Referat Abses Hepar
Referat Abses Hepar
A. PENDAHULUAN
Abses hati adalah bentuk infeksi pada hati yang disebabkan oleh karena
infeksi bakteri, parasit, jamur maupun nekrosis steril yang bersumber dari
sistem gastrointestinal yang ditandai dengan adanya proses supurasi dengan
pembentukan pus yang terdiri dari jaringan hati nekrotik, sel-sel inflamasi atau
sel darah didalam parenkim hati .(1)
Secara umum, abses hati terbagi 2, yaitu abses hati amebik (AHA) dan
abses hati piogenik (AHP). AHA merupakan salah satu komplikasi amebiasis
ekstraintestinal yang paling sering dijumpai di daerah tropik/subtropik,
termasuk Indonesia. AHP dikenal juga sebagai hepatic abscess, bacterial liver
abscess, bacterial abscess of the liver, bacterial hepatic abscess. AHP ini
merupakan kasus yang relatif jarang, pertama ditemukan oleh Hippocrates (400
SM) dan dipublikasikan pertama kali oleh Bright pada tahun 1936. (1)
1
peritonium terdapat jaringan ikat padat yang disebut kapsula Glisson yang meliputi
seluruh permukaan hati. Setiap lobus hati terbagi menjadi struktur-struktur yang
disebut sebagai lobulus, yang merupakan unit mikroskopis dan fungsional
organ yang terdiri atas lempeng-lempeng sel hati dimana diantaranya terdapat
sinusoid. Selain sel-sel hati, sinusoid vena dilapisi oleh sel endotel khusus dan
sel Kupffer yang merupakan makrofag yang melapisi sinusoid dan mampu
memfagositosis bakteri dan benda asing lain dalam darah sinus hepatikus. Hati
memiliki suplai darah dari saluran cerna dan limpa melalui vena porta hepatika
dan dari aorta melalui arteria hepatika. (2,3,4)
2
Pengolahan metabolik kategori nutrien utama (karbohidrat, lemak,
protein) setelah penyerapan dari saluran pencernaan
a. Metabolisme karbohidrat : menyimpan glikogen dalam jumlah besar,
konversi galaktosa dan friktosa menjadi glukosa, glukoneogenesis, serta
pembentukan banyak senyawa kimia dari produk antara metabolisme
karbohidrat.
b. Metabolisme lemak : oksidasi asam lemak untuk menyuplai energi bagi
fungsi tubuh yang lain, sintesis kolesterol,fosfolipid,dan sebagian besar
lipoprotein, serta sintesis lemak dari protein dan karbohidrat
c. Metabolisme protein : deaminasi asam amino, pembentukan ureum untuk
mengeluarkan amonia dari cairan tubuh, pembentukan protein plasma,
serta interkonversi beragam asam amino dan sintesis senyawa lain dari
asam amino.
3
beberapa faktor koagulasi lainnya. Vitamin K dibutuhkan oleh proses
metabolisme hati, untuk membentuk protrombin dan faktor VII, IX, dan X.
C. EPIDEMIOLOGI
Di negara – negara yang sedang berkembang, AHA didapatkan secara
endemik dan jauh lebih sering dibandingkan AHP. AHP ini tersebar di
seluruh dunia, dan terbanyak di daerah tropis dengan kondisi hygiene /sanitasi
yang kurang. Secara epidemiologi, didapatkan 8 – 15 per 100.000 kasus AHP
yang memerlukan perawatan di RS, dan dari beberapa kepustakaan Barat,
didapatkan prevalensi autopsi bervariasi antara 0,29 – 1,47% sedangkan
prevalensi di RS antara 0,008 – 0,016%. AHP lebih sering terjadi pada pria
dibandingkan perempuan, dengan rentang usia berkisar lebih dari 40 tahun,
dengan insidensi puncak pada dekade ke – 6. (1)
Abses hati piogenik sukar ditetapkan. Dahulu hanya dapat dikenal
setelah otopsi. Sekarang dengan peralatan yang lebih canggih seperti USG,
CT Scan dan MRI lebih mudah untuk membuat diagnosisnya. Prevalensi
4
otopsi berkisar antara 0,29-1,47 % sedangkan insidennya 8-15 kasus/100.000
penderita. (2)
Hampir 10 % penduduk dunia terutama negara berkembang terinfeksi
E.histolytica tetapi hanya 1/10 yang memperlihatkan gejala. Insidens
amubiasis hati di rumah sakit seperti Thailand berkisar 0,17 % sedangkan di
berbagai rumah sakit di Indonesia berkisar antara 5-15% pasien/tahun.
