang menyebabkan Anda
menangis wahai Rasulullah, sedangkan Allah telah mengampuni dosa-dosa
Anda, baik yang dahulu maupun yang akan datang?” Beliau menjawab :
“Tidakkah akumenjadi seorang hamba yang bersyukur? Bagaimana aku
tidak akan menangis sedangkan Allah telah menurunkan ayat ini kepadaku
:
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya siang
dan malam, bahtera yang  berlayar di laut membawa apa yang berguna
bagi manusia, dan apa yang diturunkan dari langit berupa air, lalu dengan
air itu Dia hidupkan bumi sesudah matinya dan Dia sebarkan di bumi itu
segala jenis hewan dan pengisaran angin dan awan yang dikenadlikan
antara langit dan bumi, sungguh terdapat tanda-tanda bagi kaum yang mau
menggunakan akal.! (Qs. Al-Baqarah :164).
Dengan ayat ii, Allah swt. memiliki sifat syukur. Artinya, memberi pahala
hamba yang bersyukur, sebagai balasannya adalah diterimanya syukur itu
sendiri. Sebagaimana difimankan-Nya : “Balasan bagi tindak kejahatan
adalah kejahatan yang serrupa.” (Qs. Asy.Syura : 40).
Dikatakan bahwa bersyukurnya Allah adalah pemberian balasan yang
melimpah bagi amal yang sedikit, seperti kata pepatah : “Seekor binatang,
dikatakan bersyukur, jika ia mencari makanan melebihi jerami yang
diberikan kepadanya.” Kita mungkin dapat mengatakan bahwa hakikat
bersyukur adalah memuji Sang Pemberi kebaikan dengan mengingat-ingat
anugerah yang telah diberikan-Nya. Jadi bersyukurnya seorang hamba
kepada Allah swt. adalah pujian kepada-Nya dengan mengingat-ingat
anugerah-Nya kepadanya. Sebaliknya bersyukurnya Allah swt. kepada
hamba-Nya adalah dengan mengingat kebaikan hamba kepada-Nya.
Kebaikan si hamba adalah kepatuhan kepada Allah swt. sedangkan
kebaikan Allah adalah memberikan rakhmat-Nya kepada si hamba dengan
menjadikan ia mampu menyatakan syukur kepada-Nya. Syukur seorang
hamba, pada hakikatnya mencakup syukur secara lisan maupun penegasan
dalam  hati atas anugerah dan rahmat Allah swt.
Syukur dibagi menjadi : Syukur dengan lisan, yang berupa pengakuan atas
anugerah dalam derajat kepasrahan, dan syukur denga tubuh, yang berarti
mengambil sikap setia dan mengabdi; syukur dengan hati, adalah tenteram
dalam latar musyahadah dengan erus menerus melaksanakan pemuliaan.
Dikatakan bahwa kaum cendekiawan bersyukur dengan lidah mereka,
kaum pencinta bersyukur dengan perbuatan mereka, dan kaum ‘arifin
beryukur dengan istiqamah mereka terhadap-Nya di dalam semua perilaku
mereka.
Abu Bakr al-Warraq berkata : Syukur atas nikmat adalah memberikan
musyahadah terhadap anugerah tersebut dan menjaga penghormatan.”
Hamdun al-Qashshar menegaskan : “Bersyukur atas anugerah adalah
bahwa engkau memandang dirimu sebagai parasit dalam syukur.”
Al-Junayd berkomentar : “Ada cacat dalam bersyukur, karena manusia
yang bersyukur melihat peningkatan bagi dirinya sendiri; jadi ia sadar  di
sisi Allah swt. lebih dari bagian dirinya sendiri.”
Abu Utsan berkata : “Syukur berarti mengenal kelemahan dari syukurnya
itu sendiri.”
Dikatakan : “Bersyukur atas kemampuan untuk bersyukur adalah lebih
lengkap daripada bersyukur saja. Dengan cara memandang bahwa rasa
bersyukur Anda datang karena Dia telah memberikan taufik-Nya, dna
Taufiq-Nya itu termasuk nikmat yang diperuntukkan bagi diri Anda. Jadi
Anda bersyukur atas kesyukuran Anda, dan kemudian Anda bersyukur
terhadap kesyukuran atas kesyukuran Anda, sampai tak terhingga.
Dikatakan : “Bersyukur adalah menisbatkan anugerah kepada pemiliknya
yang sejati dengan sikap kepasrahan.”
Al-Junayd mengatakan : Bersyukur adalah bahwa engkau tidak
memandang dirimu layak menerima nikmat.”
Ruwayn menegaskan : “Bersyukur adalah engkau menghabiskan seluruh
kemampuanmu.”
Dikatakan : “Orang yag bersyukur adalah orang yang bersyukur atas apa
yang ada, dan orang yang sangat bersyukur adalah yang bersyukur atas
apa yang tidak ada.”
Dikatakan : “Orang yang bersyukur berterima kasih atas pemberian tapi
orang yang sangat bersyukur (Syakur) berterima kasih karena tidak
diberi>” Dikatakan juga : “Orang yang bersyukur berterima kasih atas
pemberian, dan orang yang sangat bersyukur berterima kasih atas
lemelaratan.” Dikatakan : “Orang yang bersyukur berterimakasih
manakala anugerah diberikan, dan orang yang sangat bersyukur berterima
kasih manakala anugerah ditunda.”
Al-Junayd menjelaskan: “Suatu waktu, ketika aku masih berumur tujuh
tahun, aku sedang bermain-main di hadapan as-Sary, dan sekelompok
orang yang sedang berkumpul di hadapannya, berbincang tentang syukur.
Ia bertanya kepadaku : “Wahai anakku, apakah ebrsyukur itu?” Aku
menjawab : “Syukur adalah jika orang tak menggunakan nikmat Allah
untuk bermaksiat kepada-Nya.” Ia mengatakan : “Derajatmu di sisi Allah
akan segera engkau peroleh melalui lidahmu, nak!.” Al Junayd mengatakan
: “Aku senantiasa menangis mengingat kata-kata as-Sary itu.”
Asy-Syibli menjelaskan : “Syukur adalah kesadaran akan Sang Pemberi
Nikmat, bukan memandang nikmat itu sendiri.”
Abu Utsman berkata : “Kaum awam bersyukur karena diberi makanan
atau pakaian, sedangkan kaum khawash bersyukur atas makna-makna
yang datang di hati mereka .”
Dikatakan bahwa Daud as. Bertanya : “Ilahi, bagaimana aku dapat
bersyukur kepada-Mu, sedangkan kesyukuran itu sendiri adalah nikmat
dari-Mu.” Allah mewahyukan kepadanya : “Sekarang, engkau benar-benar
telah bersyukur kepada-Ku.”
Dikatakan bahwa Musa as. Mengatakan dalam doa munajatnya, : “Ya Allah,
Engkau telah menciptakan Adam dengan Tangan-Mu, dan Engkau telah
begini dan begitu. Bagaimana ia bersyukur kepada-Mu?” Allah menjawab :
“Ia mengetahui bahwa semua itu berasal dari-Ku, dan dengan begitu
pengetahuannya tentang semua itu adalah syukurnya kepada-Ku.”
Diriwayatkan bahwa salah seorang Sufi mempunyai sahabat yang ditahan
oleh Sultan. Sufi itu diminta supaya datang, dan sahabtnya itu mengatakan
kepadanya; “Bersyukurlah kepada Allah swt!” Lalu sahabatnya itu didera,
dan ia menulis surat kepada si Sufi, “Bersyukurlah kepada Allah swt!”
Kemudian seorang Majusi yang sedang sakit perut didatangkan dan
dibelenggu, salah satu borgol ranatainya dikenakan pada kaki sahabt, dan
borgol lainnya dikenakan pada kaki Majusi. Pada malam hari, si Majusi
sering bangun, yang berarti sahabt itu terpaksa ikut bangun sampai si
Majusi selesai melepaskan hajatnya. Ia lalu menulis surat kepada
sahabtnya. “Bersyukurlah kepada Allah swt!” Sahabatnya ( si Sufi)
bertanya, “Berapa lama engkau akan mengatakan kalimat ini “ Cobaan apa
yang lebih berat dari ini?” Sahabatnya menjawab : “Jika sabuk yang
dikenakan orang kafir pada pinggangnya dikenakan pada pinggangmu,
sebagaimana belenggu kakinya juga dikenakan pada kakimu, maka apa
yang akan engkau perbuat?”
Dikatakan : “Syukurnya kedua belah mata adalah bahwa engkau
menyembunyikan cacat yang engkau lihat pada sahabatmu, dan syukurnya
kedua telinga adalah engkau menyembunyikan cacat yang engkau dengar
tentang dirinya.”
Dikatakan juga : “Manakala as-Sary berkehendak untuk mengajarku,
biasanya ia mengajukan sebuah pertanyaan kepadaku. Suatu hari ia
bertanya kepadaku : “Wahai Al Junayd, apakah syukur itu?” Aku menjawab
: “Syukur adalah jika tidak satu bagian pun dari nikmat Allah swt.
digunakan untuk bermaksiat kepada-Nya.” Ia bertanya lagi : “Bagaimana
engkau sampai pada (pengetahuan ini?” Aku menjawab : “Bersama majelis-
majelis Anda.”
Diceritakan bahwa  al-Hasan bin Ali pernah bergayut pada sebuah tiang
dan bermunajat : “Tuhanku, Engkau telah memberi nikmat aku, namun
tidak Engkau dapati aku bersyukur. Engkau telah mengujiku, namun tidak
Engkau dapati aku bersabar. Namun Engkau tidak mencerabut nikmat
karena aku tidak bersyukur, dan tidak melanggengkan bencana ketika
kutinggalkan kesabaran. Tuhanku, tidak ada yang datang dari Yang Maha
Pemurah, kecuali kemurahan.”
Dikatakan : “Jika tanganmu tidak bisa engkau gunakan, maka engkau mesti
lebih banyak mengucap “SYUKUR” dengan lisanmu.”
Dikatakan pula : “Ada empat amal yang tidak berbuah : Mempercayakan
rahasia kepada orang yang bisu; memberi nikmat kepada orang yang tidak
mau bersyukur; menebar benih di tanah yang tandus; dan menyalakan
lampu di bawah cahaya matahari...
Juga dikatakan bahwa ketika Idris as. Memperoleh kabar gembira
pengampunan, beliau memohon diberi panjang umur. Ketika ditanya
tentang permohonannya itu, beliau menjawab : “Agar aku dapat bersyukur
kepada-Nya, karena sebelum ini aku telah berjuang hanya untuk
memperoleh ampunan.”  Kemudian salah satu malaikat mengembangkan
sayapnya dan membawanyan ke langit.
Diceritakan bahwa salah seorang Nabi – Semoga Allah swt. melimpahkan
salam kepadanya – berjalan melewati sebuah batu kecil yang
memancarkan air, yang membuatnya kagum. Kemudian Allah menjadikan
batu itu berbicara kepadanya, katanya : “Ketika aku mendengar Allah swt.
berfirman : “Takutlah neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan
batu.” (Qs. At-Tahrim : 6). Aku pun menangis karena karena takut.” Nabi itu
kemudian mendoakan, agar Allah swt. melindungi batu iru dari api neraka,
dan Allah lalu mewahyukan kepadanya : “Aku telah menyelamatkannya
dari neraka.” Manak Nabi itu  lalu meneruskan perjalanannya. Ketika
kembali melwetati batu itu, ia melihat air menyembur darinya seperti
sebelumnya, yang membuatnya heran. Allah swt. menjadikan batu itu bisa
berbicara, dan Nabi itu lalu bertanya : “Mengapa engkau masih mengis
sedangkan Allah telah mengampunimu?” Batu itu menjawab, :
“Sebelumnya adalah tangis takut dan sedih, sekarang adalah tangis syukur
dan gembira.”
Dikatakan : “Orang yang bersyukur selalu meningkat karena ia berada di
hadapan nikmat.” Allah swt. berfirman : “Jika kamu bersyukur, niscaya
Aku akan menambah (nikmat-Ku) kepadamu.” (Qs. Ibrahim : 7). Orang yang
sabar berada bersama Allah, karena ia berada di hadirat kesaksian kepada-
Nya yang memberikan cobaan. Allah swt. berfirman : “Sesungguhnya Allah
beserta orang-orang yang sabar (Qs. Al-Nafal :46).
Diceritakan bahwa suatu delegasi datang kepada Umar bin Abdul Aziz r.a.
Di antara mereka ada seorang pemuda, yang memulai membuka
pembicaraan!” Umar berkata kepadanya : “Coba yang tua-tua dulu
berbicara!” Mendengar itu si pemuda berkata : “Wahai Amirul Mukminin,
jika urusan diserahkan kepada orang berdasarkan usianya, maka banyak
dikalangan kaum Muslimin yang lebih layak menjadi khalifah dibanding
Anda.” Maka Umar berkta : “Bicaralah!” Pemuda itu menjelaskan : “Kami
bukanlah delegasi yang menyampaikan keinginan, bukan pula delegasi
yang menyampaikan rasa takut. Mengenai keinginan, maka kemurahan
Anda telah memenuhi kebutuhan kami dari ketakutan.” Maka Umar pun
bertanya kepadanya : “Lantas, siapa kalian ini?” Ia menjawab : “Kami
adalah delegasi yang menyampaikan syukur. Kami datang untuk
menyampaikan terima kasih kepada Anda, dan sekarang kami akan
pulang.” Dan mereka lalu bersenandung.” :
Alangkah malangnya bahwa syukurku adalah diam
Atas apa yang telah kau lakukan,
Sedangkan kebaikanmu berbicara
Aku melihat anugerah darimu
Dan aku menyembunyikan
Karenanya, di tangan yang pemurah
Jadi pencuri.
Diceritkan bahwa Allah swt. menyampaikan wahyu kepada Musa as. : “Aku
melimpahkan rakhmat kepada hamba-hamba-Ku : Mereka yang mendapat
cobaan maupun mereka yang terampuni.” Musa bertanya : “Mengapa pula
terhadap mereka yang terampuni>\?” Allah Swti. Menjawab : “Dikarenakan
kecilnya syukur mereka atas dihindarkannya mereka dari penderitaan itu
.”
Dikatakan : “Pujian itu bagi anfsu, dan syukur atas nikamat-nikmat anggota
badan.”
Dikatakan pula : “Pujian sebagai permulaan dari-Nya, dan syukur sebagai
tebusan darimu.”
Dalam hadits shahih disebutkan : “Yang pertama di panggil ke surga adalah
mereka yang selalu memuji kepada Allah swt. dalam segala hal,:
Dikatakan : “Pujian hanya bagi Allah terhadap apa  yang diberikan-Nya,
dan syukur atas yang diperbuat oleh-Nya.

19.
YAKIN
Edit : Pujo Prayitno
Allah swt. berfirman :
“.... Dan mereka yang beriman kepada Kitab (Al-Qur’an) yang telah
diturunkan kepadamu dan kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu,
serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat.” (Qs. Al-Baqarah :4).
Diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas’ud, bahwa Rasulullah swt. telah
bersabda :
Janganlah engkau berusaha menyenangkan hati siapa pun dengan cara
membuat murka Allah, dan janganlah memuji siapa pun atas keutamaan
Allah yang diberikan, janganlah mencari kepada siapa pun atas anugerah
yang tidak diberikan Allah swt. kepadamu, sebab rezeki Allah tidaklah
dibawakan kepadamu oleh kerakusan orang yang rakus, tidak pula bisa
ditolak darimu oleh kebencian orang yang membencimu. Dengan keadilan-
Nya, Allah swt, telah menempatkan ketenangan dan kesenangan hati itu
dalam rasa ridha dan yakin, dan menempatkan penderitaan serta
kesedihan itu dalam keraguan dan marah.”(Hr. Thabrani, Ibnu Hibban dan
Baihaqi).
Abu Abdullah al-Anthaky berkata : “Keyakinan minimal adalah bahwa
manakala ia memasuki hati, maka ia memenuhinya dengan cahaya dan
mengusir setiap keraguan dari dalamnya; dan dengan yakin, hati menjadi
penuh rasa syukur dan takut kepada Allah swt.”
Ja’far al-Haddad menuturkan : “Abu Turab an-Nakhsyaby melihatku ketika
aku berada di pdang pasir, duduk didekat sebuah mata air. Aku sudah
enambelas hari lamanya tidak makaengapa engkau duduk di sini?” Aku
menjawab : “Aku terombang-ambing di antara ilmu dan yakin, menunggu
mana yang akan menang agar aku dapat bertindak sesuai dengannya. Jika
ilmu menguasai diriku, aku akan minum; jika keyakinan yang akan
menang, aku akan terus berjalan.” Ia berkata kepadaku : “Engkau akan
mendapatkan suatu derajat.”
Abu Utsman al-Hiry menjelaskan : “Keyakinan adalah tidak adanya
kepedulian terhadap hari esok.”
Sahl bin Abdullah menjelaskan : “Keyakinan datang dari tambahan iman
dan realisasinya.” Dikatakannya pula : “Keyakinan adalah cabang iman dan
yakin itu berada di bawah penegasan kebenaran iman (tashdiq).
Salah seorang Sufi mengatakan : “Keyakinan adalah pengetahuan yang
dipercayakan pada hati.” Ia mengisyaratkan perkataan ini, bahwa
keyakinan bukanlah sesuatu yang diperoleh dengan usaha (muktasab).
Sahl menjelaskan : “Permulaan keyakinan adalah mukasyafah.” Karena itu
salah seorang kaum salaf mengatakan : “Jika tabir terungkap, maka hal itu
tidaklah akan menambah keyakinanku.” Kemudian beralih ke pembuktian
dan penyaksian (musyahadah).
Abu Abdullah bin Khafif menegaskan : “Keyakinan adalah pemastian oleh
rahasia hati melalui hukum-hukum kegaiban.”
Abu Bakr bin Thahir mengatakann : “Ilmu datang melalui penentangan
terhadap keraguan, tetapi dalam keyakinan tidak ada keraguan sama
sekali.” Dengan demikian ia mempertentangkan ilmu yang diperoleh
melalui usaha, dengan apa yang diperoleh melalui ilham. Jadi pengetahuan
seorang Sufi pada awalnya bersifat usaha, dan pada akhirnya bersifat
langsung.
Saya mendengar Muhammad Ibnul Husain menceritakan, bahwa salah
seorang Sufi mengatakan : “Maqam pertama aalah ma’rifat, kemudian
keyakinan, lalu pembenaran, disusul ikhlas, dan kemudian penyaksian
(musyahadah) danya Tuhan, lalu taat. Istilah iman, mencakup keseluruhan
istilah-istilah tersebut.”
Orang yang mengucapkan kata-kata ini menunjukkan bahwa hal pertama
yang diperlukan adalah ma’rifat Allah swt. yang tidak dapat ddiperoleh,
kecuali dengan memenuhi persyaratannya. Persyaratan tersebut adalah
wawasan yang benar. Kemudian manakala bukti-bukti datang susul-
menyusul dan menghasilkan bukti, orang tersebut terlimpahi silih
bergantinya cahaya batiniah, bebas dari semua kebutuhan untuk
merenungkan bukti-bukti; itulah keadaan yakin, Mengenai pembenran Al-
Haq (tashidiqul haq), hal iini berhubungan dengan apa yang
diinformasikan-Nya kepada seseorang dengan penuh perhatian terhadap
panggilan-Nya, berkenaan dengan apa yang diinformasikan-Nya kepada
seseorang mengenai af’al-Nya pada tahap awalnya. Sebab tashdiq, sifatnya
informatif, sedangkan ikhlas memiliki akibat dalam pelaksanaan berbagai
perintah. Setelah itu, pengungkapan tanggap si hamba dengan penuh
musyahadah yang indah, setelah itu menyusul pelaksanan tindakan-
tindakan kepatuhan, dengan dasar perintah tauhid, sekaligus menghindari
yang terlarang dalam tauhid. Dalam konteks tersebut Imam Abu Bakr bin
Furak menyinggung pengertian ini ketika saya mendengar beliau
mengatakan : Dzikir dengan lisan adalah luapan yang meliputi dari kalbu.”
Sahl bin Abdullah berkomentar : “Adalah haram bagi hati untuk mencium
bau keyakinan yang di dalamnya masih ada kepuasan terhadap yang selain
Allah swt.”
Dzun Nuun al-Mushry berkata : “Keyakinan menyeru orang untuk
membatasi keinginan duniawi, dan pembatasan ini menyeru pada zuhud,
dan zuhud mewariskan kebijaksanaan, dan kebijaksanaan mewariskan
kemampuan untuk memandang akibat-akibatnya.” Ia juga mengatakan :
“Ada tiga  tanda keyakianan : Mengurangi bergaul dengan manusia;
Mengurangi pujian kepaa mereka saat memperoleh hadiah; dan
menghindari perbuatan mencari-cari kesalahan mereka, jika mereka tidak
memberi (hadiah). Selanjutnya ada tiga tanda keyakinan atas keyakinan
(yaqinul yaqin), Melihat kepada Allah swt, dalam segala sesuatu, kembali
kepada-Nya dalam setiap persoalan, dan berpaling dengan-Nya untuk
memohon bantuan dalam segala hal.”
Al-Junayd mengatakan : “Keyakinan adalah tetapnya ilmu di dalam hati, ia
tidak berbalik, tidak berpindah dan tidak berubah.”
Ibnu Atha’ mengatakan : “Sebatas derajat dimana mereka mencapai takwa
kepada Allah swt, sebtas itu pula mereka akan memperoleh keyakinan.”
Tandasan takwa kepada Allah adalah penentangan terhadap perkara yang
haram, dan menentang perkara yang haram identik dengan menentang
diri sendiri. Jadi, sejauh derajat pemisahan mereka dari diri sendiri, sejauh
itulah batas yang mereka capai dalam hal keyakinan.”
Salah seorang Sufi mengatakan : “Keyakinan adalah mukasyafah, dan
mukasyafah dengan tiga cara : Mukasyafah yang bersifat informatif;
mukasyafah penampilan qudrat, dan mukasyafah hati terhadap hakikat
iman.”
Ketahuilah bahwa dalam bahasa Sufi, muksyafah dari segi pengungkapan
sesuatu ke dalam hati, manakala hati dikuasai oleh dzikir kepada-Nya
tanpa adanya keraguan sedikit pun. Terkadang istilah Kasyf yang mereka
maksud adalah sesuatu yang mirip dengan apa yang dilihat dalam kondisi
antara tidur dan bangun. Seringkali mereka menyebut keadaan ini dengan
sebutan sabaat.
Imam Abu Bakr bin Furak meriwayatkan : “Aku bertanya kepada Abu
Utsman al-Maghriby : “Apakah ini, yang Anda telah mengatakan itu?” Ia
menjawab : “Aku melihat orang-orang tertentu seperti ini dan seperti itu.”
Lalu aku bertanya : “Anda melihat mereka dengan wujud nyata Anda atau
dengan penyingkapan (mukasyafah)?” Ia menjawab : “Dengan
mukasyafah.”
Amir bin Abdul Qays menjelaskan : “Seandainya tabir (kebenaran)
disingkapkan, nsicaya hal itu tidak akan menambah keyakinanku.”
Dikatakan : “Keyakinan adalah penglihatan langsung yang dihasilkan oleh
kekuatan iman.” Dikapatakan pula : “Keyakinan adalah musnahnya tindak-
tindak perlawanan.”
Al Junayd menegaskan : “Keyakinan adalah berhentinya keraguan dalam
penyaksian Yang Gaib.”
Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkaa mengenai sabda
Rasulullah saw. tentang Isa bin Maryam as. “Seandainya ia bertambah
dalam hal keyakinan, nisacaya ia akan dapat berjalan di udara.”
Syeikh menjelaskan bahwa denga ucpannya itu Nabi saw. merujuk kepada
keadaan beliau pada malam Mi’raj, sebab berkaitan dengan misteri-misteri
Mi’raj itulah beliau mengatakan : “Kulihat buraq tinggal di belakang sedang
aku terus berjalan.”
Al-Junayd mengabarkan bahwa ketika as-Sary ditanya tentang keyakinan,
ia menjawab : “Keyakinan adalah ketenangan hatimu yang tidak
tergoyahkan ketika pikiran-pikiran bergerak menembus dadamu
dikarenakan keyakinanmu bahwa gerakan apa pun yang engkau lakukan
tidak akan mendatangkan manfaat bagimu ataupun menolak darimu apa
yang telah ditetapkan (Allah).”
Ali bin Sahal berkata : “Berada di dalam hadirat Allah swt. (Hudhur) lebih
diutamakan daripada keyakinan. Karena hudhur bersifat menetap,
sedangkan yakin bersifat bisikan.” Dengan ucapan ini seakan-akan Ali bin
Sahl menempatkan keyakinan di awal kebenaran hudhur, dan menjadikan
hudhur sebagai kelanjutan dari keyakinan. Ini seakan-akan ia memandang
mungkin dicapainya keyakinan terlepas dari keadaan hudhur, tapi situasi
sebaliknya adalah tidak mungkin. Karena itu an-Nury berkata : “Keyakinan
adalah musyahadah.” Maksudnya, bahwa dalam musyahadah ada
keyakinan dan tiada keraguan di dalamnya, sebab musyahadah menafikan
kepercayaan yang tidak kokoh.
Abu Bakr al-Warraq berkomentar : “Keyakinan adalah landasan hati, dan
iman disempurnakan?” Ia menjawab : “Wahai orang yang lemah
keyakinan, apakah Dia yang mampu memelihara langit dan bumi tidak
mampu menyampaikan aku ke Mekkah tanpa bergantung bekal?” Ibrahim
selanjutnya menuturkan : “Ketika aku tiba di Mekkah, kulihat pemuda itu
sedang melakukan thawaf sambil berkata :
Wahai mata yang senantiasa menangis,
Wahai jiwa kematian yang begitu berduka,
Janganlau engkau cintai seiapapun
Selain Dia Yang Maha Agung, Tempat Bergantung.
Dan ketika ia meliahtku, ia pun bertanya : “Wahai orang tua, apakah
setelah ini engkau masih berada dalam kelemahan keyakinanmu?”
Ishaq an-Nahrajury berkata : “Jika seorang ghamba menyempurnakan
pengertian batiniahnya tentang yakin, maka cobaan akan menjadi nikmat
baginya, dan kenyamanan menjadi malapetaka.”
Abu Bakr al Warraq berkata : “Ada tiga aspek keyakinan : Keyakinan
informatif; keyakinan akan bukti (dalalat) dan keyakinan musyahadah.”
Abu Thurab an-Naksyaby menuturkan : Ketika aku melihat seorang
pemuda berjala di apdang pasir tanpa bekal, aku berkata dalam hati : “Jika
ia tidak punya keyakinan, niscaya akan binasa.” Aku bertanya kepadanya :
“Wahai anak muda, apakah engkau berada di tempat seperti ini tanpa
peerbekalan?” Ia menjawab : “Wahai orang tua, angkatlah kepalamu.
Apakah engkau melihat sesuatu selain Allah swt.?” Aku pun berkata
kepadanya : “Sekarang pergilah ke mana engkau mau?”
Abu Sa’id al-Kharraz menjelaskan : “Ilmu adalah apa yang membuatmu
mampu untuk bertindak, dan keyakinan adalah apa yang mendorongmu
bertindak.”
Ibrahim al-Khawwas berkomentar : “Pernah aku berupaya mencari nafkah
yang memungkinkan aku memperoleh makan yang halal. Aku menjadi
nelayan. Pada suatu hari seekor ikan berenang memasuki jaringku, dan
aku mengambilnya lalu meleparkan kembali jalaku ke air. Kemudain
masuklah ikan lain ke dalamnya, dan sekali lagi aKemudain terdengar
sebuah suara gaib berseru : “Apakah engkau tidak bisa mencari
penghidupan selain dengan cara menangkap mereka yang berdzikir
kepada Kami, kemudian membunuhnya?” Mendengar itu, aku lalu
merobek-robek jalaku dan berhenti mencari ikan.”

20.
SABAR
Edit : Pujo Prayitno
Allah swt. berfirman :
“Bersabarlah, dan tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan
pertolongan Allah.” (Qs. An-Nahl :217).
Diriwayatkan oleh Abu Hurairah, bahwa Aisyah menuturkan haids berikut
ini dari Rasulullah sawa. Yang bersabda :
“Sabar (yang sebenarnya) itu adalah pada saat mengahadapi cobaan yang
pertama.” (H.r. Bukhari, Tirmidzi dan Nasa’i).
Kemudian sabar dibagi dalam beberapa macam : Sabar terhadap apa yang
diupayakan, dan sabar terhadap apa yang tanpa diupayakan. Mengenai
sabar dengan upaya, terbagi menjadi dua : Sabar dalam menjalankan
perintah Allah dan sabar dalam menjauhi larangan-Nya. Mengenai sabar
terhadap hal-hal yang tidak melalui upaya dari si hamba, maka
kesabarannya adalah dalam menjalankan ketnetuan Allah yang
menimbulkan kesukaran baginya.
AL-Junyad menegaskan : “Perjalanan dari dunia ke akhirat adalah mudah
bagi orang beriman, tetapi hijrahnya dari sisi Alalh swt. adalah sulit. Dan
perjalanan dari diri sendiri menuju Allah swt. adalah sulit. Dan perjalanan
dari diri sendiri menuju Allah swt. adalah sangat sulit, tetapi yang lebih
sulit lagi adalah bersabar bersama Allah swt.”
Ketika ditanya tentang sabar, al-Junayd menjawab : “Sabar adalah
meneguk kepahitan tanpa wajah cemberut.”
Ali bin Abu Thalib r.a. mengatakan : “Hubungan antara sabar dengan iman
aalah seperti hubungan antara kepala dengan badan.”
Abu Qasim al-Hakim menjelaskan : “Firman Allah swt. “Dan bersabarlah,
adalah perintah untuk beribadat, dan firman-Nya, “Dan tiadalah
kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah.” (Qs. an-Nahl :127)
adalah untuk ubudiyah. Barangsiapa naik dari derajat “bagi-Mu” menuju
derajat “dengan-Mu” maka ia telah beralih dari derajat ibadah ke
ubudiyah. Rasulullah saw. bersabda :
“Dengan Mu aku hidup dan dengan-Mu aku mati.”
Abu sulaiman tentag sabar , dan ia mengatakan : “Demi Allah, Kita tidak
dapat bersabar dengan apa yang kita sukai, jadi bagaimana pula halnya
dengan apa yang tidak kita sukai?”
Dzun Nuun berkata : “Sabar adalah menjauhi pelanggaran dan tetap
bersikap rela sementara merasakan sakitnya penderitaan, dan sabar juga
menampakkan kekayaan ketika ditimpa kemiskinan di lapangan
kehidupan.”
Ibnu Atha’ berkata : “Sabar adalah tetap tabah dalam malapetaka dengan
perilaku adab.” Dikatakan : “Sabar adalah fana’ jiwa dalam cobaan, tanpa
keluhan.”
Abu Utsman berkomentar : “Orang yang paling sabar adalah yang terbiasa
dalam kesengsaraan yang menimpa dirinya.” Dikatakan : “Sabar adalah
menjalani cobaan dengan sikap yang sama seperti menghadapi
kenikmatan.”
Abu Utsman juga berkata : “Pahala paling besar bagi ibadat adalah pahala
utuk kesabaran. Tidak ada pahala lain yang melebihinya. Allah swt.
berjanji : “Dan sesungghnya Kami akan memberi balasan kepada orang-
orang yang sabar dengan pahala yang lebih baik dari apa yang mereka
kerjakan.” (Qs. An-Nahl :96).
Amru bin Utsman mengatakan : “Sabar adalah berlaku teguh terhadap
Allah swt, dan menerima cobaan-cobaan-Nya dengan sikap lapang dada
dan tenang.”
Al-Khawwas menjelaskan : “Sabar adalah menetapi ketentuan-ketentuan
Kitabullah dan Sunnah Rasul.”
Yahya bin Mu’adz mengatakan : “Sabar para pecinta adalah lebih besar
daripada sabar orang zuhud. Betapa mengagumkan, bagaimana mereka
bersabar?”
Mereka telah menyenandungkan :
Kesabaran begitu indah di mana saja,
Kecuali kepadamu,
Sabarmu tidaklah indah.
Ruwaym berkata : “Sabar adalah meninggalkan keluh kesah.”
Dzun Nuun berkata : “Sabar adalah meminta pertolongan kepada Allah
swt.”
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq mengatakan : “Sabar adalah seperti namanya.”
Syeikh Abu Abdurrahman melantunkan syair kepada saya, dari Abu Bakr
ar-Razy, dari syair Ibnu Atha’ :
Aku akan bersabar untuk ridha-Mu,
Sedang rindu menghancurkan diriku.
Cukuplah bagiku bahwa Engkau ridha.
Meskipun diriku hancur karena sabarku.
Abu Abdullah bin Khafif mengatakan : “Sabar ada tiga macam : Sabar
orang yang berjuang untuk bersabar (mutashabbir), sabar orang yagn
sabar (shabir) dan sabarnya orang yang sangat bersabar )Shabbar).”
Ali bin Abu Thalib r.a. berkata : “Sabar adalah gunung yang tak pernah
terguling.”
Ali bin Abdullah al-bashry menuturkan : “Seorang laki-laki datang kepada
as-Syibly dan bertanya : “Sabar macam manakah yang tersulit bagi orang
bersabar?” Ia menjawab : “Yaitu sabar terhadap Allah swt. Tetapi orang itu
menyanggah : “Bukan!” Asy-Syibly menyarankan : “Sabar untuk Allah.”
Orang itu menyanggah lagi : Bukan!” Asy-Syibly menjawab : “Sabar
bersama Allah.” Sekali lagi orang itu menyanggah : “Bukan!” Asy-Syibly
bertanya : “Lantas, sabar yang mana?” Orang itu menjawab : “Sabar
berjauhan dengan Allah.” Mendengar jawaban itu asy-Syibly berteriak
sedemikian rupa sehingga nyaris ruhnya melayang.”
Abu Muhammad Ahmad al—Jurairy menjelaskan : “Sabar tidaklah
membedakan keadaan bahagia atau menderita, disertai dengan
ketenteraman pikiran dalam keduanya. Bersikap sabar adalah mengalami
kedamaian ketika menerima cobaan, meskipun dengan adanya kesadaran
akan beban penderitaan.”
Salah seorang Sufi menyenandungkan :
Aku bersabar dan aku belum melihat kehendak-Mu atas sabarku
Dan kusembunyikan petaka yang Kau kenakan
Pada diriku, di tempat sabar.
Takut bahwa hatiku akan mengeluh tentag deritaku.
Sampai air mataku mengalir, penuh rahasia
Dan aku tak tahu.
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkomentar : “Orang yang sabar akan mencapai
derajat yang tinggi di dunia dan di akhirat, sebab mereka telah mendapat
derajat kesertaan di sisi Allah swt. sebagaimana firman-Nya :
“Sesungguhnya Allah berserta orang-orang yang sabar.” (Qs. Al-Nafal :46).
Dikatakan mengenai arti firman Allah swt. : “Hai orang-orang yang
beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan kaitkanlah
(dirimu kepada Allah)>” (Qs. Ali Imran : 200). Bahwa sabar (shabr) adalah
berada di bawah tahap berteguh hati dalam kesabaran (mushaabarah) dan
dibawah tahap mengaitkan diri kepada Allah (muraabathah).” Dikatakan
juga : “Bersabarlah’ dengan dirimu dalam taat kepada Alalh swt.
Berteguhlah dalam kesabaran’ dengan hatimu dalam menghadapi cobaan-
cobaan yang berkaitan dengan Allah swt. dan “kaitkanlah’ jiwamu
terhadap kerinduan kepada Allah swt. Juga dikatakan : “”Bersabarlah”
kepada Alalh, ‘berteguhlah dalam kesabaran’ dengan Allah, dan
‘kaitkanlah’ jiwamu dengan Allah.”
Dikatakan bahwa Allah swt. mewahyukan kepada Daud as. : “Berakhlaklah
dengan Akhlak-Ku. Di antaranya adalah bahwa Aku adalah Yang Maha
Penyabar.”
Dikatakan : “Seraplah kesabaran. Jika ia membunuhmu, engkau akan mati
sebagai syahid. Jika ia menghidupimu, maka engkau akan hidup sebagai
seorang yang mulia.”
Dikatakan juga : “Kesabaran untuk Allah adalah kesukaran, sabar dengan
Allah adalah baqa’, sabar jauh di dalam Allah adalah cobaan, dan sabar
jauh dari Allah adalah sangat hampa.”
Para Sufi bersyair :
Kesabaran berjauhan dengan-Mu tercela akibatnya,
Namun terpujilah segala kesabaran yang lain.
Mereka juga membacakan :
Bagaimana sabar, orang yang lepas dari-Ku
Laksana utara dan selatan
Ketika orang-orang bermain-main di segala hal
Aku melihat cinta bermain dengan orang-orang itu.
Dikatakan : “Sabar dalam mencari pemenuhan hidup adalah tanda
kemenangan, dan sabar dalam kesukaran adalah tanda keselamatan.”
Dikatakan : “Bersikap teguh dalam kesabaran adalah sabar dalam
bersabar, sampai kesabaran tenggelam dalam kesabaran dan kesabaran
berputus asa dari kesabaran, sebagaimana dikatakan syair :
Sabar orang yang sabar hingga kesabaran meminta
Pertolongan kepadanya
Sang pecinta berseru kepada kesabaran :Sabarlah!.”
Suatu ketika Syibly sedang ditahan di rumah sakit jiwa, dan sekelompok
orang daang menjenguknya. Ia bertanya : Siapakah kalian?” Mereka
amenjawab : “Kami adalah sahabat-sahabat tercintamu yang datang untuk
mengunjungimu.” Maka syibly lalu mulai melempari mereka dengan batu
hingga mereka pun berlarian. Ia berteriak, : “Wahai para pendusta, jika
kalian memang sahabt-sahabatku, niscaya kalian akan sabar ketika aku
uji.”
Dalam suatu riwayat disebutkan : “Demi penglihatan-Ku, apa yang dipukul
oleh mereka yang memikul beban demi Aku, adalah dalam penglihatan-
Ku.”
Allah swt. berfirman :
“Dan bersabarlah dalam menunggu ketetapan Tuhanmu, karena
sesungguhnya kamu berada dalam penglihatan Kamu.” (Qs. Ath-Thuur :48).
Salah seorang Sufi mengabarkan : “Aku sedang berada di Mekkah – semoga
Allah swt. menjaganya – dan kulihat seorang fakir sedang melakukan
thawaf. Ia mengeluarkan selembar kertas dari saku bajunya, melihatnya,
kemudian meneruskan thawafnya. Hari berikutnya kulihat ia melakukan
hal yang sama. Aku memperhatikannya selama beberapa hari, dan ia terus
berbuat demikian. Lalu pada suatu hari ia berjalan mengelilingi Ka’bah,
melihat kertas itu, mundur beberapa langkah, kemudian jatuh dan mati.
Aku mengambil kertas yang ada di sakunya, dan dilamnya tertulis : “Dan
bersabarlah menunggu ketetapan Tuhanmu, karena sesungguhnya kamu
berada dalam penglihatan kami.”
Sebagian Sufi berkata : “Aku masuk ke negeri India dan aku melihat
seorang pemuda bermata satu, yang dijuluki orang “Si Fulan yang Sabar.”
Ketika aku bertanya tentangnya, orang mengatakan kepadaku, : “Semasa
muda, seorang sahabtnya berangkat untuk bepergian jauh. Ketika
sahabtnya itu berpamitan, meneteslah air mata dari salah satu kelopak
matanya, namun kelopak matanya yang sebelah lagi tidak. Ia katakan
kepada bola matanya yang tidak menangis itu : “Mengapa engkau tidak
menangis ata keberangkatan sahabatku?” Engkau kularang melihat dunia
ini!” Lalu ditutupnya matanya itu, dan selama enampuluh tahun belum
pernah dibukanya.”
Dikatakan tentang firman Allah swt. : “Maka bersabarlah kamu dengan
sabar yang baik.” (Qs. Al-Ma’arij :5), bahwa : Sabar yang baik” itu adalah
sabar yang mencegah diketahuinya korban yang terkena penderitaan.
Umar bin Khtahthab r.a. berkata : “Seandainya kesabaran dan syukur itu
adalah dua ekor unta, bagiku akan sama saja mana yang akan kukendarai.”
Ketika terkena cobaan, Ibnu Syabramah – semoga Allah swt. merahmatinya
– biasa mengatakan : “Semua ini hanyalah awan.” Dan cobaan itu akan
berlalu.”
Ketika Rasulullah ditanya tentang iman, beliau menjelaskan :
“(Iman) adalah keteguhan hati dalam bersabar dan bersikap murah hati.”
(H.r. Abu Ya’la dan Baihaqi).
As-Sary ditanya tentang sabar, dan ia mulai berbicara. Lalu seekor
kalajengking merayap ke kakinya dan menyengatnya beberapa kali, namun
ia sama sekali tidak bergeming. Seseorang bertanya kepadanya : “Mengapa
engkau tidak mencampakkannya?” Ia menjawab : “Aku malu kepada Allah
swt. untuk berbicara tentang sabar sedang aku sendiri tidak sabar.”
Dalam sebuah hadis dikatakan : “Orang-orang miskin yang sabar akan
bersama di majelis Allah swt. di hari Kebangkitan.”
Allah swt. mewahyukan kepada salah seorang Nabi-Nya : “Aku
menurunkan cobaan kepada hamba-Ku, lalu ia berdoa kepada-Ku. Tetapi
aku menangguhkan doanya dan ia mengeluh kepada-Ku. Maka Aku lalu
bertanya : “Wahai hambaku, bagaimana Aku mengasihimu dari suatu yang
dengannya Aku mengasihimu?”
Ibnu “Uyaynah berkomentar megeai arti firman Allah swt. : “Dan Kami
jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk
dengan perintah Kami ketika mereka sabar.” (Qs. As-Sajdah : 24). Bahwa
artinya adalah : “Karena mereka memahami kepedulian pokok persoalan,
maka kami angkat mereka sebagai pemimpin.”
Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq mengatakan : “Kondisi
bersabar adalah jika engkau tidak berkeberatan terhadap apa yang telah
ditetapkan (takdir), sedangkan menampakkan cobaan tanpa mengeluh,
maka hal ini tidaklah menghilangkan sabar. Allah swt. berfirman dalam
kisah Nabi Ayyub as, : “Sesungguhnya Kami dapati ia seorang yang sabar.
Dialah sebaik-baik hamba. Sesungguhnya ia senantiasa berpaling (kepada
Kami).” (Qs. Shaad :44). Allah memfirmankan ini meskipun Ayyub berkata :
“Sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit.” (Qs. Al-Anbiya : 83).” Dan saya
mendengar beliau mengatakan : “Allah menyebutkan ucapan Ayyub ini
agar ucapan tersebut menjadi jalan ke luar bagi orang-orang yang lemah di
antara ummat ini.”
Salah seorang Sufi mengatakan, Allah swt. berfirman : “Sesungguhnya
Kami dapati ia seorang yang sabar (shabir).” Dia tidak berfirman : “yang
paling sabar (hsabur).” Sebab Ayyub tidaklah sabar sepanjang waktu.
Sebaliknya, terkadang beliau merasa senang terhadap cobaan yang
menimmpa dirinya dan mendapati cobaan tersebut menyenangkan. Pada
saat menyenangi cobaan tersebut, beliau bukanlah orang yang sabar;
karena itu Allah tidak menyebutnya, “yang paling sabar.”
Syeikh Abu ali ad-Daqqaq menegaskan : “Hakikat sabar adalah jika si
hamba keluar dari cobaan dalam keadaan seperti ketika memasukinya,
sebagaimana dikatakan oleh Ayyub as. Pada akhir cobaan yang menimpa
diri beliau. “Sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah
Tuhan Yang Maha Penyayang di antara semua yang menyayangi.” Ayyub
memperlihatkan sikap berbicara yang layak dengan ucapannya : “Dan
Engkau adalah Tuhan Yang Maha Penyayang di antara semua yag
menyayangi.” Tetapi beliau tidak berkata secara jelas, dengan kata-kata :
“Limpahkanlah kasih sayang-Mu kepadaku.”
Sabar ada dua macam : Sabar para ahli ibadat (abidin) dan sabar para
pecinta (muhibbin). Mengenai sabar para ahli ibadat, adalah lebih baik jika
sabar macam ini dipelihara. Mengenai sabar para pecinta, sebaiknya
ditinggalkan. Tentang makna kata-kata ini, para Sufi membacakan syair
berikut :
Di Hari perpisahan, bahwa keputusannya
Untuk bersabar adalah satu di antara dua
Sangkaan-sangkaan dan dusta
Mengeni arti syair ini, saya telah mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq
menuturkan : “Ya’kub as. Telah menyiapkan dirinya untuk bersabar.
Karenanya, beliau lalu mengatakan : “Maka kesabaran yang baik itulah
(kesabaranku). Artinya : “Sikapku adalah bersabar dengan sabar yang
baik.” Namun belum sampai malam tiba, beliau sudah mengatakan :
“Aduhai duka citaku terhadap Yunus.” (Qs. Yusuf :84).

21.
MURAQABAH
Edit : Pujo Prayitno
Allah swt. berfirman :
“Dan Allah Maha Mengawasi segala sesuatu.” (Qs. Al-Ahzab :52).
Diriwayatkan dalam suatu hadis, bahwa malaikat Jibril datang kepada
Rasulullah saw. dalam rupa sebagai seorang manusia. Ia bertanya :
“Wahai Muhammmad, apakah iman itu?” Beliau menjawab : “Iman adalah
bahwa engkau percaya kepada Allah swt. para Malaikat-Nya, kitab-kitab-
Nya, utusan-utusan-Nya, dan kepada takdir yang baik maupun yang buruk,
yang manis maupun yang pahit.” Jibril berkata : “Engkau benar.” Jariri
(perawai hadis ini) berkata : “Kami semua heran atas penegasannya
terhadap kebenaran jawaban Nabi, sedangkan Jibril sendiri yang bertanya.
Kemudian Jibril bertanya lagi : “Katakanlah kepadaku, apakah Islam itu?”
Nabi saw. menjawab : “Islam yaitu hendaknya engkau menegakkan shalat,
membayar zakat, berpuasa pada bulan Ramadhan dan melaksanakan
Ibadat Haji ke Baitullah.” Jibril berkata : “Engkau benar”. Keudian ia
bertanya lagi : “Katakanlah kepadaku, apakah ihsan itu?” Nabi menjawab :
“Ihsan yaitu hendaknya engkau menyembah Allah seolah-olah engkau
melihat-Nya, (namun) jika engkau tidak melihat-Nya, sesungguhnya Dia
melihatmu.” Jibril berkata : “Engkau benar.” (Hr. Muslim, Tirmidzi, Abu
Dawud dan Nasa’i).
Syeikh Ali ad-Daqqaq berkomentar, bahwa sabda Nabi saw. “Jika engkau
tidak melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihatmu.” Merupakan petunjuk
mengenai keadaan mawas diriepatnya ia dalam kesadaran ini merupakan
muraqabah kepada Allah swt, dan inilah sumber kebaikan baginya. Ia
hanya akan sampai kepada muraqabah ini setelah sepenuhnya melakukan
perhitungan dengan dirinya sendiri mengenai apa yang telah terjadi di
masa lampau, memperbaiki keadaannya di masa kini, tetapi berteguh di
jalan yang benar, memperbaiki hubungannya dengan Allah swt. dengan
sepenuh hati, menjaga diri agar setiap saat senantiasa ingat kepada Allah
swt. taat kepada-Nya dalam segala kondisi. Baru setelah ia mengetahui
keadaan-keadaannya. Dia melihat perbuatannya, dan Dia mendengar
perkataannya. Orang yang alpa akan semua hal ini, ia akan jatuh dari titik
awal wushul, lalu bagaimana ia akan mencapai taqarub?”
Al-Jurairy  berkata : “Orang yang belum mengukuhkan rasa takwa dan
muraqabah dirinya kepada Allah swt. tidak akan mencapai mukasyafah
dan musyahadah.”
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq – semoga Allah merahmatinya --- berkata :
“Suatu ketika ada seorang raja mempunyai seorang menteri yang
mendampingi di hadapannya. Sang menteri berpaling kepada salah
seorang pelayan yang hadir, bukan karena curiga, tapi karena merasa
adanya bisik-bisik di antara pelayang itu. Kebetulan sang raja juga sedang
memperhatikan menterinya itu. Sang menteri khawatir bila sang raja akan
mengira ia melihat kepada para pelayan itu karena curiga. Karena itu, sang
menteri tetap mengarahkan pandangannya kepada mereka. Sejak hari itu
sang menteri selalu datang kepada raja dengan mata memandang ke satu
sisi. Inilah mawas diri seorang manusia terhadap sessamanya; maka
bagaimana pula halnya mawas diri hamba terhadap Tuhannya?”
Saya mendengar sorang fakir mengabarkan : “Ada seorang raja mempunyai
seorang pelayan yang mendapat perhatian lebih dari pelayan lainnya.
Tidak seorang pun di antara mereka yang lebih berharga atau lebih
tampan dari pelayan yang satu itu. Sang raja ditanya tentang hal ini, maka
ia lalu ingin menjelaskan kepada mereka kelebihan pelayan tersebut dari
pelayan lainnya dalam pengabdian. Suatu hari ia sedang menunggu kuda
bersama para pengiringnya. Di kejauhan tampak sebuah gunung bersalju.
Sang Raja menatap ke arah salju itu dan membungkukkan kepala. Si
pelayan lalu memacu kudanya. Orang-orang tidak tau mengapa si pelayan
memacu kudanya. Tidak lama kemudian ia kembali dengan membawa
sidikit salju. Sang raja bertanya kepadanya : “Bagaimana engkau tau bahwa
aku menginginkan salju?” Si pelayan menjawab : “Karena paduka
menatapnya terus, dan seorang raja hanya melihat sessuatu jika
mempunyai niat yang benar.” Maka sang raja lalu berkata : “Aku
memberinya anugerah dan kehormatan khusus, karena bagi setiap orang
ada pekerjaanya sendiri, dan pekerjannya adalah mengamati pandangan
mataku dan memperhatikan keadaanku.”
Salah seorang Sufi berkomentar : “Orang yang muraqabah kepada Allah
dalam benaknya, niscaya Allah swt. akan menjaga anggota badannya.”
Ketika Abu Husain bin Hind ditanya : “Kapankah seorang hamba mengusir
domba-dombanya ari padang kebinasaan dengan tongkat panjangnya?” Ia
menjawab : “Manakala ia tau bahwa seseorang sedang
memperhatikannya.”
Ketika Ibnu Umar r.a. sedang berada dalam perjalanan ia melihat seorang
anak laki-laki sedang mengembalakan kambing. Ibnu Umar bertanya
kepadanya : “Maukah engkau menjual seekor kambingmu kepadaku?” Si
anak menjawab : “Kambing-kambing ini bukan milikku.” Ibnu Umar
berkata : “Katakan saja kepada pemiliknya bahwa seekor serigala telah
melarikannya.” Si anak berkata : “Lantas di mana Allah?” Setelah kejadian
itu, untuk beberapa waktu lamanya Ibnu Umar selalu mengatakan : “Budak
itu berkata : :Di mana Allah?”
Al-Junayd berkata : “Barangsiapa mewujudan muraqabah, hanyalah takut
akan hilangnya bagian dari Allah swt. tidak yang lain.”
Salah seorang syeikh mempunyai beberapa murid, dan ia lebih menyukai
salah seorang muridnya dn memberinya perhatian lebih daripada murid-
murid yang lain. Ketika ditanya tentang hal itu, ia menjawab : “Aku akan
menunjukkan kepaamu mengapa aku bersikap demikian terhadapnya.”
Lalu diberikannya kepada setiap orang muridnya seekor burung dan
memerintahkan kepada mereka : “Sembelihah burung-burung itu di suatu
tempat di mana tidak seorang pun akan melihatnya!.” Mereka semua lalu
berangkat, kemudian masing-masing kembali dengan burung
sembelihannya. Tetapi murid kesayangannya itu kembali dengan
membawa burung pemberian sang Syeikh yang masih dalam keadaan
hidup. Ketika Syeikh bertanya : “Mengapa engkau tidak menyembelihnya?”
Si murid menjawab : “Tuan memerintahkan saya untuk menyembelih
burung ini di tempat yang tidak dilihat oleh siapa pun, dan saya tidak bisa
menemukan tempat seperti itu.” Mendengar jawaban muridnya itu sang
Syeikh lalu berkata kepada murid-murid yang lain : “Inilah sebabnya
mengapa aku lebih memberikan perhatian kepadanya.”
Dzun Nuun al-Mishry mengatakan : “Tanda muraqabah adalah memilih
apa yang di pilih oleh Allah swt. menganggap besar apa yang dipandang
besar oleh-Nya dan menganggap remeh apa yang di pandang-Nya remeh.”
Ibrahim an-Nashr abadzy menegaskan : “Harapan (raja’) mendorongmu
untuk taat, takut (khauf) menghindarkanmu dari maksiat; dan muraqabah
diri membawamu kepada jalan kebenaran hakiki .”
Ketika ditanyakan kepada Ja’far bin Nashr mengenai muraqabah, ia
berkata kepada saya : “Muraqabah adalah menjaga diri terhadap sirri
dikarenakan adanya kesadaran akan pengawan Allah swt. terhadap setiap
bisikan.”
Al Jurairy menjelaskan : “Jalan kita didbangun atas dua bagian yaitu
hendaknya engkau memaksa jiwamu untuk muraqabah terhadap Allah
swt. dan hendaknya ilmu tampak dalam perilaku lahiriahmu.”
Abdullah al-Murta’isy berkomentar : “ Muraqabah adalah menjaga diti atas
batin sendiri dikarenakan kesadaran akan Yang Ghaib dalam setiap
pandangan dan ucaparn.”
Ketika Ibnu Atha’ ditanya : “Amal ibadat apakah yang paling baik?” Ia
menjawab : “Muraqabah terhadap Allah swt di setiap waktu.”
Ibrahim al-Khawwas berkata : “Kemawasan diri menghasilkan muraqabah;
muraqabah menghasilkan ketulusan bagin dan lahir, semata kepada Allah
swt.”
Abu Utsman al-Maghriby menegaskan : “Disiplin paling utama pada diri
manusia dalam menempuh tharikat ini adalah instropeksi dan muraqabah,
sedang aplikasinya dengan ilmu.”
Abu Utsman menuturkan : “Abu Hafs mengatakan kepadaku,  : “Manakala
engkau duduk mengajar orang gbanyak, jadilah seorang penasihat kepada
hati dan jiwamu sendiri dan jangan biarkan dirimu tertipu oleh
berkumpulnya mereka di sekelilingmu, sebab mereka hanya
memperhatikan wujud lahiriahmu, sedangkan Allah swt. memperhatikan
wujud batinmu.”
Abu Sa’id al-Kharraz mengabarkan : “Salah seorang syeikh mengatakan
kepadaku : “Engkau harus mengawasi batinmu dan bermawas diri
terhadap Allah. Suaut ketika aku sedang bepergian melalui padang pasir,
dan tiba-tiba aku mendengar suara keras yang menakutkan di belakangku.
Aku ingin menoleh tapi, hatl itu tak kulakukan. Lalu aku melihat sesuatu
jatuh ke atas pundakku, dan aku menoleh, sedang aku menjaga batinku,
lantas aku menoleh dan kulihat seekor binatang buas yang besar.”
Muhammad al-Wasithy berkata : “Amal ibadat terbaik adalah menjaga
waktu. Artinya, si hamba tidak melihat ke luar batas dirinya, tidak
memikirkan sesuatu pun selain Tuhannya, dan tidak menyertakan diri
dengan sesuatu pun selain waktunya.”

22.
RIDHA
Edit : Pujo Prayitno
Allah swt. berfirman :
“Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya.” (Qs. Al-
maidah : 119; Al-Bayyinah :8).
Jabir r.a. mengabarkan bahwa Rasulullah saw. bersabda :
“Para enghuni surga akan berada di dalam sebuah majelis ketika suatu
cahaya dari pintu gerbang surga menyinari mereka, Mereka akan
mengangkat kepada dan Allah swt. akan memandang mereka dan
berfirman : “Wahai penghuni surga, mintalah kepada-Ku apa yang kalian
inginkan!.” Mereka akan menjawab : “Kami mohon agar Engkau ridha
kepada kami.” Allah swt. menjawab : “Keridhaan-Ku telah membawa kalian
ke rumah-Ku, dan Aku telah memberi kalian kemuliaan-Ku. Ini adalah saat
yang tepat, maka bermohonlah kepada-Ku!” Mereka menjawab : “Kami
memohon tambahan selain ini.”
Selanjutnya Rasul saw. bersabda : “Kemudian mereka akan dibawakan
kednaraan istimewa dari mutu manikam, kendalinya dari zamrud hijau an
manikam merah. Mereka menaikinya, dan kendaraan itu akan melesat
cepet melebihi kecepatan peglihatan mata. Lalu Allah swt. memerintahkan
buah-buahan yang lezat serta bidadari supaya dibawa kepada mereka, dan
para bidadari itu akan berkata: “Kami adalah penghibur kenikmatan yang
gemulai, dan kami tidak akan menjadi layu. Kami abadi dan tidak akan
mati – jodoh bagi kaum beriman yang mulia.” Selanjutnya Allah akan
memerintahkan agar didatangkan minyak misik putih yang harus
semerbak, dan mereka akan berputar berkeliling dibawa angin yang
disebut “al-Mutsirah” sampai akhirnya mereka di bawa ke Surga “Adn,
yang merupakan pusat surga. Para malaikat akan menyerukan : “Wahai
Tuhan kami, mereka telah datang  .” Allah swt. berfirman : “Selamat datang
orang-orang yang benar, selamat datang orang-orang yang taat!.”
Lalu Rasulullah saw. bersabda : “Maka tabir pun akan disingkapkan bagi
mereka. Mereka akan memandang kepada Allah swt. dan mereka akan
menikmati Cahaya Yang Maha Pegasih hingga mereka tidak akan melihat
satu sama lain. Kemudian Allah swt. memerintahkan : “Kembalikan
mereka ke istana-istana mereka dengan hadiah.”
Rasulullah saw. menlanjutkan : “Mereka akan dibawa kembali ke tempat
tinggal mereka dan mereka akan dapat saling pandang lagi.” Lalu
Rasulullah saw. menjelaskan : “Itulah yang dimaksud dengan firman Allah
swt.” Sebagai hadiah dari Tuhan Yang Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.” (Qs. Futhshilat : 32).” (H.r. Ibnu an-Najjar dan al-Bazzar).
Ulama Irak dan Khurasan berbeda pendapat mengenai ridha. Apakah ia
termasuk keadaan ruhani (ahwah) ataukah maqam? Ulama Khurasan
mengatakan : “Ridha adalah salah satu maqam, sebagai  puncak dari
tawakkal kepada Allah swt. Ini berarti bahwa ridha dapat dicapai oleh si
hamba dengan upayanya sendiri.” Sedang ulama Iraq mengatakan : “Ridha
adalah ssalah satu ahwal, bukan sesuatu yang diperoleh dengan upaya si
hamba. Ridha adalah sesuatu yang memasuki hati, seperti halnya haal-haal
yang lain.” Sebuah kompromi antara dua pandangan ini dapat diajukan,
dengan pernyataan demikian : “Awal ridha adalah sesuatu yang dicapai
oleh si hamba dan merupakan maqam, meskipun pada akhirnya ridha
merupakan kondisi ruhani (haal) dan bukan sesuatu yang diperoleh
dengan upaya.”
Banyak orang berbicara tentang ridha, masing-masing mengungkapkan
keadaan dan konsumsi ruhaninya. Maka ungkapan pendapat mereka
berbeda-beda, sebagaimmana berbedanya pengalaman meneguk ruhani
dan bagian masing-masing.
Sementara syarat ilmu, maka menjadi keharusan. Orang yang ridha dengan
Allah swt. adalah orang yang sama sekali tidak menentang takdir-Nya.
Syeikh Abu ali ad-Daqqaq mengatakan : “Ridha bukanlah bahwa engkau
tidak mengalami cobaan, ridha hanyalah bahwa engkau tidak
berkeberatan terhadap hukum dan qadha Allah swt.”
Ketahuilah, kewajiban bagi hamba adalah rela terhadap ketentuan Alalh
swt. yang telah diperintahkan agar ia ridha dengannya. Sebab tidaklah
setiap ketentuan itu mengharuskan ia ridha, atau boleh ridha dengan
qadha tersebut, misalnya kemakssiatan dan banyaknya fitnah yang
menimpa kaum muslimin.
Para syeikh berkomentar : “Keridhaan adalah gerbang Allah swt. yang
terbesar.” Maksud mereka adalah, bahwa barangsiapa mendapat
kehormatan dengan ridha, berarti ia telah disambut dengan sambutan
paling sempurna, dan dihormati dengan penghormatan tertinggi.”
Abdul ahid  bin Zaid menjelaskan : “Keridhaan adalah gerbang Allah yang
teragung dan surga dunia.”
Ketahuilah bahwa si hamba tidak akan mendekati derajat ridha kecuali
Allah swt. ridha terhadapnya, sebab Allah swt. telah berfirman : “Allah
ridha kepada mereka, dan mereka pun rela kepada-Nya.” (Qs. Al-Maidah
:119).
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq menuturan : “Seorang murid bertanya kepada
gurunya : “Apakah si hamba mengetahui jika Allah ridha kepadanya?” Sang
guru menjawab : “Tidak, bagaimana dapat mengetahuinya, sedang ridha-
Nya gaib?” Si murid berkata : “Sungguh ia tahu hal ini! Jika aku mendapati
hatiku ridha kepada Alalh swt. maka aku tahu bahwa Dia ridha kepadaku.”
Maka sang guru lalu berkata : “Sungguh baik sekali ucapanmu itu, anak
muda.”
Ketika Musa as. Berdoa : “Ilahi, bimbinglah aku kepada amal yang
mendatangkan keridhaan-Mu.” Allah swt. menjawab : “Engkau tidak akan
mampu melakukannya.” Musa bersujud dan terus memohon. Maka Allah
swt. lalu mewahyukan kepadanya : “Wahai putra Imran, keridhaan-Ku ada
pada keridhaanmu menerima ketetapan-Ku.”
Abu Abdurrahman ad-Darany mengatakan : “Jika si hamba membebaskan
dirinya dari ingatan terhadap hawa nafsu, maka ia akan mencapai ridha.”
An-Nashr Abadzy menegaskan : “Barangsiapa ingin mencapai derajat
kerelaan, hendaklah berpegang teguh apa-apa yang paanya Allah telah
menempatkan keridhaan-Nya.”
Abu Abdullah bin Khafif menjelaskan : “Ada dua macam ridha; ridha
dengan Allah swt. dan ridha terhadap apa yang datang dari-Nya. Ridha
dengan Alalh swt. berarti bahwa si hamba rela terhadap-Nya sebagai
Pengatur. Dan ridha terhadap apa yang datang dari-Nya berkaitan dengan
apa yang telah ditetapkan-Nya.”
Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq mengatakan : “Jalan sang
pengembara ruhani (salikin) itu lebih panjang, dan itulah jalan olah
ruhani. Jalan kaum terpilih (khawwash) lebh singkat, tapi lebih sulit dan
menuntut agar engkau bertindak sesuai dengan keridhaan dan juga ridha
dengan takdir.”
Riwaym mengatakan : “Keridhaan adalah jika Allah meletakkan neraka
Jahanam di tangan kanannya, maka ia tidak akan meminta agar Dia
memindahkannya ke tangan kirinya.”
Abu Bakr bin Thahir berkomentar : “Keridhaan adalah menghilangkan
kesedihan dari hati hingga tidak sesuatu pun yang tinggal selain
kebahagiaan dan kegembiraan.”
Al-Wasithy mengajarkan : “Manfaatkanlah keridhaan sebesar-besarnya,
dan jangan biarkan ia memanfaatkan dirimu, agar kemanisan dan
wawasannya tidak menabirimu dari kebenran batin yang menyangkut
penglihatanmu.”
Ketahuilah bahwa kata-kta al-Wasithy tersebut sangat penting. Di
dalamnya terdapat peringatan yang tersirat bagi ummat, sebab ridha
terhadap keadaan ruhani belaka merupakan tabir yang gmenabiri Si
Pemberi derajat keadaan ruhani. Jika seseorng menemukan kesenangan
dalam ridha dan mengalami nikmatnya ridha dalam hatinya, maka ia telah
tertabiri oleh keadaannya sendiri dari musyahadah kebenran batin. Al-
Wasithy juga mengingatkan, : “Waspadalah terhadap perasaan nikmat
karena amal ibadat, sebab itu adalah racun yang membawa maut.”
Ibnu Khafifi berkta : “Ridha adalah tenangnya hati dengan ketetapan Alalh
swt. dan keserassian hati dengan apa yang menjadikan Allah swt. ridha dan
dengan apa yang dipilih-Nya.”
Ketika Rabi’ah al-Adawiyah ditanya : “Bilakah seorang hamba dipandang
ridha?” Ia menjawab : “Apabila baginya penderitaan sama
menggembirakannya dengan anugerah nikmat.”
Diceritakan bahwa asy-Syibly menegaskan di hdapan al-Junayd : “Tidak da
daya dan kekuatan selain dengan Alalh, (la haula wa laa quwwata illa
billah)” dan al-Junayd mengatakan kepadanya : “Ucapanmu itu merupakan
ungkapan dada yang sempit, dan dada sempit (sedih) karena meninggalkan
ridha pada ketentuan-Nya.” Asy-Syibly lalu terdiam.
Abu Sulaiman ad-Darany mengatakan : “Ridha adalah jika engkau tidak
meminta surga kepada Alalh swt. atau berlindung kepada-Nya dari neraka.
Dzun Nuun al-Mishry menjelaskan : Ada tiga tanda ridha, tidak punya
pilihan sebelumm diputuskannya keteapan (Allah), tidak merasakan
kepahitan setelah diputuskannya ketetapan, dan tetap merasakan gairah
cinta ditengah-tengah cobaan.”
Dikatakan kepada al-Husain putra Ali bin Abu Thalib r.a. : “Abu Dzar
mengatakan : “Kemiskinan lebih kucintai daripada kekayaan, dan sakit
lebih kucintai daripada kesehatan.” Al-Husain menjawab : “Semoga Allah
mengasihi Abu Dzar. Kalau aku sendiri berpendapat, Orang yang menruh
pilihan baik Allah swt. baginya, tidak akan berkeinginan selaind ari apa
yang telah dipilihkan Allah swt. baginya.”
Al-Fudhail bin ‘Iyadh mengatakan kepada Bisyr al-Hafi : “Ridha adalah
lebih baik daripada hidup zuhud di dunia ini, sebab orang yang rela tidak
pernah berkeinginan akan sesuatu di luar keadaannya.”
Ketika Abu Utsman ditanya tentang sabda Nabi saw. : “Aku memohon
kepada-Mu ridha setelah diputuskannya ketetapan-Mu.” Dijelaskannya, :
“Ini karena ridha sebelum diputuskannya ketetapan Allah, berarti adanya
niat kuat untuk ridha, tetapi ridha setelah diputuskannya ketetapan adalah
ridha itu sendiri.”
Abu Sulaiman berkata : “Seandainya aku ingin mengetahui sebagian kecil
saja tentang ridha. Sekali pun itu akan menyebabkan aku masuk ke neraka,
aku akan menjadi orang yang ridha.”
Abu Umar ad-Dimasyqi mengatakan : “Ridha adalah hilangnya kesedihan
terhadap perintah yang manapun.”
Al-Junayd berkata : “Ridha berarti meniadakan pilihan.”
Ibnu Atha menegaskan : “Ridha adalah mengarahkan perhatian hati pada
berlalunya qadha bagi si hamba, yaitu meninggalkan ketidak senangan
terhdapnya.”
Ruwaym berkata : “Ridha, tenangnya hati dalam menjalani ketetapan
(Allah).”
An-Nury mengatakan : “Ridha adalah senangnya hati atas pahitnya nasib.”
Al-Jurairy mengatakan : “Barangsiapa ridha tanpa batas, Allah swt. akan
mengangkat derajatnya di luar batas.”
Abu Turab an-Nakhsyaby menjelaskan : “Siapa pun tidak akan pernah
mendapatkan ridha manakala dalam hatinya ada seberat biji sawi dunia.”
Diriwayatkan oleh al-Abbas bin Abdul Muthalib, bahwa Rasulullah saw.
menjelaskan : “Orang yang ridha Allah sebagai Tuhannya, akan merasakan
nikmatnya iman.” (Hr. Muslim, Tirmidzi dan Ahmad).
Diceritakan bahwa Umar bin Khaththab menulis surat kepada Abu Musa
al-Asy’ary, “Amma ba’du”... bahwa segala kebaikan terletak di dalam
keridhaan. Maka jika engkau mampu, jadilah orang yang ridha, jika tidak
mampu jadilah orang yang sabar.
Dalam sebuah kisah disebutkan bahwa Utbah al-Ghulam biasa
menghabiskan malam-malamnya hingga pagi dengan berucap : “Jika
Engkau menghukumku, aku akan mencintai-Mu, dan jika Engkau
mengasihi aku, aku pun tetap mencintamu.”
Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq menuturkan : “Manusia dibuat
dari lempung, dan lempung itu tiada bernilai untuk menentang keputusan
Allah swt.”
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkata : “ Seorang laki-laki mrah kepada salah
seorang budaknya, maka si budak lalu minta bantuan seorang laki-laki
lainnya untuk menjadi penengah. Ketika tuannya telah memaffkannya, si
budak lalu menangis, dan si penengah bertanya : “Mengapa engkau
menangis, sedangkan tuanmu telah memaafkanmu?” si tuan berkata
kepadanya : “Ia menginginkan ridhaku, dan tidak ada jalan lagi baginya
untuk memperolehnya. Karena itu ia menangis.”

23.
UBUDIYAH
Edit : Pujo Prayitno
Allah swt. berfiman :
“Dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu keyakinan.” (Qs. Al-
Hijr :99).
Diriwayatkan oleh Abu Sa’id al-Khurdry dari Abu Hurairah r.a. bahwa
Rasulullah saw. bersabda :
“Ada tujuh golonga manusia yag akan dinaungi Allah swt. dalam naungan-
Nya pada hari ketika tidak ada naungan selain naungan-Nya : Imam yang
adil; pemuda yang bersemangat dalam ibadat kepada Allah swt; seseorang
yang hatinya berkait dengan masjid sejak saat ia keluar hingga kembali (ke
masjid); dan dua orang yang saling mencintai karena Allah, yang bertemu
dan berpisah karena Allah, seseorang yang mengingat Allah swt. hingga air
matanya mengalir; serta seseorang yang digoda seorang wanita baik dan
cantik, lantas menjawab dengan ucapan : “Aku takut kepada Allah Tuhan
semesta alam; dan seseorang yang bersedekah dengan diam-diam hingga
tangan kirinya tidak tahu apa yang diberikan oleh tangan kanannya.” (H.r.
Bukhari – Muslim, Tirmidzi dan Nasa’i).
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq mengatakan : “Ubudiyah adalah lebih sempurna
daripada ibadat. Karena itu, pertama-tama adalah ibadat. Lalu ubudiyah,
dan akhirnya abudah.” Ibadat adalah amalan kaum awam; Ubudiyah
adalah amalam kaum terpilih (khawwash); dan Abudah adalah amalan
kaum yang sangat terpilih (khawwashul khawwash).” Beliau juga
mengatakan : “Ibadat adalah untuk orang yang memiliki ilmu yaqin,
ubudiyah untuk orang yang memiliki ‘ainul yaqin, dan abudah untuk orang
yang memiliki haqqul yaqin.” Beliau juga berkomentar : “Ibadat adalah
untuk orang yang sedang berrjuang keras (mujahadah), ubudiyah untuk
orang yang sangat tahan menanggung kesukaran (mukabidat) dan abudah
adalah sifat ahli musyahadah. Jadi, orang yang tidak mengeluh kepada
Allah, jiwanya berada dalam keadaan ibadat, dan siapa yang tidak bakhil
jiwanya dialah pemilik ubudiyah, dan siapa yang tidak bakhil ruhnya,
dialah pemilik abudah.”
Dikatakan : “Ubudiyah adalah menegakkan tindak-tindak ketaatan yang
sejati, dengan khusyu’, memandang diri dengan mata yang terbatas, dan
menydari bahwa amal-amal kebajikan hanya dapat terlaksana berkat
ketentuan takdir.”
Dikatakan pula : “Ubudiyah berarti meninggalkan ikhtiar sendiri ketika
menghadapi takdir ilahi.”
Dikaakan pula : “Ubudiyah adalah mengosongkan diri dari keyakinan akan
kekuatan dan kemampuan diri sendiri dan mengakui kekayaan serta
anugerah yang diberikan-Nya kepadamu.”
Juga dikatakan : “Ubudiyah adalah menyambut apa pun perintah yang
diberikan kepadamu dan memisahkan dirimu dari apa pun yang engkau
dilarang atasnya.”
Muhammad bin Khafifi ditanya : “Bilakah ubudiyah itu sah?” Ia menjawab
: “Apabila seseorang telah menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah swt.
dan memiliki kesabaran terhadap-Nya dalam menjalani cobaan-Nya.”
Sahl bin Abdullah mengatakan : “Bagi siapa pun, ubudiyah tidaklah shahih
sampai ia tidak memperdulikan empat hal : Kelaparan, ketelanjangan,
kemiskinan dan kehinaan.”
Dikaakan : “Ubudiyah adalah hendaknya engkau menyerahkan diri
sepenuhnya kepada-Nya dan menanggungkan segala perbuatan kepada-
Nya.
Dikatakan pula : “Salah satu tanda ubudiyah adalah bahwa engkau
meninggalkan angan-angan sendiri dan mempersaksikan takdir.”
Dzun Nuun al-Mishry menjelaskan : “Ubudiyah adalah bahwa engkau
menjadi hamba-Nya dalam setiap kondisi, seperti halnya Dia adalah
Tuhanmu di setiap kondisi.”
Ahmad Jurairy menjelaskan : “Penghamba kenikmatan banyak sekali, tapi
sedikit sekali yang menjadi penghamba Sang Pemberi nikmat.”
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq mengatakan : “Engkau akan menjadi hamba dari
siapa pun yang mengikatmu. Jika engkau teerikat kepada dirimu sendiri,
maka engkau akan menjadi hamba bagi dirimu sendiri. Jika engkau terikat
kepda kehidupan duniawi, maka engkau akan menjadi hamba bagi
kehidupan duniawimu.” Rasulullah saw. bersabda :
“Celakalah hamba dirham, celakalah hamba dinar, celakalah hamba
pakaian bagus.” (H.r. Bukhari).
Ismail bin Nujayd menegaskan : “Tidak satu pun langkah dapat murni di
jalan ubudiyah sampai seseorang melihat bahwa amal-amal baiknya
adalah riya’ dan keadaan-keadaan ruhani (haal)-nya adalah berpura-pura.”
Abdullah bin Munazil mengatakan : “Hamba adalah hamba, selala ia tidak
menuntut apap pun untuk tunduk kepada dirinya. Jika ia telah menuntut
pelayan bagi dirinya, ia benar-benar gugur dari batas ubudiyah dan telah
meninggalkan adab ubudiyah.”
Sahl bin Abdullah berkomentar : “Ubudiyah hanya dapat dipandang benar
pada seorang hamba manakala pengaruh kemiskinan dalam kefakiran
tidak tampak, tidak ada tanda kekayaan ketika ia kaya.”
Dikatakan : “Ubudiyah adalah penyaksian rububiyah.”
Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkata : “Aku mendengar
Ibrahim an-Nashr Abadzy mengatakan : “Nilai seorang penghamba karen
Yang Dihamba, seperti nilai seorang ‘Arif karena Allah Yang Dima’rifati.”
Abu Hafs berkata : “Ubudiyah adalah hiasan yang indah atas diri seorang
hamba. Barangsiapa meninggalkan ubudiyah berarti terlarang dari
perhiasan.”
An-Nibajy mengatakan : “Prinsip ibadat itu didasarkan pada tiga hal :
Hendaknya engkau tidak menolak aturan-Nya yang mana pun; tidak
menahan sesuatu pun yang diminta-Nya; dan hendaknya Dia tidak
mendengar engkau meminta kepada orang lain untuk memenuhi
kebutuhamu.”
Ibnu Atha’ menjelaskan : “Ubudiyah ada empat perilaku : Kesetiaan pada
janji, menjaga batas-batas yang telah ditetapkan Allah; ridha terhadap apa
pun yang dimiiki; dan kesabaran terhadap apa pun yang hilang.”
Amru bin al-Makky menuturkan : “Tidak pernah kutemui banyak manusia
di Mekkah dan di tempat lain, atau yang datang mengunjungiku di
berbagai waktu, tak seorang pun yang lebih besar mujahadahnya dan lebih
memelihra ibadatnya dari al-Muzany – semoga Allah merahmatinya. Aku
tidak pernah menjumpai seorang pun yang lebih baik dalam
mengagungkan perintah-perintah Allah swt. daripadanya, yang lebih
mengendalikan diri, atau yang sama pemurahnya kepada sesamanya,
dibanding al-Muzany.”
Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq mengatakan : “Tiada sesuatu
pun yang lebih mulia dalam ubudiyah, juga tiada gelar yang lebih
sempurna bagi seorang beriman selain sebuah nama , :ubudiyah”. Karena
alsan ini Allah swt.  ketika menggambarkan sifat Rasulullah saw. pada
malam Mi’raj – saat paling mulia di dunia ini – berfimran “Maha suci Allah,
yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil
Haram ke Masjidil Aqsha.” (Qs. Al-Isra’ :1). Kemudian Allah swt. berfirman :
“Lalu ia  menyampaikan kepada hamba-Nya apa yang telah Allah
wahyukan.” (Qs. An-Najm : 10). Maka seandainya ada gelar yang lebih
agung daripada sifat ke “hamba” an, tentulah Dia telah menggunkanannya
untuk beliau.”
Dalam konteks inilah syair dialntunkan :
Wahai Amru, membalaskan tumpahnya darahku
Demi Zahra’ku
Mata dan telinga tahu semua ini.
Jangan panggil diriku
Kecuali “wahai hamba Zahra’”
Sungguh nama termulia
Panggilan itu bagiku.
Salah seorang Sufi berkomentar. “Ada dua hal : Ketenangan sampai pada
kelezatan, dan keterkaitan Anda atas gerakan. Jika Anda menggugurkan
diri dari dua hal tersbut, Anda bakal mendapati hak ubudiyah.”
Muhammad al-Wasithy memperingatkan : “Waspadalah terrhadap
anugerah yang ditimbulkan oleh pemberian, karne abagi manusia Sufi, itu
merupakan tabir.”
Abu Ali al-Jurjany berkata : “ Merasa ridha adalah rumah ubudiyah. Sabar
adalah pintunya, penyerahan total adalah rumahnya. Suara di atas pintu,
kegaduhan di dalam tempat tiggal, dan keringanan jiwa ada di rumah.”
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq mengatakan : “Sebagaimana rububiyah sebagai
sifat Allah swt. yang tak pernah sirna, maka ubudiyah adalah sifat hamba
yang tak penah pisah. Sebagian Sufi bersyair :
Jika kau tanya padaku,
Aku berkata, “Inilah, aku hamba-Nya.”
Dan jika mereka tanya kepada-Nya,
Dia berkata, “Inilah, dia hamba-Ku.”
AN-Nashr Abadzy menegaskan : “Amal-amal ibadat lebih dekat pada
pencarian maaf dan ampunan atas kekurangan-kekurangan daripada
permohonan imbalan dan pahala.” Ia juga mengatakan, “Ubudiyah berarti
kehilangan kesadaran akan pengabdian ketika menyaksikan Yang Maha
Disembah.”
Al-Junayd mengatakan : “Ubudiyah adalah meninggalkan semua aktivitas
dan kesibukan dengan cara menyibukkan diri pada hal-hal yang
merupakan dasar kebebasan.”

24.
IRADAT
Edit : Pujo Prayitno
Firman Allah swt. :
“Dan janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru Tuhannya di
pagi hari dan di petang hari, sedang mereka menghendaki Wajah-Nya.” (Qs.
Al-An-aam :52).
Diriwayatkan oleh Anas r.a. Bahwasanya Rasulullah saw. bersabda :
“Jika Allah menghendaki kebaikan bagi seorang hamba, maka Dia akan
mempekerjakannya.” Seseorang bertanya : “Bagaimana Dia
mempekerjakannya, wahai Rasulullah?” Rasul menjawab : “Dia akan
memberinya pertolongan untuk amal saleh sebelum mati.” (H.r. Tirmidzi).
Kehendak (iradat) = (adalah konsentrasi kepda Allah swt. dalam suluk
menuju kesempurnaan tauhid. Satu upaya terpuji dan menjadi tuntutan
bagi hamba. Iradat ini sendiri hakikatnya bukan kehendak dirinya, dan
tidak ada pilihan atas maksudnya. Bahwa, seseorang berkonsentrasi
semata karena Kehendak Allah swt). adalah jalan permulaan para
penempuh dan nama tahapan pertama dari mereka yang menempuh jalan
menuju Allah swt. Sifat inni disebut “kehendak” (iradat) hanya karena
kehendak mendahului setiap masalah sedemikian rupa, sehingga bila
seorang hamba tidak meghendaki sesuatu, ia pun tidak akan
melakukannya. Manakala hal ini terjadi di awal langkah menuju Jalan
Allah swt, ia disebut “kehendak” dengan diserupakan pada keinginan yang
mendahului semua persoalan. Seorang murid mendapat sebutan demikian
karena ia mempunyai kehendak, sebagaimana halnya seorang ‘alim dsebut
demikian karena ia mempunyai ilmu. Kedua kata ini (iradat dan ilmu)
merupakan isim-isim musytaqat. Tetapi di lingkungan kaum Sufi, yang
mengehendaki (murid) identik dengan orang yang tidakk berkehendak itu
sendiri. Seseorang yang belum menaggalan kehendak dirinya bukanlah
seorang murid. Tetapi dalam pengertian bahasa, orang yang tidak
mempunyai kehendak bukanlah seorang murid.
Mayoritas orang telah berbicara tentang makna Iradat, masing-masing
mengungkapkan sesuai dengan kecenderungan hatinya. Sebagian besar
syeikh menjelasakan, ‘Iradat adalah berpisah dari praktik-praktik yang
menjadi kebiasaan.” Kebiasaan orang banyak adalah menghuni kelalaian,
cenderung pada ajakan hawa nafsu, terus menerus mengikuti angan-angan
kosong. Akan tetapi, seorang murid terlepas dari semua itu.
Keterlepasannya itu sendiri merupakan bukti keabsahan iradatnya. Leh
karenanya, keadaan demikian itu disebut iradat, karena ia terlepas dari
praktik-praktik kebiasaan.”
Hakikat iradat adalah kebangkitan kalbu dalam mencari Al-Haq. Karena itu
dikatakan, bahwa iradat merupakan keterpesonaan yang menyakitkan,
yang menbuat remeh setiap yang menakutkan.
Sebagian Syeikh menuturkan : “Suatu ketika aku hanya seorang diri di
padang pasir dan jiwaku merasa sangat tertekan, hingga aku berteriak,
“Wahai manusia, berbicaralah kepadaku. “Apakah yang engkau
kehendaki?” Aku menjawab : “Aku menhendaki Allah swt.” Suara itu
bertanya : “Kapankah engkau menghendaki Allah swt.?”
Maksudnya, orang yang memanggil-manggil manusia dan jin dengan kta-
kata : “Berbicaralah kepadaku!.” Bagaimana ia dapat disebut menghendaki
Allah swt.? Padahal sebagai seorang murid tidak akan pernah gentar dalam
kehendaknya baik siang maupun malam. Ia berjuang keras secara lahiriah,
ementara dalam batinnya menderita. Ia meninggalkan tempat tidurnya,
batinnya sibuk sepanjang waktu, menaggung kesulitan hidup, memikul
beban, mengembangkan sifat-sifat akhlak yang baik, meraih kerinduan
demi kerinduan, memeluk bencana, dan meninggalkan semua bentuk.
Seperti yang terkandung dalam sebuah syair :
Kulibas malam dengan gairahnya
Tiada harimau dan serigala-serigala
Yang menakutkan,
Rinduku tenggelam meluapi rahasia batinku
Dan betapa perindu selalu tergulung jiwanya.
Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq mengatakan : “Kehendak
(iradat) adalah keterpesonaan yang pedih dalam sanubari, sengatan dalam
hati, hasrat yang membara dalam sukma, gemuruh dalam batin, dan
kilauan-kilauan dalam jwa.”
Yusuf ibnu Husain menuturkan : “Abu Sulaiman dan Ahmad bin Abu al-
Hawary mengadakan perjanjian bahwa Ahmad tidak akan menentang
perintah Abu Sulaiman dalam semua hal. Pada suatu hari ia menemui Abu
Sulaiman ketika yang tersebut belakangan ini sedang berbicara di
majelisnya. Ahmad melaporkan : “Tungku sudah menyala, apa
perintahmu?” Abu Sulaimman diam, tidak menjawab; Ahmad mengulangi
perkataannya hingga tiga kali, akhirnya Abu Sulaiman berkata, dengan
nada seakan-akan jengkel kepadanya : “Pergilah kamu dan duduk di
atasnya saja!” Lalu sejenak ia lupa akan Ahmad. Ketika ingat, Abu
Sulaiman segera memerintahkan : “Lekas jemput Ahmad! Ia ada di atas
tungku, sebab ia telah berjanji pada dirinya untuk tidak menentang
perintahku.” Maka orang-orang pun pergi mencari Ahmad, dan mereka
menemukannya di dalam tungku, tanpa sehelai rambut pun terbakar.”
Dikatakan : “Di antara sifat-sifat murid adalah bahwa ia senang melakukan
shalat sunnah, ikhlas dalam menasihati ummat, sukacita dalam khalwat,
dan sabar dalam menanti aturan, memprioritaskan kepentingan Allah swt,
memiliki rasa malu di hadapan-Nya, rajin mengerjakan apa yang
disenangi-Nya, mengerjakan apa yang dapat membawa kepada-Nya,
qana’ah dengan menyembunyikan diri dari orang lain, dan hatinya selalu
mengalami kegelisahan sampai ia wushul kepada Tuhan-Nya.”
Abu Bakr Muhammad al-Warraq mengatakan : “Ada tiga hal yang menyiksa
hati seorang murid. Pernikahan, menulis hadis dan perjalanan.” Seseorang
bertanya kepadanya : “Mengapa engkau berhenti menulis hadis?” Ia
menjawab : “Kehendak mencegahku untuk melanjutkan pekerjaan itu.”
Hatim al-Asham mengajarkan : “Jika engkau datang kepada seorang murid
yang menginginkan sesuatu selain yang dikehendaki, yakinlah bahwa ia
telah melanjutkan kerendahan dirinya.”
Al-Kattany berkata : “Aturan hidup yang layak bagi seorang murid
mencakup hal-hal sebagai berikut : tidur hanya jika sangat mengantuk,
makan hanya ketika sangat lapar, dan berbicara hanya manakala terpaksa
.”
Al-Junayd mengatakan : “Manakala Allah menghendaki kebaikan bagi
seorang murid, Dia akan membawanya ke lingkungan para Sufi dan
menjauhkannya dari kaum ulama pembaca buku .”
Abu Ali ad-Daqqaq mengatakan : “Pangkal iradat, engkau melakukan
isyarat menuju Aeorang murid tidak dapat disebut murid sampai malaikat
di sisi kirinya tidak mencatat selama duapuluh tahun.”
Abu Utsman al-Hiry menegaskan : “Jika murid mendengar suatu tentang
ilmu kaum Sufi, dan mengamalkannya, ilmu itu menjadi hikmah dalam
hati hingga akhir hayatnya. Jika berbicara tentang  hikmah itu, orang yang
mendengarnya memperoleh manfaat. Orang yang mendengar sesuatu
tentang ilmu mereka, namun tidak berbuat sesuai dengannya, hanyalah
sebuah hikayat yang kelak akan dilupakannya.”
Al-Wasithy berkomentar : “Tahapan pertama seorang murid adalah
kehendak Allah swt. yang menggugurkan kehendaknya sendiri.”
Yahya bin Mu’adz mengatakan : “Hal terlusit bagi para murid adalah
bergaul dengan orang-orang yang menentang mereka.”
Yusuf bin al-Husain mengatakan : “Jika engkau melihat seorang murid
terlibat dalam usaha mencari penghidupan serta pekerjaan-pekerjaan
halal, tetapi tidak sesuai dengan ketaatan aturan hukum, yakinlah bahwa
tidak sesuatu hasil yang akan muncul darinya.”
Seseorang bertanya kepada al-Junayd : “Apakah baik bagi seorang murid
untuk mendengarkan cerita-cerita?” Ia menjawab : “Cerita-cerita adalah
salah satu tentara Allah, yang menguatkan kalbu para murid.” Kemudian
ditanyakan lagi kepadanya : “Adakah dalil yang mendukung ucapanmu
itu?” Al-Junayd menegaskan : “Ya, dalilnya adalah firman Allah swt. : “Dan
semua kisah Rasul-rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang
dengannya Kami teguhkan hatimu.” (Qs. Huud :120).
Al-Junayd mengatakan : Seorang murid yang tulus tidak membutuhkan
ilmu pengethuan para ulama.” Perbedaan antara yang berkehendak
(murid) dan yang dikehendaki (murad), bahwa pada hakikatnya setiap
murid sesungguhnya adalah juga murad. Jika ia bukan yang dikehendaki
Allah swt. niscaya tidak akan menjadi murid, sebab tiada sesuatu pun
dapat terjadi kecuali dengan kehendak Allah swt. Selanjutnya, setiap
murad adalah juga murid, sebab jika Allah menghendaki secara khusus,
Dia akan menganugerahinya keberhasilan dalam memiliki iradat
(terhadap-Nya).”
Akan tetapi, kaum Sufi membedakan antara murid dan murad. Menurut
mereka, murid adalah seorang pemula. Sedangkan murad berada pada
pangkalnya. Murid dibimbing melakukan pekerrjaan-pekerjaan yang
menguras tenaga dan diterjunkan ke dalam kancah kesulitan; bagi seorang
murad, satu perintah dari Allah swt. saja sudah mencukupi, tanpa
menimbulkan kesulitan bagi dirinya. Murid dipaksa untuk bekerja keras,
sedangkan murad dianugerahi kenyamanan dan ketenteraman.
Sunnatullah bagi para penempuh cita-cita beraneka ragam. Mayoritas
mereka berselaras melalui mujahadah, dan setelah mengalami kesulitan
yag berkepanjangan, akhirnya berhasil mencapai kebenaran hakiki yang
agung. Tetapi sebagian besar dari mereka yang diperlihatkan keagungan
kebenaran hakiki pada aalnya, belum dicapai oleh mereka yang
mengerjakan banyak olah ruhani, tetapi sebagian besar dari mereka
kembali lagi, dan mujahadah setelah mendapatkan anugerah bersama
mereka riyadhah, agar selaras garis-garis ketentuannya.
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq menjelaskan : “Murid menanggung, sedangkan
murad ditanggung.” Ia juga berrkomentar : “Musa, as. Adalah seorang
murid sebab beliau berrkata : “Wahai Tuhanku, lapangkanlah dadaku!.”
(Qs. Thaha :25), Nabi kita Muhammad saw. adalah seorang Murad, sebab
Allah swt. berfirman mengenai diri beliau : “Tidakkah Kami telah
melapangkan dadamu? Dan Kami telah menghilangkan dariapdamu
bebanmu, yang memberatkan punggungmu? Dan Kami tinggikan bagimu
sebutan (nama)mu?” (Qs. Al-Insyirah : 1-4). Nabi Musa as. Juga memohon :
“Ya Tuhanku, tampakkanlah (Diri Mu) kepadaku agar aku dapat melihat
kepada Engkau!” Allah swt. berfirman : “Kamu sekali-kali tidak akan
sanggup melihat-Ku.” (Qs. Al-A’raf : 143), Allah swt. berfirman kepada Nabi
kita : “Apakah kamu tidak melihat kepada Tuhanmu, bagaimana Dia
memanjangkan bayang-bayang?” (Qs. Al-Furqan :45). Kata-kata : “Apakah
kamu tidak melihat kepada Tuhanmu?” dan : “Bagaimana Dia
memanjangkan bayang-bayang?” Dimaksudkan sebagai tabir bagi cerita
yang sebenarnya dan sebagai sarana untuk memperkuat keadaannya.”
Ketika Al-Junayd ditanya tentang  murid dan murad, ia menjawab : “Murid
dikendalikan oleh aturan-aturan dan ketetapan-ketetapan ilmu, sedangkan
murad ddikendalikan oleh pemeliharaan dan perlindungan Allah swt.
Murid berjalan; sedang murad terbang. Bilakah manusia pejalan mampu
menyusul yang terbang.?”
Dzun Nuun mengirim seseorang kepada Abu Yazid dengan pesan :
“Tanyakan kepada Abu Yazid.” Berapa lama tidur dan kesantaian ini,
padahal kafilah telah berlalu?” Abu Yazid mengirimkan jawabannya :
“Katakan kepada saudaraku Dzun Nuun. : “Seorang laki-laki adalah yang
tidur sepanjang malam kemudian bangun diperhentian sebelum kafilah
tiba.” Dzun Nuun berseru : “Hebat! Inilah ucapan yang belum sampai pada
keadaan kita.”

25.
ISTIQAMAH
Edit : Pujo Prayitno
Allah swt. berfirman :
“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan : “Tuhan kami adalah Allah,
kemudian mereka amengeluhkan penderitaan mereka, maka malaikat
akan turun kepada mereka, ‘Hendaknya kamu sekalian tidak takut dan
tidak gelisah, dan hendaknya kamu sekalian bergembira dengan surga
yang telah dijanjikan untuk kamu sekalian.” (Qs. Fushilat :30).
Riwayat dari Tsauban, bekas budak Rasulullah saw. menuturkan bahwa
Rasulullah saw. bersabda :
“Berteguh hatilah (istiqamahlah) kamu, meskipun kamu tidak akan mampu
melakukan sepenuhnya. Ketahuilah bahwa bagian terbaik dari agamamu
adalah shalat, dan tiada seorang yang akan memelihara wudhu, kecuali
orang yang beriman.” (H.r. Ahmad, Ibnu Majah, Hakim dan Baihaqi).
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkata : “Istiqamah adalah derajat yang
menjadikan urusan-urusan seseorang menjadi baik dan sempurna, dan
memungkinkannya untuk mencapai manfaat-manfaat secara tetap dan
teratur. Upaya dan perjuangan orang yang tidak teguh hati akan sia-sia.”
Allah swt. berfirman :
“Dan janganlah kamu seperti seorang wanita yang menguarikan
benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi cerai berai kembali.”
(Qs. An-Nahl :92).
Orang yang tidak istiqamah dalam keberadaannya tidak akan pernah
meningkat dari satu tahapan ke tahapan maqam berikutnya, dan suluknya
tidak akan kokoh.
Salah satu persyartan istiqamah dalam hukum kepemulaan. Sebagaimana
bagi ‘arifin, istiqamah merupakan pangkalnya. Tanda istiqamah dari
mereka yang mulai menempuh suluk adalah bahwa amal-amal lahiriah
mereka tidak tercemari oleh kesenjangan. Bagi mereka yang berada pada
tahap pertengahan (ahlul wasaith) adalah bahwa tidak ada kata “berhenti”.
Tanda istiqamah mereka yang berada pada tahap akhir adalah, bahwa
tidak ada tabir yang melindungi mereka dan kelanjutan wushulnya.
Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq menjeaskan : “Ada tiga derajat
istiqamah. Menegakkan segala sesuatu (takwim), meluruskan segala
sesuatu (iqamah) berlaku teguh  (istiqamah). Taqwim menyangkut disiplin
jiwa; iqamah berkaitan dengan penyempurnaan hati; dan istiqamah
berhubungan dengan tindak mendekat kepada Allah dengan jalan sirri.”
Abu Bakr ash-Shiddiq. Ra. Berkomentar : “Makna firman-Nya .... kemudian
mereka ber istiqamah.’ Adalah bahwa mereka tidak menyekutukan Allah
swt. dengan sessuatu pun.” Umar bin Khaththab r.a. mengajarkan :
“:Artinya : “mereka tidak menipu orang lain seperti rubah.”
Pendpat Abu Bakr merujuk pada pelaksanaan prinsip-prinsip tauhid,
sedangkan pendapat Umar merujuk kepada sikap mencegah diri dari
penafsiran-penafsiran yang dipaksakan, dan pelaksanaan syarat-syarat
perjanjian.
Ibnu Atha’ mengatakan bahwa ayat di atas berarti : “Mereka istiqamah
dalam membatasi hati mereka kepada Tuhan.”
Abu Ali al-Juzajany berkata : “Jadilah pemilik istiqamah, bukan pencari
karamah. Sebab nafsumu masih berkutat mencari karamah, padahal Allah
swt, menuntutmu istiqamah .
Abu Ali asy-Syabbuwy menuturkan : “Aku bermimpi bertemu dengan Nabi
saw. dan aku berkata kepada Beliau : “Dikabarkan bahwa Paduka bersabda
: “Surat Huud telah membuat rambutku menjadi putih.” Apakah (rambut
Paduka menjadi putih karena) kisah-kisah para Nabi ataukah karena
dimusnahkannya ummat-ummat (zaman dahulu?) Beliau menjawab :
“Bukan, melainkan karena firman Allah swt.”
“Maka beristiqamahlah kamu sebagaimana kamu telah diperintah!.” (Qs.
Huud :112).
Dikatakan : Hanya orang-orang besar saja yang dapat memelihara
istiqamah, sebab hal ini meninggalkan perkara yang sebelumnya
disepakati dan meninggalkan adat serta kebiasaan, menegakkan ketulusan
secara esensial di sisi Allah swt. Karena itu, Nabi saw. bersabda :
“Beristiqamahlah kamu, mekipun kamu sekalian tidak akan mampu
melakukan sepenuhnya!.”
Al-Wasithy mengatakan :Istiqamah adalah sifat akhlak sempurna, tanpa
istiqamah akhlak akan menjadi buruk.”
