Inflamasi
Inflamasi
PENDAHULUAN
1
Bila semua itu sudah tidak mampu menahan serangan dari luar maka
terjadilah inflamasi atau peradangan. Peradangan itu sendiri dapat dibedakan
menjadi dua yaitu regional dan sistemik. Peradangan regional misalnya
pembengkakan yang terjadi pada pangkal femur ketika kaki mengalami bisul
atau luka yang terinfeksi kuman. Sedangkan kalau peradangan yang
menyerang seluruh tubuh atau sistemik maka manusia atau hewan tersebut
suhu tubuhnya akan meningkat dan mengalami demam kalau pada manusia.
Hal inilah yang membuat penulis tertarik untuk meninjau lebih dalam
mengenai ilmu imunologi khususnya tentang inflamasi. Karena dengan
mengetahui suatu hewan mengalami peradangan, kita sebagai calon dokter
hewan dapat mendiagnosa lebih jauh lagi mengenai penyakit yang menyerang
pada hewan tersebut. Inflamasi menjadi indikator utama suat hewan tersebut
dalam keadaan tidak sehat, mengingat inflamasi ini berkaitan dengan sistem
kekebalan tubuh. Jika terjadi inflamasi pastilah tubuh sudah terpapar beda
asing( virus dan bakteri) sehingga dapat dilakukan pemeriksaan lebih lanjut
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Apa yang dimaksud dengan inflamasi atau peradangan?
1.2.2 Bagaimana tahapan terjadinya inflamasi ?
1.2.3 Bagaimana penangan yang dilakukan ketika menemukan pasien
terkena inflamasi?
1.3 Tujuan Penulisan
1.3.1 Untuk mengetahui apa itu inflamasi atau peradangan.
1.3.2 Untuk mengetahui tahapan terjadinya inflamasi.
1.3.3 Untuk dapat mengetahui penanganan bila mengemuka pasien terkena
inflamasi.
1.4 Manfaat Penulisan
Adapun manfaat dari penulisan paper ini adalah sebagai berikut:
1.4.1 Melalui paper ini diharapkan kalangan mahasiswa Universitas
Udayana, khususnya Kedokteran Hewan memiliki wawasan lebih
mengenai inflamasi atau peradangan.
2
1.4.2 Hasil tugas ini dapat menjadi arsip yang dapat membantu untuk
mengerjakan tugas yang berhubungan dengan imunologi khususnya
mengenai inflamasi atau peradangan.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Apabila jaringan cedera misalnya karena terbakar, teriris atau karena infeksi
kuman, maka pada jaringan ini akan terjadi rangkaian reaksi yang memusnahkan
agen yang membahayakan jaringan atau yang mencegah agen menyebar lebih luas.
Reaksi-reaksi ini kemudian juga menyebabkan jaringan yang cedera diperbaiki
atau diganti dengan jaringan baru. Rangkaian reaksi ini disebut inflamasi
(Rukmono, 1973).
Inflamasi atau inflamasi adalah satu dari respon utama sistem kekebalan
terhadap infeksi dan iritasi. Inflamasi distimulasi oleh faktor kimia (histamin,
bradikinin, serotonin, leukotrien, dan prostaglandin) yang dilepaskan oleh sel yang
berperan sebagai mediator inflamasi di dalam sistem kekebalan untuk melindungi
jaringan sekitar dari penyebaran infeksi.
4
Inflamasi adalah respons protektif untuk menghilangkan penyebab
jejas (cell injury), dengan mengencerkan, menghancurkan atau menetralkan
agen berbahaya, serta membuang penyebab awal jejas sehingga proses
penyembuhan dapat dilaksanakan. Inflamasi merupakan sebuah proses
kompleks yang meliputi kerjasama banyak “Pemain”. “Pemain” yang
berkontribusi ini adalah sel dan protein dan sel plasma dalam sirkulasi, sel
endotel pembuluh darah dan sel serta matriks ekstraseluler jaringan ikat. Sel
dalam sirkulasi meliputi leukosit (neutrofil, eosinofil, basofil, limfosit,
monosit) dan trombosit; protein dalam sirkulasi meliputi faktor pembekuan,
kininogen dan komponen komplemen; sel endotel sendiri, sel jaringan ikat
meliputi sel mast, makrofag, limfosit dan fobroblas; dan yang terakhir
Extraceluler matrix (ECM) meliputi kolagen dan elastin susun fibrosa,
proteoglikan bentuk gel, glikoprotein adhesif (fibronektin) sebagai struktur
penyambung antar ECM.
