Anda di halaman 1dari 5

PERPAJAKAN JASA FREIGHT FORWARDING

Jasa freight forwarding,

disebut juga sebagai Jasa pengurusan transportasi atau jasa ekspedisi muatan
laut/udara/darat mempunyai masalah PPN yang klasik. Beranggapan hanya sebagai
perantara shipper (pemilik barang) dan pemilik intermoda angkut, sehingga tidak
mau apabila PPN dikenakan atas seluruh tagihan kepada shipper. Freight forwarder
berkilah bahwa pembayaran kepada pihak ke-3 adalah reimbursement, numpang
lewat saja, sehingga PPN seharusnya hanya dikenakan atas imbalan yang diterima.

Pada aturan-aturan awal DJP memberikan jalan tengah, sepanjang tagihan pihak
ke-3 langsung atas nama shipper, walaupun melalui freight forwarder maka
dianggap sebagai reimbursement sehingga tidak menjadi DPP PPN. Freight
forwarder tidak boleh melakukan reinvoicing atas tagihan pihak ke-3 tersebut agar
tidak dikenakan PPN. Namun hal ini sulit dilakukan di lapangan karena freight
forwarder tidak mau diketahui berapa fee yang diterimanya. Asosiasi Freight
forwarder mengusulkan agar DPP PPN menggunakan nilai lain (deemed)
sebagaimana DPP PPN Jasa kurir sebesar 10%. Mereka berpendapat jasa freight
forwarder mirip dengan jasa kurir, mengantar barang milik orang lain ke tempat
tujuan.

Reimbursement
Reimbursement adalah penggantian pembayaran sebesar jumlah yang nyata-nyata
telah dibayarkan oleh pihak ke-2 kepada pihak ke-3. Pengertian reimbursement
mensyaratkan posisi sebagai pihak ke-2 atau perantara. Oleh karena itu, awalnya
syarat reimbursement adalah tagihan pihak ke-3 langsung atas nama shipper,
sehingga jelas kedudukan freight forwarder hanyalah perantara atau sebagai pihak
ke-2.

DPP PPN Jasa sebagaimana diatur dalam Pasal 1 UU PPN adalah Penggantian,
yaitu nilai berupa uang, termasuk biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh
pemberi jasa karena penyerahan jasa kena pajak. Sejak awal reimbursement
bukanlah DPP PPN. Disamping bertindak sebagai perantara yang berarti bukan
pihak yang menyerahkan jasa, juga karena tidak memenuhi syarat ‘biaya yang
diminta oleh pemberi jasa’. Ketika dokumen tagihan atas nama shipper maka jelas
merupakan biaya yang harus ditanggung oleh shipper, bukan biaya bagi freight
forwarder.

Syarat ‘tagihan pihak ke-3 langsung atas nama penerima jasa’ menjadi pedoman
fiskus dalam mengkoreksi reimbursement. Namun dalam sengketa di Pengadilan
Pajak teori akuntansi dipakai, sepanjang hanya masuk akun riil (neraca), tidak
masuk akun nominal (R/L) maka merupakan ‘pass through’ alias numpang lewat
sehingga tidak dikenakan PPN. Tidak masuk akun nominal secara akuntansi
membuktikan bukan ‘biaya yang diminta oleh pemberi jasa’. Dengan demikian,
reimbursement bukan DPP PPN merupakan general rule dalam UU PPN yang
seharusnya berlaku untuk seluruh penyerahan kena pajak, tidak hanya untuk
penyerahan jasa freight forwarding.

Pada tahun 2013, dengan diterbitkannya SE-33/PJ/2013, barulah diatur secara


eksplisit syarat reimbursement ‘sepanjang hanya masuk akun riil (neraca), tidak
masuk akun nominal (R/L)’. Namun SE ini juga membuat syarat reimbursement
menjadi lebih complicated, yaitu akumulatif formal dokumen tagihan, formal
kontrak reimbursement, dan tidak masuk akun R/L.

Nilai Lain Sebagai DPP PPN (PPN 1%)

Selain reimbursement, jasa freight forwarding juga mendapat kemudahan


perhitungan DPP PPN dengan menggunakan nilai lain sebesar 10% sebagaimana
diatur dalam PMK No. 38/PMK.11/2013 jo SE-33/PJ/2013. DPP dengan nilai lain
sebesar 10% bermakna Pengusaha Kena Pajak tidak perlu memperhitungkan
berapa Pajak Masukan yang telah dibayar, tinggal pungut dan setor PPN terutang
sebesar 10%x10% atau 1% dari nilai tagihan.

