Anda di halaman 1dari 19

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Seiring dengan perkembangan zaman mengharuskan industri tekstil untuk


menghasilkan produk tekstil yang baik dan mampu bersaing. Salah satu faktor
agar menjadi produk tekstil yang baik adalah mempunyai kualitas produk yang
baik. Selain kualitas produk yang baik sebagai outcome, proses produksi yang
dilakukan tidak boleh merugikan lingkungan dan alam sekitar. Kelestarian
lingkungan menjadi hal penting untuk dijaga yang salah satu caranya adalah
dengan penggunaan zat-zat kimia dengan effektif dan effisien selama proses
produksi.

Proses pencelupan dalam industri tekstil memegang peran penting untuk


menciptakan produk yang berkualitas tinggi dan meningkatkan keindahan
produk. Kain poliamida merupakan serat buatan yang konsumsinya cukup
banyak di Indonesia. Salah satu proses pencelupan kain poliamida yaitu dengan
zat warna asam. Proses pencelupan dilakukan dengan metode exhaust. Hasil
pemanfaatan kain poliamida adalah untuk underwear, pakaian renang, dan
pakaian olahraga. Hal tersebut disebabkan sifat poliamida yang mempunyai
elastisitas tinggi.

Proses pencelupan kain poliamida dengan zat warna asam jenis milling
dilakukan dalam kondisi asam. Kondisi asam dalam larutan sangat bergantung
pada kemampuan asam untuk terdisosiasi di dalam air, atau yang sering dikenal
sebagai nilai konstanta disosiasi asam (Ka). Nilai Ka bervariasi dimana asam yang
lebih kuat memiliki nilai Ka yang lebih besar dan nilai pKa yang lebih kecil. Asam
Sitrat dan Asam Asetat adalah jenis asam lemah, namun perbedaan rumus kimia
pada keduanya menyebabkan perbedaan nilai konstanta disosiasi asam, dimana
secara teori Asam Sitrat memiliki nilai Ka yang lebih besar dibandingkan Asam
Asetat. Perbedaan nilai Ka antara Asam Sitrat dan Asam Asetat dinilai mampu
mempengaruhi hasil pencelupan poliamida dengan zat warna asam jenis milling
baik terhadap sifat kimia ataupun fisika.

Permasalahan yang sering terjadi adalah penggunaan asam yang tidak sesuai
dengan kondisi pencelupan zat warna asam sehingga warna hasil pencelupan
sering kali tidak sesuai dengan permintaan konsumen karena zat warna tidak
terserap baik ke dalam serat.

Untuk mengatasi hal tersebut diupayakan menggunakan asam yang sesuai


dengan kondisi proses pencelupan kain poliamida dengan zat warna asam. Hal
ini mendorong diadakan suatu penelitian mengenai analisis perbandingan
pengggunaan asam asetat dan asam sitrat terhadap sifat fisika-kimia hasil
pencelupan poliamida dengan zat warna asam milling

1.2 Identifikasi Masalah

1) Bagaimanakah pengaruh hasil dari penggunaan Asam Asetat pada proses


pencelupan kain poliamida dengan zat warna asam milling terhadap kerataan
warna, ketuaan warna, dan kekuatan tarik?
2) Bagaimanakah pengaruh hasil dari penggunaan Asam Sitrat pada proses
pencelupan kain poliamida dengan zat warna asam milling terhadap kerataan
warna, ketuaan warna, dan kekuatan tarik?

1.3 Maksud dan Tujuan

Maksud dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perbandingan penggunaan


asam asetat dan asam sitrat pada proses pencelupan kain poliamida dengan zat
warna asam jenis milling.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan hasil terbaik dari
perbandingan penggunaan asam asetat dan asam sitrat pada proses pencelupan
kain poliamida dengan zat warna asam jenis milling yang didasarkan pada hasil
pengujian kerataan warna, ketuaan warna, dan kekuatan tarik.