Ciri inflamasi salah satunya adalah udem (bengkak atau swelling), ini
bisa terjadi setelah beberapa menit terjadi cidera jaringan, ditemukan
vasodilatasi yang menghasilkan peningkatan volume darah di lokasi
tersebut. Permeablitas vaskuler meningkat menimbulkan kebocoran cairan
pembuluh darah dan muncullah udem.
5
Gamabar 1. Gambar Leukosit Melewati Jaringan
Inflamasi akut akan terjadi secara cepat (menit —hari) dengan ciri khas
utama eksudasi cairan, akumulasi neutrofil memiliki tanda-tanda umum berupa
rubor (redness), calor (heat), tumor (swelling), Dolor (pain), Functio laesa (lose of
function). Seperti gambar dibawah ini:
6
Gamabar 2. Gambar Tahapan terjadinya inflamasi akut.
1. Hyperaemia
7
vasokonstriksi). The FLUSH merupakan garis merah (dikarenakan dilatasi kapiler).
The FLARE merupakan daerah dengan warna merah yang lebih terang di
sekitarnya (dikarenakan dilatasi arteri).
2. Exudating
Pada ujung arteriol kapiler, tekanan hidrostatik yang tinggi mendesak cairan
keluar ke dalam ruang jaringan interstisial dengan cara ultrafiltrasi. Hal ini
berakibat meningkatnya konsentrasi protein plasma dan menyebabkan tekanan
osmotik koloid bertambah besar, dengan menarik kembali cairan pada pangkal
kapiler venula. Pertukaran normal tersebut akan menyisakan sedikit cairan dalam
jaringan interstisial yang mengalir dari ruang jaringan melalui saluran limfatik.
Umumnya, dinding kapiler dapat dilalui air, garam, dan larutan sampai berat jenis
10.000 dalton.
Eksudat adalah cairan radang ekstravaskuler dengan berat jenis tinggi (di
atas 1.020) dan seringkali mengandung protein 2-4 mg% serta sel-sel darah putih
yang melakukan emigrasi. Cairan ini tertimbun sebagai akibat peningkatan
permeabilitas vaskuler (yang memungkinkan protein plasma dengan molekul besar
dapat terlepas), bertambahnya tekanan hidrostatik intravaskular sebagai akibat
aliran darah lokal yang meningkat pula dan serentetan peristiwa rumit leukosit
yang menyebabkan emigrasinya
3. Emigration of leucocyte
Penimbunan sel-sel darah putih, terutama neutrofil dan monosit pada lokasi
jejas, merupakan aspek terpenting reaksi radang. Sel-sel darah putih mampu
memfagosit bahan yang bersifat asing, termasuk bakteri dan debris sel-sel nekrosis,
dan enzim lisosom yang terdapat di dalamnya membantu pertahanan tubuh dengan
beberapa cara. Beberapa produk sel darah putih merupakan penggerak reaksi
radang, dan pada hal-hal tertentu menimbulkan kerusakan jaringan yang berarti.
8
Baik neutrofil, maupun sel berinti tunggal dapat melewati celah antar sel
endhotelial dengan menggunakan pergerakan amoeboid menuju jaringan target.
Emigrasi adalah proses perpindahan sel darah putih yang bergerak keluar
dari pembuluh darah. Tempat utama emigrasi leukosit adalah pertemuan antar-sel
endotel. Walaupun pelebaran pertemuan antar-sel memudahkan emigrasi leukosit,
tetapi leukosit mampu menyusup sendiri melalui pertemuan antar-sel endotel yang
tampak tertutup tanpa perubahan nyata
4. Kemotaksi
5. Fagositosis
9
permukaan, selanjutnya sel fagosit sebagian besar akan meliputi partikel,
berdampak pada pembentukan kantung yang dalam. Partikel ini terletak pada
vesikel sitoplasma yang masih terikat pada selaput sel, disebut fagosom. Meskipun
pada waktu pembentukan fagosom, sebelum menutup lengkap, granula-granula
sitoplasma neutrofil menyatu dengan fagosom dan melepaskan isinya ke dalamnya,
suatu proses yang disebut degranulasi. Sebagian besar mikroorganisme yang telah
mengalami pelahapan mudah dihancurkan oleh fagosit yang berakibat pada
kematian mikroorganisme. Walaupun beberapa organisme yang virulen dapat
menghancurkan leukosit.
Inflamasi kronis dapat timbul melalui satu atau dua jalan. Dapat
timbul menyusul radang akut, atau responnya sejak awal bersifat kronik.
