Anda di halaman 1dari 26

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................................i


DAFTAR ISI............................................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ..................................................................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah ................................................................................................................ 2
1.3. Tujuan .................................................................................................................................. 3
BAB II PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Hiv/Aids ............................................................................................................. 4
2.2. Klasifikasi Hiv/Aids............................................................................................................. 4
2.3. Patofisiologi ....................................................................................................................... 11
2.4. Etiologi ............................................................................................................................... 16
2.5. Penatalaksanaan ................................................................................................................. 17
2.6. Pencegahan Hiv/Aids ......................................................................................................... 22
BAB III TELAAH JURNAL
3.1. Analisis Jurnal.................................................................................................................... 24
3.2. PICO .................................................................................................................................. 25
3.3. Hasil Telaah Jurnal ............................................................................................................ 29
BAB IV PENUTUP
4.1. Kesimpulan ....................................................................................................................... 31
4.2. Saran .................................................................................................................................. 31
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 32
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penyakit AIDS (Aquired Immune Deficiency) adalah sekumpulan gejala atau infeksi
yang timbul karena rusaknya sistem kekebalan tubuh manusia akibat infeksi virus HIV
(Human Immunodeficiency Virus). HIV dapat memperlemah kekebalan tubuh manusia.
Orang yang terkena virus ini akan menjadi rentan terhadap infeksi oportunistik seperti
TBC ataupun mudah terkena tumor (Anonim, 2006).
Secara global 2016 jurnal orang dengan HIV/AIDS (ODHA) ada 36,7 juta dengan 2,2
juta kasus HIV dan sekitar 1,5 juta orang meninggal karena AIDS. Kasus HIV di Asia
Tenggara dari tahun 2000-2015 terus mengalami peningkatan, dari 2,9 juta menjadi 3,5
juta penderita (UNAIDS,2016).
Sigma terhadap HIV/AIDS masih cukup tinggi. Tidak mudah bagi masyarakat untuk
menerima penderita HIV/AIDS hidup secara normal di tengah-tengah mereka. Ketakutan
akan terjadinya penularan serta keyakinan bahwa penderita akan memberikan kesialan
pada likungan mereka, merupakan tantangan dalam menangani dampak sosial HIV/AIDS.
Anak-anak penderita HIV/AIDS tentukan akan dirugikan manakah mereka ditolak di
sekolah-sekolah karena ketakutan guru akan penularan virus. Namun apabila status HIV
mereka tidak disampaikan, maka tidak menutup kemungkkinan anak-anak lain disekolah
tersebut akan terancam tertular melalui transmisi darah walaupun hal tersebut tidak
mudah. Sementara pada isu HIV/AIDS jelas, anank adalah korban karena mereka telah
membawa virus ini sejak dilahirkan. Namun mereka tidak dapat menikmati perlakuan
yang wajar dari lingkungannya karena menderita HIV positif (Spiritia, 2006)
Strategi dan kebijakan penanggulangan HIV/AIDS telah disusun dari tingkat global
hingga tingkat Kabupaten/Kota menuju pada paradigma zero new infection, zero AIDS-
related death dan zero discrimination (WHO,2017). Program penanggulangan AIDS di
Indonesia mempunyai 4 pilar, yaitu pencegahan (prevention); Perawatan, Dukungan, dan
Pengobatan (PDP); mitigasi dampak berupa dukungan psikososio-ekonomi; serta
penciptaan lingkungan yang kondusif (creating enabling environment) (Kementrian
Kesehatan Republik Indonesia, 2015).
Virus HIV dapat ditularkan melalui hubungan seksual, penggunaan jarum suntik
secara bersama (pengguna narkotik), serta melaui transfusi darah. Dalam beberapa kasus,
bayi yang baru dilahirkan dapat pula tertular bila sang ibu mendrita HIV/AIDS. Meskipun
tingkat penyebaran HIV/AIDS di Indonesia tidaklah seluas di belahan dunia lainnya,
namun laju penyebaran HIV/AIDS di Indonesia harus di waspadai, mengingat jumlah
penderitanya senantiasa meningkat (Maruli, dkk, 2014)

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa yang dimaksud HIV/AIDS?
2. Bagaimana Klasifikasi HIV/AIDS?
3. Bagaimana patofisiologi HIV/AIDS?
4. Bagaimana etiologi HIV/AIDS?
5. Bagaimana cara pengobatan HIV/AIDS?
6. Bagaimana cara pencegahan HIV/AIDS?

1.3 Tujuan Masalah


1. Untuk mengetahui apa itu HIV/AIDS
2. Untuk mengetahui klasifikasi HIV/AIDS
3. Untuk mengetahui patofisiologi HIV/AIDS
4. Untuk mengetahui etiologi HIV/AIDS
5. Untuk mengetahui cara pengobatan HIV/AIDS
6. Untuk mengetahui cara pencegahan HIV/AIDS
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian HIV/AIDS


Penyakit AIDS (Aquired Immune Deficiency) adalah sekumpulan gejala atau
infeksi yang timbul karena rusaknya sistem kekebalan tubuh manusia akibat
infeksi virus HIV (Human Immunodeficiency Virus). HIV dapat memperlemah
kekebalan tubuh manusia. Orang yang terkena virus ini akan menjadi rentan
terhadap infeksi oportunistik seperti TBC ataupun mudah terkena tumor (Anonim,
2006).
Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan Acquired Immune Deficiency
Syndrom (AIDS) merupakan permasalahan kesehatan yang cukup besar di
Indonesia. Selain itu HIV/AIDS merupakan permasalahan kesehatan masayarakat
yang sangat penting di beberapa negara dan bahkan memiliki dampak yang
bersifat internasional (global). HIV/AIDS terjadi pada setiap periode umur, tidak
hanya pada kelompok tertentu tetapi terjadi juga pada dewasa muda dan anak-
anak dan juga pada kelompok yang dianggap tidak berisiko.
Acquired Immunodeficiency Syndrom (AIDS) adalah sekumpulan gejala dan
infeksi yang timbul karena rusaknya sistem kekebalan tubuh manusia akibat
infeksi virus HIV.
Acquired Immunodeficiency Syndrom (AIDS) adalah kumpulan gejala penyakit
akibat menurunnya kekebalan tubuh secara bertahap yang disebabkan oleh
infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV).

