Anda di halaman 1dari 9

Kelas : S1 Gizi B 2019

Mata Kuliah : Mikrobiologi Pangan

1. Fermentasi Tape
Salah satu pemanfaatan bioteknologi dalam pembuatan tape singkong adalah saat
ditambahkannya ragi sebagai bahan dalam pembuatan tape singkong. Ragi adalah
mikroorganisme hidup yang dapat ditemukan dimana-mana. Ragi berasal dari keluarga
Fungus bersel satu (sugar fungus) dari genus Saccharomyces, species cereviciae, dan
memilki ukuran sebesar 6-8 mikron. Saccharomyces cereviciae merupakan genom
eukariotik yang pertama kali disekuensi secara penuh. Dalam satu gram ragi padat
(compressed yeast) terdapat kurang lebih 10 milyar sel hidup.
Ragi ini berbentuk bulat telur, dan dilindungi oleh dinding membran yang semi
berpori (semipermeable), melakukan reproduksi dengan cara membelah diri (budding),
dan dapat hidup di lingkungan tanpa oksigen (anaerob). Untuk bertahan hidup, ragi
membutuhkan air, makanan dan lingkungan yang sesuai. Ragi memiliki sifat dan karakter
yang sangat penting dalam industri pangan. Ragi akan berkembang dengan baik dan
cepat bila berada pada temperatur antara 25o – 30oC.
Dalam keadaan tidak terpakai, ragi membutuhkan suasana hangat agar sel - sel
nabatinya tetap hidup untuk mengaktifkan kerjanya. Maka ragi-ragi ini memerlukan
penyimpanan yang teliti. Ragi padat dalam keadaan normal lebih cepat rusak dan akan
kehilangan daya peragiannya. Ragi padat harus selalu disimpan ditempat dingin (lemari
es). Ragi kering yang terbentuk seperti butiran halus ini umumnya terbungkus dalam
kemasan timah yang mengandung nitrogen agar tetap awet.
Selain itu ragi merupakan sumber utama penyediaan enzim-enzim, yang
memegang peranan penting dalam dunia industri, termasuk dalam pembuaan tape
singkong. Enzim yang berperan dalam memperbaiki sifat-sifat fungsional tape
singkong adalah enzim amylase dan zymase.
Saccharomyces cereviciae yang penting dalam pembuatan tape singkong
memiliki sifat dapat memfermentasikan maltosa secara cepat, dan memiliki kemampuan
memetabolisme substrat. Pemakaian ragi dalam pembuatan tape singkong sangat penting
karena enzim dari ragi tersebutlah yang nantinya berperan dalam proses fermentasi, serta
memberi aroma (alkohol). Kesterilan ragi dan bahan dasar pembuatan tape ketika akan
digunakan amat penting. Hal ini dimaksudkan agar tidak dicemari bakteri lain. Jika hal
ini terjadi maka proses fermentasi akan terhambat. Bakteri yang sering mengeluarkan
racun berbahaya bagi kesehatan manusia akan ada dalam tape singkong.
Agar dihasilkan tape singkong yang manis, selain lama fermentasi, pemberian
ragi secukupnya, serta penutupan yang sempurna selama proses fermentasi berlangsung
harus diperhatikan. Lamanya proses fermentasi ini sebaiknya jangan lebih dari tiga hari.
Jika lewat batas maksimum dan pemberian ragi terlalu banyak, mengakibatkan tape
singkong akan lembek dan terasa masam. Rasa masam disebabkan pati yang diubah oleh
enzim amylase menjadi gula (sukrosa). Enzim invertase mengubahnya lagi
menjadi glukosa. Hasilnya berupa alkohol.
Jika proses fermentasi terlalu lama alkohol akan menghasilkan asam asetat
sehingga dapat menghasilkan tape yang terasa masam. PH atau kadar asam asetat yang
tinggi dalam tape dapat mempengaruhi cita rasa tape, malah dapat menyebabkan
gangguan pencernaan. Proses fermentasi yang terlalu lama dapat menghasilkan air tape
yang cukup banyak sedangkan rasa manis pada tape akan berkurang. Dalam proses
fermentasi, glukosa oleh enzim glikolisin akan dipecah dan menghasilkan
karbondioksida, air, serta energi. Energi diperlukan oleh enzim
amylase, intervertase dalam hal proses fermentasi.
Menurut Astawan (2004), proses fermentasi yang terjadi selama pembuatan tape
pada dasarnya meliputi empat tahap penguraian, yaitu sebagai berikut :
- Molekul-molekul pati terpecah menjadi dekstrin dan gula-gula sederhana, proses ini
disebut hidrolisis enzimatis.
- Gula yang terbentuk akan diubah menjadi alcohol (bakteri yang berperan yaitu
Saccharomyces cereviciae).
- Alkohol akan diubah menjadi asam-asam organik oleh bakteri Pediococcus dan
Acetobacter melalui proses oksidasi alkohol.
- Sebagian asam organik akan bereaksi dengan alkohol membentuk ester yang memberi
cita rasa pada tape.

