Anda di halaman 1dari 39

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pembangunan nasional yang dilaksanakan di negara Indonesia
merupakan pembangunan disegala aspek kehidupan baik material maupun
spiritual untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan
Pancasila di dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam sistem
otonomi daerah, dikenal istilah desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas
pembantuan. Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh
pemerintah pusat kepada daerah otonomi untuk mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia, sedangkan
dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah
pusat kepada gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah dan/atau
kepada instansi vertikal di wilayah tertentu. Sementara itu, tugas pembantuan
merupakan penugasan dari pemerintah pusat kepada daerah dan/atau desa dari
pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa serta dari pemerintah
kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu.
Kebijakan otonomi daerah sebagaimana terakhir diatur dalam Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah memberikan
kewenangan yang besar kepada daerah dalam mengelola dan mengatur daerah
termasuk sumber daya daerah, eksploitasi, eksplorasi, dan konservasi sumber
daya alam yang diiringi dengan tanggung jawab pembiayaan pembangunan
daerah. Berkaitan dengan pemberian kewenangan ini maka daerah dituntut
untuk melaksanakan pembangunan dan pengembangan ekonomi yang berbasis
pada sumber daya lokal dan potensi unggulan yang dimiliki oleh daerah itu
sendiri.
Pertumbuhan pembangunan pada prinsipnya bukanlah hanya sebuah
fenomena ekonomi semata. Pembangunan tidak sekedar ditunjukkan oleh
prestasi pertumbuhan dalam bidang ekonomi yang dicapai oleh suatu daerah,
namun lebih dari itu pembangunan memiliki sudut pandang yang lebih luas.
Pembangunan adalah proses perubahan ke arah kondisi yang lebih baik melalui
upaya yang dilakukan secara terencana. Proses perencanaan yang baik dan
komprehensif merupakan titik penting untuk berhasilnya pembangunan.

1
Todaro (2006: 22) mendefinisikan pembangunan ekonomi adalah suatu
proses yang bersifat multidimensional, melibatkan perubahan-perubahan besar,
baik terhadap perubahan struktur ekonomi, perubahan sosial, mengurangi
kemiskinan, ketimpangan, dan pengangguran dalam konteks pertumbuhan
ekonomi. Perhatian utama negara yang sedang berkembang terfokus pada
dilemma antara pertumbuhan dan pemerataan. Pembangunan ekonomi tidak
semata-mata diukur berdasarkan peningkatan Produk Nasional Bruto (PNB),
tetapi harus memperhatikan juga distribusi pendapatan masyarakat yang telah
tersebar, apakah merata atau tidak serta masyarakat mana yang telah menikmati
hasil-hasilnya
Hirschman (1958 dalam Muta’ali, 1999: 3) mengemukakan bahwa jika
suatu daerah mengalami perkembangan maka akan membawa pengaruh atau
imbas ke daerah lain. Kebijakan pemerintah dalam meningkatkan pertumbuhan
ekonomi seringkali tidak diimbangi pemerataan sehingga menimbulkan berbagai
dilema dalam pembangunan dan justru memperlebar kesenjangan antarwilayah
serta menimbulkan permasalahan ekonomi yang berlapis-lapis, seperti
kemiskinan, kesenjangan sosial-ekonomi, ketimpangan antarwilayah (kota-desa,
pusat-daerah). Dalam literatur ekonomi regional ditemukan adanya strategi
pembangunan yang tidak seimbang, yaitu strategi yang hanya menekankan pada
pengembangan salah satu sektor ekonomi atau wilayah yang dianggap
potensial. oleh karenanya pengembangan ekonomi wilayah haruslah dilakukan
secara komprehensif. sehingga dalam hal ini pengembangan ekonomi juga harus
menjadi dasar pertimbangan dalam perencanaaan tata ruang baik dalam tingkat
umum maupun yang lebih rinci.
Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator makro untuk
melihat kinerja perekonomian secara riil di suatu wilayah. Laju pertumbuhan
ekonomi dihitung berdasarkan perubahan Produk Domestik Regional Bruto atau
PDRB Atas Dasar Harga Konstan tahun yang bersangkutan terhadap tahun
sebelumnya. Pertumbuhan ekonomi dapat dipandang sebagai pertambahan
jumlah barang dan jasa yang dihasilkan oleh seluruh kategori kegiatan ekonomi
yang ada di suatu wilayah selama kurun waktu setahun.
Dalam dinamika pembangunan nasional, PDRB suatu daerah tidak selalu
mengalami peningkatan karena sering terjadinya fluktuasi ekonomi.
Pembangunan yang dilakukan pemerintah daerah bertujuan untuk meningkatkan

2
PDRB daerah yang bersangkutan. Kabupaten Bangli merupakan salah satu
kabupaten di Provinsi Bali dan merupakan satu-satunya kabupaten yang tidak
memiliki laut namun mempunyai danau terluas yaitu Danau Batur dengan luas
sekitar 1.067,50 Ha. Keadaan iklim dan perputaran atau pertemuan arus udara
yang disebabkan karena adanya pegunungan di daerah ini menyebabkan curah
hujan di Kabupaten Bangli relatif tinggi. Jenis tanah di Kabupaten Bangli adalah
tanah regosal, sehingga tanaman apa saja bisa tumbuh di daerah ini. Faktor
pendukung secara alami ini menopang Kabupaten Bangli memiliki lahan subur
yang sangat potensial di sektor pertanian dengan komoditas unggulan jenis
hortikultura dan komoditas bambu dari subsektor kehutanan (BPS, 2018).
Potensi tersebut juga terlihat dari Stuktur perekonomian Kabupaten Bangli yang
digambarkan oleh distribusi pendapatan daerah regional brutto (PDRB).
Struktur ekonomi Bangli didominasi oleh 6 kategori utama yaitu:
Pertanian, Kehutanan dan Perikanan ; Jasa Lainnya; Penyedia Akomodasi
Makan dan Minum; Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan Jaminan Sosial
Wajib; Perdagangan Besar dan Eceran, Reparasi Mobil dan Sepeda Motor,
Industri Pengolahan serta Konstruksi. Pada tahun 2017, keenam kategori
tersebut tercatat memberikan kontribusi sebesar 79,22 persen terhadap ekonomi
Bangli. Pertanian, Kehutanan dan Perikanan menyumbang sebesar 27,99 persen
dari total nilai tambah yang tercipta di Bangli. Tidak dapat dipungkiri bahwa
industri pertanian memegang andil yang cukup penting dalam corak
perekonomian Bangli dimana sebagian besar penduduknya menggantungkan
mata pencahariannya sebagai petani. Salah satu contoh komoditas unggulan
produk industri pertanian di Bangli diantaranya : jeruk, kopi, labu siam, dan
bawang merah. Kontribusi terbesar kedua diberikan oleh Penyedia Akomodasi
Makan dan Minum sebesar 13,26 persen. Capaian ini diduga akibat
pengembangan desa wisata di Bangli yang mencapai 29 desa wisata yang
secara resmi didirikan melalui Peraturan Bupati (Perbup) Bangli Nomor 4 Tahun
2018 tentang Perubahan Ketiga atas Perbup Bangli Nomor 16 Tahun 2014
tentang Desa Wisata (BPS,2018).
PDRB Kabupaten Bangli disumbang oleh beberapa sektor ekonomi, yaitu:
sektor pertanian, sektor pertambangan, sektor industri, sektor listrik, sektor
pengadaan air, sektor bangunan, sektor perdagangan, sektor pengangkutan,
sektor akomodasi, sektor informasi, sektor keuangan, dan sektor jasa-jasa.

3
Perekonomian Kabupaten Bangli rata-rata pertumbuhan ekonomi Bangli selama
periode 2013-2017 mencapai 5,90 persen. Meskipun selalu tumbuh, laju
pertumbuhan ekonomi Bangli relatif berada di bawah pertumbuhan Bali. Di tahun
2017 ekonomi Bangli tumbuh 5,35 persen atau lebih rendah dibandingkan
dengan pertumbuhan Bali yang tercatat 5,59 persen. Pertumbuhan tahun 2017
juga tercatat melambat dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang mencapai
6,24 persen. Sebagai catatan, pertumbuhan di tahun 2016 merupakan yang
tertinggi sejak tahun 2011. Perlu juga disampaikan bahwa pertumbuhan ekonomi
Bangli tidak pernah negatif. Ekonomi selalu tumbuh dengan laju yang tidak sama,
sehingga apabila laju pertumbuhan lebih rendah dibandingkan dengan periode
sebelumnya maka ekonomi dapat dikatakan melambat.
Apabila stuktur perekonomian suatu wilayah dapat digambarkan oleh
distribusi PDRB, maka untuk melihat gambaran kesejahteraan wilayah
digambarkan melalui PDRB per kapita. PDRB per kapita merupakan pembagian
nilai tambah total yang tercipta dengan jumlah penduduk di suatu wilayah,
sehingga dapat digunakan sebagai gambaran kesejahteraan suatu wilayah.
Semakin besar nilai PDRB per kapita menunjukkan semakin sejahtera wilayah
tersebut, dan sebaliknya nilai PDRB per kapita yang rendah menunjukkan
semakin rendahnya tingkat kesejahteraan di wilayah tersebut. Berdasarkan
gambar dibawah, menunjukkan data PDRB perkapita di Kabupaten Badung
menduduki peringkat pertama dengan PDRB per kapita mencapai 73,25 juta
rupiah per tahun. Capaian ini jauh melampaui capaian Provinsi Bali yang tercatat
sebesar 46,52 juta dan juga Kapubaten Bangli yanga hanya sebesar 24,74
rupiah selama tahun 2016. Nilai ini menjadi salah satu indikasi bahwa Kabupaten
Badung masih mendominasi kue perekonomian Provinsi Bali dengan
perkembangan pesat di industri pariwisatanya. Tidak mengherankan setiap
tahunnya semakin banyak penduduk baik dari kabupaten kota di Provinsi Bali
bahkan dari luar Bali pun berebut untuk mendapatkan pekerjaan di Badung
(BPS,2018). Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa tingkat kesejahteraan di
wilayah kabupaten bangli merupakan yang paling rendah di Provinsi Bali.
Apabila melihat data perekonomian Kabupaten Bangli memperlihatkan
struktur ekonomi memiliki potensi pertanian yang cukup besar, namun dari
kesejahteraan wilayah merupakan yang terendah di Provinsi Bali. Berdasarkan
Peraturan Daerah Kabupaten Nomor 9 Tahun 2013 tentang Rencana Tata

