Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Para ahli imunologi telah menyadari adanya efek proteksi dari komponen humoral pada
serum seorang pasien yang telah menderita suatu infeksi lama. Serum ditanam dari binatang
yang telah diimunisasi dengan patogen spesifik dan disuntikan pada manusiauntuk tujuan
pencegahan dan terapi dari infeksi berat. Konsep terapi imunoglobulin(gamaglobulin) adalah
berasal dari percobaan sederhana yaitu dalam sejarah, paul Ehrlichmenghasilkan anti toksin
dari kuman difteri pada tahun 1970.Untuk mencegah komplikasi seperti serum sickness akibat
penggunaan serum binatang digunakan konsentrasi antibodi dari serum manusia, sampel
imunoglobulin plasenta digunakan untuk mencegah campak. Pada tahun 1952 Bruton
mengenali seoranganak usia 8 tahun yang menderita penyakit infeksi serius berulang dan tidak
mampumembuat sejumlah imunoglobulin. Ini adalah pertama kalinya penyakit
imunodefisiensi primer didiagnosis dan diterapi dengan imunoglobulin intra muskular. Sejak
saat itu dansampai tahun 1981 gamma globulin intra muskular atau sebagai alternatif fresh
frozen plasma digunakan sebagai terapi hipogamaglobulin dan penyakit imunodefisiensi
primer.Pada tahun 1981 imunoglobulin intravena (IVIG) telah tersedia secara komersial
diamerika serikat. Keuntungan penggunaan imunoglobulin intravena dari
imunoglobulinintramuskular adalah:
1. Relatif tidak menyakitkan pasien
2. Dapat diberikan dengan dosis yang lebih tinggi karena tidak ada batasan dalam
jumlahvolume
3. Absorbsinya lebih bagus
4. Tidak mengalami degradasi local
5. Tidak mengalami agregasi dan aktifasi komplemen.Jika kita pelajari serum dengan
elektroforensis maka akan terlihat beberapa fraksi protein dalam serum yang mempunyai
kecepatan berlainan. Berturut-turut akan dapatdibedakan dengan puncak dari albumin,
alpha 1, alpha 2, beta dan gama globulin.
Jika binatang percobaan disuntik dengan antigen, misalnya polisakarida dari kuman
pneukokus, maka pada elektoroforesis serum akan tampak meningkatnya puncak globulin
terutama darifraksi gama globulin. Dulu dikira bahwa antibody sama dengan gama- globulin,
tetapikemudian ternyata ada globulin dari fraksi lain yang dapat berfungsi sebagai
antibody.Sekarang antibody juga disebut immunoglobulin tanpa menyebut fraksinya.

Immunoglobulin dalam serum terutama terdiri dari fraksi protein yang mempunyai
beratmolekul sekitar 150.000 (angka sedimentasi 7S) dan komponennya adalah IgG, dan
fraksilain dengan berat molekul 900.000 (19S) yang ternyata IgM.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana definisi dari immunoglobulin intravena?
2. Bagiamana Pembuatan dan Karakterisasi Immunoglobulin Intravena (IVIG)?
3. Bagiamana mekanisme kerja immunoglobulin intravena?
4. Apa saja Aplikasi Klinis dari Immunoglobulin Intravena?
5. Bagaimana efek samping dari immunoglobulin intravena?

1.3 Tujuan Masalah


1. Untuk mengetahui definisi immunoglobulin intravena
2. Untuk mengetahui pembuatan dan karakteristik immunoglobulin intravena
3. Untuk mengetahui mekanisme kerja immunoglobulin intravena
4. Untuk mengetahui aplikasi klinis dari immoglobulin intravena
5. Untuk mengetahui efek samping dari immunoglobulin intravena
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi
Imunoglobulin intravena (IVIG) adalahproduk darah yangdisiapkan dari serum antara
1000 dan 15 000 donor per batch. Ini adalah pengobatan pilihan untuk pasien dengan
kekurangan antibodi. Untuk indikasiini, IVIG digunakan pada dosis dari 200-400 mg/kg
berat badan, diberikan sekitar3 mingguan.Sebaliknya, dosis tinggi IVIG, diberikan paling
sering pada 2g/kg/bulan, digunakan sebagai agen ‘imunimodulator’ dalam peningakatan
jumlah gangguan kekebalam tubuh dan peradangan. Penyakit yang memerlukan terapi
IVIg anataralaian kawasaki. Disease, Guillain-Barre syndrome, lupus, myositis,
myasthenia gravis,multiple sclerosis, dan pasien penerima transplantasi sumsum tulang
gunamencegah infeksi