Nilai lain (deemed) sebesar 10% menggambarkan bahwa jasa freight forwarding
memiliki value-added/nilai tambah hanya sebesar 10%, atau selisih antara pajak
keluaran yang dipungut dan pajak masukan yang telah dibayar Pengusaha Kena
Pajak ditetapkan sebesar 10%. Pajak masukan yang dibayar freight forwarder tidak
dapat dikreditkan, sedangkan pajak masukan sebesar 1% yang dibayar shipper atas
penerimaan jasa freight forwarding dapat dikreditkan.

Pertanyaannya adalah apakah yang dimaksud dengan jasa freight forwarding ?,


apakah termasuk jasa logistik sampai dengan supply chain management ?. Lalu
bagaimana menentukan penyerahan jasa yang menggunakan nilai lain ini ? apakah
dapat hanya dengan menunjukkan SIUJPT?. Timbul perdebatan di sini. PPN
adalah pajak objektif yang melekat pada transaksinya, bukan subyeknya. SIUJPT
membuktikan subyek sebagai forwarder, tidak membuktikan objek jasa yang
diserahkan adalah jasa freight forwarding.
PMK No. 38/PMK.11/2013 jo SE-33/PJ/2013 tidak memberikan definisi jasa
freight forwarding. Dengan demikian, pengertian freight forwarding atau Jasa
Pengurusan Transportasi dikembalikan pada aturan umum. Keputusan Menteri
Perhubungan No. KM/10 Tahun 1988 tentang Jasa Pengurusan Transportasi, PP
No. 20/2010 tentang Angkutan di Perairan, sampai dengan Peraturan Pemerintah
RI No. 8 Tahun 2011 tentang Angkutan Multimoda memberikan definisi freight
forwarding atau Jasa Pengurusan Transportasi yang terus berkembang. Kegiatan
usaha jasa pengurusan transportasi
meliputi: penerimaan, penyimpanan, sortasi, pengepakan, penandaan, pengukuran, 
penimbangan, penerbitan dokumen angkutan, pengurusan penyelesaian
dokumen, pemesanan ruangan pengangkut, pengiriman, pengelolaan
pendistribusian, perhitungan biaya angkutan dan logistik, klaim, asuransi atas
pengiriman barang, penyelesaian tagihan dan biaya lainnya
yang diperlukan, penyediaan sistem informasi dan komunikasi, dan layanan
logistik.

Dahulu kegiatan freight forwarding ini hanya diidentikan sebagai jasa ekspedisi
(misalnya EMKL). Sekarang tidak hanya sebagai perantara antara pemilik barang
dan pemilik intermoda, tetapi meliputi penyediaan sistem informasi/komunikasi
sampai dengan layanan logistik. Bahkan kegiatan jasa logistik sudah berkembang
menjadi jasa supply chain management, yaitu suatu proses untuk mengintegrasi,
mengkoordinasi dan mengontrol pergerakan bahan baku menjadi produk jadi dan
mengirimkannya kepada konsumen.

Tidak mau terjebak dengan perdebatan definisi jasa, rule of the game penggunaan
nilai lain diatur dalam PMK No. 38/PMK.11/2013 jo SE-33/PJ/2013. Hanya
kegiatan jasa pengurusan transportasi, ditandai dengan adanya komponen biaya
transportasi (freight charges) dalam tagihan, baik ditagih terpisah atau satu
kesatuan, yang berhak menggunakan nilai lain sebagai DPP PPN. Tidak ada freight
charges dalam tagihan berarti tidak ada jasa pengurusan transportasi yang
diserahkan.

Sebagai contoh, perusahaan jasa logistik hanya memberikan jasa pengurusan


dokumentasi, packaging, dan warehousing tanpa mengurus jasa transportasinya,
sehingga dalam tagihan tidak ada freight charges, maka DPP PPN adalah seluruh
nilai tagihan. Perusahaan jasa supply chain management memperlakukan
pembayaran freight sebagai reimbursement, sehingga dalam invoice tidak terdapat
biaya transportasi, maka DPP PPN adalah seluruh nilai tagihan.

Kegiatan freight forwarding merupakan satu kesatuan walaupun setiap penyerahan


jasa ditagih dengan invoice terpisah. Selama terdapat freight charges dalam salah
satu tagihan maka seluruh rangkaian penyerahan jasa tersebut menggunakan DPP
Nilai Lain. Tantangan yang dihadapi fiskus adalah merangkai puzzle kegiatan jasa
tersebut menjadi satu kesatuan penyerahan jasa freight forwarding untuk
menentukan mana yang dapat menggunakan DPP Nilai lain.

Anda mungkin juga menyukai