4
Ruang Wilayah Kabupaten Bangli tahun 2013-2033, beberapa isu terkait
kebijakan tata ruang yang belum mengadopsi potensi wilayah kabupaten bangli
seperti (1) Dominansi peruntukan pertanian lahan basah pada kawasan
perkotaan, hal ini dapat menghambat investasi di kawasan perkotaan (2)Sistem
pusat-pusat pelayanan belum mendukung potensi sektor unggulan, dimana
belum adanya rencana pengembagan infrastruktur penunjang sektor unggulan
(3) Beberapa desa dengan potensi pertanian dan perkebunan tidak ditetapkan
dalam kawasan agropolitan atau kawasan strategis lainnya.
Dengan berbagai kekurangan dan kelebihan, maka Pemerintah
Kabupaten Bangli perlu menggunakan dan mengoptimalkan sumberdaya yang
ada, agar program pembangunan yang selama ini dicita-citakan dapat berjalan
sesuai dengan rencana pembangunan. Sebagaimana visi dari Kabupaten Bangli
yakni “Terwujudnya Masyarakat Bangli Yang Sejahtera, Mandiri,Terdidik Dan
Siap Mengabdi (Sewyakirti) Berdasarkan Tri Hita Karana” dapat diwujudkan.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan uraian latar belakang di atas, penulis dapat merumuskan
beberapa pertanyaan dalam penelitian ini, diantaranya:
a. Bagaimanakah pertumbuhan ekonomi wilayah di Kabupaten Bangli?
b. Bagaimanakah kondisi kebijakan tata ruang Kabupaten Bangli terkait
pengembangan ekonomi wilayah di Kabupaten Bangli?
c. Bagaimana keterpaduan kebijakan tata ruang dengan perkembangan
ekonomi wilayah di Kabupaten Bangli?
d. Apa saja strategi pengembangan yang sesuai dengan potensi wilayah di
Kabupaten Bangli?

1.3 Tujuan Penelitian


Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah diuraikan
sebelumnya, maka penelitian ini dilakukan dengan tujuan:
a. Mengetahui perkembangan pertumbuhan ekonomi wilayah di Kabupaten
Bangli

5
b. Mengetahui kondisi kebijakan tata ruang Kabupaten Bangli terkait
pengembangan ekonomi wilayah di Kabupaten Bangli
c. Mengetahui keterpaduan kebijakan tata ruang dengan perkembangan
ekonomi wilayah di Kabupaten Bangli
d. Menyusun strategi pengembangan yang sesuai dengan potensi wilayah
sebagai alternatif rekomendasi pengembangan wilayah di Kabupaten
Bangli

1.3 Manfaat Penelitian


Penelitian yang akan dilakukan diharapkan dapat memberi manfaat bagi
Pemerintah daerah, peneliti dan lainnya. Manfaat penelitian dapat diuraikan
sebagai berikut:

a. Sebagai bahan masukan bagi pemerintah khususnya Pemerintah


Kabupaten Bangli, terutama bagi para pengambil keputusan, perencana
dan pelaksana pembangunan daerah dalam membuat rencana kebijakan
pembangunan wilayah terutama dalam rangka peningkatan ekonomi dan
kesejahteraan masyarakat Kabupaten Bangli
b. Sebagai bahan yang dapat menambah pengetahuan dalam bidang
ekonomi regional terutama mengenai pengembangan potensi daerah,
sebagai salah satu alternatif pemecahan masalah di daerah.

6
BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1 Kajian Pustaka


Kajian – kajian tentang pengembangan wilayah sudah cukup banyak
dilakukan oleh para peneliti yang mencermati hal – hal yang layak diteliti.
Beberapa kajian yang dilakukan telah dapat memberikan sumbangan pemikiran
secara ilmiah untuk menunjang khasanah, keilmuan dan pembangunan. Aspek
yang diteliti juga mencerminkan hal – hal yang bervariasi atau melihat
permasalahan dari berbagai sudut pandang dan berbagai disiplin ilmu.
Sinaga (2012) dalam tesisnya yang berjudul “Analisis Pertumbuhan
Ekonomi dan Sektor Unggulan di Kabupaten Labuhanbatu Utara Setelah
Pemekaran”, hasil penelitiannya menunjukkan bahwa sektor-sektor ekonomi
yang maju dan cepat tumbuh (sektor prima) di Kabupaten Labuhanbatu Utara
setelah pemekaran adalah sektor pertanian dan sektor industri pengolahan,
sektor basis atau sektor unggulan Kabupaten Labuhanbatu Utara setelah
pemekaran adalah sektor pertanian, sektor pertambangan dan penggalian serta
sektor industri pengolahan, hasil analisis Shift-Share menunjukkan bahwa sektor
yang memiliki daya saing (Diferential Shift) yang tinggi di Kabupaten
Labuhanbatu Utara setelah pemekaran adalah sektor pertanian sektor industri
pengolahan.
Mushoffa (2009) dalam penelitiannya yang berjudul “Analisis Sektor Basis
Dan Strategi Pengembangan Potensi Ekonomi Daerah Di Kabupaten Tegal”
Penelitian ini membahas mengenai sektor ekonomi mana saja yang termasuk
sektor basis tiap kecamatan yang dapat dikembangkan lebih lanjut di Kabupaten
Tegal, mengetahui strategi yang harus diterapkan dalam pengembangan potensi
ekonomi daerah di Kabupaten Tegal. Keluaran dari peelitian ini berupa saran
pengembangan potensi ekonomi daerah yang dilakukan oleh pemerintah
Kabupaten Tegal hendaknya tidak hanya ditekankan pada pengembangan sektor
pertanian, industri, dan perdagangan saja, akan tetapi juga memperhatikan
pengembangan sektor-sektor basis yang dimiliki oleh kecamatan. Sehingga
kecamatan-kecamatan yang mempunyai nilai tambah kecil dari sektor pertanian,
industri, dan perdagangan dapat didukung dari sektor lainnya yang merupakan
sektor basis.

7
Silaban (2018) dalam tesisnya yang berjudul “Pengaruh Pengeluaran
Publik Terhadap Transformasi Struktur Ekonomi Dan Pengembangan Wilayah
Kabupaten Humbang Hasundutan”. Dalam Penelitian tersebut dilakukan analisi
pengaruh pengeluaran publik yang terdiri dari pengeluaran publik di bidang
pendidikan, pengeluaran publik di bidang kesehatan, dan pengeluaran publik di
bidang infrastruktur terhadap transformasi struktur ekonomi dan pengembangan
wilayah Kabupaten Humbang Hasundutan dalam kurun waktu tahun 2003-2017.
Harun (2006) dalam jurnal Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota, Vol.
17/No.21 yang berjudul “Analisis LQshift LQshare Untuk Mengukur Dampak
Perluasan Kota Terhadap Kinerja Ekonomi Regional (Studi Kasus: Perluasan
Kota Manado Terhadap Perekonomian Wilayah Sulawesi Utara)”, menyimpulkan
bahwa laju pertumbuhan suatu sector yang juga mampu menggeser sector-
sektor lainnya secara relative lebih cepat dalam selang waktu tertentu, biasanya
secara “otomotis” disimpulkan bahwa sector tersebut mempunyai keunggulan
komparatif terhadap sector lainnya. Meskipun memang ada kesama dan
sebangunan, namun secara akademis penarikan kesimpulan tersebut perlu lebih
diverifikasi, dan analisis ini dapat membantu membuktikannya, meskipun
memang ada variasi-variasi penjelasannya. Analisa LQshift-LQShare ini
menunjukkan bahwa “premise” laju dan pergeseran yang tinggi dari suatu sector
tidak selalu tepat untuk diambil kesimpulan sebagai sector yang unggul, apalagi
kalau dilanjutkan dengan kinerja ekonomi wilayah yang lainnya seperti terhadap
kesenjangan antar daerah, perbedaan upah kerja, perpindahan penduduk atau
lainnya.
Berdasarkan beberapa jurnal dan penelitian bidang pengembangan
ekonomi wilayah dan sektor unggulan yang telah dipaparkan diatas belum ada
penelitian yang membahas tentang kebijakan tata ruang wilayah dalam
pengembangan potensi sektor unggulan khususnya di Kabupaten Bangli. Dari
beberapa penelitian diatas dapat dipahami juga bahwa peran sektor unggulan
sangat penting bagi pengembangan ekonomi daerah dan prosesnya dapat diukur
dan dinilai sehingga dibutuhkan strategi pengembangan yang tepat sehingga
potensi daerah tersebut dapat dimaksimalkan.

8
BAB III
KERANGKA BERPIKIR, KONSEP PENELITIAN

3.1 Kerangka Berpikir


Kerangka penelitian merupakan suatu acuan atau metode dalam
tahapantahapan pendekatan penelitian dan bertujuan untuk mempermudah
teknis dan analisanya. Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses
dimana pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola sumber daya yang
ada dan membentuk suatu pola kemitraan antara pemerintah daerah dengan
swasta untuk menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang
perkembangan kegiatan ekonomi (pertumbuhan ekonomi) dalam wilayah
tersebut (Arsyad, 1999:298).
Salah satu strategi yang bisa digunakan untuk meningkatkan
pertumbuhan ekonomi daerah adalah dengan meningkatkan pertumbuhan
ekonomi pada setiap kecamatan yang ada di daerah tersebut, karena
berdasarkan UU No. 23 tahun 2014 tentang pemerintahan daerah, menyatakan
bahwa wilayah kecamatan merupakan perangkat daerah kabupaten atau kota
yang berstatus daerah otonom yang berarti mempunyai kewenangan untuk
mengatur rumah tangganya sendiri dan tiap kecamatan akan berupaya
memajukan daerahnya dengan pertumbuhan ekonomi. Tentunya pertumbuhan
ekonomi yang didukung oleh potensi sumber daya yang dimiliki oleh masing-
masing kecamatan, serta faktor-faktor lainnya. yang terkait dalam pertumbuhan
ekonomi. Sehingga untuk bisa meningkatkan pertumbuhan ekonomi ditiap
kecamatan, perlu adanya analisa tentang potensi ekonomi berdasarkan PDRB
kecamatan yang bisa dikembangkan. Untuk menganalisis potensi ekonomi
kecamatan digunakan terlebih dahulu melakukan analisis pola dan struktur
pertumbuhan ekonomi, kemudian menganalisis sektor basis dan non basis
menggunakan meotde analisis Location Quotient (LQ), lalu mengetahui
pergeseran dan peranan sektor di daerah dengan wilayah yang lebih tinggi.
Dengan menggunakan analisis ini maka akan dapat diketahui tiap kecamatan di
Kabupaten Bangli memiliki potensi di sektor apa dan apakah termasuk dalam
kategori basis atau non basis, daerah tertinggalnya dimana saja. dan perannya
terhadap wilayah yang lebih luas seperti apa.