Asy-Syibly mengatakan : “Istiqamah berarti engkau menghadapi setiap
waktu, sebagai wahana bangkitnya.”
Dikatakan : “Istiqmah dalam berbicara berarti meninggalkan perbuatan
menggunjing orang, dalam tindakan berarti menjauhi bid’ah, dalam amal
saleh berarti meninggalkan kemalasan dan dalam keadaan (haal) batin ia
berarti menyingkap hijan.”
Saya mendengar Syeikh Abu Bakr Muhammad bin al-Hasan bin Furak
menjelaskan : “Huruf siin dalam lafadz ‘istiqamah’ adalah siin pencapaian.
Artinya, mereka memohon istiqamah dalam bertauhid, kemudian dalam
menepati janji, dan dalam menjaga batas-batas perilaku mereka sesuai
dengan ketetapan Allah swt.”
Ketahuilah bahwa istiqamah melahirkan ketetapan akan karamah. Allah
swt. berfirman :
“Jikalau mereka tetap berjalan lurus (istiqamah) di atas tharikat itu,
niscaya Kami akan memberi mereka minum dengan air yang berlimpah.”
(Qs. Al-Jin :16),
Allah swt, tidak berfirman : “Kami akan membairkan mereka minum.”
Melainkan : “Kami akan memberi mereka minum dengan air yang
berlimpah.” Yang menunjukkan keabadiannya.
Al-Junayd berkata : “Aku berjumpa denegan salah seorang penempuh jalan
Allah (salik) di padang pasir di bawah sebatang, dialah Ummu Ghailan.
Kutanyakan kepadanya : “Mengapa Anda duduk di situ? Ia menjawab :
“Ada peristiwa, aku kehilangan sesuatu, dan aku berlalu meninggalkannya.
Ketika aku kembali dari ibadat haji, aku bersama pemuda, kutemukan
barang tersebut telah berpindah ke sebuah tempat yang lebih dekat ke
pohon itu.” Aku bertanya : “Mengapa Anda duduk di sini?” Ia menjawab :
“Aku telah menemukan apa yang telah kucari di tempat ini, jadi tetap saja
aku duduk di sini.” Al-Junayd berkata : “Aku tidak tahu mana yang lebih
mulia, kegigihannya karena kehilangan keadaan, atau keteguhan hatinya
tinggal di tempat di mana ia telah mencapai kehendaknya.”

26.
IKHLAS
Edit : Pujo Prayitno
Friman Allah swt. :
“Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik).” (Qs.
Az-Zumar :3).
Anas bin Malik r.a menuturkan bahwa Rasulullah saw. bersabda :
“Belenggu tidak akan masuk ke dalam hati seorang Muslim jika ia menetapi
tiga perkara. Ikhlas beramal hanya bagi Allah swt. memberikan nasihat
yang tulus kepada penguasa, dan tetap berkumpul dengan masyarakat
Muslim.” (Hr. Ahmad, dikategorikan shahih oleh Ibnu Hibban dan Ibnu
Hajar).
Ikhlas berarti bermaksud menjadikan Allah set. Sebagai Satu-satunya
sesembahan. Sikap taat diaksudkan adalah taqarrub kepada Allah swt.
mengesampingkan yang lain dari makhluk, apakah itu sifat memperoleh
pujian atau pun peghormatan dari manusia. Atatupun konotasi kehendak
selain taqarrub kepada Allah swt. semata. Dapat dikatakan : “Keikhlasan
berarti menyucikan amal-amal perbuatan dari campur tangan sesama
makhluk.” Dikatakan juga “Keikhlasan berarti melindungi diri sendiri dari
urusan individu-individu manusia.”
Nabi saw. ditanya, apakah ikhlas itu? Nabi saw. bersabda :
“Aku bertanya kepada Jibril as. Tentang ikhlas, apakah ikhlas itu? Lalu
Jibril berkata : “Aku bertanya kepada Tuhan Yang Maha Suci tentang ikhlas,
apakah sebenarnya? Allah swt. menjawab “Suatu rahasia dari rahasia-Ku
yang Aku tempatkan di hati hamba-hamba-Ku yang kucintai.” (Hr. Al-
Qazwini, riwayat dari Hudzaifah).
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkata : “Keikhlasan adalah menjaga diri dari
campur tangan makhluk, dan sifat shidq berarti membersihkan diri dari
kesadaran akan diri sendiri. Orang yang ikhlas tidaklah bersikap riya’ dan
orang yang jujur tidaklah takjub pada diri sendiri.”
Dzun Nuun al-Mishry berkomentar : “Keikhlaan hanya tidak dapat
dipandang sempurna, kecuali dengan cara menetapi dengan sebenar-
benarnya dan bersabar untuknya. Sedangkan jujur hanya dapat dipenuhi
dengan cara berikhlas secara terus menerus.”
Abu Ya’qub as-Susy mengatakan : “Apabila mereka melihat keikhlasan dan
dalam keikhlasannya, maka keikhlasan mereka itu memerlukan keikhlasan
lagi.”
Dzun Nuun al-Mishry menjelaskan : “Ada tiga tanda keikhlasan. Manakala
orang yang bersangkutan memandang pujian dan celaan manusia
samasaja; melupakan amal ketika beramal; dan jika ia lupa akan haknya
untuk memperoleh pahala di akhirat karena amal baiknya.”
Aengenai ikhlas manusia pilihan (khawwash), keikhlasan datang kepada
mereka bukan dengan perbuatan mereka sendiri. Amal kebaikan lahir dari
mereka tetapi mereka amenyadari perbuatan baiknya bukan dari diri
sendiri, tidak pula peduli terhadap amalnya. Itulah keikhlasan kaum
pilihan.”
Abu Bakr ad-Daqqaq menegaskan : “Cacat keikhlasan dari masing-masing
orang yang ikhlas adalah penglihatannya akan keikhlasannya itu. Jika
Allah swt. menghendaki untuk memurnikan keikhlasannya. Dia akan
menggugurkan keikhlasannya dengan cara tidak memandang
keikhlasannya sendiri dan jadilah ia sebagia orang yang diikhlaskan Allah
swt. (mukhlash) bukannya berikhlas (mukhlish).”
Sahl berkata : “Hanya orang yang ikhlas (mukhlish) sajalah yang
mengetahui riya.”
Abu Sa’id al-Kharraz menegaskan : “Riya kaum ‘arifin lebih baik daripada
ikhlas para murid.”
Dzun Nuun berkata : “Kekikhlasan adalah apa yag dilindungi dari
kerusakan musuh.”
Abu Utsman mengatakan : “Keikhlasan adalah melupakan padnangan
makhluk melalui perhatian yang terus menerus kepada khlaik.”
Huszaifah al-Mar’asyi berkomentar : “Keikhlasan berarti bahwa perbuatan-
perbuatan si hamba adalah sama, baik lahir maupun batinnya.”
Dikatakan : “Keikhlasan adalah sesuatu yang dengannya Allah swt.
berkehendak dan dimaksudkan tulus dalam ucapan serta tindakan.”
Dikatakan pula : “Keikhlasan berarti mengikat diri sendiri pada kesadaran
akan perbuatan baik.”
As-Sary mengatakan : “Orang yang menghiasi dirinya di hadapan manusia
dengan sesuatu yang bukan miliknya, berarti tercampak dari penghargaan
Allah swt.”
Al-Fudhail berkata : “Menghentikan amal-amal baik karena manusia
adalah riya’, dan melaksanakannya karena manusia adalah musyrik. Ikhlas
berarti Allah menyembunyikan dari dua penyakit ini.”
Al-Junayd mengatakan : “Keikhlasan adalah rahasia antara Allah dengan si
hamba. Bahkan malaikat pencatat tidak mengetahui sedikit pun
mengenainya untuk dapat dituliskannya, setan tidak mengetahuinya
hingga tidak dapat merusaknya, nafsu pun tidak menyadarinya sehingga ia
tidak mampu mempengaruhinya .”
 Ruwaym menjelaskan : “Ikhlas dalam beramal kebaikan berarti bahwa
orang yang melakukannya tidak menginginkan pahala baik di dunia
maupun di akhirat.”
Dikatakan kepada Sahl bin Abdullah : “Apakah hal terberat pada diri
manusia? Ia menjawab : “Keikhlasan, sebab diri manusia tidak punya
bagian di dalamnya.”
Ketika ditanya tentang ikhlas, salah seorang Sufi menjawab : “Ikhlas berarti
engkau tidak memanggil siapa pun selain Allah swt. untuk menjadi saksi
atas perbuatanmu.”
Salah seorang Sufi menuturkan : Aku menemui Sahl bin Abdullah pada
hari Jum’at di rumahnya sebelum shalat. Ada seekor ular di rumahnya,
hingga aku ragu-ragu berdiri di pintu. Ia berseru : Masuklah! Tidak seorang
pun dapat mencapai hakikat iman jika ia masih takut pada sesuatu pun di
atas bumi.” Kemudian ia bertanya. “Apakah engkau hendak mengikuti
shalat Jum’at? Aku menjawab “Jarak dari sini ke masjid di depan kita
adalah sejauh perjalanan sehari semalam. Maka Sahl lalu menggandeng
tanganku, dan sesaat kemudian kami telah berada di masjid itu. Kami
masuk ke dalam dan shalat, kemudian keluar. Sahl berdiri di sana, melihat
ke arah orang banyak, dan berkata : Banyak orang mengucapkan “Laa
ilaaha Illallaah”. Tapi yang ikhlas amatlah sedikit.”
Makhul berkata : “Tidak seorang pun hamba yang ikhlas seama empat
puluh hari, kecuali akan mendapatkan sumber hikmah memancar dari hati
pada lisannya.”
Yusuf bin al Husain berkomentar : “Milikku yang paling berharga di atas
dunia inni adalah keikhlasan. Betapa seringnya aku telah berjuang untuk
membebaskan hatiku dari riya’ namun setiap kali aku berhasil, ia muncul
dalam warna yang lain!.”
Abu Sulaiman berkata : “Jika seorang hamba berikhlas, maka terpotonglah
waswas dan riya”.

27.
KEJUJURAN
Edit : Pujo Prayitno
Allah swt. berfirman :
“Wahai orang-orang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah
kamu bersama orang-orang yang jujur.” (Qs. At-Taubah :19).
Diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas’ud bahwa Rasululah saw. bersabda :
“Jika seorang hamba tetap bertindak jujur dan berteguh hati untuk
bertindak jujur, maka ia akan ditulis di sisi Allah sebgaia orang yang jujur,
dan jika ia tetap berbuat dusta dan berteguh hati untuk berbuat dusta,
maka ia akan ditulis di sisi Allah sebagai pendusta.” (Hr. Abu Dawud dan
Tirmidzi).
Kejujuran (shidq) adalah tiang penopang segala persolana, dengannya
kesempurnaan dalam menempuh jalan ini tercapai, dan melaluinya pula
ada tata aturan. Kejujuran mengiringi derajat kenabian, sebagaimana
difirmankan Allah swt. :
“.... Maka mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang
dianugerahi nikmat oleh Allah yaitu para Nabi dan orang-orang yang
menetapi kejujuran (Shiddiqin) para syuhada’ dan orang-orang ssaleh.” (Qs.
An-Nisa’ :69).
Kata Shidq (orang yang jujur) berasal dari kata Shidq (kejujuran). Kata
Shiddiq adalah bentuk penekanan (mubalaghah) dari shadiq, dan berarti
orang yang didominasi oleh kejujuran. Demikian juga halnya dengan kata-
kata lain yang bermakna penekanan, seperti sikkir dan pemabuk, yang
penuh anggur (khimmir). Derajat terendah kejujuran adalah bila batin
seseorang selaras dengan perbuatan lahirnya. Shadiq adalah orang yang
benar dalam kata-katanya. Shiddiqy adalah orang yang benar-benar jujur
dalam semua kata-kata, perbuata dan keadaan batinnya.
Ahmad bin Khadhrawaih mengajarkan : “Barangsiapa ingin agar Allah
bersamanya, hendaklah ia berpegang teguh pada kejujuran, sebab Allah
swt. bersama-sama orang yang jujur.”
Al-Junayd berkata : “Orang yang jujur berubah empat puluh kali dalam
sehari, sedangkan orang riya’ tetap berada dalam satu keadaan selama
empat puluh tahun.”
Abu Sulaiman ad-Darany mengatakan : “Jika orang yang jujur ingin
menggambarkan apa yang ada dalam hatinya, maka lisannya tidak akan
mengatakannya.”
Dikatakan : “Bersikap jujur berarti menegaskan kebenaran, meskipun
terancam kebinasaan.”
An-Naqqad mengatakan : “Sikap jujur berarti mencegah kedua rahang
(syidq) dari mengucapkan apa yang terlarang.”
Abdul Wahid bin Zaid berkomentar : “Sikap benar adalah setia kepada
Allah swt. dalam tindakan,”
Sahl bin Abdullah mengatakan : “Seorang hamba yang menipu diri sendiri
atau orang lain tidak akan mencium harum semerbaknya kebenaran. ”
Abu Sa’id al-Qurasyi mengatakan : “Orang yang jujur adalah orang yang
siap mati dan tidak akan malu jika rahasianya diungkapkan. Allah swt.
berfirman : “Maka, inginkanlah kematian, jika kamu orang-orang yang
jujur.” (Qs. Al-Baqarah :94).
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq menuturkan : “Suatu hari Abu Ali ats-Tsaqafy
sedang memberikan pelajaran, tiba-tiba Abdullah bin Munazil berkata
kepadanya : “Wahai Abu Ali, siapkanlah diri Anda untuk mati, sebab tidak
ada jalan untuk lari darinya. “Abu Ali menjawab : “Dan Anda, wahai
Abdullah, siapkanlah diri untuk mati, sebab tidak ada jalan lari darinya.
‘Maka disaat itulah Abdullah merebahkan diri, membentangkan kedua
tangannya, menundukkan kepalanya dan mengatakan : “Aku mati
sekarang.” Abu Ali pun diam terpaku karenanya, dimana dirinya tidak
mampu menandingi apa yang dilakukan Abdullah, karena Abu Ali masih
terpaut pada dunia, sedangkan Abdullah telah terbebas dari ikatan dunia.”
Ahmad bin Muhammad ad-Dainury sedang berbicara di hadapan
sekumpulan orang ketika seorang wanita di antara mereka berteriak, Abu
Abbas memarahinya dengan kata-kata : “Matilah engkau!” Wanita itu
bangkit, maju beberapa langkah, berpaling kepadanya dan berkata, “Aku
telah mati.” Kemudian ia jatuh ke tanah dan mati.”
Al-Wasithy berkata : “Kejujuran adalah keyakinan yang kokoh terhadap
tauhid bersama-sama dengan niat.”
Dikatakan : “Abdul Wahid bin Zaid memandang kepada seorang pemuda di
antara para sahabtnya, yang bertubuh kurus kering, dan Abdul Wahid
bertanya kepadanya : “Apakah engkau telah terlalu lama memperpanjang
puasamu?” Pemuda itu menjawab : “Aku juga bukan memperpanjang
berbuka. Kemudian Abdul Wahid bertanya : Apakah engkau telah
memperpanjang waktu bangun untuk shalat malammu?” Pemuda itu
menjawab : Bukan, bukan pula aku telah memperpanjang tidur.” Lalu
Abdul Wahid pun bertanya : Apakah yang telah membuatmu begitu
kurus?” Pemuda itu menjawab : “Hasrat yang selalu berkobar dan rahasia
terpendam yang abadi.” Abdul Wahid berseru, Dengarlah! Betapa
beraninya pemuda ini!. Pemuda itu lalu berdiri, maju dua langkah dan
berteriak : “Ya Allah, jika aku memang tulus, ambillah nyawaku sekarang
juga!” lalu ia pun jatuh dan meninggalkan dunia ini.”
Abu Amr az-Zajjajy menuturkan : Ibuku meninggal, dan aku mewarisi
sebuah rumah beliau. Aku menjualnya dengan harga limapuluh dinar dan
kemudain berangkat menunaikan ibadah haji. Setiba di Babilonia, seorang
penggali saluran air bertanya kepadaku : “Apa yang engkau bawa ?” Aku
berkata dalam hati : “Kejujuran adalah yang terbaik.” Dan aku menjawab :
“Uang lima puluh dinar.” Ia berkata : “Serahkanlah kepadaku!” Maka
akupun memberikan kantong uangku kepadanya. Dihitungnya jumlah
semua uang di dalamnya, dan ternyata memang ada limapuluh dinar.
