(MKDU4111)
NIM :_________________________________
NAMA :_________________________________
Matakuliah :
Pendidikan Kewarganegaraan
Kode Matakuliah : MKDU4111
Table of Contents
1 Modul 1 Pengantar Pendidikan Kewarganegaraan........................................................................................1
1.1 Kegiatan Belajar 1 Negara, Bangsa, dan Masyarakat Indonesia...........................................................1
1.2 Kegiatan Belajar 2 Makna dan Landasan Hukum Pendidikan Kewarganegaraan.................................1
1.3 Kegiatan Belajar 3 Tujuan dan Ruang Lingkup Pendidikan Kewarganegaraan....................................2
1.4 Kunci Jawaban Kaitan Hubungan Materi dengan Tujuan Pendidikan Kewarganegaraan.....................2
2 Modul 2 Wawasan Nusantara.......................................................................................................................4
2.1 Kegiatan Belajar 1 Latar Belakang Wawasan Nusantara......................................................................4
2.2 Kegiatan Belajar 2 Hakikat dan Unsur Dasar Wawasan Nusantara......................................................4
2.3 Kegiatan Belejar 3 Wasantara sebagai Landasan Ketahanan Nasional dan Pembangunan
Nasional............................................................................................................................................................4
3 Modul 3 Ketahanan Nasional (TANNAS)....................................................................................................6
3.1 Kegiatan Belajar 1 Latar Belakang Tannas Indonesia...........................................................................6
3.2 Kegiatan Belajar 2 Pengertian Landasan, Asas, dan Ciri Tannas Indonesia..........................................6
3.3 Kegiatan Belajar 3 Pendekatan Astagatra, Keterkaitan Antargatra, dan Ketahanan Gatra dalam
Sistem Tannas Indonesia..................................................................................................................................7
3.4 Kegiatan Belajar 4 Perwujudan Tannas Indonesia................................................................................8
3.5 Kegiatan Belajar 5 Pembinaan Tannas Indonesia.................................................................................8
4 Modul 4 KETAHANAN NASIONAL INDONESIA DALAM MENGHADAPI ERA
GLOBALISASI..................................................................................................................................................10
4.1 Kegiatan Belajar 1 GLOBALISASI SEBAGAI TANTANGAN........................................................10
4.2 Kegiatan Belajar 2 GLOBALISASI DAN NASIONALISME............................................................12
4.4 Kegiatan Belajar 3 MENINGKATKAN KETAHANAN NASIONAL INDONESIA DALAM
MEGHADAPI ERA GLOBALISASI............................................................................................................14
5 Modul 5 POLITIK DAN STRATEGI NASIONAL...................................................................................16
5.1 Kegiatan Belajar 1 PENGERTIAN DAN LANDASAN POLITIK DAN STRATEGI
NASIONAL (POLTRANAS).........................................................................................................................16
5.2 Kegiatan Belajar 2 IMPLEMENTASI POLITIK DAN STRATEGI NASIONAL PADA
BIDANG-BIDANG PEMBANGUNAN NASIONAL...................................................................................18
6 Modul 6 DEMOKRASI..............................................................................................................................19
6.1 Kegiatan Belajar 1 & 2 Pengertian dan Perkembangan Demokrasi....................................................19
7 Modul 7 HAK ASASI MANUSIA.............................................................................................................22
7.1 Kegiatan Belajar 1 MAKNA, HAKIKAT DAN PERKEMBANGAN PEMIKIRAN HAM..............22
7.2 Kegiatan Belajar 2 PELANGGARAN PENGADILAN DAN PENEGAKAN HAM.........................36
8 Modul 8 OTONOMI DAERAH.................................................................................................................43
8.1 Kegiatan Belajar 1 PENGERTIAN OTONOMI DAERAH...............................................................43
8.2 Kegiatan Belajar 2 HAMBATAN-HAMBATAN DALAM PELAKSANAAN OTONOMI
DAERAH.......................................................................................................................................................47
8.3 Kegiatan Belajar 3 GOOD GOVERNANCE......................................................................................53
9 Modul 9......................................................................................................................................................59
9.1 Kegiatan Belajar 1 Pertahanan dan Keamanan Negara Indonesia.......................................................59
9.2 Kegiatan Belajar 2 PENGANTAR SISTEM PERTAHANAN KEAMANAN NEGARA
INDONESIA..................................................................................................................................................71
477677185.docx ______________________________________________ P a g e | i
9.3 Kegiatan Belajar 3 SISTEM PERTAHANAN DAN KEAMANAN RAKYAT SEMESTA
(SISHANKAMRATA)...................................................................................................................................77
9.4 Kegiatan Belajar 4 UPAYA PENYELENGGARAAN BELA NEGARA DALAM
KERANGKA SISTEM PERTAHANAN DAN KEAMANAN RAKYAT SEMESTA.................................87
477677185.docx ______________________________________________ P a g e | ii
1
477677185.docx ______________________________________________ P a g e | 1
1. Upaya sadar
2. Menyiapkan calon pemimpin
3. Mempunyai kecintaan, kesetiaan, dan keberanian, membela bangsa dan negara
Dasar sejarah
Dasar Hukum
UUD 1945 : Pembukaan, Pasal 30 ayat (1), Pasal 31 ayat (1). Skep Bersama Mendikbud -
Menhankam NO. 22/U/1973 KEP/B/43/XIII/1967
1. UU No. 20 tahun 1982 tentang ketentuan - ketentuan Pokok Pertahanan dan Keamanan
Negara RI yang disempurnakan dengan UU No. 3 Tahun 2002 tentang UU Pertahanan
Negara. Skep bersama Mendikbud - Menhankam No. 001/N/1982/KEP/002/II/1985.
2. UU No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang di sempurnakan dengan
UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
3. Keputusan Mendiknas No. 232/U/200 tentang Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi
dan Penilaian Hasil Belajar Mahasiswa.
4. Keputusan dengan Dikti No. 38/Dikti/Kep/2002.
1. Memahami dan mengenal lingkungan hidup bangsa kita tentang diri dan lingkungan
hidup bangsa Indonesia serta cara pandang bangsa Indonesia tentang diri dan
lingkungannya merupakan syarat dasar untuk menumbuhkan rasa cinta tanah air.
2. Bangsa Indonesia mempunyai konsep kemampuan (power) yang merupakan derivasi dari
Pancasila, yaitu " Tannas". Adalah kewajiban para pemimpin termasuk para mahasiswa
sebagai calon pemimpin harus menjawab dan memahami konsep "Tannas".
477677185.docx ______________________________________________ P a g e | 2
3. Kemampuan/kekuatan (power) diwujudkan melalui pembangunan nasional.
Kebijaksanaan dan strategi perencanaan dan pelaksanaan pembangunan nasional
diwujudkan dalam bentuk GBHN (sekarang Propenas) oleh MPR setiap tahun. Oleh
karena itu, pada hakikatnya GBHN (Propenas) adalah Politik Nasional dan Strategi
Nasional.
4. Cinta tanah air, kesadaran berbangsa dan bernegara dalam kerangka Tannas yang
diwujudkan dalam Pembangunan Nasional sesuai dengan arahan GBHN. Sekarang
Propenas mutlak disertai dengan kerelaan berkorban untuk membela bangsa dan negara.
477677185.docx ______________________________________________ P a g e | 3
3 Modul 2
Wawasan Nusantara
3.1 Kegiatan Belajar 1
Latar Belakang Wawasan Nusantara
Wasantara tumbuh dan berkembang sesuai dengan kepentingan nasional Indonesia, berangkat
dari pengalaman sejarah bangsa Indonesia yang rawan perpecahan, keinginan untuk
memanfaatkan konstelasi geografi Indonesia yang berupa kepulauan dan berada di tengah -
tengah dunia (posisi silang) untuk kejayaan bangsa dan negara. Oleh karena itu, bangsa
Indonesia harus mempunyai cara pandang, cara lihat, cara tinjau terhadap diri dan
lingkungannya. Cara pandang itu melihat kepulauan Indonesia (perairan dan pulau) dan segala
aspek kehidupan di dalamnya menjadi satu kesatuan yang utuh. Cara pandang itu disebut
sebagai Wasantara.
Pandangan yang demikian ini berkaitan dengan konsep geopolitik dan geostrategis yang
perlu mendapat pengakuan Internasional. Oleh karena itu, bangsa Indonesia memperjuangkan
dalam forum hukum laut internasional maupun menjadikan perjanjian dengan negara - negara
tetangga mengenai batas wilayah. Baru pada tahun 1982, konvensi Hukum Laut menerima asas
negara kepulauan atau asas nusantara diterima sebagai hukum internasional, dan bersamaan
dengan itu pula ditetapkan perluasan yurisdiksi negara - negara pantai di lautan bebas atau ZEE.
Hasil konvensi ini disahkan pada bulan Agustus 1983 di New York.
477677185.docx ______________________________________________ P a g e | 4
negara. Tannas ini merupakan dunia nyata yang perlu diwujudkan. Pembangunan nasional
(bangnas) harus merupakan perwujudan wasantara dan memperkokoh tannas. Pada hakikatnya
pembangunan nasional adalah proses kegiatan mewujudkan Tannas.
Berhasilnya pembangunan akan meningkatkan tannas dan tannas yang tangguh akan
mendorong pembangunan nasional. Wajah Wasantara sebagai :
Wasantara harus selalu menjadi landasan dari setiap perencanaan, pelaksanaan dan
pengembangan dalam tata kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat.
477677185.docx ______________________________________________ P a g e | 5
4 Modul 3
Ketahanan Nasional (TANNAS)
4.1 Kegiatan Belajar 1
Latar Belakang Tannas Indonesia
Bangsa Indonesia mengalami penjajahan yang cukup lama, perlawanan demi perlawanan
dilakukan, tetapi tidak pernah berhasil karena tidak adanya persatuan dan kesatuan dalam
mengusir penjajah ( Belanda, Inggris, Portugis, dan Jepang ). Kendatipun kemerdekaan telah
diproklamasikan, perlawanan terhadap penjajah yang ingin menguasai kembali Indonesia terus
dilanjutkan dengan perjuangan bersenjata dan diplomasi. Perjuangan bangsa Indonesia tidak bisa
dipadamkan sampai negara Kesatuan Republik Indonesia menjadi kenyataan.
Perjuangan mengusir penjajah dan menghadapi macam bentuk konflik di dalam negeri
namun tetap membuat Negara Kesatuan RepublikIndonesia tegak berdiri karena mempunyai
keuletan atau kemampuan dan ketangguhan untuk mempertahankan diri sebagai bangsa yang
merdeka.
Hal inilah yang melahirkan konsep tannas. Tannas adalah kondisi dinamik yang
merupakan integrasi dan kondisi tiap - tiap aspek kehidupan bangsa dan negara. Pada
hakikatnya, tannas adalah kemampuan dan ketangguhan suatu bangsa untuk dapat menjamin
kelangsungan hidupnya menuju kejayaan bangsa dan negara. Untuk tetap memungkinkan
berjalannya pembangunan nasional yang selalu harus menuju ke tujuan yang ingin kita capai dan
agar dapat secara efektif dihancurkan ancaman - ancaman, diatasi tantangan - tantangan,
dilenyapkan hambatan - hambatan, dan gangguan - gangguan yang timbul, baik dari luar
maupun dari dalam, perlu dipupuk terus menerus. Tannas meliputi segala aspek kehidupan
bangsa dan negara.
Berhasilnya pembangunan nasional akan meningkatkan tannas. Selanjutnya, tannas yang
tangguh akan lebih mendorong lagi pembangunan nasional.
477677185.docx ______________________________________________ P a g e | 6
Sebagai metode pemecahan masalah maka ia akan menjelaskan :
1. manunggal
2. mawas ke dalam dan ke luar
3. kewibawaan
4. berubah menurut waktu
5. tidak membenarkan adu kekuatan atau adu kekuasaan, dan
6. percaya pada diri sendiri
1. Ada gatra yang sama besar peranannya untuk kesejahteraan dan keamanan.
2. Ada gatra yang lebih besar peranannya untuk kesejahteraan daripada keamanan.
3. Ada gatra yang lebih besar peranannya untuk keamanan daripada kesejahteraan.
477677185.docx ______________________________________________ P a g e | 7
Trigatra, ideologi, politik peranannya sama besar dalam kesejahteraan dan keamanan.
Gatra Ekonomi, sosial budaya lebih besar untuk kesejahteraan daripada keamanan. Hankam
lebih besar untuk kesejahteraan keamanan daripada kesejahteraan. Tannas merupakan resultan
( hasil ) dari ketahanan masing - masing aspek kehidupan ( gatra ).
477677185.docx ______________________________________________ P a g e | 8
ekonomi ini mempunyai " daya biak " terhadap bidang - bidang kehidupan lainnya, untuk
meningkatkan spektrum kemampuan kita sebagai bangsa dan negara.
Peningkatan spektrum kemampuan tersebut untuk menghasilkan daya kembang, daya
tangkal dan daya kena. Untuk itu, diperlukan dukungan sumber daya manusia yang
"berkualitas". Sumber daya manusia yang berkualitas tinggi ( menguasai ilmu pengetahuan dan
teknoligi serta dilandasi oleh iman dan taqwa berakar pada budaya Pancasila ) merupakan kunci
dari peningkatan tannas. Oleh karena itu, dalam pembangunan nasional, pembangunan sumber
daya manusia merupakan titik sentral dan hal ini sejalan dengan hakikat pembangunan nasional
Indonesia yaitu pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan seluruh
masyarakat Indonesia.
Dalam pembangunan nasional diperlukan pimpinan nasional yang kuat, berwibawa, serta
mampu mempersatukan bangsa serta mempunyai visi ke depan membawa bangsa Indonesia
dalam mencapai tujuan dan cita - cita nasional.
Dalam ketatanegaraan Indonesia, mekanisme kepemimpinan nasional telah ditetapkan
yang dikenal dengan mekanisme kepemimpinan 5 tahun yang dibagi dalam 13 tahapan.
Dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat ini perlu diwaspadai masih
adanya bahaya laten yang bersifat ideologi maupun non-ideologi yang ingin memecah belah kita
sebagai bangsa. Untuk itu, diperlukan kewaspadaan nasional yang sejalan dengan itu yakni
berkehidupan Pancasila ( budaya Pancasila ) yang diaktualisasikan dalam kehidupan sehari -
hari.
4.6
477677185.docx ______________________________________________ P a g e | 9
5 Modul 4
KETAHANAN NASIONAL INDONESIA DALAM
MENGHADAPI ERA GLOBALISASI
Kata “globalisasi” menunjukan gejala menyatunya kehidupan manusia di planet bumi ini tanpa
mengenal batas-batas fisik-geografik dan sosial yang kita kenal sekarang ini.
Globalisasi berkembang melalui proses yang dipicu dan dipicu oleh kemajuan pesat “revolusi”
di bidang teknologi komunikasi atau informasi, transportasi dan perdagangan yang dikenal
sebagai Triple T. Globalisasi di satu sisi dapat membawa kemajuan, namun di sisi lain
dikhawatirkan akan menghancurkan atau sekurang-kurangnya mengikis Negara bangsa (national
state)
Menurut Kartasasmita (1996), kekuatan global ditentukan oleh dua kekuatan besar yang saling
menunjang.
1. Perdagangan, perdagangan akan berkembang begitu cepat dan mengubah pola-pola
kehidupan manusia.
2. Teknologi, teknologi telah mengubah bentuk-bentuk hubungan antarmanusia dengan
lebih cepat, lebih intensif dan lebih beragam.
477677185.docx ______________________________________________ P a g e | 10
3. Tradisional vs Modern
4. Jangka Panjang vs Jangka Pendek
5. Kompetisi vs kesamaan kesempatan
6. Keterbatasan akal manusia vs Ledakan IPTEK
7. Spiritual vs Material
Appadurai (1990) dalam bukunya global Culture mengidentifikasi berbagai jenis panorama
global sebagai berikut.
1. Panorama etnik global (Etno Scape) yang diakibatkan oleh makin berkembangnya turisme,
migrasi dan pengungsi yang di sebabkan oleh berbagai factor.
2. Panorama teknologi global
3. Panorama keuangan global
4. Panorama media global
5. Panorama sacral global
6. Panorama ide global
Melihat keterbatasan sumber daya alam dan jumlah penduduk yang terus bertambah secara
eksponensial serta perusakan bumi oleh manusia itu sendiri. Melihat hal ini kita bisa
berpandangan pesimis, namun ada juga yang berpandangan optimis karena pada dasarnya
manusia dapat memecahkan masalahnya sendiri akibat dari kemampuan teknologi yang
diciptakan.
Dalam kondisi ini muncul gagasan yang optimis, yaitu hendaknya umat manusia
membuat suatu kampong global (global village) tempat hidup manusia bersama-sama
memecahkan masalahnya mengenai dunia yang makmur, damai dan sejahtera. Sejalan dengan
itu gagasan pemerintahan global (global government) diutarakan karena kekhawatiran manusia
atas bumi yang memerlukan pemeliharaan agar pembangunan dapat berkesinambungan.
477677185.docx ______________________________________________ P a g e | 11
5.2 Kegiatan Belajar 2
GLOBALISASI DAN NASIONALISME
Globalisasi sering diyakini oleh sebagian pengamat sebagai ancaman memudarnya nasionalisme.
Globaliasasi yang dipercepat dengan pertumbuhan luar biasa dari media massa melalui media
telekomunikasi dianggap akan menghapus batas geografi suatu Negara. Akibatnya nasionalisme
akan kehilangan wujudnya dan berganti menjadi “universalisme” atau “globalisme”.
Nasionalisme tetap ada dan relevan dibicarakan mengingat.
1. Manusia bukanlah mass product , tetapi makhluk yang berakal, berperasaan dan berbudaya.
2. Fitrah manusia sebagai makhluk sosial yang bergolong-golong (primordial). Primodialisme
akan meluas kearah Nasionalisme, oleh karena itu nasionalisme tidak akan lenyap karena
saat ini dengan mudah melakukan komunikasi dengan manusia lain di belahan dunia lain
dalam waktu singkat.
3. Proses globalisasi tidak akan berjalan secara mekanistik dan pada akhirnya proses tersebut
diciptakan dan dikendalikan oleh manusia.
Ancaman bagi Nasionalime bukan hanya dari globalisasi saja, akan tetapi ancaman tersebut bisa
timbul dari factor internal yaitu dari situasi ekonomi, politik dan keamanan di dalam negeri.
Dampak dari situasi ekonomi dalam negeri dapat dilihat contohnya pada semakin
banyaknya tenaga kerja kita yang mencari nafkah ke luar negeri terutama di kawasan ASEAN.
Masih dari segi ekonomi, ancaman bagi Nasionalisme dapat berasal dari kesenjangan ekonomi
dan sosial.
Dari segi sosial, ancaman bagi Nasionalisme yang dapat terwujud dalam disintegrasi
nasional adalah SARA terutama konflik antar agama. Yang menjadi masalah adalah adanya
upaya dari individu dan kelompok politik tertentu untuk menggunakan agama sebagai
kendaraan politik didalam mewujudkan kepentingan politik mereka. Perilaku birokrasi dapat
pula menimbulkan keresahan sosial. Hal yang disoroti terutama adalah sikap kurang tanggap
dari sebagian aparat birokrasi terhadap kepentingan rakyat baik dalam bentuk tindakan yang
bertentangan dengan kehendak rakyat maupun dalam pelayanan birokrasi.
Kesalahan yang umum terjadi didalam memahami kadar nasionalisme suatu bangsa
adalah uoaya secara tidak sadar untuk mencampurkan persepsi pribadi terhadap orang lain
dengan persepsi individu terhadap bangsa dan negaranya. Oleh karena nasionalisme berkaitan
dengan persepsi individu maka dengan sendirinya perlu ada upaya terus menerus untuk
mempertahankan agar persepsi individu terhadap bangsa dan negaranya tetap positif.
Belajar dari pengalaman pembangunan di Negara-negara tetangga yang dapat
menumbuhkan kebanggaan terhadap bangsa dan Negara maka harus ditumbukan etika
kepemimpinan dan etika sosial yang berlandaskan kejujuran, kerja keras dan hemat dalam
upaya menuju masyarakat Indonesia yang modern. Sebagaimana yang diwasiatkan oleh Bapak
Ir. Soekarno “kebesaran bangsa dan kemakmuran tidak pernah jatuh gratis dari langit, tetapi
selalu merupakan kristalisasi keringat (kerja keras).
Didalam menghadapi era globalisasi sebagai suatu tantangan dan sekaligus peluang yang
harus diraih berpijak pada budaya bangsa. Sebagai bangsa Indonesia kita tidak boleh tercabut
dari akar budaya bangsa yaitu pancasila. Budaya pancasila itulah yang menjadi jati diri bangsa
477677185.docx ______________________________________________ P a g e | 12
Indonesia yang menentukan cara berpikir, cara bersikap, dan cara berbuat dalam kehidupan
masyarakat.
Mengkaji suatu permasalahan dan perspektif liberal, sosialis, komunis maupun
fundamentalis agama pasti akan menghasilkan produk dan manusia lain yang tidak seiring
dengan akar budaya bangsa kita “pancasila” yang menganut paham keseimbangan, keselarasan
dan keserasian hubungan engkau yang abadi (Tuhan Yang Maha Esa, sila 1), aku (manusia
dalam konteks abstrak, sila 2) dan sosialitas manusia (sila 3, 4 dan 5).
5.3
477677185.docx ______________________________________________ P a g e | 13
5.4 Kegiatan Belajar 3
MENINGKATKAN KETAHANAN NASIONAL INDONESIA DALAM
MEGHADAPI ERA GLOBALISASI
Untuk menghadapi globalisasi, kita harus tahu kekuatan dan kelemahan yang kita miliki dalam
segenap aspek kehidupan bangsa (astagatra) sebagai berikut.
1. Geografi
Potensi wilayah darat, laut dan iklim tropis sebagai ruang hidup sangat baik dan
strategis, namun di sisi lain terdapat kelemahan dalam pendayagunaan wilayah
darat, laut, dirgantara dan pengaturan tata ruangnya.
2. Sumber kekayaan alam
Potensi sumber kekayaan kita baik yang bersifat hayati maupun non hayati serta
yang bisa diperbaharui ataupun yang tidak bisa diperbaharui begitu besar, hal ini
merupakan modal dan kekuatan dalam pembangunan. Namun kelemahannnya
belum sepenuhnya potensi itu dimanpaatkan secara optimal.
3. Demografi
Kelemahannya, sebagian penduduk Indonesia tidak proporsional, pertumbuhan
belum mencapai zero growth dan kualitas nonfisik masih rendah.
4. Ideology
Kelemahannya, pengamalan atau pembudayaan pancasila sebagai ideology
bangsa Indonesia belum sepenuhnya terwujud.
5. Politik
Kelemahannya, budaya politik masih perlu perbaikan dan peningkatan. Begitu
juga komunikasi politik dan partisipasi politik perlu mendapat perhatian untuk
diperbaiki.
6. Ekonomi
Kelemahannya, perindustrian Indonesia masih tergantung pada impor bahan baku
atau komponen. Perpajakan juga masih lemah dan perlu mendapat perhatian
dalam upaya meningkatkan biaya pembangunan yang dijalankan saat ini.
7. Sosial budaya
477677185.docx ______________________________________________ P a g e | 14
Penerapan pendekatan tannas dalam pembangunan nasional sejalan dengan kelemahan dan
kekuatan yang kita miliki seperti diutarakan maka diperlukan pengaturan dalam segenap aspek
kehidupan bangsa (Astagrata)
Aspek Trigatra
Dalam pengaturan aspek trigatra yang perlu mendapat perhatian ialah,
1. Pengaturan tata ruang wilayah nasional yang serasi antara kepentingan kesejahteraan dan
kepentingan keamanan.
2. Pengelolaan sumber kekayaan alam dengan memperhatikan asas manfaat, daya saing dan
lestari serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat
3. Pembinaan kependudukan
Aspek Pancagatra
1. Pemahaman penghayatan dan pengamatan pancasila ideology
2. Penghayatan budaya pancasila
3. Mewujudkan perekonomian yang efisien, pemerataan dan pertumbuhan yang tinggi
4. Memantapkan identitas nasional Bhinneka Tunggal Ika
5. Memantapkan kesadaran bela Negara
Kedelapan aspek kehidupan (Astagrata) ditempatkan atau dianggap sebagai komponen proses
yang akan memproses baik langsung maupun tidak langsung input mentah (masalah masyarakat)
menjadi output berupa kondisi tannas sesaat itu kesejahteraan dan keamanan. Dari kedelapan
aspek diatas, kondisi tannas sesaat dapat diukur. Dengan mengetahui tingkat tannas sesaat maka
kita dapat memilih kebijaksanaan dan strategi untuk mencapai tujuan nasional yang diinginkan.
477677185.docx ______________________________________________ P a g e | 15
6 Modul 5
POLITIK DAN STRATEGI NASIONAL
6.1 Kegiatan Belajar 1
PENGERTIAN DAN LANDASAN POLITIK DAN STRATEGI
NASIONAL (POLTRANAS)
1. Politik Nasional
Politik Nasional dapat diartikan sebagai asas, haluan, kebijaksanaan, dan usaha Negara tentang
pembinaan (perencanaan, pengembangan, pemeliharaan dan pengendalian) serta penggunaan
secara totalitas dari potensi nasional baik yang potensial maupun yang efektif untuk mencapai
tujuan nasional melalui bangnas.
Politik nasional antara lain,
1. Politik dalam negeri
2. Politik luar negeri
3. Politik ekonomi
4. Politik pertahanan dan keamanan
Factor-faktor yang mempengaruhi politik nasional
1. Ideologi dan politik
2. Ekonomi
3. Sosial Budaya
4. Pertahanan dan keamanan
2. Strategi Nasional
Strategi nasional adalah “tata cara” untuk melaksanakan politik/kebijaksanaan nasional. Suatu
konsep stranas adalah produk suatu bangsa berdasarkan aspirasi dan pengalaman serta tujuan
nasional yang hendak dicapai.
Tujuan Nasional adalah pernyataan kondisi untuk waktu yang akan datang yang sangat
diinginkan oleh suatu bangsa yang terumus dalam pengertian kualitatif dengan batas-batas yang
dapat diukur ke arah mana bangsa memusatkan segenap usahanya, melalui sejumlah sasaran
nasional.
Sasaran nasional adalah bagian integral dari tujuan nasional, yaitu suatu kondisi nyata yang
hendak dicapai dengan melibatkan segenap usaha dan sumber kemampuan nasional yang
tersedia pada saat sasaran nasional tersebut ditetapkan melalui kebijaksanaan nasional yang
kemudian diwujudkan dengan cara melakukan kegiatan nasional secara berlanjut.
3. Landasan Politik dan Strategi Nasional
Landasan POLSTRANAS antara lain
1. Pancasila
2. UUD 1945
3. Wasantara
4. Tannas
477677185.docx ______________________________________________ P a g e | 16
Sistem Perencanaan Strategi Nasional (SISRENSTRA)
Perangkat lunak untuk mengendalikan seluruh tingkat perencanaan dalam upaya
mencapai sasaran nasional.
Dalam hakikat perencanaan sekurang-kurangnya ada 6 komponen yang harus kita ketahui
1. Kondisi nyata saat ini
2. Sasaran yang harus dicapai
3. Factor-faktor ketidakpastian
4. Factor ancaman
5. Factor keterbatasan sumber daya
6. Bayangan masa depan yang diinginkan
Perencanaan masa depan mempunyai jangka waktu atau dibuat berjenjang, antara lain.
1. Rencana jangka panjang (10-25 tahun) / PJPT (Program jangka panjang
tahapan/periode/babakan)
2. Rencana jangka sedang (5 tahun) / Repelita
3. Rencana Jangka Pendek (1 tahun) yang berisikan RAPBN
477677185.docx ______________________________________________ P a g e | 17
6.2 Kegiatan Belajar 2
IMPLEMENTASI POLITIK DAN STRATEGI NASIONAL PADA
BIDANG-BIDANG PEMBANGUNAN NASIONAL
Tujuan nasional bangsa Indonesia sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD 1945 yaitu,
1. Melindungi seluruh bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia atau tanah air
Indonesia (keamanan)
2. Memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa (kesejahteraan)
3. Ikut serta melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan perdamaian dan
keadilan sosial (lingkungan, kesejahteraan dan keamanan)
Penetapan POLSTRANAS
Polstranas ditetapkan oleh MPR. MPR sebagai pencerminan rakyat Indonesia, pemegang
kedaulatan rakyat dan pemegang kekuasaan Negara yang tertinggi. Wujud Poltranas itu ialah GBHN
yang ditetapkan oleh MPR.
Untuk menentukan GBHN yang pada hakikatnya adalah pola umum pembangunan yang ruang
lingkupnya mencakup berikut ini.
477677185.docx ______________________________________________ P a g e | 18
7 Modul 6
DEMOKRASI
7.1 Kegiatan Belajar 1 & 2
Pengertian dan Perkembangan Demokrasi
A. Pengertian Demokrasi
Demokrasi berasal dari kata “demos” yang berarti rakyat dan “cratos” yang berarti
berkuasa . Hal ini berarti ungkapan demokrasi tersebut yakni rakyat yang berkuasa .yang
oleh Meriam Boediarjo disebut sebagai government ruled by the people atau dalam
ungkapan umum yang populer yaitu government of the people , by the people , and for the
people atau pemerintahan dari rakyat , oleh rakyat untuk rakyat .
B. Prinsip demokrasi
1. Liberte / kebebasan (seperti kebebasan beragama , berkumpul dan kebebasan
mengemukakan pendapat)
2. Egalite / kesetaraan (persamaan derajat dan hak didepan hukum )
3. Fraternite / kebersamaan (menghormati hak asasi manusia (HAM) artinya dalam
kebersamaan setiap orang bebas melakukan apa yang ia inginkan selama tidak
mengganggu kebebasan dan hak-hak oranglain .)
Demokrasi mempunyai wujud konkret sebagai program dan system politik pada akhir
abad pertengahan yang merupakan wujud pemikiran akan adanya hak-hak politik rakyat .