1.4 Kerangka Pemikiran

Poliamida memiliki gugus fungsi amina (-NH2) dan amida (-NHCO-) yang
memungkinkan untuk dicelup dengan zat warna asam. Dalam mekanisme
pencelupan serat poliamida dengan zat warna asam, gugusan amina primer
pada molekul poliamida memegang peranan penting. Gugusan-gugusan amina
tersebut mudah mengikat ion hidogren untuk membentuk gugusan amonium.
Gugusan inilah yang dapat mengikat anion zat warna asam. Pencelupan zat
warna asam pada serat poliamida tidak akan terserap baik apabila tidak disertai
dengan penambahan asam. Pada pencelupan poliamida dengan zat warna asam
untuk memperoleh hasil celupan warna tua umumnya diperlukan kondisi larutan
celup pH 3-5 agar zat warna asam dapat berikatan ionik dengan gugus amina
dan amida dari serat. Penggunaan zat warna asam milling bertujuan untuk
meningkatkan ketuaan warna dan ketahanan luntur warna hasil celupan menjadi
baik, hal ini disebabkan karena zat warna asam jenis milling mempunyai ukuran
molekul yang besar.

Proses disosiasi adalah sebuah peristiwa ketika senyawa ionik yang kompleks
terurai menjadi partikel ion yang lebih kecil. Dalam proses disosiasi asam,
senyawa asam kompleks akan terurai menjadi ion yang lebih kecil sehingga
dihasilkan H+. Jumlah ion H+ yang dihasilkan bergantung pada konstanta
disosiasi asam (Ka). Nilai Ka setiap asam berbeda, asam yang lebih kuat
memiliki nilai Ka yang lebih besar. Ka asam sitrat berdasarkan literatur memiliki
nilai yang lebih besar dibandingkan asam asetat, walaupun keduanya termasuk
asam lemah. Jenis asam yang mempunyai nilai Ka rendah saat masuk ke dalam
larutan pencelupan akan terion sedikit demi sedikit dan pada saat terjadi
kenaikan suhu pun zat warna masih dapat masuk ke dalam serat. Penggunaan
asam yang memiliki nilai Ka tinggi akan terion secara langsung sehingga 10% zat
warna tidak dapat masuk ke serat.

1.5 Metodologi Penelitian

1. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian Analisis Perbandingan Penggunaan Asam Asetat Dan Asam Sitrat


Terhadap Sifat Fisika-Kimia Hasil Pencelupan Poliamida Dengan Zat Warna
Asam Milling dilakukan dalam skala laboratorium dan tempat penelitian dilakukan
di Laboratorium Pencelupan Tekstil Politeknik STTT Bandung dan Laboratorium
Evaluasi Bagian Kimia-Fisika Politeknik STTT Bandung.

2. Rancangan Percobaan

Melakukan variasi terhadap konsentrasi asam sitrat dan asam asetat yaitu 0
ml/L; 0.5 ml/L; 1 ml/L; 1.5 ml/L; 2 ml/L; dan 2.5 ml/L dengan waktu celup optimum
yang telah ditentukan dan metode yang digunakan adalah metoda pencelupan
secara exhaust (perendaman).

3. Alat dan Bahan


 Alat
1. Gelas ukur 100 mL
2. Pipet ukur 10 mL
3. Pipet ukur 1 mL
4. Filler
5. Mesin HT Dyeing
6. Tabung HT Dyeing
7. Mesin stenter
8. Pengaduk
9. Gelas piala 100 mL
10. Gelas Piala 500 mL
11. Spektrofotometer

 Bahan
1. Kain poliamida
2. Zat warna asam jenis milling
3. Zat perata (Retarder)
4. Zat pembasah
5. NaCl
6. Asam asetat
7. Asam sitrat

8. Air

4. Pengujian

Pengujian yang dilakukan adalah kerataan warna, ketuaan warna, dan kekuatan
tarik pada kain menggunakan metoda k/s dengan spektrofotometer. Data yang
diperoleh dari pengujian ini disajikan dalam bentuk tabel dan grafik.