9
Secara diagramatis kerangka penelitian dapat dilihat pada Gambar 2.1.
sebagai berikut:

Gambar 3.1 Kerangka Berpikir

3.1 Konsep
3.1.1. Kebijakan
Fachruddi (2013) menyebutkan pengertian kebijakan merujuk pada tiga
hal, yakni sudut pandang (point of view), rangkaian tindakan (series of actions),
dan peraturan (regulations). Ketiga hal tersebut menjadi pedoman bagi para
pengambil keputusan untuk menjalankan sebuah kebijakan. Dari beberapa
definisi mengenai kebijakan publik, ada satu definisi yang cukup komprehensif
untuk menjelaskan apa itu kebijakan publik. Definisi tersebut berbunyi “respons
dari sebuah sistem politik terhadap demands/claims dan support yang mengalir
dari lingkungannya”.
Dalam definisi tersebut, respons bisa dilihat sebagai isi dan implementasi
serta analisis dampak kebijakan. Sistem politik tentu saja merujuk pada actor
politik (pemerintah, parlemen, masyarakat, pressure groups, dan aktor yang lain),

10
demands, dan claim bisa jadi merupakan tantangan dan permintaan dari aktor-
aktor tadi. Sementara support bisa merujuk pada dukungan, baik SDM maupun
infrastruktur yang ada. Respons yang terakhir, lingkungan merujuk pada satuan
wilayah tempat sebuah kebijakan diimplementasikan.
Berdasarkan konsep tersebut, tersusunlah sebuah sistem kebijakan
publik yang terdiri atas elemen-elemen, yakni orientasi, tindakan yang
benarbenar dilakukan, sifat positif maupun negatif untuk melakukan sesuatu dan
pelaksanaan melalui perundangan yang bersifat memaksa (otoritatif).
Sanim (2006 dalam Fachruddin, 2013) menyebutkan memformulasikan
bahwa pengertian yang tepat dari kebijakan adalah peraturan yang telah
dirumuskan dan disetujui untuk dilaksanakan guna memengaruhi suatu keadaan
(memengaruhi pertumbuhan), baik besaran maupun arahnya yang melingkupi
kehidupan masyarakat umum. Secara ringkas, kebijakan (policy) adalah solusi
atas suatu masalah. Kebijakan sering kali tidak efektif akibat idak cermat dalam
merumuskan masalah. Dengan kata lain, kebijakan sebagai obat sering kali tidak
manjur bahkan mematikan, akibat diagnosis masalah atau penyakitnya keliru
(Dunn 2003). Sebagai contoh, kebijakan adalah kebijakan publik yang dibuat
oleh institusi pemerintah.

3.1.2. Kebijakan Publik


Fachruddi (2013) menyebutkan secara umum, istilah kebijakan (policy)
digunakan untuk menunjuk perilaku seorang aktor atau sejumlah aktor dalam
suatu bidang kegiatan tertentu (Anderson 1999). Kebijakan publik (public policy)
didefinisikan oleh Robert Eyestone (1971) sebagai hubungan suatu unit
pemerintah dengan lingkungan.
Kebijakan publik adalah segala ketentuan yang ditetapkan oleh pejabat
publik yang bersangkut paut dengan publik dan apa yang dilakukan atau tidak
dilakukan oleh pejabat publik sesuai dengan kewenangannya. Masalah dalam
perumusan kebijakan publik terletak pada aktor, mekanisme dan proses
kebijakan publik, serta substansi. Untuk itu dalam mencapai tujuan terciptanya
suatu kebijakan publik yang berpihak pada rakyat serta lahirnya kebijakan yang
menjamin partisipasi publik, diperlukan beberapa strategi.
Santoso (1993 dalam Fachruddi, 2013), dengan mengkomparasi berbagai
definisi yang dikemukakan para ahli yang menaruh minat dalam bidang kebijakan

11
publik menyimpulkan bahwa pada dasarnya pandangan mengenai kebijakan
publik dapat dibagi dalam dua kategori, yaitu 1) para ahli yang berpendapat
bahwa kebijakan publik adalah semua tindakan pemerintah disebut kebijakan
publik dan 2) para ahli yang memberikan perhatian khusus pada pelaksanaan
kebijakan. Para ahli yang terkelompok dalam pandangan kategori kedua terbagi
pula ke dalam dua kubu pendapat, yakni mereka yang memandang kebijakan
publik sebagai keputusan-keputusan pemerintah yang mempunyai tujuan dan
maksud tertentu. Sementara kubu lainnya menganggap kebijakan publik memiliki
akibat-akibat yang bisa diramalkan.
Winarno (2002 dalam Fachruddi, 2013) menyatakan bahwa dampak dan
suatu kebijakan mempunyai beberapa dimensi dan semua harus diperhitungkan,
yaitu (1) dampak kebijakan pada masalah-masalah publik dan dampak kebijakan
pada orang-orang yang terlibat. Dengan demikian, mereka atau individu-individu
yang diharapkan untuk dipengaruhi oleh kebijakan harus dibatasi. Ada juga
dampak yang diinginkan (intended consequences) dan ada dampak yang tidak
diinginkan (unintended consequences). (2) Kebijakan yang mungkin mempunyai
dampak pada keadaan-keadaan atau kelompok-kelompok di luar sasaran atau
tujuan kebijakan atau juga dinamakan dampak yang melimpah (externalities or
spillover effects). (3) Kebijakan yang mungkin mempunyai dampak pada
keadaankeadaan sekarang dan keadaan-keadaan di masa yang akan datang.
Dengan kata lain, kebijakan yang berdampak berdasarkan dimensi waktu, yakni
masa sekarang dan masa yang akan datang. (4) Kebijakan yang mempunyai
dampak dalam bentuk biaya langsung dan biaya tidak langsung. Artinya, ada
biaya yang langsung dikeluarkan oleh program tersebut dan ada biaya tidak
langsung dikeluarkan oleh pihak lain, apakah oleh pemerintah, swasta, atau
masyarakat. (5) Kebijakan yang mempunyai dampak terhadap biaya-biaya yang
tidak bisa dihitung, tetapi dapat dirasakan oleh semua pihak.

3.1.3. Kebijakan Tata Ruang


Rencana tata ruang merupakan rencana pemanfaatan ruang yang disusun
untuk menjaga keserasian pembangunan antar sektor dalam rangka penyusunan
program-program pembangunan dalam jangka panjang (Nurmandi dalam
Munawwaroh 2003). Oleh karena itu, rencana tata ruang dapat dijadikan sebagai

12
salah satu acuan dalam penyusunan rencana program pembangunan yang
merupakan rencana jangka menengah dan jangka pendek.
Dalam membahas rencana spasial dan rencana pembangunan daerah
secara sekaligus, maka akan tidak terlepas juga dari aspek keuangan. Saat ini,
tantangan yang harus dihadapi adalah bagaimana memanfaatkan rencana tata
ruang sebagai media manajemen pembangunan daerah. Dalam hal ini, rencana
tata ruang dihadapkan tidak hanya pada masalah bagaimana
mengimplementasikannya dalam konteks pembangunan, tetapi juga rencana
tersebut dapat digunakan sebagai suatu alat yang dapat memperkirakan
besarnya investasi yang diperlukan dan berapa pendapatan (revenue) yang
dapat dihasilkan. Oleh karena itu, pembangunan akan memerlukan peran
berbagai aktor tersebut agar ruang dapat dimanfaatkan secara optimal sesuai
dengan rencana tata ruang dalam rangka peningkatan pendapatan daerah dan
tercapainya tujuan pembangunan.
Suatu rencana tata ruang akan dimanfaatkan untuk diwujudkan apabila
dalam perencanaannya sesuai dan tidak bertentangan dengan kehendak seluruh
pemanfaatnya, serta karakteristik dan kondisi wilayah perencanaannya, sehingga
dapat digunakan sebagai acuan dalam pemanfaatan ruang bagi para
pemanfaatnya. Dilengkapi dengan kesadaran pertimbangan pembiayaan dan
waktu, maka dengan kata lain suatu rencana tata ruang harus disusun dalam
suatu wawasan yang lengkap dan terpadu serta operasional, yang tentu saja
tingkat operasionalnya disesuaikan dengan tingkat hirarki dan fungsi dari
rencana tata ruang tersebut. Rencana tata ruang dapat menjadi dasar dalam:
Penyusunan Propeda
 Penentuan lokasi pembangunan tiap sektor
 Penyusunan anggaran daerah dan sektor
 Pengaturan dan pengendalian pembangunan melalui mekanisme
perijinan dan penertiban penggunaan lahan.