477677185.docx ______________________________________________ P a g e | 19
Menurut stahl ada 4 unsur Negara hukum (rechsstaat)
1. Hak-hak manusia
2. Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak itu
3. Pemerintahan berdasarkan aturan atau undang-undang
4. Peradilan administrasi
477677185.docx ______________________________________________ P a g e | 20
4. demokrasi harus menuju kepada perbaikan dan kemajuan
5. dalam demokrasi dituntut adanya konsep persamaan (equality)
477677185.docx ______________________________________________ P a g e | 21
8 Modul 7
HAK ASASI MANUSIA
8.1 Kegiatan Belajar 1
MAKNA, HAKIKAT DAN PERKEMBANGAN PEMIKIRAN HAM
477677185.docx ______________________________________________ P a g e | 22
mengimplementasikan. UUD 1945 memuat prinsip-prinsip HAM, meliputi hak-hak individu,
sosial ekonomi dan politik (misalnya hak untuk memperoleh pengajaran, hak kebebasan
berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat, persamaan warga ne gara di depan hukum).
Prinsip dasar yang dianut Indonesia sebagai amanat konstitusi, pelaksanaan HAM harus
didasarkan kepada prinsip bahwa hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial budaya dan hak
pembangunan merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan baik dalam
penerapan, pelaksanaan dan pemantauan. Sejalan dengan apa yang tertuang di dalam Pasal 1(3),
Pasal 55, dan 56 Piagam PBB, upaya pemajuan dan perlindungan HAM harus dilakukan melalui
suatu kerja sama internasional yang berdasarkan prinsip saling menghormati, kesederajatan dan
hubungan antar negara serta hukum internasional yang berlaku. HAM dilahirkan oleh sebuah
komisi PBB yang dipimpin Eleanor Roosevelt dan pada 10 Desember 1948 secara resmi
diterima PBB sebagai ”Universal Declaration of Human Rights ” yang memuat tiga puluh pasal,
menjelaskan hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan kebudayaan yang fundamental yang
harus dinikmati manusia di dunia. Hal tersebut ses uai dengan Pasal 1 Piagam PBB yang
menegaskan bahwa salah satu tujuan PBB adalah untuk mencapai kerja sama internasional
dalam mewujudkan dan mendorong penghargaan atas HAM dan kemerdekaan yang mendasar
bagi semua orang, tanpa membedakan suku bangsa, kelamin, bahasa maupun agama. Pada
awalnya deklarasi ini hanya mengikat secara formal dan moral anggota PBB, tetapi sejak tahun
1957 dilengkapi dengan tiga perjanjian, yaitu sebagai berikut.
1. International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights
2. International Covenant on Civil and Political Rights
3. Optional Protocol to the International Covenant on Civil and Political Rights
Ketiga dokumen tersebut diterima Sidang Umum PBB 16 Desember 1966 dan kepada anggota
PBB diberi kesempatan untuk meratifikasi. Setiap negara yang meratifikasi dokumen tersebut
berarti terikat dengan ketentuan dokumen tersebut. Konvensi tersebut bertujuan untuk memberi
perlind ungan hak-hak dan kebebasan pribadi manusia. Setiap negara yang meratifikasi konvensi
tersebut, menghormati dan menjamin semua individu di wilayah kekuasaannya dan mengakui ke
kuasaan pengadilan hak-hak yang diakui dalam konvensi tersebut tanpa membedakan ras, warna
kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pendapat politik, asal-usul kebangsaan atau sosial, harta
milik, kelahiran atau status lainnya. Meskipun telah disepakati secara aklamasi oleh sejumlah
anggota PBB, baru 10 tahun kemudian perjanjian itu dapat diberlakukan. Ini disebabkan pada
tahun 1976, baru 35 negara bersedia meratifikasi. Bahkan tidak berbeda dari Indonesia, negara-
negara yang merasa dirinya ”champion” dalam HAM seperti USA dan Inggris hingga awal
dekade 1990-an belum meratifikasi kedua konvensi tersebut. Berdasarkan beberapa rumusan
HAM, dapat ditarik kesimpulan tentang beberapa ciri pokok hakikat HAM, yaitu sebagai
berikut:
1. HAM tidak perlu diberikan, dibeli ataupun diwarisi. HAM adalah bagian dari manusia secara
otomatis.
2. HAM berlaku untuk semua orang tanpa memandang jenis kelamin, ras, agama, etnis,
pandangan politik atau asal-usul sosial dan bangsa.
3. HAM tidak bisa dilanggar. Tidak seorang pun mempunyai hak untuk membatasi atau
melanggar hak orang lain. Orang tetap mempunyai HAM walaupun sebuah negara membuat
hukum yang tidak melindungi atau melanggar HAM
477677185.docx ______________________________________________ P a g e | 23
B. PERKEMBANGAN PEMIKIRAN HAM
Dalam perkembangannya, pemikiran mengenai HAM mengalami pasang surut sejalan dengan
sejarah peradaban manusia terutama dalam ikatan kehidupan masyarakat, berbangsa dan
bernegara. Pasang surut HAM ini, sebenarnya mulai muncul setelah manusia mulai memikirkan
tentang dirinya dalam lingkungan alam semesta. Pemikiran mengenai HAM ini mulai mencapai
titik paling rendah setelah dikemukakan konsep kedaulatan Tuhan yang di dunia ini dilakukan
oleh seorang raja ataupun Paus. Inilah salah satu puncak kegagalan dunia barat dalam
menghargai harkat dan martabat manusia. Ke daulatan Tuhan yang dilaksanakan oleh raja atau
Paus, menjadikan raja/Paus mempunyai kekuasaan yang maha dahsyat sehingga mengak ibatkan
hak-hak raja termasuk para keturunannya dan Paus dapat terpenuhi secara optimal, sementara
bagi manusia kebanyakan sama sekali tidak memiliki hak apapun. Dalam kondisi yang demikian
maka HAM dapat diibaratkan merupakan suatu impian dan barang komoditi yang sangat mahal
hargan ya, sekaligus langka keberadaannya. Dalam sejarah HAM, pengalaman dunia barat telah
memberikan tonggak-tonggak sejarah yang sangat penting dalam perkembangan HA M pada
tahun 1215, misalnya perjuangan para bangsawan Inggris berhasil mencatat “Magna Charta”
yang membatasi kekuasaan raja John. HAM yang dirumuskan sepanjang abad ke 17 dan 18
dipengaruhi ole h gagasan hukum alam (natural law) seperti yang dirumuskan John Lock dan J.J.
Rousseau yang hanya membatasi kebebasan dalam bidang politik saja. Timbulnya gagasan
HAM pada dasarnya merupakan akibat dari berkembangnya aliran rasionalisme. Perjalanan
HAM mempunyai sejarah yang panjang, diperjuangkan oleh umat manusia akibat adanya
pertentangan antara manusia dengan negara yang memayunginya maupun penindasan,
perbudakan dan sejenis lain nya yang pernah tumbuh dan berkembang dalam peradaban umat
manusia.
Apabila sejarah perkembangan HAM dikaji, sekurang-kurangnya ada 4 kelompok pemikiran,
yaitu sebagai berikut.
1. Kelompok pertama berpandangan bahwa pengertian HAM berpusat pada hal-hal yang
berkaitan dengan hukum dan politik. Pandangan ini sebagai reaksi keras terhadap kehidupan
kenegaraan yang bersifat totaliter dan fasis yang mewarnai kondisi sebelum Perang Dunia (PD)
II. Hal yang mendasari pemikiran dan partisipasi tentang HAM pada kelompok ini adalah
pemikiran hukum yang sangat menonjol.
2. Kelompok kedua pembahasan HAM merupakan perluasan HAM dari kelompok pertama.
Selepas PD II banyak negara dunia ketiga telah merdeka, lepas dari penjajahan. Kemerdekaan
perlu diisi dengan pembangunan di segala bidang kehidupan seperti bidang sosial, ekonomi dan
budaya. Pada generasi kedua ini lahir dua covenant, yaitu covenant on Economic, Social and
Cultural Rights dan International Covenant on Civil and Political Rights. Kedua covenant
tersebut disepakati dalam sidang umum PBB 1966. Pada masa generasi kedua, hak yuridis
kurang mendapat penekanan sehingga terjadi ketidakseimbangan dengan hak sosial budaya, hak
ekonomi dan hak politik.
3. Kelompok ketiga merupakan sintetis dari generasi pertama dan kedua. Pada saat
berkembangnya kelompok ini kondisi ketidakseimbangan pembangunan memunculkan berbagai
kritik yang menyarankan harus ada kesatuan antara hak ekonomi, hak sosial, budaya, hak politik
477677185.docx ______________________________________________ P a g e | 24
dan hak hukum dalam suatu wadah yang disebut “Pembangunan” (the rights of development).
Dalam kelompok ini diakui banyak kemajuan karena semua hak dapat dilakukan secara
bersama-sama, namun masih banyak kesenjangan antara hak-hak tersebut karena penekanan
pembangunan pada sektor ekonomi telah menimbulkan banyak korban dan banyak hak-hak
rakyat yang dilanggar. Di dunia ketiga peranan negara sangat dominan dan implementasi HAM
didekati secara top down.
4. Kelompok keempat banyak melakukan kritik terhadap peranan negara yang dominan dalam
pembangunan. Kelompok ini menghasilkan deklarasi yang disebut Declaration of the basic
duties of Asia people and government. Dalam deklarasi ini masalah HAM dirumuskan lebih
berpihak pada perombakan tatanan sosial yang berkeadilan. Selain itu lebih ditekankan pada
kewajiban asasi dan bukan pada hak asasi. Alasan dari semuanya adalah kata kewajiban
mengandung pengertian keharusan pemenuhan, sedangkan kata hak baru sebatas perjuangan dari
pemenuhan hak. Negara diharuskan memenuhi hak asasi rakyat, dengan kata lain negara wajib
menjunjung tinggi HAM . Beberapa masalah dalam deklarasi yang terkait dengan HAM dalam
kaitan dengan pembangunan sebagai berikut:
a. Pembangunan berdikari (self development) Pembangunan yang dilakukan adalah
pembangunan yang membebaskan rakyat dan bangsa dari ketergantungan dan sekaligus
memberikan kepada rakyat sumber-sumber daya sosial ekonomi. Relokasi dan redistribusi
kekayaan dan modal nasional harus dilakukan dan sudah waktunya sasaran pembangunan itu
ditujukan kepada rakyat banyak di pedesaan.
b. Perdamaian Masalah perdamaian tidak semata-mata berarti anti perang, anti nuklir dan anti
perang bintang. Akan tetapi, justru lebih dari suatu upaya untuk melepaskan diri dari budaya
kekerasan dengan segala bentuk tindakan. Hal itu berarti penciptaan budaya damai menjadi
tugas semua pihak baik rakyat, negara, regional maupun dunia internasional.
c. partisipasi rakyat Soal partisipasi rakyat ini adalah suatu persoalan hak asasi yang sangat
mendesak untuk terus diperjuangkan baik dalam dunia politik maupun dalam persoalan publik
lainnya.
d. Hak -hak budaya Di beberapa masyarakat menunjukkan tidak dihormatinya hak-hak budaya.
Adanya upaya dan kebijakan penyeragaman budaya oleh Negara merupakan bentuk pelanggaran
terhadap hak asasi berbudaya karena mengarah ke penghapusan kemajemukan budaya yang
menjadi identitas kekayaan suatu komunitas warga dan bangsa.
e. Hak keadilan sosial Keadilan sosial tidak saja berhenti dengan naiknya pendapatan per kapita,
tetapi justru baru berhenti pada saat tatanan sosial yang tidak adil dijungkirbalikkan dan diganti
dengan tatanan sosial yang berkeadilan.
1. Hak Asasi dalam Islam Isu pelaksanaan HAM tidak lepas dari perhatian umat islam karena
mayoritas negara-negara islam yang merupakan bagian negara dunia ketig a yang banyak
merasakan ketidakadilan perlakuan negara-negara barat dengan atas nama HAM dan demokrasi
Dari segi tujuan, ajaran islam tentang HAM mempunyai persamaan dengan yang terdapat dalam
UUD 1945 dan deklarasi sedunia tentang HAM, baik yang dikeluarkan pada 10 Desember 1948
maupun 1966. Dalam ajaran Islam, manusia ditempatkan pada kedudukan setara dan sejajar
dengan manusia lainnya. HAM yang dimiliki manusia dalam ajaran islam bukan sesuatu yang
telah dimiliki manusia sejak awal tertanam dala m dirinya (inherent) , akan tetapi sebagai
karunia Allah SWT yang diberikan kepada manusia dengan segala persyaratan dan
477677185.docx ______________________________________________ P a g e | 25
pertanggungjawaban. HAM dalam islam berbeda dari segi asal-usul, hakikat, dan cara
pelaksanaannya. Menurut ajaran islam, perbedaan satu individu dengan individu lainnya, terjadi
bukan karena haknya sebagai manusia melainkan didasarkan pada keimanan dan ketaqwaannya
dan perbedaan ini tidak menyebabkan perbedaan dalam kedudukan sosial. Pemikiran ini yang
menjadi sumbang an yang sangat besar pada perkembangan HAM dalam masyarakat
internasional. Dalam sejarah islam, yang berkaitan dengan HAM terdapat dua deklarasi, yaitu
”Piagam Madinah” dan ”Deklarasi Kairo”. Konsep dasar dari deklarasi tersebut adalah
kesepakatan perlindungan dan jaminan hak-hak semua warga masyarakat tanpa melihat latar
belakang suku dan agama di kota Madinah yang dipimpin oleh Nabi Muhammad SAW. Piagam
Madinah bertujuan menciptakan keselarasan dan keserasian dalam kehidupan politik, ekonomi
dan sosial budaya dan pengembangan toleransi antar pemeluk agama penduduk Madinah yang
majemuk. Setiap warga Madinah berkewajiban membela Madinah dari ancaman atau serangan
dari luar. Dari sisi pemerintahan, piagam Madinah merupakan alat legitimasi Nabi Muhammad
SAW untuk menjadi pemimpin umat majemuk di kota Madinah dengan menekankan asas
kesetaraan dan kesamaan pada masyarakatnya. Deklarasi Kairo adalah deklarasi yang dihasilkan
dari sidang organisasi konferensi Islam (OKI) pada tahun 1990. Konsep deklarasi Kairo ini
diangkat dari Alquran dan Sunah. Dalam deklarasi Kairo terdapat 24 pasal tentang HAM.
2. HAM di Indonesia Hak asasi Indonesia dimasukkan dalam UUD 1945 meskipun tidak secara
rinci. Hal ini disebabkan ada dua pandangan pemikiran yang berbeda , yaitu Prof. Dr. Soepomo
dan Ir. Soekarno di satu sisi dan Drs. Mo hamad Hatta di sisi lain. Soepomo mendukung gagasan
tentang negara integral Sistem pemerintahan yang cocok bagi bangsa Indonesia adalah
demokrasi yang telah lama hidup dan berkembang di pedesaan. Menurut Soepomo, dalam UUD
1945 tidak perlu dimasukkan pasal-pasal yang menyangkut perseorangan/individu karena
apabila dimasukkan akan bertentangan dengan konstruksinya, yaitu UUD 1945. Sejalan dengan
Soepomo, Soekarno sangat menentang liberalisme yang menjamin hak-hak individu. Oleh
karena itu, Soekarno menyatakan apabila negara kita betul-betul hendak mendasarkan pada
paham kekeluargaan, paham tolong menolong, paham gotong royong dan keadilan sosial maka
enyahlah tiap-tiap pikiran, tiap-tiap paham individualisme dan liberalisme. Sedangkan Mohamad
Hatta dengan gigih memperjuangkan hak-hak warga negara. Menurut pendapatnya, dalam
konstitusi harus ada perlindungan dasar dalam konstitusi dan tidak harus berkembang dengan
liberalisme. Apabila negara kekeluargaan dibangun tetap perlu ditetapkan beberapa hak warga
negara karena jaminan terhadap hak tersebut menceg ah timbulnya negara kekuasaan. Namun
demikian, ada kesejajaran pemikiran Soekarno dan Hatta selaku “dwi tunggal” yang
menitikberatkan pada pemikiran kebersamaan, integrasi dan kesetiakawanan. Pemikiran
integratif ini yang banyak mewarnai UUD 1945. UUD 1945 disusun dalam waktu yang sangat
singkat menjelang akhir pendudukan Jepang dan selama pendudukan tersebut Indonesia tertutup
dar i dunia luar. UUD 1945 diundangkan sebelum pernyataan sedunia tentang HAM. UUD 1945
singkat dan simpel sehingga tidak banyak atau kurang lengkap mencantumkan HAM. Konstitusi
RIS (1949) dan UUDS (1950) makin banyak mencantumkan HAM di dalamnya sebagaimana
yang telah diputuskan PBB. Meskipun UUD 1945 tidak banyak mencantumkan HAM, bukan
berarti para pencetusnya tidak memperhatikan HAM. Di dalam paragraf terakhir UUD 1945
merupakan komitmen yang sangat mendasar terhadap HAM. Perjuangan dalam menegakkan
HAM merupakan tugas dan kewajiban negara. Dalam masa orde baru beberapa langkah penting
dilakukan dalam upaya HAM, yaitu sebagai berikut:
477677185.docx ______________________________________________ P a g e | 26
a. MPR membentuk panitia dengan tugas menyusun konsep HAM dan hak warga negara, namun
konsep ini tidak pernah disahkan.
b. TAP MPR No. II Tahun 1978 tentang P4 menyebutkan manusia diakui dan diperlakukan
sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan YME, yang sama derajat, sama
haknya dan kewajiban asasinya.
c. TAP MPR N o. IV Tahun 1978 yang mengamanatkan penyusunan UU yang menyangkut hak
dan kewajiban asasi warga negara dalam rangka mengamalkan Pancasila dan UUD 1945. d.
Dalam GBHN 1988, dirumuskan dalam upaya pembangunan hukum perlu ditingkatkan langkah-
langkah untuk mengembangkan meneg akkan secara serasi hak dan kewajiban asasi warga
negara dalam rangka mengamalkan Pancasila dan UUD 1945.
3. HAM dalam Amandemen 1945 Sejak diberlakukan kembali UUD 1945 setelah Dekrit
Presiden 5 Juli 1959, praktis secara yuridis UUD 1945 belum pernah mengalami perubahan.
Meski dalam praktik ketatanegaraan sejatinya sudah mengalami perubahan berulangkali.
Perubahan yang terjadi sebenarnya hanya bermakna penafsiran artinya pelaksanaan UUD 1945
yang dalam kurun waktu demokrasi terpimpin dan demokrasi Pancasila harus diletakkan secara
murni dan konsekuen ternyata hanya sebatas retorika politik dari pemegang kekuasaan di
masing-masing era tersebut. Praktik keta ta negaraan justru jauh dari nilai- nilai demokrasi dan
penghargaan terhadap HAM sebagaimana digariskan oleh UUD 1945. Gerakan reformasi yang
digulirkan mahasiswa sejak permulaan tahun 1998 ternyata telah mengubah peta kekuasaan dan
sistem ketatanegaraan Indonesia. Terkait dengan hal ini, kesakralan UUD 1945 yang pernah
dicanangkan oleh rezim kekuasaan di Indonesia mulai diganggu gugat. Dengan kondisi yang
demikian maka terjadi paradigma baru dalam wacana politik dan ketatanegaraan Indonesia yaitu
dengan lebih membuka diri untuk mengembangkan prinsip- pr insip demokrasi pemerintahan
dan penghargaan terhadap HAM. Ketetapan MPR NO XVII/MPR/1998 di dalam Konsideran
Menimbang menyatakan “bahwa bangsa Indonesia sebagai bagian masyarakat dunia patut
menghormati HAM yang termaktub dalam Deklarasi HAM PBB serta be rbagai instrumen
internasional lainnya mengenai HAM”. Dengan adanya Ketetapan MPR ini maka mulai tahun
1998 pemerintah Indonesia dan berbagai komponen suprastruktur politik lainnya mulai
melakukan berbagai langkah untuk merumuskan dan mengimplementasikan HAM Dalam Pasal
1 Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998 secara tegas menyatakan “menugaskan kepada lembaga
-lembaga tinggi negara dan seluruh aparatur pemerintah, untuk menghormati, menegakkan dan
menyebarluaskan pemahaman mengenai HAM kepada seluruh masyarakat”. Lebih lanjut dalam
Pasal 2 juga menyatakan “menugaskan kepada Presiden RI dan DPR RI untuk meratifikasi
berbagai instrumen PBB tentang HAM sepanjang tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD
1945”. Di Indonesia, HAM diatur secara formal dalam sistem hukum nasional. Dalam
amandemen 1945 HAM dituangkan dalam BAB X (warga negara da n penduduk), BAB X.A
dan BAB XI. Tentu saja tidak hanya BAB dan pasal tersebut yang berkaitan dengan HAM,
tetapi juga pasal lainnya, seperti agama, pendidikan dan kebudayaan dan perekonomian sangat
berkaitan dengan HAM. Lebih dari itu telah ada UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM dan UU
No. 26 Tahun 2000 tentang peradilan HAM. Lebih lanjut, secara lengkap pengaturan mengenai
HAM di dalam Amandemen UUD 1945 adalah sebagai berikut. a. Pasal 27
1) Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib
menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
477677185.docx ______________________________________________ P a g e | 27
2) Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
3) Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara.
b. Pasal 28: kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan
tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang
c. Pasal 28A: Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan
kehidupannya.
d. Pasal 28B
1) Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan
yang sah.
2) Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi
e. Pasal 28C
1) Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak
mendapatkan pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni
dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidup dan demi kesejahteraan umat manusia.
2) Setiap orang berhak untuk memajukan diri dalam memperjuangkan haknya secara kolektif
untuk membangun masyarakat, bangsa dan negara.
f. Pasal 28D
1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil
serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
2) Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak
dalam hubungan kerja.
3) Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan
4) Setiap orang berhak atas status kewarganegaraan.
g.Pasal 28E
1) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan
dan pengajaran, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan
meninggalkannya serta berhak kembali.
2) setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap,
sesuai dengan hati nuraninya.
3) Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat.
h. Pasal 28F: Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk
mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh,
memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala
jenis saluran yang tersedia.
i. Pasal 28G
477677185.docx ______________________________________________ P a g e | 28
1) Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan harta
benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman
ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.
2) Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat
martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain.
j. Pasal 28H
1) Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan
lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.
2) Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh
kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.
3) Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara
utuh sebagai manusia yang bermartabat.
4) Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil
alih secara sewenang-wenang oleh siapa pun.
k. Pasal 28 I
1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak
beragama, hak untuk tidak diperbudak, tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut
adalah HAM yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.
2) Setiap orang berhak bebas dari perikelakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan
berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.
3) Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan
zaman dan peradaban
4) Perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan HAM adalah tanggung jawab negara
terutama pemerintah.
5) Untuk menegakkan dan melindungi HAM dengan prinsip negara hukum yang demokratis
maka pelaksanaan HAM dijamin, diatur dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.
l. Pasal 28 J
1) Setiap orang wajib menghormati HAM orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara
2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan
yang ditetapkan dalam undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan
serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil
sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam
suatu masyarakat demokratis.
m. Pasal 29 ayat (2): Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Dengan memperhatikan pasal-pasal hasil Amandemen UUD 1945 tersebut, ternyata dalam
477677185.docx ______________________________________________ P a g e | 29
merumuskan hal-hal yang berkaitan dengan perlindungan HAM masih bersifat tumpang tindih
dan tidak sistematis dan terjadi duplikasi di sana-sini.
Contoh yang dapat dikemukakan di sini adalah Pasal 28 I dan Pasal 29 ayat (2). Kedua pasal
tersebut secara tegas sama-sama memberikan perlindungan HAM di bidang agama.
4. HAM menurut UU No. 39 Tahun 1999 Pada hakikatnya UU No. 39 tahun 1999 merupakan
UU yang dibentuk dengan cara mempersatukan pemahaman sifat universalitas dan sifat
kontekstualitas dari HAM. Sifat universalitas dari HAM mengandung dimensi individualistik,
sedang sifat kontekstualitasnya mengandung dim ensi budaya yang berlaku di suatu komunitas
masyarakat. Kolaborasi kedua sifa t itu nampak jelas di dalam Pasal 6 yang menyatakan: Dalam
rangka penegakan HAM, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus
diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat dan pemerintah. Identitas budaya
masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan
perkembangan zaman. Pasal tersebut dianggap merupakan langkah kolaborasi sifat universalitas
dan kontekstualitas HAM karena pada hakikatnya UU No. 39 Tahun 1999 di samping
mengadopsi secara penuh Deklarasi Sedunia tentang HAM, juga masih tetap memberikan ruang
gerak bagi komunitas-komunitas masyaraka t adat dan budaya di Indonesia untuk
mengembangkan sendiri pemaha man mengenai hak dan kewajiban para anggota komunitas
masing-masing Bahkan dalam hal ini UU tersebut memberikan perlindungan terhadap
eksistensinya.
C. BENTUK-BENTUK HAM
Prof. Bagir Manan membagi HAM pada beberapa kategori yaitu hak sipil,hak politik, hak
ekonomi, hak sosial dan budaya. Hak sipil terdiri dari hak diperlakukan sama di muka hukum,
hak bebas dari kekerasan, hak khusus bagi kelompok anggota masyarakat tertentu dan hak hidup
dan kehidupan. Hak politik terdiri dari hak kebebasan berserikat berkumpul, hak kemerdekaan
mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan, dan hak menyampaikan pendapat di muka
umum, hak ekonomi terdiri dari hak jaminan sosial, hak perlindungan kerja, hak perdagangan
dan hak pembangunan berkelanjutan. Hak sosial budaya terdiri dari hak memperoleh
pendidikan, hak kekayaan intelektual, hak kesehatan dan hak memperoleh perumahan dan
pemukiman. Sementara itu, Prof. Baharudin Lopa membagi HAM dalam beberapa jenis yaitu
hak persamaan dan kebebasan, hak hidup, hak memperoleh perlindungan, hak penghormatan
pribadi, hak menikah dan berkeluarga, hak wanita sederajat dengan pria, hak anak dan orang tua,
hak memperoleh pendidikan, hak kebebasan memilih agama, hak kebebasan bertindak dan
mencari suaka, hak untuk bekerja, hak memperoleh kesempatan yang sama, hak milik pribadi,
hak menikmati
NILAI-NILAI HAM
A. ANTARA NILAI UNIVERSAL DAN KONTEKSTUAL
Budaya merupakan suatu ungkapan yang bermakna ganda. Di satu sisi bisa diartikan sebagai
perilaku manusia dalam menanggapi suatu fenomena kehidupan kemasyarakatan, sedangkan di
sisi lain dapat diartikan sebagai hasil cipta, karsa dan karya manusia guna mengekspresikan
dirinya dalam ikatan kehidupan masyarakat, bangsa maupun negara. Kedua arti tersebu t pada
hakikatnya tetap bermuara pada keberadaan manusia itu sendiri sebagai makhluk individu
477677185.docx ______________________________________________ P a g e | 30
maupun makhluk sosial. Dalam wacana kebudayaan, sering muncul stereotype yang mencoba
melakukan dikotomi antara kebudayaan barat dengan kebudayaan timur. Barat dianggap
memiliki budaya yang bersifat individualistik sedangkan Timur lebih menekankan budaya
komunalitas dan kebersamaan dalam ikatan kehidupan masyarakat. Budaya Timur menganggap
bahwa harkat dan martabat manusia akan semakin bernilai jika ada keselarasan, keharmonisan
dan keseimbangan antara kepentingan individu dan kelompok. Wacana kebudayaan semacam ini
tentunya akan sangat berpengaruh terhadap implementasi HAM secara kontekstual artinya
penerapan HAM memiliki korelasi positif dengan kontekstualitas budaya dari suatu masyarakat
negara. Wacana mengenai kontekstualitas budaya dalam pelaksanaan HAM pernah dimunculkan
oleh Soepomo pada saat menyampaikan pidato pada tanggal 31 Mei 1945 di hadapan sidang
BPUPKI. Beliau mengemukakan bahwa dalam konsep negara integralistik, prinsip-prinsip
mendasar HAM itu tidak akan cocok untuk diterapkan karena mengambil nilai-nilai budaya
barat yang individualis. Lebih lanjut dikemukakan bahwa dengan adanya ja minan terhadap
HAM justru mencerminkan sikap keraguan, ketidakpercayaan dan curiga terhadap kekuasaan.
Tuduhan bahwa HAM itu adalah konsepsi individualistis menurut Frans Magnis Suseno
berdasarkan dua pertimbangan, yaitu sebagai berikut:
1. Paham HAM memfokuskan perhatian orang pada hak-haknya sendiri. Masyarakat lalu
sekedar sebagai sarana pemenuhan kebutuhan individual saja
2. Paham HAM dilihat menempatkan individu, kelompok, dan golongan masyarakat berhadapan
dengan negara dan bukan dalam kesatuan dengannya. Warga masyarakat bukannya menyatu
dengan negara melainkan diandaikan perlu dilindungi terhadapnya. Argumentasi semacam ini
nampak sekali dalam konsep kebudayaan Jawa yang ”dianggap sebagai cerminan budaya timur”.
Dalam konsep Budaya Jawa, keselarasan, keharmonisan dan keseimbangan hidup antara
individu dan masyarakat menjadi acuan utama dalam mengembangkan harkat dan martabat
manusia. Individu dan kelompok, baik itu suatu komunitas kehidupan bersama maupun dalam
kaitannya dengan negara sebagai organisasi kekuasaan merupakan kesatuan yang tak
terpisahkan. Dengan konsep budaya ini maka persoalan HAM berikut perlindungan terhadapnya
dianggap tidak relevan untuk diterapkan. Argumentasi tersebut menunjukkan bahwa dalam
perkembangan pemahaman ide HAM, dapat diambil pengertian bahwa konsep HAM berdimensi
ganda, yaitu sebagai berikut.
