Anda di halaman 1dari 25

Dunamis: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani, Vol. 4, No.

1, Oktober 2019

Dunamis: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani


Volume 4, Nomor 1 (Oktober 2019)
ISSN 2541-3937 (print), 2541-3945 (online)
http://www.sttintheos.ac.id/e-journal/index.php/dunamis

Submitted: 18 Juli 2019 Accepted: 3 Oktober 2019 Published: 28 Oktober 2019

Beyond the Language: Sebuah Studi Analisis Dan Komparasi antara Konsep Bahasa
Roh dalam Teologi Pentakosta dengan Konsep Rede dalam Filsafat Martin Heidegger

Jessica Novia Layantara


Program Studi Manajemen Perhotelan Universitas Pelita Harapan
jessica.layantara@uph.edu

Abstract
This article discusses the comparison between the concepts of speaking in tongues in
Pentecostal theology and the concept of Rede in the philosophy of Martin Heidegger. The thesis
of this article was that the concept of speaking in tongues in Pentecostal theology had many
similarities to the concept of Rede in Heidegger's philosophy. The similarities were found in
the characters in both concepts, which were communicative, intelligible, revealing and both
were authentic human characters (Dasein). Nevertheless, the concept of speaking in tongues
in Pentecostal theology had a uniqueness over the concept of Rede in Heidegger's philosophy,
because it encompassed not only the human rationality, but also the realm of faith. In this
article it was shown that the two concepts influenced and enriched each other. This
comparative study also yielded some conceptual contributions to both Pentecostal theology
and Heidegger's philosophy, which were also useful for dealing with the criticisms raised
against both.

Keywords: speaking in tongues; Pentecostal theology; rede; gerede; Martin Heidegger

Abstrak
Artikel ini membahas komparasi antara konsep bahasa roh dalam teologi Pentakosta dengan
konsep Rede dalam filsafat Martin Heidegger. Tesis dari artikel ini adalah bahwa konsep
bahasa roh dalam teologi Pentakosta memiliki banyak kemiripan dengan konsep Rede dalam
filsafat Heidegger. Kemiripan-kemiripan tersebut terdapat dalam karakter-karakter yang ada di
dalam kedua konsep tersebut, antara lain sama-sama bersifat komunikatif, bersifat
menyingkapkan, dapat dimengerti, dan keduanya merupakan karakter dari manusia yang
otentik (Dasein). Walau demikian, konsep bahasa roh dalam teologi Pentakosta memiliki
kekhasan dibanding konsep Rede dalam filsafat Heidegger, karena bukan hanya mencakup
ranah rasionalitas manusia tetapi juga ranah iman. Di dalam artikel ini akan ditunjukkan bahwa
kedua konsep tersebut dapat saling mempengaruhi dan memperkaya satu sama lain. Studi
komparasi ini juga akan menghasilkan beberapa kontribusi yang bermanfaat secara konseptual
baik bagi teologi Pentakosta maupun filsafat Heidegger, yang juga bermanfaat untuk
menghadapi kritik-kritik yang diajukan terhadap keduanya.

Kata Kunci: bahasa roh; teologi Pentakosta; rede; gerede; Martin Heidegger

75 Copyright© 2019, Dunamis, ISSN 2541-3937 (print), 2541-3945 (online)


Dunamis: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani, Vol. 4, No. 1, Oktober 2019

PENDAHULUAN karena bersifat non-linguistik dan tidak


memiliki makna yang jelas. Lafal yang
Bahasa roh adalah fenomena yang
diucapkan pun beraneka ragam, ada yang
sangat penting dalam teologi Pentakosta.1
seragam namun ada pula yang tidak.
Menurut teologi Pentakosta, bahasa roh
Namun demikian, beberapa penelitian
bukan sekadar praktik yang tidak bermakna
membuktikan bahwa seseorang yang
dalam kehidupan orang Kristen.
berbahasa roh mengucapkannya dalam
Sebaliknya, bahasa roh dipandang sebagai
keadaan sadar. Oleh sebab itu, bahasa roh
tanda utama dan normatif dalam baptisan
tidak dapat digolongkan menjadi sesuatu
Roh Kudus.2 Bahasa roh dalam teologi
yang terlontar begitu saja saat seseorang
Pentakosta juga dipandang sebagai karunia
berada dalam keadaan trance.4
universal yang seharusnya didapatkan oleh
Bentuk bahasa roh yang dilakukan
semua orang Kristen sampai zaman
secara spontan dan prareflektif tersebut
sekarang.3
membuat penulis tertarik untuk
Kepercayaan bahwa bahasa roh
membandingkan konsep bahasa roh di
adalah karunia universal dan masih relevan
dalam teologi Pentakosta dengan konsep
membuat praktik berbahasa roh masih
filsafat Heidegger yang disebut Rede. Rede
berlangsung dalam gereja-gereja
di dalam filsafat Heidegger bukan sekadar
Pentakosta. Praktik ini terlihat dalam
berarti “pembicaraan,” melainkan
kebaktian-kebaktian Gereja Pentakosta
“pembicaraan yang menyingkapkan.”
maupun dalam doa-doa pribadi jemaat.
Sedikit banyak penulis menemukan
Bentuk dan lafal bahasa roh dapat beraneka
beberapa kemiripan antara konsep bahasa
ragam. Ada bahasa roh yang berbentuk
roh dan Rede, antara lain sama-sama dapat
bahasa-bahasa yang tidak dipelajari
bersifat lingustik maupun non-linguistik,
sebelumnya oleh si pembicara. Di sisi lain,
bersifat komunikatif, bersifat
ada juga bahasa roh yang berbentuk
menyingkapkan, otentik, dan dapat
ucapan-ucapan yang tidak dapat dimengerti
menyampaikan maksud orang yang

1 3
Meskipun istilah yang lebih sering digunakan Craig S. Keener, Spirit Hermeneutics: Reading
dalam artikel-artikel teologis adalah “bahasa lidah” Scripture in Light of Pentecost (Michigan: Wm.
dan bukan “bahasa roh,” penulis memilih untuk Eerdmans Publishing Co, 2016), 55.
menggunakan istilah “bahasa roh” sesuai dengan 4
Scott Semeyna and Rodney Schmaltz,
yang digunakan di dalam Alkitab LAI. “Glossolalia Meets Glosso-Psychology: Why
2
Craig S. Keener, Gift and Giver: The Holy Spirit Speaking in Tongues Persist in Charismatic
for Today (Michigan: Baker Academic, 2001), 183. Christian and Pentecostal Gathering,” Skeptic
Magazine 17, no. 4 (2012): 41.

76 Copyright© 2019, Dunamis, ISSN 2541-3937 (print), 2541-3945 (online)


Dunamis: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani, Vol. 4, No. 1, Oktober 2019

mengatakannya. Namun demikian, tentu Pada akhirnya, penulis juga akan


saja keduanya tidak dapat dikatakan mensintesiskan hasil komparasi yang telah
identik, karena penulis juga menemukan diteliti di dalam artikel ini, serta
perbedaan-perbedaan yang khusus dan memaparkan beberapa kontribusi
esensial di dalam konsep bahasa roh konseptual yang dapat diambil dari
maupun di dalam konsep Rede. penelitian ini.
Artikel ini bertujuan untuk HASIL DAN PEMBAHASAN
mengkomparasi antara konsep bahasa roh
Pandangan Teologi Pentakosta
menurut teologi Pentakosta dan konsep
mengenai Bahasa Roh
Rede dalam filsafat Heidegger. Penulis
berharap melalui artikel ini, relasi saling- Istilah bahasa roh atau glossolalia,
bertautan antara teologi dan filsafat dapat yang sering menjadi istilah yang umum
diperlihatkan dengan jelas. dalam teologi Pentakosta berasal dari
penggabungan kata Yunani glossa (lidah,
METODE PENELITIAN
bahasa) dan laleo (mengucapkan,
Metode yang digunakan dalam mengungkapkan). Istilah glossolalia sendiri
artikel ini adalah dengan menganalisis dan tidak terdapat di dalam Alkitab, namun kata
membandingkan teori melalui penelitian glossa dan laleo secara terpisah dipakai
kepustakaan (library research). Metode berkaitan dengan praktik berbahasa roh
penelitian kepustakaan akan dilakukan (speaking in tongues) dalam gereja perdana
melalui pengumpulan data-data (Kis. 2:4), “Maka penuhlah mereka dengan
kepustakaan seperti buku-buku, jurnal- Roh Kudus, lalu mereka mulai berkata-kata
jurnal dan sumber-sumber daring. dalam bahasa-bahasa lain, seperti yang
Metode analisa dan komparasi akan diberikan oleh Roh itu kepada mereka
dilakukan berdasarkan dua landasan teori
untuk mengatakannya” (TB-LAI). Frasa
yang akan dijabarkan lebih lanjut, yaitu “berkata-kata” menggunakan kata Yunani
pandangan teologi Pentakosta mengenai “laleo,” sedangkan frasa “bahasa-bahasa
bahasa roh dan pandangan Heidegger lain” menggunakan kata “glossa.”
mengenai Rede. Kedua teori tersebut Seperti yang dijelaskan
kemudian akan dikomparasi dengan cara
sebelumnya, para pendiri gerakan
mencari kesamaan-kesamaan dan Pentakosta selalu mengasosiasikan bahasa
perbedaan-perbedaan di antara keduanya. roh dengan baptisan Roh Kudus. Bahasa