Imunoglobulin intravena (IVIG) terbuat dari antibodi yang telah diambil dari 3000-
10000 pendonor darah yang sehat . IVIG digunakan untuk mengobati berbagai gangguan
autoimun, penyakit idiopatik (penyakit tidak diketahui penyebabnya), dan infeksi.
Imunoglobulin (Ig) adalah molekul glikoprotein yang berfungsi sebagai antibodi. Selama
respon imun, antibodi ini berada di peredaran darah, mendeteksi dan mengikat antigen (zat
asing yang mampu merangsang respon imun). Contoh yang termasuk antigen adalah
bakteri, virus, spora jamur, tungau, debu, bulu binatang, dan jamur. Saat antibodi melekat
pada antigen, sel darah putih dirangsang untuk menghancurkan antigen. Karena antibodi
yang ada di peredaran darah, dianggap sebagai bagian dari sistem imun humoral.
Produk immune globulin dari plasma manusia pertama kali digunakan pada tahun 1952
untuk mengobati kekurangan imunoglobulin ( IgG seperti defisiensi ). Awalnya,
pengobatan diberikan secara intramuskular (disuntikkan ke dalam otot). Intravena
(disuntikkan ke pembuluh darah) immune globulin terbukti efektif dalam autoimun
Idiopatik Thrombocytopenic Purpura (ITP) pada tahun 1981. Metode ini lebih dipilih
daripada suntikan intramuskular karena telah terbukti lebih efektif.
Dengan memberikan antibodi terhadap pasien yang sistem kekebalannya melemah,
IGIV dapat membantu mengurangi risiko infeksi. Pengobatan dapat membantu mencegah
pasien dengan penyakit Kawasaki dari mengembangkan aneurisma arteri koroner
(melemah dari arteri utama di jantung). IGIV juga dapat membantu meningkatkan jumlah
trombosit pada pasien yang memiliki Idiopatik Trombositopenia Purpura (ITP).
US Food and Drug Administration (FDA) telah menyetujui produk immunoglobulin untuk
pengobatan imunodefisiensi primer, trombositopenia imun-dimediasi, penyakit Kawasaki,
transplantasi sel induk hematopoietik (pada pasien yang berusia lebih dari 20 tahun),
leukemia limfositik sel-B kronis, dan HIV pada anak-anak.
Produk immune globulin mengandung bahan steril, yang dimurnikan dari
imunoglobulin G (IgG). Produk biasanya mengandung lebih dari 95% IgG yang telah
dimodifikasi dan sedikit mengandung immunoglobulin A (IgA) atau immunoglobulin M
(IgM). Antibodi IgG memiliki ukuran paling kecil, tapi merupakan antibody terbanyak
dalam tubuh, jumlahnya 75-80% dari seluruh antibodi dalam tubuh. Antibodi tersebut
berada pada seluruh cairan tubuh. Antibodi IgG dianggap sebagai antibodi yang paling
penting untuk melawan infeksi bakteri dan virus, dan satu-satunya antibodi yang dapat
melewati plasenta selama kehamilan. Antibodi IgA terutama ditemukan di hidung, bagian
saluran napas, saluran pencernaan, telinga, mata, air liur, air mata dan vagina. Antibodi ini
melindungi permukaan tubuh yang sering terkena organisme asing dan zat dari luar tubuh.
Antibodi IgM berada dalam darah dan cairan getah bening, dan IgM adalah antibodi
pertama yang diproduksi sebagai respon terhadap infeksi.
Efek samping dari IVIG terjadi dalam waktu kurang dari lima persen pasien, menurut
para peneliti. Efek samping yang umum biasanya terjadi segera setelah infus dan mungkin
termasuk kemerahan pipi, sakit kepala, menggigil, pusing, keringat berlebih, kram kaki,
rasa sakit dan nyeri di tempat suntikan, kelelahan, nyeri otot, nyeri punggung, mual, dan
tekanan darah rendah.
Karena IVIG yang dikumpulkan dari ribuan pendonor darah, secara teori bahwa
virus atau bakteri dapat ditularkan dalam produk. Namun, sejak tahun 1985, semua produk
yang diuji terbebas dari virus HIV dan hepatitis dan risiko tertular sangat rendah.
2.2 Pembuatan dan Karakterisasi Immunoglobulin Intravena (IVIG)
Immunoglobulin intravena (IVIG) terbuat dari antibody yang telah diambil dari 3.000-
10.000 donor darah yang sehat.
Karakterisasi immunoglobulin intravena:
Produk cairan infus steril, dimurnikan immunoglobulin G (IgG). Mengandung lebih dari 95%
IgG yang dimodifikasi dan hanya mengandung sebuah IgA atau IgM.