1. Dimensi Universalitas yaitu substansi HAM itu pada hakikatnya bersifat umum dan tidak
terikat oleh waktu dan tempat. HAM akan selalu dibutuhkan oleh siapa saja dan dalam aspek
kebudayaan di mana pun berada, entah di dalam kebudayaan Barat maupun Timur. Dimensi
HAM seperti ini, pada hakikatnya akan selalu dibutuhkan dan menjadi sarana bagi individu
untuk mengekspresikan dirinya secara bebas dalam ikatan kehidupan kemasyarakatan. Dengan
kata lain, HAM itu ada karena yang memiliki hak-hak itu adalah manusia sebagai manusia, jadi
sejauh manusia itu spesies homo sapiens dan bukan karena ciri-ciri tertentu yang dimiliki.
2. Dimensi Kontekstualitas, yaitu menyangkut penerapan HAM bila ditinjau dari tempat
berlakunya HAM tersebut. Maksudnya adalah ide-ide HAM dap at diterapkan secara efektif,
sepanjang ”tempat” ide-ide HAM memberikan suasana kondusif untuk itu. Dengan kata lain,
ide-ide HAM akan dapat dipergunakan secara efektif dan menjadi landasan etik dalam pergaulan
manusia jika struktur kehidupan masyarakat barat maupun timur sudah tidak memberikan tempat
bagi terjaminnya hak-hak individu yang ada di dalamnya Dua dimensi inilah yang memberikan
pengaruh terhadap pelaksanaan ide-ide HAM di dalam komunitas kehidupan masyarakat, bangsa
477677185.docx ______________________________________________ P a g e | 31
dan negara. Oleh sebab itu dengan adanya dua dimensi tersebut, perdebatan mengenai
pelaksanaan ide-ide HAM yang selalu diletakkan dalam konteks budaya, suku, ras maupun
agama sudah tidak mempunyai tempat lagi atau tidak relevan dalam wacana publik masyarakat
modern. Wacana atau perdebatan tentang nilai-nilai HAM apakah universal (artinya nilai-nilai
HAM berlaku umum di semua negara) atau partikular (artinya nilai-nilai HAM pada suatu
negara sangat kontekstual, yaitu mempunyai kekhususan dan tidak berlaku untuk setiap negara
karena ada keterkaitan dengan nilai-nilai kultural yang tumbuh dan berkembang pad a suatu
negara) terus berlanjut. Berkaitan dengan nilai-nilai HAM paling tidak ada tiga teori yang dapat
dijadikan kerangka analisis, yaitu teori realitas (realistic theory), teori relativisme kultural
(cultural relativism theory) dan teori radikal universalisme (radical universalisme). Teori realitas
mendasari pandangannya pada asumsi adanya sifat manusia yang menekankan self interest dan
egoisme dalam dunia seperti bertindak anarkis. Dalam situasi anarkis, setiap manusia saling
mementingkan dirinya sendiri sehingga menimbulkan chaos dan tindakan tidak manusiawi di
antara individu dalam memperjuangkan egoisme dan self interest - nya. Dengan demikian,
dalam situasi anarkis prinsip universalitas moral yang dimiliki setiap individu tidak dapat
berlaku dan berfungsi. Unt uk mengatasi situasi demikian negara harus mengambil tindakan
berdasarkan power dan security yang dimiliki dalam rangka menjaga kepentingan nasional dan
keharmonisan sosial dibenarkan. Tindakan yang dilakukan negara seperti tersebut tidak masuk
dalam kategori tindakan pelanggaran HAM oleh negara. Sementara itu teori relativitas kultural
berpandangan bahwa nilai-nilai moral dan budaya bersifat partikular (khusus). Hal ini berarti
bahwa nilai-nilai moral HAM bersifat lokal dan spesifik sehingga berlaku khusus pad a suatu
negara. Dalam kaitan dengan penerapan HAM, menurut teori ini ada tiga model penerapan
HAM, yaitu:
1. penerapan HAM yang lebih menekankan pada hak sipil, hak politik dan hak pemilikan
pribadi;
2. penerapan HAM yang lebih menekankan pada hak ekonomi dan hak sosial;
3. penerapan HAM yang lebih menekankan pada hak penentuan nasib sendiri ( self
determination ) dan pembangunan ekonomi. Model pertama banyak dilakukan oleh negara- ne
gara yang tergolong dunia maju, model kedua banyak diterapkan di dunia berkembang dan
untuk model ketiga banyak diterapkan di dunia terbelakang. Selanjutnya, teori radikal
universalitas berpandangan bahwa semua nilai termasuk nilai-nilai HAM adalah bersifat
universal dan bisa dimodifikasi untuk menyesuaik an adanya perbedaan budaya dan sejarah
suatu negara. Kelompok radikal universalitas menganggap ada satu paket pemahaman mengenai
HAM bahwa nilai-nilai HAM berlaku sama di semua tempat dan di sembarang waktu serta dapat
diterapkan pada masyarakat yang mempunyai latar belakang budaya dan sejarah yang berbeda.
Dengan demikian, pemahaman dan pengakuan terhadap nilai-nilai HAM berlaku sama dan
universal di semua negara dan bangsa. Dalam kaitan dengan ketiga teori tentang nilai-nilai HAM
itu dua arus pemikiran atau pandangan yang saling tarik menarik dapat melihat relativitas nilai-
nilai HAM, yaitu strong relativist dan weak relativist. Strong relativist beranggapan bahwa nilai
HAM dan nilai lainnya secara prinsip ditentukan oleh budaya dan lingkungan tertentu, sedang
universalitas nilai HAM hanya menjadi pengontrol dari nilai-nilai HAM yang didasari oleh
budaya lokal atau lingkungan yang spesifik. Berdasarkan pandangan ini diakui adanya nilai-nilai
HAM lokal (partikular) dan nilai-nilai HAM universal. Sementara weak relativist memberi
penekanan bahwa nilai-nilai HAM bersifat universal dan sulit untuk dimodifikasi berdasarkan
477677185.docx ______________________________________________ P a g e | 32
pertimbangan budaya tertentu. Berdasarkan pandangan ini nampak tidak adanya pengakuan
terhadap nilai- nilai HAM lokal melainkan hanya mengakui adanya nilai HAM universal.
B. NILAI-NILAI HAM
Nilai-nilai HAM terdapat dalam:
1. Universal Declaration of Human Rights, menyatakan bahwa setiap orang mempunyai:
a. Hak untuk hidup.
b. Kemerdekaan dan keamanan badan.
c. Hak untuk diakui kepribadiannya menurut hukum.
d. Hak untuk memperoleh perlakuan yang sama dengan orang lain menurut hukum
e. Hak untuk mendapat jaminan hukum dalam perkara pidana seperti diperiksa di muka umum,
dianggap tidak bersalah, kecuali ada bukti yang sah.
f. Hak untuk masuk dan keluar wilayah suatu negara.
g. Hak untuk mendapat hak milik atas benda.
h. Hak untuk bebas mengutarakan pikiran dan perasaan.
i. Hak untuk bebas memeluk agama serta mempunyai dan mengeluarkan pendapat.
j. Hak untuk berapat dan berkumpul.
k. Hak untuk mendapatkan jaminan sosial.
l. Hak untuk mendapatkan pekerjaan.
m. Hak untuk berdagang.
n. Hak untuk mendapatkan pendidikan.
o. Hak untuk turut serta dalam gerakan kebudayaan dalam masyarakat.
p. Hak untuk menikmati kesenian dan turut serta dalam kemajuan keilmuan.
477677185.docx ______________________________________________ P a g e | 33
3 . Pasal-pasal yang berkaitan dengan HAM dalam deklarasi Kairo
a. Hak persamaan dan kebebasan (Pasal 19 ayat a – e).Pasal ini berdasarkan pada: 1) Surat Al-
Israa’ ayat 70. 2) Surat An - Nisaa’ ayat 58, 105, 107, 135. 3) Surat Al-Mumtahanah ayat 8.
b. Hak hidup (Pasal 2 ayat a – d). Pasal ini berdasarkan pada: 1) Surat Al-Maidah ayat 45. 2)
Surat Al-Isra ayat 33
c. Hak memperoleh perlindungan (Pasal 3). Pasal ini berdasarkan pada: 1) Surat Al-Insaan. 2)
Surat Al-Balad ayat 12 17. 3) Surat At-taubah ayat 6.
d. Hak kehormatan pribadi (Pasal 4). Pasal ini berdasarkan pada Surat At Taubah ayat 6.
e. Hak menikah dan berkeluarga (Pasal 5 ayat a dan b). Pasal ini berdasarkan pada: 1) Surat Al-
Baqarah ayat 221. 2) Surat Ar-Ruum ayat 21. 3) Surat An-Nisaa ayat 1. 4) Surat At-Tahrim ayat
6.
f. Hak wanita sederajat dengan pria (Pasal 6). Pasal ini berdasarkan pada Surat Al Baqarah ayat
228.
g. Hak -hak anak dari orang tua (Pasal 7 ayat a – c). Pasal ini berdasarkan pada: 1) Surat Al
Baqarah ayat 233. 2) Surat Al-Israa ayat 23 – 24.
h. Hak memperoleh pendidikan dan berperan serta dalam perkembangan ilmu pengetahuan
(Pasal 9 ayat a dan b). Pasal ini berdasarkan pada: 1) Surat At-Taubah ayat 122. 2) Surat Al-
Alaq ayat 1 5.
i. Hak kebebasan memilih agama (Pasal 10). Pasal ini berdasarkan pada: 1) Surat Al-Baqarah
ayat 256. 2) Surat Al-Kahfi ayat 29. 3) Surat Al-Kafiruun ayat 1 6.
j. Hak kebebasan bertindak dan mencari suaka (Pasal 12). Pasal ini berdasarkan pada: 1) Surat
An-Nisa ayat 97. 2) Surat Al-Mumtahanah ayat 9.
k. Hak -hak untuk bekerja (Pasal 13). Pasal ini berdasarkan pada 1) Surat At-Taubah ayat 105. 2)
Surat Al-Baqarah ayat 286. 3) Surat Al-Mulk ayat 15
l. Hak untuk memperoleh kesempatan yang sama (Pasal 14). Pasal ini berdasarkan pada: 1) Surat
Al-Baqarah ayat 275 278. 2) Surat An-Nisaa ayat 161. 3) Surat Ali Imran ayat 130.
m. Hak milik pribadi (Pasal 15 ayat a b). Pasal ini berdasarkan pada: 1) Surat Al-Baqarah ayat
29 2) Surat An-Nisaa ayat 29.
n. Hak menikmati hasil atau produk ilmu (Pasal 16). Pasal ini berdasarkan pada: 1) Surat Al-
Ahqaaf ayat 19. 2) Surat Al-Baqarah ayat 164.
o. Hak tahanan dan narapidana (Pasal 20 21). Pasal ini berdasarkan pada Surat Al-Mumtahanah
ayat 8.
4. Dalam Deklarasi Universal tentang HAM atau yang dikenal dengan DUHAM, HAM terbagi
ke dalam beberapa jenis, yaitu hak personal (hak jaminan kebutuhan pribadi), hak legal (hak
jaminan perlindungan hukum), hak sipil dan politik, hak subsistensi (hak jaminan adany a
477677185.docx ______________________________________________ P a g e | 34
sumber daya untuk menunjang kehidupan), serta hak ekonomi, sosial dan budaya. Hak personal,
hak legal, hak sipil dan politik yang terdapat dalam Pasal 3 sampai 21 dalam DUHAM memuat:
1. hak untuk hidup, kebebasan dan keamanan pribadi;
2. hak bebas dari perbudakan dan penghambaan;
3. hak bebas dari penyiksaan atau perlakuan maupun hukuman yang kejam, tak
berperikemanusiaan ataupun merendahkan derajat kemanusiaan;
4. hak untuk memperoleh pengakuan hukum di mana saja secara pribadi;
5. hak untuk pengampunan hukum secara efektif;
6. hak bebas dari penangkapan, penahanan atau pembuangan yang sewenang-wenang;
7. hak untuk peradilan yang independen dan tidak memihak;
8. hak untuk praduga tak bersalah sampai terbukti bersalah;
9. hak bebas dari campur tangan yang sewenang-wenang terhadap kekuasaan pribadi, keluarga,
tempat tinggal maupun surat-surat;
10. hak bebas dari serangan terhadap kehormatan dan nama baik;
11. hak atas perlindungan hukum terhadap serangan semacam itu;
12. hak bergerak
13. hak memperoleh suaka;
14. hak atas satu kebangsaan;
15. hak untuk menikah dan membentuk keluarga;
16. hak untuk mempunyai hak milik;
17. hak bebas berpikir, berkesadaran dan beragama;
18. hak bebas berpikir dan menyatakan pendapat;
19. hak untuk berhimpun dan berserikat;
20. hak untuk mengambil bagian dalam pemerintahan dan hak atas akses yang sama terhadap
pelayanan masyarakat.
Hak ekonomi, sosial dan budaya berdasarkan pada pernyataan DUHAM menyangkut hal-hal,
yaitu:
1. hak atas jaminan sosial;
2. hak untuk bekerja;
3. hak atas upah yang sama untuk pekerjaan yang sama;
4. hak untuk bergabung ke dalam serikat-serikat buruh;
5. hak atas istirahat dan waktu senggang;
477677185.docx ______________________________________________ P a g e | 35
6. hak atas standar hidup yang pantas di bidang kesehatan dan kesejahteraan;
7. hak atas pendidikan;
8. hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan yang berkebudayaan dari masyarakat.
Dalam UUD 1945 (amandemen I – IV UUD 1945) memuat HAM yang terdiri dari hak:
1. hak kebebasan untuk mengeluarkan pendapat;
2. hak kedudukan yang sama di dalam hukum;
3. hak kebebasan berkumpul;
4. hak kebebasan beragama;
5. hak penghidupan yang layak;
6. hak kebebasan berserikat;
7. hak memperoleh pengajaran atau pendidikan.
Secara operasional beberapa bentuk HAM terdapat dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang
HAM, yaitu:
1. hak untuk hidup;
2. hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan;
3. hak mengembangkan diri;
4. hak memperoleh keadilan;
5. hak atas kebebasan pribadi;
6. hak atas rasa aman;
7. hak atas kesejahteraan;
8. hak turut serta dalam pemerintahan;
9. hak wanita;
10. hak anak
477677185.docx ______________________________________________ P a g e | 36
penyelesaian hukum yang berlaku. Dengan demikian, pelanggaran HAM merupakan tindakan
pelanggaran kemanusiaan baik dilakukan oleh individ u maupun oleh institusi negara atau
institusi lainnya terhadap hak asasi individu lain tanpa ada dasar atau alasan yuridis dan alasan
rasional yang menjadi pijakan. Deklarasi HAM Universal (1948) lahir sebagai akibat
pelanggaran HAM yang sangat berat selama PD II. Selama penjajahan Jepang (1942 – 1945)
rakyat Indonesia sangat menderita, dengan pelanggaran HAM yang berat, antara lain kekejaman
Polisi Militer Jepang. Pengiriman dengan paksa ribuan tenaga kerja (Romusha) ke Birma dan
Thailand dan pengerahan wanita penghibur bagi tentara Jepang. Pada era revolusi fisik atau
Perang Kemerdekaan (1945 – 1949) terkenal kekejaman Polisi Rahasia Belanda terhadap para
pejuang kemerdekaan yang ditawan oleh Belanda. Pembantaian terhadap kira-kira 40.000 rakyat
Sulawesi Selatan oleh Kapten Westerling merupakan pula noda sejarah pada era perang
kemerdekaan. Demikian pula pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) pada
awal tahun lima puluhan di Jawa Barat diduga tidak lepas dengan kekejaman para pemberontak
tersebut terhadap rakyat dan prajurit TNI dan sebaliknya. Setelah masa-masa tersebut,
pelanggaran HAM masih terus berlanjut. Menurut pakar hukum Adnan Buyung Nasution,
pelanggaran HAM dapat dikelompokkan menjadi empat golongan, yaitu sebagai berikut
1. Kejahatan terhadap kemanusiaan, antara lain:
a. Gerakan 30 September/PKI pada tahun 1965, yaitu pembunuhan terhadap tujuh orang
Pahlawan Revolusi, yang disusul oleh pembunuhan terhadap 500.000 orang yang dituduh PKI.
b. Kasus Timor Timur pada tahun 1971 – 1977 dan 1977 – 1982.
c. Peristiwa Tanjung Priok pada tahun 1984 dengan pembunuhan terhadap kelompok umat
Islam.
d. Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh dengan korban meninggal 2.000 orang dan 7.000
kasus penyelesaian.
e. Penembakan terhadap mahasiswa Universitas Trisakti pada tanggal 12 Mei 1998 dengan
gugur empat orang pahlawan Reformasi.
f. Penembakan terhadap mahasiswa dalam Peristiwa Semanggi pada tahun 1998.
3. Tindak kekerasan terhadap hak sipil dan Politik, antara lain berikut ini.
a. Kemerdekaan berserikat dan berkelompok yang secara sistematik dilanggar.
477677185.docx ______________________________________________ P a g e | 37
b. Kebijakan kemerdekaan berpendapat yang dilanggar.
c. Kebijakan dari lembaga Ekstra-Yudisial yang mencampuri fungsi kehakiman.
4. Tindak kekerasan terhadap hak sosial ekonomi dan budaya, antara lain berikut.
a. Pelanggaran terhadap hak-hak masyarakat adat.
b. Pelanggaran terhadap lingkungan hidup.
c. Pemiskinan secara struktural.
d. Proses pemiskinan.
HAM merupakan hak yang ada dalam diri seseorang sebagai makhluk ciptaan Tuhan YME, baik
sebagai makhluk individu maupun sosial. Oleh sebab itu, pelanggaran HAM dapat dikategorikan
merupakan pelanggaran
1. Kejahatan terhadap kemanusiaan, antara lain:
a. Gerakan 30 September/PKI pada tahun 1965, yaitu pembunuhan terhadap tujuh orang
Pahlawan Revolusi, yang disusul oleh pembunuhan terhadap 500.000 orang yang dituduh PKI.
b. Kasus Timor Timur pada tahun 1971 – 1977 dan 1977 – 1982.
c. Peristiwa Tanjung Priok pada tahun 1984 dengan pembunuhan terhadap kelompok umat
Islam.
d. Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh dengan korban meninggal 2.000 orang dan 7.000
kasus penyelesaian.
e. Penembakan terhadap mahasiswa Universitas Trisakti pada tanggal 12 Mei 1998 dengan
gugur empat orang pahlawan Reformasi.
f. Penembakan terhadap mahasiswa dalam Peristiwa Semanggi pada tahun 1998.
3. Tindak kekerasan terhadap hak sipil dan Politik, antara lain berikut ini.
a. Kemerdekaan berserikat dan berkelompok yang secara sistematik dilanggar.
477677185.docx ______________________________________________ P a g e | 38
b. Kebijakan kemerdekaan berpendapat yang dilanggar.
c. Kebijakan dari lembaga Ekstra-Yudisial yang mencampuri fungsi kehakiman.
4. Tindak kekerasan terhadap hak sosial ekonomi dan budaya, antara lain berikut.
a. Pelanggaran terhadap hak-hak masyarakat adat.
b. Pelanggaran terhadap lingkungan hidup.
c. Pemiskinan secara struktural.
d. Proses pemiskinan. HAM merupakan hak yang ada dalam diri seseorang sebagai makhluk
ciptaan Tuhan YME, baik sebagai makhluk individu maupun sosial.
Oleh sebab itu, pelanggaran HAM dapat dikategorikan merupakan pelanggaran yang selanjutnya
disebut Pengadilan HAM adalah pengadilan khusus terhadap pelanggaran HAM yang berat.
Ketentuan semacam ini menunjukkan bahwa pelanggaran terhadap HAM merupakan
pelanggaran yang bersifat khusus bahkan sebagai pelanggaran yang sifatnya struk tural.
Pelanggaran HAM di Indonesia, baik yang dilakukan oleh aparat, negara maupun masyarakat,
secara kuantitas terus meningkat. Hal ini disebabkan belum adanya penyelesaian secara tuntas
mengenai kasus-kasus pelanggaran HAM, meskipun kita memiliki UU No. 26 Tahun 2000
tentang Pengadilan HAM. Padahal apabila ditelaah, UU tentang pengadilan HAM telah
memberikan kewenangan penuh, antara lain berikut ini.
1. Pengadilan HAM bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran
HAM yang berat.
2. Pengadilan HAM berwenang juga memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM yang
berat yang dilakukan di luar batas teritorial wilayah negara RI oleh WNI.
3. Pengadilan HAM tidak berwenang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM yang
berat yang dilakukan oleh seseorang yang berumur di bawah 18 tahun pada saat kejahatan
dilakukan.
4. Pelanggaran HAM yang berat meliputi kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan.
Menurut Pasal 8 UU No. 26 Tahun 2000 yang dimaksud kejahatan genosida adalah setiap
perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh
atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnik, kelompok agama dengan cara:
1. membunuh anggota kelompok;
2. mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota kelompok;
3. menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik
baik seluruh atau sebagian;
4. memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok;
5. memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain. Menurut
Pasal 9 UU No. 26 Tahun 2000 yang dimaksud kejahatan terhadap kemanusiaan adalah salah
satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang
477677185.docx ______________________________________________ P a g e | 39
diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil,
berupa:
1. Pembunuhan.
2. Pemusnahan.
3. Perbudakan.
4. Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa.
5. Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang
yang melanggar ketentuan pokok hukum internasional.
6. Penyiksaan.
7. Perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa atau bentuk- bentuk kekerasan seksual
lain yang setara.
8. Penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan
paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah
diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional. Memperhatikan
pelanggaran-pelanggaran tersebut, dapat disimpulkan bahwa sifat struktural dari pelanggaran
HAM juga dapat dilihat dari pelaku pelanggaran HAM. Secara logika sosiologis, pelaku
pelanggaran tidak mungkin dilakukan oleh orang per orang. Pelanggaran tersebut tentunya
hanya bisa dilakukan oleh sekelompok orang yang terorganisir termas uk di dalamnya aparat
negara. Dalam UU Pengadilan HAM, perlindungan terhadap korban dan saksi juga mendapat
perhatian di mana korban dan saksi berhak atas perlindungan fisik dan mental dari ancaman,
gangguan, teror dan kekerasan. Perlindungan tersebut wajib dilakukan oleh aparat penegak
hukum dan aparat keamanan secara cuma-cuma. Sebagai konsekuensi dari pelanggaran HAM
maka para korban dan ahli warisnya dapat memperoleh kompensasi, restitusi dan rehabilitasi
yang diatur dengan menggunakan peraturan pemerintah. Ketentuan pidana yang dijatuhkan
terhadap pelanggaran HAM, di mana meliputi genosida dan kejahatan kemanusiaan adalah
pidana mati, pidana seumur hidup dan penjara antara 10 sampai 25 tahun. Oleh karena itu,
pelanggaran HAM dapat terjadi dalam dua cara, yaitu sebagai berikut.
1. Pelanggaran yang dilakukan oleh negara secara aktif dengan tindakan yang bersifat langsung
sehingga menimbulkan pelanggaran HAM.
2. Pelanggaran yang timbul akibat kelalaian negara
B. PENEGAKAN HUKUM
Implementasi demokrasi dan HAM tidak akan bermakna dalam kehidupan berbangsa, bernegara
dan bermasyarakat apabila tidak ditunjang dengan penegakan hukum dalam bidangnya. Oleh
karena itu, harus diciptakan “budaya hukum”. Tanpa budaya hukum mudah terjadi pelanggaran
hukum dalam masyarakat. Langkah awal yang harus diciptakan untuk menuju budaya hukum
adalah membangun kesadaran hukum dalam masyarakat, artinya individu dan masyarakat
mematuhi hukum karena suara batinnya yang menghendaki dan bukan karena paksaan dari luar.
Suara batin menghendaki demikian karena hukum itu sendiri dapat menjamin hak-hak yang
sangat diperlukan bagi kelanjutan hidupnya. Kesadaran hukum tidak lahir dengan sendirinya,
477677185.docx ______________________________________________ P a g e | 40
tetapi dapat tumbuh dari perasaan hukum yang dimiliki setiap orang atau masyarakat. Adanya
perasaan hukum yang tumbuh ditandai dengan adanya keinginan dari masyarakat itu sendiri
untuk senantiasa berbuat yang benar, me negakkan hak dan melakukan kegiatan-kegiatan yang
bermanfaat untuk masyarakat. Setiap anggota masyarakat hendaknya memiliki pola pikir, pola
sikap dan pola tindak yang sama tentang apa yang patut atau tidak patut dilakukan atau
dikerjakan atau meninggalkan hal-hal tercela. Perasaan ini harus tumbuh dan berkembang serta
terpelihara sampai meningkat menjadi kesadaran hukum. Faktor moral sangat berperan karena
dengan moral orang, akan terdorong untuk melakukan hal-hal yang positif dan pantas. Apabila
kondisi ini ditumbuhkan dalam masyarakat, akan tercipta kedaulatan hukum yang dapat
melahirkan negara hukum. Kedaulatan hukum atau negara hukum dimaksud bukan dalam arti
formal saja, tetapi sekaligus dalam arti m ateriil yaitu masyarakat sendiri dengan suara batinnya
atau dengan kesadaran mematuhi hukum dalam realitas hidup sehari-hari. Menurut Hugo
Krabbe, tumbuhnya perasaan hukum akan menjelma menjadi kesadaran hukum yang akan
menimbulkan kewajiban bagi setiap orang atau masyarakat untuk mematuhi hukum bukan
karena tekanan dari pihak luar (penguasa).
Contoh:
Presiden Kennedy sebagai presiden AS, pada saat melakukan perjalanan secara kebetulan
anjingnya ikut serta. Ia menolak kebijakan perusahaan penerbangan yang tidak memungut harga
tiket untuk anjingny a. Sang presiden tetap membelikan tiket untuk anjingnya karena anjingnya
memiliki berat badan dan memerlukan tempat di pesawat walaupun hanya tinggal di lantai
pesawat. Sikap presiden demikian tidak lain karena ke patuhan terhadap hukum di AS yang
sudah membudaya sehingga setiap orang termasuk presiden merasa tidak tepat diperlakukan
istimewa. Bagaimana dengan di Indonesia? Jika kita tidak mengembangkan budaya hukum
dalam kehidupan kita berbangsa, bernegara dan bermasyarakat sekarang, rasanya tidak akan
banyak manfaat yang dihasil kan oleh reformasi termasuk reformasi hukum. Bila kita tidak
mereformasi tingkah laku melalui peningkatan budaya hukum yang dapat menjamin
dilaksanakan hasil-hasil reformasi menjadi kenyataan, tampaknya akan sia- sia pengorbanan
yang telah dilakukan pada masa orde baru, di mana yang kuat leluasa melakukan pelanggaran
dan HAM sehingga rakyat kecil banyak yang jadi korban. Semakin banyaknya instrumen HAM
baik pada tingkat internasional maupun dalam negeri Indonesia dan Keppres No. 129 Tahun
1998 sebagai bagian dari rencana aksi HAM tahun 1998 – 2003 menunjukkan kemampuan
politik pemerintah untuk memajukan HAM di Indonesia. Pada tatanan operasional dibuat
Komisi Nasional HAM berdasarkan Keppres No. 50 Tahun 1993, namun demikian pelaksanaan
HAM di Indonesia masih memerlukan perbaikan karena masih sering terjadi pelanggaran HAM
yang tidak diselesaikan secara hukum. Pemerintah berupaya lebih meningkatkan penghormatan
terhadap HAM. Salah satu upaya yang harus ditempuh adalah penegakan hukum secara
konsisten dan tidak pandang bulu. Dengan demikian, supremasi hukum harus sungguh-sungguh
diwujudkan demi perlindungan dan jaminan terhadap HAM. Berdasar Pasal 28 I ayat (5)
Amandemen UUD 1945, pelaksanaan penegakan HAM akan diatur dengan peraturan
perundang-undangan. Berpijak dari ketentuan tersebut, dikeluarkan UU No. 39 Tahun 1999
tentang HAM. Pasal 1 angka 1 UU tersebut antara lain menyatakan: ”HAM adalah seperangkat
hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan YME dan
merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara,
hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan dan martabat
manusia”.
477677185.docx ______________________________________________ P a g e | 41
Lebih lanjut, dalam Pasal 1 angka 6 UU No. 39 Tahun 1999 menyebutkan: ”Pelanggaran HAM
adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja
maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi,
membatasi dan/atau mencabut HAM seseorang atau kelompok orang ang dijamin oleh UU ini,
dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang
adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku”. Perdebatan tentang siapa yang
bertanggung jawab dalam penegakan, pemajuan, perlindungan dan pemenuhan HAM menjadi
wacana dan diskursus yang tidak berkesudahan. Ada dua pandangan, yaitu sebagai berikut.
1. Menyatakan bahwa yang harus bertanggung jawab memajukan HAM adalah negara karena
negara dibentuk sebagai wadah untuk kepentingan kesejahteraan rakyatnya. Rakyat yang cerdas
sadar sehingga mampu menghargai dan menghormati HAM. Perlu diberikan pendidikan
terutama masalah yang berkaitan dengan HAM. Negara yang tidak memfasilitasi rakyat melalui
pendidikan HAM berarti telah mengabaikan amanat rakyat.
2. Menyatakan bahwa tanggung jawab pemajuan, penghormatan dan perlindungan HAM tidak
saja dibebankan kepada negara, melainkan juga kepada individu warga negara, artinya negara
dan individu sama- sama memiliki tanggung jawab terhadap pemajuan, penghormatan dan
perlindungan HAM. Karena itu pelanggaran HAM sebenarnya tidak saja dilakukan oleh negara
kepada rakyatnya melainkan juga oleh rakyat kepada rakyat yang disebut dengan pelanggaran
HAM secara horizontal. Bentuk pelanggaran HAM jenis ini antara lain adanya penembakan
rakyat oleh sipil bersenjata seperti dalam kasus penembakan Rektor IAIN Ar-Raniry Banda
Aceh dan beberapa tokoh lainnya, penganiayaan buruh atau budak oleh majikan seperti kasus
Marsinah. Pelaksanaan HAM seperti halnya pelaksanaan demokrasi, dibedakan antara
pelaksanaan demokrasi (HAM dalam arti ideal dan pragmatis). Pelaksanaan demokrasi/HAM,
dalam pengertian pragmatis senantiasa banyak dipengaruhi oleh muatan lokal atau kepentingan
demi pembangunan penguasa dengan begitu mudahnya mengabaikan prinsip-prinsip HAM.
