Anda di halaman 1dari 19

PEMBANGUNAN EKONOMI DAERAH

PENDAHULUAN

Masalah pokok dalam pembangunan daerah berada pada


penekanan terhadap kebijakan-kebijakan pembangunan yang
berdasarkan pada kekhasan daerah yang bersangkutan
(endogenous development) dengan menggunakan potensi
sumberdaya manusia, kelembagaan, dan sumberdaya fisik secara
lokal (daerah). Sehingga kita peru melakukan pengambilan inisiatif-
inisiatif yang berasal dari daerah tersebut dalam proses
pembangunan untuk menciptakan kesempatan kerja baru dan
merangsang kegiatan ekonomi.

Pembangunan ekonomi daerah merupakan suatu proses, yaitu


proses yang mencakup pembentukan-pembentukan institusi baru,
pembangunan industri-industri alternatif, perbaikam kapasitas
tenaga kerja yang ada untuk menghasilkan produk dan jasa yang
lebih baik, identifikasi pasar-pasar baru, dan pengembangan
perusahaan-perusahan baru.

Setiap upaya pembangunan ekonomi daerah mempunyai tujuan


utama untuk meningkatkan jumlah dan jenis peluang kerja untuk
masyarakat daerah. Untuk mencapai tujuan tesebut, pemerintah
daerah dan masyarakat harus secara bersama-sama mengambil
inisiatif pembangunan daerah. Oleh karena itu, pemerintah daerah
beserta daerah beserta partisipasi masyarakatnya dan dengan
dengan menggunakan sumberdaya yang ada harus memperkirakan
potensi sumberdaya yang diperlukan untuk merancang dan
membangun perekonomian daerah. (Lincolin Arsyad, 1999).

Ada beberapa indikator untuk menganalisis derajat


kesenjangan dalam pembangunan ekonomi antarprovinsi, yaitu
produk domestik regional bruto (PDRB) per provinsi dalam
pembentukan PDB nasional, PDRB atau pengeluaran konsumsi
rumah tangga rata-rata per kapita, indeks pembangunan
manusia (IPM), kontribusi sektoral terhadap pembentukan
PDRB, dan tingkat kemiskinan.

PEMBAHASAN

1. Distribusi PDB Nasional Menurut Provinsi

Distribusi PDB Nasional menurut provinsi merupakan indikator


utama di antara indikator lain yang umum untuk mengukur derajat
penyebaran dari hasil pembangunan ekonomi di suatu negara. Jika
PDRB relatif sama antar povinsi, maka PDB nasional relatif merata
ntar provinsi, sehingga ketimpangan pembangunan antar provinsi
relatif kecil.

Salah satu fakta yang memprihatinkan adalah bahwa jika output


agregat dihitung tanpa minyak dan gas (migas), kontribusi PDB dari
wilayah-wilayah yang kaya migas, seperti di Aceh, Riau, Kalimantan
Timur menjadi lebih kecil lagi.Aceh menyumbang 3% terhadap PDB
Indonesia; tanpa gas hanya menyumbang 50%. Hal ini berarti 50%
dari perekonomian Aceh tergantung pada perekonomian sektor gas.
Begitu pula dengan Riau dan Kalimantan Timur yang menyumbang
5% pada PDB Indonesia, sedangkan tanpa minyak perannya hanya
2%. Namun, pada tahun 2000, kontirbusi output regional yang
dihasilkan oleh Aceh dan Kaltim dengan dukungan sektor migas
menurun menjadi 2,5% dan 1,6%, sedangkan Riau mengalami
peningkatan menjadi 5,4%. Hal ini memberikan kesan bahwa bukan
suatu jaminan bagi kinerja ekonomi suatu daerah yang kaya akan
migas.

2. PDRB Rata-rata per Kapita antar Provinsi

Karena tujuan dari pembangunan ekonomi adalah miningkatkan


kesejahteraan masyarakat dan ini umum diukur dengan pendapatan
rata-rata per kapita, maka distribusi PDB Nasional menurut provinsi
menjadi indikator yang tidak berarti dalam mengukur ketimpangan
pembangunan ekonomi regional jika tidak dikombinasikan dengan
tingkat PDRB rata-rata per kapita.

Jika PDRB per kapita di atas 2 juta rupiah dianggap tinggi dan
sebaliknya di bawah 2 juta dianggap rendah, dan pertumbuhan PDB
per kapita tinggi jika di atas 3%, dan rendah jika lebih kecil dari 3%.