3.2 Konsep Wilayah dan Pengembangan Wilayah


3.2.1. Wilayah
Dalam Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang,
Wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap

13
unsur yang terkait kepadanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan
aspek administratif dan atau aspek fungsional. Menurut Rustiadi (2006) wilayah
dapat didefinisikan sebagai unit geografis dengan batas-batas spesifik tertentu
dimana komponen-komponen wilayah tersebut satu sama lain saling berinteraksi
secara fungsional. Sehingga batasan wilayah tidaklah selalu bersifat fisik dan
pasti tetapi seringkali bersifat dinamis. Komponen-komponen wilayah mencakup
komponen biofisik alam, sumberdaya buatan (infrastruktur), manusia serta
bentuk bentuk kelembagaan. Dengan demikian istilah wilayah menekankan
interaksi antar manusia dengan sumberdaya-sumberdaya lainnya yang ada di
dalam suatu batasan unit geografis tertentu.
Budiharsino (2005) menyebutkan wilayah didefinisikan sebagai suatu unti
geografis yang dibatasi oleh kriteria tertentu yang bagian-bagiannya bergantung
secara internal. wilayah dapat dibagi menjadi empat jenis, yaitu : (1) wilayah
homogen, (2) wilayah nodal, (3) wilayah perencanaan, (3) wilayah administrative.
1. Wilayah homogen adalah wilayah yang dipandang dari aspek/kriteria
mempunyai sifat-sifat atau ciri-ciri yang relatif sama. Sifat-sifat dan
ciri-ciri homogenitas itu misalnya dalam hal ekonomi (seperti wilayah
dengan struktur produksi dan konsumsi yang homogen, tingkat
pendapatan rendah/miskin, dan lain-lain), geografi (seperti wilayah
yang mempunyai topografi atau iklim yang sama), agama, suku dan
sebagainya. Wilayah homogen dibatasi berdasarkan
keseragamannya secara internal (internal uniformity).
2. Wilayah nodal (nodal region) adalah wilayah yang secara fungsional
mempunyai ketergantungan antara pusat (inti) dan wilayah
belakangnya (hinterland). Tingkat ketergantungan ini dapat dilihat dari
arus penduduk, faktor produksi, barang dan jasa, ataupun komunikasi
dan transportasi. Sukirno (1976) menyatakan bahwa pengertian
wilayah nodal yang paling ideal untuk digunakan dalam analisis
mengenai ekonomi wilayah, mengartikan wilayah tersebut sebagai
ekonomi ruang yang dikuasai oleh satu atau beberapa pusat kegiatan
ekonomi. Batas wilayah nodal ditentukan sejauh mana pengaruh dari
suatu pusat kegiatan ekonomi bila digantikan oleh pengaruh dari
pusat kegiatan ekonomi lainnya. Hoover (1977) mengatakan bahwa
struktur dari wilayah nodal dapat digambarkan sebagai suatu sel

14
hidup atau suatu atom, dimana terdapat inti dan plasma (periferi) yang
saling melengkapi. Pada struktur yang demikian, integrasi fungsional
akan lebih merupakan dasar hubungan ketergantungan atau dasar
kepentingan masyarakat di dalam wilayah itu, daripada merupakan
homogenitas semata-mata. Dalam hubungan saling ketergantungan
itu dengan perantaraan pembelian dan penjualan barang-barang dan
jasa-jasa secara lokal, aktifitas-aktifitas regional akan mempengaruhi
pembangunan yang satu dengan yang lainnya.
3. Wilayah administratif, adalah wilayah yang batas-batasnya ditentukan
berdasarkan kepentingan administrasi pemerintahan atau politik,
seperti: provinsi, kabupaten, kecamatan, desa/kelurahan. Khusus
untuk wilayah administratif provinsi atau kabupaten/kota, dalam
peraturan perundangundangan di negara kita disebut sebagai daerah
Otonom. Dalam praktek, apabila membahas mengenai pembangunan
wilayah/daerah, maka pengertian wilayah administrasi merupakan
pengertian yang paling banyak digunakan. Penggunaan pengertian
wilayah administratif disebabkan dua faktor, yakni: (a) dalam
melaksanakan kebijaksanaan dan rencana pembangunan wilayah
diperlukan tindakan-tindakan bagi berbagai badan pemerintah.
Dengan demikian, lebih praktis apabila pembangunan wilayah
didasarkan pada satuan wilayah administrasi yang telah ada, dan (b)
wilayah yang batasnya ditentukan berdasarkan atas satuan
administrasi pemerintahan lebih mudah dianalisis, karena sejak
pengumpulan data di berbagai bagian wilayah berdasarkan pada
satuan wilayah administrasi tersebut. Namun dalam kenyataannya,
pembangunan tersebut sering kali tidak hanya dalam satu satuan
wilayah administrasi, sebagai contoh adalah pengelolaan pesisir,
pengelolaan daerah aliran sungai, pengelolaan lingkungan dan
sebagainya, yang batasnya bukan berdasarkan administrasi namun
berdasarkan batas ekologis yang sering kali bersifat lintas wilayah
administrasi (provinsi, kabupaten/kota) sehingga penanganannya
memerlukan kerjasama dari satuan wilayah administrasi yang terkait.
1. Wilayah perencanaan (planning region) adalah wilayah yang
batasannya didasarkan secara fungsional dalam kaitannya dengan

15
maksud perencanaan. Wilayah ini memperlihatkan koherensi atau
kesatuan keputusan-keputusan ekonomi (Boundeville dalam Glasson,
1978). Wilayah perencanaan dapat dilihat sebagai wilayah yang
cukup besar untuk memungkinkan terjadinya perubahan-perubahan
penting dalam penyebaran penduduk dan kesempatan kerja, namun
cukup kecil untuk memungkinkan persoalan-persoalan
perencanaannya dapat dipandang sebagai suatu kesatuan.

3.2.2 Pengembangan Wilayah


Pendekatan yang diterapkan dalam pengembangan wilayah di Indonesia
sangat beragam. Hal ini dipengaruhi oleh perkembangan teori dan model
pengembangan wilayah serta tatanan sosial-ekonomi, sistim pemerintahan dan
administrasi pembangunan. Pendekatan yang mengutamakan pertumbuhan
tanpa memperhatikan lingkungan, bahkan akan menghambat pertumbuhan itu
sendiri (Direktorat Jenderal Penataan Ruang, 2003).
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional menyebutkan bahwa perencanaan adalah suatu proses
untuk menentukan tindakan masa depan yang tepat melalui urutan pilihan
dengan memperhitungkan sumber daya yang tersedia. Sirojuzilam (2010)
menyatakan bahwan tujuan perencanaan pada intinya adalah untuk
menyediakan informasi (information) dan tindakan dalam mengalokasi sumber
daya kemasyarakatan secara optimal baik yang terkait dengan perencanaan
makro maupun perencanaan sektoral dan regional untuk mencapai tujuan yang
diinginkan.
Perencanaan wilayah adalah perencanaan penggunaan ruang wilayah,
perencanaan pergerakan dan perencanaan aktifitas pada ruang wilayah tersebut.
Perencanaan ruang wilayah biasanya dituangkan dalam perencanaan tata-ruang
wilayah, perencanaan pergerakan dituangkan dalam perencanaan transportasi
sedangkan perencanaan aktifitas biasanya tertuang dalam perencanaaan
pembangunan wilayah baik jangka panjang, jangka menengah maupun jangka
pendek. Dalam kondisi yang ideal, perencanaan pembangunan wilayah
sebaiknya dimulai setelah tersusunnya rencana tata-ruang wilayah, karena tata-
ruang wilayah merupakan landasan tapi juga sekaligus sasaran dari
perencanaan pembangunan wilayah (Tarigan, 2005).

16
Baik dalam perencanaan pembangunan nasional maupun dalam
perencanaan pembangunan daerah, pendekatan perencanaan dapat dilakukan
dengan dua cara yaitu pendekatan sektoral dan pendekatan regional (wilayah).
Pendekatan sektoral adalah dengan memfokuskan perhatian pada sektor-sektor
kegiatan yang ada di wilayah tersebut. Pendekatan ini mengelompok-kan
kegiatan ekonomi atas sektor-sektor yang seragam atau dianggap seragam.
Pendekatan regional adalah melihat pemanfaatan ruang serta interaksi berbagai
kegiatan didalam ruang wilayah. Jadi dalam hal ini kita melihat perbedaan fungsi
ruang yang satu dengan ruang lainnya dan bagaimana ruang itu saling
berinteraksi untuk diarahkan kepada tercapainya kehidupan yang bertumbuh,
efisien dan nyaman. Perbedaan fungsi itu karena perbedaan lokasi, perbedaan
potensi dan perbedaan aktifitas utama di masing-masing ruang, dimana
perbedaan itu harus diarahkan untuk bersinergi agar saling mendukung
menciptakan pertumbuhan yang serasi dan seimbang.
Lebih lanjut, Tarigan (2005) mengemukanan bahwa perencanaan
pembangunan wilayah tidaklah sempurna apabila hanya menggunakan
pendekatan sektoral saja atau pendekatan regional saja. Perencanaan
pembangunan wilayah semestinya adalah memadukan kedua pendekatan
tersebut. Pendekatan sektoral saja tidak akan mampu melihat adanya
kemungkinan tumpang tindih dalam penggunaan lahan (kecuali melakukan
pendekatan komprensip seperti Linear Programming), juga tidak mampu melihat
perubahan struktur ruang yang mungkin terjadi sebagai akibat dilaksanakannya
rencana sektoral tersebut. Misalnya: tidak mampu melihat wilayah mana yang
akan banyak berkembang, wilayah mana yang kurang terbangun, perubahan dari
pergerakan arus orang dan barang sehingga mungkin diperlukan perubahan
kapasitas jaringan jalan, apakah total kegiatan sektoral itu bisa mengganggu
kelestarian lingkungan, apakah akan tercipta pusat wilayah baru dan lain-lain
sebagainya
Di sisi lain, pendekatan regional saja juga tidak cukup, karena analisisnya
akan bersifat makro wilayah sehingga tidak cukup detail untuk membahas sektor
per sektor apalagi komoditi per komoditi. Pendekatan regional saja tidak akan
mampu untuk menjelaskan misalnya komoditi apa yang akan dikembangkan,
berapa luas, apakah pasar masih dapat menyerap tambahan komoditi tersebut,
apakah input untuk pengembangannya masih cukup, bagaimana tingkah laku

17
dari para pesaing, dan lain-lain sebagainya. Atas dasar alasan tersebut diatas,
maka pendekatan pembangunan wilayah haruslah gabungan antara pendekatan
sektoral dan pendekatan regional.
3.3 Pembangunan Ekonomi Daerah
Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses dimana pemerintah
daerah dan masyarakatnya mengelola sumberdaya-sumberdaya yang ada dan
membentuk suatu pola kemitraan antara pemerintah daerah dengan sektor
swasta untuk menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang
perkembangan kegiatan ekonomi (pertumbuhan ekonomi) dalam wilayah
tersebut. Setiap upaya pembangunan ekonomi daerah mempunyai tujuan utama
untuk meningkatkan jumlah dan jenis peluang kerja untuk masyarakat daerah.
Dalam upaya mencapai tujuan tersebut, pemerintah daerah dan masyarakatnya
harus secara bersama-sama mengambil inisiatif pembangunan daerah. Oleh
karena itu, pemerintah daerah beserta partisipasi masyarakatnya dan dengan
menggunakan sumberdaya-sumberdaya yang ada harus mampu menaksir
potensi sumber-sumberdaya yang diperlukan untuk merancang dan membangun
perekonomian daerah (Arsyad, 2004).