a. Pembuatan IVIG
Serum immunoglobulin intravena tersedia dalam pentuk fraksi alkohol yang
diambil dari sediaan banyak pendonor yang sedah dalam masa pemulihan penyakit, baru
saja divaksinasi atau pendonor dengan jumlah antibodi yang cukup. Serum protein
dipisahkan dalam suhu dingin dengan cara presipitasi dengan alkohol pada kekuatan ion
dan pH rendah. Prosedur ini pertama kali dijelaskan oleh Cohen pda tahun 1944 dan sampai
sekarang masih digunakan. Fraksi tersebut kemudian dipisahkan dari serum protein dan
virus hepatitis. Fraksi serum terdiri dari ig G 95-99%. Selain Ig G tersedia juga Ig A, Ig M,
Ig D, dan Ig E dalam serum tetapi bukan merupakan terapi yang signifikan karena
konsentrasinya yang rendah dan masa paruh yang cepat. WHO menetapkan beberapa
kriteria untuk produksi immunoglobulin intravena. Dalam prakteknya semua plasma
dikrining untuk virus hepatitis B, HIV, dan tidak ada peningkatan enzim transaminase.
Dalam sediaan yang dipasarkan diambil plasma dari 3000-6000 donor yang terdiri dari
spectrum antibodi yang luas. Setiap sediaan harus mengandung antibodi yang cukup
terhadap polio, campak, hepatitis B, dan difteri.

b. Sediaan
Sedian imunoglobulin intravena antara lain:
- Intragam P-CSL bioplasma. Sediaan steril, bebas dari immunoglobulin G, larutan
60mg/ml yang diambil dari donor Australia melalui Australian red cross blood service.
- Intragam P hanya mengandung IgA dengan cairan pelarut 100mg/ml maltosa. Tersedia
dalam 3g/50ml dan 12g/200ml.
- Sandoglobulin NF liquid-CSL bioplasma, mengandung Ig G steril tanpa larutan.
Sediaan terdiri dari 6g/50ml dan 12g/100ml.
- Octagam-octapharma. Sediaan steril bebas larutan dari immunoglobulin G 60mg/ml
yang diambil dari banyak donor. Tersedia dalam kemasan 1g/20ml vial dan 2,5g/50ml,
5g/100ml, dan 10g/200ml.