Secara ideal, negara tidak dibenarkan mencampuri HAM setiap warga negara, apalagi
menindasnya atau menghilangkannya. Sejalan dengan amanat konstitusi, Indonesia
berpandangan bahwa pemajuan dan perlindungan HAM harus didasarkan kepada prinsip bahw a
hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial budaya dan hak pembangunan merupakan satu kesatuan
yang tidak dapat dipisahkan, baik dalam penerapan pemantauan maupun dalam pelaksanaan.
Sesuai dengan Pasal 1 (3), Pasal 55 , dan Pasal 56 Piagam PBB, upaya pemajuan dan
perlindungan HAM harus dilakukan melalui suatu kerja sama internasional yang berdasarkan
pada prinsip saling menghormati, kesedarajatan dan hubungan antar negara serta hukum
internasional yang berlaku. Program penegakan hukum dan HAM (PP Nomor 7 Tahun 2005)
yaitu yang meliputi pemberantasan korupsi, anti terorisme dan pembasmian penyalahgunaan
narkotika dan obat berbahaya. Oleh sebab itu , penegakan hukum dan HAM harus dilakukan
secara tegas, tidak diskriminatif dan konsisten.
3. Tugas-tugas pengadilan HAM adalah sebagai berikut.
a. Memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM yang berat.
b. Memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM yang berat yang dilakukan di luar batas
teritorial wilayah negara RI oleh WNI.
477677185.docx ______________________________________________ P a g e | 42
9 Modul 8
OTONOMI DAERAH
9.1 Kegiatan Belajar 1
PENGERTIAN OTONOMI DAERAH
Bilamana Anda membahas Otonomi Daerah maka Anda tidak lepas dari desentralisasi. Istilah
desentralisasi dan otonomi daerah dalam bahasan sistem penyelenggaraan pemerintahan sering
digunakan secara campur aduk. Kedua istilah ini secara akademik bisa kita bedakan, namun
secara praktis dalam penyelenggaraan pemerintahan tidak dapat kita pisahkan sehingga tidak
mungkin masalah otonomi daerah dibahas tanpa melihat konsep desentralisasi.
Konsep desentralisasi sering dibahas dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan dan
pembangunan. Desentralisasi bukan merupakan sistem yang berdiri sendiri, melainkan
merupakan rangkaian kesatuan dari suatu sistem yang lebih besar. Desentralisasi bukan
merupakan alternatif dari sentralisasi karena tidak dilawankan dan karenanya tidak bersifat
dikotomis. Desentralisasi dan sentralisasi merupakan subsistem dalam kerangka sistem negara.
Akan tetapi, pengertian desentralisasi kerap kali dikacaukan dengan istilah; dekonsentralisasi,
devolusi, desentralisasi; politik, teritorial, administratif, jabatan, fungsional, otonomi, dan tugas
berbantuan. Berbagai definisi tentang desentralisasi dan otonomi daerah diutarakan oleh para
pakar berdasarkan sudut pandang masing-masing sehingga agak sulit mencari definisi yang tepat
dan relevan. Kendatipun demikian perlu diutarakan beberapa batasan- ba tasan yang diutarakan
oleh para pakar ataupun pendapat lembaga. United Nations memberikan batasan desentralisasi
sebagai berikut:
Decentralizations referss to the transfer of authority away from th e national capital whether by
deconsentration (i.e. delegation) to field offices or by devolution to local authorities or local
bodies.1) 1) United nations, Technical assistant programe, Decentralizatio n for National and
Local Development, Departement of economic ang Social Affair, Division for Public
Administration,New York: United Nasions,1962,hlm 3.
Batasan tersebut hanya menjelaskan proses kewenangan diserahkan pusat kepada daerah, yaitu
melalui deconsentration atau devolution, tidak menjelaskan luasnya kewenangan. Sejalan
dengan itu Bryant (1987) berpendapat bahwa ada dua bentuk desentralisasi, yaitu yang bersifat
administratif dan politik. Desentralisasi yang bersifat administratif yaitu pendelegasian
wewenang pelaksanaan yang diberikan kepada pejabat pusat di tingkat lokal, sedangkan
desentralisasi yang bersifat politik, yaitu pendelegasian wewenang dalam pembuatan keputusan
dan kontrol tertentu terhadap sumber daya yang diberikan k epada badan- badan pemerintah
regional dan lokal. Konsep desentralisasi menurut Bryant, menekankan kepada salah satu cara
mengembangkan kapasitas lokal, dapat kita aplikasikan dalam rangka mengembangkan
pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia. Sejalan dengan Bryant, Rondinelli (1988) secara
lebih luas memaparkan konsep desentralisasi. Ia membedakan empat bentuk desentralisasi,
yaitu Deconcentration, delegation to semi-outonomous and prasstatal agencies, devolution to
local goverment, and nongovernment institutions. Menurut Rondinelli, desentralisasi dalam
bentuk deconcentration , pada hakikatnya hanya merupakan pembagian kewenangan dan
477677185.docx ______________________________________________ P a g e | 43
tanggung jawab administratif antar departemen pusat di lapangan. Ia membedakan dua tipe
dekonsentra si , ya itu field administration dan local administration. Dalam field
administration pejabat di lapangan diberikan keleluasaan untuk mengambil keputusan, seperti
merencanakan, membuat keputusan-keputusan rutin dan menyesuaikan pelaksanaan kebijaksan
aan dengan kondisi setempat. Kesemuanya ini dilakukan atas petunjuk departemen pusat.
Dalam administrasi lok al ada dua tipe menurut Rondinelli, yaitu integrated local administration
dan unintegrated local administration. Integrated local administration adalah salah satu bentuk
dekonsentrasi, di mana tenaga dan st af dari departemen pusat ditempatkan di daerah berada
langsung di bawah perintah dan supervisi eksekutif di daerah, tetapi diangkat dan bertanggung
jawab kepada pemerintah pusat. Dalam unintegrated local administration, tenaga dan staf
departemen pusat yang berada di daerah dan kepala eksekutif wilayah masing-masing berdiri
sendiri. Rondinelli memberikan pengertian delegation to semi-autonomous adalah suatu
pelimpahan pengambilan keputusan dan kewenangan manajer ial untuk melakukan tugas-tugas
khusus kepada suatu organisasi yang tidak secara langsung berada di bawah pengawasan
pemerintah pusat. Bentuk ketiga dari desentralisasi yang diutarakan Rondinelli ialah devolution
(devolusi). Konsekuensi dari devolusi ini adalah pemerintah pusat membentuk unit-unit
pemerintahan di luar pemerintahan pusat, deng an menyerahkan sebagian fungsi tertentu untuk
dilaksanakan secara mand iri. Bentuk keempat dari konsep desentralisasi menurut Rondinelli
ialah privatisasi ( transfer of function from government to nongov er nment institutions).
Privatisasi adalah tindakan pemberian kewenangan dari pemerintah kepada badan-badan
sukarela, swasta, dan swadaya masyarakat, tetapi dapat pula peleburan badan-badan pemerintah
menjadi swasta.
Konsep desentralisasi yang diutarakan oleh Rondinelli didasarkan pada perhatian yang besar
untuk memberikan keleluasaan kewenangan dalam perencanaan administrasi kepada daerah.
Hal ini karena :
pertama, hasil yang tidak memuaskan akibat perencanaan pembangunan dan kontrol adminis
trasi secara terpusat yang berjalan antara tahun 1950 1960.
Kedua, perlu dikembangkan cara-cara baru dalam mengelola program, proyek s erta
administrasi pembangunan yang mencakup strategi pertumbuhan dan pemerataan yang
dijalankan selama tahun 1970-an.
Ketiga, kebutuhan masyarakat yang semakin kompleks, kegiatan pemerintahan yang semak in
meluas sehingga semakin sulit untuk mencapai efisiensi dan efektivitas apabila kegiatan
pembangunan dikelola secara terpusat.
Dengan demikian, konsep desentralisasi menurut Rondinelli ada kemiripan dengan konsep
yang sedang dikembangkan di Indonesia. R.Tresna yang berorientasi versi kontinental
membagi desentralisasi menjadi dua, yaitu dekonsentrasi atau desentralisasi jabatan ( ambtelijke
decentralisasie) dan desentralisasi ketatanegaraan (staatkundige decentralisasi ).
Dekonsentrasi adalah pemberian (pemasrahan) kekuasaan dalam kepegawaian untuk kelancaran
tugas semata. Sedangkan desentralisasi ketatanegaraan merupakan pemberian kekuasaan yang
mengatur bagi daerah dalam lingkungannya untuk mewujudkan asas demokrasi pemerintahan
negara. Lebih lanjut Tresna menyatakan bahwa desentralisasi mempunyai dua wajah, yaitu “
Autonomie dan Medebewind atau Zelfbestuur” . Pendapat Rondinelli hampir sama dengan
477677185.docx ______________________________________________ P a g e | 44
Koesoemahatmadja (1979 ) yang membagi desentralisasi menjadi dua, yaitu dekonsentrasi dan
desentralisasi ketatanegaraan .
Dekonsentrasi menurut Koesoemahatmadja adalah pelimpahan kekuasaan dari alat
perlengkapan negara yang lebih atas /tinggi kepada bawahannya guna melancarkan pelaksanaan
tugas pemerintahan di mana rakyat tidak diikutsertakan, sedangkan desentralisasi
ketatanegaraan atau juga disebut desentralisasi politik adalah pelimpahan kekuasaan
perundangan dan pemerintahan ( regelende en bestuurendebevoegheid) kepada daerah-daerah
otonom dalam lingkungannya. Dalam konteks ini rakyat dengan menggunakan saluran tertentu
(perwakilan ) turut serta dalam pemerintahan.
Desentralisasi ketatanegaraan atau desentralisasi politik ini dibagi lagi menjadi dua, yaitu:
1. desentralisasi teritorial ( territoriale decentralisatie ) dan
2. desentralisasi fungsional ( functionele decentralisatie )
Desentralisasi teritorial yaitu pelimpahan kekuasaan untuk mengatur dan mengurus rumah tan
gga daerah masing-masing (otonom)
Desentralisasi fungsional yaitu pelimpahan kekuasaan untuk mengatur dan mengurus sesuatu
atau beberapa kepentingan tertentu.
Pendapat Tresna ini tidak berbeda dengan Koesoemahatmadja yang membagi desentralisasi
teritorial menjadi dua yaitu otonomi ( autonomie) dan Medebewind atau Zelfbestuur Otonomi
berarti pengundangan sendiri, Akan tetapi menurut perkembangan sejarahnya di Indonesia,
otonomi itu selain berarti perundangan (regeling), juga berarti pemerintahan (bestuur) Dengan
diberikan kekuasaan perundangan dan pemerintahan kepada daerah/badan otonom seperti
provinsi, kabupaten/kota maka daerah otono mi dengan inisiatif sendiri akan mengurus ru mah
tangganya dengan jalan membuat peraturan daerah yang tidak boleh bertentangan dengan
undang- undang dasar dan undang-undang lainnya yang tingkatannya lebih tinggi. Dengan
demikian, kurang tepat jika otonomi dan medebewind adalah bentuk atau macam dari
desentralisasi. Akan tetapi, lebih tepat apabila dikatakan otonomi dan medebewind tersebut
manifestasi atau perwujudan dianutnya desentralisasi teritorial sebagai suatu sistem dalam
pemerintahan. Dengan mengutip pendapat Logemann dalam Het staatsrecht der zelfregrende
gemeenschappen. Ateng Syafrudin berpendapat bahwa otonomi bermakna kebebasan atau
kemandirian (zelfstandighei d) tetapi bukan kemerdekaan ( onafhankelijkhei d). Di dalamnya
terkandung dua aspek utama, yaitu:
pertama, pemberian tugas dan kewenangan untuk menyelesaikan suatu urusan.
Kedua , pemberian kepercayaan dan wewenang untuk memikirkan dan menetapkan sendiri
cara-cara penyelesaian tugas tersebut. Dengan demikian, otonomi dapat diartikan sebagai
kesempatan untuk menggunakan prakarsa sendiri atas segala macam nilai yang dikuasai untuk
mengurus kepentingan umum (penduduk). Kebebasan yang terbatas atau kemandirian itu
merupakan wujud pemberian kesempatan yang harus dipertanggung jawabkan.
Koesoemahatmadja bahkan lebih jauh mengartikan medebewind atau zelfbestuur sebagai
pemberian kemungkinan kepada pemerintah pusat/pemerintah daerah yang tingkatannya lebih
atas, untuk meminta bantuan kepada pemerintah daerah yang tingkatannya lebih rendah untuk
menyelenggarakan tugas atau urusan rumah tangga (daerah yang tingkatannya lebih atas
tersebut) .
477677185.docx ______________________________________________ P a g e | 45
Istilah zelfbestuur adalah terjemahan dari s elfgovernment yang di Inggris diartikan sebagai
segala kegiatan pemerintahan di tiap bagian dari Inggris yang dilakukan oleh wakil-wak il dari
pemerintah dan di Belanda zelfbestuur diartikan sebagai pembantu penyelenggaraan
kepentingan-kepentingan dari pusat atau daerah yang tingkatannya lebih tinggi oleh daerah
yang tingkatannya lebih rendah. Dalam penyelenggaraan medebewind , urusan-urusan yang
diselenggarakan oleh pemerintah daerah masih tetap merupakan urusan pemerintah pusat atau
daerah yang lebih tinggi. Urusan ini tidak beralih menjadi urusan daerah yang dimintai
bantuannya. Konsep tugas pembantuan yang dianut oleh Indonesia adalah penugasan (taak)
dengan kewajiban mempertanggung jawabkan pelaksanaannya kepada yang menugaskan. Jadi,
perwujudan desentralisasi pada tingkat daerah adalah “otonom daerah” sistem Suatu negara
bangsa menganut desentralisasi dan sentralisasi tidak dilawankan dan karenanya tidak bersifat
dikotomis, melainkan merupakan sub-sub sistem dalam kerangka organisasi negara. Karenanya
pula, suatu negara bangsa merupakan genusnya, sedangkan sentralisasi, desentralisasi,
dekonsentrasi dan tugas pembantuan merupakan spesiesnya. Masalahnya, bagaimana mencari
keseimbangan di antara spesies tersebut. Paul S. Maro, 1990:673 693). Bintoro Tjokroamidjojo
(1976) menegaskan bahwa desentralisasi sering kali disebut sebagai pemberian otonomi.
Dengan kata lain, desentralisasi merupakan pengotonomian yakni proses pemberian otonomi
kepada masyarakat dalam wilayah tertentu. Hubungan desentralisasi dan otonomi daerah
tergambar dalam pernyataan Gerald S. Maryanov (1958) bahwa desentralisasi dan otonomi
daerah merupakan dua sisi dari satu keping mata uang. Dilihat dari sudut pandang pemerintah
pusat yang berlangsung adalah penyelenggaraan desentralisasi dalam negara kesatuan
Indonesia, sedangkan dilihat dari sudut pandang pemerintah daerah yang terjadi adalah otonomi
daerah. Dalam praktik kedua istilah tersebut kerap kali ditukar pakaikan ( P. Walker III, 1967).
Dengan mengacu pada berbagai pendapat para pakar dan rumusan dalam undang- undang
mengenai pengertian otonomi daerah maka dalam tulisan ini y ang dimaksudkan dengan
otonomi daerah adalah Pemerintahan oleh, dari, dan untuk rakyat di bagian wilayah suatu
negara bangsa melalui lembaga- lembaga pemerintah formal yang berada di luar pemerintah
pusat. Ditinjau dari sudut pandang pengambilan keputusan maka kebijakan pemerintah dalam
pengertian otonomi tersebut mencakup kebijakan pengambilan keputusan politik dan keputusan
administrasi.
Jenis keputusan pertama disebut sebagai allocative decision dan keputusan kedua disebut
sebagai decision of implementatio (Michael Faltas,198: 5 6) . Perbedaan kedua jenis keputusan
ini diutarakan oleh Faltas sebagai berikut: Those decisions that allocatve, they commit public
funds, the coercive power of governmental regulation and other public values, to
outhoritatvely choseb ends. Once these allocation have been made , a further set of decision
have to be taken , decisions of imlementatio n about how and where resources have to be used,
who would qu alify for sevices resulting from the alloction and whether the allocated resources
have been properly used.
Keputusan politik adalah keputusan kebijaksanaan sedangkan keputusan administratif adalah
keputusan pelaksanaan kebijaksanaan administrasi dalam bentuk wewenang dalam mengambil
keputusan administrasi dan keuangan untuk menggali sumber daya keuangan dan
membelanjakan untuk tu gas- tugas rutin dan pembangunan. Oleh karena itu, pendapat orang
yang menyatakan bahwa otonomi daerah bukan otonomi politik tidak sejalan dengan pengertian
otonomi daerah tersebut.
477677185.docx ______________________________________________ P a g e | 46
Kendatipun diberikan wewenang keputusan politik, namun ada pembatasnya. Dalam Pasal 18
UUD RI 1945 telah diberikan pembatas bagi besarnya otonomi daerah di Indonesia, yaitu
daerah otonom tidak akan berupa staat.
Oleh karena itu, dalam otonomi daerah tidak mencakup kekuasaan untuk membuat UU (dalam
arti formal) dan kekuasaan yudikatif yang menjadi wewenang lembaga peradilan di bawah
Mahkamah Agung. Selain itu, sejumlah kekuasaan yang mempunyai makna strategis bagi
persatuan dan kesatuan bangsa tidak tercakup dalam otonomi daerah antara lain pertahanan dan
keamanan,hubungan luar negeri, moneter, dan pemerintahan umum.
Otonomi daerah sebagai pemerintahan sendiri oleh rakyat dalam wilayah nasional mengandung
arti pengakuan atas kemandirian masyarakat setempat yang diberikan otonomi dalam
kebijaksanaan, perencanaan, dan pelaksanaan pembangunan (Moh. Hatta,1957). Na mun,
dengan adanya kemandirian dalam berotonomi tidak akan menutup berlangsungnya bimbingan
dan pengawasan oleh pemerin tah pusat kepada masyarakat yang berotonomi dalam lingkup
organisasi negara.
Menurut Harold F.Alderfer,1964 dan Brant C. Smith, 1985 menyatakan bahwa dalam
kenyataannya dewasa ini, semua negara baik negara federal maupun negara kesatuan tidak
terdapat otonomi penuh dalam arti kebebasan penuh tanpa campur tangan pemerintah pusat.
Campur tangan pemerintah pusat diperlukan dalam bentuk bimbingan dan pengawasan dalam
organisasi negara. Luas otonomi dalam masing-masing aktivitas, tergantung kepada kebijakan
desentralisasi yang sesuai dengan konfigurasi sosial po litik negara yang bersangkutan. Dalam
sejarah perkembangan pemerintahan Republik Indonesia, tidak pernah terjadi pemberian
otonomi kepada daerah sepenuhnya kepada empat bidang tugas pemerintahan seperti yang di
kemukakan dalam teori Van Vollenhoven , yaitu bestuur, politie, rechtspraak dan regeling.
Selama ini pemerintah daerah lebih banyak diberikan hak otonomi dalam bidang tugas
membentuk perundang-undangan sendiri (zelfwetgeving) seperti peraturan daerah (perda) dan
keputusan daerah serta hak melaksanakan sendiri (zelfuitvoering ).
Tugas kepolisian terbatas pada usaha-usaha agar peraturan daerah ditaati masyarakat daerah
bersangkutan Tugas pengadilan sama sekali tidak dimiliki oleh daerah, dan kalaupun ad a
berkenan dengan sengketa administrasi antar daerah, sebab urusan peradilan tidak termasuk
urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah.
Oleh karena itu, pemberian otonomi kepada daerah tidak dalam pengertian kemerdekaan untuk
menjalankan kekuasaan pemerintahan sepenuhnya, akan tetapi dalam pengertian otonomi
terbatas dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia Prinsip yang terkandung dalam
Negara Kesatuan adalah pemerintah pusat berwenang melakukan campur tangan dalam
persoalan-persoalan daerah sepanjang hal itu menyangkut hajat hidup masyarakat di daerah it u.
Jadi, tidak semua urusan diserahkan kepada daerah untuk menjadi urusan rumah tangganya
sendiri, tetapi ada sebagian urusan yang dikecualikan yaitu pertahanan dan keamanan, peradilan,
moneter, luar negeri. Atas dasar itu Amrah Muslimin mengelompokkan asas pemerintahan
menjadi tiga varian desentralisasi, yaitu desentralisasi politik, desentralisasi fungsional, dan
desentralisasi kebudayaan.
477677185.docx ______________________________________________ P a g e | 47
9.2 Kegiatan Belajar 2
HAMBATAN-HAMBATAN DALAM PELAKSANAAN OTONOMI
DAERAH
A. PERBEDAAN KONSEP DAN PARADIGMA OTONOMI DAERAH
1. Perbedaan Konsep Dalam perbincangan otonomi daerah ini, terdapat perbedaan persepsi di
kalangan cendekiawan, dan para pejabat birokrasi. Di antara mereka ada yang mempersepsikan
otonomi daerah sebagai prinsip penghormatan, terhadap kehidupan masyarakat sesuai riwayat
adat-istiadat dan sifat-sifatnya dalam konteks negara kesatuan (lihat Prof. Soepomo dalam
Abdullah 2000:11).
Ada juga yang mempersepsikan otonomi daerah sebagai upaya berperspektif Ekonomi-Politik,
di mana daerah diberikan peluang untuk berdemokrasi dan untuk berprakarsa memenuhi
kepentingannya sehingga mereka dapat menghargai dan menghormati kebersamaan dan
persatuan dan kesatuan dalam konteks NKRI. Setelah diberlakukan UU No. 22 Tahun 1999,
aksi dari berbagai pihak sangat beragam, sebagai akibat dari perbedaan interpretasi istilah
otonomi.
Terdapat kelompok yang menafsirkan otonomi sebagai kemerdekaan atau kebebasan dalam
segala urusan yang sekaligus menjadi hak daerah. Mereka yang mempunyai persepsi ini
biasanya mencurigai intervensi pemerintah pusat, otonomi daerah dianggap sebagai
kemerdekaan daerah dari belenggu Pemerintah Pusat.
Ada kelompok lain yang menginterpretasikan sebagai pemberian“ otoritas kewenang an” dalam
mengambil keputusan sesuai dengan kepentingan dan aspirasi masyarakat lokal. Di sini otonomi
diartikan atau dipersepsikan pembagian otoritas semata (lihat UU No. 22/1999); memaknai
otonomi sebagai kewenangan, daerah Otonomi (Kabupaten/Kota) untuk mengatur dan
mengurus kepentingan masyarakat lokal, menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi
masyarakat. Wujudnya adalah pembagian kewenangan kepada daerah dalam seluruh bidang
pemerintahan, kecuali dalam bidang pertahanan dan keamanan peradilan, moneter dan fiskal,
agama dan politik luar negeri serta kewenangan bidang lain, yakni perencanaan nasional
pengendalian pembangunan nasional; perubahan keuangan, sistem administrasi negara dan
lembaga; perekonomian negara, pembinaan, dan pemberdayaan sumber daya manusia;
pendayagunaan sumber daya alam dan teknologi tinggi strategis, serta konservasi dan
standarisasi nasional.
Ada juga kelompok yang menafsirkan otonomi daerah sebagai suatu mekanisme empowerment
(pemberdayaan). Menurut kelompok ini menafsirkan otonomi harus lebih mengakomodasikan
berbagai kepentinga n lokal dan lembaga lokal dan untuk itu diperlukan otoritas. Jadi, diambil
kesepakatan khusus dalam pembagian tugas/urusan yang ditangani oleh Pemerintah Pusat dan
ditangani oleh Daerah (lokal).
Variasi interpretasi konsep otonomi tersebut karena adanya perbedaan referensi teoretis. Secara
teoretis istilah autonomy memiliki banyak arti yang kemudian menimbulkan berbagai
interpretasi. Mary Parker Follet pada tahun 1920-an mengidentifikasi otonomi dengan
Independence dari suatu institusi (lihat Limerick Cunnington 1993, P. Selzerick 1957, Terry
1995).
477677185.docx ______________________________________________ P a g e | 48
Otonomi yang dimaksudkan adalah kekuasaan yang relatif cukup untuk memungkinkan
birokrasi publik bekerja sesuai dengan identitasnya atau kebebasan yang masih terbatas dan
tidak diinterpretasikan “bebas dan merdeka”. Selanick 1992, melihat otonomi sebagai salah
satu strategi untuk menjaga integritas suatu lembaga di mana nilai-nilai dan potensi dari lembaga
tersebut dilindungi. Karena itu otonomi daerah secara tidak langsung menyandang pengakuan
terhadap eksistensi dan kekuasaan elit-elit lokal.
Otonomi diinterpretasikan juga oleh Holdaway, Newberry, Hickson dan Heron, sebagai jumlah
otoritas pengambilan keputusan yang dimiliki oleh suatu organisasi (lihat Price and Mueller,
1980: 40). Semakin banyak tingkat otoritas yang dimiliki dalam pengambilan keputusan maka
semakin tinggi tingkat otonominya.
Otonomi juga di interpretasikan sebagai The Degree To Which and Organization Has Power
With Respects to Its Environme nt (lihat Price and Mueller, 1986: 40). Dalam hal ini, dibedakan
antara organisasi pemerintah dan business. Power di sini diinterpretasikan sebagai “pengaruh”
atau “kontrol”. Dalam konteks ini otonomi daerah diinterpretasikan sebagai sampai berapa jauh
suatu pemerintah daerah mengontrol kepada kegiatan pemenuhan kepentingan masyarakat lokal
terlepas dari pengaruh lingkungannya.
Makna lain juga diungkapkan oleh Dworkin 1998 (lihat Terry, 1995 : 49) sebagai keadaan di
mana masyarakat membuat dan mengatur perundangannya sendiri. Tentu saja makna ini
didasarkan pada kata “auto” yang berarti diri sendiri dan “nomos” yang berarti aturan
perundangan.
Dengan makna ini otonomi daerah dapat diinterpretasikan sebagai kewenangan mengatur diri
sendiri atau kemandirian. Apabila dikaji lebih jauh, UU No. 22 Tahun 1999 tersebut bersifat
inkonstitusional atau bertentangan dengan UUD 1945 yang menjadi landasan kehidupan kita
bernegara, di mana dinyatakan bentuk negara adalah “ negara kesatuan” namun di dalam UU
No. 22 Tahun 1999 (baca UU Otonomi Daerah), tersebut muncul semangat federalisme yang
dicerminkan dari pola dibatasi kekuasaan/kewenangan pusat, sementara semangat kesatuan
dicirikan dari pola dibatasi kekuasaan/kewenangan daerah. Dalam konteks pola dibatasi ini
ditemukan kewenangan yang mungkin bisa diterjemahkan sesuka hati oleh penguasa. Apabila
dirinci kewenangan tersebut, di pusat terdapat 203 kewenangan, sementara di daerah (provinsi,
kabupaten/kota) terdapat 991 kewenangan. Jadi, roh dari Undang-undang otonomi daerah ini
membawa nilai ”desentralisasi” baik dalam isi maupun judul Pemerintahan Daerah. Hal ini
sangat berbeda dengan UU No. 5 Tahun 1975 tentang Pemerintahan di Daerah. Kota di dalam
UU No. 5 Tahun 1975 tersebut mencerminkan kekuasaan ”desentralisasi” namun isinya adalah
”sentralisasi”. Menurut David After (1977) menyatakan bahwa negara-negara federalistik adalah
negara yang didirikan dengan kekuasaan otoritas yang dibagi di antara negara-negara federal,
sedangkan negara kesatuan didirikan dengan tersentralisasinya kekuasaan dan otoritas. Jika hal
ini diterjemahkan dalam bahasa ilmu administrasi, negara federal lebih efisien dikelola secara
terdesentralisasi dan negara kesatuan lebih efisien dikelola secara terpusat. UU No. 22 Tahun
1999 berisikan kebijakan ya ng mendesentralisasikan kekuasaan dan otoritas. Hal ini
bertentangan dengan khitah negara kesatuan yang terlanjur kita anut. Memang tidak ada
salahnya atau sah-sah saja negara kesatuan dikelola dengan cara terdesentralisasi namun dengan
risiko tidak efisien. Di sisi lain perumusan undang-undang “otonomi daerah” ini agaknya
menggunakan pendekatan metodologis yang bersifat elektrik dalam arti; mengumpulkan
berbagai hal yang terbaik dan kemudian dari yang terbaik tersebut diambil komponen-
477677185.docx ______________________________________________ P a g e | 49
komponen terbaik lalu dijadikan satu. Dalam hal ini penyusunan kebijak an yang ada dan
memilih yang terbaik tersebut untuk diramu/dirakit menjadi satu. Metode ini mempunyai
kelemahan pokok yaitu tidak ada satu “platform” yang kuat dan dihasilkan ibarat campuran
minyak dan air. Hal ini dapat dilihat pada inkonsistensi di antara pasal-pasal yang ada yang
sangat berpengaruh pada manajerial, lihat UU No. 22 tahun 1999 Pasal 4 ayat (1) dan (2)
menyatakan bahwa antara masing-masing daerah termasuk antar a provinsi dan kabupaten/kota
berdiri sendiri dan tidak mempunyai hubung an hierarki satu sama lain. Sementara itu,
kewenangan provinsi terbatas pada kewenangan lintas kabupaten - kota (lihat Pasal 9).
Pertanyaannya, bagaimana mungkin kita melakukan koordinasi tanpa adanya hierarki?