1.6 Diagram Alir


 Pencelupan Kain Poliamida dengan Zat Warna Asam (Asam
Asetat)

Kain Poliamida

Pencelupan kain poliamida dengan zat warna asam


(Asam Asetat ) 45’ 1000C

Resep : Zw asam milling = 2%


Zat perata (retarder) = 1 ml/l
NaCl = 5 g/l
Asam Asetat 30% = 0; 0,5; 1; 1,5; 2; 2,5 g/l
Pembasah = 1 ml/l
Vlot = 1 : 10

Pencucian (10’ 800C )

Resep : sabun = 1 ml/l

Pengeringan (2’ 900C)

Pengujian Evaluasi

- Ketuaan Warna (K/S)


- Kerataan Warna (Standar Deviasi)
- Kekuatan Tarik

 Pencelupan Kain Poliamida dengan Zat Warna Asam (Asam Sitrat)

Kain Poliamida

Pencelupan kain poliamida dengan zat warna asam


(Asam Sitrat ) 45’ 1000C

Resep : Zw asam milling = 2%


Zat perata (retarder) = 1 ml/l
NaCl = 5 g/l
Asam Sitrat = 0; 0,5; 1; 1,5; 2; 2,5 g/l
Pembasah = 1 ml/l
Vlot = 1 : 10
Pencucian (10’ 800C )

Resep : sabun = 1 ml/l

Pengeringan (2’ 900C)

Pengujian Evaluasi

- Ketuaan Warna (K/S)


- Kerataan Warna (Standar Deviasi)
- Kekuatan Tarik
BAB II LANDASAN TEORI

2.1 Serat Poliamida

Poliamida pertama kali dibuat oleh W. Carothers pada tahun 1928 dengan nama
dagang Nylon. Poliamida dibuat dari hasil reaksi senyawa diamina dan
dikarboksilat. Poliamida yang pertama dibuat dari heksametilendiamina dan
asam adipat. Serat yang dihasilkannya disebut ”Nylon 66” angka dibelakang
nama Nylon menunjukkan jumlah atom karbon penyusun dari senyawa amina
dan senyawa karboksilatnya.

Gambar 2.1 Struktur Nilon 6,6

Serat Nylon lain yang dibuat adalah dari asam sebasat dan heksametilendiamina
yang hasil reaksinya dinamakan ”Nylon 6.10” dengan struktur seperti yang
disajikan pada gambar berikut:

Gambar 1.2 Struktur Nilon 6,10


2.1.1 Morfologi Serat Nilon

Serat poliamida dipintal dengan pemintalan leleh, seperti halnya dengan


serat buatan yang lain poliamida mempunyai penampang melintang
bermacammacam, tetapi yang paling umum adalah bentuk trilobal dan
bulat seperti yang disajikan pada Gambar 2.3 berikut:

Gambar 2.2 Morfologi Serat Nilon

2.1.2 Sifat Serat Nilon

Sifat poliamida tergantung senyawa penyusunnya. Secara umum serat


poliamida mempunyai penampang memanjang berbentuk silinder dan
penampang melintang bulat. Serat Nylon dibuat dengan berbagai tujuan
penggunaan. Untuk keperluan industri dibuat serat dengan kekuatan tinggi
dan mulur yang kecil, sedangkan tekstil untuk pakaian dibuat dengan
kekuatan yang tidak terlalu tinggi, dan mulur yang agak tinggi. Karakteristik
serat poliamida disajikan pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Karakteristik Serat Poliamida


2.1.3 Penggunaan Serat Poliamida
Serat poliamida memiliki kekuatan yang cukup tinggi dan ketahanan kimia
yang cukup baik, oleh karena itu penggunaannya cukup luas. Dapat
digunakan untuk tekstil pakaian misalnya kaos kaki, pakaian dalam, baju
oleh raga, sampai pada penggunaan teknik seperti benang penguat ban,
terpal, belt penarik dan lain sebagainya.

2.2 Zat Warna Asam

Zat warna ini merupakan garam natrium dari asam-asam organik misalnya
asam sulfonat atau asam karboksilat. Zat warna ini dipergunakan dalam
suasana asam dan memiliki daya tembus langsung terhadap serat-serat protein
atau poliamida. Gugus pelarut sulfonat atau karboksilat dalam struktur
molekulnya berfungsi untuk mengadakan ikatan ioniK dengan tempat-tempat
positif dalam serat wol atau sutera maupun serat poliamida.

