BAB I
PENDAHULUAN
Secara etimologi atau asal-usul bahasa, kata-kata Bhinneka Tunggal Ika berasal dari
bahasa Jawa Kuno yang bila dipisahkan menjadi Bhinneka = beragam atau beraneka,
Tunggal = satu, dan Ika = itu. Artinya, secara harfiah, jika diartikan menjadi beraneka satu
itu. Maknanya, bisa dikatakan bahwa beraneka ragam tetapi masih satu jua. Semoboyan ini
diambil dari kitab atau kakawin Sutasoma karangan Empu Tantular, yang hidup pada masa
Kerajaan majapahit sekitar abad ke-14 M.
Hal ini menunjukkan bahwa negara kita telah hidup dalam keberagaman sudah sejak dahulu
kala. Oleh akrena itu, kita tak boleh meninggalkan sejarah NKRI agar negara kita tetap
bersatu dan dapat hidup berdampingan. Keberagaman yang ada dipakai untuk membentuk
suatu Negara yang besar. Keberagaman yang terjadi baik itu di dalam segi kepercayaan,
warna kulit, suku bangsa, agama, bahasa, menjadikan Bangsa Indonesia menjadi bangsa yang
besar dan berdaulat. Sejarah mencatat bahwasanya semua anak bangsa yang tergabung dalam
berbagai macam suku turut serta memperjuangkan kemerdekaan bangsa Indonesia dengan
mengambil peran masing-masing.
Para tokoh bangsa yang bergerak dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia sudah
menyadari tantangan yang harus dihadapi oleh karena kemajemukan yang ada di dalam
bangsa ini. Ke-bhinneka-an adalah sebuah hakikat yang sudah ada dalam bangsa Indonesia,
sedangkan ke-Tunggal-Ika-an adalah sebuah cita-cita kebangsaan. Semboyan inilah yang
menjadi tonggak dalam utuhnya negara kita kedepannya.
Konsep Bhinneka Tunggal Ika adalah sebuah semboyan yang dijadikan dasar Negara
Indonesia. Oleh sebab itu, Bhinneka Tunggal Ika patut dijadikan sebagai landasan untuk
mewujudkan persatuan dan kesatuan di dalam bangsa Indonesia. Dalam mempertahankan
paham persatuan dan kesatuan ini haruslah kita menanamkan sikap Bhinneka Tunggal Ika
dalam kehidupan sehari-hari. Penanaman sikap ini penting dalam membentuk generasi yang
bermoral dan bermartabat demi keutuhan NKRI.
Membiasakan bersahabat dan saling membantu dengan sesama warga yang ada di lingkungan
kita, seperti gotong royong akan dapat memudahkan tercapainya persatuan dan kesatuan
bangsa. Bangsa Indonesia harus merasa satu, senasib sepenanggungan, sebangsa, dan sehati
dalam kekuatan wilayah nasional dengan segala isi dan kekayaannya merupakan satu
kesatuan wilayah.
Dalam penerapan sikap Bhinneka Tunggal Ika, tentunya ada hambatan-hambatan tersendiri
dalam membentuk persatuan yang solid dan terstruktur. Salah satu kelebihan kita dan
menjadi hambatan paling besar yang kita hadapi adalah keragaman suku bangsa dan budaya
kita sendiri.
Suku bangsa adalah suatu golongan manusia yang terikat oleh kesadaran dan identitas
akan kesatuan kebudayaan. Identitas seringkali dikuatkan kesatuan bahasa. Oleh karena itu,
kesatuan kebudayaan bukan suatu hal yang ditentukan oleh orang luar, melainkan oleh warga
yang bersangkutan itu sendiri. Suku-suku yang ada di Indonesia antara lain Gayo di Aceh,
Dayak di Kalimantan, dan Asmat di Papua.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Sejarah Bangsa Indonesia adalah sejarah suatu bangsa yang terdiri orang-orang yang
berbeda. Sejak zaman pra agama ke zaman Hindu-Budha, Nasrani sampai dengan masuknya
Agama Islam, bahkan termasuk zaman kolonial Belanda dan memasuki era kemerdekaan
Bangsa Indonesia telah memiliki pengalaman bersama, meskipun saat dan drajat pengalaman
tersebut berlainan pada berbagai kelompok komunitas atau pun suku ang ada. Bahkan dapat
dikatakan pengalaman bersama dalam menghadapi pengaruh luar itulah merupakan pengaruh
pemersatu utama bagi Bangsa Indonesia. (Herqutanto Sosronegoro 1990: 6).