2.2 Klasifikasi HIV/AIDS

Manifestasi klinis infeksi bervariasi antara bayi, anak-anak dan remaja.


Pada kebanyakan bayi pemeriksaan fisik biasanya normal. Gejala inisial dapat
sangat sedikit, seperti limfadenopati, hepatosplenomegali, atau yang tidak spesifik
seperti kegagalan untuk tumbuhm diare rekuren atau kronis, pneumonia
interstitial. Di Amerika dan Eropa sering terjadi gangguan paru-paru dan sistemik,
sedangkan di Afrika lebih sering terjadi diare dan malnutrisi. (1)
Terdapat berbagai klasifikasi klinis HIV/AIDS 2 diantaranya menurut
enter for Disease Control and Prevention (CDC) dan World Health Organization
(WHO).

Klasifikasi HIV menurut CDC pada anak menggunakan 2 parameter yaitu status
klinis dan derajat gangguan imunologis, lihat tabel 2.1 dan tabel 2.2.
KATEGORI IMUNOLOGIS
JUMLAH CD4+ DAN PERSENTASI TOTAL LIMFOSIT
EFINISI STATUS
TERHADAP USIA
IMUNOLOGIS
<> 1-5 tahun 6-12 tahun
µL % µL % µL %
1. Nonsuppressed ≥ 1500 ≥ 25 ≥ 1000 ≥ 25 ≥ 500 ≥ 25
2. Moderate suppression 750-1499 15-24 500-999 15-24 200-499 15-24
3. Severe suppression <> <15 <> <15 <> <15

Tabel 1 Klasifikasi HIV pada Anak Kurang dari 13 Tahun Berdasarkan Jumlah CD4 dan
Persentasi Total Limfosit Terhadap Usia
Klasifikasi Secara Klinis
N : Tanpa A : Gejala B : Gejala C : Gejala
DEFINISI STATUS
Gejala dan dan dan
IMUNOLOGIS
dan Tanda Tanda Tanda
Tanda Ringan Sedang Berat
1. Nonsuppressed N1 A1 B1 C1
2. Moderate suppression A2 C2 B2 C2
3. Severe suppression A3 C3 B3 C3

Tabel 2 Klasifikasi HIV menurut CDC pada Anak Kurang dari 13 Tahun Secara Klinis

Kriteria klinis untuk infeksi HIV pada anak-anak kurang dari 13 tahun.

Kategori N : pasien-pasien asimptomatik. Tidak ditemukan tanda maupun


gejala yang menunjukkan adanya infeksi HIV, atau pasien hanya dapat ditemukan
satu bentuk kelainan berdasarkan kategori A.
 Kategori A : pada pasien dapat ditemukan dua atau lebih kelainan, tetapi tidak
termasuk kategori B atau C :
 Lymphadenopathy (≥ 0.5 cm pada dua tempat atau lebih, dua KGB yang
bilateral dianggap sebagai satu kesatuan).
 Hepatomegali
 Splenomegali
 Dermatitis
 Parotitis
 URTI berulang atau persisten

Kategori B: moderately symptomatic. Pasien menunjukkan gejala-gejala yang


tidak termasuk ke dalam keadaan-keadaan pada kategori A maupun C, dan gejala-
gejala yang terjadi merupakan akibat dari terjadinya infeksi HIV

 Anemia
 Meningitis bakterial, pneumonia, atau sepsis (terjadi dalam satu episode).
 Candidiasis orofaring yang terjadi lebih dari dua bulan pada anak-anak berusia
enam bulan atau kurang.
 Kardiomiopati.
 Infeksi CMVyang terjadi lebih dari satu bulan.
 Diare
 Hepatitis
 Stomatitis yang disebabkan oleh HSV (rekuren, minimal terjadi 2 kali dalam
satu tahun).
 Bronkitis yang disebabkan oleh HSV, pneumonitis, atau esofagitis yang terjadi
sebelum usia satu bulan.
 Herpes zoster yang terjadi dalam dua episode berbeda pada satu dermatom.
 Leiomyosarcoma
 Pneumonia limfoid interstitiel, atau hiperplasia kelenjar limfoid pulmonal
kompleks.
 Nefropati.
 Nocardiosis.
 Demam yang berlangsung selama satu bulan atau lebih.
 Toksoplasmosis yang timbul sebelum usia satu bulan.
 Varicella diseminata atau dengan komplikasi.

Kategori C: pasien-pasien dengan gejala-gejala penyakit yang parah dan


ditemukan pada pasien AIDS.

 Kandidiasis bronki, trakea, dan paru


 Kandidiasis esofagus
 Kanker leher rahim invasif
 Coccidiomycosis menyebar atau di paru
 Kriptokokus di luar paru
 Retinitis virus sitomegalo
 Ensefalopati yang berhubungan dengan HIV
 Herpes simpleks dan ulkus kronis > 1 bulan
 Bronkhitis, esofagitis dan pneumonia
 Histoplasmosis menyebar atau di luar paru
 Isosporiasi intestinal kronis > 1 bulan
 Sarkoma Kaposi
 Limfoma Burkitt
 Limfoma imunoblastik
 Limfoma primer di otak
 Mycobacterium Avium Complex (MAC) atau M. Kansasii tersebar di luar paru
 M. Tuberculosis dimana saja
 Ikobacterium jenis lain atau jenis yang tidak dikenal tersebar atau di luar paru
 Pneumonia Pneumoncystitis carinii
 Pneumonia berulang
 Leukoensefalopati multifokal progresif
 Septikemia salmonella yang berulang
 Toksoplasmosis di otak