Zat warna asam mempunyai satu gugus sulfonat dalam struktur molekulnya
disebut zat warna asam monobasik, sedangkan zat warna asam yang
mempunyai 2 gugus sulfonat disebut zat warna dibasik, beritu seterusnya.

Karena gugus pelarut zat warna asam dibasik kelarutannya makin tinggi,
akibatnya menjadi lebih mudah rata, namun tahan luntur hasil celupan terhadap
pencuciannya akan berkurang. Selain itu, dibandingkan zat warna asam
monobasik, jumlah maksimum zat warna asam dibasik yang dapat terserap oleh
serat wol atau sutera menjadi lebih kecil, terutama bila suasana larutan celup
kurang bagitu asam, karena pada kondisi seperti itu, tempat-tempat positif pada
bahan terbatas. Jadi untuk pencelupan warna tua dan kondisi tersebut digunakan
zat warna asam monobasik.

Keunggulan lain dari zat warna asal warnannya yang lebh cerah, hal tersebut
karena ukuran partikelnya relatif kecil (lebih kecil dari zat warna direk).
Penggolongan zat warna asam yang lebih umum adalah berdasarkan
pemakaiannya, yakni:

a. Zat Warna Asam Celupan Rata (Levelling Acid Dyes)


Disebut zat warna asam celupan rata, karena pencelupannnya mudah
rata akibat molekul zat warnanya yamg relatif sangat kecil, sehingga
substantifitasnya terhadap serat relatif kecil, sangat mudah larut dan
warnanya sagat cerah, tetapi tahan luntur warnanya rendah. Ikatan antara
serat dan zat warnannya adalah ikatan ionik, disamping ikatan zvan der
walls. Untuk pencelupan warna tua, biasanya diperlukan kondisi larutan
celup yang sangat asam, yakni pH 3-4, tetapi untukl zat warna sedang
dan muda dapat dilakukan pada pH 4-5.

b. Zat Warna Asam Milling


Ukuran molekul zat warna milling agak lebih besar dibandingkan zat
warna asam celupan rata, sehingga afinitas zat warna asam milling lebih
besar dan agak sukar bermigrasi dalam serat, akibatnya agak sukar
mendapatkan kerataan hasil celup. Tahan luntur warna hasil selupannya
lebih baik dari zat warna asam celupan rata, karena walaupun ikatan
antara serat dan zat warna dengan serat masih didominasi ikatan ionik
tetapi ikatan sekunder berupa gaya Van Der Waals-nya juga relatif mulai
cukup besar(sesuai dengan makin besarnya ukuran partikel zat warna).
Untuk mencelup zat warna tua, umumnya diperlukan kondisi lariutan
celup pH 4-5, tetapi untuk warna sedang dan muda, dilakukan pada
kondisi pH 5-6 agar hasil celupannya rata. Penambahan NaCl dalam
larutan celup akan berfungsi sebagai pendorong penyerapan.

c. Zat warna Asam Super Milling


Diantara seluruh jenis zat warna asam, ukuran molekulnya paling besar
(tetapi masih lebih kecil daripada ukuran molekul zat warna direk)
sehingga afinitas terhadap serat relatif besar dan sukar bermigrasi,
akibatnya sukar mendapatkan kerataan hasil celupannya, namun tahna
luntur warnanya tinggi.
Tahan luntur yang tinggi diperoleh dari adanya ikatan antara serat dan zat
warna yang berupa ikatan ionik yang didukung oleh ikatan Van der Waals
serta kemuungkinan terjadinya ikatan hidrogen. untuk pencelupan warna
tua, dapat dilakukan pada kondisi larutan celup pH 5-6, tetapi untuk
warna sedang dan muda dapat dilakukan dengan pH 6-7. Agar resiko
belang menjadi lebih kecil, biasanya tidak diperlukan penambahan NaCl
(atau jumlahnya dikurangi), karena NaCl dalam suasana celup yang
kurang asam akan berfungsi sebagai pendorong penyerapan zat warna.
Dalam pencelupan menggunakan zat warna asam super milling seringkali
sukar untuk menghindarkan terjadinya ketidakrataan. Untuk itu pada
prosesnya ditambahkan perata anionik.