Perubahan radang akut menjadi radang kronik berlangsung bila respon
radang akut tidak dapat reda, disebabkan agen penyebab jejas yang menetap
atau terdapat gangguan pada proses penyembuhan normal. Ada kalanya
radang kronik sejak awal merupakan proses primer. Sering penyebab jejas
memiliki toksisitas rendah dibandingkan dengan penyebab yang
menimbulkan radang akut. Terdapat 3 kelompok besar yang menjadi
penyebabnya, yaitu infeksi persisten oleh mikroorganisme intrasel tertentu
(seperti basil tuberkel, Treponema palidum, dan jamur-jamur tertentu),
10
kontak lama dengan bahan yang tidak dapat hancur (misalnya silika),
penyakit autoimun. Bila suatu radang berlangsung lebih lama dari 4 atau 6
minggu disebut kronik. Tetapi karena banyak kebergantungan respon efektif
tuan rumah dan sifat alami jejas, maka batasan waktu tidak banyak artinya.
Pembedaan antara radang akut dan kronik sebaiknya berdasarkan pola
morfologi reaksi (Robbins & Kumar, 1995).
11
Beberapa produk gen pro-inflamasi telah diidentifikasi memiliki peran
penting pada penekanan apoptosis, proliferasi, angiogenesis, invasi, dan
metastasis. Di antara produk gen tersebut adalah TNF alfa dan anggota
superfamilinya, IL-1alfa, IL-1beta, IL-6, IL-8, IL-18, kemokin, MMP-9,
VEGF, COX-2, dan 5-LOX. Ekspresi semua gen di atas utamanya diatur
oleh faktor transkripsi NF-kB yang secara konstitutif aktif pada kebanyakan
tumor dan diinduksi oleh karsinogen (asap rokok), tumor promoter, protein
virus onkogenik, agen kemoterapi, dan iradiasi gama.
12
untuk mempengaruhi sel lain, saat makrofag aktif, dia akan mengaktifkan
limfosit T dan tak lupa mengeluarkan mediator radang untuk mempengaruhi
sel disekitarnya.
c. Eusinofi
Eusinofil berlimpah dalam reaksi kekebalan yang diperantarai oleh
IgE dan infeksi parasit. Salah satu kemokin yang terutama penting bagi
perekrutan eusinofil adalah eotaxin, Eusinofil memiliki granula yang
mengandung protein dasar utama, yang sangat kationik protein yang beracun
bagi parasit tetapi juga menyebabkan lisis sel epitel mamalis. Itulah
sebabnya ia sangat berperan dalam memerangi infeksi parasit tetapi juga
berkontribusi pada kerusakan jaringan dalam reaksi kekebalan.
d. Sel Mast
Sel ini didistribusikan secara luas di jaringan ikat dan berpartisipasi
dalam reaksi peradangan akut dan kronis. Pada reaksi akut, antibodi IgE
yang terikat pada Fc reseptor khusus mengenali antigen, dan sel-sel
degranulate dan melepaskan mediator seperti histamin dan produksi oksidasi
AA, Jenis respon terjadi selama reaksi anafilaksis makanan, racun serangga
atau obat-obatanm sering dengan hasil becana. Bila diatur dengan benar,
respon ini dapat bermanfaat bagi tuan rumah. Sel mast juga hadir dalam
reaksi peradangan kronis, dan mungkin menghasilkan sitokin yang
berkontribusi terhadap fibrosis.
2. Mediator Peradangan
Mediator adalah caraka atau signal kimia. Mediator dalam
inflamasi/radang berperan sangat penting karena merupakan komponen
utama dalam komunikasi sel, amplifikasi inflamasi, ataupun opsonin, yang
ketiganya berguna dalam memfasilitasi eliminasi agen penyebab radang dan
juga perbaikan jaringan.
Beberapa hal yang perlu diketahui dari mediator adalah sebagai berikut :
13
c. Mediator aktif diproduksi sebagai respon terhadap berbagai macam
rangsangan, termasuk radang
d. Rangsangan yang dimaksud di sini adalah produk mikroba, substansi
dari jaringan yang nekrosis, dan protein-protein seperti kompelemen,
kinin, sistem koagulasi, yang dengan sendirinya diaktivasi oleh
mikroba dan jaringan yang terluka. Mekanisme ini dapat diartikan
sebagai “diaktivasi jika diperlukan, diproduksi jika dibutuhkan”.
e. Mediator yang satu dapat merangsang dikeluarkannya mediator yang
lain misalnya, mediator TNF dan IL-1 dapat menstimulasi
dikeluarkannnya protein selektin oleh sel endotel.
f. Mediator bervariasi dalam efek dan jenis sel tempat ia bekerja.