Kekuasaan dan otoritas bukanlah suatu yang begitu saja diberikan, apalagi kepada lembaga
yang tidak berada di atasnya secara struktural. Dengan tidak adanya hierarki antara provinsi
dengan kabupaten/kota, Presiden RI mengontrol langsung hamp ir 400 daerah yang terdiri atas
provinsi, kabupaten/kota. Belum lagi di Departemen dan lembaga-lembaga non-departemen. Ini
suatu hal yang luar biasa. Rentang kendali ( span of control ) yang begitu luas, tidak mungkin
dapat dilakukan oleh seorang Presiden yang notabenenya sebagai manusia biasa.
Pendapat lain menyatakan, bahwa arsitek UU No. 22 Tahun 1999 itu adalah konsep berpikir ala
Amerika yang hanya bisa diterapkan di negara Federasi seperti Amerika Serikat yang
mengartikan desentralisasi sebagai devolution, padahal yang diinginkan oleh masyarakat
Indonesia itu adalah “desentralisasi dan otonomi daerah dalam Negara Kesatuan”, di mana
hubungan antara Pusat dan Daerah tetap terpelihara dengan baik, sedangkan otonomi daerah
berjalan secara mandiri. Akan tetapi, Pasal 7 dan Pasal 11 UU No. 22 Tahun 1999 menyatakan
(1) “Kewenangan Daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali
kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan moneter dan
fiskal, agama, serta kewenangan sudah berada di daerah sehingga tidak perlu penyerahan secara
aktif, yang perlu dilakukan adalah pengakuan dari Pemerintah. Walaupun secara akademik teori
penyerahan kewenangan itu menganut model General Competence atau Formele
Huishoudingsleer, namun ditinjau dari aspek “kebijakan desentralisasi” rumusan penjelasan
Pasal 11 UU No. 22 Tahun 1999 jelas-jelas merupakan reference Amerika yang hanya
mungkin itu terjadi apabila diberlakukan di dalam Negara Kesatuan RI. Demikian pula, konsep
“kesetaraan” antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah; dan “tiadanya hubungan
hierarki ” antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, dan Daerah Provinsi dengan Daerah
Kabupaten/Kota sehingga satu kesatuan sistem dalam Negara Kesatuan RI menjadi terpotong-
potong adalah juga suatu rujukan dari konsep “ devolution ” ala Negara Bagian dalam Negara
Federal di Amerika Serikat yang tidak cocok untuk dirujuk ke dalam sistem pemerintahan di
Indonesia.
Kelemahan lainnya, yaitu dalam teknis implementasi kebijakan undang- undang otonomi daerah.
Idealnya sebuah undang-undang dilaksanakan 5 (lima) tahun setelah diundangkan.
Infrastrukturnya harus dibangun dan memerlukan waktu. Malangnya UU No. 22 Tahun 1999
tersebut membatasi diri sendiri dengan membuat tenggat waktu (deadline), yaitu UU tersebut
penerapan secara efektif selambat-lambatnya 2 tahun sejak diundangkan. Presiden B. J. Habibie
menandatangani UU ini pada tanggal 4 Mei 1999 maka pada tanggal 5 Mei 2001, undang-
undang otonomi daerah tersebut berlaku resmi. Selama kurun waktu 2 tahun tersebut terjadi
perubahan besar. Kementrian Otda dihilangkan. Kabinet Reformasi yang mengurus hal ini
tidak ada lagi (bubar), apalagi UU tersebut sifatnya sangat mendasar yang merombak seluruh
tatanan Administrasi Publik sebuah negara besar. Lebih dari ratusan PP , pedoman dan sejenis
477677185.docx ______________________________________________ P a g e | 50
lainnya belum dibuat untuk mendukung implementasi otonomi daerah. Oleh karena itu, tidak
hanya pejabat level kabupaten/kota dan provinsi yang bingung, pejabat di level pusat pun
demikian halnya. Maka tidak arif atau tidak bijaksana kita mencari kambing hitam siapa yang
bersalah, yang jelas kita belum siap.
Oleh karena itu, otonomi daerah ini harus disempurnakan sambil berjalan. Uraian tentang
konsep otonomi di atas sangat variatif, seperti kebebasan dan kemerdekaan, strategi organisasi,
otoritas mengurus diri sendiri, mengambil keputusan sendiri power untuk melakukan kontrol,
empowerment , dan kemandirian dalam pengaturan diri. Variasi konsep ini menimbulkan
interpretasi beragam. Oleh karena itu, di masa datang perlu kesepakatan tentang konsep
otonomi daerah di kalangan elit politik sebagai pengambil keputusan atas kebijakan. 2.
Perbedaan Paradigma Variasi makna tersebut berkaitan pula dengan paradigma utama dalam
kaitannya dengan otonomi, yaitu paradigma politik dan paradigma org anisasi yang bernuansa
pertentangan. Menurut paradigma politik, otonomi birokrasi publik tidak mungkin ada dan
tidak akan berkembang karena adanya kepentingan politik dari rezim yang berkuasa. Rezim ini
tentunya membatasi kebebasan birokrat level bawah dalam membuat keputusan sendiri.
Pemerintah daerah (kabupaten, kota) merupakan subordinasi pemerintah pusat, dan secara
teoretis subordinasi dan otonomi bertentangan. Karena itu menurut paradigma politik, otonomi
tidak dapat berjalan selama posisi suatu lembaga merupakan subordinasi dari lembaga yang
lebih tinggi. Berbeda dengan paradigma politik, paradigma organisasi justru mewujudkan
betapa pentingnya “ otonomi tersebut untuk menjamin kualitas birokrasi yang diinginkan ” .
Untuk menjamin kualitas birokrasi maka inisiatif , terobosan, inovasi, dan kreativitas harus
dikembangkan dalam hal ini akan dapat diperoleh apabila institusi birokrasi itu memiliki
otonomi. Dengan kata lain, paradigma “organisasi” melihat bahwa harus ada otonomi agar
suatu birokrasi dapat tumbuh dan berkembang menjaga kualitasnya sehingga dapat memberikan
yang terbaik bagi masyarakat. Kedua paradigma di atas benar adanya. Otonomi diperlukan bagi
suatu organisasi untuk dapat tumbuh dan berkembang mempertahankan eksistensi dan
integritasnya, akan tetapi “otonomi” juga sulit dilaksanakan karena birokrasi daerah merupakan
subordinasi birokrasi pusat (negara). Oleh karena itu kompromi harus ditemukan agar otonomi
tersebut dapat berjalan. Respons terhadap kedua paradigma tersebut dikemukakan ol eh Terry
(1995 , 52) yang menyarankan agar otonomi harus dilihat dalam paradigma “kontekstual”,
yaitu mengaitkan otonomi dengan sistem politik yang berlaku dan sekaligus kebutuhan
masyarakat daerah . Oleh karena dalam konteks otonomi di Indonesia harus dilihat juga sebagai
upaya menjag a kesatuan dan persatuan di satu sisi dan di sisi lainnya sebagai upaya bir okrasi
Indonesia untuk merespons kebh in nekaan Indonesia agar mampu memberikan layanan terbaik
bagi masyarakat. UU No. 22 Tahun 1999 menganut paradigma ini, dengan menggunakan
pendekatan “kewenangan”. Hal ini dapat dilihat dari makna “ otonomi sebagai kewenangan
daerah otonomi (kabupaten/kota) untuk mengatur dan mengu rus kepentingan masyarakat
setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan dalam konteks negara kesatuan RI. ” Hal ini sangat tepat, namun dalam
kasus Indonesia dipandang kurang realistis karena persoalan otonomi daerah bukan hanya
persoalan kewenangan semata, tetapi banyak hal yang terkait dengan sumber daya dan
infrastruktur yang ada di daerah masih sangat lemah. Paradigma ekonomi harus dilihat dari
perspektif pemerataan pembangunan ekonomi untuk mencapai kesejahteraan rakyat.
Oleh karena itu, pembangunan daerah adalah bagian integral dari pembangunan nasional dan
pembangunan nasional adalah pembangunan daerah. Jadi, sangatlah picik bagi para elit lokal
477677185.docx ______________________________________________ P a g e | 51
pada daerah yang kaya sumber daya dengan menyan dera masalah ekonomi ini untuk mencapai
keinginan politiknya lepas dari negara kesatuan RI. Hal ini sudah sangat melenceng dari hakikat
otonomi itu sendiri.
D. KESALAHAN STRATEGI
477677185.docx ______________________________________________ P a g e | 52
UU No. 22 Tahun 1999 tentang otonomi daerah diberlakukan pada suatu pemerintah daerah
sedang lemah. Pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk melakukan sendiri apa yang
mereka butuhkan, tetapi dengan kemampuan yang sangat marjinal. Hal ini akibat dominasi
pemerintah pusat di daerah yang terlalu berlebihan, dan kurang memberikan peranan dan
kesempatan belajar bagi daerah. Model pembangunan yang dilakukan selama ini sangat
sentralistik birokratis yang berakibat penumpulan kreativitas pemerintah daerah dan aparatnya.
Lebih dari itu, ketidaksiapan dan ketidakmampuan daerah yang dahulu dipakai sebagai alasan
menunda otonomi kurang diperhatikan. Padahal untuk mewujudkan otonomi daerah merupakan
masalah yang kompleksitasny a tinggi dan dapat menimbulkan berbagai masalah baru, seperti
munculnya konflik antara masyarakat lokal dengan pemerintah dan hal ini dapat berdampak
sangat buruk pada integritas lembaga pemerintahan baik di pu sat maupun di daerah. Sekurang-
kurangnya ada enam yang perlu diperhatikan dalam konteks pelaksanaan otonomi daerah ini,
yakni persiapan yang matang tidak artifisial, memberi kepercayaan, kejelasan visi, kesiapan
sumber daya, dan berbagai parameter tuntutan terhadap kinerja.
Peta Konsep Hambatan Otonomi Daerah UU No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah,
dalam beberapa hal mengandung kelemahan-kelemahan, namun bagaimanapun juga UU ini
merupakan suatu reformasi dalam sistem pemerintahan daerah, yang telah menggeser
paradigma lama ke paradigma baru, yaitu dari sistem pemerintah “sentralistik” yang lebih
berorientasi kepada Structural Efficiency Model” berubah ke arah sistem pemerintahan
“desentralistik” yang orientasinya lebih cenderung kepada Local Democratic Model, yaitu yang
lebih menekankan kepada prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan
keadilan, serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daera h. Dengan pemberian
kewenangan yang luas kepada daerah dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah, dibarengi
dengan perimbangan keuanga n yang memadai sampai saat ini, sesungguhnya daerah sudah
cukup mampu untuk berbuat sesuatu bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat.
Masalahnya sekarang adalah kurangnya SDM aparatur pemerintahan daerah yang mampu
menemukan talenta, potensi dan keunggulan daerahnya mas ing- masing. Selain itu, pengertian
otonomi ini sering dicampuradukkan ( interchangeble) antara “otonomi sebagai alat” ( means)
untuk mencapai tujuan dengan “tujuan otonomi” itu sendiri. Dalam hubungan ini, seperti
dikatakan oleh The Founding Father Moh. Hatta, bahwa “ memberikan otonomi daerah tidak
saja berarti melaksanakan demokrasi, tetapi mendorong berkembangnya auto- activiteit artinya
tercapailah apa yang dimaksud dengan demokrasi, yaitu pemerintahan yang dilaksanakan oleh
rakyat, untuk rakyat. Rakyat tidak saja menentukan nasibnya sendiri, melainkan juga dan teruta
ma memperbaiki nasibnya sendiri. Inilah hakikat otonomi menurut Hatta
477677185.docx ______________________________________________ P a g e | 53
atau tujuan atau visi organisasi dan bukan pada mendanai input dan menjalankan proses (lihat
Gaebler dan Osborne 1992).
Pada saat ini tuntutan akan terselenggaranya good governance semakin mendesak untuk
diakomodasikan dalam standar penilaian kinerja pemerintahan. Konsep good governance
apabila dilacak lebih jauh dari tulisan KJ.S. Edralin (1947) di mana governance merupakan
terminologi yang digunakan untuk menggantikan government , istilah ini secara khusus
menggambarkan perubahan peran pemerintah dari pemberi pelayanan ( provider ) kepada
”enabler atau fasiltatator ” dan perubahan kepemilikan dari milik negara menjadi milik rakyat.
Fokus perhatian dari good governance adalah perbaikan kinerja dan perbaikan kualitas. Pada
awalnya good governance dipromosikan oleh beberapa organisasi multilateral seperti: JICA,
OECD, GTZ pada tahun 1991, kemudian oleh PBB dan lembaga di bawah PBB (UNDP). Lemb
aga ini membuat Indikator good governance (kepemerintahan yang baik dan amanah).
Indikator seperti tertera pada tabel di bawah ini. Kesemua indikator tersebut adalah baik,
namun dalam konteks Indonesia akan lebih baik dipakai indikator yang terlengkap. Indikator
tersebut d apat dipakai untuk mengukur sampai seberapa jauh lembaga dan aparat pemerintah
daerah (Kabupaten/Kota) telah mewujudkan nilai-nilai good governance dan secara nyata
dirasakan oleh masyarakat Tabel HAL: 462 Indikator Good Governance No . JICA, OECD,
GTZ. UN.(PBB) World Bank UNDP.INDO 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Demokrasi, Desentralisasi peningkatan kemampuan pemerintah Hormat HAM dan Patuh
Hukum Partisipasi Rakyat Efisiensi, akuntabilitas, transformasi Pengurangan anggaran
militer Ekonomi Pasar
1. Kapabilitas Pemerintah
2. Akuntabilitas
3. Partisipasi Masyarakat
4. Perhatian terhadap pemerataan dan kemiskinan
5. Ekonomi pasar
1. Akuntabilitas Politik
2. Kebebasan berkumpul dan berpartisipasi
3. Jaminan Hukum
4. Akuntabilitas
5. Ketersediaan validitas,
Informasi:
1. Partisipasi
2. Penegakan Hukum
3. Transparansi
4. Keadilan
5. Responsivitas
477677185.docx ______________________________________________ P a g e | 54
6. Visi Strategis
7. Akuntabilitas
8. Supervisi/evaluasi
9. Efektivitas dan efisiensi
10. Profesionalisme
Dalam rangka otonomi daerah nilai good governance dapat diketahui sebagai kunci utama
karena nilai-nilai terkandung dalam menekankan:
1. Visi Strategis, Apakah Kabupaten/Kota memiliki visi, misi yang jelas.
2. Transparansi, Apakah pemerintahan kabupaten/kota menyediakan informasi ke publik secara
terbuka sehingga publik dapat mempertanyakan mengapa suatu keputusan dibuat, apa kriteria
yang digunakan sehingga masyarakat dapat melakukan kontrol, memonitor kinerja lembaga-
lembaga publik.
3. Responsivitas, Apakah pemerintah kabupaten atau kota dapat tanggap terhadap masalah,
kebutuhan, dan aspirasi masyarakat yang mereka layani.
4. Keadilan, Apakah pemerintah kabupaten/kota telah memberikan semua orang kesempatan
yang sama dalam meningkatkan atau memperbaiki kesejahteraannya.
5. Konsensus, Apakah pemerintah kabupaten atau kota telah berperan menjembatani aspirasi
masyarakat guna mencapai persetujuan bersama demi kepentingan masyarakat.
6. Efektivitas dan Efisiensi, Apakah pemerintah kabupaten atau kota telah memenuhi kebutuhan
masyarakat, dengan memanfaatkan sumber daya dengan cara yang baik atau melalui
manajemen sektor publik yang efektif dan efisien.
7. Akuntabilitas Pemerintahan kabupaten atau kota harus bertanggung jawab kepada publik
dalam konteks kinerja lembaga dan aparat yang baik dalam bidang manajemen, organisasi
maupun dalam ”kebijakan publik”.
8. Kebebasan berkumpul dan berpartisipasi, Apakah pemerintahan kabupaten atau kota telah
memberikan kebebasan kepada rakyatnya untuk berkumpul, berorganisasi dan berpartisipasi
secara aktif dalam menentukan masa depannya.
9. Penegakan Hukum, Apakah pemerintah kabupaten atau kota telah menciptakan aturan dan
menegakkan hukum yang membentuk situasi dan kondisi yang a man dan tertib serta kondusif
bagi masyarakat.
10. Demokrasi, Apakah pemerintahan kabupaten atau kota mendorong proses demokrasi di
masyarakat.
11. Kerja sama dengan organisasi masyarakat, Apakah pemerintahan kabupaten atau kota
bekerja sama dengan lembaga-lembaga masyarakat yang ada dalam memecahkan masalah-
masalah dan pelayanan kepada publik.
12. Komitmen pada pasar, Apakah pemerintahan kabupaten atau kota mendorong kebijakan-
kebijakan yang berorientasi pada pasar.
477677185.docx ______________________________________________ P a g e | 55
13. Komitmen pada lingkungan, Apakah pemerintahan kabupaten atau kota memperhatikan
masalah yang berkaitan dengan kelestarian lingkungan.
14. Desentralisasi, Apakah pemerintahan kabupaten atau kota telah mengembangkan dan
membudayakan unit-unit kelembagaan lokal agar dapat mengambil kebijakan publik sesuai
dengan kebutuhan dan situasi lokal. Apabila nilai-nilai tersebut dapat dilaksanakan oleh
pemerintahan Kabupaten atau kota maka otonomi daerah yang ideal dapat terwujud. Untuk
dapat segera mewujudkan hal itu maka perlu adanya perubahan pola pikir sikap dan pola tindak
para birokrat kita yang sudah lama bercokol dari orientasi birokrasi lama ke orientasi birokrasi
baru seperti diungkapkan dalam good governance . Agar pola pikir, pola sikap dan pola tindak
dapat berubah, diperlukan pula perubahan sistem kepemerintahan kabupaten ko ta yang tepat
sesuai dengan kebutuhan masyarakat lokal. UU No. 22 Tahun 1999 merupakan momentum
yang sangat penting dalam sejarah kepemerintahan Indonesia walaupun disadari masih terdapat
beberapa kelemahan. Kelemahan tersebut perlu diperbaiki seraya kita melakukan Capacity
Building untuk mendukung good governance tersebut yang berujung pada pelaksanaan
otonomi daerah dalam wujud daerah otonomi atau kemandirian. Dari uraian tentang good
governance tersebut maka dapat diringkas seperti tertera dalam gambar fishbone good
governance berikut ini.
A. PENGERITAN CAPACITY BUILDING
Capacity Building untuk pemerintahan didefinisikan sebagai serangkaian strategi yang
ditujukan untuk meningkatkan efisiensi, efektivitas, dan responsivitas dari kinerja
pemerintahan, dengan memusatkan perhatian kepada pengembangan dimensi sumber daya
manusia, penguatan organisasi, dan reformasi kelembagaan atau lingkungan (lihat Grindle,
1997:5).
Dalam definisi ini capacity building terkandung upaya-upaya untuk melakukan perbaikan
kualitas sumber d aya manusia, mendorong organisasi agar berfungsi lebih baik, dan merub ah
konteks lingkungan yang dibutuhkan organisasi dan individu SDM agar dapat berfungsi dengan
baik. Dari berbagai literatur dapat dikumpulkan beberapa dimensi capacity building bagi
pemerintahan antara lain:
(1) pengembangan sumber daya manusia (lihat Fiszbein, 1997; Grindle, 1997; World Bank
dalam Edralin, 1997),
(2) penguatan organisasi dan manajemen (lihat Grindle, 1997; Fiszbein, 1997; Eade, 1998;
Mentz, 1997; United Nations dalam Edralin, 1997),
(3) penyediaan sumber daya, sarana dan prasarana (lihat UNDP dala m Edralin, 1997; Fiszbein,
1997),
(4) network (lihat Eade, 1998; Worl d Bank dalam Edralin, 1997),
(5) lingkungan (lihat World Bank dalam Ed ralin, 1997; Grindle, 1997), dan
(6) mandat, kemampuan fiskal, dan prog ram (lihat United Nations dalam Edralin, 1997).
Berdasarkan pemahaman terhadap literatur tersebut maka untuk mewujudkan suatu otonomi
daerah pada saat sekarang diperlukan persiapan yang berkenaan dengan:
(1) penentuan secara jelas visi dan misi daerah dan lembaga pemerintahan daerah,
477677185.docx ______________________________________________ P a g e | 56
(2) perbaikan sistem kebijakan publik di daerah,
(3) perbaikan struktur organisasi pemerintahan daerah,
(4) perbaikan kemampuan manajerial dan kepemimpinan pemerintahan daerah,
(5) pengembangan sistem akuntabilitas internal dan eksternal pemerintahan daerah,
(6) perbaikan budaya organisasi pemerintahan daerah,
(7) peningkatan SDM aparat pemerintahan daerah
(8) pengembangan sis tem jaringan ( network ) antarkabupaten dan kota, dan dengan pihak lain,
dan
(9) pengembangan, pemanfaatan, dan pemeliharaan lingkungan pemer intahan daerah yang
kondusif. Semua elemen yang harus dikembangkan atau diperbaiki tersebut harus dilihat sebagai
satu kesatuan dari sebuah sistem, yang kalau dibenahi yang satu dapat mempengaruhi yang lain.
Elemen- elemen ini menyangkut kemampuan pemerintahan daerah dalam penyed iaan input
(semua resources yang dibutuhkan), proses (penerapan teknik dan metode yang tepat),
feedback (perbaikan input dan proses), dan lingkungan (penciptaan situasi dan kondisi yang
kondusif).
B. ELEMEN-ELEMEN CAPACITY BUILDING
Pengembangan Visi dan Misi daerah dan Institusi Pemerintahan Kabupaten/Kota. Sampai
sekarang belum ada kejelasan mengenai ke mana suatu kabupaten/kota sebagai daerah dan
institusi dikembangkan. Dengan kata lain, visi dan misi kabupaten/kota sebagai daerah dan
institusi belum terumuskan secara tegas dan jelas. Karena itu, bidang-bidang strategis apa yang
dikembangkan oleh daerah dalam rangka mencapai visi tersebut j uga tidak jelas. Untuk itu,
diperlukan pada saat ini adalah pengembangan
(1) Rencana Strategis Daerah Kabupaten/Kota, dan
(2) Rencana Strategis Institusi Pemerintahan Kabupaten/Kota.
Pengembangan Kelembagaan Pemerintahan. Bidang-bidang strategis yang harus dikembangkan
dalam Rencana Strategis tersebut sangat menentukan jenis dan jangkauan kebijakan tahunan
yang perlu dikembangkan (dalam program, proyek dan kegiatan-kegiatan), tipe dan jumlah
serta kualitas institusi- institusi pemerintahan yang diperlukan, jenis dan tingkat keterampilan
manajerial skills yang diperlukan termasuk tipe kepemimpinan, dan sistem akuntabilitas publik
serta budaya organis asi pemerintahan. Dengan kata lain, pembenahan kelembagaan harus
didasarkan kepada kebutuhan pengembangan bidang-bidang strategis yang telah dirumuskan
dalam Rencana Strategis Daerah dan Institusi Pemerintahan Kabupaten dan Kota. Dengan
demikian, yang perlu dilakukan dalam pengembangan kelembagaan, meliputi:
(1) pengembangan kebijakan,
2) pengembangan organisasi
(3) pengembangan manajemen,
(4) pengembangan sistem akuntabilitas publik, dan
477677185.docx ______________________________________________ P a g e | 57
(5) pengemban gan budaya organisasi.
Pengembangan SDM Aparat Pemerintahan. Bidang-bidang strategis dalam Rencana Strategis
tersebut juga seharusnya menentukan jenis, jum lah dan kualitas SDM yang dibutuhkan di
daerah khususnya pada lembaga pemerintahan kabupaten/kota. Pengalaman menunjukkan
bahwa sering kali pengembangan SDM tidak dikaitkan dengan kebutuhan strategis daerah,
bahkan terkesan kurang memberikan kontribusi bagi pemerintahan daer ah itu sendiri. Dalam
konteks SDM ini perlu difokuskan pengembangan:
(1) keterampilan dan keahlian
(2) wawasan dan pengetahuan
(3) bakat dan potensi,
(4) kepribadian dan motif bekerja, dan
(5) moral dan etos kerjanya.
Pengembangan Network Pemerintahan. Rencana Strategis telah memberikan arah
pengembangan SDM dan kelembagaan yang ada di daerah. Dalam melakukan berbagai
pengembangan tersebut daerah pasti memiliki berbagai keterbatasan. Karena itu, harus
dimungkinkan proses belajar sendir i dan kolaborasi dengan pihak lain dan tidak harus dengan
pemerintah pu sat sebagaimana selama ini terjadi. Seharusnya di masa mendatang daerah diberi
kebebasan untuk belajar dari atau saling belajar dengan:
(1) kabupaten atau kota yang lain baik dari dalam maupun dari luar negeri,
(2) lembaga-lem baga vertikal yang ada, dan
(3) pusat-pusat pengembangan seperti perguru an tinggi dan LSM yang sesuai dengan
kebutuhan mereka, melalui suatu ”jari ngan kerja” yang terencana. Kolaborasi antara mereka
sangat membantu proses belajar cepat di daerah.
Pengembangan dan Pemanfaatan Lingkungan Pemerintahan . Di samping semua perbaikan dan
peningkatan tersebut, pemerintahan daerah sangat membutuhkan suatu lingkungan yang
kondusif, yang dapat dimanfaatkan untuk berbuat yang terbaik bagi daerah. Di sini daerah harus
mengupayakan:
(1) pemanfaatan lingkungan fisik dan nonfisikny a secara optimal dan bertanggung jawab,
(2) pemanfaatan peraturan perundangan lebih tinggi dan
(3) penciptaan dan pemeliharaan keamanan dan ketertiban di daerah. Peraturan perundangan
yang mendukung pembangunan lokal harus dimanfaatkan sementara keamanan dan ketertiban
harus diciptakan dan dimanfaatkan bagi pembangunan dan pelayanan publik di daerah. Dalam
konteks ini, daerah harus memelihara, melanggengkan dan memanfaat kan lingkungannya agar
masyarakat merasa aman sementara ia dapat bekerja memberikan yang terbaik bagi
masyarakatnya. Dari uraian tersebut, dapat diringkas elemen-elemen penting dari capality
building tersebut untuk mengakselerasi otonomi daerah dalam bentuk pohon Capacity Building
477677185.docx ______________________________________________ P a g e | 58
477677185.docx ______________________________________________ P a g e | 59
10 Modul 9
477677185.docx ______________________________________________ P a g e | 60
mempunyai tujuan nasional masing-masing dan selanjutnya menentukan kepentingan nasional.
Tujuan dan kepentingan nasional bangsa yang satu adakalanya bertentangan dengan bangsa
yang lain.
Hal ini menjadi pemicu pertentangan yang kerap kali berujung pada peperangan antarnegara
dan bangsa. Persengketaan nasional di dalam negeri pada umumnya disebabkan oleh perbedaan
pendapat atau pertentangan pendapat antargolongan, kelompok masyarakat, partai-partai di
dalam negeri. Fokus pertentangan ini berkisar pada dasar negara, kepentingan golongan. Hal ini
dapat menjadi sumber pemicu “ pemberontakan ” atau juga bisa revolusi. Persengketaan dalam
negeri ini ada kalanya dikendalikan, diperuncing oleh kekuatan dari luar negeri baik secara
langsung maupun tidak langsung. Ja di, konflik atau pertentangan, pemberontakan, revolusi dan
perang merupakan suatu peristiwa satu kandungan yang dialami oleh umat manusia dan
menyengsarakan umat manusia itu sendiri. Ia bersumber dari genus “ kepentingan ” yang
berbeda atau bertentangan baik dalam skala individu, kelompok, golongan masyarakat, bangsa
dan negara. Varian kawan dan lawan dapat berubah-ubah oleh karena faktor “ kepentingan ”
tersebut. Oleh karena itu, dapat dikatakan tidak ada kawan dan lawan yang abadi tetapi
kepentingan yang abadi
Namun demikian, dalam sejarah manusia mendambakan dunia yang aman, damai, dan
sejahtera. Setiap berakhirnya perang besar, dilakukan usaha-usaha untuk mencegah terjadinya
perang baru. Liga Bangsa- bangsa didirikan setelah Perang Dunia I, untuk menjaga perdamaian.
Akan tetapi, situasi damai di Eropa hanya bertahan selama 20 tahun, kemudian disusul oleh
perang yang lebih dahsyat lagi yaitu Perang Dunia II Di luar Eropa malahan sudah lebih dahulu
terjadi peperangan dan sengketa bersenjata lainnya. Setelah Perang Dunia II selesai didirikan
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Namun perang tidak pernah berhasil dihapus. Selama dua dasawarsa terakhir saja lebih dari 80
negara terlibat dalam peperangan dan kekerasan militer lainnya, di antaranya 58 negara di
dunia ketiga (negara sedang berkembang/miskin) dengan perincian 29 n egara tersebut terlibat
dalam perang saudara ( Civil War ) dan 24 negara dalam perang antarnegara (seperti Burkina
Faso - Mali 1986; Iran - Irak 1980 1988; Equador - Peru 1981 1983; Etiopia - Somalia 1977
1978; Irak - Kuwait 1990; Libya - Tunisia 1980; Syria - Libanon 1976; Kampuchea - Vietna m
1979 1991). Malahan pada saat ini masih berkecamuk perang di Kamboja, Konggo; Somali,
Sudan, Bosnia. Belum lagi gerakan-gerakan terorisme Internasional dan bentuk-bentuk sengketa
bersenjata dalam negeri lainnya, bahkan juga di negara industri maju, seperti di Irlandia Utara,
daerah Basque. Mengutip Ivan S. Block ( The Future War ) yang menulis bahwa antara tahun
1496 SM sampai tahun 1861 SM, suatu kurun waktu selama 3357 tahun terdapat 227 tahun
damai dan 3130 tahun perang. Dengan kata lain, untuk setiap 1 tahun damai terdapat 13 tahun
perang.
Melihat sejarah manusia itu dapat ditarik kesimpulan bahwa sejarah manusia adalah sejarah
kekerasan bersenjata.