Sejalan dengan apa yang dinyatakan oleh Herqutanto di atas terkait dengan persatuan
Bangsa Indonesia adalah apa yang dinyatakan oleh Moedjanto. Menurut Moedjanto integrasi
Bangsa Indonesia, merupakan hasil dari proses sejarah yang panjang.
Bangsa Indonesia yang majemuk tergerak untuk bersatu karena berbagai faktor yaitu :
4. Hikmah dari politik kolonial (Devide et Impera) yang dipetik oleh Bangsa Indonesia;
Oleh karena itu wajarlah apa yang dikatakan Mpu Tantular atas ungkapannya yang
sangat populer sampai di era modern ini yakni Bhinneka Tunggal Ika. Ungkapan ini
sesungguhnya merupakan pernyataan universal karena jauh sebelumnya sudah dikemukakan
simbol pemersatu bangsa yang dikenal dengan istilah E Pluribus Unum yang memiliki makna
yang sama. Ni’matul Huda menamakannya Unity in Diversity. (Ni’matul Huda 2014: 11).
Sementara itu menurut Parekh dalam Farida Hanum dan Setya Raharja (2011: 115)
mengemukakan pengertian multikulturalisme meliputi tiga hal. Pertama, multikulturalisme
berkenaan dengan budaya; kedua, merujuk pada keragaman yang ada; ketiga, berkenaan
dengan tindakan spesifik pada respon terhadap keragaman tersebut. Akhiran “isme”
menunjukkan suatu doktrin normatif yang diharapkan bekerja pada setiap orang dengan
konteks masyarakat dengan beragam budaya. Sedangkan Musa Asy’arie dalam Choirul
Mahfud (2008: 103) berpendapat bahwa multikulturalisme adalah kearifan untuk melihat
keanekaragaman budaya sebagai realitas fundamental dalam kehidupan bermasyarakat.
Kearifan itu segera muncul, jika seseorang membuka diri untuk menjalani kehidupan bersama
dengan melihat realitas plural sebagai kemestian hidup yang kodrati, baik dalam kehidupan
diri sendiri yang multidimensional maupun dalam kehidupan masyarakat yang kompleks, dan
karenanya muncul kesadaran bahwa keanekaragaman dalam realitas.
Nilai ini memandang bahwa kebenaran yang dianut oleh suatu kelompok, dianut juga oleh
kelompok lain. Nilai ini mengakui terhadap pluralisme dalam suatu komunitas atau kelompok
sosial, menjanjikan dikedepankannya prinsip inklusifitas yang bermuara pada tumbuhnya
kepekaan terhadap berbagai kemungkinan unik yang ada.
b.Nilai Mendahulukan Dialog (Aktif)
Dengan dialog, pemahaman yang berbeda tentang suatu hal yang dimiliki masing-masing
kelompok yang berbeda dapat saling diperdalam tanpa merugikan masing-masing pihak.
Hasil dari mendahulukan dialog adalah hubungan erat, sikap saling memahami, menghargai,
percaya, dan tolong menolong.
Kemanusiaan manusia pada dasarnya adalah pengakuan akan pluralitas, heterogenitas, dan
keragaman manusia itu sendiri. Keragaman itu bisa berupa ideologi, agama, paradigma, suku
bangsa, pola pikir, kebutuhan, tingkat ekonomi, dan sebagainya.
d.Nilai Toleransi
Sebagai makhluk sosial, manusia tak bisa hidup sendirian meski segalanya ia miliki. Harta
benda berlimpah sehingga setiap saat apa yang ia mau dengan mudah dapat terpenuhi, tetapi
ia tidak bisa hidup sendirian tanpa bantuan orang lain dan kebahagiaan pun mungkin tak akan
pernah ia rasakan.