Sedangkan klasifikasi WHO pada anak ialah :

Stadium Klinis 1
 Tanpa gejala (asimtomatis)
 Limfadenopati generalisata persisten

Stadium Klinis 2 (Ringan)

 Hepatosplenomegaly persisten tanpa alasani


 Erupsi papular pruritis
 Infeksi virus kutil yang luas
 Moluskum kontagiosum yang luas
 Infeksi jamur di kuku
 Ulkus mulut yang berulang
 Pembesaran parotid persisten tanpa alasan
 Eritema lineal gingival (LGE)
 Herpes zoster
 Infeksi saluran napas bagian atas yang berulang atau kronis (ototis media,
otore, sinusitis, atau tonsilitis)

Stadium Klinis 3 (Sedang)

 Malanutrisi sedang tanpa alasan jelas tidak membaik dengan terapi baku
 Diare terus-menerus tanpa alasan (14 hari atau lebih)
 Demam terus-menerus tanpa alasan (di atas 37,5°C, sementara atau terus-
menerus, lebih dari 1 bulan)
 Kandidiasis oral terus-menerus (setelah usia 6-8 minggu)
 Oral hairy leukoplakia (OHL)
 Gingivitis atau periodonitis nekrotising berulkus yang akut
 Tuberkulosis pada kelenjar getah bening
 Tuberkulosis paru
 Pneumonia bakteri yang parah dan berulang
 Pneumonitis limfoid interstitialis bergejala
 Penyakit paru kronis terkait HIV termasuk brokiektasis
 Anemia (<8g/dl)

Stadium Klinis 4 (Berat)


 Toksoplasmosis sistem saraf pusat (setelah usia 1 bulan)
 Ensefalopati HIV
 Infeksi sitomegalovirus: retinitis atau infeksi CMV yang mempengaruhi
organ lain, yang mulai pada usia lebih dari 1 bulan)
 Kriptokokosis di luar paru (termasuk meningitis)
 Mikosis diseminata endemis (histoplasmosis luar paru, kokidiomikosis)
 Kriptosporidiosis kronis
 Isosporiasis kronis
 Infeksi mikobakteri non-TB diseminata
 Limfoma serebral atau non-Hodgkin sel-B
 Progressive multifocal leucoencephalopathy (PML)
 Nefropati bergejala terkait HIV atau kardiomiopati bergejala terkait HIV

