id)
Spenmo Team
Mei 31, 2022
Pajak pertambahan nilai atau PPN atas reimbursement adalah hal penting dalam kegiatan
usaha yang kadang masih menimbulkan pertanyaan. Apalagi bagi pengusaha baru yang masih
banyak belajar tentang hak dan kewajiban bisnis yang diatur dalam peraturan perpajakan.
Sebagai pengusaha, hal-hal seputar pajak ini wajib dipahami demi kelancaran usaha,
termasuk menghindari sanksi yang bisa merugikan usaha.
Untuk mengetahui apa itu PPN atas reimbursement, kita mesti paham dulu tentang PPN
dan reimbursement. PPN merupakan singkatan dari pajak pertambahan nilai.
Menurut Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah, pajak pertambahan nilai adalah pajak yang dikenakan atas
setiap pertambahan nilai dari barang/jasa saat diedarkan dari produsen ke konsumen.
1. Undang-Undang Nomor 42 tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan
Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
Pasal 1 angka 5 dan 6 tentang definisi jasa dan jasa kena pajak
Pasal 1 angka 17 tentang dasar pengenaan pajak berupa jumlah harga jual, penggantian, nilai
impor/ekspor, atau nilai lain yang menjadi dasar penghitungan pajak terutang
Pasal 1 angka 19 tentang penggantian yang diberikan dalam nilai berupa uang dan
pengecualiannya
Surat Ditjen Pajak Nomor S-917/PJ.53/2003 tentang PPN atas jasa perusahaan pengangkutan
Surat Ditjen Pajak Nomor S-812/PJ. 53/ 2005 tentang perlakuan PPN atas penagihan biaya
pemakaian listrik
Jika kebijakan tentang PPN atas reimbursement tersebut disarikan, ada tiga hal yang menjadi
kriteria yang harus dipenuhi dalam pemungutan pajak pertambahan nilai
atas reimbursement, yakni:
Dari sini bisa disimpulkan bahwa biaya dalam tagihan tak bisa di-reimburse jika vendor
menerbitkan tagihan langsung untuk penerima jasa, sementara pemberi jasa cuma menjadi
perantara. Dengan begitu, biaya dalam tagihan itu tidak termasuk objek PPN
atas reimbursement.
Agar biaya bisa di-reimburse, vendor mesti membuat tagihan kepada pemberi jasa. Lantas
pemberi jasa menerbitkan tagihan baru buat penerima jasa yang sebenarnya. Bila mekanisme
ini yang berlaku, maka biaya dalam tagihan termasuk objek PPN
atas reimbursement sehingga dikenai pajak.
Sebagai penguat untuk menyatakan biaya dalam tagihan bisa dinyatakan
sebagai reimbursement, harus ada dokumen yang menunjukkan tidak
adanya markup ataupun markdown biaya dari pihak kedua kepada pihak pertama.
Untuk dapat lebih memahami PPN atas reimbursement, berikut ini ada contoh kasus yang
bisa menjadi gambaran:
Sebuah perusahaan bertaraf nasional hendak menggelar promosi produk berskala nasional
yang menghadirkan influencer di Yogyakarta. Perusahaan ini berkantor pusat di Jakarta, tapi
punya cabang di Yogyakarta. Kantor cabang di Yogyakarta mendapat tugas menangani acara
promosi tersebut.
Dengan demikian, kantor cabang itu juga bertugas membiayai penyelenggaraan acara,
termasuk untuk menyewa influencer yang dimaksud. Sebelum acara berlangsung,
manajemen influencer menerbitkan tagihan atas jasa influencer yang dinaungi kepada pihak
kantor cabang. Sebab, urusan bisnis manajemen terjalin dengan kantor cabang tersebut meski
yang menggagas acara adalah kantor pusat.
Di sini, pihak pertama adalah kantor pusat, pihak kedua adalah kantor cabang, dan pihak
ketiga adalah manajemen influencer. Karena tagihan dari pihak ketiga diterbitkan kepada
pihak kedua yang kemudian mengurus tagihan itu kantor pusat, biaya tersebut masuk kategori
objek PPN atas reimbursement.
Spenmo Team
Jun 2, 2022
Dalam transaksi bisnis, reimbursement digunakan ketika ada tiga pihak yang terlibat. Pihak
pertama adalah penerima jasa/barang, pihak kedua adalah perantara, dan pihak ketiga adalah
pemberi jasa/barang. Pihak kedua menjadi perantara transaksi antara pihak pertama dan
ketiga dengan menalangi pembayaran tersebut kepada pihak ketiga. Nantinya, pihak pertama
akan mengganti biaya yang dikeluarkan pihak kedua.
Pihak pertama berkewajiban mengganti pengeluaran yang ditalangi pihak kedua atas
transaksi dengan pihak ketiga karena pihak pertamalah yang menjadi penerima jasa/barang
sebenarnya dari pihak ketiga.
Karena itu, ada biaya tambahan berupa tiket pesawat pulang karena tiket pertama tak bisa
dipakai sesuai dengan jadwal dan biaya menginap di hotel serta akomodasi lain, termasuk
makan dan minum. Kantor Adi mengizinkan Adi memakai uangnya dulu untuk membayar
biaya tambahan tersebut. Nantinya, setelah selesai bertugas dan kembali, Adi tinggal
mengurus reimbursement atau penggantian biaya di kantor. Kantor wajib mengganti semua
biaya tambahan yang dikeluarkan Adi sepanjang biaya itu berkaitan dengan kebutuhan usaha,
bukan pengeluaran pribadi.