2. Fermentasi Asinan Sayur


Fermentasi sayur asin merupakan fermentasi spontan yaitu proses fermentasi tanpa
digunakan starter dan terjadi dengan sendirinya dengan bantuan mikroflora alami.
Karakteristik dari proses ini adalah adanya bakteri asam laktat yang termasuk bakteri
heterofermentatif. Bakteri asam laktat penting dalam pencapaian produk yang stabil
dengan rasa dan aroma yang khas. Hasil pertumbuhan bakteri asam laktat menghasilkan
asam laktat, asam asetat, etanol, manitol, dekstran, ester dan CO2. Kombinasi dari asam,
alkohol dan ester akan menghasilkan rasa yang spesifik dan disukai.
Dalam proses fermentasi sayuran digunakan bakteri alami yang terdapat dalam sayur-
sayuran, seperti sawi hijau, kubis, dsb. Jenis bakteri asam laktat yang dibiarkan aktif adalah
Leuconostoc mesenteroide, Lactobacillus cucumeris, L. plantarum dan L. pentoaceticus. Pada
awal fermentasi, bakteri yang aktif dalam jumlah besar adalah bakteri coliform, seperti Aerobacter
cloacer, yang menghasilkan gas dan asam-asam yang mudah menguap dan pada kondisi tersebut
aktif pula bakteri Flavo-bacterium rhenanus, yang menghasilkan senyawa-senyawa pembentuk
cita rasa yaitu kombinasi dari asam dan alkohol pembentuk ester. Fermentasi dilakukan dalam
keadaan anaerob, namun bila dalam tempat fermentasi ada udara, akan mengakibatkan terjadinya
proses pembusukan pada sayur asin.
Faktor-faktor lingkungan yang penting dalam fermentasi sayuran adalah :
1. Terciptanya keadaan anaerobic
2. Penggunaan garam yang sesuai yang berfungsi untuk menyerap keluar cairan dan
zat gizi dari sayur
3. Pengaturan suhu yang sesuai untuk fermentasi
4. Tersedianya bakteri asam laktat yang sesuai .
Kadar garam yang terlalu rendah (kurang dari 2,5%) mengakibatkan tumbuhnya bakteri
proteolitik (bakteri yang menguraikan protein). Sedangkan konsentrasi garam lebih dari 10% akan
memungkinkan tumbuhnya bakteri halofilik (bakteri yang menyenangi kadar garam tinggi). Oleh
karena itu, kadar garam harus dipertahankan selama proses fermentasi, karena garam menarik air
dari jaringan sayuran, maka selama proses fermentasi secara periodik ditambahkan garam pada
media fermentasi. Kecepatan fermentasi juga dipengaruhi oleh kadar garam medium. Pada
umumnya makin tinggi konsentrasi garam makin lambat proses fermentasi. Untuk fermentasi
pendek sebaiknya digunakan larutan garam 2,5-10% agar laju fermentasi berkisar antar sedang dan
cepat. Garam juga menyebabkan cairan yang terdapat dalam sayuran tertarik keluar melalui proses
osmosa.
Dalam proses fermentasi sayuran bakteri asam laktat, misalnya Leuconostoc
mesenteroides, Leuconostoc plantarum dan Leuconostoc brevis, memfermentasi gula-
gula yang terdapat dalam jaringan sayuran menjadi asam, terutama asam laktat. Gula-gula
dalam cairan tersebut merupakan makanan bagi bakteri asam laktat, yang selanjutnya
diubah menjadi asam laktat. Asam laktat inilah yang berfungsi sebagai pengawet produk
tersebut.
3. Fermentasi Nata De Coco
Fermentasi nata dilakukan melalui tahap-tahap berikut:

