Anda di halaman 1dari 25

1

BAB I
PENDAHULUAN

Sensasi penglihatan, pendengaran, bau, rasa, sentuhan, dan nyeri merupakan


hasil stimulasi reseptor sensorik. Nyeri adalah sensasi yang penting bagi tubuh. Menurut
The International Association for Study of Pain, Nyeri adalah pengalaman sensorik
subjektif dan emosional yang tidak menyenangkan yang berhubungan dengan adanya
kerusakan jaringan maupun potensial, atau menggambarkan kondisi terjadinya
kerusakan.1
Penilaian baku intensitas nyeri didasarkan atas pernyataan penderita yang
bersangkutan (self-reported) krena nyeri bersifat subyektif. Pada saat penderita
mengalami kritis dan tidak mampu memberitahu intensitas nyeri yang mereka rasakan,
penilaian terhadap nyeri yang komprehensif membutuhkan evaluasi objektif melalui
observasi beberapa indicator nyeri. Perubahan variabel fisiologik (sebagai contoh :
denyut jantung, tekanan darah, kecepatan respirasi, keringat, ukuran pupil) sebagai
respon terhadap aksi nosiseptif di ICU dan dapat dipengaruhi secara luas oleh obat-
obatan. Karena itu telah dikembangkan skala nyeri non-verbal untuk penderita kritis.2
Beberapa instrumen penilaian nyeri berbasis indikator perilaku maupun
fisiologis telah dikembangkan, di antaranya the adult nonverbal pain scale (NVPS), the
nonverbal pain assessment tool (NPAT), behavioral pain scale (BPS), critical-care
pain observation tool (CPOT), pain assessment and intervention notation (PAIN).3
Menurut clinical practice guidelines for the management of pain, agitation, and
delirium in adult patients in the Intensive Care Unit tahun 2013, instrumen penilaian
nyeri yang paling valid dan reliabel adalah CPOT. Instrumen penilaian tersebut
merupakan reference standard pada saat ini.4
Penilaian skala nyeri yang spaling awal dan paling banyak diuji adalah The
Behavioural Pain Scale (BPS) yang dikembangkan oleh Payen dkk pada Tahun 20013
yang didasarkan pada studi observasi perilaku nyeri oleh Puntiko dkk pada Tahun 1997.
Puntillo menegaskan adanya hubungan antara indicator perilaku dan nyeri yang
dilaporkan oleh penderita tersebut.5 Alat penilai perilaku nyeri selain BPS yang baru-
baru ini dikembangka adalah Critical Care Paint Observation Tool (CPOT).6
2

Rijkenberg dkk (2015) telah membandingan validasi dan keefektivitasan antara


BPS dan CPOT dalam menghitung skala nyeri, disimpulkan bahwa BPS dan CPOT
sama-sama memiliki validasi yang tinggi dengan nilai interrater reliability 74% paa
BPS dan 75% pada CPOT.7 Konsisten dengan penelitian Rijkenberg dkk, Marpaung dkk
(2017) menyimpulkan bahwa CPOT merupakan instrumen penilaian nyeri yang lebih
tepat dan cermat dibanding dengan skala COMFORT, namun tidak terdapat perbedaan
reliabilitas CPOT dibanding dengan skala COMFORT dalam menilai intensitas nyeri
pada pasien yang menggunakan ventilasi mekanik saat stimulus noxious.8
Critical-care pain observation tool (CPOT) memiliki empat indikator perilaku,
yaitu ekspresi wajah, gerakan tubuh, ketegangan otot, serta sikronisasi dengan ventilasi
mekanik untuk pasien terintubasi atau vokalisasi untuk pasien yang tidak terintubasi.
Parameter pada setiap indikator bernilai 0–2, dengan nilai total mulai dari 0 sampai.9
Instrumen penilaian ini merupakan instrumen yang digunakan pada populasi pasien
dewasa.9 Penelitian yang dilakukan oleh Gelinas dkk. 9 pada 105 pasien bedah jantung
pada pusat kesehatan kardiologi di Quebec, Kanada, menggambarkan bahwa reliabilitas
penilai mempergunakan CPOT untuk menilai nyeri cukup tinggi pada hampir setiap
penilaian. Critical-care pain observation tool (CPOT) telah divalidasi pada berbagai
kelompok pasien dewasa di Instalasi Perawatan Intensif termasuk pasien pascabedah,
penyakit medis, dan trauma. CPOT juga telah dievaluasi secara positif untuk uji
kelayakan dan utilitas klinis.4,10
3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Nyeri
2.1.1 Pengertian Nyeri
Nyeri menurut The International Association for the Study of Pain (IASP) adalah
pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan sehubungan dengan
kerusakan jaringan baik aktual maupun potensial atau yang apapun yang dideskripsikan
sebagai suatu kerusakan jaringan. (“ an unpleasant sensory and emotional response
associated with actual or potential tissue damage or described in terms of such
damage”).1
Nyeri dapat menghalangi penderita mengikuti perawatan ICU (contoh : mobilisasi awal,
pemisahan dari ventilator mekanik). Jadi, para klinisi harus secara berkala menilai
kembali nyeri mereka dan mentitrasi campur tangan analgesik secara hati-hati untuk
mencegah respon negatif yang berpotensi muncul terkait dengan terapi analgesi yang
tidak adekuat atau berlebihan. Klinisi sebaiknya memberikan penilaian yang rutin pada
semua penderita penyakit kritis, menggunakan penjelasan dari penderita sendiri atau
pengukuran sikap yang sistematis. Penatalaksanaan nyeri dapat difasilitasi dengan
mengidentifikasi dan menangani nyeri sejak awal daripada menunggu sampai nyeri itu
bertambah parah.2,20

2.1.2 Klasifikasi Nyeri


Kemampuan untuk mendeteksi stimulus noksius sangat penting bagi kelangsungan
hidup dan kesejahteraan organisme dan untuk itu, kita memiliki 3 jenis nyeri yang perlu
dibedakan yaitu nyeri nosiseptif, nyeri inflamasi dan nyeri patologis.2,20
A. Nyeri Nosiseptif
Nyeri yang merupakan peringatan pertama sistem pertahanan fisiologis, penting untuk
mendeteksi dan meminimalisasi kontak dengan rangsangan merusak atau noksius. Nyeri
ini adalah nyeri yang kita rasakan ketika menyentuh sesuatu yang terlalu panas, dingin,
atau tajam. Karena nyeri ini berkaitan dengan rangsangan noksius, makan disebut nyeri
nosiseptif, nyeri dengan ambang tinggi yang diaktivasi pada kehadiran rangsangan kuat.
Komponen neurobiologis yang menghasilkan nyeri nosiseptif berkembang dari
4

kapasitas sistem saraf yang paling primitif. Peranan proteksinya memerlukan perhatian
dan aksi segera yang terjadi melalui peranan reflek withdrawal yang mengaktivasi,
ketidaknyamanan intrinsik dari sensasi yang ditimbulkan, dan penderitaan emosional
yang terlibat. Nyeri nosiseptif sendiri hadir sebagai sesuatu yang harus dihindari
sekarang, dan ketika terlibat, sistem menolak hampir semua fungsi saraf lain.20
B. Nyeri Inflamasi
Macam nyeri yang kedua juga adaptif dan protektif. Dengan sensitivitas sensoris yang
tinggi setelah kerusakan jaringan yang tak terhindarkan, nyeri ini menolong proses
penyembuhan bagian tubuh cedera dengan menciptakan situasi yang tidak mendukung
kontak fisik dan pergerakan. Hipersensitivitas nyeri mengurangi risiko lebih lanjut dari
kerusakan dan mencetuskan perbaikan, seperti setelah luka bedah atau pada sendi yang
radang, dimana rangsangan normal yang tidak berbahaya sekarang merangsang
timbulnya nyeri. Nyeri ini disebabkan aktivasi sistem imun oleh cedera jaringan atau
infeksi, dan oleh karena itu disebut nyeri inflamasi, sesungguhnya, nyeri adalah satu
dari tanda kardinal inflamasi. Sementara nyeri ini adaptif, nyeri inflamasi masih butuh
untuk dikurangi pada penderita dengan inflamasi terus-menerus, seperti pada
rheumatoid arthritis atau pada kasus cedera parah atau luas.
C. Nyeri Patologis
Merupakan nyeri yang tidak protektif, tapi maladaptif, dihasilkan dari sistem saraf yang
memiliki fungsi abnormal. Nyeri patolgis, dimana bukan merupakan gejala dari
kelainan tetapi lebih kepada status penyakit sistem saraf, dapat terjadi setelah adanya
kerusakan sistem saraf (nyeri neuropatik) dan pada kondisi dimana ada kerusakan atau
inflamasi (nyeri disfungsi). Kondisi yang menimbulkan nyeri disfungsi meliputi
fibromyalgia, irritable bowel syndrome, tension type headache, temporomandibular
joint disease, interstitial cystitis, dan sindrom lain dimana terdapat nyeri substansial
tetapi tidak ada ra ngsangan noksius dan tidak ada, atau sangat minim, inflamasi
patologis perifer. Pada sindrom nyeri klinis dengan kebutuhan yang tidak terpenuhi,
nyeri patologis secara luas adalah konsekuensi sinyal sensori diperkuat pada sistem
saraf pusat dan merupakan nyeri ambang rendah. Dengan analogi, jika nyeri adalah
alarm kebakaran, tipe nosiseptif akan diaktivasi dengan tepat hanya oleh adanya suhu
yang kuat, nyeri inflamasi akan diaktivasi oleh temperatur hangat, dan nyeri patologis
akan menjadi alarm palsu disebabkan oleh malfungsi dari sistem itu sendiri.
5

Gambar 1. Klasifikasi Nyeri Nyeri dapat dibagi menjadi 3 kelas.


(A) Nyeri nosiseptif menggambarkan sensasi berkaitan dengan deteksi rangsangan noksius kerusakan jaringan
potensial. (B) Nyeri inflamasi berkaitan dengan kerusakan jaringan dan infiltrasi sel imun dan dapat
mendukung perbaikan oleh hipersensitivitas penyebab nyeri sampai penyembuhan terjadi. (C) Nyeri
patologis adalah kondisi penyakit yang disebabkan oleh kerusakan sistem saraf (neuropatik) atau oleh
fungsi abnormal (disfungsiona). Sumber: Woolf, 2010.21
(B)
6

- Fisiologi Nyeri

Nosisepsi adalah proses dimana rangsangan suhu, mekanis atau kimia dideteksi
oleh subpopulasi serat saraf perifer yang disebut nosiseptor. Reseptor nyeri atau
nosiseptor biasanya terdapat di ujung saraf perifer kulit, otot, sendisendi, visceral, gigi
dan dura. Badan sel nosiseptor berlokasi di akar ganglia dorsal atau dorsal root ganglia
(DRG) untuk bagian badannya dan ganglion trigeminal untuk bagian wajah, dan
memiliki cabang akson perifer dan pusat yang menginervasi organ target dan korda
spinalis.2
Nosiseptor terangsang hanya jika intensitas rangsangan mencapai rentang noksius,
memberi kesan mereka memiliki bagian biofisikal dan molekular yang memampukan
mereka untuk mendeteksi dan merespon rangsangan berbahaya secara potensial.
Stimulasi noksius merupakan stimulasi dengan intensitas yang berpotensi dapat
merusak jaringan. Stimulasi terbagi atas mekanikal ( tekanan, pembengkakan, abses,
insisi), termal (burn), kimia (infeksi, iskemia, bahan toksik).2
Nosisepsi digunakan untuk menggambarkan respon neuron akibat trauma atau
stimulasi noksius. Semua nosisepsi berhubungan dengan nyeri tapi tidak semua nyeri
berasal dari nosisepsi. Terdapat 2 pembagian besar dari nosiseptor, pertama meliputi
aferen bermielin dengan diameter medium (Aδ) yang berperan pada proses nyeri akut,
terlokasi “pertama kali” atau nyeri yang cepat. Aferen bermielin ini berbeda sekali
dengan serat Aβ dengan diameter lebih besar dan cepat yang merespon terhadap
rangsangan mekanis yang tidak berbahaya. Kelas kedua nosiseptor meliputi serat C tak
bermielin diameter kecil yang tidak terlokalisir, nyeri “kedua” atau nyeri lambat.2
Sel pada dorsal horn yang merespon pada masukan nosiseptif ada 2 tipe umum :
nosiseptif-spesifik (NS) dan Wide Dynamic Range (WDR). Neuron nosiseptif-spesifik
hanya melayani stimuli noksius, tetapi neuron WDR juga menerima masukan aferen
non-noksius dari Aβ, Aδ dan serabut-serabut C. Neuron NS berlokasi terutama pada
lamina I dan bagian luar dari lamina II. Baik sel WDR dan NS memproyeksi dari korda
spinalis ke otak. Jalur asenden besar melalui traktus spinotalamikus. Banyak sel
berakhir pada nuklei somatosensoris di talamus lateral, terutama nukleus ventrobasal,
garis tengah nuklei intralaminar pada talamus adalah akhiran besar lainnya dari akson
spinotalamikus.
7

Beberapa serat asenden membawa informasi nosiseptif dari korda spinalis


berakhir kaudal pada talamus di nukleus rostral ventromedial medulla (RVM) dan pada
periaqueductal gray (PAG) di otak tengah. Proyeksi ini mengaktivasi sistem yang
timbal balik ke korda spinalis untuk mengatur masukan dari nosiseptor. 13 Ada 6 proses
dasar yang melingkupi proses nyeri yaitu transduksi, inflamasi, konduksi, transmisi,
modulasi, persepsi.14
a. Transduksi
Proses nyeri akut (nosiseptif) dimulai ketika luka yang sebenarnya dari sumber suhu,
kimia, atau mekanik merangsang ujung perifer neuron sensori (nosiseptor). Nosiseptor
menterjemahkan rangsangan fisik menjadi sinyal elektrik dimana jika cukup kuat akan
memicu potensial aksi. Efek yang terjadi dianalogikan seperti menyalakan sekring :
tidak semua rangsangan cukup kuat untuk menyalakan sekring, tetapi sekali menyala,
sinyal akan mengalami kemajuan di sepanjang rangkaian kecuali sinyal tersebut
terganggu.13
b. Inflamasi lokal
Trauma juga memicu kerusakan sel untuk melepaskan substansi inflamasi yang
meningkatkan sensitivitas nyeri. Hasil berupa prostaglandin, substansi P, bradikinin,
serotonin,dan histamin menyebabkan area terjadinya luka menjadi kemerahan, bengkak,
dan sakit serta mengarah pada terjadinya hiperalgesia, ambang rendah nyeri.
Meningkatnya jumlah potensial aksi dan pelepasan secara tiba-tiba terjadi sebagai
respon
terhadap rangsangan. Tidak hanya rangsangan nyeri menjadi lebih nyeri dari biasanya,
tetapi rangsangan yang sebelumnya tidak nyeri dapat menjadi cukup nyeri (allodynia).
Meningkatnya sensitivitas kulit dari sengatan sinar matahari adalah contoh allodynia
dan hiperalgesia.
c. Konduksi
Sinyal nyeri kemudian terkonduksi sepanjang serabut saraf melalui lintasan potensial
aksi sepanjang neuron-neuron. Ion sodium masuk selama depolarisasi, kemudian ion
potasium keluar untuk memperbaiki garis dasar beban negatif. Tipe serabut yang
membawa sinyal
mempengaruhi kualitas nyeri. Serabut A-delta membawa nyeri yang tajam dan
terlokalisasi, sedangkan serabut C membawa nyeri terbakar yang sulit terlokalisasi dan
8

rasa sakit dari sekeliling area terjadinya luka. Bagaimanapun, karena tidak bermyelin,
serabut C lebih mudah mengalami kerusakan. Pada ruam saraf dan nyeri diabetik
neuropati, serabut C membawa beban terberat dari luka. Tidak heran, kualitas nyeri
pada
kondisi ini seringkali berupa burning allodynia.

d. Transmisi
Dimanapun satu jalur konduksi saraf berakhir dan yang lain muncul, neurotransmiter
(meliputi glutamat. Substansi P, norepinefrin, dopamin, dan serotonin) mengirimkan
sinyal menyeberangi celah sinaptik yang memisahkan mereka. Transmisi terjadi dalam
3 tahap yaitu: dari awal transduksi pada serat-serat nosiseptor menuju dorsal horn pada
spinal cord, kemudian dari spinal cord menuju brainstem dan menembus koneksi antara
talamus, korteks dan level lebih tinggi dalam otak.

e. Modulasi
Merupakan proses mengendalikan nyeri meliputi pengubahan tranmisi nyeri sehingga
mendorong peningkatan transmisi (mengeksitasi) atau menurunkan transmisi (inhibisi)
di spinal cord. Impuls nyeri ke otak mengaktifkan sirkuit umpan balik yang dapat
menghambat efek input sensoris pada tingkat spinal cord atau brainstem bahkan
menekan respon nyeri (descending pathway). Umpan balik negatif sering mengacu pada
sistem analgesik endogen. Proses inhibisi ini akan mengaktifkan neurotransmiter yang
dapat memblokir seluruh atau sebagian transmisi impuls sehingga menghasilkan
analgesia.

f. Persepsi
Merupakan hasil akhir aktivitas proses nyeri yang menghasilkan pengalaman
multidimensi tentang nyeri. Berbagai macam reaksi terhadap stimulasi nyeri tidak hanya
sensoris yang khusus nyeri tapi juga respons afektif terhadap stimulasi nyeri tersebut
seperti refleks somatik dan automatik, perubahan endokrin, dan adanya daya ingat
terhadap nyeri.
9

2.2. Skrining Nyeri

Secara umum, nyeri dibedakan antara nyeri nosiseptik dan nyeri neuropatik.
Nyeri nosiseptik dan nyeri neuropatik masing-masing memiliki perbedaan karakteristik
yang signifikan.

Tabel 1. Perbedaan karakteristik nyeri nosiseptik dan nyeri neuropatik12.

Nyeri Nosiseptik Nyeri Neuropatik


 Terlokalisasi pada tempat cedera  Nyeri di bagian distal dari lesi atau disfungsi
saraf
 Sensasi sesuai stimulus
 Sensasi tidak selalu sesuai dengan stimulus, rasa
 Akut, mempunyai batas waktu
panas, berdenyut, ngilu
 Memiliki fungsi protektif
 Kornis, persisten setelah cedera menyembuh

 Tidak memiliki fingsi protektif

Untuk membedakan antara nyeri nosiseptif dan nyeri neuropatik dapat


digunakan Pain Quality Assessment Tools, yaitu12:

a. ID Pain
Digunakan untuk membedakan antara nyeri neuropatik dan nosiseptik.
Terdiri atas 5 komponen nyeri neuropatik, yaitu rasa kesemutan, panas terbakar,
kebas/baal, kesetrum, nyeri bertambah bila tersentuh, dan 1 komponen nyeri
nosiseptik yaitu nyeri yang terbatas pada persendian/otot/ gigi/lainnya. Bila skor
>2 mungkin terdapat nyeri neuropatik13

Tabel 2. ID Pain13

Pertanyaan Kondisi Skor


Apakah nyeri terasa seperti kesemutan? Tidak 0
Ya +1
Apakah nyeri terasa panas/membakar? Tidak 0
Ya +1
Apakah terasa baal/kebal Tidak 0
Ya +1
Apakah nyeri bertambah hebat saat tersentuh? Tidak 0
Ya +1
10

Apakah nyeri hanya terasa di persendian /otot / Tidak 0


geligi /lainnya?
Ya -1

Total skor

Skor total minimum : -1


Skor total maksimum : 5
Jika skor >2, mungkin terdapat nyeri neuropatik.

b. LANSS (The Leeds Assessment of Neuropathic Symptoms and Signs Pain


Scale)
Untuk membedakan nyeri neuropatik atau nosiseptik juga dapat
digunakan instrumen LANSS, yang memiliki tingkat sensitivitas 82 - 91% dan
spesifitas 80 – 94%. Terdiri atas kuesioner nyeri yang harus dijawab oleh pasien
dan tes sensoris. Bila skor ≥ 12 mungkin pasien menderita nyeri neuropatik.14

Tabel 3. Instrumen LANSS Pain Scale14

A. Kuesioner Nyeri
 Pikirkan bagaimana rasa nyeri anda dalam minggu terakhir

 Harap disampaikan apakah rasa nyeri anda sesuai dengan pernyataan-


pernyataan ini

Apakah nyeri anda terasa sebagai rasa tidak nyaman yang Tidak 0
aneh pada kulit?
Ya 5
Apakah nyeri anda menyebabkan kulit di bagian yang Tidak 0
terasa sakit kelihatan berbeda dari biasanya?
Ya 5
Apakah nyeri anda menyebabkan bagian kulit yang Tidak 0
terkena menjadi tidak normal pekanya terhadap
sentuhan?
Apakah rasa tidak nyaman bila kulit digores secara
ringan atau rasa nyeri bila memakai pakaian yang ketat
dapat untuk menggambarkan keadaan tidak normal ini?
Ya 3
Apakah nyeri anda muncul tiba-tiba dengan mendadak Tidak 0
tanpa ada sebab yang jelas pada saat anda sedang
11

berdiam diri?
Ya 2
Apakah nyeri anda terasa seakan-akan suhu kulit di Tidak 0
bagian yang nyeri berubah secara tidak normal?
Ya 1
B. Tes Sensoris
Alodinia Tidak 0
Menggores kulit dengan kapas secara ringan pada bagian
tidak nyeri dibandingkan bagian yang tidak normal
Ya 5
Perubahan nilai ambang nyeri pada tusukan jarum Sama 0
Beda 3
Total skor (maksimum 24)

Skor < 12 : rasa nyeri bukan karena mekanisme neuropatik.

Skor ≥ 12 : mekanisme nyeri neuropatik mungkin merupakan penyebab.

2.3. Penilaian Nyeri

Ada beberapa cara untuk membantu mengetahui akibat nyeri menggunakan


skala penilaian nyeri tunggal atau multidimensi.

- Skala Penilaian Nyeri Uni-dimensional

Skala penilaian nyeri uni-dimensional memiliki karakteristik sebagai berikut: (1)


hanya mengukur intensitas nyeri, (2) cocok untuk nyeri akut, (3) skala yang biasa
digunakan untuk evaluasi outcome pemberian analgetik. Skala penilaian nyeri uni-
dimensional ini meliputi:

a. Visual Analog Scale (VAS)


Skala analog visual (VAS) adalah cara yang paling banyak digunakan
untuk menilai nyeri. Skala linier ini menggambarkan secara visual gradasi
tingkat nyeri yang mungkin dialami seorang pasien. Rentang nyeri diwakili
sebagai garis sepanjang 10 cm, dengan atau tanpa tanda pada tiap sentimeter.
Tanda pada kedua ujung garis ini dapat berupa angka atau pernyataan deskriptif.
Ujung yang satu mewakili tidak ada nyeri, se- dangkan ujung yang lain
mewakili rasa nyeri terparah yang mungkin terjadi. Skala dapat dibuat vertikal
atau horizontal. VAS juga dapat diadaptasi menjadi skala hilangnya/ reda rasa
nyeri. Digunakan pada pasien anak >8 tahun dan dewasa. Manfaat utama VAS
12

adalah penggunaannya sangat mudah dan sederhana. Namun, untuk periode


pascabedah, VAS tidak banyak bermanfaat karena VAS memerlukan koordinasi
visual dan motorik serta kemampuan konsentrasi.15

Visual Analog Scale

Gambar 2. Visual Analog


Scale (VAS)15

b. Verbal Rating Scale (VRS)


Skala ini menggunakan angka-angka 0 sampai 10 untuk menggambarkan
tingkat nyeri. Dua ujung ekstrem juga digunakan pada skala ini, sama seperti
pada VAS atau skala reda nyeri. Skala numerik verbal ini lebih bermanfaat pada
periode pascabedah, karena secara alami verbal/kata-kata tidak terlalu
mengandalkan koordinasi visual dan motorik. Skala verbal menggunakan kata-
kata dan bukan garis atau angka untuk menggambarkan tingkat nyeri. Skala
yang digunakan dapat berupa tidak ada nyeri, sedang, parah. Hilang/redanya
nyeri dapat dinyatakan sebagai sama sekali tidak hilang, sedikit berkurang,
cukup berkurang, baik/ nyeri hilang sama sekali. Karena skala ini membatasi
pilihan kata pasien, skala ini tidak dapat membedakan berbagai tipe nyeri.15

Verbal Rating Scale

Gambar 3. Verbal Rating Scale (VRS)15

c. Numeric Rating Scale (NRS)


Dianggap sederhana dan mudah dimengerti, sensitif terhadap dosis, jenis
kelamin, dan perbedaan etnis. Lebih baik dari padaVAS terutama untuk menilai
nyeri akut. Namun, kekurangannya adalah keterbatasan pilihan kata untuk
13

menggambarkan rasa nyeri, tidak memungkinkan untuk membedakan tingkat


nyeri dengan lebih teliti dan dianggap terdapat jarak yang sama antar kata yang
menggambarkan efek analgesik.15

0-10 Numeric Pain Rating Scale

Gambar 4. Numeric Rating Scale (NRS)15

d. Wong Baker Pain Rating Scale


Digunakan pada pasien dewasa dan anak >3 tahun yang tidak dapat
menggambarkan intensitas nyerinya dengan angka.16

Gambar 5. Wong Baker Pain Scale

- Skala Penilaian Nyeri Multidimensional

Skala nyeri multidimensional memiliki karakteristik: (1) mengukur intensitas


dan afektif nyeri, (2) diaplikasikan untuk nyeri kronis, (3) dapat dipakai untuk outcome
assement klinis. Skala multidimensional meliputi:

a. McGill Pain Questionnaire (MPQ)


Terdiri dari empat bagian: gambar nyeri, indeks nyeri (PRI), pertanyaan-
peretanyaan mengenai nyeri terdahulu dan lokasinya, dan indeks intensitas nyeri
yang dialami saat ini. PRI terdiri dari 78 kata sifat/ajektif, yang dibagi ke dalam
20 kelompok. Setiap set mengandung sekitar 6 kata yang menggambarkan
kualitas nyeri yang makin meningkat. Kelompok 1 sampai 10 menggambarkan
14

kualitas sensorik nyeri (misalnya, waktu/temporal, lokasi/spatial, suhu/thermal).


Kelompok 11 sampai 15 menggambarkan kualitas efektif nyeri (misalnya stres,
takut, sifat-sifat otonom). Kelompok 16 menggambarkan dimensi evaluasi dan
kelompok 17 sampai 20 untuk keterangan lain-lain dan mencakup kata-kata
spesifik untuk kondisi tertentu. Penilaian menggunakan angka diberikan untuk
setiap kata sifat dan kemudian dengan menjumlahkan semua angka berdasarkan
pilihan kata pasien maka akan diperoleh angka total (PRI(T)) (lampiran 1).17

b. The Brief Pain Inventory (BPI)


Adalah kuesioner medis yang digunakan untuk menilai nyeri. Awalnya
digunakan untuk menilai nyeri kanker, namun sudah divalidasi juga untuk
penilaian nyeri kronik (lampiran 2).18

c. Memorial Pain Assesment Card


Merupakan instrumen yang cukup valid untuk evaluasi efektivitas dan
pengobatan nyeri kronis secara subjektif. Terdiri atas 4 komponen penilaian
tentang nyeri meliputi intensitas nyeri, deskripsi nyeri, pengurangan nyeri dan
mood.19

Gambar 5. Memorial Pain Assessment Card19

d. Behavioral Pain Scale (BPS)


Behavioural Pain Scale adalah sebuah tehnik yang dapat digunakan
untuk penilaian nyeri pada pasien penurunan kesadaran dengan ventilator
dimana penilaian tersebut berdasarkan tiga ekspresi perilaku, yaitu ekspresi
wajah, pergerakan ekstremitas atas, dan kompensasi terhadap ventilator. BPS
15

menggambarkan nyeri dalam rentang skor antara 3 (tidak nyeri) hingga 12 (nyeri
paling hebat). Adapun penilaiannya adalah sebagai berikut:5

Tabel 4. Behaviorak Pain Scale (BPS)5

Indikator Kondisi Skor


Rileks 1
Ekspresi wajah Sedikit mengerut (mengerutkan dahi) 2
Mengerut secara penuh (menutup kelopak 3
mata)
Meringis 4
Tidak ada pergerakan 1
Pergerakan Sedikit membungkuk 2
ekstremitas atas
Membungkuk penuh dengan fleksi jari 3
Retraksi permanen 4
Pergerakan yang menoleransi 1
Kompensasi Batuk dengan pergerakan 2
terhadap ventilator
Melawan ventilator 3
Tidak mampu mengontrol ventilator 4

Interpretasi Skor

 ≤3 : Tidak nyeri
 4–5 : Nyeri ringan
 6 – 11 : Nyeri yang tidak dapat ditolerir*
 ≥ 12 : Sangat nyeri*
*Catatan : Untuk skor ≥ 6 pertimbangkan pemberian obat sedasi atau analgesik.

e. Nonverbal Pain Scale (NVPS)


Nonverbal Pain Scale digunakan untuk menilai nyeri pada pasien yang
tidak dapat mendeskripsikan nyeri secara verbal (intubasi, demensia, dll).8
16

Tabel 5. Nonverbal Pain Scale (NVPS)

Indikator Kondisi Skor


Tidak berekspresi atau senyum 0
Wajah Sesekali meringis, mengerutkan dahi 1
Sering meringis, mengerutkan dahi 2
Berbaring tenang, posisi normal 0
Aktivitas (pergerakan) Mencari perhatian melalui pergerakan 1
Gelisah 2
Tidak terdapat posisi tangan menutupi 0
tubuh
Sikap bertahan Posisi tangan menyilang menutupi tubuh 1
Kaku 2
Tanda vital stabil 0
Fisiologi (tanda vital) Perubahan sistolik > 20 mmHg atau 1
denyut jantung > 20 x/menit
Perubahan sistolik > 30 mmHg atau 2
denyut jantung > 25 x/menit
Frekuensi pernapasan normal 0
Respirasi Frekuensi pernapasan > 10 x/menit dari 1
batas dasar, pengurangan SpO2 5%
Frekuensi pernapasan > 20 x/menit dari 2
batas dasar, pengurangan SpO2 10%
Interpretasi skor

 ≤2 : Tidak nyeri
 3–5 : Nyeri ringan*
 ≥6 : Nyeri berat*
*Catatan : Skor ≥ 3 mengindikasikan pertimbangan pemberian analgesik.

- Pengkajian Nyeri

Dalam melakukan pengkajian nyeri, digunakan alat bantu berupa skor


penilaian nyeri. Penentuan alat bantu penilaian nyeri didasari oleh kriteria yang
dibedakan berdasarkan usia dan tingkat kesadaran pasien.
17

 Untuk pasien bayi 0 – 1 tahun, digunakan skala NIPS (Neonatal Infant Pain Scale)
(lampiran3).
 Untuk pasien anak >8 tahun dan dewasa digunakan VAS (Visual Analog Scale).
 Pada pasien dewasa dan anak >3 tahun yang tidak dapat menggambarkan intensitas
nyerinya dengan angka, digunakan Wong Baker FACES Pain Scale.
 Pengkajian awal nyeri pada pasien geriatri dapat menggunakan instrumen
Nonverbal Pain Indicators (CPNI) (lampiran 4). Bila pada pasien tersebut terdapat
demensia digunakan Pain Assessment in Advance Dementia Scale (PAINAD)
(lampiran 5).
 Untuk pasien dengan perawatan intensif digunakan Behavioral Pain Scale.
Pengkajian Ulang

1. 15 menit setelah intervensi obat injeksi


2. 1 jam setelah intervensi obat oral/lainnya
3. 1 kali tiap 6 jam bila skor nyeri 1 – 3
4. Setiap 3 jam bila skor nyeri 4 – 6
5. Setiap 1 jam bila skor nyeri 7 – 10
18

2.4. Critical Care Pain Observation Tool (CPOT)


Di Indonesia sendiri penilaian nyeri pada pasien kritis dengan penurunan
kesadaran masih kurang dilakukan padahal nyeri yang terjadi pada pasien kritis dengan
penurunan kesadaran dapat mengakibatkan stres, perasaan yang tidak menyenangkan,
dan berpotensi mengalami pengalaman yang buruk selama menjalani perawatan di
ruang ICU. Maka dari itu penilaian nyeri perlu dilakukan. Sebelum melakukan
pengukuran nyeri maka penilaian nyeri perlu dilakukan terlebih dahulu. Banyak cara
yang dapat dilakukan dalam menilai nyeri, diantaranya dengan menggunakan skala
Critical Pain Observational Tool (CPOT).
Critical Care Pain Observation Tool mengukur nyeri pasien dalam keadaan
kritis berdasarkan keadaan klinis pasien.7 Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh
Arsyawina ( 2014 ) tentang Perbandingan Skala CPOT dan Wong-Baker dalam
mengukur nyeri didapatkan hasil skala CPOT menunjukan hasil yang lebih
reliable,valid,dan tanggap dibandingkan skala Wong-Baker dengan nilai persetujuan
antar pemeriksa yang sangat tinggi 0,965 dan Wong-Baker 0,423. Validitas CPOT
menunjukan peningkatan signifikan pada saat dilakukan prosedur nyeri dengan rata-rata
1,32- 1,42 pada saat istirahat menjadi 2,39 – 4,26 saat prosedur. Skala CPOT ini juga
menunjukan ketanggapan yang memuaskan dengan nilai besar efek antara 5,0-5,4.

Tabel 6. Critical Care Pain Observation Tool (CPOT)

Indikator Kondisi Skor

Berbicara dengan nada normal atau tidak 0


bersuara

Vokalisaasi Mendesah, mengerang 1

Menangis, berteriak 2

Rileks 0

Ekspresi wajah Kaku 1

Meringis 2

Tidak ada gerakan 0

Pergerakan tubuh Lokalisasi nyeri 1


Interpretasi Skor
Pasien dengan skor ≤ 2 : Tidak
Gelisah
nyeri. Pertimbangan evaluasi ulang. 2
Pasien dnegan skor > 2 : Terdapat nyeri sedang – berat, pertimbangkan
Tidak adaobat
pemberian ketegangan otot
analgesik dan sedatif. 0

Ketegangan otot Tegang, kaku 1

Sangat tegang atau kaku 2


19

Daftar Pustaka

1. Kopf, A., and N. B. Patel. "Guide to pain management in low-resource settings.


2015." Seattle, WA: International Association for the Study of Pain. 2014. Ebook:
https://s3.amazonaws.com/rdcms-
iasp/files/production/public/Content/ContentFolders/Publications2/FreeBooks/Guide_to
_Pain_Management_in_Low-Resource_Settings.pdf diakses pada 18 Desember 2019
2. Rakhman, Andre Kusuma. Study Observasional Indikasi dan Tingkat Sedasi Pasien di
Ruang Perawatan Intensif RSUD DR. SOetomo dengan Mengggunakan RASS Score.
2016.
3. Stites M. Observational pain scales in critically ill adults. Crit Care Nurs. 2013;33(3):1–
11. 7. Barr J, Fraser GL, Puntillo K, Ely EW, Gelinas C, Dasta JF, dkk.
4. Clinical practice guidelines PAD. Clinical practice guidelines for the management of
pain, agitation, and delirium in adult patients in the Intensive Care Unit. Crit Care Med.
2013;41(1):263– 306.
5. Payen, Jean-Francois, et al. Assessing pain in critically ill sedated patients by using a
behavioral pain scale. Critical care medicine, 2001, 29.12: 2258-2263.
6. Cade, Clare H. Clinical tools for the assessment of pain in sedated critically ill
adults. Nursing in critical care, 2008, 13.6: 288-297.
7. Sessler, Curtis N.; Riker, Richard R.; Ramsay, Michael A. Evaluating and monitoring
sedation, arousal, and agitation in the ICU. In: Seminars in respiratory and critical care
medicine. Thieme Medical Publishers, 2013. p. 169-178.
8. Rijkenberg, S., et al. "Pain measurement in mechanically ventilated critically ill
patients: behavioral pain scale versus critical-care pain observation tool." Journal of
critical care, 2015,30(1): 167-172.
9. Marpaung, Taor, Achsanuddin Hanafie, and Muhammad Ihsan. "Perbandingan Proporsi
Penilaian dan Reliabilitas Skala COMFORT dan CPOT dalam Menilai Intensitas Nyeri
pada Pasien yang Menggunakan Ventilasi Mekanik di Instalasi Perawatan Intensif
RSUP H. Adam Malik Medan." Jurnal Anestesi Perioperatif , 2017, 5.2: 67-72.
10. Gelinas C, Fillion L, Puntillo K, Veins C, Fortier M. Validation of the critical-care pain
observation tool in adult patients. Am J Crit Care. 2006;15(4):420–7.
11. Gélinas C, Harrel F, Fillion L, Puntillo K, Johnston C. Sensitivity and specificity
critical-care pain observational tool for the detection of pain in intubated adults for
cardiac surgery. J Pain Symptom Management. 2009;37(1):59–67.
12. Yudiyanta, Khoirunnisa N, Novitasari R W. 2015. Assessment Nyeri. Yogyakarta:
20

Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Departemen Neurologi.


13. Portenoy, Russell, and ID Pain Steering Committee. "Development and testing of a
neuropathic pain screening questionnaire: ID Pain." Current medical research and
opinion ,2006, 22.8: 1555-1565.
14. Bennett, Michael. "The LANSS Pain Scale: the Leeds assessment of neuropathic
symptoms and signs." Pain ,2001, 92.(1-2): 147-157.
15. Gallagher, E. John, et al. "Reliability and validity of a visual analog scale for acute
abdominal pain in the ED." The American journal of emergency medicine ,2002, 20.4:
287-290.
16. Garra, Gregory, et al. "Validation of the Wong‐Baker FACES pain rating scale in
pediatric emergency department patients." Academic Emergency Medicine,,2010,17.1:
50-54.
17. Melzack, Ronald. "The McGill Pain Questionnaire: major properties and scoring
methods." Pain 1.3 (1975): 277-299.
18. Tan, Gabriel, et al. Validation of the Brief Pain Inventory for chronic nonmalignant
pain. The Journal of Pain, 2004, 5.2: 133-137.
19. Fishman, Baruch, et al. The Memorial Pain Assessment Card. A valid instrument for the
evaluation of cancer pain. Cancer, 1987, 60.5: 1151-1158.
20. Barr J, Fraser GL, Puntillo K, Ely EW, Gelinas C, Dasta JF, et al. Clinical Practice
Guidelines for the Management of Pain, Agitation, and Delirium in Adult Patients in the
Intensive Care Unit. Critical Care Medicine. 2013.
21. Young J, Siffleet J, Nikoletti S, Shaw T. Use of a Behavioural Pain Scale to Assess Pain
in Ventilated, Unconscious and/or Sedated Patients. Intensive and Critical Care
Nursing. 2006.
22. Arsyawina, ( 2014 ). Perbandingan Skala Critical-Care Pain Observational Tool
(CPOT) Dan Wong-Baker Faces Rating Scale Dalam Menilai Nyeri Pada Pasien
Ventilasi Mekanik DiRuang ICU RSUD TUGUREJO SEMARANG.Thesis.Program
PascaSarjana UniversitasDiponegoro Semarang. 2014.
21

Lampiran 1
22

Lampiran 2

The Brief Pain Inventory (BPI)


23

Lampiran 3

Neonatal Infant Pain Scale (NIPS)


24

Lampiran 4

Nonverbal Pain Indicators (CPNI)

Lampiran 5

Pain Assessment in Advance Dementia Scale (PAINAD)


25

Anda mungkin juga menyukai