Keadilan merupakan sebuah istilah yang menyeluruh dalam segala bentuk, baik keadilan
budaya, politik, maupun sosial. Keadilan sendiri merupakan bentuk bahwa setiap insan
mendapatkan apa yang ia butuhkan, bukan apa yang ia inginkan.
Dalam Islam, istilah persamaan dan persaudaraan itu dikenal dengan nama ukhuwah.
Ada tiga jenis ukhuwah dalam kehidupan manusia, yaitu: Ukhuwah Islamiah (persaudaraan
seagama), ukhuwah wathaniyyah (persaudaraan sebangsa), ukhuwah bashariyah
(persaudaraan sesama manusia). Dari konsep ukhuwah itu, dapat disimpulkan bahwa setiap
manusia baik yang berbeda suku, agama, bangsa, dan keyakinan adalah saudara. Karena
antarmanusia adalah saudara, setiap manusia memiliki hak yang sama.
h.Berbaik Sangka
Memandang seseorang atau kelompok lain dengan melihat pada sisi positifnya dan dengan
paradigma itu maka tidak akan ada antar satu kelompok dengan kelompok lain akan saling
menyalahkan. Sehingga kerukunan dan kedamaian pun akan tercipta.
Cinta tanah air dalam hal ini tidak bermakna sempit, bukan chauvanisme yang membangga-
banggakan negerinya sendiri dan menghina orang lain, bukan pula memusuhi negara lain.
Akan tetapi rasa kebangsaan yang lapang dan berperikemanusiaan yang mendorong untuk
hidup rukun dan damai dengan bangsa-bangsa lain
Sikap Pluralis
Pluralitas (plurality) dalam Muhammad Yusri FM (2008: 1) adalah konsep
yang mengandaikan adanya ‘hal-hal yang lebih dari satu (many). Sementara Musa
Asyari dalam Sumartana, dkk (2001: 195) menjelaskan lebih jauh tentang pluralitas,
yang disebut lebih terperinci dengan istilah pluralitas kebudayaan. Pluralitas
kebudayaan dipahami juga sebagai kekuatan perekat untuk melakukan kerjasama dan
membangun saling pengertian untuk memperkokoh kebersamaan menghadapi
kesatuan nasib manusia secara kolektif Saefuddin Azwar (1997: 4) menjelaskan,
kerangka pemikiran tentang sikap dibagi menjadi tiga. Pertama diwakili oleh Louis
Thrurstone, Rensis Likert, dan Chaarles Osgood. Menurut mereka, sikap adalah suatu
bentuk evaluasi atau reaksi perasaan. Kemudian juga dikatakan oleh Berkowitz dalam
Saefuddin Azwar (1997: 5) bahwa sikap seseorang terhadap suatu objek adalah
perasaan mendukung atau memihak (favourable) maupun perasaan tidak mendukung
atau tidak memihak (unfavourable) pada objek tersebut.(Maemunah,2007: 77-95)
medeskripsikan beberapa sikap yang mencerminkan sikap pluralis.
a. Hidup dalam Perbedaan (Sikap Toleransi/Tasamuh)
Menurut Zakiyatun Baidhawi dalam Maemunah (2007: 78) sikap toleransi dapat diartikan,
kesiapan dan kemampuan batin untuk menerima orang lain yang berbeda secara hakiki
meskipun terdapat konflik dengan pemahaman tentang jalan hidup yang baik dan layak
menurut pandangan pribadi kita. Seseorang dinyatakan toleran jika dia dapat membolehkan
atau membiarkan orang lain menjadi diri mereka sendiri dan bukan keinginan kita untuk
mempengaruhi mereka supaya mengikuti ide kita. Tumbuhnya sikap toleransi dalam setiap
pribadi, dapat mengundang dialog untuk saling mengkomunikasikan dan menjelaskan
perbedaan serta ada saling pengakuan.
Sikap saling menghargai adalah sikap mendudukkan semua manusia dalam relasi kesetaraan,
tidak ada superioritas maupun inferioritas.