3.4 Pertumbuhan Ekonomi WIlayah


Pertumbuhan ekonomi wilayah adalah pertambahan pendapatan masyarakat
secara keseluruhan yang terjadi di wilayah tersebut, yaitu kenaikan seluruh nilai
tambah (value added) yang terjadi di wilayah tersebut. Hal ini nampak pada
PDRB perkapita yaitu hasil bagi PDRB dengan jumlah penduduk pertengahan
tahun disuatu daerah (BPS, 2005). PDRB yaitu jumlah nilai tambah bruto (gross
value added) yang timbul dari seluruh sektor perekonomian di wilayah itu, yang
meliputi sembilan sektor ekonomi yaitu: sektor pertanian, sektor pertambangan
dan penggalian, sektor industri pengolahan, sektor listrik, gas dan air bersih,
sektor konstruksi dan bangunan, sektor perdagangan, hotel dan restoran, sektor
pengangkutan dan komunikasi, sektor keuangan dan sektor jasa-jasa (Tarigan,
2005:18). Ini berarti besarnya PDRB yang dihasilkan oleh suatu daerah, secara
kasar dapat menunjukkan tingkat kemakmuran masyarakat di daerah yang
bersangkutan.

3.5 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)

18
PDRB didefinisikan sebagai jumlah nilai tambah yang dihasilkan oleh
seluruh unit usaha dalam suatu wilayah atau merupakan jumlah seluruh nilai
barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi di suatu wilayah
(BPS, 2005). Informasi PDRB kabupaten atau kota merupakan informasi yang
sangat penting untuk mengetahui perkembangan perekonomian yang terjadi.
Selain pertumbuhan ekonomi, informasi tersebut juga memberikan gambaran
mengenai peranan maupun potensi wilayah kabupaten atau kota tersebut,
termasuk diantaranya untuk mengukur tingkat kesenjangan pembangunan
ekonomi sektoral maupun antar kabupaten atau kota.
Salah satu indikator ekonomi makro yang biasanya digunakan untuk
mengukur laju pertumbuhan ekonomi di suatu daerah dalam lingkup kabupaten
dan kota adalah PDRB menurut lapangan usaha. Untuk menjaga keseragaman
konsep, definisi dan cara atau metode yang dipergunakan dalam perhitungan di
seluruh Indonesia, Badan Pusat Statistik secara langsung maupun tidak
langsung telah memberikan bimbingan teknis dan pengarahan yang sangat
diperlukan. Karena secara teori PDRB tidak dapat dipisahkan dari Produk
Domestik Bruto (PDB) baik dari segi konsep, definsi, metodologi, cakupan dan
sumber datanya. PDRB atas dasar harga berlaku menggambarkan nilai tambah
barang dan jasa yang dihitung menggunakan harga pada tahun tersebut, sedang
PDRB atas dasar harga konstan menunjukan nilai tambah barang dan jasa yang
dihitung menggunakan harga pada tahun tertentu sebagai tahun dasar yaitu
tahun 2000, digunakan untuk mengetahui pertumbuhan ekonomi dari tahun ke
tahun secara nyata karena dalam perhitungan ini tidak menyertakan inflasi.
PDRB juga merupakan indicator untuk mengatur sampai sejauh mana
keberhasilan pemerintah dalam memanfaatkan sumber daya yang ada dan dapat
digunakan sebagai perencanaan dan pengambilan keputusan.

3.6 Basis Ekonomi (Economic Base Theory)


Teori basis ekonomi (economic base theory) yang di kemukakan oleh
John Glasson (1987), menerangkan bahwa ada keterkaitan antara sektor-sektor
ekonomi di suatu wilayah dengan kekuatan-kekuatan pendorong salah satu
sektor kepada sektor yang lainnya baik secara langsung maupun tidak langsung.
Menurut Jhon Glasson, perekonomian regional dapat dibagi menjadi dua sektor
yaitu kegiatan-kegiatan basis dan kegiatan-kegiatan bukan basis. Kegiatan basis

19
(basic activities) adalah kegiatan ekonomi yang mengahasilkan barang-barang
dan jasajasa, dan menjualnya atau memasarkan produknya keluar daerah,
sedangkan kegiatan-kegiatan ekonomi bukan basis (non basic activities) adalah
usaha ekonomi yang menyediakan barang-barang dan jasa-jasa untuk
kebutuhan masyarakat dalam wilayah ekonomi di daerah yang bersangkutan
saja. Ini berarti kegiatan-kegiatan ekonomi bukan basis tidak menghasilkan
produk untuk diekspor keluar daerahnya. Oleh karena itu, luas lingkup produksi
mereka itu dan daerah pemasarannya masih bersifat lokal. Menurut teori ini,
meningkatnya jumlah kegiatan ekonomi basis di dalam suatu daerah akan
meningkatkan jumlah pendapatan daerah yang bersangkutan, lalu akan
meningkatka permintaan terhadap barang dan jasa di daerah itu dan akan
mendorong kenaikan volume kegiatan ekonomi bukan basis (effect multiplier).
Sebaliknya apabila terjadi penurunan jumlah kegiatan basis akan berakibat
berkurangnya pendapatan yang mengalir masuk ke dalam daerah yang
bersangkutan, dan selanjutnya akan terjadi penurunan permintaan terhadap
barang-barang yang di produksi oleh kegiatan bukan basis.
Bertambah banyaknya produksi sektor basis dalam suatu wilayah akan
menambah arus pendapatan ke dalam daerah yang bersangkutan, menambah
permintaan terhadap barang-barang dan jasa-jasa didalamnya, dan
menimbulkan peningkatan volume aktivitas pada sektor non-basis sebaliknya,
berkurangnya produksi sektor basis akan mengakibatkan berkurangnya
pendapatan yang masuk ke wilayah tersebut dan turunnya permintaan terhadap
produk dari sektor nonbasis.

3.7 Sektor Unggulan


Darmawansyah (2003) mendefinisikan sektor ekonomi unggulan sebagai
sektor yang dapat menunjang dan mempercepat pembangunan dan
pertumbuhan perekonomian daerah yang berdasarkan pada kriteria tingkat
kemampuan sektor dalam memberi kontribusi terhadap penerimaan PDRB
daerah, tingkat kemampuan menyerap tenaga kerja, potensi dalam
menghasilkan komoditas eksport dan tingkt keterkaitan yang kuat dengan sektor
lainnya.
Widodo (2006:5) mengartikan sektor ekonomi unggulan sebagai sektor
ekonomi yang unggul atau mempunyai daya saing dalam beberapa periode

20
tahun terakhir dan kemungkinan prospek sektor ekonomi dimasa yang akan
datang dengan kriteria yang sama Darmawansyah. Dalam hal ini, sektor ekonomi
unggulan lebih ditekankan pada aspek ekonomi semata, alangkah baiknya jika
diperhatikan pula dampak yang akan timbul dari pengembangan sektor ekonomi
yang dianggap unggul tersebut baik terhadap persoalan sosial maupun
lingkungan. Sektor ekonomi unggulan dapat didefinisikan sebagai sektor
ekonomi yang mampu merangsang dan mempercepat pembangunan dan
pertumbuhan perekonomian daerah yang mempunyai daya saing serta
pengembangannya tidak mengakibatkan sektor lain menjadi ”mati” dan
menimbulkan kerusakan lingkungan yang parah. Sebagai contoh,
pengembangan sektor perdagangan melalui pembangunan mal yang lokasinya
relatif dekat dengan pasar tradisional diperkirakan akan mematikan potensi pasar
tradisional tersebut. Contoh lainnya yaitu peningkatan aktivitas eksplorasi
penambangan dan penggalian harus mempertimbangkan aspek lingkungan.
Sektor ekonomi unggulan penting untuk diidentifikasi oleh suatu daerah.
Faktor keterbatasan dana dan sumber daya menjadikan Pemerintah Daerah
tidak memungkinkan untuk bisa mengembangkan seluruh sektor yang dimiliki
secara bersamaan. Langkah yang bisa dijadikan pilihan adalah dengan
melakukan investasi pada satu atau, beberapa sektor usaha saja.