1) Pemeliharaan biakan murni Acetobacter xylinum


2) Pembuatan starter
3) Fermentasi

1) Pemeliharaan Biakan Murni Acetobacter xylinum


Fermentasi nata memerlukan biakan murni Acetobacter xylinum. Biakan murni ini
harus dipelihara sehingga dapat digunakan setiap saat diperlukan. Pemeliharaan
tersebut meliputi (1) proses penyimpanan sehingga dalam jangka waktu yang cukup
lama viabilitas (kemampuan hidup) mikroba tetap dapat dipertahankan; dan (2)
penyegaran kembali mikroba yang telah disimpan sehingga terjadi pemulihan
viabilitas dan mikroba dapat disiapkan sebagai inokulum fermentasi.
a. Penyimpanan
- Acetobacter xylinum biasanya disimpan pada agar miring yang terbuat dari
media Hasisd dan Barker yang dimodifikasi dengan komposisi sebagai berikut:
glukosa (100 gram), ekstrak khamir (2,5 gram), K2HPO4 (5 gram), (NH4)2SO4
(0,6 gram), MgSO4 (0,2 gram), agar (18 gram), dan air kelapa (1 liter).
- Pada agar miring dengan suhu penyimpanan 4-70C, mikroba ini dapat disimpan
selama 3-4 minggu.
b. Penyegaran

Setiap 3 atau 4 minggu, biakan A. xylinum harus dipindahkan kembali pada agar
miring baru. Setelah 3 kali penyegaran, kemurnian biakan harus diuji dengan
melakukan isolasi biakan pada agar cawan. Adanya koloni asing pada permukaan
cawan menunjukan bahwa kontaminasi telah terjadi. Biakan pada agar miring
yang telah terkontaminasi, harus diisolasi dan dimurnikan kembali sebelum
disegarkan.
2) Pembuatan Starter
a. Starter adalah populasi mikroba dalam jumlah dan kondisi fisiologis yang siap
diinokulasikan pada media fermentasi. Mikroba pada starter tumbuhdengan cepat
dan fermentasi segera terjadi.
b. Media starter biasanya identik dengan media fermentasi. Media ini diinokulasi
dengan biakan murni dari agar miring yang masih segar (umur 6 hari).
c. Starter baru dapat digunakan 6 hari setelah diinokulasi dengan biakan murni. Pada
permukaan starter akan tumbuh mikroba membentuk lapisan tipis berwarna putih.
Lapisan ini disebut dengan nata. Semakin lama lapisan ini akan semakin menebal
sehingga ketebalannya mencapai 1,5 cm. Starter yang telah berumur 9 hari
(dihitung setelah diinokulasi dengan biakan murni) tidak dianjurkan digunakan
lagi karena kondisi fisiologis mikroba tidak optimum bagi fermentasi, dan tingkat
kontaminasi mungkin sudah cukup tinggi.
d. Volume starter disesuaikan dengan volume media fermentasi yang akan disiapkan.
Dianjurkan volume starter tidak kurang dari 5% volume media yang akan
difermentasi menjadi nata. Pemakaian starter yang terlalu banyak tidak dianjurkan
karena tidak ekonomis.
3) Fermentasi
a. Fermentasi dilakukan pada media cair yang telah diinokulasi dengan starter.
Fermentasi berlangsung pada kondisi aerob (membutuhkan oksigen). Mikroba
tumbuh teruatama pada permukaan media. Fermentasi dilangsungkan sampai
nata yang terbentuk cukup tebal (1,0- 1,5 cm). Biasanya ukuran tersebut tercapai
setelah 10 hari (semenjak diinokulasi dengan starter), dan fermentasi diakhiri pada
hari ke 15. Jika fermentasi tetap diteruskan, kemungkinan permukaan nata
mengalami kerusakan oleh mikroba pencemar.
b. Nata berupa lapisan putih seperti agar. Lapisan ini adalah massa mikroba
berkapsul dari selulosa.
c. Lapisan nata mengandung sisa media yang sangat asam. Rasa dan bau masam
tersebut dapat dihilangkan dengan perendaman dan perebusan dengan air bersih.