Penelitian di Indonesia menunjukkan perbandingan pria dan wanita berkisar
3:1 sampai 22:1, yang tersering pada dekade keempat. Penularan umumnya
melalui jalur oral-fekal dan dapat juga oral-anal-fekal. Kebanyakan yang
menderita amubiasis hati adalah pria dengan rasio 3,4-8,5 kali lebih sering
dari wanita. Usia yang sering dikenai berkisar antara 20-50 tahun terutama
dewasa muda dan lebih jarang pada anak. Infeksi E.histolytica memiliki
prevalensi yang tinggi di daerah subtropikal dan tropikal dengan kondisi yang
padat penduduk, sanitasi serta gizi yang buruk. (2,7)
D. ETIOLOGI
5
Amuba bentuk trofozoit dengan pseupoda ukuran besar (8)
6
kaku. Pembentukan kista ini dipercepat dengan berkurangnya bahan
makanan atau perubahan osmolaritas media. (2,9)
7
6. Kriptogenik tanpa faktor predisposisi yang jelas, terutama pada
orang lanjut usia. Namun insiden meningkat pada pasien dengan
diabetes atau kanker metastatik. (1,7,10,11)
E. PATOGENESIS
8
berwarna coklat kemerahan, sebagai akibat jaringan hepar
serta sel darah merah yang dicerna. (2,8,12,13)
9
F. GAMBARAN KLINIS
Gejala :
a. Demam internitten ( 38-40 oC)
b. Nyeri perut kanan atas, kadang nyeri epigastrium dan dapat menjalar
hingga bahu kanan dan daerah skapula
c. Anoreksia
d. Nausea
e. Vomitus
f. Keringat malam
g. Berat badan menurun
h. Batuk
i. Pembengkakan perut kanan atas
j. Ikterus
k. Buang air besar berdarah
l. Kadang ditemukan riwayat diare
m. Kadang terjadi cegukan (hiccup)
Kelainan fisis :
a. Ikterus
b. Temperatur naik
c. Malnutrisi
d. Hepatomegali yang nyeri spontan atau nyeri tekan atau disertai komplikasi
e. Nyeri perut kanan atas
f. Fluktuasi
10
Gambaran klinis abses hati piogenik menunjukkan manifestasi sistemik yang
lebih berat dari abses hati amuba.
Keluhan :
a. Demam yang sifatnya dapat remitten, intermitten atau kontinyu yang
disertai menggigil
b. Nyeri spontan perut kanan atas ditandai dengan jalan membungkuk ke
depan dan kedua tangan diletakkan di atasnya.
c. Mual dan muntah
d. Berkeringat malam
e. Malaise dan kelelahan
f. Berat badan menurun
g. Berkurangnya nafsu makan
h. Anoreksia
Pemeriksaan fisis :
a. Hepatomegali
b. Nyeri tekan perut kanan
c. Ikterus, namun jarang terjadi
d. Kelainan paru dengan gejala batuk, sesak nafas serta nyeri pleura
e. Buang air besar berwarna seperti kapur
f. Buang air kecil berwarna gelap
g. Splenomegali pada AHP yang telah menjadi kronik
G. DIAGNOSIS
11
serologi. Untuk diagnosis abses hati amebik juga dapat menggunakan
kriteria Sherlock (1969), kriteria Ramachandran (1973), atau kriteria
Lamont dan Pooler.
a. Kriteria Sherlock (1969)
1. Hepatomegali yang nyeri tekan
2. Respon baik terhadap obat amebisid
3. Leukositosis
4. Peninggian diafragma kanan dan pergerakan yang kurang.
5. Aspirasi pus
6. Pada USG didapatkan rongga dalam hati
7. Tes hemaglutinasi positif
b. Kriteria Ramachandran (1973)
Bila didapatkan 3 atau lebih dari:
1. Hepatomegali yang nyeri
2. Riwayat disentri
3. Leukositosis
4. Kelainan radiologis
5. Respons terhadap terapi amebisid
c. Kriteria Lamont Dan Pooler
Bila didapatkan 3 atau lebih dari:
1. Hepatomegali yang nyeri
2. Kelainan hematologis
3. Kelainan radiologis
4. Pus amebik
5. Tes serologi positif
6. Kelainan sidikan hati
7. Respons terhadap terapi amebisid
12
Diagnosis dapat ditegakkan bukan hanya dengan CT-Scan saja, meskipun
pada akhirnya dengan CT-Scan mempunyai nilai prediksi yang tinggi
untuk diagnosis AHP, demikian juga dengan tes serologi yang dilakukan.
Tes serologi yang negatif menyingkirkan diagnosis AHA, meskipun
terdapat pada sedikit kasus, tes ini menjadi positif beberapa hari kemudian.
Diagnosis berdasarkan penyebab adalah dengan menemukan bakteri
penyebab pada pemeriksaan kultur hasil aspirasi, ini merupakan standar
emas untuk diagnosis. (1)
H. PEMERIKSAAN PENUNJANG
13
menegakkan diagnosis secara mikrobiologik. Pemeriksaan biakan pada
permulaan penyakit sering tidak ditemukan kuman. Kuman yang sering
ditemukan adalah kuman gram negatif seperti Proteus vulgaris,
Aerobacter aerogenes atau Pseudomonas aeruginosa, sedangkan kuman
anaerib Microaerofilic sp, Streptococci sp, Bacteroides sp, atau
Fusobacterium sp. (1,2)
14
kanan, efusi pleura, atelektasis basal paru, empiema, atau abses paru. Pada
foto thoraks PA, sudut kardiofrenikus tertutup, pada posisi lateral sudut
kostofrenikus anterior tertutup. Secara angiografik abses merupakan
daerah avaskuler. Kadang-kadang didapatkan gas atau cairan pada
subdiafragma kanan. Pemeriksaan USG, radionuclide scanning, CT scan
dan MRI mempunyai nilai diagnosis yang tinggi. CT scan dan MRI dapat
menetapkan lokasi abses lebih akurat terutama untuk drainase perkutan
atau tindakan bedah. Gambaran CT scan : apabila mikroabses berupa lesi
hipodens kecil-kecil < 5 mm sukar dibedakan dari mikroabses jamur, rim
enhancement pada mikroabses sukar dinilai karena lesi terlalu kecil.
Apabila mikroabses > 10 mm atau membentuk kluster sehingga tampak
massa agak besar maka prakontras kluster piogenik abses tampak sebagai
masa low density berbatas suram. Pasca kontras fase arterial tampak
gambaran khas berupa masa dengan rim enhancement dimana hanya
kapsul abses yang tebal yang menyengat. Bagian tengah abses terlihat
hipodens dengan banyak septa-septa halus yang juga menyengat, sehingga
membentuk gambaran menyerupai jala. Fase porta penyengatan dinding
kapsul abses akan semakin menonjol dan sekitar dinding abses tampak
area yang hipodens sebagai reaksi edema di sekitar abses. Sebagian kecil
piogenik bersifat monokuler, tidak bersepta, dan menyerupai abses
amoebiasis. Pembentukan gas di dalam abses biasanya pada infeksi oleh
kuman Klebsiella. (1,2,)
Gambaran CT Scan dengan multifokal abses hati piogenik pada segmen IV. Abses
lainnya terdapat pada segmen VII dan VIII.(8)
15
Karateristik abses pada pemeriksaan MRI adalah lesi dengan
penyengatan kontras yang berbentuk cincin dan bagian sentral yang tidak
tampak penyengatan. Cincin penyengatan tetap terlihat pada fase tunda. (2)
Sangat sukar dibedakan gambaran USG antara abses piogenik dan amebik.
Biasanya sangat besar, kadang-kadang multilokular. Struktur eko rendah
sampai cairan ( anekoik ) dengan adanya bercak-bercak hiperekoik
(debris) di dalamnya. Tepinya tegas, ireguler yang makin lama makin
bertambah tebal. (16)
I. PENATALAKSANAAN
1. Medikamentosa
Abses hati amoeba tanpa komplikasi lain dapat menunjukkan
penyembuhan yang besar bila diterapi hanya dengan antiamoeba.
Pengobatan yang dianjurkan adalah:
a. Metronidazole
Metronidazole merupakan derivat nitroimidazole, efektif untuk
amubiasis intestinal maupun ekstraintestinal., efek samping yang
paling sering adalah sakit kepala, mual, mulut kering, dan rasa kecap
logam. Dosis yang dianjurkan untuk kasus abses hati amoeba adalah 3
x 750 mg per hari selama 5 – 10 hari. Sedangkan untuk anak ialah 35-
50 mg/kgBB/hari terbagi dalam tiga dosis. Derivat nitroimidazole
lainnya yang dapat digunakan adalah tinidazole dengan dosis 3 x 800
mg perhari selama 5 hari, untuk anak diberikan 60 mg/kgBB/hari
dalam dosis tunggal selama 3-5 hari.
b. Dehydroemetine (DHE)
Merupakan derivat diloxanine furoate. Dosis yang direkomendasikan
untuk mengatasi abses liver sebesar 3 x 500 mg perhari selama 10 hari
atau 1-1,5 mg/kgBB/hari intramuskular (max. 99 mg/hari) selama 10
hari. DHE relatif lebih aman karena ekskresinya lebih cepat dan
16
kadarnya pada otot jantung lebih rendah. Sebaiknya tidak digunakan
pada penyakit jantung, kehamilan, ginjal, dan anak-anak
c. Chloroquin
Dosis klorokuin basa untuk dewasa dengan amubiasis ekstraintestinal
ialah 2x300 mg/hari pada hari pertama dan dilanjutkan dengan 2x150
mg/hari selama 2 atau 3 minggu. Dosis untuk anak ialah 10
mg/kgBB/hari dalam 2 dosis terbagi selama 3 minggu. Dosis yang
dianjurkan adalah 1 g/hari selama 2 hari dan diikuti 500 mg/hari
selama 20 hari.
2. Aspirasi
Apabila pengobatan medikamentosa dengan berbagai cara tersebut di
atas tidak berhasil (72 jam), terutama pada lesi multipel, atau pada
ancaman ruptur atau bila terapi dcngan metronidazol merupakan
kontraindikasi seperti pada kehamilan, perlu dilakukan aspirasi.
Aspirasi dilakukan dengan tuntunan USG.
3. Drainase Perkutan
Drainase perkutan indikasinya pada abses besar dengan ancaman ruptur
atau diameter abses > 7 cm, respons kemoterapi kurang, infeksi
campuran, letak abses dekat dengan permukaan kulit, tidak ada tanda
perforasi dan abses pada lobus kiri hati. Selain itu, drainase perkutan
berguna juga pada penanganan komplikasi paru, peritoneum, dan
perikardial.
4. Drainase Bedah
Pembedahan diindikasikan untuk penanganan abses yang tidak berhasil
mcmbaik dengan cara yang lebih konservatif, kemudian secara teknis
susah dicapai dengan aspirasi biasa. Selain itu, drainase bedah
diindikasikan juga untuk perdarahan yang jarang tcrjadi tetapi
mengancam jiwa penderita, disertai atau tanpa adanya ruptur abses.
Penderita dengan septikemia karena abses amuba yang mengalami
infeksi sekunder juga dicalonkan untuk tindakan bedah, khususnya bila
usaha dekompresi perkutan tidak berhasil Laparoskopi juga
17
dikedepankan untuk kemungkinannya dalam mengevaluasi tcrjadinya
ruptur abses amuba intraperitoneal.
Pencegahan
Merupakan cara efektif untuk menurunkan mortalitas akibat abses
hati piogenik yaitu dengan cara:
a. Dekompresi pada keadaan obstruksi bilier baik akibat batu
ataupun tumor dengan rute transhepatik atau dengan
melakukan endoskopi
b. Pemberian antibiotik pada sepsis intra-abdominal
Terapi definitif
Terapi ini terdiri dari antibiotik, drainase abses yang
adekuat dan menghilangkan penyakit dasar seperti sepsis yang
berasal dari saluran cerna. Pemberian antibiotika secara intravena
sampai 3 gr/hari selama 3 minggu diikuti pemberian oral selama 1-
2 bulan. Antibiotik ini yang diberikan terdiri dari:
a. Penisilin atau sefalosporin untuk coccus gram positif dan
beberapa jenis bakteri gram negatif yang sensitif. Misalnya
sefalosporin generasi ketiga seperti cefoperazone 1-2
gr/12jam/IV
b. Metronidazole, klindamisin atau kloramfenikol untuk
bakteri anaerob terutama B. fragilis. Dosis metronidazole
500 mg/6 jam/IV
c. Aminoglikosida untuk bakteri gram negatif yang resisten.
d. Ampicilin-sulbaktam atau kombinasi klindamisin-
metronidazole, aminoglikosida dan siklosporin.
Drainase abses
Pengobatan pilihan untuk keberhasilan pengobatan adalah drainase
terbuka terutama pada kasus yang gagal dengan pengobatan
konservatif. Penatalaksanaan saat ini adalah dengan menggunakan
18
drainase perkutaneus abses intraabdominal dengan tuntunan
abdomen ultrasound atau tomografi komputer.
Drainase bedah
Drainase bedah dilakukan pada kegagalan terapi antibiotik, aspirasi
perkutan, drainase perkutan, serta adanya penyakit intra-abdomen
yang memerlukan manajemen operasi.
J. KOMPLIKASI
J.1 Abses Hepar Amoeba
K. PROGNOSIS
19
Pada kasus AHA, sejak digunakan obat seperti dehidroemetin atau emetin,
metronidazole dan kloroquin, mortalitas menurun tajam. Mortalitas di rumah
sakit dengan fasilitas menurun tajam. Mortalitas di rumah sakit dengan
fasilitas memadai sekitar 2% dan pada fasilitas yang kurang memadai
mortalitasnya 10%. Pada kasus yang membutuhkan tindakan operasi
mortalitas sekitar 12%. Jika ada peritonitis amuba, mortalitas dapat mencapai
40-50%. Kematian yang tinggi ini disebabkan keadaan umum yang jelek,
malnutrisi, ikterus, dan renjatan. Sebab kematian biasanya sepsis atau sindrom
hepatorenal. Selain itu, prognosis penyakit ini juga dipengaruhi oleh virulensi
penyakit, status imunitas, usia lanjut, letak serta jumlah abses dan terdapatnya
komplikasi. Kematian terjadi pada sekitar 5% pasien dengan infeksi
ektraintestinal, serta infeksi peritonial dan perikardium. (2,13)
Prognosis abses piogenik sangat ditentukan diagnosis dini, lokasi yang
akurat dengan ultrasonografi, perbaikan dalam mikrobiologi seperti kultur
anaerob, pemberian antibiotik perioperatif dan aspirasi perkutan atau drainase
secara bedah. Faktor utama yang menentukan mortalitas antara lain umur,
jumlah abses, adanya komplikasi serta bakterimia polimikrobial dan gangguan
fungsi hati seperti ikterus atau hipoalbuminemia. Komplikasi yang berakhir
mortalitas terjadi pada keadaan sepsis abses subfrenik atau subhepatik, ruptur
abses ke rongga peritonium, ke pleura atau ke paru, kegagalan hati, hemobilia,
dan perdarahan dalam abses hati. Penyakit penyerta yang menyebabkan
mortalitas tinggi adalah DM, penyakit polikistik dan sirosis hati. Mortalitas
abses hati piogenik yang diobati dengan antibiotika yang sesuai bakterial
penyebab dan dilakukan drainase adalah 10-16 %. Prognosis buruk apabila:
terjadi umur di atas 70 tahun, abses multipel, infeksi polimikroba, adanya
hubungan dengan keganasan atau penyakit immunosupresif, terjadinya sepsis,
keterlambatan diagnosis dan pengobatan, tidak dilakukan drainase terhadap
abses, adanya ikterus, hipoalbuminemia, efusi pleural atau adanya penyakit
lain. (1,2)
20
Hepatoma Merupakan tumor ganas hati primer.
Anamnesis: penurunan berat badan, nyeri perut kanan
atas, anoreksia, malaise, benjolan perut kanan atas.
Pemeriksaaan fisik : hepatomegali berbenjol-benjol,
stigmata penyakit hati kronik.
Laboratorium : peningkatan AFP, PIVKA II, alkali
fosatase
USG : lesi lokal/ difus di hati
Kolesistitis akut Merupakan reaksi inflamasi kandung empedu akibat
infeksi bakterial akut yang disertai keluhan nyeri perut
kanan atas, nyeri tekan, dan panas badan.
Anamnesis : nyeri epigastrium atau perut kanan atas
yang dapat menjalar ke daerah scapula kanan, demam.
Pemeriksaan fisik : teraba massa kandung empedu,
nyeri tekan disertai tanda-tanda peritoitis lokal,
Murphy sign (+), ikterik biasanya menunjukkan
adanya batu di saluran empedu ekstrahepatik.
Laboratorium: leukositosis
USG : penebalan dining kandung empedu, sering
ditemukan pula sludge atau batu.
21
LAPORAN KASUS
IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn.T
Umur : 43 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Buruh bangunan
No. RM : 481449
Alamat : Bontobila, Gowa
Ruangan : Lontara 1 Bawah,Kelas 3,Kamar 7, RSWS
Tanggal Masuk RS : 1 Oktober 2011
22
Riwayat DM (-)
Riwayat hipertensi (-)
Riwayat sakit kuning sebelumnya (-)
Riwayat batuk lama (-)
Riwayat BAB encer sebelumnya (+) dialami sekitar 2 minggu yang lalu
sebelum masuk rumah sakit selama 3 hari ; lendir (+) darah (+)
Riwayat konsumsi alkohol (+) , jenis ballo, sejak ± 10 tahun yang lalu, 1 –
2 botol/hari
Riwayat merokok > 20 tahun
Riwayat minum ramu-ramuan/jamu (-)
Riwayat konsumsi obat anti nyeri (-)
PEMERIKSAAN FISIK :
Status Present :
SS/GK/CM
BB = 44 kg; TB = 158 cm; IMT = 17,62 kg/m2
Tanda Vital :
TD = 110/70 mmHg; N = 92 x/i; P = 24 x/i; S = 37,9 oC
Kepala :
Konjungtiva anemis, sklera tidak ikterus, bibir tidak sianosis
Mulut :
Tidak ditemukan bercak – bercak putih pada rongga mulut
Leher :
Tidak didapatkan massa tumor, tidak ada nyeri tekan, tidak ada pembesaran
kelenjar getah bening maupun kelenjar gondok. DVS R-2 cmH2O.
Thoraks :
Inspeksi : Simetris kiri dan kanan, ikut gerak napas, bentuk normochest,
penggunaan otot bantu pernapasan (-)
Palpasi : Tidak ada massa tumor, tidak ada nyeri tekan, vocal fremitus
simetris kiri dan kanan.
Perkusi : Sonor kedua lapangan paru, batas paru hepar sela iga V anterior
dextra.
23
Auskultasi : Bunyi pernapasan vesikuler, Rhonki -/-, Wheezing -/-
Jantung :
Inspeksi : Ictus cordis tampak di ICS V linea medioklavikularis sinistra
Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS V linea medioklavikularis sinistra
Perkusi : Pekak, batas jantung kesan normal (batas jantung kanan terletak
pada linea sternalis kanan, batas jantung kiri sesuai dengan ictus
cordis terletak pada sela iga 5 – 6 linea medioklavikularis kiri)
Auskultasi : Bunyi jantung I/II murni reguler, bunyi tambahan (-)
Abdomen :
Inspeksi : Datar, ikut gerak napas
Auskultasi : Peristaltik (+) kesan normal
Palpasi : MT (-) NT(+) regio hipochondrium dextra
Hepar teraba ± 3 jari di bawah arcus costa, konsistensi
kenyal, permukaan rata, tepi tumpul
Lien tidak teraba
Perkusi : Tympani
Ekstremitas : Edema (-)/(-)
Diagnosis Sementara:
Abses hepar
Kolesistitis akut
Hepatoma
Penatalaksanaan Awal :
Diet lunak
IVFD NaCl 0,9% 20 tpm
Metronidazole 0,5gr/8jam/IV
Sistenol 3 x 500 mg
Rencana Pemeriksaan :
USG Abdomen
Foto Thorax PA
Darah rutin
24
Urin rutin
SGOT, SGPT, ureum, kreatinin, gula darah sewaktu, bilirubin total, bilirubin
direk, albumin, alkali fosfatase, LED, PT, aPTT
Analisa feses
Pemeriksaan Laboratorium:
Tanggal Pemeriksaan
Jenis Pemeriksaan
01/10/2011 04/10/2011 07/10/2011 10/10/2011
WBC 21,07x103/uL 12,98x103/uL
RBC 3,67x106/uL 4,03 x106/uL
HGB 10,5 g/dL 11,3 g/dL
HCT 33,0% 36,6%
MCV 89,9 fL 90,8 fL
DARAH MCH 28,6 pg 28,0 pg
MCHC 31,8 g/dL 30,9 g/dL
RUTIN PLT 384x103/uL 317x103/uL
-Leukositosis -Leukositosis
-Anemia
Kesan
normositik
normokrom
SGOT 58 u/l
SGPT 44 u/l
KIMIA Ureum 34 mg/dl
DARAH Kreatinin 0,6 mg/dl
Bil.total 0,39 mg/dl
Bil. Direk 0,20 mg/dl
GDS 102 mg/dl
DM GDP
HbA1c
Na 138 mol/l
Lain-Lain K 3,7 mmol/l
Cl 110 mmol/l
Makroskopik :
Warna Kuning
Konsistensi Padat
Darah (-)
Lendir (-)
Analisa Mikroskopik :
Feses Lekosit (-)
Eritrosit (-)
Tdk
Telur cacing ditemukan
Amoeba (-)
Lain-lain (-)
25
Radiologi
26
Corakan bronchovasculer dalam batas normal
Tidak tampak proses spesifik aktif pada kedua paru
Cor dalam batas normal
Kedua sinus dan diafragma kiri baik, diafragma kanan letak tinggi
Tulang-tulang intak
Kesan : Elevasi Diafragma Kanan ( Proses Intrahepatik ? )
27
FOLLOW UP
28
minggu SMRS.
SP : SS/GK/CM
Anemia (-) ikterus (-) sianosis (-)
Leher : MT (-) NT (-) DVS R-2
cmH2O
Thorax : BP vesikuler Rh (-) Wh(-)
Jantung : BJ I/II murni regular
Abdomen :
I : datar ikut gerak napas
P : MT (-) NT (-), hepar teraba 3 jari
BAC, rata, kenyal, pinggir rata, NT
(+), limpa ttb
P : tympani, ascites (-)
A : peristaltik kesan normal
Eks : edema -/-
29
Usul :
Metronidazole 0,5 gr/8 jam/drips
Ceftriaxone 1 gr/12 jam/IV
Kultur pus
Konsul bedah digestive
03/10/2011 Jawaban konsul bedah digestive
Dx : Abses hepar
Setuju rawat sama
Rencana :
- Lengkapi pemeriksaan
- Informed Consent u/ tindakan
operasi pasien belum setuju
u/ tindakan operasi
04/10/2011 Perawatan Hari II Diet hepar
KU : Nyeri perut kanan atas IVFD NaCl 0,9% 20
T : 110/70 S : demam (+) kadang-kadang tpm
N : 88 x/i BAB : biasa,warna kuning coklat. Inj.Metronidazole
P : 24 x/i BAK : kesan lancar 0,5gr/8jam/IV (hari ke-3)
S : 36,7 0C Systenol 3x500 mg (KP)
O : SS/GK/CM Pmon : DR,
Kepala : Anemis (-), ikterus (-), SGOT/SGPT, ur/cr,
sianosis (-) bil.tot/direct, CT Scan
Leher : MT (-), NT (-), DVS R–1 abdomen
cmH2O
Thorax :
BP : Vesikuler, Rh -/- Wh -/-
Cor : BJ I/II murni reg
Abd : Peristaltik (+) kesan normal ;
hepar teraba 3 jari BAC, konsistensi
kenyal, permukaan rata, tepi tumpul ;
NT (+) di regio hipochondrium kanan
Ext : edema (-/-)
30
Lab : Bilirubin total 0,39 mg/dl ,
bilirubin direk 0,20 mg/dl
31
Leher : MT(-), NT (-), DVS R-1 pihak pasien
cmH2O Rencana lapor subdivisi
Thorax : gastro kalau pasien
BP : vesikuler, Rh (-), Wh (-) menolak melakukan
Cor : BJ I/II murni reguler operasi
Abd : peristaltik (+), NT (+) Monitoring : DR hari
hipochondrium dextra senin ( 10 oktober 2011 )
Ext : edema (-/-)
32
tidak ditemukan, amoeba (-), lain-lain
(-)
33
Thorax :
BP : vesikuler, Rh -/- Wh -/-
Cor : BJ I/II reguler
Abd : peristaltik (+), NT (+) regio
hipochondrium dextra
Ext : edema (-/-)
Lab :
WBC : 12,98x103/uL , HGB : 11,3
g/dL , HCT : 36,6% , MCHC :
30,9 g/dL , PLT : 372x103/uL
RESUME:
34
Seorang laki-laki, 43 tahun, masuk rumah sakit dengan keluhan nyeri perut
kanan atas, sejak 10 hari terakhir sebelum masuk rumah sakit. Nyeri dirasakan
tertusuk-tusuk dan tembus ke belakang. Nyeri dirasakan bertambah berat saat
batuk atau saat ditekan. Pasien merasa lebih enak dengan posisi membungkuk.
Mual (-) muntah (-) nyeri ulu hati (-). Demam (+) dialami sekitar 10 hari
terakhir sebelum masuk rumah sakit, hilang timbul, menggigil (-), dan turun
dengan obat penurun panas. Batuk (-) sesak napas (-) nyeri dada (-). Nafsu
makan menurun sejak pasien sakit
BAB : lancar, warna kuning/coklat, lendir (-) darah (-)
BAK : Lancar, warna kuning muda
35
8,5 x 9,5 cm pada lobus kanan. Tidak tampak dilatasi vascular maupun bile duct
dengan kesan abses hepar. Dan dari hasil pemeriksaan foto thorax didapatkan
adanya kesan elevasi diafragma kanan ( proses intrahepatik ? ).
DISKUSI
Pasien masuk dengan keluhan utama nyeri di perut bagian kanan atas.
Banyak penyakit yang dapat menimbulkan nyeri perut kanan atas, antara lain
abses hepar, hepatoma, kolesistitis, dan lain – lain. Pada kasus ini, diketahui
bahwa pasien mengalami nyeri perut kanan atas seperti tertusuk-tusuk, tembus ke
belakang dan bertambah berat saat batuk atau ditekan. Nyeri dirasa berkurang
pada posisi membungkuk. Pasien juga mengalami demam 10 hari sebelum masuk
rumah sakit yang hilang timbul, menggigil (-) dan turun dengan obat penurun
panas. Semenjak sakit, nafsu makan pasien berkurang. Dari pemeriksaan fisis
didapatkan tanda vital: TD = 110/70 mmHg, nadi: 92x/menit, pernapasan:
24x/menit, suhu: 37,9 0C. Pada pemeriksaan kepala ditemukan konjungtiva
anemis. Pada pemeriksaan abdomen, didapatkan kesan perut datar, ikut gerak
nafas, NT (+) di regio hipokondrium dextra, hepar teraba 3 jari di bawah arcus
costa ( konsistensi kenyal, permukaan rata, tepi tumpul ), dan peristaltik (+) kesan
normal.
Dari pemeriksaan USG Abdomen didapatkan hasil : ukuran hepar membesar,
tampak lesi mixechoic dominan hipoechoic, batas tegas tepi reguler, ukuran 9,8 x
8,5 x 9,5 cm pada lobus kanan. Tidak tampak dilatasi vascular maupun bile duct
dengan kesan abses hepar. Dan dari hasil pemeriksaan foto thorax didapatkan
adanya kesan elevasi diafragma kanan ( proses intrahepatik ? ). Pada pemeriksaan
laboratorium didapatkan leukositosis, SGOT dan SGPT meningkat , serta
bilirubin total dan bilirubin direk menurun. Dari hasil anamnesis, pemeriksaan
fisis, pemeriksaan laboratorium, dan pemeriksaan radiologi, pasien kini lebih
diarahkan dengan diagnosis abses hepar.
36
Abses hepar adalah bentuk infeksi pada hepar yang disebabkan oleh karena
infeksi bakteri, parasit, jamur maupun nekrosis steril yang bersumber dari sistem
gastrointestinal yang ditandai dengan adanya proses supurasi dengan
pembentukan pus yang terdiri dari jaringan hati nekrotik, sel-sel inflamasi atau sel
darah didalam parenkim hati . Secara umum, abses hati terbagi 2, yaitu abses hati
amebik (AHA) dan abses hati piogenik (AHP). Abses hati amebik disebabkan
oleh Entamoeba histolytica sedangkan organisme yang paling sering ditemukan
sebagai penyebab abses hati piogenik adalah E.Coli, Klebsiella pneumoniae,
Proteus vulgaris, Enterobacter aerogenes dan spesies dari bakteri anaerob
( contohnya Streptococcus Milleri ).
Tujuan diet hepar pada pasien ini adalah mencapai dan mempertahankan
status gizi optimal tanpa memberatkan fungsi hati dengan cara meningkatkan
regenerasi hati dan mencegah kerusakan lebih lanjut dan/atau meningkatkan
fungsi jaringan hati yang tersisa, mencegah katabolisme protein, mencegah
penurunan berat badan atau meningkatkan berat badan bila kurang, mencegah atau
mengurangi asites, varises esofagus, dan hipertensi portal, serta mencegah koma
hepatik. Syarat-syarat diet hepar adalah energi tinggi untuk mencegah pemecahan
protein yang diberikan bertahap sesuai kemampuan pasien yaitu 40-45 kkal/kgBB,
lemak cukup yaitu 20-25 % dari kebutuhan energi total, dalam bentuk yang
37
mudah dicerna atau dalam bentuk emulsi, protein agak tinggi yaitu 1,25-1,5
g/kgBB agar terjadi anabolisme protein, vitamin dan mineral sesuai dengan
tingkat defisiensi, natrium diberikan rendah tergantung tingkat edema dan ascites,
cairan diberikan lebih dari biasa, bentuk makanan lunak bila ada keluhan mual
dan muntah atau makanan biasa sesuai kemampuan saluran cerna.(19)
38
diagnosis abses hepar adalah melalui kultur darah yang memperlihatkan bakteri
penyebab. Pada pemeriksaan pus, bakteri penyebab misalnya bseperti Proteus
vulgaris, Pseudomonas aeroginosa bisa ditemukan. Namun, pemeriksaan ini sulit
dilakukan karena pengambilan pus dari hepar akan sangat menyakitkan bagi
pasien. Pemeriksaan analisa feses juga dilakukan untuk menilai feses baik dari
segi warna, konsistensi, ada atau tidaknya darah dan lendir, leukosit, eritrosit,
telur cacing, amoeba, dan lain-lain.
DAFTAR PUSTAKA
39
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2007. Hal 460-461.
2. Sofwanhadi, Rio. Widjaja, Patricia. Koan, Tan Siaw. Julius. Zubir, Nasrul.
Anatomi hati. Gambar tomografi dikomputerisasi (CT SCAN). Magnetic
resonance imaging (MRI) hati. Abses hati. Penyakit hati parasit. Dalam :
Sulaiman, Ali. Akbar, Nurul. Lesmana, Laurentius A. Noer, Sjaifoellah M.
Buku ajar ilmu penyakit hati edisi pertama. Jakarta : Jayabadi. 2007. Hal
1, 80-83, 93-94, 487-491, 513-514.
3. Lindseth, Glenda N. Gangguan hati, kandung empedu, dan pankreas.
Dalam : Price, Sylvia A. Wilson, Lorraine M. Patofisiologi konsep klinis
proses-proses penyakit vol.1 edisi 6. Jakarta : EGC. 2006. Hal 472-476.
4. Guyton, Arthur C. Hall, John E. Hati sebagai suatu organ. Dalam : Buku
ajar fisiologi kedokteran edisi 11. Jakarta : EGC. 2008. Hal 902-906.
5. Sherwood, Lauralee. Sistem pencernaan. Dalam : Fisiologi manusia dari
sel ke sistem edisi 2. Jakarta : EGC. 2001. Hal 565.
6. Keshav, Satish. Structure and function. In : The gastrointestinal system at
a glance. United Kingdom : Ashford Colour Press, Gosport. 2004. Chapter
27-28.
7. Friedman, Lawrence S. Rosenthal, Philip J. Goldsmith, Robert S. Liver,
biliary tract and pancreas. Protozoal and helminthic infections. In :
Papadakis, Maxine A. McPhee, Stephen J. Tierney, Lawrence M. Current
medical diagnosis and treatment 2008 forty-seventh edition. Jakarta : PT.
Soho Industri Pharmasi. 2008. Page 596, 1304-1306.
8. Krige,J. Beckingham, I.J. Liver abscesses and hydatid disease. In :
Beckingham, I.J. ABC of Liver, Pancreas, and Gall Bladder. Spain :
GraphyCems,Navarra. 2001. Chapter 40-42
9. Soedarto. Penyakit protozoa. Dalam : Sinopsis kedokteran tropis.
Surabaya : Airlangga University Press. 2007. Hal 23-24, 27-29.
10. Nickloes, Todd A. Pyogenic liver abcesses. January 23th, 2009. November
1st, 2011. Available from http://emedicine.medscape.com/article/193182-
overview#showall.
40
11. Crawford, James M. Hati dan saluran empedu. Dalam : Kumar. Cotran.
Robbins. Robbins buku ajar patologi vol.2 edisi 7. Jakarta : EGC. 2007.
Hal 684.
12. Fauci. et all. Infectious disease. In : Harrison’s principles of internal
medicine 17th edition. USA. 2008. Chapter 202.
13. Brailita, Daniel. Amebic liver abscesses. September 19th, 2008. November
1st, 2011. Available from http://emedicine.medscape.com/article/183920-
overview#showall.
14. Junita,Arini. Widita,Haris. Soemohardjo,Soewignjo. Beberapa kasus abses
hati amuba. Dalam : Jurnal penyakit dalam vol. 7 nomor 2. Mei 2006. 1
November 2011. Diunduh dari :
http://ejournal.unud.ac.id/abstrak/beberapa%20kasus%20abses%20hati
%20amuba%20(dr%20arini).pdf.
15. Kliegman. Behrman. Jenson. Stanton. The digestive system. In : Nelson
textbook of pediatric 18th edition. USA. 2007. Chapter 356.
16. Iljas, Mohammad. Ultrasonografi hati. Dalam : Rasad, Sjahriar. Radiologi
diagnostik edisi kedua. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. 2008. Hal 469.
17. Syarif, Amir. Elysabeth. Amubisid. Dalam : Gunawan, Sulistia Gan.
Setiabudy, Rianto. Nafrialdi. Farmakologi dan terapi edisi 5. Jakarta :
Balai Penerbit UI. 2008. Hal 551-554.
18. Rani, Aziz. Soegondo, Sidartawan. Nasir, Anna Uyainah. Wijaya, Ika
Prasetya. Nafrialdi. Mansjoer, Arif. Abses hati. Kolesistitis akut. Dalam :
Panduan pelayanan medik perhimpunan dokter spesialis penyakit dalam
Indonesia. Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam. 2009. Hal 321-
324.
19. Almatsier, Sunita. Diet penyakit hati dan kandung empedu. Dalam :
Penuntun diet edisi baru. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama. 2010.
Hal 120-122.
41