2.3 Patofisiologi HIV/AIDS


Sistem imun manusia sangat kompleks, kerusakan pada salah satu
komponen sistem imun akan mempengaruhi sistem imun secara keseluruhan. HIV
menginfeksi sel T helper yang memiliki reseptor CD4 di permukaannya,
makrofag, sel dendritik, organ limfoid. Fungsi penting sel T helper antara lain
menghasilkan zat kimia yang berperan sebagai stimulasi pertumbuhan dan
pembentukan sel-sel lain dalam sistem imun dan pembentukan antibodi, sehingga
penurunan sel T CD4 menurunkan imunitas dan menyebabkan penderita mudah
terinfeksi.
Ketika HIV masuk melalui mukosa, sel yang pertama kali terinfeksi ialah sel
dendritik. Kemudian sel-sel ini menarik sel-sel radang lainnya dan mengirim
antigen tersebut ke sel-sel limfoid. HIV mempunyai target sel utama yaitu sel
limfosit T4, yang mempunyai reseptor CD4. Setelah masuk ke dalam tubuh, HIV
akan menempel pada sel yang mempunyai molekul CD4 pada permukaannya.
Molekul CD4 ini mempunyai afinitas yang sangat besar terhadap HIV, sehingga
limfosit CD4 dihasilkan dan dikirim ke sel limfoid yang peka terhadap infeksi
HIV. Limfosit-limfosit CD4 yang diakumulasikan di jaringan limfoid akan
tampak sebagai limfadenopati dari sindrom retrovirus akut yang dapat terlihat
pada remaja dan orang dewasa. HIV akan menginfeksi sel CD4 yang sangat
berespon terhadapnya sehingga kehilangan respon dan kontrol pertumbuhan
terhadap HIV. Ketika replikasi virus melebihi batas (biasanya 3-6 minggu sejak
infeksi) akan terjadi viremia yang tampak secara klinis sebagai flulike syndrome
(demam, rash, limfadenopati, atrhralgia) terjadi 50-70% pada orang dewasa.
Dengan terbentuknya respon imun humoral dan seluler selama 2-4 bulan, muatan
virus dalam darah mengalami penurunan secara substansial, dan pasien memasuki
masa dengan gejala yang sedikit dan jumlah CD4 yang meningkat sedikit.
Replikasi HIV-1 permulaan pada anak tidak menunjukkan adanya
manifestai klinis pada anak. Walaupun di tes dengan menggunakan PCR atau
isolasi virus untuk sequence asam nukleat dari virus, hanya <>(1).
Beberapa mekanisme yang diduga berhubungan dengan turunnya kadar
CD4 pada orang dewasa dan anak-anak ialah mekanisme-mekanisme dari HIV-
mediated single cell killing, formasi multinukleus dari sel giant pada CD4 baik
yang terinfeksi maunpun yang tidak (formasi syncytia), respon imun spesifik
untuk virus (sel natural killer, sitotoksisitas seluer tergantung antibodi), aktivasi
mediasi superantigen sel T (membuat sel T lebih peka terhadap HIV), autoimun
dan apoptosis.
Tiga pola penyakit ditemukan pada anak-anak. Tepatnya 15-25% bayi baru
lahir yang terinfeksi HIV pada negara berkembang muncul dengan perjalanan
penyakit yang cepat, dengan gejala dan onset AIDS dalam beberapa bulan
pertama kehidupan, median waktu ketahanan hidup ialah 9 bulan jika tidak
diobati. Pada negara miskin, mayoritas bayi baru lahir akan mengalami perjalanan
penyakit seperti ini. Telah diketahui bahwa infeksi intrauterin bertepatan dengan
periode pertumbuhan cepat CD4 pada janin. Migrasi yang normal dari sel-sel ini
menuju ke sumsum tulang, limpa, dan timus yang menghasilkan penyebaran
sistemik HIV, tidak dapat dicegah oleh sistem imun yang imatur dari janin. Infeksi
dapat terjadi sebelum pembentukan ontogenik normal sel imun, yang
mengakibatkan gangguan dari imunitas. Anak-anak dengan keadaan seperti ini
menunjukkan hasil tes PCR yang positif (nilai median 11.000 kopi/ml) pada 48
jam pertama kehidupan. Bukti ini menunjukkan terjadinya infeksi inuterin.
Muatan virus akan terus meningkat dalam 2-3 bulan (750000kopi/ml) dan
menurun secara perlahan. Berbeda dengan orang dewasa bahwa muatan virus
pada anak-anak tetapi tinggi selama 1-2 tahun pertama.
Infeksi perinatal mayoritas yang terjadi di negara berkembang (60-80%)
mengalami pola penyakit yang kedua ini, yang mempunyai perjalanan penyakit
yang lebih lambat, dengan median ketahanan hidup selama 6 tahun. Banyak
pasien dengan penyakit ini memiliki tes kultur yang negatif dalam 1 minggu
pertama kehidupan dan dipertimbangkan sebagai pasien bayi yang terinfeksi
intrapartum. Pada pasien mauatn virus akan meningkat dengan cepat dalam 2-3
bulan pertama kehidupan (median 100.000 kopi/ml) dan menurun secara lambat
setelah 24 bulan. Ini berbeda dengan orang dewasa dimana muatan virus
berkurang dengan cepat setelah infeksi primer.
Pola ketiga dari perjalanan penyakit (long-term suvivors) muncul dalam
jumlah kecil (<5%) style="">host, dan infeksi virus yang cacat (adanya defek
pada gen virus).
Perubahan sistem imun anak-anak karena infeksi HIV akan menyerupai
infeksi HIV pada orang dewasa. Penurunan sel T akan kurang dramatis
disebabkan karena pada bayi terjadi limfositosis relatif. Sebagai contoh, jumlah
CD4 1.500 sel/mm3 pada anak <1> (1).
Aktivasi sel B muncul pada infeksi awal pada kebanyakan anak sebagai
bukti hipergammaglobulinemia dengan kadar antibodi anti-HIV-1 yang tinggi.
Respon ini memperlihatkan adanya disregulasi dari supresi sel T dari sintesis
antibodi sel B dan peningkatan jumlah CD4 aktif dari respon humoral sel limfosit
B. Disregulasi dari sel B mendahului berkurangnya CD4 pada kebanyaka anak,
dan dapat berguna sebagai alat bantu diagnosis infeksi HIV pengganti bila tes
diagnosis spesific (PCR, kultur) tidak ada atau terlalu mahal. Meskipun
peningkatan kadar imunoglobulin, bukti dari produksi antibodi spesifik tidak
muncul pada beberapa anak. Hipogamaglobulinemia sangat jarang.
Pengaruh terhadap sistem saraf pusat lebih sering terjadi pada anak-anak
dibandingkan orang dewasa. Makrofag dan mikroglia mempunyai peran penting
dalam dalam neuropatogenesis HIV, dan dari data dilaporkan astrosit juga dapat
berpengaruh. Meskipun mekanisme pada sistem saraf pusat belum begitu jelas,
pertumbuhan otak pada bayi muda dipengaruhi 2 mekanisme, yaitu virus itu
sendiri yang dapat menginfeksi bermacam-macam sel otak secara langsung ,atau
secara tidak langsung dengan cara mengeluarkan sitokin (IL-1α, IL-1 , TNF- α,
IL-2) atau oksigen reaktif dari limfosit atau makrofag yang terinfeksi HIV.
a. Pathway
Perjalanan alamiah infeksi HIV dapat dibagi dalam tahapan sebagai berikut :

Infeksi virus
(2-3 minggu)

Sindrom retroviral akut


(2-3 minggu)

Gejala menghilang + serokonversi

Infeksi kronis HIV-asimtomatik


(rata-rata 8 tahun)

Infeksi HIV/AIDS simtomatik


(rata-rata 1,3 tahun)

kematian

Bagan 1 Perjalanan penyakit alamiah infeksi HIV(7)

Infeksi virusKejadian awal yang timbul setelah infeksi HIV disebut


Sindrom retroviral akut atau Acute Retroviral Syndrome. Sindrom retroviral
akut diikuti oleh penurunan CD4 dan peningkatan kadar RNA HIV dalam
plasma (viral load). Hitung CD4 perlahan-lahan akan menurun dalam
beberapa tahun dengan laju penurunan CD4 yang lebih cepat pada 1,5-2,5
tahun sebelum pasien jatuh dalam keadaan AIDS. Viral load akan meningkat
dengan cepat pada awal infeksi dan kemudian turun sampai titik tertentu.
Dengan berlanjutnya infeksi, viral load secara perlahan akan meningkat. Pada
fase akhir penyakit akan ditemukan hitung sel CD4<200/mm3, diikuti
timbulnya infeksi opportunistik, munculnya kanker tertentu, berat badan
menurun, dan munculnya komplikasi neurologis. Tanpa obat ARV rata-rata
kemampuan bertahan setelah CD4 turun <>3 ialah 3,7 tahun.
Window period adalah masa dimana pemeriksaan tes serologis untuk
antibodi HIV masih menunjukka hasil negatif sementara sebenarnya virus
sudah ada dalam jumlah banyak dalam darah penderita. Window period
menjadi hal yang penting untuk diperhatikan karena pada masa itu orang
dengan HIV sudah mampu menularkan kepada orang lain misalnya melalui
darah yang didonorkan, bertukar jarum suntik pada IDU atau melalui
hubungan seksual. Sebenarnya pada saat itu pemeriksaan laboratorium telah
mampu mendeteksinya karena pada window period terdapat peningkatan kadar
antigen p24 secara bermakna.

2.4 Etiologi HIV/AIDS


Virus penyebab defisiensi imun yang dengan nama Human Immunodeficiency
Virus (HIV) adalah suatu virus RNA dari famili Retrovirus dan subfamili
Lentiviridae. Sampai sekarang baru dikenal dua serotype HIV yaitu HIV-1 dan
HIV-2 yang juga disebut lymphadenopathy associated virus type-2 (LAV-2) yang
hingga kini hanya dijumpai pada kasus AIDS atau orang sehat di Afrika,dan
spektrum penyakit yang ditimbulkannya belum banyak diketahui. HIV-1, sebagai
penyebab sindrom defisiensi imun (AIDS) tersering, dahulu dikenal juga sebagai
human T cell-lymphotropic virus type III (HTLV-III), lymphadenipathy-
associated virus (LAV) dan AIDS-associated virus.
Virus ini pertama kali diisolasi oleh Montagnier dan kawan-kawan di Prancis
pada tahun 1983 dengan nama Lymphadenopathy Associated Virus (LAV),
sedangkan Gallo di Amerika Serikat pada tahun 1984 mengisolasi (HIV) III.
Kemudian atas kesepakatan internasional pada tahun 1986 nama virus dirubah
menjadi HIV.
Human Immunodeficiency Virus adalah sejenis Retrovirus RNA. Dalam
bentuknya yang asli merupakan partikel yang inert, tidak dapat berkembang atau
melukai sampai ia masuk ke sel target. Sel target virus ini terutama sel Lymfosit
T, karena ia mempunyai reseptor untuk virus HIV yang disebut CD-4. Didalam sel
Lymfosit T, virus dapat berkembang dan seperti retrovirus yang lain, dapat tetap
hidup lama dalam sel dengan keadaan inaktif. Walaupun demikian virus dalam
tubuh pengidap HIV selalu dianggap infectious yang setiap saat dapat aktif dan
dapat ditularkan selama hidup penderita tersebut.
Secara mortologis HIV terdiri atas 2 bagian besar yaitu bagian inti (core) dan
bagian selubung (envelop). Bagian inti berbentuk silindris tersusun atas dua
untaian RNA (Ribonucleic Acid). Enzim reverce transcriptase dan beberapa jenis
prosein. Bagian selubung terdiri atas lipid dan glikoprotein (gp 41 dan gp 120).
Gp 120 akan berikatan dengan reseptor CD4, yaitu suatu reseptor yang terdapat
pada permukaan sel T helper, makrofag, monosit, sel-sel langerhans pada kulit,
sel-sel glial, dan epitel usus (terutama sel-sel kripta dan sel-sel enterokromafin).
Sedangkan gp 41 atau disebut juga protein transmembran, dapat bekerja sebagai
protein fusi yaitu protein yang dapat berikatan dengan reseptor sel lain yang
berdekatan sehingga sel-sel yang berdekatan tersebut bersatu membentuk
sinsitium. Karena bagian luar virus (lemak) tidak tahan panas, bahan kimia, maka
HIV termasuk virus sensitif terhadap pengaruh lingkungan seperti air mendidih,
sinar matahari dan mudah dimatikan dengan berbagai disinfektan seperti eter,
aseton, alkohol, jodium hipoklorit dan sebagainya, tetapi telatif resisten terhadap
radiasi dan sinar utraviolet.
Virus HIV hidup dalam darah, savila, semen, air mata dan mudah mati diluar
tubuh. HIV dapat juga ditemukan dalam sel monosit, makrotag dan sel glia
jaringan otak.

2.5 Penatalaksanaan HIV/AIDS


a. Terapi Anti Retroviral (ARV)
Terapi saat ini tidak dapat mengeradikasi virus namun hanya untuk
mensupres virus untuk memperpanjang waktu dan perubahan perjalanan
penyakit ke arah yang kronis. Pengobatan infeksi virus HIV pada anak dimulai
setelah menunjukkan adanya gejala klinis. Gejala klinis menurut klasifikasi
CDC. Pengobatan ARV diberikan dengan pertimbangan :

1. Adanya bukti supresi imun yang ditandai dengan menurunnya jumlah CD4
atau persentasenya.
2. Usia
3. Bagi anak berusia > 1 tahun asimtomatis dengan status imunologi normal,
terdapat 2 pilihan :
a. Awali pengobatan tidak bergantung kepada gejala klinis.
b. Tunda pengobatan pada keadaan resiko progresifitas perjalanan
penyakit rendah atau adanya faktor lain misalnya pertimbangan
lamanya respon pengobatan, keamanan dan kepatuhan.

Pada kasus seperti ini faktor lain yang harus dipertimbangkan ialah :

1. Peningkatan viral load


2. Penurunan dengan cepat CD4 baik jumlah atau presentasi supresi imun
(Kategori Imun 2 pada tabel 2.1)
3. Timbulnya gejala klinis

Keputusan untuk memberikan terapi antiretrovirus harus memenuhi kriteria


sebagai berikut :
1. Tes HIV secara sukarela disertai konseling yang mudah dijangkau untuk
mendiagnosis HIV secara dini.
2. Tersedia dana yang cukup untuk membiayai Anti Retrovirus Terapi (ART)
selama sedikitnya 1 tahun
3. Konseling bagi pasien dan pendamping untuk memberikan pengertian
tentang ART, pentingnya kepatuhan pada terapi, efek samping yang
mungkin terjadi, dll.
4. Konseling lanjutan untuk memberi dukungan psikososial dan mendorong
kepatuhan serta untuk menghadapi masalah nutrisi yang dapat timbul
akibat ART
5. Laboratorium untuk memantau efek samping obat termasuk Hb, tes fungsi
hati, dll.
6. Kemampuan untuk mengenal dan menangani penyakit umum dan infeksi
oportunistik akibat HIV
7. Tersedianya obat yang bermutu dengan jumlah yang cukup, termasuk obat
untuk infeksi oportunistik dan penyakit yang berhubungan dengan HIV.
8. Tersedianya tim kesehatan termasuk dokter, perawat, konselor, pekerja
sosial, dukungan sebaya. Tim ini seharusnya membantu pembentukan
kelompok dukungan Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) dan
pendampinya.
9. Adanya pelatihan, pendidikan berkelanjutan, pemantauan dan umpan balik
tentang penatalaksanaan penyakit HIV yang efektif termasuk sistem untuk
menyebarluaskan informasi dan pedoman baru.
10. Obat ARV digunakan secara rasional sesuai pedoman yang berlaku.
Perjalanan penyakit infeksi HIV dan penggunaan ART pada anak
adalah serupa dengan orang dewasa tetapi ada beberapa pertimbangan
khusus yang dibutuhkan untuk bayi, balita, dan anak yang terinfeksi HIV.
Efek obat berbeda selama transisi dari bayi ke anak. Oleh karena
itu dibutuhkan perhatian khusus tentang dosis dan toksisitas pada bayi dan
anak. Kepatuhan berobat pada anak menjadi tantangan tersendiri.
Terapi ARV memberi manfaat klinis yang bermakna pada anak yang
terinfeksi HIV yang menunjukkan gejala. Uji klinis terhadap anak sudah
menunjukkan bahwa ART memberi manfaat serupa dengan pemberian
ART pada orang dewasa.

Saat ini ada 3 (tiga) golongan ART yang tersedia di Indonesia:


1. Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors (NRTIs): Obat ini dikenal
sebagai analog nukleosida yang menghambat proses perubahan RNA virus
menjadi DNA. Proses ini diperlukan agar virus dapat bereplikasi. Obat
dalam golongan ini termasuk Zidovudine (AZT), Lamivudine (3TC),
Didanosine (ddl), Stavudine (d4T), Zalcitabin (ddC), Abacavir (ABC).
2. Non-Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors (NNRTI): obat ini
berbeda dengan NRTI walaupun juga menghambat proses perubahan RNA
menjadi DNA. Obat dalam golongan ini termasuk nevirapine (NVP),
Efavirenz (EFV), dan Delavirdine (DLV).
3. Protease Inhibitor (PI): Obat ini bekerja menghambat enzim protease
yang memotong rantai panjang asam amino menjadi protein yang lebih
kecil. Obat dalam golongan ini termasuk Indinavir (IDV), Nelfinavir
(NFV), Saquinavir (SQV), Ritonavir (RTV), Amprenavir (APV), dan
Lopinavir/ritonavir (LPV/r).
Regimen obat yang diusulkan di Indonesia ialah :

Salah satu dari Kolom A dan salah satu kombinasi dari


Kolom B
Kolom A Kolom B
Nevirapine (NVP) AZT + ddl
Nelfinavir (NVF) ddl+3TC
d4T + ddl
AZT + 3TC
d4T + 3TC

Tabel 2.3 Regimen ART yang diusulkan di Indonesia

Untuk neonatus, regimen obat yang diberikan berupa 2 nucleoside reverse


transcriptase inhibitors (NRTIs) atau nevirapine dengan 2NRTIs atau protease
inhibitor dengan 2NRTIs. Selain itu, juga direkomendasikan pemberian zidovudine
dengan didanosine atau zidovudine dengan lamivudine dikombinasi dengan nelfinavir
atau ritonavir. Untuk bayi-bayi yang lebih tua dan anak-anak, direkomendasikan
beberapa regimen antiretroviral. Protease inhibitor sebagai pilihan utama dengan
2NRTIs. Nonnucleoside reverse transcriptase inhibitor yang paling
direkomendasikan untuk anak-anak berusia lebih dari tiga tahun adalah 2NRTIs
dengan efavirenz (dapat disertai dengan atau tanpa protease inhibitor). Untuk anak-
anak berusia kurang dari tiga tahun yang belum dapat mendapat tablet, regimen
nonnucleoside terpiliih adalah 2NRTIs dengan nevirapine. Alternatif pemberian
regimen terapi nucleoside analogue adalah zidovudine dengan lamivudine dan
abacavir.

2.6 Pencegahan HIV/AIDS

Cara pencegahan ini bisa menggunakan prinsip ABCDE yang telah dilakukan
secara internasional sebagai cara efektif mencegah infeksi HIV/AIDS lewat
hubungan seksual.
A: Abstinence, tidak melakukan hubungan seksual
B: Be faithful, setia atau tidak berganti-ganti pasangan
C: Condom, gunakan condom untuk mencegah

D: Don’t use Drug, jangan menggunakan narkoba, terutama dengan cara


menggunakan jarum suntik bergantian.
E: Education dan Equipment, pendidikan/penyadaran informasi dan sterilisasi
peralatan yang digunakan seperti jarum suntik untuk transfuse darah.
Ada cara pencegahan yang lain seperti :

a) Perhatikan luka yang terbuka


Jika bekerja dengan pasien HIV, pastikan melindungi diri dengan sangat
hati-hati. Pencegahan HIV yang bisa di lakukan yaitu dengan
menggunakan pakaian yang diwajibkan oleh rumah sakit dan hati-hati
dengan segala luka terbuka yang dimiliki.

Terutama jika luka terbuka akan bersentuhan atau terkena kontak dengan
pasien HIV. Karena virus tersebut bisa menular melalui luka yang terbuka.

b) Lakukan vaksin
Pencegahan HIV selanjutnya adalah melakukan vaksin hepatitis A dan
hepatitis B, serta melakukan tes secara teratur sangat baik untuk
melindungi diri dari HIV.

c) Pre – exposure prophylaxis


PrEP merupakan metode pencegahan HIV dengan cara mengonsumsi
antiretroviral bagi mereka yang berisiko tinggi tertular HIV. Yaitu mereka
yang memiliki lebih dari satu pasangan seksual, memiliki pasangan dengan
HIV positif, menggunakan jarum suntik yang berisiko dalam 6 bulan
terakhir, atau mereka yang sering berhubungan seksual tanpa pengaman.
BAB III

TELAAH JURNAL

3.1.Analisis jurnal
No Nama Judul Metode pilihan Tujuan penelitian Waktu dan
peneliti tempat
1 Brian Eley, Antiretroviral Studi Untuk 1 Agustus
Mary-Ann treatment for retrospektif mengetahui 2002 – 31
Davies, Patti children yang respon anak Desember
Apolles, menggambarkan dalam satu tahun 2004
Carol ARV sektor pertama terhadap Red Cross
Cowburn, publik terapi War
Heloise program antiretroviral Memorial
Buys, Marco pengobatan Children’s
Zampoli, untuk anak-anak Hospital, a
Heather yang terinfeksi tertiary
Finlayson, HIV. Terapi referral
Spasina kombinasi tiga hospital
king, James kombinasi affiliated to
Nuttall terdiri dari 2 the
nukleosida University of
reverse Cafe Town
transcriptase
inhibitor
(NRTis) plus
nonnucleoside
reverse
transcriptase
inhibitor
(NNRTI) atau
protease
inhibitor (PI)
diberikan sesuai
dengan
rekomendasi
dosis pediatrik
konvensional.
2 Athiyah, Siti Pengaruh Rancangan non Untuk Agustus
Fatimah pemberian equivalent menganalisis 2018,
Pradigdo, ekstrak daun control group pengaruh Semarang
Suyatno jambu biji pemberian ekstrak
terhadap daun jambu biji
perubahan terhadap IMT
indeks masa pada ODHA di
tubuh pada KDS Arjuna Plus
orang dengan Semarang
HIV-AIDS
(Studi
kelompok
dukungan
sebaya arjuna
plus semarang)
3 Puspa Evektivitas Penelitian yang Untuk 1 Januari
Wardhani pemberian jus bersifat mengetahui 2016, di
dan Nurbani nanas dan jus eksperimental pengaruh Klinik
pepaya sebagai semu kandungan enzim Mawar
pendamping bromeilin dalam RSUD Dr.
ARV dalam buah nanas dan Abdul Aziz
meningkatkan kandungan enzim Singkawang
kadar CD papain dalam
buah pepaya
dalam
meningkatkan
kadar CD
penderita HIV

3.2.PICO
N Judul Tahu Penulis P I C O
o n
1. Antiretrovir 2002 Brian Aid Terapi 1.Jurnal 1.
al treatment - Eley, s kombinasi “PENGARUH pemberian
for children 2004 Mary- tiga PEMBERIAN ekstrak daun
Ann kombinasi EKSTRAK jambu biji
Davies, terdiri dari 2 DAUN JAMBU berpengaruh
Patti nukleosida BIJI terhadap
Apolles, reverse TERHADAP indeks masa
Carol transcriptase PERUBAHAN tubuh.
Cowburn inhibitor INDEKS MASA Kandungan
, Heloise (NRTis) plus TUBUH PADA flavonoid,
Buys, nonnucleosi ORANG tanin dan
Marco de reverse DENGAN HIV- fenolat
Zampoli, transcriptase AIDS (STUDI merupakan
Heather inhibitor KELOMPOK senyawa
Finlayso (NNRTI) DUKUNGAN yang
n, atau SEBAYA berperan
Spasina protease ARJUNA PLUS sebagai
king, inhibitor (PI) SEMARANG) “ antioksidan
James diberikan yang
Nuttall sesuai terbukti
dengan memiliki
rekomendasi aktivitas
dosis anti-HIV
pediatrik pada sel
konvensiona monosit
l. yang telah
Rencana terinfeksi
pemantauan kronis dan
termasuk kandungan
klinis minyak
bulanan atsiri yang
penilaian terkandung
untuk 6 dalam daun
bulan jambu biji
pertama dapat
terapi dan meningkatk
sesudahnya an nafsu
sebagian makan.
besar ulasan
3 bulanan,
baseline dan
jumlah CD4
6 bulanan
dan viral
load
2. Jurnal 2. Hasil
“EFEKTIVITAS penelitian
PEMBERIAN menunjukan
JUS NANAS adanya
DAN JUS perbedaan
PEPAYA kadar CD
SEBAGAI yang
PENDAMPING bermakna
ARV DALAM diantara
MENINGKATK sebelum dan
AN KADAR CD sesudah
pemberian
jus nanas
dan pepaya
pada
kelompok
intervensi.
Sedangkan
pada
kelompok
kontrol
menghasilka
n nilai
probabilitas
sebesar
0,867 (p
value >
0,05), yang
menunjukka
n tidak
adanya
perbedaan
kadar CD
yang
bermakna
diantara
sebelum dan
sesudah
perlakuan
pada
kelompok
kontrol.
Hasil
analisis ini
menunjukka
n bahwa
pemberian
jus annas
dan pepaya
sebagai
pendamping
ARV efektif
meningkatk
an kadar CD
pada
penderita
HIV. Sari
buah nanas
dengan
kandungan
enzim
bromelin-
nya ternyata
memiliki
potensi yang
besar
sebagai
jalan
aternatif
pengobatan
herbal,
untuk
mengurangi
kesakitan
penderita
penyakit
HIV.
3.3.Hasil telaah jurnal
3.3.1. Jurnal utama

Judul : Antiretroviral treatment for children

Hasil : ART dapat meningkatkan kesehatan banyak anak yang terinfeksi HIV
dengan penyakit lanjut, termasuk mereka yang berusia lanjut.

3.3.2. Jurnal pendamping

1. Pengaruh pemberian ekstrak daun jambu biji terhadap perubahan indeks


masa tubuh pada orang dengan HIV-AIDS (Studi kelompok dukungan
Hasil : pemberian ekstrak daun jambu biji berpengaruh terhadap indeks
masa tubuh. Kandungan flavonoid, tanin dan fenolat merupakan senyawa
yang berperan sebagai antioksidan yang terbukti memiliki aktivitas anti-
HIV pada sel monosit yang telah terinfeksi kronis dan kandungan minyak
atsiri yang terkandung dalam daun jambu biji dapat meningkatkan nafsu
makan.

2. Evektivitas pemberian jus nanas dan jus pepaya sebagai pendamping ARV
dalam meningkatkan kadar CD
Hasil : Hasil penelitian menunjukan adanya perbedaan kadar CD yang
bermakna diantara sebelum dan sesudah pemberian jus nanas dan pepaya
pada kelompok intervensi. Sedangkan pada kelompok kontrol
menghasilkan nilai probabilitas sebesar 0,867 (p value > 0,05), yang
menunjukkan tidak adanya perbedaan kadar CD yang bermakna diantara
sebelum dan sesudah perlakuan pada kelompok kontrol. Hasil analisis ini
menunjukkan bahwa pemberian jus annas dan pepaya sebagai pendamping
ARV efektif meningkatkan kadar CD pada penderita HIV. Sari buah nanas
dengan kandungan enzim bromelin-nya ternyata memiliki potensi yang
besar sebagai jalan aternatif pengobatan herbal, untuk mengurangi
kesakitan penderita penyakit HIV.
BAB IV
PENUTUP

4.1 KESIMPULAN
Acquired Immunodeficiency Syndrom (AIDS) adalah sekumpulan gejala dan
infeksi yang timbul karena rusaknya sistem kekebalan tubuh manusia akibat
infeksi virus HIV.
Acquired Immunodeficiency Syndrom (AIDS) adalah kumpulan gejala penyakit
akibat menurunnya kekebalan tubuh secara bertahap yang disebabkan oleh
infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV).

Antiretroviral treatment for children. ART dapat meningkatkan kesehatan


banyak anak yang terinfeksi HIV dengan penyakit lanjut, termasuk mereka yang
berusia lanjut.

1. Pengaruh pemberian ekstrak daun jambu biji terhadap perubahan indeks


masa tubuh pada orang dengan HIV-AIDS (Studi kelompok dukungan
Hasil : pemberian ekstrak daun jambu biji berpengaruh terhadap indeks
masa tubuh. Kandungan flavonoid, tanin dan fenolat merupakan senyawa
yang berperan sebagai antioksidan yang terbukti memiliki aktivitas anti-
HIV pada sel monosit yang telah terinfeksi kronis dan kandungan minyak
atsiri yang terkandung dalam daun jambu biji dapat meningkatkan nafsu
makan.

2. Evektivitas pemberian jus nanas dan jus pepaya sebagai pendamping ARV
dalam meningkatkan kadar CD
Hasil : Hasil penelitian menunjukan adanya perbedaan kadar CD yang
bermakna diantara sebelum dan sesudah pemberian jus nanas dan pepaya
pada kelompok intervensi. Sedangkan pada kelompok kontrol
menghasilkan nilai probabilitas sebesar 0,867 (p value > 0,05), yang
menunjukkan tidak adanya perbedaan kadar CD yang bermakna diantara
sebelum dan sesudah perlakuan pada kelompok kontrol. Hasil analisis ini
menunjukkan bahwa pemberian jus annas dan pepaya sebagai pendamping
ARV efektif meningkatkan kadar CD pada penderita HIV. Sari buah nanas
dengan kandungan enzim bromelin-nya ternyata memiliki potensi yang
besar sebagai jalan aternatif pengobatan herbal, untuk mengurangi
kesakitan penderita penyakit HIV.
4.2 SARAN
Dalam pembuatan makalah ini kami sadar bahwa makalah ini masih
banyak kekurangan dan masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik
dan saran dari pembaca sangatlah kami perlukan agar dalam pembuatan makalah
selanjutnya akan lebih baik dari sekarang dan kami juga berharap, setelah
membaca makalah ini kita menjadi lebih mengetahui tentang HIV/AIDS.
DAFTAR PUSTAKA

Ardhiyanti, Yulrina. dkk. 2015. Bahan Ajar AIDS Pada Asuhan Kebidanan. Ed.1.
Yogyakarta : Deepublish
Nurcholish, Ahmad. dkk. 2015. Seksualitas & Agama Kesehatan Reproduksi dalam
Perspektif Agama-Agama. Jakarta : PT Elex Media Komputindo
Eley Brian. dkk. 2004. Antiretroviral Treatment for Children
Siti, Athiyah. dkk. 2018. Pengaruh Pemberian Ekstrak Daun Jambu Biji Terhadap
Perubahan Indeks Masa Tubuh Pada Orang Dengan HIV-AIDS (Studi
Kelompok Dukungan Sebaya Arjuna Plus Semarang). Semarang
Wardhani Puspa. dkk. 2016. Evektivitas Pemberian Jus Nanas dan Jus Pepaya
sebagai Pendamping ARV dalam Meningkatkan Kadar CD. Klinik Mawar
RSUD Dr. Abdul Aziz Singkawang

Anda mungkin juga menyukai