Bahwa perang adalah keadaan yang normal dan keadaan damai malah menjadi keadaan yang
tidak norma l. Situasi damai hanya berlangsung selama terdapat suatu tata dunia yang cuk up
tegar dan efektif untuk menangkal perang, seperti misalnya kemampuan memberikan ganjaran
setimpal atau lebih keras terhadap negara/ kekuatan yang melakukan perang/kekerasan militer.
Menurut Quincy Wright (1941) 1 dalam bukunya A Study of War Volume 1, menyatakan,
penyebab perang ( The Problem of War ), yakni berikut ini:
477677185.docx ______________________________________________ P a g e | 61
1. Dunia yang mengerut ( The Shrinking of the world ) Diakibatkan oleh kemajuan teknologi
transportasi. Komunikasi antarmanusia menjadi lebih cepat dan manusia menjadi saling
tergantung dalam bidang-bidang ekonomi, budaya serta politik. Orang menjadi lebih siaga
menghadapi perang dan mudah terpengaruh akan adanya peperangan. Orang merasa bahwa
dunia itu sempit
2. Percepatan jalannya sejarah ( The acceleration of history ) Kemajuan ilmu pengetahuan
teknologi telekomunikasi menyebabkan ide dan pendapat umum/opini mempercepat perubahan
sosial. Sebelumnya masyarakat mempelajari/mengetahui masalah ekonomi, sosial dan moral
serta norma-norma kehidupan dari sekolah atau dari orang tua saja. Kini masyarakat dapat
segera mengetahui perubahan sosial dari media masa.
3. Pembaruan persenjataan angkatan perang ( The progress of military invention ) Akibat
kemajuan teknik persenjataan, perang menjadi total sasaran penghancuran tidak hanya instalasi
militer, tetapi semua yang ada di wilayah negara. Bangsa menjadi saling tergantung terutama
bidang ek onomi. Perekonomian negara yang berperang menjadi kacau. Untuk persiapan ke
arah perang maupun perdamaian pembahasan masalah politik, ekonomi, dan kehidupan sosial
menjadi penting serta menjadi percakapan sehari-hari.
4. Peningkatan demokrasi ( The rise of democracy ) Peningkatan komunikasi, kecerdasan
manusia, dan standar hidup menyebabkan kesadaran berbangsa dan bernegara meningkat.
Berakibat pengetahuan politik luar negeri warga negara meningkat dan ini menyebabkan
pemerintah harus transparan. Politik luar negeri dan perang merupakan suatu misteri yang harus
dipecahkan oleh setiap orang. Dalam kajian sejarah, konflik/peperangan banyak dipicu oleh
masalah- masalah perekonomian dan klaim teritorial, yang berkembang ke masalah- masalah
yang lebih luas. Henry E. Eccles (1959)
A. BENTUK-BENTUK PERSENGKETAAN
Persengketaan dapat kita lihat dari dua sudut pandang, yaitu persengketaan yang terjadi
antarbangsa dari persengketaan yang terjadi di dalam negeri:
1. Persengketaan Antarbangsa Tiap-tiap bangsa di dunia mempunyai suatu perangkat
kepentingan nasional, kebudayaan, dan penangkapan/perasaan persepsi terhadap masalah yang
dihadapi. Kepentingan nasional tersebut ditentukan oleh tujuan nasional masing-masing, yang
secara akumulatif berpuncak kepada kepentingan nasional utama. Dalam hubungan antara
bangsa bertemulah beberapa kepentingan nasional tersebut dijumpai beberapa kemungkinan,
yaitu kepentingan nasional yang sama, sejalan, berbeda bahkan bertentangan. Apabila tujuan
nasional bangsa-bangsa tersebut saling berbeda, bahkan saling bertentangan maka dalam usaha
mencapai tujuan nasional tersebut dapat menimbulkan persengketaan (konflik). Bentuk
persengketaan yang disebabkan oleh perbedaan pendapat atau kepentingan, biasanya
diusahakan untuk diselesaikan dengan jalan diplomasi, baik melalui perundingan langsung
antara pihak-pihak yang terlibat maupun melalui arbitrase atau meminta pihak ketiga untuk
menjadi penengah. Arbitrase pada hakikatnya mengandung unsur-unsur paksaan, yakni
pemaksaan hukum. Contoh yang nyata ialah persengketaan antara RI dan Belanda, dengan
penengahnya pihak KTN mewakili PBB. Persengketaan-persengketaan yang disebabkan oleh
pertentangan dasar tujuan (negara) yang tidak dapat diselesaikan secara diplomasi
477677185.docx ______________________________________________ P a g e | 62
(perundingan), pada umumnya tidak selalu berakhir dengan perang, sebagai bentuk lain dari
diplomasi atau alat politik, baik perang yang diumumkan maupun yang tidak diumumkan
2. Persengketaan di Dalam Satu Bangsa/Negara Di dalam interaksi sosial antara orang
perorangan, perorangan dengan masyarakat lingkungannya maupun antara golongan masyarakat
itu sendir i bertemu bermacam-macam kepentingan, kebudayaan, persepsi atau pendapat.
Pendapat ini memberi beberapa kemungkinan, yakni kepentingan, kebudayaan, persepsi atau
pendapat yang sama, sejalan, berbeda maupun bertentangan. Perbedaan atau pertentangan
pendapat dapat menimbulkan persengketaan, apabila perbedaan atau pertentangan tersebut
mengakibatkan pihak-pihak yang terlibat tidak mampu menerima kondisi lingkungan tempat
mereka berada. Pe rbedaan atau pertentangan yang bersifat tidak mendasar dapat diselesaikan
melalui dialog, diskusi, seminar atau musyawarah untuk mencapai mufakat atau setidak-
tidaknya konsensus, sebagai usaha meniadakan atau menjinakkan maupun meredakan
persengketaan. Apabila penyelesaian perbedaan/pertentangan dengan cara ini menemui jalan
buntu maka diadakan usaha-usaha penyelesaian melalui saluran hukum. Perbedaan atau
pertentangan kepentingan yang bersifat lebih mendasar yang pada umumnya menyangkut dasar
negara, bentuk negara, dan tujuan negara, biasanya sulit dipertemukan. Persengketaan tentang
hal ini dapat berjalan tanpa kekerasan, misalnya gerakan “ swadeshi ” almarhum Mahatma
Gandhi di India. Namun, adakalanya persengketaan tentang dasar negara, bentuk negara, dan
tujuan negara terpaksa harus diselesaikan dengan kekerasan senjata, misalnya Gerakan PKI
Muso, gerakan DI TII, gerakan RMS, peristiwa PRRI PERMESTA, G30S/PKI. Pada dasarnya
gerakan- gerakan semacam ini didahului dengan teror (pengacauan), baik dalam rangka
pengumpulan dana maupun penyingkiran tokoh-tokoh yang menentang gerakan tersebut.
477677185.docx ______________________________________________ P a g e | 63
e. Pengalaman-pengalaman pada masa lampau sebagai akibat peperangan. Secara umum dapat
dikatakan bahwa apa pun alasannya, setiap bangsa melakukan perang untuk memaksakan
kehendaknya atau memperluas daerah pengaruhnya dalam rangka mencapai kepentingan dan
cita-cita nasionalnya (yang sempit).
Sejarah telah membuktikan bahwa apabila “ suatu negara ingin hidup damai maka ia harus
mempersiapkan diri untuk berperang ” ( sivis pacem para bellum ). Kesiapan untuk berperang
dapat merupakan faktor pencegah ( deterrent factor ) terhadap usaha perang atau keinginan
untuk berperang dari negara lain. Hal inilah yang mendorong adanya konsep keseimbangan
kekuasaan ( balance of power ).
Sejarah menunjukkan bahwa sistem internasional sejak munculnya negara bangsa ( nation
state ) didominasi oleh alasan geopolitik berdasarkan kepentingan nasional yang sempit yang
mendorong terjadinya perang.
Secara tradisional geopolitik didasarkan pada hubungan-hubungan kekuasaan antarnegara
nation yang berpegang pada postulat-postulat (anggapan dasar) tertentu yang tidak membantu
terpeliharanya perdamaian.
Postulat itu antara lain bahwa konflik adalah sesuatu yang mendasar ( fundamental ) dalam sifat
manusia; bahwa para pemimpin negara harus melihat dunia sebagai apa adanya dan jangan
sebagai bagaimana idealnya; bahwa mencegah/ membatasi konflik harus dilakukan tidak
melalui hukum melainkan melalu i keseimbangan kekuasaan ( Balance of Power ) antarnegara
bangsa yang terus diupayakan.
Konsep keseimbangan kekuasaan ini dapat dipandang sebagai sifat dari sistem internasional
yang tidak mengenal suatu kekuasaan yang lebih tinggi (kekuasaan global) yang mampu
mengatur hubungan-hubungan antarn egara- nation. Negara-negara mengupayakan keamanan
nasionalnya melalui penciptaan hubungan-hubungan dengan negara-negara yang dinilai sebagai
“ kawan ” yang dapat mengurangi risiko suatu serangan mendadak dari luar . Proses ini
cenderung menciptakan koalisasi-koalisasi negara yang mendorong munculnya pemusatan-
pemusatan kekuasaan di mana saja dalam sistem internasional itu.
Konsep itu mengalami puncak kejayaannya di Eropa dalam abad-abad ke-18 dan 19, di mana
keseimbangan kekuasaan itu diupayakan antara paling tidak lima negara besar ( multiple
balance ). Setiap kombinasi dalam keseimbangan yang multiple itu diperkirakan mampu
menetralisasi suatu agresi. Sistem itu tidak mempunyai organisasi sentral, diatur melalui
persepsi kepentingan nasional serta ukuran kekuatan/ kekuasaan yang dimiliki masing-masing.
Terdapat banyak masalah dalam konsep keseimbangan kekuasaan. Pertama-tama, sulit
menentukan atau mengukur “ kekuasaan ” itu sehingga menstimulasi munculnya rasa saling
curiga. Selanjutnya, secara implisit ia me ngabsahkan penggunaan kekuatan/kekerasan dalam
internasional. Berikutnya, dalam usaha menjamin keamanan nasionalnya, negara-neg ara sering
berusaha membangun dan memelihara suatu keseimbangan yang “ menguntungkan ” , yaitu
kemampuan/kekuatan sendiri yang jauh lebih besar daripada yang sesungguhnya diperlukan.
Hal ini jelas menimbulkan ketegangan-ketegangan dalam hubungan internasional dan dengan
demikian merangsang timbulnya perlombaan senjata.
Keseimbangan kekuasaan se bagai sistem ternyata tidak mampu memenuhi kebutuhan negara-
negara mengenai keamanan nasionalnya. Ia memang sering berhasil menciptakan
477677185.docx ______________________________________________ P a g e | 64
keseimbangan antara negara-negara besar, tetapi kerugian negara-negara kecil dengan
membiarkan terjadinya aneksasi-aneksasi teritorial di Eropa terutama pada abad ke-19, dan
perluasan kekuasaan di wilayah-wilayah negara berkembang seperti telah kita alami sendiri
selama era imperialisme- kolonialisme Keseimbangan relatif antarnegara dalam suatu wilayah
merupakan faktor yang dipertimbangkan dalam usaha pengamanan nasionalnya masing-masin
g.
Akan tetapi, perspektif negara kecil berbeda dari negara besar, ia juga tergantung dari apakah
negara kecil itu anggota suatu aliansi atau tidak. Negara-negara besar dapat mempengaruhi dan
merusak keseimbangan, tetap i negara-negara kecil sering sekali tidak memiliki banyak opsi,
kecuali menyesuaikan diri dengan keadaan dan mencoba tidak terlibat dalam perebutan
kekuasaan dan pengaruh antarnegara besar.
Konsep keseimbangan kekuasaan sering merupakan dasar dari pembentukan aliansi-aliansi
militer. Namun, berbagai persekutuan militer yang terbentuk setelah Perang Dunia Kedua
adalah hasil dari berbagai sebab. Dalam kondisi internasional waktu itu, sejumlah negara,
termasuk banyak di antaranya negara-negara kecil dan negara-negara yang tidak merasa kuat,
melihat banyak keuntungan dalam persekutuan-persekutuan dengan ne gara- negara besar dalam
rangka melindungi dirinya terhadap kemungkinan serangan militer terhadap mereka. Masalah
internal dan yurisdiksi dalam negeri: prinsip inti dalam hubungan internasional. Prinsip inti
dalam hubungan internasional ini mempunyai dua sisi:
(1) adanya garis yang membatasi perangai internasional pemerintah suatu negara dengan apa
yang dilakukannya dalam batas wilayah nasionalnya; dan
(2) tindakan dalam negeri yang diambil oleh pemerintah suatu negara berada diluar kepentingan
negara-negara lain dan komunitas internasional, dan oleh karena itu campur tangan luar negeri
dalam masalah-masalah internal neger i setiap negara berdaulat tidak dibenarkan.
Prinsip itu bersumber dari adanya negara-negara itu sendiri, yang seperti diketahui bercirikan
(1) mempunyai suatu wilayah dengan batas-batas yang jelas;
(2) mempunyai penduduk yang hidup dalam wilayah itu;
(3) pemerintah yang secara efektif menguasai (1) dan (2);
(4) kemampuan memenuhi hak dan kewajiban internasional.
Negara-nasional dianggap berdaulat. Konsep berdaulat itu mempunyai dua implikasi:
(1) bahwa pemerintah negara itu memiliki monopoli kekuasaan dalam batas-batas wilayahnya
sendiri, yang digunakan untuk memelihara keamanan dan ketertiban yang diperlukan oleh suatu
masyarakat yang beradab;
(2) keluar, negara itu bebas/merdeka secara hukum, tidak tunduk kepada suatu kekuasaan yang
lebih tinggi.
Namun, dalam kenyataannya, sangat sedikit, atau bahkan tidak ada, negara yang mampu benar-
benar merdeka/bebas dalam bidang-bidang yang justru paling penting. Bahkan Amerika Serikat
sendiri, satu-satunya negara adidaya yang tersisa, semakin tidak mampu bebas dari kekuatan-
kekuatan ekonomi dari luar batas-batas wilayahnya. Juga monopoli kekuasaan dalam negeri
yang dimiliki pemerintah dirasa semakin mengalami erosi, terbukti dari meluasnya organized
477677185.docx ______________________________________________ P a g e | 65
crimes yang daerah operasinya melewati batas-batas wilayah nasional, seperti kegiatan-kegiatan
mafia, perdagangan dan penggunaan obat bius, terorisme internasional. Namun, konsep negara-
negara itu tidak berkurang daya tariknya, bahkan justru semakin tegar.
Salah satu gejala menarik setelah berakhirnya Perang Dingin ialah mencuatnya jumlah negara
bangsa dari pecahan bekas adidaya Uni Soviet, dari beberapa bekas negara sosialis di Eropa
Timur, dan pecahan mantan Yugoslavia sosialis. Sebagian menjadi negara-bangsa secara damai,
tetapi sebagian lagi melalui perang yang sangat ganas, lebih ganas ketimbang perang
internasional. Ini menunjukkan, bahwa legitimasi dari negara-nation sebagai kesatuan organik
dalam sistem dan politik internasional sekara ng ini bahkan lebih kuat daripada masa-masa
sebelumnya. Prinsip “ tidak campur tangan dalam masalah domestik ” negara lain itu
dipandang tidak saja sebagai unsur penting dari sistem internasional ya ng dibangun atas dasar
kedaulatan negara-bangsa, tetapi juga untuk mencegah kekacauan dan ketidakstabilan
hubungan-hubungan internasional yang didirikan untuk memelihara stabilitas dan perdamaian
dunia, seperti Liga Bangsa-Bangsa sesudah Perang Dunia I, dan PBB pada akhir Perang Du nia
II. Tidak dibenarkan badan-badan itu mencampuri urusan dalam negeri negara mana pun.
Persetujuan ( Covenant ) Liga Bangsa-Bangsa misalnya, memuat ketentuan yang tidak
membenarkan Liga itu membuat rekomendasi mengenai sengketa yang merupakan solely
within the domestic yurisdiction dari suatu negara menurut hukum internasional. Namun, suatu
hal yang menarik ialah digantinya istilah solely dari Liga Bangsa menjadi essentially dalam
Pasal 2 Ayat (7) Piagam PBB sehingga ayat itu berbunyi Nothing contained in the present
charter shall authorize the United Nation to intervene in matters which are essentially within
the domestic jurisdiction of any state.
Ada alasan lain yang sangat penting, mengapa selama ini diadakan pemisahan yang tajam antara
masalah dalam negeri dan luar negeri. Ini berkaitan dengan konsep perimbangan kekuasaan
dalam geopolitik. Dalam konsep itu, hal-hal yang terletak dalam yurisdiksi kekuasaan dalam
negeri suatu negara tidak mempunyai arti bagi konsep perimbangan kekuasaan dalam
hubungan internasional. Dalam Perang Dingin prinsip itu pada dasarnya dipegang teguh oleh
Amerika Serikat C. Henry Kissinger, misalnya dalam bukunya White House Years (1979)
menulis bahwa Pemerintah AS. Would judge other countries, including Communist countries,
on the basis of their actions (internationally) and not on the basis of their domestic ideology .
Itulah sebabnya, kendati sangat antikomunis, Nixon bersedia menormalisasi hubungannya
dengan RRC,
mengapa Amerika Serikat mengadakan aliansi dengan berbagai negara yang berpemerintahan
otoriter/militer selama Perang Dingin melawan musuh utamanya Uni Soviet. Pandangan realis
Kissinger dan Nixon ialah bahwa masalah-masalah dalam negeri negara-negara itu
sesungguhnya tidak mengancam keamanan nasional AS, dan bahwa leverage itu hanya
digunakan dalam hal-hal yang secara langsung mempunyai d ampak merugikan terhadap
kepentingan nasional.
2. Prinsip “Masalah dalam Negeri” Mengalami Erosi Walaupun daya tarik konsep negara-
nation semakin tegar, namun prinsip inti dalam hubungan internasional yang bersumber dari
kedaulatan negara- negara itu justru mengalami erosi setelah Perang Dingin berakhir.
Sebenarnya proses erosi itu telah mulai berlangsung lebih awal lagi. Terdapat beberapa
penyebabnya, di antaranya yang terpenting seperti berikut.
477677185.docx ______________________________________________ P a g e | 66
a. Proses globalisasi Apa yang sebenarnya terjadi di bawah permukaan menjamurnya negara
bangsa yang berdaulat bahwa dunia semakin kecil, antara lain karena kemajuan teknologi,
terutama teknologi telekomunikasi, komputer, dan transportasi. Dampaknya bahwa apa yang
dilakukan oleh suatu negara dalam dimensi domestik, juga dapat mempengaruhi nega ra -negara
lain. Beberapa contoh seperti berikut.
1) Industri-industri bertenaga batu bara dengan kadar sulfur tinggi di pulau Batam misalnya,
selain meningkatkan bahaya menaiknya suhu global ( global warming ), juga dapat
menimbulkan jatuhnya hujan asam ( acid rain ) di negara tetangga Singapura dan Malaysia. 2)
Penebangan hutan-hutan tropis di Indonesia, Malaysia, Brazil menjadi kepedulian dunia karena
mengurangi kapasitas “ paru-paru dunia ”
3) Manipulasi atau insider trading di pasar modal New York yang sepintas lalu merupakan
masalah domestik AS, dapat berpengaruh besar bagi kestabilan moneter seluruh dunia.
Masalah-masalah global, seperti pencemaran lingkungan, perubahan suhu, ledakan penduduk,
interdependensi ekonomi-perdagangan-keuan gan- energi, lalu lintas narkotik, terorisme
internasional, semakin melanda dunia. Semuanya itu menjadikan batas-batas negara semakin
poreus (gampang ditembus), penduduknya rentan, dan sangat mengurangi kemam puan
pemerintahnya memecahkan persoalan-persoalan “ domestik ” itu. Politik dalam negeri dan
monopoli kekuasaan dalam negeri yang tadinya merup akan salah satu prinsip kedaulatan suatu
negara-nation kehilangan relevansinya. Batas antara politik dalam negeri dan politik luar negeri
seolah-olah sudah hapus atau paling tidak menjadi kabur.
b. Semakin meluasnya kepedulian dunia mengenai HAM Cara berpikir tradisional menganggap
HAM sebagai masalah dalam negeri. Selama ini hal demikian memang berlaku. Akibatnya
bahwa kekejaman-kekejaman yang luar biasa yang dilakukan oleh pemerintah beberapa negara
terhadap warganya sendiri didiamkan saja, seperti kolektivisasi pertanian paksa dan “
pembersihan massal ” ( purge ) para disiden di bekas Uni Soviet pada tahun 30-an (zaman rezim
Stalin), genocide terhadap 6 juta orang Yahudi oleh Nazi di Jerman, demikian pula terhadap
lebih dari 1 juta warga Kamboja oleh Khmer Merah pada tahun 70-an, kekejaman-kekejaman
politik apartheid terhadap orang kulit hitam di Afrika Selatan. Kejadian-kejadian seperti itu
tidak mungkin lagi berlangsung sekarang; dunia internasional pasti akan intervensi. Selama
Perang Dingin, perkosaan-perkosaan HAM dibiarkan oleh Amerika Serikat c.s. karena fo kus
polstra globalnya ditunjukkan untuk penanggulangan ancaman yang leb ih berbahaya, yaitu Uni
Soviet c.s.
c. Kenyataan sejarah: sistem politik dalam negeri suatu negara dapat membahayakan
perdamaian Banyaknya kasus sejarah memperlihatkan bahwa sering terdapat hubungan
langsung antara sistem pemerintahan dalam negeri dan peran gai luar negeri suatu negara.
Pemerintahan diktator atau otokratik sering bern afsu mengadakan petualangan luar negeri
untuk melampiaskan ambisi sang pemimpin. Berdasarkan penelitian dalam beberapa dasawarsa
terakhir mengenai peperangan-peperangan yang terjadi selama beberapa ratus tahun yang
silam, ada satu kesimpulan yang menonjol, yaitu tidak pernah ada perang antarnegara
demokrasi. Ini merupakan bukti empiris bahwa “ masalah dalam negeri ” berkaitan dengan
hubungan dan stabilitas internasional. Ketiga hal mengenai lingkungan hidup, HAM dan
perdamaian dunia tersebut, telah menimbulkan erosi pada prinsip “ masalah dalam negeri ” .
Implikasinya bahwa kedaulatan nasional suatu negara tidak lagi absolut. Badan dunia, kendati
kadang-kadang masih memperlihatkan ambivalensi mengenai soal itu, pada tahun-tahun
477677185.docx ______________________________________________ P a g e | 67
terakhir telah mengambil langkah- langkah tegas yang semakin mengerosikan prinsip kedaulatan
dalam n egeri itu. Pada bulan April 1991, berdasarkan resolusi-resolusi gencatan senjata DK
-PBB, Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya dalam Perang Teluk telah melakukan intervensi
paksa dalam masalah domestik Irak untuk mengadak an dan memaksakan berlakunya zona-zona
perlindungan bagi suku bang sa Kurdi dan kemudian juga bagi kaum Syiah Irak. Pada bulan
Oktober 19 91 the Organization of American States (OAS ) menjatuhkan sanksi-sanksi ekonomi
terhadap Haiti untuk memulihkan pemerintahan demokratik hasil pemilu yang ditumbangkan
oleh kup militer. Pada bulan Desember 1992 PBB memberi wewenang melakukan intervensi
paksa terhadap masalah dalam negeri Somalia yang semakin menderita kelaparan. Di Bosnia
pun PBB melakukan intervensi untuk memberi bantuan kemanusiaan da n menghentikan “
pembersihan etnik ” . Melihat bahwa semua intervensi itu dilakukan tanpa persetujuan
pemerintah negara-negara bersangkutan terhadap masalah-masalah yang secara “ tradisional ”
termasuk wewenang dalam negeri mereka, hal itu mendemonstrasikan suatu kesediaan kolektif
dunia internasional untuk melampaui batas-batas yang sebelumnya dianggap sebagai norma
yang berlaku dalam hubungan internasional.
3. Perang Dewasa Ini
a. Perang dingin (cold war) Perang dingin adalah suatu bentuk perang yang pada umumnya
tidak menggunakan angkatan bersenjata secara langsung, tetapi mengutamakan pemanfaatan
cara, alat dan kekuatan ideologi, politik, ekonomi, teknologi, psikologi, sosial, budaya, dan alat-
alat lain untuk mencapai atau membantu tercapainya tujuan nasional. Meskipun di dalam perang
dingin tidak terdapat persengketaan bersenjata, akan tetapi peranan dan kesiapsiagaan angkatan
bersenjata sangat penting karena dapat digunakan untuk mengancam atau menakut-nakuti pihak
lawan atau sekurang-kurangnya membuat lawan untuk berpikir mau melakukan penyerangan.
b. Perang terbatas (limited war) Perang terbatas adalah suatu bentuk perang dengan masing-
masing pihak yang berperang secara sadar membatasi tujuan, alat, dan kekuatan angkatan
bersenjata yang dikerahkannya serta membatasi daerah tempat perang itu dilakukan. Pengertian
“ terbatas ” di sini bergantung kepada itikad negara yang melakukan perang.
c. Perang Umum (Open War) Perang umum adalah suatu persengketaan bersenjata, dengan
masing- masing negara atau gabungan negara yang bersekutu mengerahkan segenap kekuatan
perang yang ada pada mereka. Perang umum ditandai oleh tidak adanya pembatasan
penggunaan sarana atau mesin perang tidak terbatas baik it u senjata nuklir/kimia/biologi.
Perang umum dapat terjadi, apabila tidak ditemukan jalan lain untuk mencapai tujuan
nasionalnya.
d. Perang Pembebasan Nasional (Perang Revolusioner) Pada hakikatnya “ perang pembebasan
nasional ” dilakukan oleh rakyat negara itu sendiri. Kekuatan bersenjata yang melakukan perang
banyak menggantungkan kelangsungan hidupnya pada dua hal, yaitu:
1 ) memanfaatkan medan sebagai perlindungan;
2 ) masyarakat itu sendiri sebagai pelindung. Adanya dukungan masyarakat merupakan syarat
penting dan ini dapat dicapai melalui kegiatan-kegiatan teror atas perwujudan kondisi sosial
sebagai tindak subversif di bidang-bidang ideologi, politik, ekonomi, sos ial budaya. Semua
bantuan yang diperoleh dari dalam atau luar negeri dilaksanakan melalui saluran tidak resmi
atau secara sembunyi (terselubung), misalnya dengan cara penyelundupan, infiltrasi,
477677185.docx ______________________________________________ P a g e | 68
pemboncengan pada fasilitas diplomatik, dan sebagainya. Secara relatif tidak dapat
menggunakan dengan leluasa alat peralatan teknologi yang modern
4. Paham Bangsa Indonesia tentang Perang Berdasarkan falsafah Pancasila dan pokok-pokok
gagasan yang terdapat di dalam Pembukaan UUD 1945 maka bangsa Indonesia merupakan
bangs a yang cinta damai akan tetapi lebih cinta kemerdekaan. Bangsa Indonesia ingin hidup
bersahabat dengan semua bangsa di dunia dan tidak menghend aki peperangan. Bangsa
Indonesia ingin menyelesaikan setiap persengketaan secara damai, baik nasional maupun
internasional atas dasar saling menghormati dan saling pengertian akan martabat dan kedaulatan
masing- masing sebagai suatu bangsa yang merdeka. Bagi bangsa Indonesia perang merupakan
jalan terakhir yang terpaksa harus ditempuh, dalam rangka mempertahankan falsafah Pancasila,
kemerdekaan dan kedaulatan negara serta keutuhan wilayah dan martabat bangsa Indonesia.
5. Penggunaan Sarana dan Penentuan Sasaran
a. Penggunaan sarana perang Menurut cara penggunaan sarana perang, negara-negara dibedakan
menjadi dua kelompok, yaitu sebagai berikut.
1) Kelompok negara yang menitikberatkan pelaksanaan perang kepada kemampuan teknologi
mengutamakan pengembangan senjata nuklir taktis dan kemampuan melakukan serangan
mendadak dengan senjata nuklir.
2) Kelompok yang menitikberatkan pelaksanaan perang kepada kemampuan tradisional,
beranggapan bahwa faktor-faktor kekuatan terdapat pada masyarakat (jumlah manusia, moral,
dan kepemimpinan). Kelompok ini tidak membatasi pada kekuatan senjata saja, tetapi
mengutamakan penggunaan/pemanfaatan semua kekuatan wilayah serta kekuatan sosial
lainnya. Meskipun kekuatan senjata merupakan faktor penting, tetapi tidak menentukan, yang
lebih penting adalah manusianya, bukan alatnya ( the man behind the gun ).
b. Penentuan sasaran perang Sasaran perang mungkin bermacam-macam, yaitu sebagai berikut:
1) Penghancuran sistem urat nadi lawan, yaitu segenap sistem yang mengatur/menjadi sumber
dari penyelenggara perang
2) Bidang teknologi sasarannya ialah pusat-pusat industri perang, konsentrasi pasukan, landasan
peluncuran nuklir.
3) Bidang sosial sasarannya ialah kehidupan sosial secara keseluruhan, yaitu mengadakan
perpecahan tata kehidupan sosial lawan (kelemahan dari kerawanan tannas ).
c. Sumber dan pola eskalasi ancaman
Ancaman yang dihadapi bangsa Indonesia: Kemungkinan-kemungkinan akibat tidak dapat
diselesaikannya pertentangan dasar antara bangsa Indonesia dengan bangsa lain dan
pertentangan dasar tentang tujuan konstitusional di dalam negeri dapat mengancam dan
membahayakan kelangsungan hidup bangsa Indon esia.