Hasil perhitungan Tadjoeddin dkk. (2001) menunjukkan bahwa


PDRB dari 7 daerah pusat migas di Indonesia, yakni Aceh Utara,
kepulauan Riau dan Bengkalis, Kutai, Bulungan dan Balikpapan,
dan Fakfak (Papua) menguasai 72% dari PDB migas nasional. Hasil
perhitungan ini menunjukkan bahwa semua daerah ini dengan
jumlah penduduk yang hanya 9% dari total populasi Indonesia
menyumbang 33% dari PDB Nasional.

3. Konsumsi rumah Tangga per Kapita antar Provinsi

Pengeluran Konsumsi C Rumah Tangga (RT) per kapita per provinsi


merupakan salah satu indikator alternatif yang dapat dijadikan
ukuran untuk melihat perbedaan dalam tingkat kesejahteraan
penduduk atntar provinsi. Konsepnya adalah semakin tinggi
pendapatan per kapita suatu daerah, maka akan semakin tinggi juga
pengeluaran konsumsi per kaita di daerah tersebut. Dalam hal ini
juga terdapat 2 asumsi, yaitu sifat menabung dari masyarakat tidak
berubah (S terhadap PDRB tidak berubah) dan pangsa kredit di
dalam RT juga konstan. Tinggi rendahnya pengeluara C RT tidak
dapat selalu mencerminkan tinggi rendahnya pendapatan per kapita
di suatu daerah, tanpa kedua asumsi tersebut.

Dengan memakai data BPS mengenai pengeluaran riil C RT per


kapita, ditemukan adanya polarisasi dalam distribusi C RT per kapita
antarprovinsi. Sebagian wilayah di Indonesia memiliki tingkat C RT
per kapita yang rendah, lewat hal ini dapat dikatakan menjadi
refleksi dari kenyataan bahwa sebagian daerah di Indonesia masih
belum menikmati pembangunan ekonomi.
Perbedaan dalam derajat pemerataan provinsi dapat diukur dengan
distribusi pendapatan C menurut kelompok populasi per provinsi.
Tingkat ketimpangan dikatakan tinggi jika 40% penduduk
berpendapatan rendah (berpengeluaran rendah), hanya menikmati
pendapatan kurang dari 12% dai seluruh pendapatan. Jika 40%
penduduk berpendapatan rendah dapat menikmati kurang dari 12%
sampai dengan 17% dari seluru pendapatan, maka hal ini berarti
telah terjadi ketimpangan sedang. Dan bila 40% penduduk
berpendapatan rendah menikmati lebuh dari 17% dari seluruh
pendapatan penduduk, tingkat ketimpangan rendah.

Tampak juga bahwa daerah-daerah di pulau Jawa memiliki tingkat


kesejahteraan yang lebih baik jika dibandingkan dengan provinsi
lainnya di luar pulau Jawa. Namun demikian, beberapa provinsi di
pulau Jawa juga memiliki pengeluaran C makanan yang relatif
rendah dibandingkan dengan provinsi lainnya, seperti Bali,
Kalimantan Timur, sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Maluku dan
Irian Jaya.

Pengeluaran konsumsi rumah tangga terdiri dari semua pengeluaran


atas pembelian barang dan jasa dikurangi dengan hasil penjualan
neto dari barang bekas atau apkiran. Pengeluaran konsumsi rumah
tangga juga meliputi nilai barang dan jasa yang dihasilkan untuk
konsumsi sendiri, seperti hasil kebun, peternakan, kayu bakar dan
biaya hidup lainnya serta barang-barang dan jasa.
Di samping itu, pengeluaran untuk pemeliharaan kesehatan,
pendidikan, rekreasi, pengangkutan dan jasa-jasa lainnya termasuk
dalam konsumsi rumah tangga. Pembelian rumah tidak termasuk
pengeluaran konsumsi, tetapi pengeluaran atas rumah yang
ditempati seperti sewa rumah, rekening air, listrik, telepon dan lain-
lain merupakan konsumsi rumah tangga.