3.8 Strategi Pengembangan Potensi Ekonomi Daerah.


Strategi pengembangan potensi ekonomi daerah adalah cara yang
ditempuh untuk mengembangkan setiap sektor unggulan yang bertujuan untuk
memperluas dan meningkatkan kemampuan sektor dalam memberikan kontribusi
terhadap pembentukan PDRB. Sistem atau cara-cara ini disusun berdasarkan
kekuatan dan kelemahan yang dimiliki sektor atau daerah tersebut.
Adalah tidak mudah untuk mengetahui potensi ekonomi daerah. Potensi
ekonomi daerah adalah kemampuan ekonomi yang ada di daerah yang mungkin
dan layak dikembangkan sehingga akan terus berkembang menjadi sumber
penghidupan rakyat setempat bahkan dapat mendorong perekonomian daerah
secara keseluruhan untuk berkembang dengan sendirinya dan
berkesinambungan (Suparmoko, 2002:99).
Sebelum sebuah strategi pengembangan disusun, sebaiknya diketahui
terlebih dahulu kekuatan dan kelemahan daerah dalam pengembangan

21
perekonomiannya. Dengan mengetahui kelemahan dan kekuatan yang dimiliki
suatu daerah maka akan lebih cepat dalam menyusun strategi guna mencapai
tujuan atau sasaran yang diinginkan. Oleh karena itu dalam mempersiapkan
strategi ada langkah-langkah yang harus ditempuh, yaitu:
1. Mengidentifikasi sektor-sektor kegiatan mana yang mempunyai potensi
untuk dikembangkan dengan memperhatikan kekuatan dan kelemahan
masing-masing sektor.
2. Mengidentifikasi sektor-sektor yang potensinya rendah untuk
dikembangkan dan mencari faktor-faktor yang menyebabkan rendahnya
potensi sektor tersebut untuk dikembangkan.
3. Mengidentifikasi sumber daya (faktor-faktor produksi) yang ada termasuk
sumber daya manusianya dan yang siap digunakan untuk mendukung
perkembangan setiap sektor yang bersangkutan.
4. Dengan menggunakan model pembobotan terhadap variabel-variabel
kekuatan dan kelemahan, maka akan ditemukan potensi ekonomi yang
menjadi unggulan dan patut dikembangkan.
5. Menentukan strategi yang akan ditempuh untuk pengembangan sektor-
sektor andalan yang akan dapat menarik sektor-sektor lain untuk tumbuh
sehingga perekonomian akan dapat berkembang dengan sendirinya (self
propelling) secara berkelanjutan (sustainable development).
Ada berbagai macam strategi pembangunan yang dapat dipelajari
(Adisasmita, 2005:205). Strategi pembangunan seimbang diartikan sebagai
pembangunan berbagai sektor secara bersamaan. Untuk itu diperlukan
keseimbangan antara berbagai sektor, yang ditekankan disini adalah
pembangunan serentak dari semua sektor yang berkaitan. Strategi
pembangunan tak seimbang adalah strategi yang menekankan pembangunan
pada satu sektor yang menjadi sektor pemimpin, diharapkan sektor pemimpin
(leading sector) akan merangsang pertumbuhan sektor lainnya. Strategi
pembangunan yang beorientasi ke dalam dan keluar. Strategi pembangunan
beorientasi kedalam ditujukan untuk lebih memaksimalkan potensi sektor-sektor
dalam wilayah sehingga mampu berproduksi sendiri tanpa mendatangkan dari
wilayah luar, sebaliknya berorientasi keluar dasarnya adalah bahwa
perdagangan atau hubungan dengan wilayah lain akan memberikan keuntungan
karena merupakan motor penggerak pertumbuhan.

22
Strategi kebutuhan pokok, yaitu dengan pemerataan pembangunan dan
hasil-hasilnya keseluruh wilayah sehingga kesejahteraan masyarakat dapat
menyeluruh. Keberhasilan dalam pertumbuhan ekonomi sendiri erat kaitannya
dengan strategi pembangunan ekonomi.

23
BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1 Rancangan Penelitian


Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kuantitatif. Penelitian
kuantitatif adalah suatu penelitian yang pada dasarnya menggunakan pendekatan
deduktif. Pendekatan ini berangkat dari suatu kerangka teori, gagasan para ahli,
maupun pemahaman peneliti berdasarkan pengalamannya, kemudian
dikembangkan menjadi permasalahan-permasalahan yang diajukan untuk
memperoleh pembenaran (verifikasi) atau penolakan dalam bentuk dokumen data
empiris lapangan.
Pendekatan kuantitatif bertujuan untuk menguji teori, membangun fakta,
menunjukkan hubungan antar variabel, memberikan deskripsi statistic, menaksir dan
meramalkan hasilnya. Desain penelitian yang menggunakan pendekatan kuantitatif
harus terstruktur, baku, formal dan dirancang sematang mungkin sebelumnya.
Desain bersifat spesifik dan detsil karena desain merupakan suatu rancangan
penelitian yang akan dilaksanakan sebenarnya
Tabel Rancangan Penelitian
No Rumusan Masalah Variabel Sub Variabel
1 pertumbuhan ekonomi PDRB  PDRB BHK
wilayah  PDRB Per Kapita
Pola dan Struktur  maju/cepat tumbuh
Pertumbuhan  maju tertekan
 berkembang cepat
 relative tertinggal
sektor basis dan  unggulan
non basis  potensial
 non unggulan
Peran ekonomi  Daya saing tinggi
 Daya saing rendah
2 kebijakan tata ruang  Kebijakan  jaringan prasarana
Struktur  utilitas
Ruang  lindung

24
No Rumusan Masalah Variabel Sub Variabel
 Kebijakan  budidaya
Pola Ruang  kawasan strategis
3 keterpaduan kebijakan  EFAS  kekuatan
tata ruang dengan  IFAS  kelemahan
perkembangan  peluang
ekonomi  ancaman
4 strategi pengembangan  strategi  Comparative Advantage
 Mobilization
 Invesment/Divesment
 Damage Control

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian


Penelitian ini meliputi pembahasan aspek ekonomi wilayah mencakup PDRB
wilayah ke 4 (empat) Kecamatan di Kabupaten Bangli, meliputi Kecamatan Bangli,
Kecamatan Tembuku, Kecamatan Susut, Dan Kecamatan Kintamani. Penelitian ini
dilaksanakan pada tahun 2019.

4.3 Ruang Lingkup Penelitian


Penelitian ini difokuskan pada pendekatan secara sektoral. Pendekatan
sektoral merupakan suatu pendekatan yang memfokuskan perhatian pada sektor-
sektor kegiatan yang ada di wilayah tersebut. Pada pendekatan sektoral, di mana
seluruh kegiatan ekonomi di dalam wilayah perencanaan dikelompokkan atas
sektor-sektor. Selanjutnya setiap sektor di analisis satu persatu dengan metode
analisis yang telah ditentukan.

4.4 Penentuan Sumber Data


Data yang digunakan dalam analisis ini adalah data primer dan data
sekunder. Data primer diperoleh melalui hasil wawancara dengan informan dari
instansi terkait sebagai pelengkap data sekunder. Sedangkan data sekunder
dikumpulkan dari berbagai sumber antara lain Kantor BPS Kabupaten Bangli,
Bappeda, BPS Propinsi Bali serta instansi atau lembaga lain di Kabupaten Bangli.

25
Data yang dibutuhkan dari data sekunder merupakan data time series. Keseluruhan
data yang digunakan untuk analisis dalam penelitian ini meliputi: (1) Produk
Domestik Regional Bruto (PDRB), (2) kependudukan, (3) potensi wilayah, dan (4)
hasil wawancara dengan Bappeda dan dinas-dinas yang terkait di Kabupaten Bangli.

4.5 Variabel Penelitian


Variabel adalah objek penelitian atau apa yang menjadi titik perhatian suatu
penelitian (Arikunto, 2006:118). Variabel dalam penelitian ini adalah:
1. Sektor-sektor Ekonomi
Menurut BPS (Badan Pusat Statistik) untuk perhitungan kepentingan
nasional atau regional, perekonomian Indonesia dibagi dalam sembilan
sektor menurut lapangan usaha, yaitu: sektor pertanian, pertambangan dan
penggalian, industri pengolahan, listrik, gas dan air bersih, konstruksi dan
bangunan, perdagangan, hotel dan restoran, pengangkutan dan komunikasi,
keuangan, persewaan dan jasa perusahaan.
2. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)
PDRB adalah jumlah nilai tambah yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha
dalam suatu wilayah atau merupakan jumlah seluruh nilai barang dan jasa
akhir yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi disuatu wilayah. Penyajian
data PDRB dapat dilakukan berdasarkan harga konstan dan harga berlaku.
Dalam penelitian ini, PDRB dihitung berdasarkan harga konstan, yaitu semua
agregat pendapatan dinilai atas dasar harga tetap, maka perkembangan
agregat dari tahun ketahun semata-mata karena perkembangan produksi riil
bukan karena kenaikan harga atau inflasi.
3. Model Basis Ekonomi
Merupakan model yang membagi perekonomian menjadi dua sektor yaitu
sektor basis dan non basis. Sektor basis adalah sektor-sektor yang
mengekspor barang-barang dan jasa ke tempat di luar batas perekonomian
masyarakat yang bersangkutan atas masukan barang dan jasa mereka
kepada masyarakat yang datang dari luar perbatasan perekonomian
masyarakat yang bersangkutan. Sektor non basis adalah adalah sektor-

26
sektor yang menjadikan barang-barang yang dibutuhkan oleh orang yang
bertempat tinggal dibatas perekonomian masyarakat yang bersangkutan
tidak mengekspor barang-barang, luas lingkup mereka dan daerah pasar
terutama adalah bersifat lokal.
4. Strategi Pengembangan Potensi Ekonomi Daerah
Potensi ekonomi daerah adalah kemampuan ekonomi yang ada di daerah
yang mungkin dan layak dikembangkan sehingga akan terus berkembang
menjadi sumber penghidupan rakyat setempat bahkan dapat mendorong
perekonomian daerah secara keseluruhan untuk berkembang dengan
sendirinya dan berkesinambungan (Suparmoko, 2002:99). Strategi
pengembangan potensi ekonomi daerah adalah rencana dasar yang dibuat
untuk mengembangkan sektor potensial dengan ditunjang sektor potensi
ekonomi yang dimiliki suatu daerah secara optimal guna meningkatkan
pertumbuhan ekonomi.

4.6 Analisis Data


Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
gabungan antara kuantitatif dan kualitatif. Teknik kuantitatif dipergunakan untuk
mengukur data berupa angka atau bentuk kualitatif yang diangkakan, sedangkan
teknik kualitatif digunakan untuk menjelaskan dan mengetahui hal-hal yang tidak
bisa dijelaskan secara kuantitatif. Dalam hal ini digunakan untuk menjelaskan
kondisi di wilayah studi dan proses perkembangan wilayah.
Analisis kualitatif berupa deskriptif, merupakan analisis keadaan objek studi
melalui uraian, pengertian ataupun penjelasan-penjelasan, baik terhadap analisis
terukur maupun tidak terukur. Adapun analisis kualitatif normatif, yaitu analisis
terhadap keadaan yang seharusnya mengikuti suatu aturan atau pedoman ideal
maupun landasan hukum atau lainnya. Analisis ini digunakan untuk memberikan
gambaran atau penjelasan verbal terhadap informasi, gambar skema dan lain-lain
berkenaan dengan perkembangan wilayah.