77 Copyright© 2019, Dunamis, ISSN 2541-3937 (print), 2541-3945 (online)


Dunamis: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani, Vol. 4, No. 1, Oktober 2019

roh di dalam teologi Pentakosta dipandang menggunakan istilah glossolalia,


atau yang di(per)kenal(kan) LAI
sebagai satu-satunya tanda seseorang telah
sebagai bahasa roh.5
menerima baptisan Roh Kudus. Pandangan
ini didasarkan atas beberapa perikop di Lebih jauh lagi, teologi Pentakosta
dalam Alkitab, khususnya di dalam Kisah juga meyakini bahwa fenomena berbahasa
Para Rasul yang ditulis oleh Lukas. Di roh ini bukan hanya berlangsung di zaman
dalam Kisah Para Rasul, ada beberapa gereja perdana, melainkan tetap
momen yang menunjukkan terjadinya berlangsung sampai hari ini.6 Robert
fenomena bahasa roh saat seseorang Menzies menegaskan bahwa semua orang
menerima baptisan Roh Kudus, antara lain yang percaya kepada Kristus dan telah
di dalam peristiwa Pentakosta (Kis. 2), dibaptis Roh Kudus seharusnya bisa
rumah Kornelius (Kis. 10), dan di Efesus berbahasa roh, sehingga sifat bahasa roh ini
(Kis. 19). Selain itu, Rasul Paulus juga tidak adalah universal bagi gereja dan valid
melarang pemakaian bahasa roh di dalam sampai zaman sekarang.7
gereja perdana (1 Kor. 14:39), sekalipun ia Charles Parham, tokoh sentral
sempat menegur gereja di Korintus karena dalam sejarah gerakan Pentakosta, adalah
menyalahgunakan karunia ini (1 Kor. 12- orang pertama yang mengajarkan bahwa
14). Namun inti dari pemberitaan Lukas dan karunia bahasa roh yang terdapat dalam
Paulus, menurut Evan Siahaan, adalah Alkitab masih berlangsung sampai zaman
sama-sama mendukung adanya fenomena sekarang. Parham juga adalah orang
bahasa roh dalam gereja mula-mula. pertama yang mengasosiasikan karunia
Siahaan berkata, bahasa roh dengan baptisan Roh Kudus.
Sekalipun ada perbedaan konsep Ajaran mengenai bahasa roh tersebut masih
dan konteks bahasa roh yang
dilanjutkan oleh William Seymour, murid
muncul dalam Kisah Para Rasul 2:1-
13 dengan yang dijelaskan Paulus Parham, yang juga merupakan tokoh sentral
dalam I Kor. 12-14, namun tidak
dalam peristiwa di Azusa Street.
bisa dipungkiri bahwa keduanya,
sejatinya, merupakan peristiwa dari Kebangunan rohani di Azusa Street
karya dan manifestasi Roh Kudus,
merupakan peristiwa yang sangat
yang secara terminologi – baik
Lukas maupun Paulus –
5
Harls Evan R. Siahaan, “Refleksi Alkitabiah 6
Keener, Spirit Hermeneutics: Reading Scripture
Fenomena Glossolalia,” Jurnal Antusias 2, no. 1 in Light of Pentecost, 55.
(2012): 160–179, accessed October 22, 2019, 7
Robert P. Menzies, “The Role of Glossolalia in
https://sttintheos.ac.id/e- Luke-Acts,” AJPS 15, no. 1 (2012): 49.
journal/index.php/antusias/article/view/67.

78 Copyright© 2019, Dunamis, ISSN 2541-3937 (print), 2541-3945 (online)


Dunamis: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani, Vol. 4, No. 1, Oktober 2019

bersejarah dalam teologi Pentakosta. Pentakosta dibandingkan ajaran-ajaran


Gerakan ini dimulai oleh William Seymour, denominasi lain. Menurut Frederick Dale
seorang kulit hitam yang juga adalah salah Brunner, pengajaran mengenai bahasa roh
seorang murid Charles Parham. Pada tahun ini juga menampilkan keunikan terjelas di
1906, bertempat di sebuah bangunan di dalam doktrin Pentakosta yang
Azusa Street, Los Angeles, California, membedakan aliran ini dengan aliran-aliran
diadakan pertemuan ibadah yang dihadiri Kristen arus utama.9
oleh banyak orang Kristen. Di dalam Keyakinan bahwa karunia bahasa
pertemuan ibadah itu, Seymour berkhotbah roh ini masih berlangsung membuat gereja-
mengenai baptisan Roh Kudus harus gereja Pentakosta saat ini masih
ditandai dengan karunia berbahasa roh. mempraktikkan bahasa roh, terutama dalam
Setelah mendengar khotbah tersebut, doa, baik doa yang dilakukan secara pribadi
banyak jemaat yang tiba-tiba dapat maupun secara berjamaah, dengan syarat
berbahasa roh disertai manifestasi- tidak mengganggu ketertiban ibadah.
manifestasi lainnya seperti menari, Alexander O. Sign menegaskan bahwa
bernyanyi, berteriak, dan bernubuat. seseorang yang ingin berbahasa roh dalam
Pertemuan di Azusa Street menjadi sangat jemaat harus benar-benar memiliki pesan
fenomenal di zamannya, ditandai dengan untuk jemaat, dan jika tidak, ia hanya boleh
semakin banyaknya orang yang datang ke berbahasa roh secara pelan dan pribadi.10
pertemuan ibadah tersebut. Bahkan setelah Praktik berbahasa roh ini terkadang
gerakan Pentakosta terbagi menjadi dibarengi dengan berbagai manifestasi yang
kelompok yang lebih memegang tradisi lain. Neil Hudson mengatakan, “The exotic
Trinitarian dan kelompok Oneness nature of these experiences cannot be
Pentecostal, yaitu aliran Pentakosta yang overemphasised. Strange languages,
tidak mempercayai bahwa Bapa dan Anak awesome mystical visions, physical
adalah Pribadi yang berbeda,8 ajaran responses of being overwhelmed and falling
mengenai bahasa roh terus diajarkan dan to the floor, being overcome with tears or
menjadi salah satu ciri khas bagi teologi

8
Peter Hocken, The Challenges of the Pentecostal, Testament Witness (Michigan: Eerdmans
Charismatic and Messianic Jewish Movement: The Publishing Company, 1982), 77.
10
Tension of the Spirit (Farnham: Ashgate Publishing Alexander O. Sign, Speaking in Tongues
Limited, 2009), 23. (Bloomington: AuthorHouse, 2014), 102.
9
Fredrick Dale Bruner, A Theology of the Holy
Spirit: The Pentecostal Exprerience and the New

79 Copyright© 2019, Dunamis, ISSN 2541-3937 (print), 2541-3945 (online)


Dunamis: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani, Vol. 4, No. 1, Oktober 2019

laughter were included in a heady mix for terjadi di zaman sekarang.”12 Charles
these early Pentecostals.”11 Parham sendiri menyatakan bahwa dirinya
Dalam praktiknya, bahasa roh dapat sempat mengalami fenomena tersebut di
dibedakan menjadi dua jenis. Jenis pertama zaman sekarang, “A glory fell over me and
yaitu ketika seseorang mengucapkan I began to worship God in the Swedish
bahasa-bahasa bangsa lain yang tidak tongue, which later changed to other
pernah ia pelajari sebelumnya, yang languages and continued so until the
diyakini sebagai pemberian Roh Kudus. morning.”13
Fenomena yang biasa disebut sebagai Namun, barangkali yang sering
xenolalia (xeno: bahasa, laleo: menjadi perdebatan adalah bahasa roh jenis
mengucapkan) ini dapat ditemukan di yang kedua, yaitu ketika seseorang
dalam peristiwa Pentakosta (Kis. 2), di mengucapkan bahasa-bahasa lain yang
mana orang-orang yang berkumpul di tidak dapat dimengerti oleh manusia. Di
Yerusalem mulai berbahasa dalam “bahasa- dalam 1 Korintus 12-14, Paulus
bahasa mereka sendiri” (Kis. 2:6), dan ada menyiratkan bahwa Roh Kudus
yang dapat mengenali bahasa-bahasa lain memberikan bahasa-bahasa yang tidak
yang diucapkan para murid bahkan dimengerti oleh manusia untuk diucapkan.
mengerti bahwa para murid itu sedang Ervin Budiselic, bersama dengan penganut
menceritakan perbuatan-perbuatan besar teologi Pentakosta, meyakini bahasa-
yang dilakukan Allah (Kis. 2:7-11). bahasa ini bukan bahasa manusia, dan
Pengalaman ini juga diyakini masih kadang disebut sebagai “bahasa para
berlangsung pasca zaman rasul-rasul dan malaikat.”14 Menurut Menzies, ini terbukti
sampai zaman sekarang. Hermanto ketika Paulus menyarankan agar semua
Suanglangi menyetujui bahwa fenomena ucapan dalam bahasa-bahasa lain itu
xenolalia masih berlangsung sampai saat diterjemahkan, dan untuk itu diperlukan
ini, karena “Roh Kudus tidak mungkin
dibatasi bekerja, dan banyak peristiwa yang

11
Neil Hudson, “Dealing with the Fire: Early 13
Sarah E. Parham, The Life of Charles F. Parham,
Pentecostal Responses to the Practices of Speaking Founder of the Apostolic Faith Movement (Baxter
in Tongues and Spoken Prophecy,” Journal of the Springs, KS: Apostolic Faith Bible College, 1930),
European Pentecostal Theological Association 28, 54.
no. 2 (2008): 145–157. 14
Ervin Budiselic, “Glossolalia: Why Christians
12
Hermanto Suanglangi, “Bahasa Roh: Apa Dan Can Speak in Tongues in a Church Service without
Bagaimana?,” Jurnal Jaffray 2, no. 1 (April 1, Interpretation,” Kairos Evangelical Journal of
2005): 17. Theology 10, no. 2 (2016): 179.