c. Penggunaan:
Produk immunoglobulin telah digunakan untuk pengobatan gangguan autoimun,
penyakit idiopatik dan infeksi. Efek menguntungkan dari IVIG sebagai pencegahan infeksi
pada pasien dengan sindrom imunodefisiensi primer (gangguan disebabkan oleh cacat
genetik pada sistem imun).
IVIG juga digunakan untuk pencegahan infeksi saluran pernafasan bawah, tetapi tidak
untuk saluran pernafasan atas dan selain infeksi pernafasan pada pasien dengan CVID
(Common variable immune deficiency). Peneliti menemukan bahwa pasien CVID dengan
respon infeksi lebih baik dioperasi dan mendapat perawatan. IVIG biasanya disalurkan
secara intravena sekitar 2-4 jam sehari selama 2-7 hari. Pasien biasanya menerima dosis
tunggal setiap 10-21 hari atau setiap 3-4 minggu, tergantung dari tipe dan kondisi tertentu.
Pasien biasanya mulai terjadi respon setelah 8 hari pengobatan. Pengobatan secara terus-
menerus membantu pasien menjaga tingkat kesehatan dari antibodi dalam darah, yang
meningkatkan sistem imun.

2.3 Mekanisme kerja IVIG


Pada imunodefisiensi primer dan defisiensi antibody fungsional immunoglobulin
intravena berfungsi sebagai terapi pengganti. Beberapa mekanisme kerja dari
immunoglobulin intravena disebutkan sebagai berikut:
1. Blok Reseptor Fc
Tambahan molekul IgG eksogen berikatan pada Fc reseptor sel target dan
menghambat akses terhadap sel tersebut. Ini untuk mencegah antiplatelet dan antibodi
lain berikatan dengan sel ini.
2. Aksi Imunomodulator
Immunoglobulin intravena berikatan pada reseptor Fc dari limfosit T dan B yang
dapat menghambat sintesis antibodi sel B dan atau meningkatkan aktivitas regulasi dari
sel T helper atau supresor. Immunoglobulin mempengaruhi dalam produksi antibody
dari sel B yaitu meningkatkan atau menurunkan produksi antibody, menetralisasi auto
antibody dari patogen dan sel T super antigen, meningkatkan aktivasi dan fungsi dari
sel T serta produksi CD4 sel T dari sitokin yang dimediasi oleh sel T helper 1 dan 2
serta mengontrol pertumbuhan sel.
3. Anti Idiotype Antibody
Ikatan antigen dari molekul immunoglobulin disebut daerah idiotype. Bagian anti
idiotype immunoglobulin intravena ini dapat menghambat produksi dari patogen auto
antibodi. Penyakit autoimun diperkirakan adalah akibat adanya pemecahan dari
jaringan regulatori antibodi. Immunoglobulin intravena dapat menyediakan defisiensi
antibodi anti idiotype.
4. Anti Inflamasi
Imunogloblulin intravena menurunkan produksi sitokin dan mediator inflamasi
lain seperti monosit dan makrofag dan antagonis terhadap interleukin. Immunoglobulin
intravena juga meningkatkan daya larut kompleks imun pada penyakit inflamasi
sistemik. Immunoglobulin intravena secara kovalen berikatan dengan sel endotelial.