Kebanyakan mediator (terutama yang bersifat hidrofilik) hanya
memiliki waktu hidup yang pendek karena harus segera didegradasi
agar tidak menimbulkan respon yang berlebihan. Terdapat dua macam
mediator yang dibagi berdasarkan tempat ia berasal, yaitu mediator
yang berasal dari sel (cell-derived mediators) dan mediator yang
murni dari plasma darah (plasma-derived mediators).
Mediator selular dapat dibagi menjadi beberapa macam, sebagai berikut:
1. Amina Vasoakti
Amina vasoaktif maksudnya adalah berbagai macam mediator kimia
yang merupakan turunan dari amina, yang dapat bekerja langsung
pada sistem vaskular.
2. Metabolit Asam Arakidonat (AA)
AA merupakan salah satu turunan asam lemah yang terdiri atas 20
atom C (Karbon) yang diperoleh dari asupan makanan ataupun
konversi dari asam lenoleat.
3. Platelet-Activating Factor (PAF)
Merupakan salah satu bentuk mediator yang adalah turunan dari
fosfolipid. Diberi nama PAF karena mediator ini dapat menyebabkan
agregasi dari keping-keping darah, namun sekarang ini ditemukan
pula efek dari mediator ini yang dapat memicu terjadinya inflamasi.
4. Reactive Oxygen Species (ROS)
14
ROS, meskipun terlibat dalam pencernaan mikroba dan eliminasi agen
radang, juga dapat dilepaskan ke lingkungan ekstraselular akibat
terjadinya frustated-leukocyte.
5. Nitrogen Oksida (NO)
NO berperan dalam merelaksasi otot polos vaskular dan
mempromosikan terjadinya vasodilatasi.
6. Sitokin dan Kemokin
a. Sitokin
Sitokin yang paling banyak berperan dalam inflamasi akut adalah
TNF (α,β,γ) ataupun Interleukin (IL, dari 1 – 20), selain itu
terdapat pula Interferon/IFN (α,β,γ).
b. Kemokin
Merupakan protein yang bersifat terutama sebagai kemoatraktan
untuk leukosit.
7. Kandungan Lisosomal dari Leukosit
Kandungan lisosomal dari leukosit yang terdapat dalam granulanya
apabila dilepaskan akan dapat memicu terjadinya respon inflamasi.
8. Neuropeptida
Disekresikan oleh sel-sel neuron (pada sensorik dan beberapa leukosit
tertentu) yang berperand dalam amplifikasi dari respon inflamasi,
misalnya substansi P dan neurokinin-A.
15
analgetika, antipiretika, dan anti-inflamasi.9 OAINS merupakan
pengobatan dasar untuk mengatasi peradangan-peradangan di dalam dan
sekitar sendi seperti lumbago, artralgia, osteoartritis, artritis reumatoid,
dan gout artritis. Disamping itu, OAINS juga banyak pada penyakit-
penyakit non-rematik, seperti kolik empedu dan saluran kemih, trombosis
serebri, infark miokardium, dan dismenorea.
1. AINS dengan waktu paruh pendek (3-5 jam), yaitu aspirin, asam
flufenamat, asam meklofenamat, asam mefenamat, asam niflumat,
asam tiaprofenamat, diklofenak, indometasin, karprofen, ibuprofen,
dan ketoprofen.
16
2. AINS dengan waktu paruh sedang (5-9 jam), yaitu fenbufen dan
piroprofen.
3. AINS dengan waktu paruh tengah (kira-kira 12 jam), yaitu diflunisal
dan naproksen.
4. AINS dengan waktu paruh panjang (24-45 jam), yaitu piroksikam dan
tenoksikam.
5. AINS dengan waktu paruh sangat panjang (lebih dari 60 jam), yaitu
fenilbutazon dan oksifenbutazon.
1. Efek Analgesik
Sebagai analgesik, OAINS hanya efektif terhadap nyeri dengan
intensitas rendah sampai sedang, misalnya sakit kepala, mialgia, artralgia,
dismenorea dan juga efektif terhadap nyeri yang berkaitan dengan
inflamasi atau kerusakan jaringan. Efek analgesiknya jauh lebih lemah
daripada efek analgesik opioat, tetapi OAINS tidak menimbulkan
ketagihan dan tidak menimbulkan efek samping sentral yang merugikan.