80 Copyright© 2019, Dunamis, ISSN 2541-3937 (print), 2541-3945 (online)


Dunamis: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani, Vol. 4, No. 1, Oktober 2019

sebuah karunia khusus untuk Riarayarariarayara.17


menerjemahkan bahasa roh.15 Kasiasia iya kisia si.
Fenomena glossolalia juga diyakini Veni veni veni cristia simira veniria
masih berlangsung sampai saat ini. Warren crista ven a amiria asaria abi veni
Carothers, seorang pengikut Parham, aria.18
menyatakan, Bule te skuru te sinte omkoton,
Tongues… are praises to God in stinte te leteo de tinka ong, lepe lute
language, peculiarly acceptable to
impre sute comp intope.19
Him for the reason that He forms the
words, and there is abundant use for
the tongue whether any man Di dalam praktiknya, bahasa roh
understands him or not, in fact the digunakan berkaitan dengan tiga tujuan
inevitable inference from St. Paul’s
statement is that it is not primarily yang disebutkan di dalam Alkitab. Pertama,
intended that any man should untuk berdoa secara pribadi, khususnya
understand the tongues.16
untuk menyampaikan keluhan-keluhan
Bahasa roh jenis kedua ini tidak memiliki yang tidak terucapkan (Rom. 8:26, I Kor.
struktur bahasa yang jelas, serta tidak 14:2). Kedua, bahasa roh digunakan juga di
menyiratkan ada artikulasi tertentu yang dalam ibadah sebagai sebuah sakramen
harus diucapkan seseorang. Lafal-lafal yang Pentakostal yang, menurut Menzies, adalah
diucapkan juga tidak selalu seragam, “sebuah sakramen yang memiliki
namun setidaknya penelitian telah demokratisasi yang penuh kuasa bagi
merangkumkan beberapa artikulasi yang kehidupan gereja.”20 Ketiga, bahasa roh
pernah muncul, dari yang sederhana sampai digunakan untuk tujuan misiologis, di mana
yang rumit: tujuan ini menekankan sifat bahasa roh
Nanananananana. yang demonstratif. Robert Menzies
Labalabalaba labalaba. mengatakan, “Namun karena berbicara

15
Menzies, “The Role of Glossolalia in Luke- 18
Data Glossolalia dari Cuarta Iglesia (1968) and
Acts,” 50. Lorenzo (1970). Felicitas D. Goodman, Speaking in
16
Warren F. Carothers, The Baptism with the Holy Tongues: A Cross-Cultural Study of Glossolalia
Ghost and the Speaking in Tongues (Zion City, IL, (Oregon: WIPF&Stock, 1972), 119-120.
1906), 21. 19
Semeyna and Schmaltz, “Glossolalia Meets
17
Gonti Simanullang, “Baptism in the Holy Spirit: Glosso-Psychology: Why Speaking in Tongues
A Phenomenological and Theological Study” Persist in Charismatic Christian and Pentecostal
(Melbourne College of Divinity, 2012), accessed Gathering,” 40.
20
October 22, 2019, William P. Menzies and Robert P. Menzies, Roh
https://repository.divinity.edu.au/931/. Kudus Dan Kuasa: Dasar-Dasar Pengalaman
Pentakostal (Batam: Gospel Press, 2005), 189.

81 Copyright© 2019, Dunamis, ISSN 2541-3937 (print), 2541-3945 (online)


Dunamis: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani, Vol. 4, No. 1, Oktober 2019

dalam bahasa roh itu tidak biasa dan makna yang berbeda dari arti literalnya.
sifatnya demonstratif (yang menjadi alasan Secara sederhana, Rede di dalam filsafat
mengapa bahasa roh sering difitnah dan Heidegger dapat diartikan sebagai artikulasi
dilebih-lebihkan), sangat cocok untuk atau ungkapan atas sesuatu yang dimaknai
diterima sebagai bukti.”21 Namun selain (articulation of intelligibility).23 Artikulasi
tiga alasan ini, menurut Jacob D. Dodson, di sini tidak selalu harus diartikan sebagai
kaum Pentakosta meyakini bahwa ungkapan linguistik. Bahkan Rede di dalam
berbahasa roh membawa manfaat khusus filsafat Heidegger adalah dasar dari
bagi kerohanian mereka, seperti terbentuknya bahasa.24 Bisa dikatakan Rede
meningkatkan spiritualitas dan kedekatan merupakan pre-language, atau asal-usul
mereka dengan Tuhan.22 dari bahasa manusia yang digunakan sehari-
hari. Ibarat seorang bayi yang di dalam
Konsep Rede di dalam Filsafat
pikirannya bermaksud meminta susu dari
Heidegger
ibunya, namun belum dapat berbahasa, bayi
Konsep bahasa roh yang dianut oleh
tersebut tetap akan mengeluarkan bunyi
teologi Pentakosta memiliki kemiripan
atau suara yang non-linguistik untuk
dengan konsep Rede di dalam filsafat
menyatakan maksudnya. Sifat dari suara
Martin Heidegger. Sebelum membahas
yang dikeluarkan bayi tersebut dapat
mengenai kemiripan-kemiripan dan
dikatakan sebagai artikulasi yang bersifat
perbedaan-perbedaan yang dimiliki oleh
pre-language, tetapi bukan berarti tanpa
bahasa roh dan Rede, bagian ini akan
makna. Artikulasi non-linguistik yang
terlebih dahulu membahas secara ringkas
diungkapkan bayi tersebut merupakan
pandangan Heidegger mengenai konsep
pengungkapan makna dari keinginan bayi
Rede.
tersebut akan susu.
Kata Rede di dalam bahasa Jerman
Karakteristik kedua dari Rede
secara literal dapat diartikan sebagai
adalah sifatnya yang komunikatif.
pembicaraan (talk, discourse) atau
Artikulasi dari bayi tersebut di atas tetap
percakapan (conversation). Namun konsep
dapat dikatakan komunikatif walaupun
Rede di dalam filsafat Heidegger memiliki

21 23
Ibid, 183. Martin Heidegger, Being and Time, trans. John
22
Jacob D. Dodson, “Gifted for Change: The Macquarrie and Edward Robinson (Oxford: Basil
Evolving Vision for Tongues, Prophecy, and Other Blackwell, 1962), 203.
Charism in American Pentecostal Church,” Studies 24
Ibid, 202.
in the World Christianity 17, no. 1 (2011): 56.

82 Copyright© 2019, Dunamis, ISSN 2541-3937 (print), 2541-3945 (online)


Dunamis: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani, Vol. 4, No. 1, Oktober 2019

orang lain tidak mengerti apa yang sedang Selain bersifat komunikatif, Rede
dibicarakan oleh bayi tersebut. Selama bayi juga memiliki karakteristik menyingkapkan
tersebut mengeluarkan suara dalam tujuan sesuatu. Karakteristik ini digarisbawahi
komunikasi dan di dalam pikirannya oleh Heidegger saat ia mengasosiasikan
terkandung pengertian mengenai apa yang kata Rede dengan Logos. Logos berasal dari
ia katakan, maka itu tetap tergolong sebagai bahasa Yunani yang dapat berarti
komunikasi. Mark Ockrent berpendapat “perkataan,” “logika,” “definisi,” atau
bahwa bagi Heidegger, semua Rede bersifat “prinsip.” Aristoteles menggunakan kata ini
komunikatif, tetapi yang dimaksud untuk memberikan makna pengungkapan
komunikasi di sini tidak melulu merupakan akan sesuatu. Bagi Aristoteles, Logos selalu
pertukaran informasi, melainkan saling memiliki karakter pengungkapan. Dengan
berbagi artikulasi pun sudah dapat kesan yang sama, Heidegger
digolongkan sebagai sebuah bentuk mengasosiasikan Logos dengan Rede yang
komunikasi.25 Lebih lagi, Heidegger memiliki karakter menyingkapkan sesuatu.
menekankan bahwa Rede adalah Sembera mengatakan, “Following
komunikasi, karena menurutnya Aristotle, Heidegger sees the essential
komunikasi tidak selalu mensyaratkan salah feature of Logos or "talk" as the ability to
satu pihak untuk memahami komunikasi reveal that which is talked about, the ability
dari pihak lainnya.26 Komunikasi di dalam to indicate something, to make one aware of
Rede bukanlah komunikasi untuk it.”29 Rede yang diajukan Heidegger
menyampaikan pengalaman, opini, atau memiliki makna yang hampir sama dengan
keinginan kita pada subyek lainnya, Logos, terutama dalam karakter bahwa
melainkan sebuah pengungkapan seseorang Rede dan Logos sama-sama memiliki tujuan
bahwa ia berada-dalam-dunia (being-in- untuk mengungkapkan sesuatu. Logos,
the-world).27 Jadi Rede adalah komunikasi seperti Rede, tidak harus berupa bahasa
karena ia merupakan “usaha untuk linguistik, namun selalu bersifat
menyampaikan atau memberitakan sesuatu mengungkapkan sesuatu.
dari “Ada”-nya.”28

25
Mark Okrent, “On Layer Cakes: Heidegger’s 28
F. Budi Hardiman, Heidegger Dan Mistik
Normative Pragmatism Revisited,” in Pragmatic Keseharian (Jakarta: Kepustakaan Populer
Perspectives in Phenomenology, ed. Ondrej Svec Gramedia, 2016), 96.
29
and Jakub Capek (New York: Routledge, 2017), 33. Richard Sembera, Rephrasing Heidegger: A
26
Ibid, 110. Companion to Being and Time (Ottawa: The
27
Heidegger, Being and Time, 205. University of Ottawa Press, 2007), 56.