Penghitungan pengeluaran konsumsi rumah tangga dapat dilakukan


dengan 2 pendekatan yaitu:
1). Pengeluaran konsumsi rumah tangga di pasar suatu daerah
adalah pembelian langsung di pasar tersebut baik oleh penduduk
maupun rumah tangga bukan penduduk daerah tersebut.
2). Pengeluaran konsumsi rumah tangga meliputi pembelian
langsung di pasar tersebut, ditambah dengan pembelian langsung
penduduk daerah ini yang dilakukan di luar negeri atau daerah lain,
dikurangi dengan pembelian langsung di pasar domestik oleh rumah
tangga di luar penduduk daerah tersebut.
Konsumsi Rumah Tangga Kelompok Makanan
Perkiraan konsumsi kelompok makanan menggunakan model fungsi
eksponensial. Model ini dipilih berdasarkan pada asumsi bahwa tiap
penambahan pendapatan akan menyebabkan pertambahan tingkat
konsumsi, tetapi pada suatu ketika, saat keinginan konsmsi
mencapai titik jenuhnya, maka konsumsi tersebut mulai menurun,
dengan membentuk kurva seperti parabola.

Nilai konsumsi atas dasar harga berlaku diperoleh dengan


mengalikan konsumsi dalam satuan kuantum dengan harga eceran
pada tahun yang bersangkutan. Harga konsumen atau harga eceran
merupakan harga yang dibayar oleh rumah tangga konsumen yang
tujuannya untuk dikonsumsi. Harga tersebut merupakan rata-rata
harga eceran di kota dan harga di pedesaan.
Konsumsi rumah tangga atas dasar harga konstan didapatkan
dengan metoda revaluasi artinya konsumsi dalam satuan kuantum
dikalikan dengan harga tahun dasar.

Konsumsi Rumah Tangga Kelompok Bukan Makanan


Perkiraan konsumsi rumah tangga untuk kelompok bukan makanan
menggunakan model regresi linier. Maksudnya setiap kenaikan
pendapatan akan cenderung selalu diikuti oleh penambahan
permintaan konsumsi kelompok bukan makanan misalnya
permintaan akan pakaian, hiburan, dan lain sebagainya.

Konsumsi rumah tangga atas dasar harga konstan pada tiap tahun
dimana data Susenas tersedia, diperoleh dengan cara mendeflasi
nilai konsumsi (nilai data Susenas) dengan IHK yang sesuai dengan
jenis pengeluaran barang dan jasa yang dikonsumsi. Pada tahun-
tahun dimana data Susenas tidak tersedia maka nilai konsumsi
rumah tangga atas dasar harga berlaku diperoleh dengan metode
model regresi linier yang menghasilkan koefisien elastisitas
permintaan yang dikalikan dengan pendapatan, kemudian
mengalikan total nilainya dengan IHK.

4. Indeks Pembangunan Manusia

Ukuran pembangunan yang digunakan selama ini, yaitu PDB (untuk


konteks nasional) dan PDRB (untuk konteks regional), ternyata
hanya dapat melihat pembangunan ekonomi saja. Oleh karena itu,
dibutuhkan suatu indikator yang lebih komprehensif, sehingga tidak
hanya menangkap perkembangan perekonomian tetapi juga
perkembangan aspek sosial dan kesejahteraan manusia.

Pembangunan manusia memiliki banyak dimensi. Indeks


Pembangunan Manusia (IPM) merupakan ukuran agregat dari
dimensi dasar pembangunan manusia denganmelihat
perkembangannya. Penghitungan IPM sebagai indikator
pembangunan manusia memiliki tujuan penting, yaitu:

Membangun indikator guna mengukur dimensi dasar


pembangunan manusia dan perluasan kebebasan memilih.

Memanfaatkan sejumlah indikator untuk menjaga ukuran


tersebut sederhana.

Membentuk satu indeks komposit dibanding menggunakan


sejumlah indeks dasar.

Menciptakan suatu ukuran yang mencakup aspek sosial dan


ekonomi. Indeks tersebut merupakan indeks dasar yang tersusun
dari dimensi umur panjang dan kehidupan yang sehat, dengan
indikator angka harapan hidup, pengetahuan, yang diukur
dengan angka melek huruf dan kombinasi dari angka partisipasi
sekolah, dan standar hidup yang layak, dengan indikator PDRB
per kapita (Purchasing Power Parity).

Di Indonesia penghitungan IPM pertama kali dilakukan atas


kerjasama BPS dan UNDP Indonesia pada tahun 1996. IPM yang
dihasilkan menunjukkan hasil bandingan antar Provinsi di Indonesia
periode tahun 1990 dan 1993. Oleh karena Survei Sosial Ekonomi
Nasional (Susenas) sebagai sumber data penghitungan IPM baru
dilaksanakan tahu 1990, maka indeks sebelum tahun tersebut tidak
dapat dilakukan.