Untuk menimbulkan efek analgesik, OAINS bekerja pada hipotalamus,
menghambat pembentukan prostaglandin ditempat terjadinya radang, dan
mencegah sensitisasi reseptor rasa sakit terhadap rangsang mekanik atau
kimiawi.
2. Efek Antipiretik
Temperatur tubuh secara normal diregulasi oleh hipotalamus.
Demam terjadi bila terdapat gangguan pada sistem “thermostat”
hipotalamus. Sebagai antipiretik, OAINS akan menurunkan suhu badan
hanya dalam keadaan demam. Penurunan suhu badan berhubungan dengan
peningkatan pengeluaran panas karena pelebaran pembuluh darah
superfisial. Antipiresis mungkin disertai dengan pembentukan banyak
keringat. Demam yang menyertai infeksi dianggap timbul akibat dua
mekanisme kerja, yaitu pembentukan prostaglandin di dalam susunan
syaraf pusat sebagai respon terhadap bakteri pirogen dan adanya efek
17
interleukin-1 pada hipotalamus. Aspirin dan OAINS lainnya menghambat
baik pirogen yang diinduksi oleh pembentukan prostaglandin maupun
respon susunan syaraf pusat terhadap interleukin-1 sehingga dapat
mengatur kembali “thermostat” di hipotalamus dan memudahkan
pelepasan panas dengan jalan vasodilatasi.
3. Efek Anti-inflamasi
Inflamasi adalah suatu respon jaringan terhadap rangsangan fisik
atau kimiawi yang merusak. Rangsangan ini menyebabkan lepasnya
mediator inflamasi seperti histamin, serotonin, bradikinin, prostaglandin
dan lainnya yang menimbulkan reaksi radang berupa panas, nyeri, merah,
bengkak, dan disertai gangguan fungsi. Kebanyakan OAINS lebih
dimanfaatkan pada pengobatan muskuloskeletal seperti artritis rheumatoid,
osteoartritis, dan spondilitis ankilosa. Namun, OAINS hanya meringankan
gejala nyeri dan inflamasi yang berkaitan dengan penyakitnya secara
simtomatik, tidak menghentikan, memperbaiki, atau mencegah kerusakan
jaringan pada kelainan muskuloskeletal.
Meskipun semua OAINS memiliki sifat analgesik, antipiretik dan
anti-inflamasi, namun terdapat perbedaan aktivitas di antara obat-obat
tersebut. Salisilat khususnya aspirin adalah analgesik, antipiretik dan anti-
inflamasi yang sangat luas digunakan. Selain sebagai prototip OAINS,
obat ini merupakan standar dalam menilai OAINS lain. OAINS golongan
para aminofenol efek analgesik dan antipiretiknya sama dengan golongan
salisilat, namun efek anti-inflamasinya sangat lemah sehingga tidak
digunakan untuk anti rematik seperti salisilat. Golongan pirazolon
memiliki sifat analgesik dan antipiretik yang lemah, namun efek anti-
inflamasinya sama dengan salisilat.
18
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
2. Inflamasi kronis
19
3.2 Saran
20
DAFTAR PUSTAKA
Abrams, G.D. (1995). Respon tubuh terhadap cedera. Dalam S. A. Price & L. M.
Wilson, Patofisiologi: Konsep klinis proses-proses penyakit (4th ed.)(pp.35-
61)(Anugerah, P., penerjemah). Jakarta: EGC (Buku asli diterbitkan 1992).
Bratawidjaja KG dan Rengganis I, 2010, Imunologi Dasar Edisi ke-9, FKUI Jakarta
Dorland, W.A.N. (2002). Kamus Kedokteran Dorland (Setiawan, A., Banni, A.P.,
Widjaja, A.C., Adji, A.S., Soegiarto, B., Kurniawan, D., dkk , penerjemah).
Jakarta: EGC. (Buku asli diterbitkan 2000).
Guyton, A.C. & Hall, J.E. (1997). Buku ajar fisiologi kedokteran (9th ed.) (Setiawan, I.,
Tengadi, K.A., Santoso, A., penerjemah). Jakarta: EGC (Buku asli diterbitkan
1996).
Mitchell, R.N. & Cotran, R.S. (2003). Acute and chronic inflammation. Dalam S. L.
Robbins & V. Kumar, Robbins Basic Pathology (7th ed.)(pp33-59). Philadelphia:
Elsevier Saunders.
Robbins, S.L. & Kumar, V. (1995). Buku ajar patologi I (4th ed.)(Staf pengajar
laboratorium patologi anatomik
21