1) Subversi dan Pemberontakan Dalam Negeri
a) Bentuk subversi yang paling sederhana adalah apabila suatu golongan dengan memanfaatkan
keresahan atau memburuknya keadaan masyarakat, serta memaksakan kehendaknya kepada
golongan lain atau pemerintah dengan jalan kekerasan/terorisme (inkonstitusional). Keadaan ini
477677185.docx ______________________________________________ P a g e | 69
jelas akan mempengaruhi ketertiban dan keamanan masyarakat, bahkan dapat mengganggu
stabilitas nasional.
b) Bentuk subversi lain timbul dengan jalan mengobarkan sentimen kedaerahan atau menghasut
masyarakat daerah untuk melepaskan diri dari pemerintah pusat. Subversi yang berakhir dengan
pemberontakan biasanya ditunggangi oleh kekuatan politik luar negeri (asing). Bentuk subversi
yang mempunyai sasaran mengubah UUD 1945 dan falsafah Pancasila disertai dengan
penggulingan pemerintahan yang sah, baik atas kehendak murni golongan subversi maupun
menurut pola negara asing tertentu.
2) Invasi dan subversi dari luar negeri Invasi pada dewasa ini sulit diterima oleh pendapat dunia
( world opinion ) atau sulit dilaksanakan dan makin dihindari sebagai salah satu jalan
penyelesaian persengketaan karena:
a) Biaya sangat mahal, khususnya untuk menduduki wilayah Indonesia, disebabkan bentuk
geografinya yang terdiri dari banyak pulau dan lautan luas
b) Adanya nilai-nilai moral baru dalam masyarakat bangsa-bangsa dewasa ini.
c) Timbulnya nasionalisme baru, yang dihadapi bukan hanya kekuatan angkatan bersenjata saja,
namun rakyat semesta.
d) Ancaman perang nuklir kecil kemungkinannya karena adanya kesamaan pemilikan nuklir di
antara negara-negara nuklir dan penggunaan senjata nuklir berarti kehancuran total. Dengan
demikian, bentuk subversi akan selalu menduduki tempat terdepan sebagai ancaman dari luar
negeri karena relatif lebih murah dan tidak mengandung risiko kehilangan muka.
477677185.docx ______________________________________________ P a g e | 70
b. Adanya kerawanan tersebut dapat berkembang menjadi ketegangan, terutama apabila
perbedaan pandangan itu dimanifestasikan dalam bentuk interaksi yang saling bertentangan. Hal
ini ditandai oleh semakin renggangnya persatuan dan semakin pudarnya toleransi.
c. Ketegangan antara kelompok sosial yang satu dengan yang lain, dapat meningkat menjadi
bentrokan. Dalam hal ini, kontak fisik dalam arti negatif sudah mulai tampak.
d. Bentrokan yang berlarut-larut dapat berkembang dan diikuti oleh teror bersenjata, yang
dengan segala daya upaya berusaha untuk melemahkan atau meniadakan eksistensi golongan
yang berlawanan.
e. Sejalan dengan berkecamuknya teror bersenjata maka dilakukan penyusunan kekuatan
bersenjata dan basis-basis perlawanan yang seterusnya dilanjutkan dengan pemberontakan.
Dengan pecahnya pemberontakan ini sudah dapat mengundang campur tangan kekuatan asing
yang melancarkan invasi secara terbuka.
f. Pemberontakan ini bertujuan untuk menggulingkan pemerintahan yang sah, selanjutnya dapat
diikuti dengan pembentukan negara Indonesia yang tidak berdasarkan Pancasila atau sebagai
negara satelit atau jajahan negara lain. Pemberontakan ini dapat juga bertujuan untuk
mendirikan negara baru yang meliputi hanya sebagian wilayah Indonesia terlepas dari negara
RI.
2. Ringkasan Pola Eskalasi Ancaman
a. Kebhinnekaan merupakan kerawanan.
b. Kerawanan berkembang menjadi ketegangan.
c. Ketegangan meningkat menjadi bentrokan.
d. Bentrokan berkembang menjadi teror bersenjata.
e. Teror bersenjata berkembang menjadi pemberontakan.
f. Pemberontakan menjadi kudeta
2. Pola Eskalasi Ancaman dan Kegiatan Musuh dalam “ Perang Pembebasan Nasional ” Pada
eskalasi ini diperkirakan dalam jangka waktu tertentu merupakan ancaman maksimal terhadap
kelemahan negara dengan adanya kemungki nan pecahnya perang terbatas dengan ciri-ciri
perang pembebasan nasional. Kegiatan lawan dalam perang terbatas yang berbentuk perang
pembebasan nasional, dapat dikelompokkan ke dalam dua tahap kegiatan yang meliputi
beberapa pembabakan dan jenis operasi.
1. Tahap Persiapan Tahap persiapan dimulai dengan babak penggalangan dan pematangan
daerah melalui kegiatan-kegiatan subversi di segala bidang kehidupan masyarakat (ideologi,
politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan- keamanan). Babak penyiapan dan penyiagaan
kekuatan fisik, termasuk pengadaan latihan-latihan khusus atau penggunaan alat perlengkapan
kader- kader khusus melalui infiltrasi dan penguasaan kelengkapan alat perlengkapan melalui
penyelundupan, serta babak pencetusan kekacauan menjadi gerakan atau kegiatan bersenjata di
setiap daerah atau bagian wilayah yang merupakan suatu uji coba kekuatan dan sekaligus bertu
juan untuk mengetahui kelemahan-kelemahan pihak lawan.
477677185.docx ______________________________________________ P a g e | 71
2. Tahap Pelaksanaan Tahap pelaksanaan dilaksanakan dengan operasi-operasi khusus dengan
tujuan penghancuran objek-objek vital dalam usaha untuk melemahkan kekuatan ketahanan
wilayah serta perusakan-perusakan garis-garis komunikasi dan logistik, operasi-operasi tempur
dengan tujuan penghancuran satuan-satuan pertahanan dan perebutan sasaran, serta operasi-
operasi wilayah dan administrasi dengan tujuan mempengaruhi dan merebut dukungan
masyarakat di daerah sasaran, serta penguasaan sumber-sumber atau penyediaan logistik
wilayah untuk memungkinkan berlanjutnya pelaksanaan ancaman dalam mencapai tujuan
pokok. Adapun pola eskalasi ancaman tersebut adalah sebagai berikut:
a. Babak penggalangan dan pematangan wilayah.
b. Babak penyiapan dan penyiapan kekuatan fisik
c. Babak pencetusan kekacauan.
d. Operasi khusus.
e. Operasi tempur.
f. Operasi wilayah dan logistik.
477677185.docx ______________________________________________ P a g e | 72
data untuk menyusun suatu siste m pertahanan keamanan yang mampu menanggulangi setiap
ancaman, tantangan, hambatan, serta gangguan terhadap kelangsungan hidup bangsa dan negara
berdasarkan falsafah Pancasila dan UUD 1945.
Pengalaman- pengalaman tersebut dapat dikelompokkan ke dalam 2 jenis pengalaman, yaitu
sebagai berikut.
1. Pengalaman menanggulangi ancaman dari luar atau yang lazim disebut de ngan invasi, ialah
ancaman dari pihak Belanda yang ingin menjajah Indonesia kembali. Pengalaman itu diperoleh
dari dua kurun waktu.
a. Kurun waktu 1945 1947 Pada bulan September Oktober 1945 berdasarkan Civil Affair
Agreement, Tentara Pendudukan Sekutu (Inggris) mendaratkan pasukan-pasukannya di kota-
kota besar di seluruh Indonesia (Banjarmasin, Ujung Pandang, Bandung, Jakarta, Semarang,
Surabaya, Medan). Tugas pendudukan tentara sekutu tersebut ialah:
1) Melucuti bala tentara Jepang yang telah kalah perang dan telah menyerah.
2) Mengurus pengembalian tawanan perang sekutu yang ditawan oleh tentara Jepang (RAPWI
= Repatriation Allied Prisoners of War and Interness ).
3) Mengamankan pelaksanaan kedua tugas tersebut. Kesempatan ini dimanfaatkan oleh pihak
Belanda untuk menyelundupkan unsur-unsur alat penjajah Belanda (NICA: Netherland Indies
Civiel Affrairs ) dan akhirnya mendapatkan perlawanan patriotis dari bangsa Indonesia. Untuk
menghadapi serangan-serangan dari pihak Belanda, semula perlawanan bersenjata Indonesia
mempergunakan bentuk-bentuk serangan dan pertahanan lini. (Pada waktu itu kita mengenal
dengan istilah pertahanan lini kesatu, lini kedua, dan daerah belakang). Oleh karena perlawanan
yang begitu sengit dari bangsa Indonesia maka tentara Belanda mengusulkan untuk
mengadakan perundingan dan gencatan senjata yang selanjutnya menghasilkan Persetujuan
Linggarjati (Kota kecil di dekat Cirebon) pada tanggal 15 November 1946. Persetujuan ini
ditandatangani oleh Sutan Syahrir (RI) dan Schermerhorn (Belanda). Kesempatan ini
dipergunakan oleh pihak Belanda untuk mengadakan konsolidasi. Pada tanggal 21 Juli 1947
tentara Belanda mengadakan serangan terhadap Jawa Barat dan menduduki kota-kota besar di
Indonesia (Semarang, Surabaya, Medan, Palembang). Serangan tersebut selanjutnya ditetapkan
sebagai Perang Kemerdekaan I meskipun bagi pihak Belanda hal ini hanya merupakan aksi
polisional (karena bangsa Indonesia dianggap belum merdeka dan yang melawannya ialah para
pemberontak). Di dalam perlawanan terhadap serangan Belanda ini kita terapkan perang
gerilya rakyat semesta, yang dikendalikan oleh komando- komando gerilya di bawah pembinaan
pemerintah darurat. Dengan dilaksanakan perang gerilya rakyat semesta ini maka pasukan-
pasukan Indonesia segar kembali. Dengan perlawanan-perlawanan yang tidak kenal menyerah
dari pihak Indonesia maka akhirnya serangan pihak Belanda mengalami kegagalan dan sekali
lagi mengusulkan untuk mengadakan gencatan senjata dan perundingan. Perundingan ini kita
kenal dengan hasil persetujuan Renville (nama kapal perang AS yang berlabuh di Teluk
Jakarta). Persetujuan itu ditandatangani pada tanggal 17 Januari 1948 (pihak RI oleh Amir
Syarifuddin, pihak Belanda oleh Abdul Kadir). Persetujuan Renville ini merupakan kekalahan
bagi RI, baik ditinjau dari segi militer, ekonomi maupun psikologi.
b. Kurun waktu 1948 1949 Dengan adanya persetujuan Renville maka sekali lagi pihak Belanda
mendapat kesempatan untuk berkonsolidasi dan menyusun kembali kekuatannya. Berdasarkan
pengalaman pada serangan Belanda yang lalu maka Indonesia pun mengadakan persiapan-
477677185.docx ______________________________________________ P a g e | 73
persiapan menghadapi segala kemungkinan, antara lain disusun kesatuan- kesatuan mobil dan
kesatuan-kesatuan teritorial. Di samping itu dikeluarkanlah Perintah Siasat No. 1 oleh Panglima
Besar RI (Jenderal Sudirman) pada tanggal 9 November 1948, yang isinya seperti berikut:
1) Perlawanan tidak secara linier.
2) Adakan bumi hangus.
3) Pembentukan perlawanan dan pemerintahan gerilya. Pada tanggal 19 Desember 1948
Belanda mengadakan serangan terhadap ibu kota RI yang selanjutnya kita kenal dengan Perang
Kemerdekaan II. Belanda berhasil menduduki Yogyakarta dan menawan presiden, wakil
presiden, dan beberapa menteri Bertepatan dengan penyerangan Belanda tersebut, presiden RI
telah memerintahkan kepada Mr. Syarifuddin Prawira Negara untuk menyusun Pemerintah
Darurat RI berkedudukan di Bukittinggi (Sumatera Barat) dan menunjuk duta besar RI di New
Delhi (India) untuk membentuk Pemerintah RI di luar negeri, sedangkan Panglima Besar
Jenderal Sudirman secara konsekuen meninggalkan Yogyakarta untuk bersama-sama dengan
tentara RI mengadakan perlawanan dari luar kota terhadap kesatuan-kesatuan Belanda. Dengan
adanya Perang Kemerdekaan II ini, pimpinan tentara Belanda, Jenderal Spoor, beranggapan
bahwa di dalam kurun waktu 2 3 bulan Republik Indonesia akan lenyap. Puncak serangan-
serangan kita terhadap tentara Belanda yang terkenal dengan sebutan SU/Serangan Umum
tanggal 11 Maret 1949 atau juga kita kenal dengan Peristiwa Enam Jam di Yogya. Pimpinan
Serangan Umum adalah Letnan Kolonel Soeharto, Komandan Wehrkreise III Yogyakarta.
Dalam hal ini, peranan Sultan Hamengku Buwono IX cukup besar dalam ide maupun
dukungannya. Sasaran-sasaran yang telah dicapai di dalam Serangan Umum ini ialah berikut
ini:
1) Politik, memberi dukungan yang kuat kepada diplomasi RI di Dewan Keamanan PBB/dunia
internasional
2) Militer, menimbulkan kerugian/mematahkan moral pasukan Belanda.
3) Psikologi, rakyat daerah-daerah lain yang berjuang merasa bahwa ibu kota RI masih tetap
dipertahankan sehingga memberikan semangat yang lebih tinggi kepada semua pasukan.
2. Pengalaman menanggulangi ancaman dari dalam, yang dapat berwuj ud pemberontakan atau
subversi. Jenis ancaman ini diawali dengan pemberontakan PKI/Muso atau Peristiwa Madiun
tanggal 18 September 1948 pada waktu Indonesia sedang menghadapi Belanda. Kemudian
menyusul peristiwa Darul Islam atau Tentara Islam Indonesia (DI/TII) pada tahun 1949 di
bawah pimpinan Kartosuwiryo di Jawa Barat, Kahar Muzakar (1958) di Sulawesi Selatan dan
Daud Beureuh di Aceh (1952), peristiwa Andi Azis di Ujung Pandang, Republik Maluku
Selatan (RMS) di Ambon/Seram. Selanjutnya, Pemerintah Revolusioner RI/Perjuangan Semesta
(PRRI di Sumatera dan Permesta di Sulawesi tahun 1957), dan Pemberontakan G 30 S/PKI
(1965). Peristiwa-peristiwa tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok berikut ini:
a. Kelompok yang hanya mengandalkan perlawanan kepada kemampuan/persenjataan.
Kelompok ini dihadapi dengan menggunakan peralatan teknologi disertai
pemantapan/konsolidasi ap aratur pemerintahan dan rehabilitasi daerah-daerah yang mengalami
kerusakan akibat pemberontakan. Dengan demikian, dapat dibatasi atau dihilangkan kerawanan-
kerawanan yang mungkin menimbulkan peluang-peluang bagi timbulnya kembali
pemberontakan.
477677185.docx ______________________________________________ P a g e | 74
b. Kelompok yang selain mempergunakan peralatan teknologi, juga mempergunakan cara-cara
penguasaan wilayah. Pengaruh musuh di wilayah tersebut demikian besarnya sehingga rakyat
yang berada d i wilayah itu bersimpati kepadanya dan bersedia membantu di bawah ancaman
teror. Operasi-operasi menghadapi kedua kelompok tersebut dilaksanakan dengan
menggunakan peralatan teknologi, di samping operasi penguasaan wilayah, untuk
mempersempit wilayah pengaruh lawan dan ruang geraknya serta akhirnya dapat dihancurkan
sama sekali.
3. Pelajaran-pelajaran yang dapat ditarik dari pengalaman-pengalaman perjuangan bersenjata.
a. Keteguhan hati rakyat untuk mempertahankan negara dan bangsa serta melawan musuh di
mana-mana. Pada perang kemerdekaan kita pernah mengalami keadaan yang sangat parah,
namun kita tidak pernah patah semangat berjuang
b. Kemampuan angkatan bersenjata untuk melaksanakan perang konvensional (sesuai dengan
konvensi Jenewa) dan tidak kontroversial serta kemampuan menggunakan keadaan wilayah
sebagai medan sebaik-baiknya.
c. Persatuan dan kerja sama yang seerat-eratnya antara rakyat dan angkatan bersenjata yang
sekarang kita kenal dengan manunggalnya ABRI dan rakyat. Potensi rakyat selalu merupakan
kekuatan nyata dalam pelaksanaan fungsi-fungsi Hankamrata
d. Kepemimpinan yang ulet dan tahan uji di semua tingkatan, yang cakap memberi inspirasi
serta sekaligus mahir mengelola sumber- sumber kekuatan. Di samping hal-hal tersebut maka
yang menonjol ialah: utuhnya kesatuan ideologi dan politik yang dapat menjamin tumbuhnya
idealisme perjuangan bersama yang didasarkan atas sikap kerelaan berkorban, tetap tingginya
semangat juang, serta kesatuan dalam pemikiran dan tindakan guna mencapai tujuan perjuangan
tersebut.
477677185.docx ______________________________________________ P a g e | 75
c. Salah satu kekuatan dunia tersebut menduduki Indonesia secara terbatas terhadap beberapa
wilayah/kota yang dianggap sangat strategis untuk dapat menguasai jalur-jalur batas laut
maupun udara. Hal ini sangat diperlukan untuk jalur komunikasi dan logistik Mengingat bentuk
geografi Indonesia, yaitu sebagai suatu negara kepulauan yang dua pertiga wilayahnya terdiri
dari lautan dan di antara pulau-pulaunya ada yang memberikan cukup ruang dan kedalaman
bagi penyusunan perlawanan di darat maka sistem pertahanan-keamanan Indonesia harus
berdasarkan prinsip kekuatan berimbang (balanced forces) dari ketiga matra, yaitu darat, laut,
dan udara.
2. Faktor Sumber Kekayaan Alam Bangsa Indonesia telah dikaruniai oleh Tuhan Yang Maha
Esa sumber kekayaan alam yang cukup, baik yang masih merupakan suatu potensi ya ng
terpendam, maupun yang sudah dimanfaatkan (potensial dan efektif) . Di antara jenis-jenis
sumber kekayaan alam yang terdapat di Indonesia, banyak negara yang membutuhkan untuk
kelancaran perputaran roda ekonomi neg ara yang bersangkutan. Keadaan ini memberikan
kepada Indonesia dua kemungkinan ialah berikut ini
a. Memberikan kekuatan pada perundingan-perundingan internasional, tegasnya merupakan
posisi penawaran ( bargaining position ) dalam memperjuangkan kepentingan-kepentingan
nasional
b. Mengandung ancaman atau campur tangan negara-negara asing yang membutuhkan sumber
kekayaan alam tersebut. Hal ini akan mereka laksanakan, apabila bangsa Indonesia tidak
memiliki tannas yang mantap/cukup ampuh untuk menghadapi ancaman tersebut. Masalah
sumber kekayaan alam ini juga membuka peluang timbulnya ketegangan, keresahan, dan
gangguan, apabila pemanfaatan hasil sumber kekayaan alam tersebut tidak dirasakan secara
merata oleh seluruh rakyat Indonesia. Demikian pula terhadap tenaga asing yang didatangkan
untuk keperluan eksploitasi sumber kekayaan alam perlu diadakan penyaringan da n
pengawasan yang cukup dapat dipertanggungjawabkan. Bangsa Indon esia harus waspada
karena tidak tertutup kemungkinan bahwa tenaga asing tersebut sengaja diselundupkan atau
merupakan agen intelijen atau subversi/infiltrasi negara tertentu. Untuk dapat menghadapi dan
mengatasi masalah-masalah tersebut, yang sangat penting bagi bangsa dan negara Indonesia
ialah membina serta meningkatkan Tannas secara terus-menerus sehingga dapat meniadakan
kerawanan-kerawanan dalam seluruh aspek kehidupan nasional yang sekaligus mampu
merupakan faktor pencegah (deterrent factor) keluar
3. Faktor Demografi Dilihat dari jumlah penduduknya, Indonesia menempati tempat keempat
di dunia. Penyediaan tenaga manusia jelas cukup besar, akan tetapi karena penyebarannya
kurang merata maka terdapat di satu pihak daerah-daerah yang amat langka akan tenaga
manusia (pulau-pulau di luar pulau Jawa) dan di pihak lain terdapat daerah-daerah yang
kelebihan tenaga manusia (pulau Jawa, Madura, Bali, dan Lombok). Dipandang dari segi
pertahanan-keamanan, daerah padat penduduk mudah menimbulkan pertentangan-pertentangan
sosial dan kesulitan- ke sulitan dalam penyediaan pekerjaan, pangan, dan papan. Daerah-daerah
yang kosong/langka penduduknya mudah dijadikan tempat-tempat untuk pembentukan basis-
basis subversi-infiltrasi.
Di samping penyebarannya, perlu diperhatikan pula komposisinya, yaitu sebagai berikut:
a. Antara kelompok angkatan kerja dan bukan angkatan kerja harus ada keselarasan dan
keseimbangan (usia produktif dan non-produktif).
477677185.docx ______________________________________________ P a g e | 76
b. Antara tingkat kemampuan daerah-daerah.
c. Antara tingkat pendidikan masyarakat yang mampu menunjang pembangunan daerah-daerah.
Tidak kalah pentingnya usaha meniadakan kerawanan-kerawanan di bidang suku, agama, ras,
dan aliran/golongan di dalam masyarakat yang serba majemuk ini. Pertahanan dan keamanan
negara Republik Indonesia merupakan upaya dan tindakan pemerintah dan seluruh rakyat
Indonesia dengan ABRI sebagai intinya. Upaya ini dilakukan dengan mengerahkan segenap
potensi dan sumber daya nasional. Untuk melindungi kepentingan negara dan bangsa, untuk
kelangsungan hidup dan perkembangan kehidupan bangsa dan negara serta terpenuhinya hak
dan kewajiban warga negara berdasarkan Pancasila, UUD 1945 dan Wasantara dalam rangka
mencapai tujuan nasional.
477677185.docx ______________________________________________ P a g e | 77
b. keyakinan akan kemenangan dan tidak kenal menyerah (keuletan);
c. tidak mengandalkan bantuan atau perlindungan negara atau kekuatan asing.
3. Pertentangan yang timbul antara Indonesia dengan bangsa lain akan selalu diusahakan
dengan cara-cara damai. Perang adalah jalan terakhir yang dilakukan dalam keadaan terpaksa.
4. Pertahanan dan keamanan keluar bersifat defensif-aktif yang mengandung pengertian tidak
agresif dan tidak ekspansif. Ke dalam bersifat preventif-aktif yang mengandung pengertian
sedini mungkin mengambil langkah dan tindakan guna mencegah dan mengatasi setiap
kemungkinan timbulnya ancaman.
5. Bentuk perlawanan rakyat Indonesia dalam membela serta mempertahankan kemerdekaan
bersifat kerakyatan dan kesemestaan. Tujuannya adalah untuk menjamin tetap tegaknya negara
kesatuan RI dan kelangsungan hidup bangsa Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945
dari segala ancaman baik dari luar negeri maupun dari dalam negeri untuk tercapainya tujuan
nasional. Penyelenggaraan Hankam negara Indonesia dilakukan melalui upaya:
a. Pertahanan, yaitu dengan membangun serta membina daya dan kekuatan tangkal negara dan
bangsa yang mampu meniadakan setiap ancaman dari luar negeri.
b. Keamanan, yaitu dengan memperkuat daya dan kekuatan tangkal negara dan bangsa yang
mampu meniadakan setiap ancaman dari dalam negeri
477677185.docx ______________________________________________ P a g e | 78
dilihat dari kekuatan perlawanan yang ada maka dalam Sishankamrata terdapat dua kekuatan
perlawanan, yaitu sebagai berikut:
1. Kekuatan perlawanan bersenjata, yaitu Bela Semesta. TNI yang terdiri dari:
a. Bela Negara
1) ABRI (AD, AL, AU, dan POLRI) Kekuatan Hankam negara
2) Cadangan: AD, AU, AL
b. Bela Potensial, yaitu rakyat yang berfungsi untuk ketertiban umum, keamanan rakyat,
perlawanan rakyat dan perlindungan rakyat.
2. Kekuatan Perlawanan Tidak Bersenjata yaitu rakyat di luar Bela Semesta yang berfungsi
untuk perlindungan masyarakat dalam menanggulangi akibat bencana perang.
Berdasarkan UU RI No. 3 Tahun 2002 tentang pertahanan negara, Komponen Kekuatan
pertahanan dibagi menjadi 3 komponen, yaitu:
komponen utama adalah TNI yang siap digunakan untuk melaksanakan tugas-tugas pertahanan,
komponen cadangan adalah sumber daya nasional yang telah disiapkan untuk dikerahkan
melalui “mobilisasi” guna memperbesar dan memperkuat kekuatan dan kemampuan komponen
utama, dan
komponen pendukung adalah sumber daya nasional yang dapat digunakan untuk meningkatkan
kekuatan dan kemampuan komponen utama dan komponen cadangan.
Dengan demikian TNI menjadi komponen utama, Kepolisian, Ratih, dan komponen
khusus/perlindungan masyarakat melalui suatu sistem rekru itmen dan pelatihan yang baik
dapat dijadikan komponen cadangan, seperti Sumber daya nasional dan prasarana nasional
menjadi komponen pendukung.
1. Doktrin Penyelenggaraan Pertahanan dan Keamanan Rakyat Semesta Penyelenggaraan
sistem pertahanan dan keamanan mengalami perkembangan sejalan dengan pengalaman di
dalam penyelenggaraan pertahanan diri keamanan tersebut. Pengalaman penyelenggaraan
pertahanan dan keamanan ini dapat dilihat dari doktrin dalam pertahanan dan keamanan yang
dikembangkan, y aitu sebagai berikut.
a. Perang gerilya rakyat semesta Konsep perang gerilya rakyat semesta dirumuskan pada tahun
1948. Konsep ini memperoleh bentuknya setelah adanya kenyataan pengalaman pertempuran-
pertempuran dengan pihak tentara penjajah dan dalam keadaan tentara penjajah sudah
menduduki sebagian wilayah RI. Pada pertempuran tersebut kita mempergunakan sistem
pertahanan garis linier ( linier warfare ) dan kita mendapatkan kenyataan-kenyataan pahit
meskipun kita dapat menahan serbuan-serbuan tentara penjajah secara menghambat.
Berdasarkan pengalaman-pengalaman menghadapi serbuan-serbuan tersebut maka tim bul
pemikiran untuk menukar ruang dengan waktu, waktu yang sanga t dibutuhkan untuk
memperoleh keseimbangan kekuatan, untuk kemu dian beralih kepada serangan-serangan
balasan terhadap tentara pendudukan. Pokok pikiran tersebut dituangkan ke dalam konsep
perang gerilya rakyat semesta dengan pola pelaksanaan sebagai berikut.
1) Pola penggunaan kekuatan fisik dengan sasaran-sasaran
477677185.docx ______________________________________________ P a g e | 79
a) Menghambat selama mungkin serangan/serbuan tentara penjajah (Belanda) sehingga
diperoleh waktu untuk menempati daerah- daerah gerilya yang sudah ditentukan, termasuk
kembalinya pasukan-pasukan yang dihijrahkan ke daerah asalnya.
b) Dalam daerah-daerah yang diduduki tentara penjajah (Belanda) mengadakan serangan-
serangan untuk menghancurkan pos-pos yang terpencil letaknya, patroli-patroli kecil dan
jaringan-jaringan perhubungannya, mengganggu dan mengikat pasukan lawan (Belanda)
sehingga kekuatan lawan (Belanda) terpaksa terpaku dan tersebar sebagai pos-pos pengawalan,
pos-pos pengamanan dan patroli-patroli kecil.
2) Pola pemanfaatan kekuatan potensial wilayah Pemanfaatan ini bertujuan menguasai suatu
wilayah tempat pemerintah RI dapat berjalan lancar untuk dijadikan daerah pangkal (basis)
untuk pelaksanaan perlawanan-perlawanan rakyat semesta.
3) Pola Perebutan Kembali Daerah yang Diduduki Lawan Dalam usaha merebut kembali
daerah-daerah yang diduduki lawan (Belanda) maka perebutan-perebutan daerah tersebut
didahului oleh serangan-serangan fisik, dilanjutkan dengan penguasaan wilayah oleh
kelengkapan pemerintah RI dan unsur-unsur perlawanan rakyat sehingga lambat laun daerah-
daerah yang kita kuasai makin meluas.
b. Perang wilayah Sejak tahun 1950 situasi dan kondisi yang mempengaruhi sistem pertahanan-
keamanan berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Perlengkapan angkatan perang mulai
diperbaiki mutunya, pendidikan dan latihan kemiliteran mulai diadakan dan juga organisasi
pertahanan-keamanan disempurnakan. Dengan bekal pengalaman pelaksanaan perang gerilya
rakyat semesta, sejak tahun 1958 dirumuskan konsep doktrin sendiri untu k menghadapi
serangan dari luar. Doktrin ini selanjutnya dikenal sebagai doktrin perang wilayah, yang
menggariskan adanya empat tahap, yaitu sebagai berikut.
1) Tahap ke-1, menghancurkan serangan musuh yang hendak memancangkan kaki di bumi
Indonesia, baik pada waktu di sumber asalnya, dalam perjalanan, maupun di wilayah perairan
atau di wilayah udara Indonesia.
2) Tahap ke-2, mengadakan pertahanan pantai untuk menghalang-halangi musuh, menghambat
dan menghentikan serbuannya apabila musuh sempat memancangkan kakinya di bumi
Indonesia untuk kemudian mengadakan serangan balasan guna menghalau musuh kembali ke
laut.
3) Tahap ke-3, di bagian wilayah yang diduduki musuh atau apabila mu suh mampu menduduki
seluruh wilayah Indonesia, mengadakan perang gerilya semesta, menukar ruang dengan waktu
untuk memperoleh keseimbangan kekuatan serta kemudian mengadakan serangan balasan.
4) Tahap ke-4, apabila sudah dicapai keseimbangan antara kekuatan kita dan kekuatan tentara
lawan, kita mengadakan serangan balasan.