Penghitungan IPM di Indonesia juga sempat mengalami perubahan,


terutama dalam penghitungan standar kehidupan di tingkat provinsi.
UNDP menggunakan PDB riil per kapita yang disesuaikan sebagai
proxy dari pendapatan untuk menghitung IPM global. Nilai
maksimum yang digunakan adalah target yang ingin dicapai pada
akhir pembangunan jangka panjang kedua, yaitu pada tahun 2018.
Sementara itu, nilai ambang batas tingkat pendapatan ditetapkan
dari suatu tingkat pendapatan tertentu yang telah disesuaikan untu
kondisi Indonesia. Penghitungan IPM Kota Samarinda dilakukan
dengan tetap menggunakan prinsip-prinsip dasar penghitungan IPM
dalam HDR global.

1. Tingkat Kemiskinan

Pemerintah memperkirakan angka kemiskinan nasional pada 2009


berkisar 12-13,5 % atau lebih rendah dari 2008 yang mencapai 15,4
%. Pada 2008, pada Rapat Kerja dengan Dewan Perwakilan Daerah
(DPD) RI, BPS mengeluarkan laporan tingkat kemiskinan di tanah
air mancapai 15,4 %. Dengan berbagai program 2009 dan dana
pendamping diperkirakan akan berkurang menjadi 12 hingga 13,5 %
angka kemiskinan.

Namun demikian Paskah, Kepala Badan Perencanaan


Pembangunan Nasional (Bappenas) mengatakan, dalam
perhitungan pesimistis Bappenas memperkirakan angka kemiskinan
nasional pada tahun ini sekitar 12-14 %. Untuk menanggulangi
kemiskinan melalui Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2009 sejumlah
upaya yang akan dilakukan yakni bantuan dan perlindungan sosial,
pemberdayaan masyarakat dan penguatan Usaha Mikro dan Kecil
(UKM).

Program Bantuan dan Perlindungan Sosial di bidang pendidikan


melalui penyediaan Bantuan Operasional Sekolah (BOS) untuk
semua jenjang pendidikan dasar baik negeri maupun swasta.
Program BOS ini dimaksudkan untuk membebaskan biaya
pendidikan bagi siswa tidak mampu dan meringankan bagi siswa
lain agar mereka memperoleh layanan pendidikan dasar yang lebih
bermutu sampai tamat belajar.

Sasaran program BOS pada 2009 yakni 27,1 juta siswa SD dan 9,5
juta siswa SMP yang mana untuk sekolah umum disediakan
anggaran untuk 3,7 juta anak, sedangkan untuk madrasah
sebanyak 1,5 juta siswa.

Selain itu, pemerintah juga akan memberikan perhatian pada sisi


kesehatan penduduk miskin, diharapkan 75,4 juta penduduk miskin
dapat memperoleh pelayanan kesehatan kelas III , seluruh
penduduk mendapatkan pelayanan dasar di Puskesmas atau
jaringannya. Termasuk juga masalah ketersedianya obat generik
esensial, obat flu burung, obat bagi korban bencana, maupun obat
untuk jemaah haji serta obat program dan vaksin.

Dari sisi pemberdayaan masyarakat, pada tahun 2009 pemerintah


mengalokasikan lebih dari 10 triliun rupiah untuk mendukung
program PNPM Mandiri yang diantaranya; penyediaan dan
perbaikan sarana/prasarana lingkungan pemukiman, sosial dan
ekonomi secara padat karya. Sedangkan untuk penguatan UKM
akan dilakukan penyediaan dana bergilir bagi kegiatan produktif
skala usaha mikro, penyediaan skim jaminan kredit UKM, fasilitas
pengembangan pemasaran usaha mikro melalui koperasi dan
pembinaan sentra produksi UKM di daerah yang masih tertinggal.

6. Kontribusi Sektoral terhadap PDRB

Bicara tentang kontribusi sektoral PDRB, kita perlu suatu daerah


untuk dijadikan contoh. Sebut saja provinsi Bengkulu Utara. Data
PDRB yang merupakan salah satu indikator ekonomi daerah
menunjukkan ternyata selama jangka waktu analisis sejak tahun
2003 sampai dengan tahun 2007, kontribusi masing-masing sektor
ekonomi terhadap PDRB Kabupaten Bengkulu Utara tidak
mengalami banyak perubahan.