2.4 Aplikasi Klinis Immunoglobulin Intravena


1. Imunodefisiensi Primer
Imunodefisiensi primer merupakan penyakit kongenital dengan muncul gejala di
kemudian hari. Penyakit seperti X-link agama globulinemia, Common Variable
Immunodeficiency (CVID) dan X link imunodefisiensi dengan hyperimunoglobulinemia
M dan kombinasi imun defisiensi berat yang berhubungan dengan penurunan produksi dari
semua kelas imunoglobulin semuanya merupakan indikasi mendapatkan terapi pengganti
imunoglobulin intravena. X link agamaglobulinemia muncul pada laki laki. Gejala muncul
kurang lebih pada usia 6 bulan ketika antibodi maternal dari ibu menghilang. Sering
dijumpai infeksi berulang dengan Hemofilus Influenza dan Streptokokus pneumonia.
Pemeriksaan laboratorium mengambarkan panhipogamaglobulinemia dan tidak adanya sel
B.
Terapi definitif terdiri dari penggantian imunoglubulin intravena. CVID biasanya
muncul pada dekade kedua atau ketiga dalam kehidupan tapi juga dapat muncul kapan saja
termasuk dalam masa neonatus dan anak anak dan mempengaruhi kedua jenis kelamin.
Berhubungan dengan penurunan imunoglobulin semua sub kelas tetapi dengan jumlah
normal dari sel B.
Beberapa pasien dengan imunoglobulin normal tapi tidak mampu membuat antibodi
spesifik setelah imunisasi dengan antigen seperti tetanus dan vaksin penumokokus atau
setelah paparan infeksi virus saluran nafas. Disebut dengan defisiensi fungsional antibodi.
Pasien seperti ini sering mengalami infeksi saluran nafas berulang meskipun sebagian besar
dari mereka tidak ada penyakit yang mendasarinya. Efek seperti ini juga dapat dilihat pada
Sindrom Wiscott – Aldrich dan Ataksia Telengiektasia.
Kerentanan terhadap infeksi saluran nafas atas dan bawah terlihat juga pada
defisiensi sub kelas IgG. Dimana meningkatnya kerentanan terhadap infeksi berhubungan
dengan adanya gangguan terhadap produksi antibodi daripada defisiensi sub kelas Ig G.
Defisiensi subkelas Ig G2 membuat rentan terhadap infeksi dengan bakteri polisakarida.
Kondisi ini merupakan indikasi untuk penggantian dengan imunoglobulin intravena dan
terapi diberikan pada pasien yang mengalami infeksi berulang dan gagal dengan terapi
profilaksis antibiotik.
Hipogamaglobulinemia transien dapat terlihat pada anak pada beberapa bulan
pertama sampai tahun pertama kehidupan mereka. Meskipun kadar imunoglobulin mereka
rendah tapi mereka dapat membuat antibodi yang cukup kuat untuk pertahanan tubuh
melawan virus dan toksoid tetanus. Kadar imunoglobulin akan menjadi normal kembali
setelah usia 3 tahun. Hal ini disebabkan karena antibodi antipolisakarida akan diproduksi
setelah usia 2 tahun.
Karena imunoglobulin yang diberikan secara eksogen akan menghambat produksi
imunoglobulin intrinsik maka imunoglobulin intravena diindikasikan bila terdapat
gangguan pembentukan antibodi ditandai dengan rendahnya kadar imunoglobulin. Dosis
300 sampai 400 mg/kgBB dapat diberikan dengan interval sebulan dan setelah dosis
keempat atau kelima kadar imunoglobulin dinilai kembali. Nilai 300 – 400 mg/dl dinilai
sebagai kadar optimal meskipun beberapa rekomendasi menyatakan 500 – 600 mg/dl.
Beberapa pasien memerlukan dosis lebih tinggi atau pemberian yang lebih sering dari
imunoglobulin. Pasien baru terdiagnosis yang memerlukan terapi imunoglobulin intravena
biasanya rentan terhadap infeksi. Bila infeksi akut atau kronik sudah membaik,
imunoglobulin intravena sebaiknya diberikan dengan dosis 200 mg/kgBB. Dan kadar dari
Ig G terus dimonitor secara teratur.