4. Fermentasi Tempe
Menurut Hidayat (2006), inkubasi dilakukan pada suhu 25o-37o C selama 36-48 jam.
Selama inkubasi terjadi proses fermentasi yang menyebabkan perubahan komponen-
komponen dalam biji kedelai. Pada proses ini kapang tumbuh pada permukaan dan
menembus biji-biji kedelai, menyatukannya menjadi tempe.
Fermentasi dapat dilakukan pada suhu 20 °C–37 °C selama 18–36 jam (Hermana
dan Karmini, M., 1999).
Proses fermentasi tempe dapat dibedakan atas tiga fase (Hidayat, 2009) yaitu :
a. Fase pertumbuhan cepat (0-30 jam fermentasi) terjadi penaikan jumlah asam lemak
bebas, penaikan suhu, pertumbuhan jamur cepat, terlihat dengan terbentuknya miselia
pada permukaan biji makin lama makin lebat, sehingga menunjukkan masa yang lebih
kompak.
b. Fase transisi (30-50 jam fermentasi) merupakan fase optimal fermentasi tempe dan siap
untuk dipasarkan. Pada fase ini terjadi penurunan suhu, jumlah asam lemak yang
dibebaskan dan pertumbuhan jamur hampir tetap atau bertambah sedikit, flavor spesifik
tempe optimal, dan tekstur lebih kompak.
c. Fase pembusukan atau fermentasi lanjut (50-90 jam fermentasi) terjadi penaikan
jumlah bakteri dan jumlah asam lemak bebas, pertumbuhan jamur menurun dan pada
kadar air tertentu pertumbuhan jamur terhenti, terjadi perubahan flavor karena
degradasi protein lanjut sehingga terbentuk amonia.
Persyaratan tempat yang dipergunakan untuk inkubasi kedelai adalah kelembaban,
kebutuhan oksigen dan suhu yang sesuai dengan pertumbuhan jamur (Hidayat, dkk. 2006).
Oksigen diperlukan dalam pertumbuhan kapang, tetapi bila berlebihan dan tak seimbang
dengan pembuangnya (panas yang ditimbulkan menjadi lebih besar dari pada panas yang
dibuang dari bungkusan). Jika hal ini terjadi maka suhu kedelai yang sedang difermentasi
menjadi tinggi dan mengakibatkan kapangnya mati (Hayati, 2009).

Untuk pertumbuhannya kapang tempe memerlukan suhu antara 25-30oC (suhu kamar).
Oleh karena itu suhu ruang fermentasi harus diperhatikan dan memiliki fentilasi yang
cukup. Derajat keasaman (pH) mempengaruhi keberhasilan fermentasi. Kondisi pH
optimum selain berfungsi sebagai syarat kapang untuk tumbuh, juga diperlukan untuk
mencegah tumbuhnya mikroba lain selama fermentasi. Oleh karena itu kestabilan udara
(oksigen), suhu dan pH dalam ruang fermentasi menentukan keberhasilan proses fermentasi
tempe (Pusbangtepa, 1982). Adapun kondisi pH optimum untuk pertumbuhan kapang ialah
4-5 (Nout dkk, 1987 dalam Silvia, 2009).

5. Fermentasi Kecap
Fermentasi terbagi menjadi 2 tahap yaitu tahap I dan tahap II. Tahap I merupakan
tahap fermentasi kering atau yang biasa disebut pengkojian . Sedangkan tahap II
merupakan tahap basah atau yang disebut moromi.
Pada Fermentasi I (koji) setelah perebusan, kedelai di fermentasi menggunakan
starter kapang. Ada dua spesies kapang yang mendegradasi komponen gizi pada kedelai.
Dalam proses fermentasi koji yang digunakan adalah kapang Rhizopus oryzae dan
Aspergillus soyae. Kedelai yang telah diinokulasi jamur tersebut didiamkan pada suhu
25°C selama 3 – 5 hari, di mana dalam 3 hari jamur tersebut menghasilkan enzim
proteinase dan amilase. Dalam proses pembuatan koji dihasilkan pula glukosa dan asam-
asam amino. Di antara beberapa jenis asam amino yang terbentuk, salah satunya
adalah asam glutamat yang akan memberikan cita rasa kecap yang gurih. Total nitrogen
pada koji dapat meningkat setelah 20 – 70 jam inkubasi. Di sisi lain pada awal proses
fermentasi dapat terbentuk juga amonia bebas yang kemudian kandungannya semakin
meningkat setelah 40 – 50 jam. Proses proteolisis pada kedelai menjadi asam amino
terjadi pada proses fermentasi koji dengan waktu 48 – 72 jam.
Pada Fermentasi II (moromi) mempunyai kegunaan untuk menumbuhkan
mikroorganisme pathogen yang tidak tahan hidup pada salinitas tinggi, terjadi fermentasi
etanol dan asam laktat, dan terjadi hidrolisis protein yang berperan penting dalam
pembentukan monosodium glutamate. Proses pembuatan moromi, kedelai yang telah
tertutupi oleh jamur atau koji, dimasukkan ke dalam larutan garam NaCl 18% –
20% , kemudian diinokulasi pada suhu kamar (25 – 30°C) selama 3 sampai 12
bulan. Enzim proteolitik yang dihasilkan oleh jamur pada koji yang terdapat pada
media tidak semuanya dapat dihambat oleh konsentrasi garam yang tinggi, sehingga
proses proteolisis sejak tahap koji terus berlangsung hingga tahap moromi, kerena
hadirnya Lactobacillus dan ragi kedelai atau Saccharomyces rouxii. Awalnya tahap
fermentasi ini dapat menghasilkan asam laktat, kemudian setelah pH medium turun
menjadi 5, terjadilah proses fermentasi yang melibatkan Saccharomyces rouxii. Ragi ini
dapat tumbuh ketika pH asam pada tahap pembentukan moromi.
Saccharomyces rouxii yang diisolasi dari moromi adalah ragi utama yang terlibat
dalam pembentukan aroma kecap yang difermentasi. Asam laktat yang dihasilkan
pada tahap moromi dapat mencegah kebusukan dan membuat bubur kedelai menjadi
asam. Selama tahap moromi dihasilkan cairan yang mana cairan tersebut adalah kecap.
Karena proses fermentasi ini, struktur protein didalam kedelai terpecah menjadi
berbagai macam asam amino. Berbagai macam asam amino ini bercampur dengan garam
yang ditambahkan, membentuk kandungan umami yang tinggi. Umami adalah sebutan
untuk rasa gurih. Hal ini terbentuk karena terbentuknya MSG alami dalam campuran.
MSG adalah campuran Natrium dari NaCl (Garam) dan Glutamat dari Asam Glutamat.
Reaksi antara asam glutamate dan natrium clorida menghasilkan senyawa baru Mono
sodium glutamat.
6. Fermentasi Taoco
Pada prinsipnya proses pembuatan tauco melalui dua tahap fermentasi yaitu:
fermentasi kapang dan fermentasi garam. Secara tradisional, kedua tahapan fermentasi
tersebut dilakukan secara spontan dimana mikroba yang berperan selama fermentasi
berasal dari udara sekitarnya atau dari sisa-sisa spora kapang yang tertinggal pada
wadah bekas fermentasi sebelumnya (Suprihatin, 2010).

 Fermentasi Kapang
Penggunaan kapang yang berbeda akan berpengaruh pada mutu dari taoco yang
dihasilkan. Selama proses fermentasi baik fermentasi kapang maupun fermentasi garam
akan terjadi perubahan-perubahan baik secara fisik maupun kimiawi karena aktivitas
dari mikroba tersebut (Suprihatin, 2010).

Selama fermentasi kapang, Aspergillus oryzae yang berperan akan memproduksi


enzim seperti enzim amilase, enzim protease, dan enzim lipase. Dengan adanya kapang
tersebut maka akan terjadi pemecahan komponen-komponen dari bahan tersebut
(Suprihatin, 2010).

Produksi enzim dari kapang dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya


adalah waktu fermentasi atau waktu inkubasi. Bila waktunya terlalu lama maka akan
terjadi pembentukan spora kapang yang berlebihan dan ini akan menyebabkan
terbentuknya cita rasa yang tidak diinginkan (Suprihatin, 2010).
 Fermentasi Garam
Mikroba yang aktif dalam fermentasi garam adalah Lactobacillus delbrueckii,
Hansenula sp., dan Zygosaccharomyces yang dapat tumbuh secara spontan (Suprihatin,
2010). Selama proses fermentasi garam, enzim-enzim hasil dari fermentasi kapang akan
memecah komponen-komponen gizi dari kedelai menjadi senyawa-senyawa yang lebih
sederhana. Protein kedelai akan diubah menjadi asam amino, sedangkan karbohidrat akan
diubah menjadi senyawa organik.
Senyawa-senyawa tersebut kemudian akan bereaksi dengan senyawa lainnya yang
merupakan hasil dari proses fermentasi asam laktat dan alkohol. Reaksi antara asam-asam
organik dan etanol (alkohol) lainnya akan menghasilkan ester-ester yang merupakan
senyawa pembentuk cita rasa dan aroma. Adanya reaksi antara asam amino dengan gula
akan menyebabkan terjadinya pencoklatan yang akan mempengaruhi mutu produk secara
keseluruhan (Suprihatin, 2010).
Karena proses fermentasi ini, struktur protein di dalam kedelai terpecah-pecah
menjadi berbagai macam asam amino. Berbagai asam amino ini bercampur dengan garam
yang ditambahkan, membentuk kandungan umami yang tinggi sekali.
7. Fermentasi Bir
Proses pembuatan bir, fermentasi merupakan proses utama dan memakan
sebagian besar waktu dalam produksi dari awal hingga akhir, dimana proses fermentasi
bir dimulai dengan proses malting dan mashing, yaitu proses pemecahan polisakarida
menjadi oligosakarida, dalam proses malting dan mashing, protein barley (Hordeum
vulgare L.) terdegradasi menjadi asam amino dan peptida kecil oleh enzim proteolitik.
Proses malting terdiri dari 4 tahap yaitu seduhan, perkecambahan, pembakaran dan
pemanggangan. (Baxter et al.,1981).

Tingkat kelembapan / moisture content dari barley ditingkatkan dengan


penyeduhan dari kisaran 12% hingga menjadi 45%, dan diaduk secara berkala serta
secara konstan di tambahankan udara lembab dalam proses perkecambahan agar barley
tetap mempertahankan biji barley terpisah satu sama lain, biji barley yang telah diproses
perkecambahan selama 4 – 5 hari kemudian dikeringkan dan di panggang untuk
mendapatkan warna dan kandungan rasa yang diinginkan.
Biji barley kemudian difermentasi bir kemudian di fermentasi, fermentasi
dilakukan dalam kondisi anaerob oleh ragi, serta menghasilkan etanol dan gas
karbondioksida (Delvira, 2015). Ragi adalah sekumpulan mikroorganisme yang
umumnya digunakan dalam melakukan proses fermentasi, ragi yang secara umum
digunakan dalam proses fermentasi adalah strain Saccharomyces cereviciae.
Ragi digunakan dalam proses pembuatan roti, bir, minuman beralkohol, dan
beberapa proses pengolahan yang membutuhkan hadirnya kinerja mikroorganisme.
Terdapat beberapa ragi yang dapat digunakan dalam pengolahan dan proses fermentasi
bir dan minuman beralkohol, terdapat dua buah pembagian jenis ragi, di antaranya ragi
liar dan ragi komersial. Pada dasarnya kedua golongan tersebut hanya membedakan
kemurnian strain dari ragi yang digunakan dalam proses fermentasi.
Ragi “liar” diyakini merupakan strain ragi yang murni tanpa ditambahkan nutrisi
tertentu, namun sesuai dengan beberapa contoh percobaan proses, tidak ditunjukkan
adanya perbedaan dengan penggunaan ragi komersial dan liar, sehingga diperoleh
simpulan bahwa ragi komersial merupakan ragi liar yang sudah diternakkan. Beberapa
contoh ragi yang digunakan dalam proses fermentasi minuman beralkohol di antaranya
adalah strain Saccharomyces dan Brettanomyces (Lentz, 2014).
8. Fermentasi Saurkraut (Acar)
Acar dapat dibuat dengan menggunakan satu atau lebih jenis sayuran sebagai
bahan utamanya. Penelitian oleh Sultana dkk., (2014) telah meneliti pembuatan acar
menggunakan gabungan bahan utama wortel, cabai hijau, dan terong. Selama proses
fermentasi terjadi perubahan warna wortel dari oranye gelap menjadi oranye terang,
perubahan warna cabai hijau dari hijau terang menjadi hijau lembut, dan perubahan
warna terong dari ungu tua menjadi ungu muda. Terkadang terdapat warna hitam pada
acar yang disebabkan oleh Bacillus nigrificans yang dapat memproduksi pigmen hitam
larut air. Selama fermentasi, sayuran juga menyerap garam dengan cepat hingga
mencapai kesetimbangan tertentu dengan larutan garam di sekitarnya. Peran garam
selama fermentasi adalah dapat mencegah tumbuhnya mikrobia pembusuk yang tidak
diinginkan serta berkontribusi memberikan tekstur acar yang tidak terlalu keras namun
tidak terlalu lunak karena garam dapat mencegah terjadinya pelemahan jaringan pada
sayuran (Caplice dan Fitgerald, 1999; Fernandes, 2000).