27
4.6.1. Analisis Laju Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi merupakan besarnya persentase kenaikan PDRB
ADHK pada suatu tahun tertentu terhadap tahun sebelumnya. Dengan rumus
perhitungan sebagai berikut:
Untuk penghitungan regional:

Dimana:
G = growth atau pertumbuhan ekonomi
PDRB t = Produk Domestik Regional Bruto tahun t
PDRB t – 1 = Produk Domestik Regional Bruto tahun t - 1

4.6.2. Analisis Tipology Klassen Pendekatan Sektoral


Tipology Klassen pendekatan sektoral dapat digunakan untuk mengetahui
gambaran tentang pola dan struktur pertumbuhan sektoral daerah. Menurut Tipology
Klassen, masing-masing sektor ekonomi di daerah dapat diklasifikasikan sebagai
sektor yang prima, berkembang, potensial dan terbelakang. Analisis ini
mendasarkan pengelompokkan suatu sektor dengan melihat pertumbuhan dan
kontribusi sektor tertentu terhadap total PDRB suatu daerah.
Menurut Sjafrizal (2008: 180) analisis tipologi klassen dibagi menjadi empat
klasifikasi sektor, yaitu:
1. Sektor unggulan (developer sector) (kuadran I), yaitu sektor yang memililki
keunggulan kompetitif dan keunggulan komparatif. Klasifikasi ini
dilambangkan dengan nilai SS (+) dan LQ > 1.
2. Sektor maju tapi tertekan (stagnant sector) (Kuadran II), yaitu pada sektor
yang hanya memilki keunggulan kompetitif saja. Klasifikasi ini dilambangkan
dengan nilai SS (+) dan LQ < 1.

28
3. Sektor potensial yang masih dapat berkembang (developing sector) (Kuadran
III), yaitu sektor potensial yang hanya memiliki keunggulan komparatif saja.
Klasifikasi ini dilambangkan dengan nilai SS (-) dan LQ> 1.
4. Sektor terbelakang (underdeveloped sector) (Kuadran IV) yaitu pada sektor
ini tidak memilki keunggulan komparatif, sehingga sektor ini disebut sektor
terbelakang. Klasifikasi ini dilambangkan dengan nilai SS (-) dan LQ < 1.

Tabel 3.2. Klasifikasi Wilayah Menurut Tipologi Klassen Pendekatan Sektoral

Rerata Laju Pertumbuhan


Sektor (y)

Rerata Kontribusi Yi ≥ y Yi < y


Sektor (r)
ri ≥ r Kuadran I Sektor Maju Kudran II Sektor Maju
dan Cepat Tumbuh tetapi Tertekan
(Prima) (berkembang)
ri < r Kuadran III Sektor Kuadran IV Sektor
yang sedang tumbuh Relatif Tertinggal
(potensial) (Terbelakang)

Keterangan:
ri = Rata-rata kontribusi sektor PDRB Kecamatan di wilayah Kabupaten
yi = Rata-rata laju pertumbuhan sektor PDRB kecamatan di wilayah Kabupaten
r = Rata-rata kontribusi sektor PDRB wilayah Kabupaten
y = Rata-rata laju pertumbuhan sektor PDRB wilayah Kabupaten

4.6.3 Analisis Location Quotient


Langkah awal dari model ini adalah dengan cara membagi kegiatan
ekonomi suatu wilayah ke dalam dua bagian, yaitu sektor basis dan bukan sektor
basis. Metode Location Quotient merupakan suatu model yang dapat membantu
dalam menunjukkan (keunggulan) ekspor perekonomian suatu daerah atau

29
derajat self sufficiency pada suatu sektor. Dalam teknik ini kegiatan ekonomi
suatu daerah dibagi menjadi dua golongan:
1. Kegiatan sektor basis adalah kegiatan ekonomi yang melayani
kebutuhan di wilayah sendiri maupun di daerah luar yang
bersangkutan.
2. Kegiatan non basis adalah kegiatan yang melayani kebutuhan hanya
di daerah tersebut dan bahkan belum mencukupi wilayahnya,
sehingga dibutuhkan bantuan dari daerah atau sektor lainnya.
Dalam penelitian ini data yang digunakan untuk perhitungan LQ adalah
data PDRB berdasarkan harga konstan. Metode LQ ini juga merupakan
perbandingan antara pendapatan relatif suatu sektor dalam suatu daerah dengan
total pendapatan relatif sektor tertentu pada tingkat daerah yang lebih luas. LQ
juga efisiensi relatif wilayah, serta terfokus pada subtitusi impor yang potensial
atau produk dengan potensi ekspansi ekspor. Untuk mengidentifikasi sektor
basis dan non basis perekonomian adalah dengan menggunakan rumus sebagai
berikut (Tiebout 1966, dalam Budiharsono).

Keterangan:
LQ = Besarnya kuosien lokasi suatu sektor ekonomi
Si = Jumlah pendapatan sektor i pada tingkat kecamatan/desa (wilayah bawah)
S = Jumlah total pendapatan sektor perekonomian ditingkat kecamatan/desa
Ni = Jumlah pendapatan sektor i pada wilayah kabupaten (wilayah atas)
N = Jumlah total pendapatan sektor perekonomian pada tingkat kabupaten.

Hasil dari perhitungan LQ apabila menunjukkan LQ > 1, maka sektor


tersebut termasuk sektor basis, artinya sektor tersebut mampu memenuhi
kebutuhan bagi perekonomian di wilayahnya dan sektor tersebut lebih

30
berorientasi pada ekspor. Sebaliknya jika LQ < 1, maka sektor tersebut termasuk
sektor non basis, artinya sektor tersebut belum mampu untuk memenuhi
kebutuhan di wilayahnya sehingga diperlukan tambahan dari sektor atau daerah
lainnya. Sektor non basis juga bisa digolongkan ke dalam sektor yang
berorientasi pada impor.
Tedapat dua asumsi utama yang digunakan dalam metode LQ adalah:
1. Pola konsumsi rumah tangga di wilayah bawah identik (sama dengan)
pola kunsumsi rumah tangga di wilayah atasnya.
2. Baik wilayah atas maupun wilayah bawah mempunyai fungsi produksi
yang linier dengan produktivitas di setiap sektor yang sama besarnya.

4.6.4 Analisis Shift-Share


Tri Widodo (2006) menyebutkan bahwa analisis shift share merupakan salah
satu teknik kuantitatif yang biasa yang digunakan untuk menganalisis perubahan
struktur ekonomi daerah relatif terhadap struktur ekonomi wilayah administratif yang
lebih tinggi sebagai pembanding atau referensi. Untuk tujuan tersebut, analisis ini
menggunakan 3 informasi dasar yang saling berhubungan, yaitu :
1. Pertumbuhan ekonomi referensi propinsi/nasional (national growth
effect) yang menunjukkan bagaimana pengaruh pertumbuhan ekonomi
nasional terhadap perekonomian daerah.
2. Pergeseran proporsional (propotional shift) yang menunjukkan
perubahan relatif kinerja suatu sektor di daerah tertentu terhadap sektor
yang sama di referensi propinsi atau nasional. Pergeseran proporsional
(propotional shift) disebut juga pengaruh bauran industri (Mij).
Pengukuran ini memungkinkan kita untuk mengetahui apakah
perekonomian daerah terkonsentrasi pada industri-industri yang tumbuh
lebih cepat ketimbang perekonomian yang dijadikan referensi.
3. Pergeseran differensial (differential shift) yang memberikan informasi
dalam menentukan seberapa jauh daya saing industri daerah (lokal)
dengan perekonomian yang dijadikan referensi. Jika pergeseran

31
differensial dari suatu industri adalah positif, maka industri tersebut relatif
lebih tinggi daya saingnya dibandingkan industri yang sama pada
perekonomian yang dijadikan referensi. Pergeseran differensial disebut
juga pengaruh keunggulan kompetitif (Cij).
Rumus yang digunakan untuk analisis Shift Share adalah :
Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi Nasional (Nij)
Nij = Eij x rn ………………………………………………................. (3.4)
Pergeseran Proporsional (Proportional Shift) (Mij)
Mij = Eij (rin - rn) ………………………………………………......... (3.5)
Pengaruh Keunggulan Kompetitif (Cij)
Cij = Eij (rij - rin) ……………………………………………….......... (3.6)
Sehingga dampak nyata pertumbuhan ekonomi daerah atau nilai shift share
diformulasikan sebagai berikut :
Dij = Nij + Mij + Cij ........................................................................(3.7)
Dimana :
Nij = Pengaruh pertumbuhan ekonomi nasional (national growth effect, dalam
hal ini daerah referensi nya adalah Provinsi Bali)
Eij = PDRB sektor i di Kabupaten
rn = Tingkat pertumbuhan PDRB Provinsi
Mij = Pergeseran proporsional
rij = Tingkat pertumbuhan sektor i di Kabupaten
rin = Tingkat pertumbuhan sektor i di Provinsi
Cij = Pengaruh keunggulan kompetitif (differential shift)

Propotional Shift menunjukkan perubahan aktivitas ekonomi


Nasional/Propinsi pada sektor i dibandingkan dengan total perubahan aktivitas
Nasional/Propinsi. Selain itu, menunjukkan apakah perubahan aktivitas ekonomi
tersebut cepat atau lebih lambat daripada pertumbuhan aktivitas perekonomian
nasional secara keseluruhan. Jika Propotional Shift bernilai positif (+) maka
menunjukkan bahwa perkembangan aktivitas ekonomi daerah yang

32
bersangkutan lebih cepat dari pada perkembangan rata-rata seluruh aktivitas
ekonomi daerah secara keseluruhan (Propinsi).
Differential Shift (Competitive Share) digunakan untuk membandingkan
aktivitas ekonomi Kabupaten atau Kota terhadap aktivitas ekonomi propinsi
nasional pada sektor yang sama. Differential Shift juga digunakan sebagai
indikator yang menunjukkan kinerja kompetitif ekonomi wilayah dengan wilayah-
wilayah lainnya. Jika Differential Shift bernilai positif berarti aktivitas ekonomi
Kabupaten/Kota pada sektor i adalah kompetitif, begitupun sebaliknya.
Kombinasi hasil analisis Proportional Shift dan Differential Shift tersebut
menghasilkan 4 indikator :
1. Bila nilai Proportional Shift dan Differential Shift positif (+) berarti
sektor ini mempunyai peranan penting dalam perekonomian internal
terhadap sistem perekonomian yang lebih luas (eksternal)
2. Bila nilai Proportional Shift positif (+) dan Differential Shift negatif (-)
berarti sektor ini hanya dapat meningkatkan peranannya dalam
lingkup internal saja.
3. Bila nilai Proportional Shift negatif (-) dan Differential Shift positif (+)
berarti sektor ini hanya dapat meningkatkan peranannya dalam
wilayah yang lebih luas, tetapi tidak dapat meningkatkan
perekonomian internal
4. Bila nilai Proportional Shift dan Differential Shift negatif (-) berarti
sektor ini tidak mempunyai peranan dalam memajukan perekonomian
internal maupun eksternal.