Sesuai dengan potensi sumber daya alam yang dimilikinya, hingga


saat ini struktur ekonomi regional Kabupaten Bengkulu Utara yang
didominasi oleh sektor pertanian. Dalam kurun waktu 5 tahun
pengamatan, sektor pertanian telah menjadi sektor penyumbang
PDRB terbesar di Kabupaten Bengkulu Utara dengan kontribusi
sekitar 36%-37% dari total PDRB. Sedangkan, sektor dengan
kontribusi paling kecil Bengkulu Utara adalah sektor listrik, gas dan
air bersih, yaitu hanya sebesar 0, 24%-0, 25%.

Dapat kita lihat dari kontribusi rata-rata per sektor, sumbangan


sektor pertanian adalah sebesar 36% dari total PDRB. Kemudian di
posisi kedua adalah sektor jasa-jasa dengan kontribusi sebesar
17%, dan pada posisi ketiga adalah sektor pertambangan dan
penggalian sebesar 14%.

7. Faktor Penyebab Ketimpangan

A. Konsentrasi Kegiatan ekonomi

Konsentrasi kegiatan ekonomi yang tinggi di daerah tertentu


merupakan salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya
ketimpangan pembangunan antar daerah. Ekonomi daerah dengan
konsentrasi kegiatan ekonomi tinggi cenderung tumbuh pesat.
Sedangkan daerah dengan tingkat ekonomi yang rendah cenderung
mempunyai tingkat pembanguan dan pertumbuhan ekonomi yang
lebih rendah.

Sebenarnya ada 2 masalah utama dalam pembanguna ekonomi


nasional selama ini. Yang pertama adalah semua kegiatan ekonomi
hanya terpusat pada satu titik daerah saja, contohnya Jawa. Yang
kedua adalah yang sering disebut dengan efek menetes ke bawah
tersebut tidak terjadi atau prosesnya lambat. Banyak faktor yang
mnyebabkan hal ini, seperti besarnya sebagian input untuk
berproduksi diimpor (M) dari luar, bukannya disuplai dari daerah
tersebut. Oleh karena itu, keteraitan produksi ke belakang yang
sangat lemah, sektor-sektor primer di daerah luar Jawa melakukan
ekspor (X) tanpa mengolahnya dahulu untuk mendapatkan NT. Hasil
X pada umumnya hanya banyak dinikmati di Jawa.
Jika keadaan ini terus dibiarkan maka, daerah di luar pulau Jawa
akan rugi dan semakin miskin saja, karena:

1. daerah akan kekurangan L yang terampil, K serta SDA yang


dapat diolah untuk keperluan sendiri.

2. Daerah akan semakin sulit dalam mengembangkan sektor non


primer khususnya industri manufaktur, dan akan semakin sulit
mengubah struktur ekonominya yang berbasis pertanian atau
pertambangan ke industri.

3. Tingkat pendapatan masyarakat di daerah semakin rendah


sehingga pasar output semakin lama, dan menyebabkan
perkembangan investasi di daerah semakin kecil.

Ketimpangan dalam distribusi kegiatan ekonomi antarwilayah


Indonesia terlihat jelas dalam tidak meratanya pembagian kegiatan
industri manifaktur antar provinsi. Daerah Jawa didominasi oleh
sektor-sektor yang memiliki NT tinggi, khususnya industri
manufaktur, sedangkan di luar Jawa didominasi oleh sektor yang
memiliki NT rendah, seperti pertanian. Karena kepincangan struktur
inilah terjadi ketimpangan pembangunan ekonomi di Indonesia. Dan
industri di luar Jawa yang rendah disebabkan karena pasar lokal
yang kecil, infrastruktur yang terbatas, serta kurang SDM.
B. Alokasi Investasi

Indikator lain juga yang menunjukkan pola serupa adalah distribusi


investasi (I) langsung, baik yang bersumber dari luar negeri (PMA)
maupun dari dalam negeri (PMDN). Berdasarkan teori pertumbuhan
ekonomi Harrod-Domar, bahwa krangnya I di suatu wilayah
membuat pertumbuhan ekonomi dan tingkat pendapatan
masyarakat per kapita di wilayah tersebut menjadi rendah, karena
tidak adanya kegiatan ekonomi yang produktif, seperti industri
manufaktur.