83 Copyright© 2019, Dunamis, ISSN 2541-3937 (print), 2541-3945 (online)


Dunamis: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani, Vol. 4, No. 1, Oktober 2019

Karakteristik “menyingkapkan disposeness (sensibility, red) and


sesuatu“ ini, menurut Heidegger, paralel understanding.”30
dengan karakteristik manusia otentik atau Pengungkapan Rede ini bersifat
Dasein. Dasein adalah manusia ideal dalam primordial, lebih primordial dari
filsafat Heideggerian, yang merujuk pada interpretasi atau pernyataan yang dibuat
manusia otentik, yang bukan hanya terlibat oleh seseorang. Bahkan Rede dijadikan
dalam kesibukan sehari-hari, melainkan sebagai dasar dari interpretasi atau
manusia yang selalu mencoba pernyataan seseorang.31 Hal ini bukan
mengeksplorasi “ada“-nya. Ciri dari Dasein hanya dikarenakan Rede tidak selalu
adalah keterbukaan dan selalu ingin bersifat linguistik, melainkan karena Rede
mengerti lebih jauh mengenai keberadaan bersifat pra-reflektif. Akan tetapi, yang
(Being) dirinya. Heidegger pasti, Rede selalu diungkapkan melalui
mengkontraskan Dasein dengan Dasman, artikulasi-artikulasi non verbal. Tahap
yaitu manusia yang tidak otentik yang selanjutnya dari Rede adalah bahasa
identik dengan kelupaan pada otentisitas (Sprache), yang kemudian digunakan untuk
dan keterlemparannya dalam dunia menginterpretasi dan menyatakan sesuatu
(kesibukan, pembicaraan-pembicaraan secara linguistik. F. Budi Hardiman
ringan, interaksi-interaksi sosial yang tidak berargumen, “Percakapan (Rede) bukanlah
ada habisnya). Oleh sebab itu, seorang komunikasi verbal, melainkan suatu
Dasein (manusia yang otentik) pasti selalu penyampaian makna yang mendahului
memiliki Rede sebagai salah satu karakter artikulasinya dalam bahasa (sprache).”32
esensialnya karena Dasein selalu bersifat Artinya, Rede bukanlah sebuah bahasa,
terbuka dan terungkap. Rede sebagai yang memiliki gramatika dan verbal,
karakter esensial Dasein sama melainkan Rede adalah sebuah pra-bahasa,
fundamentalnya dengan karakter esensial dan merupakan asal-usul dari bahasa.
Dasein yang lain, yaitu keadaan pikiran Pengungkapan Rede harus selalu
(befindlichkeit) atau pemahaman seseorang bersifat komunikatif, dalam arti, Rede harus
(verstehen). Heidegger berkata, “Discourse diungkapkan di hadapan pihak lain dan
(Rede) is existentially equiprimordial with tidak dapat dijadikan sebagai percakapan di
dalam hati. Paul Gorner mengatakan,

30 32
Heidegger, Being and Time, 171, 203. Hardiman, Heidegger Dan Mistik Keseharian,
31
Ibid, 203. 87.

84 Copyright© 2019, Dunamis, ISSN 2541-3937 (print), 2541-3945 (online)


Dunamis: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani, Vol. 4, No. 1, Oktober 2019

“Discourse (Rede) is expression or making translate Gerede by ‘crosstalk’ that is, talk
known (Bekundung). In discourse Dasein at cross-purposes.”36
‘speaks itself out’.”33 Secara sederhana, Jika Rede merupakan karakter yang
Taylor Carman mengatakan, “Discourse esensial dari Dasein (manusia yang
(Rede), apparently, consists essentially in otentik), sebaliknya Gerede merupakan
saying something about something to karakter esensial dari Dasman (manusia
someone.”34 yang tidak otentik). Alih-alih memiliki
Rede di dalam filsafat Heidegger karakter penyingkapan seperti Rede,
dikontraskan dengan konsep mengenai Gerede justru memiliki karakter penutupan
Gerede. Dalam bahasa Jerman, secara diri (berlawanan dengan karakter Dasein
literal Gerede berarti “rumour bearing talk” yang selalu mau membuka diri). Gerede
atau “gossip.”35 Dalam filsafat Heidegger, tidak mengandaikan orang yang
Gerede dapat diartikan sebagai perkataan mengatakannya sebagai orang yang benar-
yang tidak bermakna (idle talk). Richard benar memiliki pemahaman akan apa yang
Sembera menambahkan bahwa imbuhan dikatakannya, sehingga yang menjadi fokus
ge- yang diletakkan sebelum kata Rede bukanlah pemahaman yang benar dari apa
memiliki makna kolektif, sehingga dalam yang dibicarakan, melainkan pembicaraan
filsafat Heidegger sangat cocok jika Gerede itulah yang menjadi fokus utama. Richard
diartikan sebagai perkataan yang disalurkan Sembera mengatakan, “Crosstalk (Gerede)
kepada orang lain secara kolektif (mass also emphasizes the spoken as such at the
talk) atau percakapan sehari-hari yang expense of the discussed, that is, at the
santai (casual conversation). Sembera expense of a real understanding of the talk,
mengatakan, “Gerede, for Heidegger, will resulting in "talk for talk's sake.”37 Gerede
thus mean something along the lines of ‘a juga bersifat tidak otentik, sebab ia
mass of talk,’ ‘talk for talk's sake,’ membuat seseorang mengikuti arus tanpa
‘chatter.’ Its main structural feature is that adanya pengertian (verstehen). Heidegger
it obscures what is being talked about. For berkata mengenai Gerede, “The case is so,
this reason, it seemed most appropriate to

33
Paul Gorner, Heidegger’s Being and Time: An and Time (Cambridge: Cambridge University Press,
Introduction (Cambridge: Cambridge University 2003), 226.
35
Press, 2007), 90. Sembera, Rephrasing Heidegger: A Companion
34
Taylor Carman, Heidegger’s Analytic: to Being and Time, 101.
36
Interpretation, Discourse, and Authenticity in Being Ibid, 102.
37
Ibid.

85 Copyright© 2019, Dunamis, ISSN 2541-3937 (print), 2541-3945 (online)


Dunamis: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani, Vol. 4, No. 1, Oktober 2019

because one says it.”38 Jadi di dalam Komparasi Konsep Bahasa Roh menurut
Gerede, sesuatu dikatakan karena banyak Teologi Pentakosta dengan Konsep Rede
orang yang mengatakan hal yang sama, dalam Filsafat Heidegger
bukan karena pengalaman riil dari orang Dalam paragraf-paragraf berikutnya
yang mengatakannya. Karena bersifat akan dibahas komparasi antara bahasa roh
hanya ikut-ikutan, Gerede dengan dalam teologi Pentakosta dengan konsep
sendirinya akan memperluas lingkarannya Rede dalam Filsafat Heidegger. Hubungan-
pada komunitas yang lebih luas dan pada hubungan ini akan dibahas dengan
akhirnya tidak jarang menjadi sebuah penggolongan berdasarkan karakteristik-
konsensus umum. Sembera mengatakan, karakteristik Rede, dan kemudian
“The announcement structure of crosstalk membahas karakteristik-karakteristik
aims at creating the same superficial tersebut dari sudut pandang bahasa roh
relation towards the discussed in the hearer dalam teologi Pentakosta.
as in the talker, so that crosstalk spreads
Berbentuk Linguistik maupun Non-
itself in ever-widening circles and acquires
Linguistik
the authority of general consensus.”39
Dari pembahasan di atas, dapat Seperti yang telah dijelaskan
disimpulkan bahwa rede dalam filsafat sebelumnya, Rede di dalam filsafat
Heidegger merupakan artikulasi-artikulasi Heidegger tidak selalu harus berbentuk
yang komunikatif dan bermakna, meskipun linguistik, meskipun bisa juga berbentuk
belum dapat digolongkan sebagai sebuah linguistik. Rede dapat digolongkan sebagai
bahasa sehari-hari (sprache). Rede juga “pre-language,” atau dasar dari
merupakan karakteristik dari manusia terbentuknya bahasa. Namun demikian,
otentik ala heidegger (dasein), yang selalu Heidegger seringkali tidak memisahkan
berusaha mencari “ada”-nya, salah satunya Rede dengan bahasa itu sendiri, dalam arti
dengan cara menyingkapkan makna melalui Rede memiliki konsep yang berdekatan dan
komunikasi rede. tidak terpisahkan dengan bahasa.
Jika dihubungkan dengan bahasa
roh, khususnya jenis yang tidak dapat
dimengerti (glossolalia), bahasa roh dapat

38 39
Heidegger, Being and Time, 211. Sembera, Rephrasing Heidegger: A Companion
to Being and Time, 103.