2. Imunodefisiensi Sekunder
Imunoglobulin intravena terbukti berhasil digunakan pada pasien yang menerima
terapi imunosupresan seperti pada pasien setelah transplantasi sumsum tulang. Pada suatu
penelitian multisenter buta acak terkendali dibandingkan pemberian dosis imunoglobulin
250 mg/kgBB atau 500 mg/kgBB setiap minggu selama 8 sampai 111 hari, dimana dengan
dosis yang lebih tinggi terdapat pengurangan reaksi penolakan antara donor dan resipien
dan belum ditemukan perbedaan bermakna pada pemberian kedua dosis ini dalam hal
pencegahan infeksi.
Pada pasien ini kejadian sepsis, infeksi pneumonia intersisial sitomegalo virus dan
penyakit antara donor dan resipien berkurang. Limfositik leukemia kronik serta keganasan
sel B lainnya juga berhubungan dengan defisiensi imun humoral. Pemberian
imunoglobulin intravena menurunkan kejadian infeksi bakterial pada pasien ini.
a. Infeksi Bakterial Neonatus
Sepsis neonatal muncul 2 sampai 5 dari 1000 kelahiran. Bayi prematur lebih
rentan terhadap infeksi bakterial karena sebagian besar dari Ig G baru secara
transplasental diturunkan kepada janin pada usia 4 – 6 minggu terakhir
kehamilan. Neonatus ini biasanya rentan terhadap infeksi Streptokokus grup B
(GBS), E.coli dan H.influenza B. Bakteri berkapsul ini membutuhkan antibodi
untuk proses opsonisasi, fagositosis dan pembunuhan. GBS merupakan
penyebab utama sepsis neonatal dan meningitis. Beberapa penelitian
menyebutkan bahwa pemberian imunoglobulin sebagai tambahan dari
antibiotik dapat mencegah dan mengobati infeksi GBS pada neonatus.
Imunoglobulin intravena dengan dosis 500 mg/kgBB dapat ditoleransi dnegan
baik pada neonatus. Pada bayi prematur yang sangat kecil dapat diberikan dosis
750 mg/kgBB untuk mencapai dosis terapi dari Ig G dan dan perlu diulang
selama 2 – 3 minggu.
Imunoglobulin intravena terbukti efektif untuk mencegah infeksi awal
pada neonatus dan menurunkan masa perawatan pada bayi prematur dan berat
badan lahir sangat rendah, meskipun tidak menurunkan angka kematian.
Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa imunoglobulin intravena
bermanfaat sebagai terapi tambahan dari antibiotik pada sepsis neonatal,
penelitian terbaru menyatakan bahwa imunoglobulin intravena bermanfaat bagi
bayi dengan berat lahir sangat rendah dengan kadar imunoglobulin rendah yang
menderita sepsis sebagai alternatif terapi dibanding terapi invasif lain.
Analisa perbandingan perlu dilakukan pada berbagai faktor resiko yang
berbeda seperti kondisi ibu, berat lahir, usia kehamilan, ras, nutrisi, rawatan
antenatal dan perinatal dan beberapa faktor lain. Sebagai tambahan perlu
kebutuhan dosis dan sumber dari imunoglobulin intravena perlu dibandingkan.
Sangat sulit untuk meenetukan manfaat dari imunoglobulin intravena pada
infeksi neonatal bila penelitian serupa belum dilakukan.

b. Infeksi Virus
Neonatus dengan resiko tinggi infeksi saluran nafas atas diberikan
imunoglobulin intravena, sehingga mempunyai kadar antibodi yang cukup
tinggi untuk melawan virus respiratory synctial pada beberapa penelitian
multisenter. Tetapi belum ditemukan efek terapi penting imunoglobulin
intravena pada infeksi melawan virus respiratory synctial dari penelitian multi
senter ini.

c. Otitis Media (Radang Telinga Tengah)


Pada penelitian, pasien dengan defisiensi IG G2 imunoglobulin terapi
diberikan pada anak dengan otitis media rekuren. Anak yang mendapat terapi
imunoglobulin lebih jarang sakit daripada kelompok plasebo. Walaupun tidak
terdapat perbedaan jumlah kejadian infeksi pada kedua kelompok.