Terpusatnya I di wilayah Jawa, disebabkan oleh banyak faktor


seperti kebijakan dan birokrasi yang terpusat selama ini (terutama
sebelum pelaksanaan otonomi daerah daerah), konsentrasi
penduduk di Jawa dan keterbatasan infrastruktur serta SDM di
wilayah luar Jawa. Persebaran sumber daya alam tidak selamanya
melimpah. Ada beberapa sumber daya alam yang terbatas dalam
jumlahnya dan dalam proses pembentukannya membutuhkan
jangka waktu yang relatif lama. Sumber daya alam merupakan
segala sesuatu yang tersedia di alam dan dimanfaatkan untuk
kebutuhan manusia. Sumber daya alam secara umum dibagi
menjadi 2, yaitu: sumber daya alam yang dapat diperbarui dan
sumber daya alam yang tidak dapat diperbarui.
C. Mobilitas antar Faktor Produksi yang Rendah antar Daerah

Kehadiran buruh migran kelas bawah adalah pertanda semakin


majunya suatu negara. Ini berlaku baik bagi migran legal dan ilegal.
Ketika sebuah negara semakin sejahtera, lapisan-lapisan
masyarakatnya naik ke posisi ekonomi lebih tinggi (teori Marxist:
naik kelas).

Fenomena move up the ladder ini dengan sendirinya membawa


kepada konsekuensi kosongnya lapisan terbawah. Walaupun
demikian lapisan ini tidak bisa dihilangkan begitu saja. Sebenarnya
lapisan ini sangat substansial, karena menopang ladders atau
lapisan-lapisan yang berada di atasnya. Lapisan inilah yang diisi
oleh para migran kelas bawah.

Salah satu pilar ekonomi liberal adalah kebebasan mobilitas faktor


produksi, termasuk faktor buruh. Seharusnya yurisdiksi administratif
negara tidak menjadi penghalang mobilitas tersebut. Namun, tetap
saja perpindahan ini perlu ditinjau dan dikontrol agar tetap teratur.

D. Perbedaan SDA antar Provinsi

Dasar pemikiran klasik mengatakan bahwa pembanguan ekonomi di


daerah yang kaya SDA akan lebih maju dan masyarakatnya lebih
makmur dibandingkan dengan daerah yang miskin SDA.
Sebenarnya samapai dengan tingkat tertebntu pendapat ini masih
dapat dikatakan, dengan catatan SDA dianggap sebagai modal awal
untuk pembangunan. Namun, belum tentu juga daerah yang kaya
akan SDA akan mempunyai tingkat pembanguan ekonomi yang
lebih tinggi juga jika tidak didukung oleh teknologi yang ada (T).
Penguasaan T dan peningkatan taraf SDM semakin penting, maka
sebenarnya 2 faktor ini lebih penting daripada SDA. Memang SDA
akan mendukung pembangunan dan perkembangan, tetapi akan
percuma jika memiliki SDA tapoi minim dengan T dan SDM.

Program desentralisasi dan otonomi daerah merupakan pekerjaan


besar dan harus berhasil dengan baik. Keragaman kemampuan
dalam pelaksanaannya harus didasarkan pada sequencing yang
jelas dan penerapan bertahap menurut kemampuan daerah.

Dalam proses pemulihan ekonomi nasional, pelaksanaan program


desentralisasi yang tergesa-gesa tanpa kesiapan memadai
sebaliknya malah akan mengganggu pemulihan ekonomi yang pada
gilirannya akan merugikan pembangunan ekonomi daerah sendiri.
Oleh karena itu, proses desentralisasi tidak perlu diakselerasi. Yang
perlu diakselerasi adalah pengembangan kelembagaan dan
kemampuan, termasuk untuk pengembangan kebijakan, pada
tingkat daerah, khususnya daerah Tingkat II. Hal ini merupakan
kerja nasional yang harus mendapat prioritas pertama dan
dilaksanakan terutama di daerah. Inilah inti dari pemberdayaan
ekonomi daerah yang merupakan kunci bagi pembangunan ekonomi
daerah yang kompetitif dan efisien.