Ukuran partikel zat warna juga menentukan besarnya ikatan sekunder antara zat
warna dengan serat berupa ikatan gaya Van der Waals, dimana makin banyak
elektron dalam molekul (makin besar ukuran molekul), zat warna makin besar
ikatan fisika (Van der Waals)nya. Oleh karena itu, ketahan luntur hasil
pencelupan zat warna asam levelling lebih rendah bila dibandingkan dengan
tahan luntur hasil celup dengan zat warna asam milling dan super milling.

2.3 Pencelupan Nilon dengan Zat Warna Asam

Pencelupan pada umumnya terdiri dari melarutkan atau mendispersikan zat


warna dalam air atau medium lain, kemudian memasukkan bahan tekstil ke
dalam larutan tersebut sehingga terjadi penyerapan zat warna ke dalam serat.
Penyerapan zat warna ke dalam serat merupakan suatu reaksi eksotermik dan
reaksi keseimbangan. Beberapa zat pembantu misalnya garam, asam, alkali atau
lainnya ditambahkan ke dalam larutan celup dan kemudian pencelupan
diteruskan hingga diperoleh warna yang dikehendaki.

Vickerstaf menyimpulkan bahwa dalam pencelupan terjadi tiga tahap :

a. Tahap pertama merupakan molekul zat warna dalam larutan yang selalu
bergerak, pada suhu tinggi gerakan molekul lebih cepat kemudian bahan
tekstil dimasukkan ke dalam larutan celup. Serat tekstil dalam larutan
bersifat negatif pada permukaannya sehingga dalam tahap ini terdapat
dua kemungkinan yakni molekul zat warna akan tertarik oleh serat atau
tertolak menjauhi serat. Oleh karena itu perlu penambahan zat-zat
pembantu untuk mendorong zat warna lebih mudah mendekati
permukaan serat. Peristiwa tahap pertama tersebut sering disebut zat
warna dalam larutan.
b. Dalam tahap kedua molekul zat warna yang mempunyai tenaga yang
cukup besar dapat mengatasi gaya-gaya tolak dari permukaan serat,
sehingga molekul zat warna tersebut dapat terserap menempel pada
permukaan serat.Peristiwa ini disebut adsorpsi.
c. Tahap ketiga yang merupakan bagian yang terpenting dalam pencelupan
adalah penetrasi atau difusi zat warna dari permukaan serat ke pusat.
Tahap ketiga merupakan proses yang paling lambat sehingga
dipergunakan sebagai ukuran untuk menentukan kecepatan celup.

Serat poliamida atau nilon memiliki gugus fungsi amina (-NH 2) dan amida (-
NHCO-) yang memungkinkan untuk dicelup dengan zat warna asam. Mekanisme
pencelupan zat warna asam pada poliamida berdasarkan ikatan ionik antara
molekul zat warna dengan gugus amina dan gugus amida dari serat poliamida.
Pada pH yang tidak terlalu rendah akan terjadi penyerapan ion H + oleh gugus
amina sehingga menjadi bermuatan positif yang selanjutnya dapat berikatan ionik
dengan anion zat warna asam. Karena jumlah gugus amida pada serat poliamida
terbatas, maka pada kondisi tersebut hanya cocok untuk pencelupan warna
muda. Untuk pencelupan warna sedang dan tua pH larutan pencelupannya harus
diturunkan lebih lanjut sehingga akan terjadi penyerapan ion H+ pada gugus
amida yang jumlahnya sangat banyak. Oleh karena itu dapat dikatakan semakin
rendah pH larutan celupnya akan menyebabkan penyerapan zat warna akan
semakin besar.

Berikut ini reaksi yang terjadi pada pencelupan zat warna asam pada nilon:
Ikatan antara zat warna dengan serat berupa ikatan ionik yang merupakan gaya
antar aksi jangka panjang, yang menyebabkan migrasi zat warna asam relatif
kurang baik. Oleh karena itu untuk mendapatkan kerataan hasil pencelupan
maka penyerapan zat warna diawal proses pencelupan harus diperlambat
dengan cara memperlambat kenaikan suhu dan menambah perata jenis retarder
ke dalam larutan celupnya.

2.4 Asam Asetat

Asam asetat atau acetic acid atau ethanoic acid adalah senyawa organik yang
termasuk dalam golongan carboxylic acid dengan gugus fungsinya adalah:

Sedangkan rumus kimia dari asam asetat sendiri adalah:

Acetic acid adalah monoprotic acid yang lemah, sehingga hanya hanya sebagian
kecil ion saja yang dapat terdisosiasi dalam air dan reaksi ini ada
kesetimbangannya dapat bergeser ke kiri atau ke kanan tergantung pada kondisi
dari reaksi. Proses terdisosiasinya asam asetat dalam air dapat digambarkan
seperti berikut:
Gambar 2.3 Disosiasi Asam Asetat

Karakteristik dari carboxylic acid dapat dilihat pada tabel berikut. Bau dari
carboxylic acid sangat tidak enak dan gugus OH- pada carboxylic acid tidak
berperilaku seperti basa ion hidroksida OH-. Hal ini terjadi karena Oksigen
memiliki sifat keelektronegatifan yang tinggi sehingga dengan adanya dua atom
Oksigen pada carboxylic acid akan membantu membawa ekstra muatan negatif
yang menyebabkan atom Hidrogen terdisosiasi. Hal inilah yang menyebabkan
carboxylic acid berperilaku seperti acid dan tidak seperti basa.

Tabel 2.2 Karakteristik Asam Asetat

Polaritas Gugus Adanya ikatan polar O-H dan C=O maka


Fungsi carboxylic acid adalah senyawa polar.

Ikatan Hidrogen Ikatan Hidrogen antara carboxylic acid molekul


juga kuat dan ikatan hidrogen ini juga terjadi
antara carboxilic acid dengan air
Solubility dalam Air Carboxylic acid yang berat molekulnya rendah
sangat soluble dalam air dan solubilitasnya akan
semakin turun dengan bertambahnya jumlah
atom carbon.
Titik Leleh dan Titik Ikatan hidrogen yang kuat antar molekul
Didih menyebabkan titik leleh dan didih dari carboxylic
acid sangat tinggi.
2.5 Asam Sitrat

Asam sitrat merupakan suatu senyawa organik, yang banyak ditemukan pada
daun dan buah tumbuhan yang mempunyai rasa asam. Asam sitrat terdapat
pada berbagai jenis buah dan sayuran, namun ditemukan pada konsentrasi
tinggi, yang dapat mencapai 8 % bobot kering. Rumus kimia asam sitrat adalah
C6H8O7 (strukturnya ditunjukkan pada tabel informasi di bawah). Struktur asam ini
tercermin pada nama IUPAC nya asam 2-hidroksi-1,2,3-propanatrikarboksilat.
(Febrianty dkk, 2007). Berikut adalah struktur asam sitrat:

Keasamaan Asam Sitrat didapat dari tiga gugus karboksil COOH yang
dapat melepas proton dalam larutan. Apabila hal ini berlangsung , maka ion
yang akan dihasilkan ialah merupakan sebuah ion sitrat. Kemudian sitrat juga
merupakan jenis bahan yang sangat baik yang dapat dimanfaatkan dalam
larutan penyangga agar dapat mengatur pH larutan. Dimana pada Ion sitrat bisa
melakukan suatu reaksi terhadap banyak ion logam yang membentuk garam
sitrat. Kemudian selain itu, dimana sitrat juga berkemampuan dalam melakukan
pengikatan ion-ion logam dengan pengkelatan, sehingga dapat dipakai atau
dimanfaatkan sebagai salah satu jenis bahan pengawet dan dapat
menghilangkan tingkat kesadahan air.

Apabila di dalam temperatur kamar, dimana asam sitrat akan memiliki bentuk
seperti serbuk yang mengkristal dengan memiliki warna putih bak mutiarayang
bersinar. Kemudian pada serbuk kristal tersebut bisa berbentuk seperti
anhydrous (bebas air), atau biasa juag dengan meyerupai bentuk monohidrat
yang di dalamnya terkandung satu molekul air dari semua molekul asam sitrat.
Kemudian mengenai bentuk anhydrous asam sitrat yang berupa seperti kristal
apabila berada di dalam air panas, untuk bentuk monohidrat sendiri diperolehh
dari kristalisasi asam sitrat pada saat berada di dalam air dingin.

Selain itu bentuk monohidrat juga bisa diubah kedalam bentuk anhydrous
dengan cara melakukan sebuah pemanasan di atas 74°C. Kemudian secara
kimia, asam sitrat memiliki sifat seperti asam karboksilat lainnya. Apabila ia
berada atau dipanaskan di atas suhu hingga mencapai 175°C, kemudian pada
asam sitrat tersebut akan terurai dengan mengeluarkan karbon dioksida dan juga
cairan air.

2.6 Derajat Disosiasi Asam

Saat suatu asam HA larut dalam air, sebagian asam tersebut terurai (terdisosiasi)
membentuk ion hidronium dan basa konjugasinya.

HA(aq) + H2O(l) ⇌ H3O+(aq) + A−(aq

Pada perhitungan konstanta disosiasi asam, konsentrasi air diabaikan, karena


reaksi berjalan di dalam larutan berair, di mana konsentrasi air relatif tidak
berubah. Sehingga konstanta disosiasi asam didefinisikan dengan persamaan
berikut:

Konsep asam basa yang sangat terkenal terdiri dari tiga macam yaitu menurut
Arrhenius, Bronsted-Lowry dan asam basa menurut Lewis. Arrhenius
menyatakan bahwa asam adalah senyawa hidrogen, di mana jika senyawa
tersebut dilarutkan dalam air akan mengalami disosiasi elektrolit dan
menghasilkan ion H+. Kemampuan suatu asam untuk menghasilkan ion H+ dinilai
sebagai kekuatan asam. Besar ion H+ yang dihasilkan berbanding lurus dengan
kekuatan asam. Semakin besar H+ maka asam semakin kuat. Semakin besar ion
H+ maka nilai Ka juga akan semakin besar. Oleh karena itu, Ka pada asam atau
Kb pada basa digunakan sebagai ukuran penentuan kekuatan suatu asam.
Konstanta disosiasi berhubungan dengan derajat disosiasi. Derajat disosiasi
bergantung pada konsentrasi sehingga derajat ionisasi tidak bisa dijadikan
pengukuran kekuatan asam atau basa. Namun, nilai kesetimbangan disosiasi,
tidak bergantung pada konsentrasi tetapi bergantung pada keaktifan asam
sehingga dapat dijadikan ukuran kuantitatif untuk kekuatan asam atau basa itu.

Berikut beberapa tetapan disosiasi asam:


Tabel 2.3 Nilai Ka Asam Monoatomik

ASAM MONOATOMIK Ka
Asam trikloro asetat ( HC2O2Cl3 ) 2,2 x 10-1
Asam iodat ( HIO3 ) 1,69 x 10-1
Asam dikloro asetat (HC2HO2Cl2) 5 x 10-2
Asam kloro asetat (HC2H2O2Cl) 1,36 x 10-3
Asam flourida (HF) 6,5 x 10-4
Asam nitrit (HNO2) 4,5 x 10-4
Asam format (HCHO2) 1,8 x 10-4
Asam laktat (HC3H5O2) 1,38 x 10-4
Asam benzoat (HC7H5O2) 6,5 x 10-5
Asam butanoat (HC4H7O2) 1,52 x 10-5
Asam asetat (HC2H3O2) 1,8 x 10-5
Asam propanoat (HC3H5O2) 1,34 x 10-5
Asam hipoklorit (HOCl) 3,1 x 10-8
Asam hipobromit (HOBr) 2,1 x 10-9
Asam sianida (HCN) 4,9 x 10-10
Fenol (HC6H5O) 1,3 x 10-10
Asam hipoiodit (HOI) 2,3 x 10-11
Hidrogen peroksida (H2O2) 1,8 x 10-4