4.6.5 Matriks SWOT


Analisis SWOT merupakan identifikasi yang bersifat sistematis dan dapat
menyelaraskan faktor-faktor dari lingkungan internal dan eksternal serta dapat
mengarahkan dan berperan sebagai kaatalisator dalam proses perencanaan
startegis. Analisis SWOT dilaksanakan dengan memfokuskan pada dua hal,
yaitu peluang dan ancaman serta identifikasi kekuatan dan kelemahan intern.

33
Analisis ini didasarkan pada asumsi bhwa suatu strategi yang efektif akan
memaksimalkan kekuatan dan peluang serta meminimalkan kelemahan dan
ancaman (Perce dan Robinson dalam yuledyane, 2003).
Unsur-unsur SWOT meliputi S (strenght) yang berrti mengacu kepada
keunggulan kompetitif dan kompetensi lainnya, W (weakness) yaitu hambatan
yang membatasi pilihan-pilihan pada pengembangan strategi, O (opportunity)
yakni menyediakan kondisi yang menguntungkan atau peluang yang membatasi
penghalang dan T (threat) yang berhubungan dengan kondisi yang dapat
menghalangi atau ancaman dalam mencapai tujuan. Matriks ini dapat
menghasilkan empat sel kemungkinan alternatif strategi, yaitu strategi S-O,
strategi W-O, strategi W-T dan strategi S-T.
Terdapat delapan tahap dalam membentuk matriks SWOT, yaitu:
1. Membuat daftar kekuatan kunci internal wilayah.
2. Membuat daftar kelemahan kunci internal wilayah.
3. Membuat daftar peluang ekternal wilayah.
4. Membuat daftar ancaman ekternal wilayah.
5. Menyesuaikan kekuatan-kekuatan internal dengan peluang-peluang
ekternal dan mencatat hasilnya dalam sel strategi S-O.
6. Menyesuaikan kelemahan-kelemahan internal dengan peluang-
peluang eksternal dan mencatat hasilnya dalam sel strategi W-O.
7. Menyesuaikan kekuatan-kekuatan internal dengan ancaman-ancaman
eksternal dan mencatat hasilnya dalam sel strategi S-T.
8. Menyesuaikan kelemahan-kelemahan internal dengan ancaman-
ancaman eksternal dan mencatat hasilnya dalam sel strategi W-T.

34
Tabel 3. Matriks SWOT

Keempat isu strategis yang dihasilkan dari analisis sebelumnya yang


timbul sebagai hasil dan kotak antara faktor-faktor internal dan eksternal diberi
nama:
a. Comparative Advantage
Apabila dalam kajian terlihat peluang-peluang tersedia ternyata memiliki
potensi internal yang kuat, maka sektor tersebut dianggap memiliki
keunggulan komparatif. Dua elemen potensial internal dan eksternal yang
tidak baik tidak boleh dilepaskan begitu saja, tetapi akan menjadi isu utama
pengembangan. Meskipun demikian, dalam proses pengkajiannya tidak
boleh dilupakan adanya berbagai kendala dan ancaman perubahan kondisi
lingkungan disekitarnya untuk digunakan sebagai usaha dalam
mempertahankan keunggulan komparatif tersebut. (Strategi S-O:
menggunakan kekuatan memanfaatkan peluang).
b. Mobilization
Kotak ini merupakan kotak kajian yang mempertemukan interaksi antara
ancaman atau tantangan dari luar yang diidentifikasikan untuk memperlunak

35
ancaman atau tantangan tersebut, dan sedapat mungkin merubahnya
menjadi sebuah peluang bagi pengembangan selanjutnya. (Strategi S-T:
menggunakan kekuatan untuk mengusir ancaman).

c. Invesment/Divesment
Kotak ini merupakan kajian yang menuntut adanya kepastian dari berbagai
peluang dan kekurangan yang ada. Peluang yang besar disini akan dihadapi
oleh kurangnya kemampuan potensial sektor untuk menangkapnya.
Pertimbangan harus dilakukan secara hati-hati untuk menilai untung dan rugi
dari usaha untuk menerima peluang tersebut, khususnya dikaitkan dengan
keterbatasan. (Strategi W-O : menggunakan peluang untuk menghindari
kelemahan).
d. Damage Control
Kotak ini merupakan tempat untuk menggali berbagai kelemahan yang akan
dihadapi oleh sektor-sektor didalam pengembangan. Hal ini dapat dilihat dari
pertemuan antara ancaman dan tantangan dari luar dengan kelemahan yang
terdapat didalam kawasan. Strategi yang harus ditempuh adalah mengambil
keputusan untuk mengendalikan kerugian yang akan dialami, dengan sedikit
demi sedikit membenahi sumberdaya internal yang ada. (Strategi W-T:
meminimalkan kelemahan dan mengusir ancaman).

36
DAFTAR PUSTAKA

Adisasmita, Rahardjo. 2005. Dasar-dasar Ekonomi Wilayah. Penerbit Graha Ilmu.


Budihasrsono, S. 2001. Teknik Analisis Pembangunan Wilayah Pesisir LPFEUI,
Jakarta.
Darmawansyah. 2003. Pengembangan Komoditi Unggulan Sebagai Basis Ekonomi
Daerah. Tesis S-2 Program Pasca Sarjana IPB. Bogor.
Fachruddin, Suaedi . 2013. Metode Kuantitatif Untuk Analisis Kebijakan.
Glasson, J. 1977. Pengantar Perencanan Regional (terjemahan Paul Sitohang).
PT.Pradnya Paramita, Jakarta.
Munawwaroh (2003), Pemanfaatan Rencana Tata Ruang Dalam Penyusunan
Usulan Program Pembangunan Di Kabupaten Ciamis, Tesis-S2 Undip Tahun
2003.
Muta’ali, Luthfi. 1993. Kajian Daya Dukung Lingkungan untuk Perencanaan
Pengembangan Wilayah Kabupaten Kebumen. Skripsi S-1. Fakultas
Geografi UGM. Yogyakarta.
Peraturan Daerah Kabupaten Nomor 9 Tahun 2013 tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah Kabupaten Bangli tahun 2013-2033
Suparmoko.2002.Ekonomi publik untuk keuangan dan pembangunan
daerah.Andi.Yogyakarta.
Tarigan, Robinson . 2007. Ekonomi Regional Teori dan Aplikasi (edisi revisi). Jakarta
,PT. Bumi Aksara
Tarigan, Robinson. 2005. Ekonomi Regional-Teori dan Aplikasi Edisi Revisi. Bumi
Aksara. Jakarta
Todaro, Michael P. dan Stephen C. Smith. 2006. Pembangunan Ekonomi (edisi
kesembilan, jilid I). Jakarta : Erlangga
Widodo, Tri. 2006. Perencanaan Pembangunan. Aplikasi Komputer (Era Otonomi
Daerah). UUP STIM YKPN. Yogyakarta.

37
Anonim. 2019. Statistik Daerah Kabupaten Bangli Tahun 2018. Bangli :BPS
Anonim. 2019. Statistik Daerah Provinsi Bali Tahun 2018. Bali :BPS
Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Wilayah
Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang............................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah......................................................................................................5
1.3 Tujuan Penelitian........................................................................................................5
1.3 Manfaat Penelitian......................................................................................................6

BAB II KAJIAN PUSTAKA....................................................................................................7


2.1 Kajian Pustaka............................................................................................................7

BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP PENELITIAN................................................9


3.1 Kerangka Berpikir.......................................................................................................9
3.1 Konsep.......................................................................................................................10
3.1.1. Kebijakan...........................................................................................................10
3.1.2. Kebijakan Publik...............................................................................................11
3.1.3. Kebijakan Tata Ruang.....................................................................................12
3.2 Konsep Wilayah dan Pengembangan Wilayah.....................................................13
3.2.1. Wilayah..............................................................................................................13
3.2.2 Pengembangan Wilayah...................................................................................16
3.3 Pembangunan Ekonomi Daerah.............................................................................18
3.4 Pertumbuhan Ekonomi WIlayah.............................................................................18
3.5 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB).............................................................18
3.6 Basis Ekonomi (Economic Base Theory)..............................................................19

38
3.7 Sektor Unggulan.......................................................................................................20
3.8 Strategi Pengembangan Potensi Ekonomi Daerah..............................................21

BAB IV METODE PENELITIAN.........................................................................................23


4.1 Rancangan Penelitian..........................................................................................23
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian...............................................................................24
4.3 Ruang Lingkup Penelitian....................................................................................24
4.4 Penentuan Sumber Data.....................................................................................24
4.5 Variabel Penelitian................................................................................................25
4.6 Analisis Data..........................................................................................................26
4.6.1. Analisis Laju Pertumbuhan Ekonomi.........................................................27
4.6.2. Analisis Tipology Klassen Pendekatan Sektoral......................................27
4.6.3 Analisis Location Quotient...........................................................................28
4.6.4 Analisis Shift-Share.......................................................................................30
4.6.5 Matriks SWOT................................................................................................32

39

Anda mungkin juga menyukai