d. Penyakit Auto Imun


Pada trombositopenia berat setelah pemberian imunoglobulin terapi
terjadi peningkatan jumlah trombosit yang cukup signifikan. Pada penyakit ITP
akut biasanya dapat sembuh sendiri dan tidak perlu terapi tetapi pada penyakit
ITP kronik yang bertahan sampai lebih dari 6 bulan pemberian imunoglobulin
dosis tinggi 0,5 – 1 gram/kgBB/ hari selama 2 hari direkomendasikan sebagai
terapi. Dengan mekanisme kerja imunoglobulin intravena berkompetisi
memblok Fc reseptor pada sel retikuloendotelial sehingga tidak terjadi destruksi
terhadap sel platelet oleh sistem autoantibodi.
GBS (Guillain Barre Syndrome) adalah suatu penyakit autoimun yang
menimbulkan peradangan dan kerusakan meilin akut pada saraf perifer.
Penyakit GBS ini umumnya didahului oleh adanya infeksi. Manifestasi klinis
dari GBS adalah adanya kelemahan motoris yang progresif pada anggota gerak
serta reflek yang menurun atau menghilang. Kelemahan motoris tersebut dapat
disertai dengan atau tanpa gejala sensorik atau otonom. Terapi kausatif pada
pasien GBS dilakukan dengan cara pemberian imunoterapi seperti
immunoglobulin intravena dan Plasma Exchange yang bertujuan untuk
mengatasi penyebab autoimun pada pasien GBS. Penggunaan immunoglobulin
intravena dikatakan aman dan efektik dalam pengobatan penyakit GBS yang
parah dan dapat digunakan untuk seumur hidup. Pemberian imunoglobulin
dapat memberikan hasil berupa perbaikan fungsi motoric yang signifikan pada
pasien GBS sampai sekitar 55%.

e. Penyakit Kawasaki
Penyakit Kawasaki ditandai dengan demam persisten selama lebih dari
lima hari pada anak usia kurang dari 4 tahun disertai dengan demam
berlangsung selama 5 hari atau lebih, kemerahan pada mata, tangan, kaki,
mulut, dan lidah, ruam dan pembengkakan kelenjar di leher. Penyakit ini
merupakan penyakit yang dapat sembuh sendiri tetapi aneurisma koroner
merupakan komplikasi yang serius pada 25% pasien dan dapat mengantarkan
pada kematian. Imunoglobulin intravena pertama kali digunakan oleh Furusho
pada pasien dengan penyakit Kawasaki. Manfaat dari imunoglobulin intravena
adalah mengurangi terjadinya aneurisma arteri koroner secara bermakna
dengan cara mengurangi inflamasi yang terjadi. Telah ada sekitar 300 publikasi
termasuk controlled trial dan Cochrane review untuk penggunaan IVIG pada
Kawasaki.
Rekomendasi penggunaan adalah 2 gram/kgBB imunoglobulin
intravena sebagai dosis tunggal bersama dengan pemberian aspirin 80 – 1
mg/kgBB/ hari. Dosis ini sama efektif dengan pemebrian 400mg/kgBB/hari
aspirin selama 4 hari. Dengan efek lebih cepat menurunkan demam, proses
inflamasi, angka leukosit. Pada beberapa kasus anak mengalami demam setelah
24 jam masa pemulihan, pada kasus seperti ini dianjurkan untuk diberikan
kembali dosis kedua imunoglobulin intravena oleh karena demam merupakan
faktor resiko terjadinya aneurisma.