Tekstur sayuran menjadi lebih lunak dibandingkan saat masih mentah karena
adanya mikrobia seperti Bacillus, Fusarium, Penicillium, Phoma, Cladosporium,
Alternaria, Mucor, Aspergillus, dan lain-lain yang dapat menghasilkan enzim pektinase
dan mengurai pektin (seperti dinding kokoh yang memberikan tekstur keras pada
permukaan sayuran mentah). Selain itu, tekstur lunak juga dapat disebabkan karena
adanya pertumbuhan Bacillus vulgates. Terkadang ketika kita mengonsumsi acar, perut
akan terasa kembung. Rasa kembung ini disebabkan oleh Enterobacter, Lactobacilli,
dan Piococci yang dapat menghasilkan gas pada proses pembuatan acar (Amoa-Awua
dkk., 1997; Jay dkk., 2005).

9. Fermentasi Cuka
Asam cuka dihasilkan melalui proses fermentasi etanol menjadi asam cuka
dengan menggunakan Acetobacter aceti. Asam cuka adalah senyawa yang sangat
penting dalam pengolahan bahan pangan baik sebagai bumbu maupun bahan pengawet.
Menurut Effendi (2002), fermentasi asam cuka berlangsung dalam keadaan aerob
menggunakan bakteri A.aceti dengan substrat etanol. Pertumbuhan
A. aceti akan optimal pada kondisi aerob. Hal ini karena bakteri A. aceti
termasuk dalam bakteri aerob obligatif yaitu bakteri yang tidak dapat hidup tanpa
adanya oksigen. Pada umumnya perubahan yang terjadi pada fermentasi etanol
menurut Buckle et al. (2010) ditunjukan dengan persamaan sebagai berikut :
Acetobacter aceti
C2H5OH+ O2 CH3COOH +H2O

Perubahan etanol menjadi asam cuka merupakan hasil dari aktivitas A. aceti.
Ada beberapa faktor utama yang mempengaruhi fermentasi etanol menjadi asam cuka
menurut Waluyo (2005) yaitu:
1) Jumlah A. aceti

Jumlah A. aceti yang terlibat selama proses fermentasi etanol menjadi asam
cuka sangat berpengaruh terhadap kecepatan proses fermentasi. Jumlah A. aceti
yang digunakan dalam proses fermentasi ini berkisar antara 5-15% dari jumlah media
fermentasi. Berdasarkan hasil penelitian Effendi (2002), jumlah A. aceti yang paling
baik dalam proses fermentasi etanol menjadi asam cuka adalah 10% dari volume media
fermentasi.

1) pH

Proses fermentasi etanol menjadi asam cuka dapat berjalan dengan baik pada pH
optimal antara 5,4-6,3. Pada pH yang terlalu tinggi akan mengakibatkan A. aceti
mengalami kerusakan sel dan pada pH rendah A. aceti akan mengalami inaktif,
akibatnya proses fermentasi tidak akan berlangsung (Bergey’s, 1994).

2) Suhu

Suhu merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi proses fermentasi. Setiap
mikroorganisme memiliki suhu maksimal, minimal dan optimal.Suhu pertumbuhan A.
aceti berkisar antara 5o-42oC dan suhu optimal berkisar antara 25o-30oC. Berdasarkan
hasil penelitian Fahmi (2012), suhu yang paling baik selama proses fermentasi yaitu
25oC.
3) Udara

Fermentasi untuk menghasilkan asam cuka berlangsung secara aerob obligatif


yaitu menggunakan oksigen untuk pertumbuhanA. aceti. A. aceti tidak akan tumbuh jika
tidak terdapat oksigen sehingga proses fermentasi tidak akan berlangsung (Buckle et al.,
2010).

4) Nutrisi
A. aceti membutuhkan nutrisi untuk melakukan fermentasi etanol menjadi asam
cuka. Nutrisi pada media fermentasi adalah zat-zat yang mengandung fosfor dan nitrogen
seperti: super phosphat, amonium sulfat, amonium phosphat, urea, dan magnesium sulfat.
A. aceti membutuhkan unsur C, H, O, N, dan P dalam jumlah besar. Jika kekurangan unsur
C, H, O, N, dan P maka A. aceti tidak akan tumbuh dan berkembangbiak dengan baik
(Dewati, 2008).

Anda mungkin juga menyukai