Rasa saling percaya adalah salah satu unsur terpenting dalam relasi antarsesama
manusia (modal sosial) untuk penguatan kultural suatu masyarakat. Kecurigaan dan khianat
merupakan awal yang buruk dalam membangun komunikasi lintas batas, sebaliknya
senantiasa berprasangka baik (husnudzan) dan memelihara kepercayaan adalah unsur yang
harus ditekankan.
Manusia adalah makhluk sosial (homo socius), antara satu dengan yang lainnya adalah saling
membutuhkan dan saling melengkapi. Hal ini menuntut agar orang selalu bekerja sama dan
bertanggung jawab satu dengan yang lain. Kondisi seperti ini hanya dapat terjadi dalam
tatanan sosial yang sehat, dimana manusia saling memelihara hubungan sosial yang kokoh.
Tanpa orang lain segala sistem yang telah dibangun akan sulit dan mustahil berfungsi bagi
pengembangan harmoni sosial dan empati kemanusiaan. Hal ini membutuhkan kerjasama
dalam suatu masyarakat sehingga tercipta kesejahteraan bersama.
BABIII
CONTOH KASUS
Desa Ngargoyoso, di kaki Gunung Lawu, mungkin bisa menjadi potret toleransi. Di
desa tersebut, tiga tempat ibadah, yakni masjid, gereja, dan pura berdiri berdampingan.
Pengurus Gereja Katedral Jakarta Pusat mengubah jadwal misa Minggu pagi yang
bertepatan denga Hari Idul Fitri di tahun ini. Hal ini dilakukan agar halaman gereja ini bisa
dipakai parkir umat Muslim yang salat di Istiqlal.
Ribuan umat muslim di Kota Denpasar, Bali melaksanakan salat id 1 Syawal 1438
Hijriah di Lapangan Lumintang. Salat berjalan dengan khidmat dengan pengamanan polisi
bersenjata dan pecalang yang beragama Hindu.Tradisi toleransi tersebut bukan hanya
berjalan tahun ini, melainkan telah berjalan selama bertahun-tahun.
4. Umat Islam di Tambraw, Papua bantu umat Kristen saat perayaan hari besar
Sesuai dengan kajian pustaka yang kami peroleh, bahwa dari kasus-kasus di atas
sebernarnya pluralisme bukanlah halangan bagi bangsa kita untuk saling bertoleransi antar
etnis. Justru jika kita hubungkan dengan sejarah kita sendiri bahwa Indonesia merdeka
dikarenakan perbedaan itu sendiri. Semboyan Bhinneka Tunggal Ika sendiri telah
mempresentasikan bagaimana masyarakat Indonesia hidup berdampingan di antara perbedaan
perbedaan yang ada. Hal ini perlu didukung dengan adanya kesadaran dalam masing-masing
pribadi masyarakat Indonesia.
BAB V
PENUTUP
1. Kesimpulan
Adanya keragaman manusia di maksudkan bahwa setiap manusia memiliki
perbedaan. Perbedaan itu ada karena manusia adalah mahluk individu memiliki ciri-
ciri khas sendiri. Dalam kehidupan masyarakat juga terdapat keanekaragaman warna
dan kebudayaan. Misalnya keanekaragaman ras,bahasa,budaya,dan lain-lain. Adanya
keanekaragaman budaya juga turut dipengaruhi oleh keadaan geografi suatu
lingkungan masyarakat. Dengan adanya keadaan geografi yang berbeda juga turut
mempengaruhi pola kehidupan suatu masyarakat, sperti
berburu,meramu,berladang,berternak,dll.
2. Saran
Dengan adanya keanekaragaman warna masyarakat dan kebudayaan hendaknya kita
menyikapinya dengan bijak. Toleransi dan saling menghormati antar sesama
masyarakat harus dijunjung tinggi. Walaupun banyak perbedaan dalam kehidupan
masyarakat. Hal yang terpenting adalah menghindari sifat etnosentrisme dan egoisme
dalam kehidupan masyarakat yang multikultural demi tercapainya kelangsungan
hidup masyarakat yang damai dan aman.