2.4 Adverse Reaction (Efek Samping)


Banyak orang yang memiliki kepekaan berlebihan (hipersensitivitas) terhadap
protein asing hewani, yang mengakibatkan timbulnya anafilaksis (tanpa perlindungan) bila
diinjeksi dengan sediaan yang mengandung protein ini. Juga terdapat kepekaan bawaan
(idiosinkrasi) terhadap produk metabolism bakteri. Kuda dan kelinci adalah hewan
terbanyak digunakan untuk pembuatan immunoglobulin. Suatu injeksi dengan serum yang
mengandung immunoglobulin ini dapat membuat seseorang peka terhadap komponen
darah tersebut. Injeksi selanjutnya dengan serum tersebut dapat menyebabkan alergi,
seperti serum sickness (demam, nyeri di persendian) atau shock anafilaktis.
Efek samping dari pemberian imunoglobulin terjadi pada 5% pasien. Efek samping
yang muncul seperti nyeri kepala, menggigil, nyeri sendi, pusing, mual, lelah, nyeri otot,
nyeri punggung, peningkatan tekanan darah pada pasien dengan resiko hipertensi. Pasien
dengan imunoglobulin defisiensi primer yang belum pernah mendapat imunoglobulin
intravena mempunyai resiko lebih tinggi menderita efek samping dari pada pasien yang
sudah sering mendapat terapi imunoglobulin teratur. Reaksi ringan dapat muncul setelah
30 menit pemberian imunoglobulin intravena dan berkurang setelah infus dihentikan.
Meningitis aseptik akut dengan pleositosis dari cairan serebrospinal dapat muncul
48 – 72 jam setelah pemberian imunoglobulin. Gejala yang timbul dapat menghilang secara
spontan atau dapat dikurangi dengan pemberian obat NSAID. Gejala dari efek samping ini
tidak akan muncul pada pemberian imunoglobulin intravena berikutnya meskipun
memakai produk dari pabrik yang berbeda. Sangat jarang dijumpai reaksi anafilaktoid pada
jam pertama pemberian imunoglobulin. Anafilaksis berhubungan dengan terjadinya
sensitisasi Ig A pada pasien dengan defisiensi Ig A. Yang dapat dicegah dengan pemberian
Imunoglobulin dengan kadar Ig A rendah meskipun keberadaan Ig G anti Ig A tidak selalu
berhubungan dengan munculnya efek samping dari imunoglobulin.
Pada pasien yang sudah tua dengan diabetes atau gangguan fungsi ginjal
mempunyai resiko terjadi gagal ginjal oleh karena terdapat peningkatan serum kreatinin
dua sampai lima hari setelah pemberian infus imunoglobulin. Gagal ginjal berhubungan
dengan kerusakan tubular ginjal yang dirangsang oleh sukrosa dari sediaan imunoglobulin.
Oleh karena itu disarankan perlunya monitor ketat fungsi ginjal pada pemberian
imunogobulin. Faktor resiko terjadinya transmisi antigen asing melalui sediaan
imunoglobulin intravena juga telah lama diteliti. Untuk memastikan keamanan, maka
plasma donor imunoglobulin telah diskrining untuk penularan virus Hepatitis C, Hepatitis
B, HIV.
BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
Immunoglobulin intravena sejak pertama digunakan sebagai terapi pada pengobatan
idiopatik trombositopeni purpura terdapat kemajuan pesat dari penggunaan immunoglobulin
sebagai imunomodulator. Mekanisme kerjanya cukup kompleks termasuk modulasi dari
reseptor Fc, terlibatnya aktivasi komplemen dan sitokin kompleks, meregulasi pertumbuhan
sel dan efek terhadap aktivasi, diferensiasi dari sel T dan sel B.
Efek terapi dari immunoglobulin yaitu mempertahankan keseimbangan system imun
seperti pada orang normal. Immunoglobulin intravena bermanfaat untuk beberapa penyakit
tetapi hanya beberapa penyakit yang telah disetujui sebagai indikasi penggunaan
immunoglobulin. Keseluruhan hasil dari konsensus indikasi penggunaan immunoglobulin
intravena sebagai standar terapi.
3.2 SARAN
Dalam pembuatan makalah ini kami sadar bahwa makalah ini masih banyak
kekurangan dan masih jauh dari kesemurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran dari pembaca
sangatlah kami perlukan agar dalam pembuatan makalah selanjutnya akan lebih baik dari
sekarang dan kami juga berharap, setelah membaca makalah ini kita menjadi lebih mengetahui
tentang immunoglobulin intravena.
DAFTAR PUSTAKA

Tjay, Tan Hoan. dkk. 2008. Obat-Obat Penting Khasiat, Penggunaan, dan Efek-Efek
Sampingnya (Edisi Keenam). Jakarta : PT Elex Media Komputindo
Masyrifah, Mas. 2015. Pola Penggunaan Imunoglobulin Intravena Pada Pasien Guillain –
Barre Syndrome (GBS). Perpustakaan Universitas Airlangga.
https://scholar.google.co.id/scholar?hl=id&as_sdt=0,5&as_ylo=2015&q=imunoglobulin+intravena -
d=gs_qabs&u=%23p%3DEjNGpG21wiIJ (03 Desember 2019)
Murray, Robert. dkk. 2012. Biokimia Harper Ed. 22. Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai