Anda di halaman 1dari 17

Putusan Nomor : PUT-C/2013/PP/M.

XVB Tahun 2018

Jenis Pajak : Pajak Penghasilan Pasal 23 Final(PPh Ps23)

K
Tahun Pajak : 2013

JA
Pokok Sengketa : bahwa yang menjadi pokok sengketa dalam banding ini adalah koreksi Dasar
Pengenaan Pajak sebesar Rp535.922.121,00, yang tidak disetujui oleh
Pemohon Banding;

PA
Menurut Terbanding : bahwa Pemohon Banding melakukan transaksi berupa sewa/charter kapal
beserta awaknya dengan Star Global Shipping Pte Ltd dan Eastern Navigation
Pte Ltd;

N
bahwa menurut Pemohon Banding, atas pembayaran jasa sewa kapal beserta
awak kapalnya ini merupakan objek PPh Pasal 15, hal ini berdasarkan Pasal 2
ayat (2) Keputusan Menteri Keuangan Nomor 417/KMK.04/1996 tanggal 14

LA
Juni 1996 jo Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-32/PJ.4/1996
tanggal 29 Agustus 1996;

bahwa menurut Pemohon Banding, keberadaan Eastern Navigation Pte Ltd di

DI
Indonesia melalui pegawai dan kapalnya telah melebihi 90 hari dalam jangka
waktu 12 bulan. Dengan demikian, keberadaan Eastern Navigation Pte Ltd di
Indonesia telah memenuhi syarat untuk dianggap mempunyai BUT di
GA
Indonesia;

bahwa dalam surat keberatan, surat banding dan pernyataan Pemohon


Banding dalam persidangan tanggal 12 Oktober 2016, Pemohon Banding
menyatakan bahwa Star Global Shipping Pte Ltd dan Eastern Navigation Pte
EN

Ltd, tidak memiliki BUT di Indonesia;

bahwa Terbanding berpendapat, sesuai dengan KMK No.417/KMK.04/1996 jo.


Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-32/PJ.4/1996, Pajak
Penghasilan bagi Perusahaan Pelayaran Luar Negeri sebesar 2,64% dari
TP

peredaran bruto adalah untuk perusahaan pelayaran yang bertempat


kedudukan di luar negeri apabila melakukan usaha melalui Bentuk Usaha
Tetap (BUT) di Indonesia;

bahwa tanggapan Terbanding atas time test yang disampaikan oleh Pemohon,
IA

Sepanjang tahun 2010, keberadaan Eastern Navigation Pte Ltd di Indonesia


melalui pegawai dan kapalnya telah melebihi 90 hari dalam jangka waktu 12
bulan, yaitu selama 175 hari adalah:
AR

1. bahwa Pemohon Banding tidak dapat menunjukkan siapa pegawai atau


orang lain yang mewakili perusahaan pelayaran luar negeri tersebut, yang
telah melakukan kegiatan usaha di Indonesia berupa pemberian jasa yang
melebihi 90 (sembilan puluh) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas)
bulan;
ET

2. Bahwa time test yang disampaikan oleh Pemohon Banding untuk tahun
2010, bukan tahun sengketa yaitu tahun 2013. Sehingga Terbanding
berdasarkan Pasal 5 Ayat (2) P3B Indonesia-Singapura tidak dapat
mengetahui time test dalam jangka waktu 12 bulan selama tahun 2013
KR

yang sebenarnya.

bahwa Terbanding berpendapat, sesuai dengan ketentuan yang berlaku


penentuan ada tidaknya BUT, bukan hanya berdasarkan jangka waktu time
test saja, namun juga berdasarkan harus dibuktikan jasa yang diberikan harus
SE

melalui perusahaan yang bukan agen bebas/ independen sebagaimana diatur


dalam Pasal 5 ayat (7) P3B Indonesia – Singapura. Bahwa hasil penelitian
atas persyaratan ini berdasarkan invoice, pembayaran, kontrak charter, surat
keberatan, surat banding, dan pernyataan Pemohon pada saat persidangan,
dapat disampaikan sebagai berikut:
1. Bahwa sesuai pernyataan Pemohon Banding dalam persidangan tanggal
12 Oktober 2016, Pemohon Banding menyatakan bahwa Star Global
Shipping Pte Ltd dan Eastern Navigation Pte Ltd, tidak memiliki BUT di
Indonesia.

K
2. Star Global Shipping Pte. Ltd. dan Eastern Navigation Pte. Ltd. tidak
memiliki agen langsung/perwakilan di Indonesia.

JA
3. Pembayaran atas jasa pelayaran dilakukan dengan melakukan transfer
secara langsung dari Pemohon ke rekening perusahaan pelayaran luar
negeri.
4. Kewenangan penandatanganan kontrak berada langsung ditangan

PA
perusahaan pelayaran luar negeri.
5. Star Global Shipping Pte. Ltd. dan Eastern Navigation Pte. Ltd. tidak
memiliki NPWP di Indonesia.

bahwa berdasarkan keterangan tersebut di atas, penentuan untuk menjadi

N
BUT bukan hanya berdasarkan time test saja, namun ada beberapa syarat
lainnya yang harus dipenuhi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (5)
UU Pajak Penghasilan, Pasal 5 ayat (2), (5), dan (7) P3B Indonesia-

LA
Singapura. Persyaratan tersebut tidak dipenuhi seluruhnya oleh perusahaan
pelayaran lawan transaksi Pemohon Banding yaitu Star Global Shipping Pte
Ltd dan Eastern Navigation Pte Ltd.

DI
bahwa Terbanding berpendapat bahwa atas pembayaran sewa/charter kapal
kepada Star Global Shipping Pte Ltd dan Eastern Navigation Pte Ltd, adalah
objek PPh Pasal 26;
GA
bahwa tanpa mengurangi independensi Majelis Hakim dalam memutus
sengketa ini, sebagai informasi tambahan atas pokok sengketa yang sama
yaitu Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put.37822/PP/M.XII/13/2012
diucapkan tanggal 25 April 2012 yang memutuskan menerima sebagian
EN

permohonan banding Pemohon Banding, dengan pertimbangan sebagai


berikut:

- bahwa Terbanding mendalilkan bahwa jasa pelayaran yang diterima oleh


Pemohon Banding dari perusahaan pelayaran luar negeri dengan nilai
TP

transaksi selama periode Januari sampai dengan Desember 2006 sebesar


Rp18.644.967.677,00 adalah objek pemotongan Pajak Penghasilan Pasal
26 dengan tarif sebesar 20% (dua puluh persen);

- bahwa PSA Marine Pte. Ltd. adalah perusahaan pelayaran luar negeri
IA

yang didirikan dan berkedudukan di Singapura yang menyediakan kapal


beserta awaknya kepada Pemohon Banding, bahwa menurut Terbanding
PSA Marine Pte., Ltd. tersebut tidak memiliki Bentuk Usaha Tetap (BUT)
AR

di Indonesia dengan demikian Terbanding mengganggap bahwa transaksi


sebesar Rp18.644.967.677,00 a quo merupakan objek pemotongan Pajak
Penghasilan Pasal 26 sehingga Terbanding melakukan reklasifikasi dari
objek pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 15 dengan tarif 2,64%
menjadi objek pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 dengan tarif
ET

sebesar 20% dan Pajak Penghasilan Pasal 15 yang telah dipotong oleh
Pemohon Banding diperlakukan sebagai kredit pajak Pajak Penghasilan
Pasal 26;
KR

- bahwa tarif objek pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 yang


digunakan oleh Terbanding adalah sebesar 20% karena Terbanding
menganggap bahwa pada saat Pemohon Banding melakukan
pembayaran jasa pelayaran a quo tidak dilengkapi dengan asli Surat
Keterangan Domisili dari PSA Marine Pte. Ltd. sehingga dasar hukum
SE

yang digunakan Terbanding adalah Undang-undang Pajak Penghasilan


bukan P3B antara Indonesia dengan Singapura;

- bahwa Pemohon Banding melakukan pemotongan Pajak Penghasilan


Pasal 15 atas jasa pelayaran yang diterima dari perusahaan pelayaran
luar negeri dengan tarif sebesar 2,64% karena mengganggap bahwa PSA
Marine Pte., Ltd. memberikan jasa pelayaran melalui Bentuk Usaha Tetap
di Indonesia karena jasa yang diberikan telah melebihi time test 90 hari
(Januari sampai dengan Desember 2006) sebagaimana diatur

K
berdasarkan Pasal 5 angka 2 huruf i Perjanjian Penghindaran Pajak
Berganda Singapura yang menyebutkan bahwa istilah Bentuk Usaha

JA
Tetap meliputi jasa-jasa dimana kegiatannya berlangsung dalam suatu
masa yang melebihi 90 hari dalam 12 (dua belas) bulan di suatu Negara;

- bahwa dari hasil pemeriksaan, bukti-bukti, data-data dan keterangan

PA
dalam persidangan diketahui:
- bahwa Pemohon Banding menyampaikan bukti berupa Surat Keterangan
Domisili (SKD) tertanggal 09 Juni 2009 yang diterbitkan oleh Inland
Revenue Authority of Singapore sebagai respon atas permintaan PSA
Marine (PTE) Ltd., tertanggal 12 Mei yang menjelaskan bahwa PSA
Marine (PTE) Ltd., adalah perusahaan yang berkedudukan di Singapura

N
bahwa SKD ini diberikan untuk tujuan Pajak Penghasilan Tahun Pajak
2006;

LA
- bahwa sesuai dengan Pasal 2 ayat (2) Keputusan Menteri Keuangan
Nomor: 417/KMK.04/1996 tanggal 14 Juni 1996 tentang Norma
Penghitungan Khusus Penghasilan Neto Bagi Wajib Pajak Perusahaan

DI
Pelayaran dan atau Penerbangan Luar Negeri juncto angka 2 Surat
Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor: SE- 32/PJ.4/1996 tanggal 29
Agustus 1996 diatur bahwa besarnya Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak
perusahaan pelayaran dan atau penerbangan luar negeri adalah sebesar
GA
2,64% dari peredaran bruto yang melakukan usaha melalui Bentuk Usaha
Tetap di Indonesia;

- bahwa sesuai dengan angka 2 huruf b Surat Edaran Direktur Jenderal


Pajak Nomor: SE- 03/PJ. 101/1996 tanggal 29 Maret 1996 tentang
EN

Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda antara lain diatur


bahwa asli Surat Keterangan Domisili menjadi dasar bagi pihak yang
membayar penghasilan untuk menerapkan Pajak Penghasilan Pasal 26
sesuai dengan yang ditegaskan dalam P3B yang berlaku antara Indonesia
TP

dengan Negara tempat kedudukan (residence) dari Wajib Pajak luar


negeri;

- bahwa sesuai dengan Pasal 8 ayat (2) Persetujuan Penghindaran Pajak


Berganda (P3B) antara Indonesia dengan Singapura yang berlaku efektif
IA

tanggal 1 Januari 1992 diatur bahwa penghasilan yang diperoleh


perusahaan pelayaran luar negeri dari operasi pelayaran jalur
internasional maka hak pemajakannya adalah di Negara sumber tetapi
AR

pajaknya dikenakan dengan pengurangan sebesar 50%;

- bahwa Pemohon Banding yang menganggap bahwa PSA Marine (PTE)


Ltd., memiliki BUT di Indonesia karena telah memberikan jasa pelayaran
kepada Pemohon Banding melebihi jangka waktu time test 90 hari yaitu
ET

dengan mengacu pada Pasal 5 ayat (2) huruf i Perjanjian Penghindaran


Pajak Berganda antara Indonesia dengan Singapura, Majelis berpendapat
bahwa Pasal 5 angka 2 huruf i yang digunakan oleh Pemohon Banding
bahwa PSA Marine (PTE) Ltd., telah memilik BUT di Indonesia dengan
KR

berpatokan hanya pada jangka waktu time test yang telah melebihi 90 hari
tidaklah tepat karena ada tidaknya BUT juga harus dibuktikan pula bahwa
jasa yang diberikan harus melalui suatu perusahaan yang bukan agen
independen sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (7) P3B antara
Indonesia dengan Singapura bahwa yang dalam hal ini Pemohon Banding
SE

tidak dapat membuktikannya;

- bahwa Majelis berpendapat, sebagaimana diatur oleh Direktorat Jenderal


Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan Republik Indonesia bahwa
perusahaan pelayaran asing yang mengadakan perjanjian charter dengan
perusahaan di Indonesia harus menunjuk agennya di Indonesia sehingga
pelayaran asing tersebut mempunyai BUT di Indonesia dan terdaftar
sebagai Wajib Pajak pada Terbanding bahwa sebagaimana dibuktikan
oleh Terbanding bahwa PSA Marine (PTE) Ltd., terbukti tidak memiliki
BUT di Indonesia;

K
- bahwa Majelis berpendapat, bukti yang disampaikan Terbanding bahwa

JA
Pemohon Banding dalam SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai Masa Pajak
Januari sampai dengan Desember 2006 telah memungut dan menyetor
Pajak Pertambahan Nilai Jasa Luar Negeri atas nama PSA Marine (PTE)
Ltd., hal ini membuktikan dan meyakinkan Majelis bahwa PSA Marine

PA
(PTE) Ltd., tidak memiliki BUT di Indonesia karena apabila Pemohon
Banding memiliki BUT di Indonesia maka Pajak Pertambahan Nilai yang
terutang adalah Pajak Pertambahan Nilai atas jasa dalam negeri

- bahwa Majelis berpendapat, PSA Marine (PTE) Ltd., adalah benar dan
meyakinkan Majelis merupakan perusahaan yang didirikan dan

N
berkedudukan di Negara Singapura bahwa sesuai dengan 8 ayat (2)
Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) antara Indonesia

LA
dengan Singapura yang berlaku efektif tanggal 1 Januari 1992,
penghasilan yang diperoleh PSA Marine (PTE) Ltd., dari Indonesia dapat
dikenakan pajak di Negara Indonesia tetapi pajak yang dikenakan
tersebut dikurangi sebesar 50%;

DI
- bahwa Terbanding dalam sanggahan yang menyatakan bahwa Surat
Keterangan Domisili yang disampaikan oleh Pemohon Banding hanya
GA
berupa fotocopy atas nama PSA Marine (PTE) Ltd., untuk Tahun Pajak
2006 sehingga tidak memenuhi syarat sebagaimana diatur pada angka 2
huruf a Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor: SE-03/PJ. 101/1996
tanggal 29 Maret 1996 tentang Penerapan Persetujuan Pengindaran
Pajak Berganda, Majelis berpendapat bahwa PSA Marine (PTE) Ltd.,
EN

terbukti dan menyakinkan Majelis adalah benar-benar perusahaan yang


didirikan dan berkedudukan (residence) Negara Singapura sehingga
berhak untuk memperoleh perlakukan Perpajakan sebagaimana diatur
dalam P3B antara Negara Indonesia dengan Singapura khususnya
TP

pengenaan atas tarif pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26;

- bahwa Majelis berpendapat, dengan mengacu pada Pasal 8 ayat (2)


Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) antara Indonesia
dengan Singapura bahwa tarif pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26
IA

yang seharusnya dipotong oleh Pemohon Banding adalah sebesar 10%


(sepuluh persen) dari Rp18.644.967.677,00 atau 50% (lima persen) lebih
rendah dari tarif Pajak Penghasilan Pasal 26 sebagaimana diatur dalam
AR

Pasal 26 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak


Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 yaitu sebesar 20%;

- bahwa dengan demikian Majelis berkesimpulan, koreksi objek


ET

pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 atas jasa pelayaran dari


perusahaan pelayaran luar negeri yang dilakukan Terbanding sebesar
Rp18.644.967.677,00 sudah tepat namun tarif yang seharusnya
digunakan adalah sebesar 10% (sepuluh persen) sesuai dengan Pasal 8
KR

ayat (2) Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda antara Indonesia


dengan Singapura;

A. Simpulan
SE

1. bahwa penentuan untuk menjadi BUT bukan hanya berdasarkan time


test saja, namun ada beberapa syarat lainnya yang harus dipenuhi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (5) UU Pajak
Penghasilan, Pasal 5 ayat (2), (5), dan (7) P3B Indonesia-Singapura.
Persyaratan tersebut tidak dipenuhi seluruhnya oleh perusahaan
pelayaran lawan transaksi Pemohon Banding yaitu Star Global
Shipping Pte Ltd dan Eastern Navigation Pte Ltd.

K
2. bahwa Pemohon Banding menyatakan bahwa Star Global Shipping

JA
Pte Ltd dan Eastern Navigation Pte Ltd, tidak memiliki BUT di
Indonesia.

3. bahwa dengan tidak adanya BUT di Indonesia atas perusahaan

PA
pelayaran luar negeri Star Global Shipping Pte Ltd dan Eastern
Navigation Pte Ltd, Pengenaan PPh sebesar 2,64% sebagaimana
diatur dalam Pasal 2 ayat (2) KMK Nomor 417/KMK.04/1996, tidak
berlaku.

N
4. bahwa Terbanding berpendapat atas pembayaran sewa/charter kapal
kepada Star Global Shipping Pte Ltd dan Eastern Navigation Pte Ltd,
adalah objek PPh Pasal 26 dengan tarif mempertimbangkan Surat

LA
Keterangan Domisili yang disampaikan oleh Pemohon Banding.

5. bahwa berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa


penerbitan KEP-1883/WPJ.02/2015 tanggal 21 Desember 2015 atas

DI
nama Pemohon Banding telah sesuai dengan ketentuan perpajakan
yang berlaku;.
GA
Menurut Pemohon : Pemohon Banding tidak setuju dengan koreksi Terbanding, dengan alasan
Banding sebagai berikut:

1. bahwa Terbanding telah melakukan kesalahan dalam mengambil dasar


EN

hukum yang digunakan dalam melakukan koreksi, sehingga Surat


Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak Penghasilan (“SKPKB PPh”) Masa
April 2013 yang diterbitkan oleh Terbanding cacat Hukum dan seharusnya
dibatalkan;
bahwa dalam menerbitkan SKPKB PPh Masa April 2013, Terbanding
TP

mendasarkan koreksi pada ketentuan-ketentuan berikut ini:

Pasal 26:
IA

Atas penghasilan tersebut di bawah ini, dengan nama dan dalam bentuk
apapun, yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh
tempo pembayarannya oleh badan pemerintah, subjek pajak dalam
AR

negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan


perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak luar negeri selain
bentuk usaha tetap di Indonesia dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh
persen) dari jumlah bruto oleh pihak yang wajib membayarkan:
ET

a. dividen;
b. bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan
jaminan pengembalian utang;
KR

c. royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan


harta;
d. imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan;
e. hadiah dan penghargaan;
SE

f. pensiun dan pembayaran berkala lainnya;


g. premi swap dan transaksi lindung nilai lainnya; dan/atau
h. keuntungan karena pembebasan utang.
Atas LABA dari kegiatan pengoperasian kapal kapal (Jasa Pelayaran dan
Penerbangan Asing) tidak diatur dalam Pasal 26 UU PPh sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang – undang Nomor 36
Tahun 2008;

K
Dalam Uraian Banding, pihak Terbanding setuju untuk menerapkan Pasal

JA
8 ayat (2) P3B Indonesia dan Singapore mengenai Jasa Pelayaran yang
dilakukan oleh perusahaan pelayaran asing. Hal ini berarti pihak
Terbanding dan pemohon Banding sepaham bahwa sengketa pajak ini

PA
sehubungan dengan jasa Pelayaran Asing. Seharusnya tidak ada lagi
sengketa sehubungan dengan jenis Objek Pajak;

Menurut Pemohon Banding, Terbanding telah keliru dengan menjadikan


Pasal 26 sebagai dasar hukum koreksi atas Jasa Pelayaran asing. Pasal

N
26 UU Pajak Penghasilan tidak mengatur objek pajak atas Jasa Pelayaran
Asing;

LA
2. Atas Jasa Pelayaran dan Penerbangan Asing telah diatur secara khusus
dalam Pasal 15 UU PPh sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang – undang Nomor 36 Tahun 2008 dan sumber hukum
lainnya dengan Pengenaan pajak atas perusahaan penerbangan dan

DI
perkapalan luar negeri dilakukan dengan penerapan norma (deem profit),
yaitu 6% dari penerimaan bruto.
GA
Jasa Pelayaran dan Penerbangan Asing diatur secara khusus dalam
beberapa sumber Hukum sebagai berikut:

a. Menurut Organization for Economic Co-operation and Development


EN

(OECD Model) dan UN Model article 8 adalah sebagai berikut:


TP
IA
AR

Menurut OECD Model, LABA dari pengoperasian kapal laut atau


pesawat udara dalam jalur lalu lintas internasional hanya akan
dikenakan pajak di Negara dimana tempat manajemen yang efektif
dari perusahaan berada.
ET

Sedangkan menurut UN Model, LABA dari pengoperasian kapal


dalam jalur lalu lintas internasional hanya akan dikenakan pajak di
Negara dimana tempat manajemen yang efektif dari perusahaan
KR

berada kecuali kegiatan Pelayaran yang timbul dari operasi tersebut di


Negara pihak lainnya lebih dari umumnya. Jika kegiatan tersebut lebih
dari umumnya, laba tersebut dapat dikenakan pajak di Negara lainnya.
Besarnya laba yang akan dikenakan pajak di Negara lainnya akan
SE

ditentukan atas dasar alokasi yang layak atas-semua laba bersih yang
diperoleh perusahaan dari operasi pelayarannya. Pajak dihitung
sesuai dengan alokasi tersebut kemudian harus dikurangi dengan
_____ persen.
Menurut Pemohon Banding, baik berdasarkan OECD dan UN Model,
yang menjadi objek Pajak atas Jasa Pelayaran Asing (pengoperasian
kapal dalam jalur lalu lintas internasional) adalah LABA atau
Berdasarkan Deem Profit.

K
b. Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) antara RI dan

JA
Indonesia Pasal 7 ayat (6) menyatakan sebagai berikut:
“Jika dalam jumlah laba termasuk bagian-bagian penghasilan yang
diatur secara tersendiri pada pasal-pasal lain dalam Persetujuan ini,

PA
maka ketentuan pasal-pasal tersebut tidak akan terpengaruh oleh
ketentuan-ketentuan Pasal ini”.

Dikarenakan atas LABA dari kegiatan pengoperasian kapal-kapal laut


di jalur internasional telah diatur tersendiri oleh Pasal 8 ayat (2), maka

N
pasal pasal lain diabaikan.

c. Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) antara RI dan

LA
Indonesia telah mengatur secara khusus Pajak Penghasilan atas Laba
dari kegiatan pengoperasian kapal oleh perusahaan pelayaran Asing,
yaitu dalam Pasal 8 (2) sebagai berikut:

DI
”Income derived by an enterprise of a Contracting State from the
operation of ships in international traffic may be taxed in the other
GA
Contracting State, but the tax imposed in that other State shall be
reduced by an amount equal to 50 per cent thereof”.

Versi Bahasa Indonesia (diambil dari website Pajak.go.id):


EN

LABA yang diperoleh oleh suatu perusahaan dari suatu Negara pihak
pada Persetujuan dari pengoperasian kapal-kapal laut di jalur lalu
lintas internasional dapat dikenakan pajak di Negara pihak lain pada
Persetujuan, tetapi pajak yang dikenakan di Negara pihak lain tersebut
TP

akan dikurangi sebesar 50%.

Menurut Pemohon Banding, sangatlah jelas bahwa yang menjadi


objek pajak atas jasa pelayaran asing adalah atas LABA dari jasa
IA

kegiatan pelayaran asing, dan dalam Pasal ini tidak mengatur ada
atau tidaknya Bentuk Usaha Tetap.
AR

d. Pasal 15 UU PPh:

“Norma Penghitungan Khusus untuk menghitung penghasilan netto


dari wajib pajak tertentu yang tidak dapat dihitung berdasarkan
ET

ketentuan Pasal 16 ayat (1) atau ayat (3) ditetapkan meneteri


Keuangan”

Penjelasan Pasal 15:


KR

Ketentuan ini mengatur tentang Norma Penghitungan Khusus untuk


Golongan Wajib Pajak tertentu, antara lain perusahaan pelayaran atau
penerbangan internasional, perusahaan yang melakukan investasi
SE

dalam bentuk bangun-guna-serah (build, operate and transfer).

Untuk menghindari kesukaran dalam menghitung besarnya


penghasilan kena pajak bagi golongan wajib pajak tertentu tersebut,
berdasarkan pertimbangan praktis atau sesuai dengan kelaziman
pengenaan pajak dalam bidang–bidang usaha tertentu, Menteri
Keuangan diberi wewenang untuk menerapkan Norma Penghitungan
Khusus guna menghitung besarnya penghasilan neto dari wajib pajak
tertentu.

K
Menurut Pemohon Banding, Jasa pelayaran atau penerbangan asing

JA
hanya diatur khusus dalam Pasal 15, dimana pengenaan pajaknya
berdasarkan Norma Penghasilan Neto. Pasal ini juga sejalan dengan
Pasal 8 (2) P3B Indonesia – Singapura, tidak mengatur ada atau

PA
tidaknya Bentuk Usaha Tetap.

e. Keputusan Menteri Keuangan KMK 417 Tahun 1996 merupakan


pelaksanaan dari Pasal 15 UU Pajak Penghasilan. Hal-hal yang
dijelaskan adalah sebagai berikut:

N
Pasal 1 menyatakan: “Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan

LA
peredaran bruto adalah semua imbalan atau nilai pengganti berupa
uang atau nilai uang yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak
Perusahaan Pelayaran dan/atau Penerbangan luar negeri dari
pengangkutan orang dan/atau barang yang dimuat dari satu

DI
pelabuhan ke pelabuhan lain di Indonesia dan/atau dari pelabuhan di
Indonesia ke pelabuhan di luar neger”
GA
Eastern Navigation Pte Ltd adalah perusahan pelayaran luar negeri
yang berdomisili di Singapura dan telah lama melakukan jasa
angkutan barang (Charter tug boat dan barge beserta awak) dari
pelabuhan batam ke/dari pelabuhan Tanjung Balai Karimun dan/atau
EN

dari pelabuhan Batam/Tanjung Balai Karimun ke pelabuhan Singapore

Pasal 2 Ayat (1) Penghasilan neto bagi Wajib Pajak Perusahaan


Pelayaran dan/atau Penerbangan Luar Negeri ditetapkan sebesar 6%
TP

(enam persen) dari peredaran bruto sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 1”.

Pasal 2 ayat (2): Besarnya Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak


Perusahaan Pelayaran dan/atau Penerbangan luar negeri adalah
IA

sebesar 2,64% (dua koma enam puluh empat persen) dari peredaran
bruto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1”.
AR

Menurut Pemohon Banding, bahwa jenis jasa angkutan yang


dilakukan oleh Eastern Navigation PTE Ltd adalah jenis jasa angkutan
yang sesuai dengan jasa yang dimaksud dalam Pasal 1 “KMK 417”
sehingga Pengenaan Pajak Penghasilan atas jasa pelayaran
ET

dikenakan sebesar 2,64% dari penghasilan bruto. Dalam KMK ini juga
tidak menjelasakan harus ada atau tidaknya BUT dalam menjalan
kegiatan usaha pelayaran tsb.
KR

Menurut Pemohon Banding, berdasarkan penjelasan diatas bahwa Terbanding


telah melakukan kesalahan dalam mengambil dasar hukum yang digunakan
dalam melakukan koreksi. Dimana seharusnya Terbanding mengacu kepada
dasar hukum diatas khususnya Pasal 8 (2) P3B dan ditegaskan kembali dalam
SE

Pasal 15 UU PPh dan KMK 417;

3. Terbentuknya Bentuk Usaha Tetap (“BUT”) tidak hanya ditentukan dengan


memiliki NPWP sebagai BUT di Indonesia.
Sebagaimana telah Pemohon Banding sampaikan dalam persidangan,
bahwa Pengertian Bentuk Usaha Tetap (“BUT”) menurut beberapa

K
sumber Hukum adalah sebagai berikut:

JA
· Pasal 2(5m) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 tahun
2008 Tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan menyatakan, suatu BUT
terbentuk apabila suatu badan usaha yang tidak didirikan dan tidak

PA
bertempat tinggal di Indonesia menjalankan usaha atau melakukan
kegiatan usaha di Indonesia, termasuk “Pemberian jasa dalam bentuk
apapun oleh pegawai atau orang lain, sepanjang dilakukan lebih dari
60 (enam puluh) hari dalam jangka waktu 12 bulan”

N
· Pasal 5(2)(i) Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B)
Indonesia dengan Singapura mengatur bahwa termasuk pengertian

LA
BUT adalah “the furnishing of services, including consultancy
services, by an enterprise through an employee or other person (other
than an agent of an independent status within the meaning of
paragraph 7) where the activities continue within a Contracting State

DI
for a period or periods aggregating more than 90 days within a twelve-
month period”;
GA
Terjemahan Bahasa Indonesia:

“Pemberian jasa-jasa termasuk jasa-jasa konsultan oleh suatu


perusahaan melalui Seorang pegawai atau pegawai-pegawai lain
EN

(selain daripada seorang agen yang bertindak bebas sebagaimana


dimaksud dalam ayat 7) dimana kegiatan-kegiatan tersebut
berlangsung di suatu Negara pihak pada Persetujuan dalam suatu
masa yang melebihi 90 hari dalam duabelas bulan”.
TP

· Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-09/PJ.34/1992 (“SE-09”) tanggal


26 Maret 1992 tentang Pemberitahuan berlakunya Persetujuan
Penghindaran Pajak Berganda (PPPB) RI–Singapura dalam Angka 2
huruf b.1(i) adalah sebagai berikut: “Pemberian jasa-jasa, termasuk
IA

jasa konsultan, jika kegiatan jasa tersebut berlangsung di Indonesia


meliputi masa atau masa-masa lebih dari 90 hari dalam jangka waktu
12 bulan.
AR

· Menurut United Nation (UN model), The term “permanent


establishment” likewise encompasses: The furnishing of services,
ET

including consultancy services, by an enterprise through employees or


other personnel engaged by the enterprise for such purpose, but only
where activities of that nature continue (for the same or a connected
project) within the country for a period or periods aggregating more
than six months within any 12-month period.
KR

Terjemahan Bahasa Indonesia


SE

Menurut UN Model BUT Pemberian jasa, termasuk jasa konsultasi,


oleh suatu perusahaan melalui karyawannya atau orang lain yang
dipekerjakan oleh perusahaan untuk tujuan tersebut, tetapi hanya
apabila kegiatan-kegiatan tersebut berlangsung (untuk proyek yang
sama atau berhubungan) di dalam negeri untuk jangka waktu atau
periode berjumlah lebih dari enam bulan dalam jangka waktu 12
bulan.

Sementara Organization for Economic Co-operation and Development

K
(OECD Model) tidak mengatur secara specific definisi Bentuk Usaha
Tetap (BUT) atas pemberian Jasa jasa.

JA
· Surat Penegasan DJP (KPP Pratama Tanjung Balai Karimun) Nomor
S-14449/WPJ.02/KP.14/2016 tanggal 21 September 2016 mengenai
Jawaban Surat PT Saipem Indonesia tentang Permohonan

PA
Penegasan tentang Pengenaan Pajak Penghasilan atas Pembayaran
Jasa Teknik Kepada Perusahaan Singapura

Dijelaskan dalam angka 3 surat tersebut diatas, Pihak DJP

N
menyampaikan bahwa Pemberian jasa teknik yang diberikan
perusahaan yang berkedudukan di Singapura diperlakukan sebagai

LA
Subjek Pajak Dalam Negeri sehingga dikenakan Pemotongan PPh
Pasal 23. Hal ini berarti Pengenaan Pemotongan PPh Pasal 23
didasarkan bahwa Perusahaan Singapura tersebut telah memenuhi
Definisi sebagai Bentuk Usaha Tetap (BUT) sesuai dengan UU PPh

DI
Pasal 2 ayat (5) huruf m tersebut diatas, meskipun Perusahaan
Singapura tersebut tidak mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP;
GA
· Pemohon banding telah membuktikan bahwa memang benar bahwa
awak kapal tersebut berada di Indonesia selama lebih dari 90 hari
dalam 12 bulan, maka cukup bukti yang valid bahwa Eastern
Navigation Pte Ltd telah memenuhi definisi sebagai BUT di Indonesia.
Adapun pendaftaran NPWP sebagai BUT merupakan masalah
EN

administrative perpajakan yang tidak mengugurkan status BUT seperti


yang diatur dalam P3B Indonesia dan Singapura
TP

bahwa menurut Pemohon Banding, seyogyanya Terbanding tidak begitu saja


menafsirkan adanya BUT hanya berdasarkan kepemilikan NPWP sebagai
BUT di Indonesia, tetapi harus mempertimbangkan sumber hukum lainnya
sepertin definisi BUT menurut P3B, OECD Model, UN Model, SE-09 dan UU
PPh. Yang terpenting untuk digarisbawahi adalah persyaratan mengenai
IA

pengujian suatu BUT merupakan suatu batasan minimum (bukan akumulasi)


yang harus dipenuhi.
AR

4. Pengenaan Pajak Penghasilan atas Jasa Pelayaran asing dikenakan


Pajak karena dianggap mempunyai BUT di Indonesia.
ET

a. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 417/KMK.04/1996 tanggal 14


Juni 1996 Pasal 2 Ayat (1) Penghasilan Neto bagi Wajib Pajak
Perusahaan Pelayaran dan/atau Penerbangan Luar Negeri ditetapkan
sebesar 6% (enam persen) dari peredaran bruto sebagaimana
KR

dimaksud dalam Pasal 1”.

Pasal 2 ayat (2): Besarnya Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak


Perusahaan Pelayaran dan/atau Penerbangan luar negeri adalah
SE

sebesar 2,64% (dua koma enam puluh empat persen) dari peredaran
bruto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1”.

Sebagaimana diuraikan dibawah ini bahwa penghitungan tariff pajak


sebesar 2,64% adalah telah mempertimbangkan pajak penghasilan
yang dikenakan atas adanya Bentuk Usaha Tetap (Pasal 26 ayat (4)
sebagai berikut:

PPh Pasal 17 sebesar: 30% x Penghasilan Netto 6% = 1,80%

K
PPh Pasal 26(4): 20% x Net Profit (6% -1,8%) = 0,84%

JA
Tarif Pajak = 2,64%

Dengan menerapkan tarif 2,64% dari penghasian Bruto, Pemerintah

PA
Indonesia telah menetapakan tarif Pajak yang paling tinggi yaitu tariff
PPh Pasal 17 sebesar 30% dari Laba Usaha, dan dengan
menganggap Perusahaan Pelayaran asing memiliki BUT di Indonesia
terdapat penambahan Pajak yang diterima Pemerintah, yaitu
dikenakannya PPh Pasal 26 (4) Branch Profit Tax sebesar 20% dari

N
Laba Bersih setelah Pajak.

LA
Menurut Pemohon Banding, Pengenaan Pajak Penghasilan Pasal 15
sebesar 2,64% merupakan pengenaan pajak yang tertinggi. Jika
Terbanding beranggapan bahwa perusahaan pelayaran asing tidak
ada BUT di Indonesia maka pengenaan pajaknya akan jauh lebih

DI
rendah dari tariff PPh Pasal 15, yaitu sebesar tarif Pasal 17
(maksimum 30%) dikalikan dengan Norma Penghasilan Netto (6%)
sehingga tariff pajaknya hanya sebesar 1.8% kemudian dikurangi
GA
sebesar 50%. Sehingga tariff pajaknya menjadi 0,9% dari penghasilan
bruto

b. Berdasarkan Pasal 8 (2) Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda


EN

(P3B) antara RI dan Indonesia sebagai berikut:

Versi Bahasa Indonesia (diambil dari website Pajak.go.id):


TP

LABA yang diperoleh oleh suatu perusahaan dari suatu Negara pihak
pada Persetujuan dari pengoperasian kapal-kapal laut di jalur lalu
lintas internasional dapat dikenakan pajak di Negara pihak lain pada
Persetujuan, tetapi pajak yang dikenakan di Negara pihak lain tersebut
IA

akan dikurangi sebesar 50%.

Menurut Pemohon Banding, Dalam Pasal 8 (2) P3B diatas dinyatakan


AR

bahwa LABA yang diperoleh perusahaan pelayaran asing dapat


dikenakan pajak di Negara Indonesia, Pasal ini tidak menjelaskan dan
mengharuskan pengenaan Pajak di Indonesia harus melalui Bentuk
Usaha Tetap.
ET

Berbeda halnya jika dibandingkan dengan Pasal 7 – LABA USAHA


(Business Profit), dimana laba dari usaha akan dikenakan di Indonesia
apabila kegiatannya dilakukan melalui BUT.
KR

c. Referensi Pendapat Ahli Pajak Internasional, yakni Bapak Rachmanto


Surahmat dalam bukunya "Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda
(P3B) Suatu Kajian terhadap Kebijakan Indonesia.
SE

Dalam BAB 3 mengenai Pemajakan atas Penghasilan atas Pasal 8


tentang Transportasi di Jalur Internasional pada halaman 128
dinyatakan bahwa:
"Berdasarkan UU PPh Laba usaha dari pengoperasian kapal laut dan
pesawat terbang dalam jalur international dikenakan pajak karena
dianggap mempunyai BUT di Indonesia. Kegiatan perusahaan
perkapalan dan penerbangan asing yang mengangkut orang atau

K
barang dari Indonesia untuk tujuan luar negeri oleh Direktorat Jenderal
Perhubungan Laut diwajibkan menunjuk agen untuk mengurus segala

JA
macam izin dan kebutuhan perusahaan tersebut. Walaupun agen
tersebut bukan agen yang tidak bebas (dependen agent)
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (5) UU PPh, namun

PA
demikian untuk pengenaan pajak perusahaan penerbangan dan
perkapalan luar negeri dasar pemikiran tersebut yang dipakai.

Pengenaan pajak atas perusahaan penerbangan dan perkapalan luar


negeri dilakukan dengan penerapan norma (deem profit), yaitu 6%

N
dari penerimaan bruto".

LA
bahwa menurut Pemohon Banding, sesuai dengan penjelasan diatas bahwa
pengenaan Pajak Penghasilan atas jasa pelayaran Asing tidak mengharuskan
adanya Bentuk Usaha Tetap (BUT), tetapi untuk kepentingan Pemerintah

DI
Indonesia agar memperoleh potensial pajak yang lebih tinggi yaitu dengan
pengenaan PPh Pasal 26(4) maka Perusahaan Pelayaran Asing tersebut
dianggap memiliki BUT di Indonesia;
GA
bahwa berdasarkan uraian dan penjelasan di atas, Terbanding seharusnya
tidak dapat melaku-kan koreksi atas dasar pengenaan pajak Pasal 26 yang
berasal dari reklasifikasi DPP PPh Pasal 15 Masa Pajak April 2013,
dikarenakan tidak memiliki dasar hukum yang tepat, dimana atas Jasa
EN

Pelayaran Asing tersebut telah diatur secara khusus dalam UU PPh Pasal 15;

bahwa sebagai bahan pertimbangan lain, Surat Ketetapan Pajak Kurang


Bayar (SKPKB) yang menjadi sengketa dalam banding yang diajukan oleh
TP

Pemohon Banding ini merupakan Surat Ketetapan dari hasil verifikasi dengan
dasar hukum yang dipakai adalah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 74 tahun
2011. Berdasarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-
74/PJ/2015, menyatakan bahwa Penerbitan Surat Ketetapan Pajak dari hasil
IA

verifikasi berdasarkan PP Nomor 74 tahun 2011 dinyatakan tidak berlaku


karena bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
dan tidak sesuai dengan asas-asas keadilan dan kepastian hukum yang
AR

menjadi pilar undang-undang perpajakan Indonesia. Pemohon Banding


menyadari bahwa Surat Edaran tersebut baru belaku pada tanggal 4
Desember 2015, namun tetap memperhatikan substansi dari pencabutan
peraturan tersebut;
ET

Menurut Majelis : Menimbang, bahwa setelah Majelis Hakim memeriksa duduk sengketa
sebagaimana diuraikan di atas, sengketa terjadi karena Terbanding
melakukan koreksi objek Pajak Penghasilan Pasal 26 atas pembayaran
sewa/charter kapal kepada Star Global Shipping Pte Ltd dan Eastern
KR

Navigation Pte Ltd. Menurut Pemohon Banding, Terbanding telah keliru


dengan menjadikan Pasal 26 sebagai dasar hukum koreksi atas Jasa
Pelayaran Asing dimana seharusnya mengacu kepada dasar hukum
khususnya Pasal 8 (2) P3B dan ditegaskan kembali dalam Pasal 15 UU Pajak
SE

Penghasilan dan Pasal 2 ayat (2) Keputusan Menteri Keuangan Nomor


417/KMK.04/1996 tanggal 14 Juni 1996 jo Surat Edaran Direktur Jenderal
Pajak Nomor SE-32/PJ.4/1996 tanggal 29 Agustus 1996;

bahwa berdasarkan pemeriksaan di persidangan Majelis berpendapat


permasalahan sengketa a quo pada pokoknya terkait dengan adanya
tambahan frasa “….yang melakukan usaha melalui bentuk usaha tetap (BUT)
di Indonesia” dalam Angka 2 Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-
32/PJ.4/1996

K
Menimbang bahwa peraturan perundang-undangan terkait sengketa a quo
dapat Majelis uraikan sebagai berikut:

JA
Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) antara RI dan Indonesia
telah mengatur secara khusus Pajak Penghasilan atas Laba dari kegiatan
pengoperasian kapal oleh perusahaan pelayaran Asing, yaitu dalam Pasal 8

PA
(2) sebagai berikut:

”Income derived by an enterprise of a Contracting State from the operation of


ships in international traffic may be taxed in the other Contracting State, but
the tax imposed in that other State shall be reduced by an amount equal to 50
per cent thereof”.

N
Versi Bahasa Indonesia (diambil dari website Pajak.go.id):

LA
LABA yang diperoleh oleh suatu perusahaan dari suatu Negara pihak pada
Persetujuan dari pengoperasian kapal-kapal laut di jalur lalu lintas
internasional dapat dikenakan pajak di Negara pihak lain pada Persetujuan,
tetapi pajak yang dikenakan di Negara pihak lain tersebut akan dikurangi

DI
sebesar 50%.

bahwa menurut Majelis, sesuai Pasal 8 (2) P3B yang menjadi objek pajak atas
jasa pelayaran asing adalah atas LABA dari jasa kegiatan pelayaran asing,
GA
dan dalam Pasal ini tidak mengatur ada atau tidaknya Bentuk Usaha Tetap;

Pasal 15 UU PPh:

“Norma Penghitungan Khusus untuk menghitung penghasilan netto dari Wajib


EN

Pajak tertentu yang tidak dapat dihitung berdasarkan ketentuan Pasal 16 ayat
(1) atau ayat (3) ditetapkan Menteri Keuangan”

Penjelasan Pasal 15:


TP

Ketentuan ini mengatur tentang Norma Penghitungan Khusus untuk Golongan


Wajib Pajak tertentu, antara lain perusahaan pelayaran atau penerbangan
internasional, perusahaan yang melakukan investasi dalam bentuk bangun-
guna-serah (build, operate and transfer).
IA

Untuk menghindari kesukaran dalam menghitung besarnya penghasilan kena


pajak bagi golongan Wajib Pajak tertentu tersebut, berdasarkan pertimbangan
praktis atau sesuai dengan kelaziman pengenaan pajak dalam bidang–bidang
AR

usaha tertentu, Menteri Keuangan diberi wewenang untuk menerapkan Norma


Penghitungan Khusus guna menghitung besarnya penghasilan neto dari Wajib
Pajak tertentu.

bahwa menurut Majelis, sesuai Pasal 15 UU PPh yang menjadi objek pajak
ET

atas jasa pelayaran asing adalah penghasilan neto yang dihitung dengan
menggunakan Norma Penghitungan Khusus dan dalam Pasal ini tidak
mengatur ada atau tidaknya Bentuk Usaha Tetap.
KR

Keputusan Menteri Keuangan KMK 181 Tahun 1995 merupakan pelaksanaan


dari Pasal 15 UU Pajak Penghasilan Pasal 1 ayat (1) huruf a:

Wajib Pajak Perusahaan pelayaran atau penerbangan luar negeri adalah


perusahaan pelayaran atau penerbangan yang bertempat kedudukan di luar
SE

negeri yang melakukan usaha melalui bentuk usaha tetap (BUT) di Indonesia;

bahwa menurut Majelis, sesuai Pasal 8 (2) P3B yang menjadi objek pajak atas
jasa pelayaran asing adalah atas LABA dari jasa kegiatan pelayaran asing,
dan dalam Pasal ini tidak mengatur ada atau tidaknya Bentuk Usaha Tetap.
Keputusan Menteri Keuangan KMK 417 KMK.04/1996 mencabut Keputusan
Menteri Keuangan KMK 181 Tahun 1995. Hal-hal yang dijelaskan adalah
sebagai berikut:

K
Pasal 1 menyatakan: “Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan peredaran
bruto adalah semua imbalan atau nilai pengganti berupa uang atau nilai uang

JA
yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Perusahaan Pelayaran dan/atau
Penerbangan luar negeri dari pengangkutan orang dan/atau barang yang
dimuat dari satu pelabuhan ke pelabuhan lain di Indonesia dan/atau dari
pelabuhan di Indonesia ke pelabuhan di luar negeri”

PA
Pasal 2 Ayat (1) Penghasilan neto bagi Wajib Pajak Perusahaan Pelayaran
dan/atau Penerbangan Luar Negeri ditetapkan sebesar 6% (enam persen) dari
peredaran bruto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1”.

Pasal 2 ayat (2): Besarnya Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak Perusahaan

N
Pelayaran dan/atau Penerbangan luar negeri adalah sebesar 2,64% (dua
koma enam puluh empat persen) dari peredaran bruto sebagaimana dimaksud

LA
dalam Pasal 1”.

Pasal 3: Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan keputusan ini


ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.

DI
bahwa dalam KMK-417/1996 menghilangkan ketentuan Pasal 1 ayat (1) huruf
a KMK-181/1995, yaitu menghilangan frasa “…. yang melakukan usaha
melalui bentuk usaha tetap (BUT) di Indonesia” Dengan penghilangan frasa
ini, Majelis berpendapat bahwa pengenaan Pajak Penghasilan atas jasa
GA
pelayaran Asing tidak mengharuskan adanya Bentuk Usaha Tetap (BUT) dan
yang menjadi subjek pajak adalah Wajib Pajak luar negeri sebagaimana diatur
dalam Pasal 2 ayat (4) UU PPh yang menyatakan:
1. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi
yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh
EN

tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak
didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang menjalankan
usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia;
dan
TP

2. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi


yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh
tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak
didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang dapat
menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak dari
IA

menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap


di Indonesia.
AR

bahwa dengan penghilangan frasa “…. yang melakukan usaha melalui bentuk
usaha tetap (BUT) di Indonesia” akan memberikan kepastian hukum bahwa
Wajib Pajak yang harus menjalankan kewajiban perpajakan Perusahaan
Pelayaran Luar Negeri adalah merupakan Subjek Pajak Luar Negeri
sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (2) UU PPh
ET

Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-32/PJ.4/1996 Angka 2,


tentang Norma Penghitungan Khusus Penghasilan Neto Bagi Wajib Pajak
Bergerak di Bidang Usaha Pelayaran dan/atau Penerbangan Luar Negeri
KR

sebagai pelaksanaan Pasal 3 PMK-417/1996

1. Ketentuan bagi Wajib Pajak Perusahaan pelayaran dan/atau


penerbangan luar negeri yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri
Keuangan Nomor: 417/KMK.04/1996 tanggal 14 Juni 1996 pada
SE

prinsipnya adalah sama dengan ketentuan sebagaimana ditetapkan


dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 181/KMK.04/1995 tanggal 1
Mei 1995. Sebagaimana diketahui, dengan keluarnya Keputusan Menteri
keuangan Nomor: 417/KMK.04/1996, Keputusan Menteri Keuangan
Nomor:181/KMK.04/1995 dinyatakan tidak berlaku lagi.
2. Wajib Pajak yang dicakup dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor:
417/KMK.04/1996 adalah Wajib Pajak perusahaan pelayaran dan/atau
penerbangan yang bertempat kedudukan di luar negeri yang melakukan
usaha melalui Bentuk Usaha Tetap (BUT) di Indonesia.

K
bahwa berdasarkan angka 1 SE-32/PJ.4/1996 telah ditegaskan bahwa
Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 181/KMK.04/1995 tanggal 1 Mei 1995

JA
dicabut Keputusan Menteri keuangan Nomor: 417/KMK.04/1996. Prinsipnya
yang sama antara KMK-417/1996 dan KMK-181/1995 dalam SE-32/1996
tidak dijelasakan secara tegas terkait dengan prinsip yang mana? Oleh karena
itu Majelis berpendapat kewajiban perpajakan Perusahaan Pelayaran Luar

PA
Negeri dijalankan oleh Subjek Pajak Luar Negeri sebagaimana diatur dalam
Pasal 2 ayat (2) UU PPh dan tidak harus dikaitkan dengan ada atau tidaknya
BUT dalam menjalan kegiatan usaha pelayaran tersebut;

Menimbang bahwa hasil pemeriksaan Majelis atas invoice, pembayaran,


kontrak charter, surat keberatan, surat banding, dan pernyataan Pemohon

N
pada saat persidangan, didapat fakta sebagai berikut:
1. Bahwa sesuai pernyataan Pemohon Banding dalam persidangan tanggal

LA
12 Oktober 2016, Pemohon Banding menyatakan bahwa Star Global
Shipping Pte Ltd dan Eastern Navigation Pte Ltd, tidak memiliki BUT di
Indonesia.
2. Star Global Shipping Pte. Ltd. dan Eastern Navigation Pte. Ltd. tidak

DI
memiliki agen langsung/perwakilan di Indonesia.
3. Pembayaran atas jasa pelayaran dilakukan dengan melakukan transfer
secara langsung dari Pemohon ke rekening perusahaan pelayaran luar
negeri.
GA
4. Kewenangan penandatanganan kontrak berada langsung ditangan
perusahaan pelayaran luar negeri.
5. Star Global Shipping Pte. Ltd. dan Eastern Navigation Pte. Ltd. tidak
memiliki NPWP di Indonesia.
6. Eastern Navigation Pte Ltd adalah perusahan pelayaran luar negeri yang
EN

berdomisili di Singapura dan telah lama melakukan jasa angkutan barang


(Charter tug boat dan barge beserta awak) dari pelabuhan batam ke/dari
pelabuhan Tanjung Balai Karimun dan/atau dari pelabuhan
Batam/Tanjung Balai Karimun ke pelabuhan Singapore;
TP

Menimbang bahwa berdasarkan fakta hukum dan peraturan perpajakan


sebagaimana diuraikan di atas, Majelis berkesimpulan
1. bahwa berdasarkan Pasal 15 UU PPh dan Keputusan Menteri Keuangan
417/KMK.04/1996 Kewajiban perpajakan Perusahaan Pelayaran Luar
IA

Negeri dijalankan oleh Subjek Pajak Luar Negeri sebagaimana diatur


dalam Pasal 2 ayat (2) UU Pajak Penghasilan dan tidak harus dikaitkan
dengan ada atau tidaknya BUT dalam menjalankan kegiatan usaha
AR

pelayaran tersebut.
2. bahwa Jenis jasa angkutan yang dilakukan oleh Eastern Navigation PTE
Ltd adalah jenis jasa angkutan yang sesuai dengan jasa yang dimaksud
dalam Pasal 1 “KMK 417” sehingga Pengenaan Pajak Penghasilan atas
jasa pelayaran dikenakan sebesar 2,64% dari penghasilan bruto.
ET

Oleh karena itu Terbanding tidak tepat mengenakan Pajak Penghasilan


Pasal 26 atas pembayaran sewa/charter kapal kepada Star Global
Shipping Pte Ltd dan Eastern Navigation Pte Ltd, dan harus dibatalkan;
KR

Menimbang : bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, Majelis berkesimpulan


bahwa koreksi Terbanding atas Dasar Pengenaan Pajak Pajak Penghasilan
Final Pasal 23/26 sebesar Rp535.922.121,00 tidak dapat dipertahankan dan
harus dibatalkan;
SE

Menimbang : bahwa dalam sengketa banding ini tidak terdapat sengketa mengenai sanksi
administrasi, kecuali bahwa besarnya sanksi administrasi tergantung pada
penyelesaian sengketa lainnya;
Menimbang : bahwa berdasarkan hasil Pemeriksaan dalam persidangan, Majelis
berketetapan untuk menggunakan kuasa Pasal 80 ayat (1) huruf b Undang-
undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak untuk mengabulkan
seluruhnya banding Pemohon Banding sehingga besarnya Pajak Penghasilan

K
Final Pasal 23/26 Masa Pajak April 2013 yang terutang dihitung menjadi
sebagai berikut:

JA
Dasar Pengenaan Pajak cfm. Terbanding Rp7.745.139.901,00

PA
Koreksi dibatalkan Rp 535.922.121,00

Dasar Pengenaan Pajak seharusnya Rp7.209.217.780,00

Pajak Penghasilan Final Pasal 23/26 yang terutang Rp 754.563.380,00

N
Kredit Pajak Rp 754.563.380,00

LA
Pajak yang tidak/kurang dibayar Rp 0,00

Menimbang : Surat Banding Pemohon Banding, Surat Uraian Banding Terbanding, Surat

DI
Bantahan Pemohon Banding, dan hasil pemeriksaan serta pembuktian di
dalam persidangan;
GA
Mengingat : Undang-Undang Nomor 14 tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, dan ketentuan
perundang-undangan lainnya serta peraturan hukum yang berlaku dan yang
berkaitan dengan sengketa ini;

Memutuskan : Mengabulkan Seluruhnya banding Pemohon Banding terhadap


EN

Keputusan Terbanding Nomor KEP-1883/WPJ.02/2015 tanggal 21 Desember


2015, tentang Keberatan Wajib Pajak atas Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar Pajak Penghasilan Final Pasal 23/26 Nomor 00005/245/13/223/14
tanggal 06 Oktober 2014 Masa Pajak April 2013, atas nama Pemohon
TP

Banding sehingga Pajak Penghasilan Final Pasal 23/26 Masa April 2013
yang terutang dihitung menjadi sebagai berikut:
IA

Dasar Pengenaan Pajak cfm. Terbanding Rp7.745.139.901,00


AR

Koreksi dibatalkan Rp 535.922.121,00

Dasar Pengenaan Pajak seharusnya Rp7.209.217.780,00


ET

Pajak Penghasilan Final Pasal 23/26 yang terutang Rp 754.563.380,00

Kredit Pajak Rp 754.563.380,00


KR

Pajak yang tidak/kurang dibayar Rp 0,00


SE

Demikian diputus di Jakarta berdasarkan musyawarah setelah pemeriksaan


dalam persidangan yang dicukupkan pada hari Rabu tanggal 14 Desember
2016, oleh Hakim Majelis XVB Pengadilan Pajak yang ditunjuk dengan
Penetapan Ketua Pengadilan Pajak Nomor PEN-00988/PP/BR/2016 tanggal
10 Agustus 2016 dengan susunan Majelis dan Panitera Pengganti sebagai
berikut:

Drs. Didi Hardiman, Ak. sebagai Hakim Ketua,

K
Dr. Triyono Martanto, S.E., Ak., M.M., M. Hum sebagai Hakim Anggota,

JA
Redno Sri Rezeki, S.E., MAFIS. sebagai Hakim Anggota,

yang dibantu oleh

PA
Aditya Agung Priyo Nugroho sebagai Panitera Pengganti,

dan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada hari Rabu tanggal 2

N
Mei 2018 dihadiri oleh para Hakim Anggota, Panitera Pengganti, serta tidak
dihadiri oleh Terbanding dan Pemohon Banding.

LA
DI
GA
EN
TP
IA
AR
ET
KR
SE

Anda mungkin juga menyukai