Dalam hal ini, kantor menjadi pihak pertama, Adi adalah pihak kedua, sedangkan maskapai
pesawat, hotel, dan lain-lain yang dibayar Adi dengan kocek sendiri merupakan pihak ketiga.
Adi harus mengumpulkan semua bukti pembayaran dari pihak ketiga itu untuk dapat
mengajukan permintaan penggantian kepada kantor.
Selain dua undang-undang tersebut, ada sejumlah surat Direktorat Jenderal Pajak
Kementerian Keuangan yang sering dijadikan acuan pegawai bagian perpajakan atau
keuangan di suatu perusahaan saat mengurus reimbursement dalam pajak, antara lain:
pengangkutan
Nomor S-490/PJ.322/2004 tentang permohonan penjelasan pajak pertambahan nilai
atas tagihan kembali biaya asuransi kesehatan
Nomor S-1047/PJ.322/2004 tentang penjelasan pengertian penggantian dan
reimbursement
Nomor S-812/PJ. 53/ 2005 tentang perlakuan pajak pertambahan nilai atas
Namun, dari sisi akuntansi, ada perbedaan makna penggantian menurut Pedoman Standar
Akuntansi Keuangan (PSAK) 57 (Revisi 2014). Penggantian menurut akuntansi berlaku
untuk dua pihak yang bertransaksi dengan ditandai adanya aliran kas, yakni pihak pertama
sebagai penerima dan pihak ketiga sekali pemberi. Pihak kedua tetap menjadi perantara.
Berdasarkan definisi itu, pengakuan biaya dan pendapatan berada di pihak pertama dak
ketiga.
Seperti diuraikan sebelumnya, ada tiga pihak yang terlibat dalam konsep reimbursement:
Dengan konsep tersebut, dari sisi PPN, ada syarat yang harus dipenuhi semuanya untuk
menentukan pemberlakuan reimbursement dalam pajak, yaitu:
perantara
Penghasilan yang dicatat pihak ketiga dari transaksi itu adalah jumlah pembayaran
Berdasarkan kriteria itu, maka suatu biaya penggantian tidak dikenai PPN ketika pihak ketiga
menerbitkan tagihan langsung kepada pihak pertama. Misalnya dokumen tagihan dari
pemberi jasa memuat identitas penerima jasa yang sebenarnya sebagai entitas yang wajib
membayar tagihan, bukan perantara.
Adapun dari sisi PPh, belum ada ketentuan khusus mengenai reimbursement dalam pajak.
Undang-Undang Pajak Penghasilan baru mengatur definisi penggantian yang termasuk objek
pajak. Tapi reimbursement dari sisi PPh lazimnya mengikuti prinsip akuntansi sesuai dengan
PSAK yang berlaku di Indonesia.
Berdasarkan prinsip akuntansi itu, pihak kedua tak boleh mencatat penerimaan
dari reimbursement sebagai penghasilan jika pihak ketiga menerbitkan faktur tagihan
langsung kepada pihak pertama. Pihak kedua juga tak bisa mencatat pembayaran ke pihak
ketiga sebagai beban/biaya. Dalam hal ini, pihak ketiga akan mencatat pajak keluaran,
sementara pihak pertama mencatat pajak masukan.
Kalau faktur tagihan dikeluarkan kepada pihak kedua oleh pihak ketiga, pihak pertama harus
memotong PPh pasal 23 saat membayar reimbursement kepada pihak kedua jika pembayaran
itu termasuk ketentuan pemotongan PPh pasal 23. Pihak kedua harus mengakui
penerimaan reimbursement itu sebagai penghasilan ataupun biaya/beban. Dalam hal ini,
pihak ketiga akan mencatat pajak keluaran, pihak kedua mencatat pajak masukan dari pihak
ketiga dan mencatat pajak keluaran kepada pihak pertama, sementara pihak pertama mencatat
pajak masukan dari pihak kedua.
PT Maju Jaya menggunakan jasa konsultan periklanan PT Kreasi Surya untuk menangani
promosi produknya. Dalam kontrak/perjanjian, disepakati bahwa PT Kreasi Surya berhak
meminta reimbursement atas biaya yang dikeluarkan untuk pembuatan materi promosi dan
pengelolaan iklan. Misalnya biaya pembuatan pamflet dan pembayaran jasa iklan di Internet.
Pada akhir periode perjanjian, PT Kreasi Surya menerbitkan dokumen tagihan atas semua
pengeluaran itu kepada PT Maju Jaya lengkap dengan bukti transaksi. Maka, sesuai dengan
ketentuan hukum reimbursement dalam pajak, pembayaran dari PT Maju Jaya kepada PT
Kreasi Surya tergolong sebagai objek PPN sebesar 10 persen. Sebab, tagihan tidak diterbitkan
oleh pihak ketiga, dalam hal ini perusahaan pembuat pamflet atau penyedia jasa iklan di
Internet, melainkan oleh PT Kreasi Surya sebagai pihak kedua.
Adapun sesuai dengan ketentuan PPh pasal 23, ada pajak penghasilan sebesar 2 persen dari
penghasilan bruto atas biaya jasa konsultasi kepada PT Kreasi Surya. Tidak ada PPh atas
pengeluaran PT Kreasi Surya dalam kerja asama itu. Jadi PT Kreasi Surya menerima
pendapatan dari jasa konsultasi setelah dikurangi PPh yang dipotong PT Maju Jaya. Bila
biaya itu sebesar Rp 5.000.000, berarti ada potongan 2% x Rp 5.000.000 = Rp 100.000.
Jumlah yang diterima PT Kreasi Surya adalah Rp 5.000.000 – Rp 100.000 = Rp 4.900.000.
++++++++++++++++