Berkatalah ia : “Ambillah kembali uangmu!” Kejujuranmu menyentuh
hatiku.” Lalu ia turun dari kudanya dan berkata : “Niaklah kudaku” Aku
balik berkata : Aku tidak menginginkannya.” Ia berkata : “Harus...!” dan
terus memaksaku menaiki kudanya. Kahirnya setelah aku bersedia naik di
atasnya, ia berkata : Aku di belakangmu.” Satu tahun kemudian ia berhasil
menyusulku, dan tinggal bersamaku hingga akhir hayatnya.”
Ibrahim al-Khawwas menjelaskan : “Orang jujur tidak memandang kecuali
kewajiban yang harus ditunaikan, atau ibadat utama bagi Allah swt.”
Al-Junayd berkata : “Inti kejujuran adalah bahwa engkau berkata jujur di
wilayah yang, apabila seseorang berkata jujur tidak akan selamat kecuali
berdusta.”
Dikatakan : “Tiga hal tidak penah lepas dari seorang jujur ucapannya,
kehadiran yang kharismatis dan pancaran taat di wajahnya.”
Dikatakan pula “Allah swt. bersabda kepada Daud as. : “Wahai Daud,
barangsiapa menereima apa yang kukaakan dengan sejujurnya dalam
hatinya niscaya Aku akan mengukuhkan sifat jujur di kalangan makhluk
manuisa dalam lahiriahnya.”
Dikatakan Ibrahim bin Dawhah memasuki padang pasi bersma Ibrahim
bin Sitanbah. Kata Ibnu Dawhah : “Ibnu Sitanbah mengatakan kepadaku :
“Campakkanlah segala apa yang mengikatmu!.” Aku melemparkan segala
sesuatu yang ada padaku, kecuali uang satu dinar. Lalu ia berkata : “Wahai
Ibrahim, janganlah engkau membebani pikiranku!. Campakkanlah
keerikatanmu! Maka dinar itu pun lalu kulemparkan. Tapi lagi-lagi ia
mengatakan. Wahai Ibrahim, campakkanlah keterikatanmu!” Lalu aku
ingat bahwaaku masih memiliki beberapa tali sandal cadangan, yang lalu
kulemparkan juga. Selanjutnya, dalam perjalananku, setiap kali aku
memerlukan tali sandal, maka muncullah seutas tali sandal di hadapanku.
Ibrahim bin Sitanbah mengatakan : “Inilah orang yang beramal dengan
Allah swt. secara jujur.”
Dzun Nuun al-Mishry berkata : “Kejujuran adalah pedang Allah, tidak satu
pun di letakkan padanya, kecuali akan terpotong.
Sahl bin Abdullah mengataka : “Awal penghianatan orang-orang jujur
adalah menculnya keraguan dengan dirinya.”
Ketika ditanya tentang kejujuran, Fath al-Maushaly memasukkan
tangannya ke dalam bara api seorang tukang besi. Mengambil sebatang
besi yang merah membara, meletakkannya di telpak tangannya dan
berkata : “Inilah kejujuran!”
Yusuf bin Asbat berkata : “Aku lebih suka menghabiskan waktu semalam
bersama Allah swt. dalam kejujuran jiwa daripada berperang dengan
pedangku di Jalan-Nya.”
Abu Ali ad-Daqqaq menegaskan : “Kejujuran adalah seperti engkau
menganggap dirimu sebagaimana adanya, atau engkau dilihat seperti apa
adanya dirimu.”
Ketika al-Harits al-Muhasiby ditanya tentang tanda-tanda kejujuran, ia
menjawab : “Orang yang jujur adalah orang yang manakala tidak peduli
akan ketergantungan kalbu manusia kepada dirinya, tidak pula senang atas
ketergantungan kalbu manusia kepada dirinya, tidak pula senang atas
jasanya kepada manusia untuk dilihat, dan juga tidak peduli apakah
popularitasnya di antara manusia akan lenyap. Ia bahkan tidak membenci
bila perbuatan buruknya dilihat oleh orang banyak, Jika ia benci, ia perlu
menambah imannya. Dan yang demikian itu bukanlah ciri akhlak orang-
orang jujur.”
Salah seoran Sufi berkomentar : “Jika seseorang tidak memenuhi satu
kewajiban agama yang abadi, maka pelaksanaan keajiban-kewajiban
agamanya sesuai dengan waktu yang telah ditetapkeseorang bertanya :
“Apakah kewajiban agama yang abadi itu?” Ia menjwab : “Kejujuran.”
Dikatakan : “Jika engkau mencari Allah swt. dalam kejujuran, niscaya Dia
akan memberimu cermin yag di dalamnya engkau akan melihat semua
keajabiban dunia dan akhirat.”
Dikatakan : “Engkau harus berlaku jujur ketika merasa takut bahwa hal itu
akan mencelakakanmu, padahal itu akan bermanfaat bagimu. Janganlah
menipu ketika engkau mengira hal itu akan menguntungkanmu, padahal
pasti ia akan merugikanmu.”
Dikatakan juga : “Tiap-tiap sesuatu punya arti, tapi persahabatan seorang
pendusta tidak berarti apa-apa.”
Dikatakan : “Tanda seorang pendusta adalah kegairahannya untuk
bersumpah sebelum hal itu dituntut darinya.”
Ibnu Sirin mengatakan : “Lingkup pembicaraan itu demikian luas hingga
(sebetulnya) orang tidak perlu berdusta.”
Dikatakan : “Seorang pedagang yang jujur tidak pernah melarat.”
28.
MALU
Edit : Pujo Prayitno
Firman Allah swt. :
“Tidakkah ia mengetahui bahwa sesungguhnya Allah melihat segala
perbuatannya?” (Qs. Al-‘Alaq :14).
Diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw. telah bersabda
:
“Malu adalah sebagian dari iman.” (H.r. Tirmidzi).
Juga sabda beliau suatu hari kepada para sahabtnya :
“Malulah kamu sekalian di hadapan Allah dengan malu yang sebenar-
benarnya.” Mereka berkata : “Tapi kami sudah merasa malu, wahai Nabi
Allah, dan segala puji bagi-Nya!.” Beliau bersabda : “Itu bukanlah malu
yang sebenarnya. Orang yang ingin malu dengan sebenar-benarnya di
hadapan Allah swt. hendaklah menjaga pikiran dan bisikan hatinya,
hendaklah ia menjaga perutnya dan apa yang dimakannya, hendaklah ia
mengingat mati dan fitnah kubur. Orang yang menghendaki Akhirat
hendaklah meninggalkan perhiasan-perhiasan kehidupan duniawi. Orang
yang melakukan semua ini. Berarti ia memiliki rasa malu yang sebenarnya
di hadapan Allah.” (H.r. Tirmidzi dan Hakim dan dishahihkan oleh Al-
Hakim).
Sebagian hukama’ mengajarkan : “Jagalah agar malu tetap hidup dalam
hatimu dengan cara berteman dengan orang yang dipermalukan orang
lain.”
Ibnu Atha’ menegaskan : “Bagian terbesar dari ilmu adalah rasa gentar dan
malu. Jika yang dua ini lenyap, tiada lagi kebaikan.”
Dzun Nuun al-Mishry berkata : “Malu berarti bahwa engkau merasakan
kegentaran dalam hatimu, sangat takut akan masa lalu yang telah engkau
lakukan di hadapan Allah swt.” Ia juga mengatakan : “Cinta membuat
orang berbicara, malu membuat orang terdiam, dan takut membuat orang
gelisah.”
Abu Utsman mengatakan : “Orang yang berbicara tentang malu, namun
tidak merasa malu di hadapan Allah swt, berarti telah terkena istidraj.”
Abu Bakr bin Asykib menuturkan bahwa al-Hasan bin al-Haddad datang
kepada Abdullah bin Munazil, yang menanyakan kepadanya, “Anda datang
dari mana?” Ia menjawab : “ Dari majelis Abul Qasim sang pengingat.”
Abdullah bertanya kepadanya : “Apa topik pembicaraannya?” Dijawabnya :
“Tentang malu.” Abdullah berkomentar : “Menkajubkan sekali, bahwa
orang yang belum pernah merasa malu di hadapan Allah dapat berbicara
tentang malu?”
As-Sary berkata : “Malu dan sukacita ruhani masuk ke dalam hati
seseorang. Jika keduanya menemukan wara’ dan zuhud, maka mereka
akan menetap. Jika tidak, mereka akan meneruskan perjalanan.”
Al-Jurairy mengabarkan : “Pada generasi pertama Kaum Muslimin, orang
mengamalkan agama sampai agama menjadi lemah. Pada generasi kedua,
merekea menekankan kesetiaan, sampai kesetiaan lenyap. Pada generasi
ketiga, mereka menekankan keksatriaan (muru’ah) sampai ia lenyap. Pada
generasi keempat, mereka menekankan rasa malu sampai malu itu lenyap.
Sekarang orang beramal karena hasrat dan takut .”
Dikatakan tentang firman Allah swt. : “Dia (istri al-Aziz) telah bermaksud
(melakukan perbuatan itu) dengan Yusuf, dan Yusuf pun bermaksud
(melakukannya pual) dengan wanita itu andaikata ia tidak melihat tanda
(dari) Tuhannya.” (Qs. Yusuf :24), pengertian : “Tanda” di sini adalah,
bahwa di saat wanita itu menutupkan selembar kain ke wajah patung yag
ada di sudut ruangan. Ketika Yusuf bertanya : “Apa yang engkau lakukan?”
Ia menjawab : “ “Aku merasa malu di hadapannya.” Yusuf berkata : “Aku
lebih punya alasan lagi untuk malu di hadapan Allah swt.”
Dikatakan mengenai firman Allah swt. : “Kemudian datanglah kepada Musa
salah seorang dari kedua wanita itu berjalan malu-malu.” (Qs. Al-Qashash
:24), bahwa ia malu Kepada Musa karena menawarkan jamuan malu
seandainya Musa tidak menjawab salamnya. Malu sebagai sifat tuan
rumah, adalah jenis malu yang muncul dari penghormatan kepada tamu.
Abu Sulaiman ad-Darany berkata : “Allah swt. berfirman : “Wahai hamba-
Ku, selama engkau malu di hadapan-Ku, Aku akan membuat manusia lupa
akan kekuranganmu, Aku akan membuat muka bumi lupa akan dosa-
dosamu. Aku akan menghapus kesalahan-kesalahanmu dan buku catatan
induk, dan Aku tidak akan meneliti amalanmu pada Hari Kebangkitan.”
Seseorang bertanya kepada seorang laki-laki yang terlihat shalat di luar
masjid. “Mengapa engkau tidak masuk dan shalat di dalam?” Laki-laki itu
menjawab : “Saya malu memasuki rumah Allah karena telah bermaksiat
kepada-Nya.”
Salah satu tanda bahwa seseorang memiliki rasa malu adalah, bahwa ia
tidak pernah terlihat dalam situasi yang membuatnya malu.
Sebagian Sufi menuturkan : “Suatu malam kami keluar dan melwetti
rimba. Tiba-tiba mendapati seseorang tidur di tempat itu, sedang kudanya
merumput dekat kepalanya. Kami membangunkan orang itu dan bertanya
kepadanya. “Tidakkah engkau takut tidur di tempat yang mengerikan dan
penuh binatang busa ini?” Ia mengangkat kepalanya dan menjawab : “Di
hadapan-Nya, aku malu menakuti apa pun selain Dia.” Kemudian
diletakkan kembali kepalanya dan meneruskan tidurnya.”
Allah swt. mewahyukan kepada Isa as. : “Nasihatilah dirimu. Jika engkau
menghirauikan ansihat itu, maka nasihatilah manusia. Jika tidak, maka
malulah kepda-Ku untuk menasihati manusia.”
Diaktakan bahwa ada beberapa macam malu. Yang pertama adalah malu
dikarenakanpelanggaran, seperti malu Nabi Adam as. Ketika ditanya :
“Apakah engkau berniat lari dari Kami?” Beliau menjawab : “Tidak, karena
malu di hadapan-Mu.” Yang kedua adalah malu karena terbatas, seperti
malu para malaikat yang mengatakan : “Maha Suci Engkau! Kami telah
menyembah-Mu tidak sebagaimana layaknya Engkau disebah.” Yang ketiga
adalah malu karena mengagungkan, seperti malu Israfil as. Yang
menutupkan sayapnya ke tubuhnya karena malu kepada Allah, Yang
keempat adalah malu karena kemuliaan hati, seperti malu rasulullah saw.
ketika malu untuk mempersilahkan pergi tamu-tamu beliau, dan Allah swt.
lalu berfirman : “.... dan jika kamu selesai makan, keluarlah kamu semua
tanpa asyik memperpanjang percakapan.” (Qs. Al-Ahzab :53). Yang kelima
adalh malu karena enggan, seperti malu Ali bin AbuThalib ra. Ketika
menyruh Miqdad bin al-Aswad untuk menanyakan kepada Nabi saw.
tentang hukumnya madzy (lendir yang mengalir dari alat kelamin laki-laki,
keluar air mani) karena mengenai Fatimah r.a. Yang keenam adalah malu
karena terlalu remeh untuk diungkapkan, seperti malu Musa as. Ketika
munajat : “Aku mengajukan suatu kebutuhan dari dunia ini, dan aku malu
meminta kepada-Mu, wahai Tuhanku.” Dan Allah lalu menjawab kepadany
: “Minalah kepada-Ku, bahkan untuk adonan roti dan jerami untuk domba-
dombamu.” Akhirnya, ada malu karena sifat pemberi kenikmatan, yang
merupakan malu Allah swt. Dia memberikan buku yang distempel kepada
seorang hamba setelah melewati Jembatan di akhirat. Di dalam buku itu
tba-tiba tertulis : “Engkau telah melakukan (dosa) ini dan itu. Aku malu
menunjukkannya kepadamu, karena itu pergilah; Aku telah
mengampunimu.”
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq saya dengar berkata : “Yahya bin Muadz berkata,
Maha Suci Dzat Yang didustai hamba, sedang Dia mereasa mau, padahal
dosa itu datang dari sang hamba.”
Al-Fudhail bin ‘Iyadh menjelaskan : “Ada lima tanda celaka seorang
manusia. Kerasnya hati, bengisnya mata, tiadanya rasa malu, hasrat
terhadap dunia, dan lamunan yang tiada terbatas.”
Dalam salah satu kitab, Allah swt. berfirman : “Hamba-Ku telah
mempermalukan Aku dengan tidak adil. Ia berdoa kepada-Ku dan Aku
merasa malu jika tidak mengabulkan doanya, tapi ia bermaksiat kepada-Ku
tanpa merasa malu kepada-Ku.”
Yahya bin Muadz mengatakan : “Bagi manusia yang malu di hadapan Allah
swt. ketika ia taat, mka Allah akan malu ketika ia melakukan dosa.”
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkata : “Ketahuilah, bahwa malu menebabkan
pencairan, sebab dikatakan bahwa rasa malu adalah mencairnya organ-
organ tubuh manusia sebelah dalam ketika ia menyadari tatapan Tuhan
kepadanya.
Dikatakan : “Malu adalah mengkerutnya hati manusia untuk
mengagungkan kebesaran Tuhan.”
Dikatakan juga : “Manakala seseorang duduk di hadapan sekumpulan
manusia, memperingatkan dan menasihati mereka, maka kedua
malaikatnya berseru kepadanya : “Peringatkanlah dirimu sebagaimana
engkau memperingatkan saudaramu. Jika tidak, maka malulah engkau di
hadapan Tuhanmu, sebab Dia melihatmu.”
Al-Junayd ditanya tentang malu, ia menjawab : “Penglihatan pada rahmat
Allah swt. terus tercurah dan penglihatan terhadap keterbatasan diri. Di
antara keduanya kemudian melahirkan apa yang disebut “malu”,
Muhammad al-Wasithy berkomentar : “Orang tidak akan pernah
merasakan sengatan malu, yang memakai robekan batas-batas yang
ditetapkan Allah atau merusak janji.” Dikatakannya pula : “Keringat
mengalir keluar dari orang yang merasa malu. Ia adalah anugerah yang
ditempatkan di dalam dirinya. Selama nafsu rendah masih ada dalam
dirinya, maka ia akan dijauhkan dari malu.”
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq mengatakan : “Malu berarti meninggalkan
semua tendensi di hadapan Allah swt.
Abu Bakr al- Wasithy bertutur : “Ketika aku shalat dua rakaat kepada Allah
swt. Tiba-tiba kau membatalkannya karena merasa malu seperti seorang
pencuri (yang tertangkap basah).”
SEPANJANG : 14 DESEMBER 2013
UNTU KELANJUTAN ;; DI SAMBUNG BAGIAN KE DUA

Anda mungkin juga menyukai