Tabel 2.4 Nilai Ka Asam Poliprotik

ASAM Ka1 Ka2 Ka3


POLIPROTIK
Asam sulfat Besar 1,2 x 10-2
(H2SO4)
Asam kromat 5,0 1,5 x 10-6
(H2CrO4)
Asam Oksalat 5,6 x 10-2 5,4 x 10-5
(H2C2O4)
Asam fosfit 3 x 10-2 1,6 x 10-7
(H3PO3)
Asam sulfit 1,5 x 10-2 1,0 x 10-7
(H2SO3)
Asam karbonat 4,3 x 10-7 5,6 x 10-11
(H2CO3)
Asam fosfat 7,5 x 10-3 6,2 x 10-8 2,2 x 10-12
(H3PO4)
Asam sitrat 7,1 x 10-4 1,7 x 10-5 6,3 x 10-6
(H3C6H5O7)
DAFTAR PUSTAKA

Atherton , E., Downey, D. A., (1955), Studies of the Dyeing of Nylon with Acid
Dyes Part I: Measurement of Affinity and the Mechanism of Dyeing, Dyestuffs
Division Imperial Chemical Industries, Ltd., Manchester.

Argolo do Carmo, Renee Simoes, Juncioni de Arauz, Luciana, dkk, (2017),


Dyeability of Polyester and Polyamide Fabrics Employing Citric Acid, Journal of
Textile Science and Technology, 2017, 3, 31-44.

El-Sayed, H., El-Gabry, L. K., (2005), Replacement of Acetic Acid with Citric Acid
in Dyeing of Textile Fabrics. Textile Processing: State of the Art & Future
Developments 2 (1) (2005) 61 – 68.

Madurga, Sergio, Nedyalkova , Miroslava, dkk, (2017), Ionization and


Conformational Equilibria of Citric Acid: Delocalized Proton Binding in Solution,
Journal Physical Chemistry A.

Nnorom , Onyekachi Onyinyechi, Anyanwu, Placid Ikechukwu, dkk, (2020),


Inhibitive Effect of NaCl and Citric Acid on the Colour Yield of Acid Dye on Nylon
Fabric. Journal of Textile Science and Technology, 2020, 6, 49-58.

Park, Jung Mee, Laio, Alessandro, dkk, (2006), Dissociation Mechanism of


Acetic Acid in Water, Switzerland.

Oxtoby, D. W. (2001). Prinsip-Prinsip Kimia Modern . Jakarta: Erlangga .

Ralp J Fessenden, J. S. (1986). Organic Chemistry, Third Edition. Massachuset,


USA: Wadsworth.

Sunarto. (2008). Teknik Pencelupan dan Pencapan. Jakarta: Direktorat


Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan.

Tritiyatma, B. Y. (2018). Analisis Materi Asam-Basa. Journal Riset Pendidikan


Kimia , 11-24.

Vitro Rahmat, D. K. (2016, Desember 6). Perancangan dan Validasi Alat


Pengukuran Konstanta Disosiasi Asam. Jurusan Teknik Kimia, pp. 461-467.
Muchtar Z. Analyzing of students’misconceptions on acid-base chemistry at
senior high schools in Medan. J Educ Pract 2012; 3: 65–74.

Artdej R, Ratanaroutai T, Coll RK, et al. Thai Grade 11 students’ alternative


conceptions for acid base chemistry. Res Sci Technol Educ 2010; 28: 167–183.

Kousathana M, Demerouti M, Tsaparlis G. Instructional misconceptions in acid-


base equilibria: An analysis from a history and philosophy of science perspective.
Sci Educ 2005; 14:173–193.

Sugiyarto S, Al HP. Miskonsepsi Atas Konsep Asam-Basa, Kesetimbangan


Kimia, dan Redoks dalam Berbagai Buku-Ajar Kimia SMA/MA. J Pendidik Mat
dan Sains; 1:41–53.

Gkitzia V, Salta K, Tzougraki C. Development and application of suitable criteria


for the evaluation of chemical representations in school textbooks. Chem Educ
Res Pract 2011; 12: 5–14.

Anda mungkin juga menyukai