Pembangunan ekonomi yang efisien membutuhkan secara


seimbang perencanaan yang lebih teliti mengenai penggunaan
sumber daya publik dan sektor swasta: petani, pengusaha kecil,
koperasi, pengusaha besar, organisasi sosial harus mempunyai
peran dalam proses perencanaan.
E. Perbedaan Kondisi Demografis antar Provinsi

Kondisi demografis antar provinsi berbeda satu dengan lainnya, ada


yang disominasi oleh sektor pertanian, ada yang didominiasi oleh
sektor pariwisata, dan lain sebagainya. Perbedaan kondisi
demografis ini biasanya menyebabkan pembangunan ekonomi tiap
daerah berbeda-beda. Contoh kasusnya, kita tengok ke daerah
Tegal.
Penduduk Kota Tegal pada tahun 2007 adalah 247,076 jiwa yang
terdiri dari laki-laki 123.792 jiwa (50,10 %) dan perempuan 123,284
jiwa (49,90 %) dengan laju pertumbuhan 0,55 % per tahun,
sedangkan jumlah penduduk usia produktif (15-64 tahun ) 170.124
jiwa (68,86 %).

Ternyata kepadatan penduduk rata rata di Kota Tegal pada tahun


2007 sebesar 6.193 jiwa/Km dengan kepadatan penduduk tertinggi
di Kelurahan Kejambon sebesar 13.723 jiwa/Km dan kepadatan
terendah di Kelurahan Muarareja sebesar 750 jiwa/Km.

Jumlah penduduk usia kerja di Kota Tegal tahun 2007 tercatat


berjumlah 204.517 dengan jumlah angkatan kerja sebesar 168.575
jiwa atau 82,43 % yang terdiri dari 87.537 jiwa laki-laki dan 81.038
jiwa perempuan. Dari jumlah tersebut 112.660 sudah bekerja dan
55.915 tidak bekerja.

Mata pencaharian penduduk Kota Tegal menurut jenis mata


pencahariannya adalah petani sendiri 3.739 orang, buruh tani 6.457
orang, nelayan 12.013 orang, pengusaha 2.303 orang, buruh
industri 20.310 orang, buruh bangunan 18.704 orang, pedagang
21.887 orang, pengangkutan 6.687 orang, PNS/ABRI 9.223 orang,
pensiunan 4.473 orang dan lain-lain 11.930 orang.

Sektor pendidikan merupakan salah satu prioritas utama kebijakan


Pemerintah Kota Tegal, sebagai salah satu upaya untuk
meningkatkan kapasitas dan kualitas sumber daya manusia.
Pembangunan sektor ini diarahkan kepada penyediaan sarana dan
prasarana serta memberikan kemudahan akses pendidikan kepada
masyarakat.

Kebijakan-kebijakan strategis yang telah dilakukan oleh Pemerintah


Kota Tegal secara bertahap sejak tahun 2000 sampai dengan saat
ini untuk mendukung pembangunan sektor pendidikan formal antara
lain yaitu pembangunan sarana dan prasarana fisik, pemberian bea
siswa, pembebasan biaya pendidikan untuk tingkat sekolah dasar
dan lanjutan tingkat I, penyediaan buku pelajaran serta peningkatan
kualitas tenaga pengajar melalui pelatihan dan penyetaraan
kualifikasi pendidikan guru. Pada tahun 2007 tamatan pendidikan
untuk SD sebanyak 4.214 jiwa, SLTP 3.780 jiwa, dan SLTA 3.435
jiwa.

F. Kurang Lancarnya Perdagangan antar Provinsi

Kurang lancarnya perdagangan antar daerah juga menyebabkan


ketimpangan ekonomi regional di Indonesia. Pada umumnya
ketidaklancaran tersebut disebabkan karena keterbatasan
transportasi dan komunikasi. Perdagangan antarprovinsi meliputi
barang jadi, barang modal, input perantara, dan bahan baku
untuk keperluan produksi dan jasa. Ketidaklancaran
perdagangan ini mempengaruhi pembangunan dan pertumbuhan
lewat sisi permintaan (Demand) dan sisi penawaran (Supply). Dari
sisi permintaan, kelangkaan akan barang dan jasa akan
berdampak juga pada permnitaan pasar terhadap kegiatan eonomi
lokal yang sifatnya komplementer dengan barang tersebut.
Sedangkan dari sisi penawaran, sulitnya memperoleh barang modal
seperti mesin, dapat menyebabkan kegiatan ekonomi di
suatu provinsi menjadi lumpuh, selanjutnya dapat menyebabkan
tingkat pertumbuhan ekonomi yang rendah.

Anda mungkin juga menyukai