86 Copyright© 2019, Dunamis, ISSN 2541-3937 (print), 2541-3945 (online)


Dunamis: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani, Vol. 4, No. 1, Oktober 2019

tergolong sebagai pre-language. Bahasa telah dijelaskan sebelumnya, Rede juga


roh jenis ini tidak bersifat linguistik dan dapat berbentuk linguistik.
kadang-kadang hanya merupakan artikulasi Bersifat Komunikatif
yang tidak jelas dan berulang. Namun
Karakteristik utama dari Rede
demikian, bahasa roh tersebut memiliki
adalah komunikatif. Namun komunikatif di
potensi untuk ditafsirkan dengan karunia
sini bukan berarti harus dapat dimengerti
menafsirkan bahasa roh, sehingga bahasa
oleh orang lain. Bahkan ketika maksud kita
roh yang tidak bersifat linguistik ini bisa
tidak dapat tersampaikan pada orang lain,
menjadi linguistik dengan karunia
asalkan kita telah berusaha
menafsirkan bahasa roh. Rasul Paulus di
mengkomunikasikan-nya, maka hal itu
dalam Alkitab juga selalu mendorong
sudah termasuk komunikatif bagi
jemaat untuk menafsirkan bahasa roh,
Heidegger. Jika diaplikasikan pada bahasa
terutama bahasa roh yang digunakan secara
roh, maka bahasa roh berada dalam
publik. Dalam 1 Kor. 14:13, Paulus
paradoks antara komunikatif maupun tidak
mengatakan, “Karena itu siapa yang
komunikatif. Bahasa roh bisa dikatakan
berkata-kata dengan bahasa roh, ia harus
komunikatif dalam konteks bahwa bahasa
berdoa, supaya kepadanya diberikan juga
roh diucapkan sebagai bentuk komunikasi
karunia untuk menafsirkannya.” Hal ini
dengan Allah. Semeyna mengatakan,
juga berpadanan dengan konsep Heidegger
“Speaking in tongues is… a prayer
bahwa Rede merupakan dasar dari
language that affords supernatural
penafsiran dan pernyataan. Hal ini tampak
communication with God that transcends
di dalam penerjemahan bahasa roh itu
both human and demonic understanding.”40
sendiri, sehingga menjadi sebuah tafsiran
Walaupun orang yang sedang berbahasa roh
dan bahkan pernyataan nubuat. Sebaliknya,
mengatakan hal-hal yang non-linguistik,
bahasa roh jenis xenolalia, atau berbentuk
tetapi sesuai dengan pemahaman Heidegger
bahasa-bahasa bangsa asing yang dapat
tentang komunikatif, maka bahasa roh
dimengerti juga tidak bertentangan dengan
masih tergolong sebagai komunikatif
konsep Rede, sekalipun jenis bahasa roh ini
karena orang yang mengatakannya
berbentuk linguistik, karena seperti yang
mengerti bahwa ia sedang berdoa dan

40
Semeyna and Schmaltz, “Glossolalia Meets Persist in Charismatic Christian and Pentecostal
Glosso-Psychology: Why Speaking in Tongues Gathering,” 40.

87 Copyright© 2019, Dunamis, ISSN 2541-3937 (print), 2541-3945 (online)


Dunamis: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani, Vol. 4, No. 1, Oktober 2019

berkomunikasi dengan Tuhan. Seperti yang use – although sometimes ‘translation’ by a


Rasul Paulus katakan di dalam 1 Kor. 14:2a, leader is involved.”41
“Siapa yang berkata-kata dengan bahasa Dalam hal ini harus diakui, saat
roh tidak berkata-kata kepada manusia, membahas soal Rede, Heidegger lebih
tetapi kepada Allah.” Orang yang berbahasa berfokus pada komunikasi antar manusia,
roh juga meyakini bahwa Tuhan pasti dan bukan komunikasi manusia dengan
memahami artikulasi-artikulasi yang Tuhan. Oleh sebab itu, meskipun terdapat
diungkapkan lewat bahasa roh tersebut. kemiripan konsep Rede dengan bahasa roh,
Oleh sebab itu bahasa roh bersifat tidak serta merta dapat dikatakan bahwa
komunikatif jika ditempatkan dalam Rede identik dengan bahsa roh. Bahasa roh
konteks komunikasi dengan Tuhan. merupakan komunikasi dengan Allah
Di sisi lain, bahasa roh juga dapat (teologis), sedangkan Rede merupakan
dikatakan sebagai non-komunikatif jika komunikasi antar manusia (bersifat
diletakkan dalam konteks sosial antar antropologis).
manusia. Bahasa roh memang bukan Bersifat Menyingkapkan
ditujukan untuk berkomunikasi dengan
Heidegger menekankan bahwa
manusia yang lain, seperti yang dikatakan
Rede harus bersifat menyingkapkan
Rasul Paulus di dalam 1 Kor. 14:9,
sesuatu, sebagai “articulation of
“Demikianlah juga kamu yang berkata-kata
intelligibility.” Rede, sama seperti Logos,
dengan bahasa roh: jika kamu tidak
adalah penyingkapan terhadap Ada, di
mempergunakan kata-kata yang jelas,
mana Heidegger menghubungkan
bagaimanakah orang dapat mengerti apa
karakteristik ini dengan manusia otentik
yang kamu katakan? Kata-katamu sia-sia
(Dasein) yang selalu bersifat terbuka
saja kamu ucapkan di udara!” Bahasa roh
terhadap penyingkapan-penyingkapan
juga tidak semerta-merta dapat digunakan
mengenai “ada”-nya.
untuk berkomunikasi walaupun sudah
Bahasa roh juga memiliki
ditafsirkan. Semeyna berkata, “Glossolalia
karakteristik menyingkapkan. Bahasa roh
is not used as means of communication
yang dialami gereja perdana dipercaya
between members of groups encouraging its
sebagai sesuatu yang “diberikan oleh Roh
Kudus” (Kis. 2:4). Seseorang berbahasa roh

41
Ibid, 40.

88 Copyright© 2019, Dunamis, ISSN 2541-3937 (print), 2541-3945 (online)


Dunamis: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani, Vol. 4, No. 1, Oktober 2019

karena mempercayai bahwa Roh Kudus eksklusif dimiliki oleh manusia yang
menyingkapkan sesuatu kepada dirinya otentik, sedangkan bahasa roh eksklusif
sehingga ia berbahasa roh. Sekalipun dimiliki oleh orang Kristen yang telah
bahasa roh yang keluar bukanlah jenis yang mengalami baptisan Roh Kudus.
dapat dimengerti, tetapi kepercayaan bahwa Dapat Dimengerti (Understandable)
bahasa roh itu sendiri adalah bentuk
Heidegger mengatakan bahwa Rede
penyingkapan Sang Ada pada orang yang
harus dimengerti setidaknya oleh orang
mengucapkannya telah menjadikan bahasa
yang mengatakannya. Seperti contohnya
roh bersifat menyingkapkan.
seorang bayi mengungkapkan artikulasi
Merupakan Karakteristik Dasar dari yang non linguistik tetapi mengerti secara
Dasein pasti bahwa ia sedang meminta pada ibunya
Heidegger menekankan bahwa untuk diberikan susu. Dalam hal ini, harus
Rede merupakan karakter yang esensial diakui bahwa bahasa roh tidak selalu
bagi manusia otentik (Dasein). Semua dimengerti oleh orang yang
Dasein harus memiliki Rede, sebaliknya mengatakannya. Meskipun orang tersebut
manusia yang tidak otentik (Dasman) tidak berbicara bahasa roh dalam jenis yang dapat
mungkin memiliki Rede. Dalam konteks dimengerti orang lain (xenolalia), pada
bahasa roh menurut teologi Pentakosta, kenyataannya saat orang tersebut
bahasa roh juga memiliki batasan mengatakan bahasa-bahasa bangsa asing
keuniversalan. Seperti dijelaskan tersebut, ia tidak mengerti apa yang
sebelumnya, menurut teologi Pentakosta dikatakannya dan mengapa mereka
bahasa roh merupakan karakter esensial mengatakan hal itu, karena sebelumnya
dari orang-orang Kristen yang telah mereka tidak pernah mempelajari bahasa
mengalami baptisan Roh Kudus. tersebut. Di dalam Alkitab, Rasul Paulus
Sebaliknya orang Kristen yang tidak sendiri mengafirmasi bahwa seseorang
berbahasa roh menandakan dirinya belum yang berbahasa roh tidak mengerti apa yang
mengalami baptisan Roh Kudus. Meskipun mereka katakan. 1 Kor. 14:2 berbunyi,
batasan keuniversalan antara Rede dan “Siapa yang berkata-kata dengan bahasa
bahasa roh ini berbeda, namun terdapat roh tidak berkata-kata kepada manusia,
kemiripan yaitu Rede dan bahasa roh sama- tetapi kepada Allah. Sebab tidak ada
sama bersifat eksklusif dan bersyarat. Rede seorangpun yang mengerti bahasanya; oleh

89 Copyright© 2019, Dunamis, ISSN 2541-3937 (print), 2541-3945 (online)


Dunamis: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani, Vol. 4, No. 1, Oktober 2019

Roh ia mengucapkan hal-hal yang rahasia.” sehingga walaupun orang yang berbahasa
(LAI) roh tidak mengerti apa yang ia katakan,
Walaupun pada umumnya orang tetapi di dalam kesadarannya ia meyakini
yang berbahasa roh tidak mengerti apa yang bahwa apa yang ia katakan adalah doa dan
dikatakannya saat berbahasa roh, orang puji-pujian kepada Allah.
yang berbahasa roh tersebut ada di dalam Gerede dan Bahasa Roh: Sebuah
keadaan yang sadar. Penelitian terbaru Perspektif terhadap Praktik Bahasa Roh
menurut Seymena, menyatakan bahwa dalam Gereja-Gereja Pentakosta Masa
orang-orang yang berbahasa roh Kini
sepenuhnya ada dalam keadaan sadar
Bahasa roh masih dipraktikkan
meskipun mereka tidak mengerti apa yang
sampai zaman sekarang oleh gereja-gereja
mereka katakan.42 Jadi bahasa roh bukan
Pentakosta. Bahasa roh dipandang sebagai
hal yang dilakukan seseorang dalam
tanda utama (initial evidence) bahwa
keadaan tidak sadar. Oleh sebab itu
seseorang telah dibaptis oleh Roh Kudus.
ketidakmengertian orang tersebut akan apa
Lebih lagi, di zaman sekarang masih
yang dikatakannya bukan dikarenakan ia
terdapat kaum Pentakosta yang
sedang ada dalam keadaan trance.
menganggap bahwa bahasa roh menjadi
Ketidakmengertian yang dialami
sebuah ukuran terhadap pertobatan
secara sadar ini menjadikan bahasa roh unik
seseorang, bahkan kedekatan hubungan
jika dibandingkan dengan Rede. Dalam
seseorang dengan Tuhan. Scott Semenyna
konsep Rede, seseorang sadar dan mengerti
berkata, “Put another way, the positive
apa yang ia katakan meskipun ekspresi
affect associated with glossolalia
pengungkapannya bisa berbentuk non-
encourages intuitive ways of thinking that
linguistik. Sedangkan di dalam bahasa roh,
only strengthens the belief in its power and
seseorang sadar tetapi tidak mengerti apa
efficacy as a means to communicate more
yang ia katakan dan ekspresi
deeply with God.”43 Ditambah lagi, praktik
pengungkapannya bisa berbentuk baik
bahasa roh di zaman sekarang dapat
linguistik (xenolalia) maupun non-
berlangsung secara publik dalam
linguistik (glossolalia). Tetapi harus diingat
pertemuan-pertemuan ibadah. Ketika
bahwa bahasa roh adalah pengalaman iman,
bahasa roh ditempatkan secara publik,

42 43
Ibid, 41. Ibid, 42.

90 Copyright© 2019, Dunamis, ISSN 2541-3937 (print), 2541-3945 (online)


Dunamis: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani, Vol. 4, No. 1, Oktober 2019

secara otomatis akan terlihat siapa saja yang sosialnya. Di dalam doa pribadi, jemaat
tidak dapat berbahasa roh. Menyambung mempraktikkan apa yang telah mereka
tentang ukuran-ukuran kerohanian yang dengar dan pelajari di dalam pertemuan-
dijelaskan sebelumnya, maka orang-orang pertemuan ibadah. Setelah mereka
yang tidak dapat berbahasa roh akan merasa mempraktikkan bahasa roh dalam doa-doa
inferior dalam kerohanian dibandingkan pribadi, mereka juga akan terdorong untuk
seseorang yang bisa berbahasa roh. mempraktikkannya kembali di komunitas
Perasaan inferior ini menimbulkan sebuah gereja Pentakosta untuk mendapatkan
kerinduan untuk bisa berbahasa roh. Bukan validasi atas pengalaman-pengalaman doa
hanya supaya dapat lebih dekat dengan pribadinya. Semeyna mengatakan, “They
Allah, melainkan juga supaya dapat also likely found validation of their
diterima dalam komunitas gereja experience with re-exposure in their church
Pentakosta. Oleh sebab itu orang-orang community, as well as encouragement and
yang belum dapat berbahasa roh akhirnya acceptance of their ‘gift’ within the
memutuskan untuk mengikuti arus dengan congregation.”45
cara menirukan bunyi dan lafal dari bahasa Praktik bahasa roh seperti di atas
roh yang sering terdengar di gereja-gereja memiliki kemiripan memiliki kemiripan
Pentakosta. Semeyna menggolongkan dengan konsep Gerede menurut Heidegger.
praktik-praktik peniruan seperti ini sebagai Seperti dijelaskan sebelumnya, Gerede
social learning, dan bukan karunia Roh merupakan karakteristik dari manusia yang
Kudus. Praktik-praktik ini merupakan inotentik. Tidak seperti Rede, Gerede tidak
sebuah bentuk kerinduan dari seseorang bersifat menyingkapkan, bahkan justru
untuk diterima dalam komunitasnya, dan bersifat menyembunyikan, karena Gerede
pembelajaran sosial dapat terjadi dalam hal tidak berusaha untuk menggali dan
ini, yaitu mereka meniru apa yang menyingkapkan kebenaran yang
dikatakan oleh orang-orang di sekitar sesungguhnya. Gerede lebih mengacu
mereka.44 kepada ucapan-ucapan yang mengikuti
Bahkan saat bahasa roh arus, tanpa memahami mengapa mereka
dipraktikkan dalam doa-doa pribadi jemaat, mengatakan hal-hal tersebut, dan juga tanpa
hal itu tidak dapat dilepaskan dari konteks

44 45
Ibid, 41. Ibid.

91 Copyright© 2019, Dunamis, ISSN 2541-3937 (print), 2541-3945 (online)


Dunamis: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani, Vol. 4, No. 1, Oktober 2019

melakukan analisa lebih jauh kebenaran katakan. Ketika mengucapkan bahasa roh
hal-hal yang diucapkan. sebagai Gerede, “pengobrol berbicara tanpa
Tanpa memahami konsep bahasa sadar tentang apa saja, tentang sesuatu yang
roh dengan benar, orang-orang ini hanya hanya merupakan unsur anonim dalam
ingin diterima oleh komunitasnya dengan gerak naik turunnya suasana hati
cara memiliki kemiripan dengan mereka. percelotehan anonim yang tidak
Pada kasus ini, replikasi dapat terjadi. terkendali.”47 Bahasa roh bukan lagi
Mereka meniru bahasa roh yang seringkali sesuatu yang menyingkapkan sang
mereka dengar dari orang lain, dan dengan pembicara tentang Sang Ada, yang dalam
demikian menjadi Gerede. Hardiman hal ini Allah, melainkan semata-mata
berpendapat bahwa salah satu contoh dari menjadi percelotehan yang
Gerede memang adalah replikasi tindakan membingungkan.
maupun ucapan orang lain. Beliau memberi Hal ini merupakan evaluasi bagi
contoh sebagai berikut, “Berita tentang gereja-gereja Pentakosta yang mewajibkan
rumah hantu di kawasan Pondok Indah semua orang Kristen untuk menerima
Jakarta menyeret ratusan orang untuk karunia bahasa roh sebagai tanda awal
melihatnya. Saat ditanya mengapa datang baptisan Roh Kudus. Harus diakui, praktik
kesitu, orang tak bisa memberikan alasan bahasa roh di gereja-gereja Pentakosta masa
selain hanya untuk melihat seperti orang- kini jelas memiliki perbedaan yang
orang lain melihat.”46 signifikan dengan praktik bahasa roh di
Sejalan dengan itu, orang-orang dalam Perjanjian Baru. Pertama, di dalam
yang mereplikasi bahasa roh juga biasanya Perjanjian Baru tidak dituliskan secara jelas
tidak dapat menjelaskan fenomena yang bahwa jemaat Kristen harus dapat
terjadi tersebut. Dalam praktik seperti ini, berbahasa roh. Pengalaman-pengalaman
bahasa roh lebih mendekati konsep Gerede berbahasa roh di dalam Perjanjian Baru
dalam karakteristik yang menyembunyikan. terjadi begitu saja tanpa tekanan sosial,
Orang tersebut tidak dapat sehingga kemungkinan untuk meniru
mempertanggung-jawabkan apa yang ia bahasa roh orang lain sangatlah kecil. Di
katakan sebagai gerakan Roh Kudus karena gereja Pentakosta saat ini bahasa roh telah
mereka hanya meniru apa yang orang lain digunakan sebagai identitas sehingga

46 47
Hardiman, Heidegger Dan Mistik Keseharian, Ibid, 94.
95.

92 Copyright© 2019, Dunamis, ISSN 2541-3937 (print), 2541-3945 (online)


Dunamis: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani, Vol. 4, No. 1, Oktober 2019

menyebabkan tekanan sosial yang tak karunia untuk bernubuat dan janganlah
terhindarkan. Bahasa roh bisa melarang orang yang berkata-kata dengan
menyebabkan seseorang menjadi tidak bahasa roh.” (TB-LAI)
otentik, dan sekadar menjadi Gerede yang Kontribusi Penelitian
tidak bermakna. Kedua, di dalam Perjanjian
Kontribusi terhadap Konsep Rede dalam
Baru, karunia bahasa roh yang dipraktikkan
filsafat Heidegger
jemaat mula-mula memiliki after-effect
yang mempermuliakan nama Tuhan, di Penulis menganalisa bahwa studi
mana Kisah Para Rasul 2 melaporkan komparasi terhadap konsep bahasa roh dan
bahwa orang-orang yang mendengarnya konsep Rede memberikan setidaknya dua
menjadi takjub. Sebaliknya, praktik bahasa kontribusi konseptual terhadap konsep
roh di masa kini bukan membuat orang Rede dalam filsafat Heidegger. Kontribusi
takjub lagi, melainkan membuat orang pertama, konsep bahasa roh
semakin bingung.48 Karakteristik bahasa menyingkapkan sebuah perspektif baru
roh bukan lagi menyingkapkan (Rede) bahwa ada fenomena spiritual yang mirip
melainkan malah menyembunyikan dengan konsep Rede dalam pemikiran
(Gerede). Oleh sebab itu perlu Heidegger. Seperti yang telah dijelaskan
dipertanyakan kembali apakah di zaman sebelumnya, selama ini Rede hanya
sekarang ini, gereja-gereja Pentakosta dihubungkan dengan pengalaman rasional
masih perlu memaksakan seseorang untuk dan bukan pengalaman imani. Ini
berbahasa roh sebagai tanda baptisan Roh disebabkan karena Rede merupakan konsep
Kudus? Di sisi lain di zaman sekarang filsafat, dan bukan konsep teologis.
sudah terdapat Alkitab yang merupakan Selain itu, meski Heidegger
wahyu Allah yang khusus dan universal seringkali menunjukkan fokus dan
bagi semua orang Kristen. Karunia bahasa ketertarikannya akan konsep Rede, kurang
roh, dengan demikian, tidak perlu adanya contoh yang aplikatif membuat
dipaksakan tetapi juga tidak boleh dilarang, konsep Rede sulit dipahami lebih lanjut.
seperti nasihat Paulus dalam I Kor. 14:39, Setidaknya dengan studi komparasi ini para
“Karena itu, saudara-saudaraku, filsuf yang mempelajari Heidegger dapat
usahakanlah dirimu untuk memperoleh memperhatikan fenomena yang mirip

48
Semeyna and Schmaltz, “Glossolalia Meets Persist in Charismatic Christian and Pentecostal
Glosso-Psychology: Why Speaking in Tongues Gathering,”, 42.

93 Copyright© 2019, Dunamis, ISSN 2541-3937 (print), 2541-3945 (online)


Dunamis: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani, Vol. 4, No. 1, Oktober 2019

dengan itu, yaitu fenomena spiritual bahasa we to distinguish it from the kind of
roh, yang diharapkan juga dapat membuka ‘appropriation’ accomplished in
pikiran para filsuf kepada ranah teologis. interpretation? Why is it considered an
Kontribusi yang kedua, praktik existentiale at all?”50
bahasa roh memperkuat konsep yang Studi komparasi Rede dan bahasa
dibangun Heidegger mengenai Rede. Perlu roh dapat menjawab dua kritik di atas.
diketahui bahwa konsep yang dibangun Kritik Lafont bahwa Rede selalu bersifat
Heidegger mengenai Rede juga linguistik dapat dibantah dengan melihat
mendapatkan beberapa kritik di dalam fenomena bahasa roh, baik di gereja
bidang filsafat. Cristina Lafont mengkritik perdana maupun gereja-gereja Pentakosta
bahwa apa yang dijelaskan Heidegger masa kini. Rede yang dapat bersifat non-
sebagai Rede sebenarnya tidak tepat disebut linguistik dan linguistik tercermin dalam
Rede, karena karakteristik Rede, menurut praktik bahasa roh yang dapat berupa vocal
Lafont, harus bersifat linguistik. Lafont utterances yang berbentuk non-linguistik
mengkritik bahwa Heidegger menggunakan (glossolalia) dan juga dapat berbentuk
kata Rede karena secara linguistik, Rede linguistik (xenolalia). Demikian juga
berarti percakapan atau diskursus. praktik penafsiran bahasa roh yang terjadi
Percakapan atau diskursus, dalam di gereja perdana menjawab kritik Crowell
pengertian umum selalu menggambarkan mengenai ketidakmungkinan penafsiran
percakapan linguistik, bukan pra- jika Rede bersifat non-linguistik.
linguistik.49 Oleh sebab itu, Lafont Kontribusi Penelitian: Kontribusi
menganggap menggunakan kosakata Rede
terhadap Konsep Bahasa Roh dalam
untuk menggambarkan apa yang dimaksud Teologi Pentakosta
Heidegger adalah kurang cocok. Demikian
Berikut akan dijabarkan tiga
juga Steven Crowell menganggap jika Rede
kontribusi yang diberikan studi komparasi
tidak bersifat linguistik, maka mustahil
dalam artikel ini terhadap konsep bahasa
bahwa percakapan tersebut dapat
roh dalam teologi Pentakosta. Kontribusi
ditafsirkan, “If, on the other hand, discourse
pertama, studi komparasi ini menempatkan
is radically distinct from language, how are

49 50
Cristina Lafont, Heidegger, Language, and Steven Crowell, Normativity and Phenomenology
World Disclosure, trans. Graham Harman in Husserl and Heidegger (Cambridge: Cambridge
(Cambridge: Cambridge University Press, 2000), University Press, 2013), 229.
246-247.

94 Copyright© 2019, Dunamis, ISSN 2541-3937 (print), 2541-3945 (online)


Dunamis: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani, Vol. 4, No. 1, Oktober 2019

bahasa roh sebagai bentuk keterbukaan keterbukaan seseorang pada Allah dan
terhadap Allah dan wahyu-Nya (logos), wahyu-Nya, maka praktik bahasa roh
sehingga menjadi pengalaman yang adalah sesuatu yang bersifat subyektif dan
subyektif dan personal. Rede merupakan tidak dapat dinilai oleh orang lain. Juga
mode of being dari Dasein, yang bercirikan ketika seseorang telah terlebih dahulu
keterbukaan atau penyingkapan terhadap menutup diri terhadap pengalaman ini,
dunia. Namun bahasa roh, lebih dari itu maka mustahil mereka dapat mengalami
adalah pengalaman iman, oleh sebab itu pengalaman berbahasa roh.
bukan hanya bercirikan keterbukaan Kedua, studi komparasi ini
terhadap dunia, melainkan juga memberikan awasan pada praktik bahasa
keterbukaan terhadap Allah dan wahyu- roh masa kini terhadap ketidakotentikan
Nya. Ini mengindikasikan bahwa bahasa dan pemalsuan bahasa roh. Sesuai
roh sebagai bentuk Rede harus bercirikan pembelajaran mengenai Rede, bahasa roh
keterbukaan pada Allah dan wahyu-Nya. harus merupakan pengalaman otentik,
Tanpa ada keterbukaan ini, mustahil karena Rede sendiri merupakan mode of
seseorang dapat berbahasa roh. being dari Dasein, manusia yang otentik.
Perlu diketahui bahwa di zaman Oleh sebab itu bahasa roh harus terjadi
sekarang banyak pihak dari teolog-teolog secara natural, tidak dibuat-buat atau
non-Pentakosta yang mengkritik praktik dipalsukan, apalagi dipelajari. Bahasa roh
bahasa roh. Beberapa menilai bahwa harus merupakan hasil dari keterbukaan
pengalaman ini tidak Alkitabiah, atau sudah terhadap Allah dan wahyu-Nya. Lebih lagi,
berhenti sama sekali di zaman sekarang. sebagai pengalaman yang otentik, bahasa
Wayne Grudem mengatakan bahwa praktik roh tidak boleh menjadi sesuatu yang
bahasa roh di zaman sekarang merupakan dipaksakan kepada orang lain sebagai
sesuatu yang sulit ditemukan dasarnya di sebuah standar kerohanian. Ketika bahasa
dalam Alkitab, walaupun ia sendiri tidak roh sudah dipaksakan sebagai sebuah
menganut pandangan cessasionist.51 kewajiban pada seseorang, maka bahasa roh
Namun jika dilihat dari sudut akan berubah menjadi Gerede.
pandang bahwa bahasa roh adalah bentuk Memaksakan pengalaman berbahasa roh

51
Wayne Grudem, Systematic Theology: An relevansi bahasa roh di zaman sekarang adalah Pdt.
Introduction to Bible Doctrine (Grand Rapids: DR. Stephen Tong, lihat Stephen Tong, Baptisan
Zondervan Publishing House, 1994), 103. Di Dan Karunia Roh Kudus (Jakarta: Lembaga
Indonesia, salah satu tokoh yang keras menentang Reformed Injili Indonesia, 1995), 74.

95 Copyright© 2019, Dunamis, ISSN 2541-3937 (print), 2541-3945 (online)


Dunamis: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani, Vol. 4, No. 1, Oktober 2019

juga dapat mendorong seseorang untuk Rede dengan fenomena berbahasa roh,
memalsukan pengalaman berbahasa roh, penulis meyakini bahwa fenomena
sehingga bahasa roh tidak otentik lagi. berbahasa roh bersifat adikodrati dan
Ketiga, studi komparasi ini berasal dari Tuhan, sedangkan Rede murni
menunjukkan kekhasan bahasa roh berasal dari pikiran manusia.
dibanding pengalaman-pengalaman ekstatis KESIMPULAN
yang serupa. Bahasa roh juga tidak boleh
Secara garis besar, persamaan
dipandang hanya sebagai pengalaman
esensial Rede dan bahasa roh terletak di
ekstatis. Jika hanya dipandang sebagai
dalam eksistensi keduanya sebagai “cara
pengalaman ekstatis, maka bahasa roh tidak
berada” (mode of being) manusia di dalam
ada bedanya dengan pengalaman-
dunia.52 Rede dan bahasa roh sama-sama
pengalaman esktatis serupa yang dialami
merupakan ekspresi eksistensial manusia
agama-agama lain atau mistis-mistis
untuk menyingkapkan kediriannya yang
tertentu. Sebaliknya bahasa roh itu
otentik kepada dunia melalui komunikasi
memiliki aspek rasional, sebagaimana
yang pra-reflektif dan pra-bahasa.
dikonfirmasi dengan kemiripan konsep
Meskipun demikian harus disadari bahwa di
bahas roh dengan konsep Rede. Dalam
antara keduanya terdapat perbedaan yang
praktiknya, bahasa roh juga dapat dimulai
mendasar. Keduanya didasari oleh
dan dihentikan oleh sang pembicara itu
perspektif (worldview) yang berbeda dalam
sendiri. Berbeda dengan pengalaman trance
cara beradanya di dalam dunia ini. Cara
dan ekstatis, pengalaman bahasa roh masih
berada orang yang berbahasa roh didasari
melibatkan kesadaran dan rasio si
oleh perspektif iman, dalam hal ini adalah
pembicara. Ini merupakan satu faktor
iman Kristen. Bahasa roh tidak mungkin
pendukung bahwa bahasa roh tepat untuk
terpisah dari iman Kristen itu sendiri, dan
digolongkan sebagai pengalaman yang
inilah yang membedakan bahasa roh versi
mirip dengan Rede, namun tetap berbeda,
teologi Pentakosta dengan ungkapan-
karena bahasa roh berhubungan dengan
ungkapan pra-reflektif dan pra-bahasa
iman orang yang melakukan hal tersebut. Di
lainnya (contohnya fenomena ekstasis
sini penulis sama sekali tidak menyamakan

52
Heidegger meyakini ada tiga cara berada (mode percakapan (Rede), lihat Heidegger, Being and
of being) Dasein dalam dunia, yaitu suasana hati Time, 28-34.
(Befindlichkeit), pemahaman (Verstehen), dan

96 Copyright© 2019, Dunamis, ISSN 2541-3937 (print), 2541-3945 (online)


Dunamis: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani, Vol. 4, No. 1, Oktober 2019

dalam agama lain).53 Perspektif iman Journal of Theology 10, no. 2 (2016):
179.
Kristen yang eksklusif dan terbatas ini
Carman, Taylor. Heidegger’s Analytic:
menjadikan fenomena bahasa roh bukan Interpretation, Discourse, and
hanya otentik, tetapi juga memiliki Authenticity in Being and Time.
Cambridge: Cambridge University
kekhasannya sendiri sebagai sebuah Press, 2003.
pengalaman iman. Pengalaman iman ini Carothers, Warren F. The Baptism with the
dapat disebut sebagai anugerah khusus yang Holy Ghost and the Speaking in
Tongues. Zion City, IL, 1906.
dimiliki oleh kaum Pentakosta, atau yang
Crowell, Steven. Normativity and
seringkali mereka sebut sebagai “second Phenomenology in Husserl and
blessing.”54 Pengalaman iman ini tidak Heidegger. Cambridge: Cambridge
University Press, 2013.
lantas menjadikan bahasa roh lepas dari
Dodson, Jacob D. “Gifted for Change: The
cara berada di dalam dunia ini, sehingga Evolving Vision for Tongues,
mengakibatkan keterpisahan antara yang Prophecy, and Other Charism in
American Pentecostal Church.”
kudus dan sekuler. Sebaliknya pengalaman Studies in the World Christianity 17,
iman ini dipakai sebagai kacamata / no. 1 (2011): 56.

perspektif mereka memandang dunia ini. Goodman, Felicitas D. Speaking in


Tongues: A Cross-Cultural Study of
DAFTAR PUSTAKA Glossolalia. Oregon: WIPF&Stock,
1972.
Bruner, Fredrick Dale. A Theology of the Gorner, Paul. Heidegger’s Being and
Holy Spirit: The Pentecostal Time: An Introduction. Cambridge:
Exprerience and the New Testament Cambridge University Press, 2007.
Witness. Michigan: Eerdmans
Publishing Company, 1982. Grudem, Wayne. Systematic Theology: An
Introduction to Bible Doctrine. Grand
Budiselic, Ervin. “Glossolalia: Why Rapids: Zondervan Publishing House,
Christians Can Speak in Tongues in a 1994.
Church Service without
Interpretation.” Kairos Evangelical Hardiman, F. Budi. Heidegger Dan Mistik

53
David A. Swincer, dalam bukunya menolak tahap spiritual yang perlu dilalui. Tahap pertama
anggapan orang-orang yang menyamakan adalah ketika seseorang mengalami regenerasi dan
pengalaman bahasa roh dengan pengalaman- pertobatan. Tahap kedua, yang disebut second
pengalaman ekstatis yang terjadi dalam agama- blessing, adalah baptisan Roh Kudus, yang ditandai
agama pagan kuno maupun pengalaman mistis dengan manifestasi bahasa roh. Tahap kedua ini
Yunani. Ia mengklaim bahwa pengalaman berhubungan dengan pengudusan orang Kristen, di
berbahasa roh adalah pengalaman yang khusus mana mereka meyakini bahwa hanya orang-orang
dialami oleh orang-orang Kristen di sepanjang yang telah dibaptis Roh Kuduslah yang dapat
zaman, lihat David A. Swincer, Tongues Volume 1: mengalami pengudusan hidup. Dalam hal ini, kaum
Confused by Ecstasy (Adelaide: Integrity Pentakosta setuju bahwa second blessing memiliki
Publications, 2016), 436. hubungan erat dengan keselamatan seseorang, lihat
54
Kaum Pentakosta mempercayai bahwa di dalam Merrill F. Unger, The Baptism and Gifts of the Holy
pertumbuhan iman Kristen seseorang, ada dua Spirit (Chicago: Moody Press, 1974), 8-12.

97 Copyright© 2019, Dunamis, ISSN 2541-3937 (print), 2541-3945 (online)


Dunamis: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani, Vol. 4, No. 1, Oktober 2019

Keseharian. Jakarta: Kepustakaan Parham, Sarah E. The Life of Charles F.


Populer Gramedia, 2016. Parham, Founder of the Apostolic
Faith Movement. Baxter Springs, KS:
Heidegger, Martin. Being and Time. Edited
Apostolic Faith Bible College, 1930.
by John Macquarrie and Edward
Robinson. Oxford: Basil Blackwell, Sembera, Richard. Rephrasing Heidegger:
1962. A Companion to Being and Time.
Ottawa: The University of Ottawa
Hocken, Peter. The Challenges of the
Press, 2007.
Pentecostal, Charismatic and
Messianic Jewish Movement: The Semeyna, Scott, and Rodney Schmaltz.
Tension of the Spirit. Farnham: “Glossolalia Meets Glosso-
Ashgate Publishing Limited, 2009. Psychology: Why Speaking in
Tongues Persist in Charismatic
Hudson, Neil. “Dealing with the Fire:
Christian and Pentecostal Gathering.”
Early Pentecostal Responses to the
Skeptic Magazine 17, no. 4 (2012):
Practices of Speaking in Tongues and
41.
Spoken Prophecy.” Journal of the
European Pentecostal Theological Siahaan, Harls Evan R. “Refleksi
Association 28, no. 2 (2008): 145– Alkitabiah Fenomena Glossolalia.”
157. Jurnal Antusias 2, no. 1 (2012): 160–
179. Accessed October 22, 2019.
Keener, Craig S. Gift and Giver: The Holy
https://sttintheos.ac.id/e-
Spirit for Today. Michigan: Baker
journal/index.php/antusias/article/vie
Academic, 2001.
w/67.
———. Spirit Hermeneutics: Reading
Sign, Alexander O. Speaking in Tongues.
Scripture in Light of Pentecost.
Bloomington: AuthorHouse, 2014.
Michigan: Wm. Eerdmans Publishing
Co, 2016. Simanullang, Gonti. “Baptism in the Holy
Spirit: A Phenomenological and
Lafont, Cristina. Heidegger, Language,
Theological Study.” Melbourne
and World Disclosure. Edited by
College of Divinity, 2012. Accessed
Graham Harman. Cambridge:
October 22, 2019.
Cambridge University Press, 2000.
https://repository.divinity.edu.au/931/
Menzies, Robert P. “The Role of .
Glossolalia in Luke-Acts.” AJPS 15,
Suanglangi, Hermanto. “Bahasa Roh: Apa
no. 1 (2012): 49.
Dan Bagaimana?” Jurnal Jaffray 2,
Menzies, William P., and Robert P. no. 1 (April 1, 2005): 17.
Menzies. Roh Kudus Dan Kuasa:
Swincer, David A. Tongues Volume 1:
Dasar-Dasar Pengalaman
Confused by Ecstasy. Adelaide:
Pentakostal. Batam: Gospel Press,
Integrity Publications, 2016.
2005.
Tong, Stephen. Baptisan Dan Karunia Roh
Okrent, Mark. “On Layer Cakes:
Kudus. Jakarta: Lembaga Reformed
Heidegger’s Normative Pragmatism
Injili Indonesia, 1995.
Revisited.” In Pragmatic Perspectives
in Phenomenology, edited by Ondrej Unger, Merrill F. The Baptism and Gifts of
Svec and Jakub Capek. New York: the Holy Spirit. Chicago: Moody
Routledge, 2017. Press, 1974.

98 Copyright© 2019, Dunamis, ISSN 2541-3937 (print), 2541-3945 (online)


Dunamis: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani, Vol. 4, No. 1, Oktober 2019

99 Copyright© 2019, Dunamis, ISSN 2541-3937 (print), 2541-3945 (online)

Anda mungkin juga menyukai