Di dalam doktrin perang wilayah ini mulai diperkenalkan penggunaan sistem senjata teknologi
(Sistek) dan sistem senjata sosial (Sissos )
c. Perang rakyat semesta Di dalam konsepsi perang wilayah, ternyata masih terdapat beberapa
masalah yang belum tercakup di dalam pelaksanaannya, antara lain bagaimana menghadapi
subversi dan pemberontakan dalam negeri.
477677185.docx ______________________________________________ P a g e | 80
Pada Seminar TNI-AD II yang diselenggarakan di Seskoad (Bandung) tanggal 1 Agustus 1966
telah menghasilkan konsep Doktrin Perang Rakyat Semesta, sebagai pelaksanaan dari Doktrin
TNI - AD Tri Ubhaya Cakti. Pokok-pok ok doktrin Perang Rakyat Semesta, meliputi berikut
ini.
1) Perang Rakyat Semesta (Perata) merupakan bagian mutlak dan tidak terpisahkan dari
pertahanan-keamanan nasional (Hankamnas).
2) Perata adalah perang yang bersifat semesta, yang menggunakan seluruh kekuatan nasional
secara total dan integral, dengan menggunakan militansi rakyat sebagai unsur kekuatannya
untuk mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan negara Republik Indonesia dan
mengamankan jalannya Pembangunan Nasional.
3) Perang Rakyat Semesta mempunyai pola operasi
a) Pola operasi keamanan dalam negeri (Operasi Kamdagri), yang bertujuan memelihara dan
mengembalikan kekuasaan pemerintah/ negara RI dan menggunakan jenis-jenis operasi
intelijen-tempur dan teritorial.
b) Pola operasi pertahanan yang bertujuan menggagalkan serangan dan ancaman nyata dari
kekuatan perang musuh, dengan jenis-jenis operasi intelijen tempur dan teritorial. Sifat operasi
pertahanan ini adalah defensif-strategis dan ofensif-strategis. Perlawanan rakyat dan pertahanan
sipil merupakan unsur yang penting dalam kekuatan perang dengan angkatan bersenjata sebagai
intinya.
d. Pertahanan dan keamanan rakyat semesta
Di dalam doktrin perata terdapat kelemahan-kelemahan yang perlu diperbaiki, antara lain
berikut ini.
1) Bagaimana usaha-usaha kita mencegah terjadinya subversi, infiltrasi, dan pemberontakan. 2)
Bagaimana usaha-usaha kita mencegah adanya serangan mendadak dari luar.
3) Bagaimana usaha-usaha kita untuk mengamankan jalan-jalan pendekatan ke wilayah
Indonesia dengan mengadakan kerja sama pertahanan- keamanan di wilayah Asia Tenggara.
Pada Rapat Kerja Hankam di Jakarta pada tanggal 17 sampai dengan 28 November 1967 telah
dapat dirumuskan pelaksanaan Doktrin Hankamnas yang selanjutnya kita kenal dengan
Sishankamrata.
Doktrin itu berisikan beberapa hal, yaitu sebagai berikut:
1) Sasaran Operasi Hankamnas
a) Mencegah dan menghancurkan serangan terbuka terhadap kedaulatan nasional negara RI. b)
Menjamin penguasaan dan pembinaan wilayah nasional RI.
c) Ikut serta dalam pemeliharaan kemampuan Hankam di Asia Tenggara oleh negara-negara
Asia Tenggara, bebas dari campur tangan asing.
2) Pola-pola Operasi Hankamrata
a) Pola Operasi Pertahanan.
b) Pola Operasi Keamanan Dalam Negeri.
477677185.docx ______________________________________________ P a g e | 81
c) Pola Operasi Intelijen Strategis.
d) Pola Operasi Kerja Sama Hankam Asia Tenggara Operasi-operasi Hankamrata menggunakan
jenis-jenis operasi intelijen, tempur, khusus, teritorial dan keamanan-ketertiban masyarakat
(Kamtibmas).
Penggunaan sistek dan sissos dilaksanakan secara serasi, berdasarkan situ asi dan kondisi yang
dihadapi. Di dalam Hankamrata, ABRI merupakan intinya dan mempunyai fungsi tempur,
teritorial, intelijen, dan keamanan-ketertiban masyarakat, dalam hubungannya dengan cadangan
nasional maupun rakyat sebagai landasannya.
Hankamrata dapat dibagi dalam komponen-komponen kekuatan:
1) Unsur-unsur ABRI
2) Unsur-unsur Non-ABRI
3) Unsur-unsur ABRI mencakup komponen-komponen seperti berikut
a) Unsur pembina dan pengendali kekuatan-kekuatan dan kemampuan- kemampuan Hankamnas
terdiri dari TNI, meliputi AD, AL, AU, dan fungsi utamanya pembinaan kekuatan-kekuatan dan
kemampuan- ke mampuan Hankamnas, Kepolisian RI (Polri) dengan fungsi utama pembinaan
kekuatan-kekuatan dan kemampuan-kemampuan ketertiban masyarakat (Kamtibmas ).
b) Unsur pengguna dan pengendali kekuatan serta kemampuan Hankamnas, terdiri dari unsur-
unsur berikut ini.
(1) Ofensif strategis, yang mampu meniadakan usaha-usaha dan persiapan-persiapan musuh
untuk melakukan serangan/invasi terhadap RI, serta menangkis gerakan-gerakan musuh di laut
dan udara, sebelum dapat mendaratkan pasukannya di wilayah kekuasaan negara kita.
(2) Defensif strategis, yang mampu menangkis serangan-serangan udara musuh sebelum ia
mencapai objek-objek vital kita, baik di darat maupun di laut, menghalau dan menggagalkan
setiap serangan musuh dengan menghancurkan kesatuan-kesatuannya sebelum mereka
bergerak lebih lanjut.
(3) Unsur kamtibmas yang mampu memelihara dan mengendalikan Kamtibmas
(a) Komponen-komponen teritorial terdiri dari badan-badan pembina teritorial,
menyelenggarakan pembinaan teritorial, mobilisasi, dan demobilisasi pada saat-saat yang
diperlukan, menunjang secara fisik operasi-operasi Hankam serta menjalankan perlawanan
wilayah dalam waktu yang lama.
(b) Komponen-komponen cadangan nasional yang mampu memperbesar kekuatan aktif ABRI
dalam jumlah golongan kualifikasi serta dalam waktu dan tempat yang diperlukan. Komponen
ini terdiri dari purnawirawan ABRI, mahasiswa, unsur-unsur perlawanan rakyat (Wanra) serta
unsur-unsur keamanan rakyat (Kamra) untuk membantu Kamtibmas.
e. Unsur-unsur Non- ABRI ABRI sebagai inti dalam Sishankamrata harus didukung oleh
kekuatan rakyat yang terlatih (Ratih).
Pada dasarnya seluruh rakyat harus memperoleh latihan kemiliteran yang ditujukan kepada
perwujudan tannas, ideologi, dan fisik rakyat yang terlatih dimasukkan ke dalam sektor
477677185.docx ______________________________________________ P a g e | 82
pertahanan militer yang terdiri dari Wanra dan Kamra, juga dalam sektor pertahanan sipil ya ng
terdiri dari unsur-unsur hansip.
Kekuatan fisik dan teknologi diartikan strategi kekuatan fisik manusia serta kelengkapan
teknologi, termasuk keterampilan yang diperlukan untuk memelihara atau membuat alat-alat
perlengkapan tersebut. Sis s os ialah pengintegrasian dari semua unsur kekuatan sosial secara
menyeluruh, teratur, interaktif, berdaya guna, dan berhasil guna yang diwujudkan dalam suatu
pola tertentu yang merupakan kondisi atau alat untuk memenangkan perang.
Selain itu, di dalam pelaksanaan Sishankamrata ini dikenal beberapa pola operasi, yaitu sebagai
berikut.:
1) Pola operasi pertahanan ialah kerangka yang tetap dalam menggunakan segala unsur,
kekuatan, yang berfungsi sebagai alat untuk menjamin kemerdekaan, kedaulatan negara, dan
keutuhan bangsa Indonesia terhadap serangan dan ancaman nyata dari kekuatan perang negara
lain.
2) Tujuan, yaitu pola operasi pertahanan ialah untuk menggagalkan serangan dan ancaman
nyata dari kekuatan perang musuh.
3) Sifat, yaitu pola operasi ini menggunakan Sistatek dan Sistasos secara serasi agar tercapai
hasil maksimal. Sesuai dengan tingkat serangan dan ancaman nyata musuh serta persenjataan
yang digunakan maka operasi pertahanan dapat berada dalam bidang perang terbatas maupun
perang umum.
f. Tahap-tahap operasi pertahanan Pola operasi pertahanan dibagi dalam dua tahap, yaitu tahap
operasi defensif strategis dan tahap operasi ofensif strategis
1) Tahap operasi defensif strategis digunakan apabila perbandingan kekuatan perang musuh
terhadap kekuatan perang kita sedemikian rupa sehingga tidak mungkin bagi kita melakukan
operasi ofensif strategis.
Operasi defensif strategis diselenggarakan berlandaskan:
a) Keharusan untuk menjamin kemerdekaan dan kedaulatan negara RI.
b) Tujuan untuk menjamin terselenggaranya garis-garis komunikasi antarpulau.
2) Tahap operasi ofensif strategis bertujuan untuk menghancurkan kekuatan perang musuh atau
memaksanya menyerah baik dalam bentuk ofensif awal maupun ofensif balas. Operasi ofensif
strategis digunakan apabila perbandingan antara kekuatan perang musuh dengan kita adalah
sedemikian rupa sehingga menguntungkan kita.
g. Penyelenggaraan pola operasi pertahanan
1) Operasi-operasi udara diselenggarakan untuk menghancurkan sumber- sumber kekuatan
nasional musuh, menghancurkan kekuatan perangnya dan meniadakan mobilitasnya,
mengamankan sumber-sumber kekuatan nasional kita sendiri.
2) Operasi-operasi di lautan dilaksanakan untuk menguasai perairan- perairan yang penting
dalam menyelenggarakan operasi pertahanan secara keseluruhan, menghancurkan kekuatan
perang musuh, terutama kekuatan-kekuatan maritimnya.
477677185.docx ______________________________________________ P a g e | 83
3) Operasi-operasi di daratan diselenggarakan untuk merebut dan menguasai sumber-sumber
kekuatan nasional musuh, menghancurkan kekuatan nasional musuh, menghancurkan kekuatan-
kekuatan perang musuh terutama yang berada di wilayah daratan, mempertahankan dan
membina daratan nasional, terutama sumber-sumber kekuatan nasional terhadap serangan
musuh.
4) Bentuk-bent uk operasi dalam rangka operasi pertahanan:
1. Operasi perlawanan daerah (setempat/lokal), dilakukan untuk mempertahankan posisi dan
medan-medan penting yang sangat menentukan bagi kelanjutan operasi.
2. Operasi perlawanan wilayah dilaksanakan apabila musuh telah menguasai sebagian besar
wilayah kita.
3. Operasi gerilya adalah operasi fisik yang menjadi inti dari operasi perlawanan wilayah
4. Operasi balas dilakukan sebagai tahap terakhir dari pola operasi pertahanan di mana
keunggulan terhadap musuh sudah diperoleh.
5) Penggambaran pelaksanaan operasi menghadapi kegiatan musuh berdasarkan pembabakan
kegiatan musuh:
a) Babak musuh masih berada di luar wilayah nasional kita, baik di wilayahnya sendiri maupun
dalam perjalanan.
b) Babak musuh di wilayah udara dan laut nasional kita.
c) Babak pendaratan di pantai dan usaha perluasan daerah tumpuan.
d) Babak musuh berhasil menguasai sebagian wilayah kita.
e) Babak musuh menguasai sebagian besar atau seluruh wilayah nasional kita.
f) Babak musuh kehilangan momentum dan keunggulannya sehingga minimum tercapai
keseimbangan kekuatan.
477677185.docx ______________________________________________ P a g e | 84
b. wilayah daratan yang menjadi bagian utama wilayah nasional sehingga tidak dapat
dimanfaatkan oleh usaha-usaha spionase, subversi, infiltrasi, sabotase, dan pemberontakan;
c. wilayah lautan yang menjadi bagian integral dari wilayah nasional sehingga tidak dapat
dimanfaatkan oleh usaha-usaha spionase, sabotase dan gangguan keamanan lainnya.
3. Babak-babak operasi Kamdagri Pelaksanaan operasi kamdagri, meliputi babak-babak berikut
ini:
a. Pemisahan yang bertujuan memisahkan musuh dengan rakyat.
b. Penggiringan dan pengalokasian musuh pada tempat-tempat kita inginkan/rencanakan.
c. Penghancuran; pada babak ini diusahakan penghancuran kekuatan musuh secara total.
d. Konsolidasi dan rehabilitasi yang bertujuan untuk mengobati luka-luka yang ditimbulkan oleh
operasi Kamdagri dan mengembalikan potensi dan ketahanan wilayah.
4. Penyelenggaraan operasi Kamdagri Operasi-operasi Kamdagri diselenggarakan di daratan, di
lautan, di udara dengan pembagian fungsi sebagai berikut.
a. Operasi di udara dan di lautan guna menciptakan kondisi yang menguntungkan
1) Penghancuran fisik dari usaha-usaha subversi di perjalanan berupa penerbangan gelap ( black
flight ) sebagai sarana kekuatan luar negeri untuk membantu kaum subversi dan
pemberontakan dengan menerjunkan para pelatih, perlengkapan perang atau kebutuhan lainnya
2) Pengintaian untuk identifikasi atau mengawasi penerbangan atau pelayaran gelap.
Pengamanan dan pengintaian dilakukan secara terintegrasikan antara alat ABRI dan
masyarakat.
3) Isolasi dan pemutusan hubungan musuh.
4) Penyediaan angkutan dan perhubungan.
5) Pemberian bantuan tambahan.
b. Operasi-operasi di daratan harus memungkinkan pengembalian dan pemeliharaan kekuasaan
pemerintah RI dan dalam waktu sesingkat- singkatnya dengan menggunakan jenis-jenis operasi
Kamdagri sesuai dengan situasi dan kondisi serta peningkatan ancaman dan kegiatan musuh.
Apabila tingkat usaha lawan masih rendah maka hal ini dapat dihadapi dengan kegiatan-
kegiatan penertiban hukum yang dilakukan oleh setiap unsur masyarakat dan pemerintah. Kalau
kegiatan musuh meningkat terus maka perlu dilakukan operasi Kamtibmas dengan kegiatan-
kegiatan berupa berikut ini.
1) Tindakan tegas dalam usaha pemberantasan kriminalitas, khususnya penodongan,
perampokan, pembunuhan, dan kerusuhan
2) Penyelesaian segera terhadap perkelahian-perkelahian dan menindak tegas biang keladinya.
3) Melalui organisasi-organisasi sosial untuk menyadarkan para remaja guna menjauhkan diri
dari tindakan-tindakan dan tingkah laku yang negatif.
4) Memperketat pengawasan lalu-lintas dan mengambil tindakan tegas terhadap setiap
pelanggaran lalu-lintas dan pelanggaran hukum lainnya.
477677185.docx ______________________________________________ P a g e | 85
c. Operasi intelijen dapat memberikan keterangan-keterangan mengenai lokasi musuh,
kekuatan, dan tingkat moralnya sehingga dapat dibuat rencana-rencana operasi penumpasan
musuh melalui pentahapan (babak) sebagai berikut.
1) Operasi teritorial sebagai operasi pokok, dibantu oleh kegiatan- kegiatan intelijen, tempur,
dan Kamtibmas melaksanakan operasi pemisahan kekuatan musuh dari rakyat dengan
mempergunakan Sistasos sebagai titik beratnya.
2) Dilanjutkan dengan operasi lokalisasi serta penggiringan musuh ke dalam daerah
penghancuran dengan operasi teritorial sebagai operasi pokok, dibantu kegiatan-kegiatan
tempur, intelijen, dan Kamtibmas.
3) Diadakan operasi penghancuran kekuatan musuh dengan operasi tempur sebagai operasi
pokok.
4) Diadakan operasi konsolidasi dan rehabilitasi wilayah dengan operasi teritorial sebagai
operasi pokok. Rehabilitasi wilayah melibatkan seluruh potensi dan aparatur pemerintahan serta
partisipasi masyarakat.
d. Penyelenggaraan Operasi Pemulihan Keamanan Menghadapi Perang Terbatas dengan Ciri-
ciri Perang Pembebasan Nasional Perang terbatas dengan ciri- ciri ”perang pembebasan
nasional” pada hakikatnya oleh rakyat (sebagian) negara itu sendiri, sedangkan bantuan yang
diberikan oleh negara asing, baik berupa perlengkapan maupun personalia atau pasukan,
diselubungi dengan dalih-dalih pasukan suka rela atau atas permintaan rakyat negara tersebut.
Operasi-operasi khusus perlu dilancarkan ke dalam daerah kekuasaan lawan dengan tujuan
menghancurkan tempat-tempat penyimpanan perbekalan, penghancuran dan peniadaan sel-sel
lawan termasuk tokoh-tokoh pendukungnya, juga untuk menanggulangi operasi-operasi khusus
lawan yang ditujukan terhadap bagian-bagian vital wilayah pertahanan kita.
477677185.docx ______________________________________________ P a g e | 86
a. dilakukan pada setiap saat dengan intensitasnya yang disesuaikan dengan keadaan politik
nasional.
b. pada dasarnya dilakukan di luar wilayah nasional
c. pada dasarnya bersifat tertutup.
d. menggunakan Sistek dan Sissos disesuaikan dengan ruang dan waktu
4. Perbandingan antara Intelstrat dengan Intelijen pada Operasi-operasi Pertahanan dan
Kamdagri
a. Kedua-duanya berusaha mendapatkan keterangan yang mempunyai arti militer dari negara-
negara lain.
b. Intelstrat dihasilkan secara terus-menerus, baik dalam masa perang atau masa damai.
c. Intelstrat tidak terbatas pada situasi lokal, tetapi meliputi semua faktor yang merupakan
potensi perang suatu negara.
5. Arti pentingnya kemampuan Intelstrat
a. Kemampuan intelstrat yang merupakan salah satu kemampuan utama, harus dikembangkan
dalam usaha menyempurnakan sishankamrata.
b. Intelstrat dalam sishankamrata pada dasarnya bersifat strategis defensif yang berarti secara
strategis tidak akan menyerang terlebih dahulu.
c. Kita harus selalu waspada terhadap kemungkinan diserang baik bersifat terbuka konvensional
maupun serangan subversi ataupun serangan nuklir.
477677185.docx ______________________________________________ P a g e | 87
itu, Anda juga perlu memahami beberapa istilah operasi di dalam Sishankamrata maupun
kegiatan-kegiatan dalam menghadapi lawan, di antaranya berikut ini.
1. Operasi Tempur adalah segala kegiatan, tindakan dan usaha secara berencana dengan
menitikberatkan pada penggunaan sistek untuk menghancurkan musuh.
2. Operasi Intelijen adalah bagian kegiatan, tindakan dan usaha secara berencana dengan
menggunakan kekuatan fisik (Sistek) maupun nonfis ik (Sissos) serta bertujuan memperoleh
data berupa keterangan-keterangan mengenai kemampuan, kerawanan, serta kelemahan musuh
untuk dapat dimanfaatkan bagi operasi-operasi hankam, dan dilaksanakan secara tertutup.
Kegiatan-kegiatan lain yang menonjol ialah lawan intelijen ( counter intelligence ) dan perang
urat saraf ( psychological warfare ).
3. Operasi Teritorial adalah segala kegiatan, tindakan dan usaha secara berencana dengan
memanfaatkan segala bidang kehidupan sosial untuk memungkinkan dilakukannya pembinaan
militansi rakyat (Sissos) serta penyusunan potensi hankam (Sistek) dalam rangka
Sishankamrata.
4. Operasi Keamanan Ketertiban Masyarakat (Kamtibmas) adalah segala kegiatan, tindakan
dan usaha secara berencana dengan memanfaatkan unsur kekuatan politik, ekonomi, sosial dan
budaya untuk menegakk an dan mengendalikan (memelihara) kewibawaan pemerintah dan
ketertiban umum.
5. Infiltrasi adalah kegiatan menyelundupkan perorangan atau kelompok orang melalui celah-
celah atau kelemahan ke dalam wilayah lawan untuk melemahkan/mengacaukan kekuatan
lawan sebagai tindakan pendahuluan bagi suatu penguasaan wilayah lawan.
6. Invasi adalah kegiatan musuh memasuki atau menyerang wilayah negara lain dengan tujuan
menjajah atau menduduki wilayah tersebut.
7. Subversi adalah kegiatan untuk meniadakan, menghancurkan atau mengancam eksistensi,
kedaulatan, pengaruh atau wibawa lawan dengan jalan perorangan ataupun kelompok terhadap
kelembagaan atau pemerintah lawan.
8. Sabotase adalah kegiatan penghancuran atau perusakan terhadap milik atau sumber kekuatan
daya yang ada dengan tujuan mengacaukan aspek- aspek kehidupan lawan atau melemahkan
pemerintah lawan.
477677185.docx ______________________________________________ P a g e | 88
negara sangat penting dan tidak hanya merupakan hak dan kewajiban, tetapi sekaligus
merupakan kehormatan bagi setiap warga negara. Untuk memahami masalah ini, Anda harus
mengkaji dan memahami sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Landasan yuridis dan wujud
bela negara bagi bangsa Indonesia.
477677185.docx ______________________________________________ P a g e | 89
Pembentukan badan-badan perjuangan ini juga terjadi di luar pulau Jawa di antaranya Barisan
Pemuda Indonesia (BPI) yang kemudian menjadi Pemuda Republik Indonesia (PRI) di Aceh,
Pemuda Republik Andalas di Sumatra Utara, Pemuda Andalas di Sumatra Barat. Selanjutnya,
dibutuhkan kesatuan langkah dalam pengamanan dari tindakan agresi dari pihak luar yang tidak
menghendaki Republik Indo nesia berdiri maka pada tanggal 5 Oktober 1945, dikeluarkan
maklumat pemerin tah yang menyatakan berdirinya Tentara Keamanan Rakyat (TKR).
Tugas penyusunan Tentara Nasional diserahkan kepada Oerip Soemohardjo Pimpinan TKR
pertama-tama dipegang oleh Supriyadi bekas pemimpin pemberontakan PETA di Blitar, tetapi
ia tidak pernah muncul menempati posnya. Kemudian Kolonel Soedirman (Komando Divisi V
Banyumas), terpilih sebagai pemimpin tertinggi TKR, dan pada tanggal 18 Desember 1945.
Kolonel Soedirman diangkat sebagai Panglima Besar TKR dengan pangkat Jenderal dan Oerip
Soemohardjo sebagai Kepala Staf Umum TKR dengan pangkat Letnan Jenderal . Pada bulan
Januari 1946 TKR berubah menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI) sementara itu badan-
badan perjuangan tersebut pada tanggal 10 November 1945 mengadakan kongres dan
membentuk badan kongres Pemuda Indonesia, dan peranan nya dalam Biro Perjuangan dalam
Kementrian Pertahanan. Baru pada bulan Juni 1947 kelompok pejuang; TKR dan badan-badan
perjuangan lainnya diintegrasikan dalam TNI. Dengan demikian maka pada tahun 1947, bangs a
Indonesia berhasil menyusun, mengkonsolidasikan sekaligus meng- integrasikan alat-alat
pertahanan dan keamanan. Hal ini sesuai dengan tuntutan kebutuhan pada saat itu kita
menghadapi pemberontakan PKI dikenal dengan Affair Madiun pada tanggal 18 September
1948 dan Agresi Militer Belanda II pada tanggal 19 Desember 1948 yang menguasai ibu kota
RI (Yogyakarta) dan menangkap para pemimpin politik bangsa Indonesia. Strategi perjuangan
selanjutnya dilakukan tidak hanya secara militer seperti Serangan Umum 1 Maret 1949, tetapi
juga melalui kegiatan diplomasi ( mix strategy ).
Dalam periode 1945 1949 tersebut pengertian bela negara dipersepsikan identik dengan perang
kemerdekaan. Hal ini mengandung arti bahwa penunaian hak dan kewajiban warga negara
dalam pembelaan negara dilaksanakan melalui keikutsertaan warga negara dalam perang
kemerdekaan baik secara bersenjata maupun tidak bersenjata. Pada periode 1950 1965, negara
Indonesia menghadapi berbagai gangguan keamanan dalam negeri (pemberontakan),
perjuangan Trikor a, Pembebasan Irian Barat (sekarang Irian Jaya) dan Dwikora.
Dalam period e ini pengertian bela negara dipersepsikan identik dengan upaya pertahanan dan
keamanan. Hal ini mengandung arti bahwa penunaian hak dan ke wajiban warga negara dalam
pembelaan negara dilaksanakan melalui komponen- komponen hankam, yaitu ABRI, HANSIP,
PERLA, SUKWAN dan SUKWATI. Tahun 1965 sekarang, periode Orde Baru, ternyata
ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan yang dihadapi lebih kompleks dan lebih luas
daripada periode sebelumnya. ATHG tersebut dapat muncul dari segenap aspek kehidupan
bangsa dalam berbagai bentuk. Untuk menghadapi masalah ini dikembangkan konsepsi tannas
yang berpijak pada seluruh aspek kehidupan bangsa baik yang bersifat alamiah (geografi,
sumber kekayaan alam dan demografi) dan bersifat sosial (ideologi politik, ekonomi, sosial
budaya dan Hankam).
B. LANDASAN HUKUM BELA NEGARA
Sebelum diproklamasikan kemerdekaan RI telah dipikirkan masalah bela negara ini (cq
Pertahanan Negara) yang dicantumkan dalam UUD 1945 Bab XII Pasal 30. Inilah yang menjadi
landasan hukum bela negara. Pada Pasal 30 ayat (1) dan (2) UUD 1945 berbunyi:
477677185.docx ______________________________________________ P a g e | 90
1. Tiap warga negara berhak dan wajib dalam usaha pembelaan negara.
2. Syarat-syarat tentang pembelaan negara diatur dengan Undang-undang . Ayat (1) tersebut
memberikan makna bahwa dalam upaya bela negara kekuatannya berada pada seluruh warga
negara (rakyat) yang digunakan untuk menangkal setiap ancaman.
Konsep inilah yang melahirkan gagasan seluruh rakyat menjadi tentara untuk membela
kepentingan dan tujuan bangsa sekaligus sebagai pencerminan tanggung jawab warga negara
dala m pembelaan negara.
Pada ayat (2), menjelaskan pengaturan persyaratan bela negara tersebut dengan Undang-
undang. Selain itu, pada Pasal 10 UUD 1945 be risikan Presiden memegang kekuasaan yang
tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara. Konsep bela negara di sini
diartikan dalam pengertian yang sempit, yaitu bidang Hankam Negara Atas dasar Pasal 30 ayat
(2) UUD 1945 maka telah diundangkan UU No. 20 Tahun 1982, yaitu tentang Pertahanan dan
Keamanan Negara ya ng disempurnakan sekarang dengan UU No. 3 Tahun 2002.
Dalam pengalaman sejarah bangsa Indonesia, peraturan perundang-undangan tentang
pertahanan dan keamanan negara ini telah diatur. Sejak Proklamasi Kemerdekaan Indonesia
yang berdasarkan UUD 1945, pada tahun 1948 telah diundangkan UU No. 3 Tahun 1948
tentang Pertahanan dan Keamanan Negara.
Perubahan bentuk negara kesatuan Republik Indonesia menjadi negara Republik Indonesia
Serikat memberlakukan Konstitusi RIS (Republik Indonesia Serikat, 1949). Di dalam konstitusi
RIS dituangkan tentang Pertahanan dan keamanan Negara, yaitu pada Bab VI, Pasal 179 185
disebut dengan judul Pertahanan Kebangsaan dan Keamanan Umum. Selanjutnya dengan
perubahan negara Indonesia Serikat kembali ke negara kesatuan berdasarkan UUD. Sementara
(UUDS tahun 1950), masalah pertahanan dan keamanan negara pada UUDS ditentukan pada
Bab VI Pasal 124 130 dengan judul Pertahanan Negara dan Keamanan Umum. Atas dasar Bab
VI tentang pertahanan negara dan keamanan umum tersebut, pada tahun 1954 telah
diundangkan UU No. 29 Tahun 1954 tentang Pertahanan dan Keamanan Negara.
477677185.docx ______________________________________________ P a g e | 91
Hubungan antarbangsa dan negara diletakkan pada landasan kerja sama untuk membangun
kesejahteraan bersama. Kendatipun demikian, kita tidak boleh lengah karena ancaman terhadap
identitas dan integritas bangsa dan negara. Indonesia tidak hanya datang dari sisi militer, tetapi
juga dapat dari sisi ideologi politik, ekonomi, dan sosial budaya. Dimensi perang juga sudah
berubah tidak harus dengan invasi bersenjata (hankam), tetapi juga dapat dilihat dari invasi,
ideologi, politik, ekonomi, da n sosial budaya.
Oleh karena itu, konteks bela negara juga harus mencakup semua bidang kehidupan tersebut
( pancagatra ) yang menjadi tanggung jawab setiap warga negara. Pada bagian ini Anda akan
mengkaji bentuk partisipasi warga negara dalam upaya bela negara dalam arti yang lebih sempit
yaitu Hankam. Untuk itu, Anda diharapkan terlebih dahulu memahami dan menghayati
pengertian Hankam itu sendiri pada bagian terdahulu dan landasan hukumnya berikut ini.
Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ada, yaitu UU No. 29 Tahun 1954 tentang
Pertahanan Negara, wujud bela negara dapa t dikelompokkan sebagai berikut:
1. PPPR (P3R) atau Pendidikan Pendahuluan Perlawanan Rakyat.
2. Wajib Latih Mahasiswa (Walawa).
3. Rakyat Terlatih (Ratih).
4. Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI).
5. Cadangan Angkatan Perang Republik Indonesia Berdasarkan UU RI No. 29 Tahun 1954 di
sekolah-sekolah dan di tempat-tempat pendidikan lainnya. Kemudian dengan keputusan
bersama Wampa Hankam dan Menteri PTIP No. M/A/19/63 Tahun 1963. Mata pelajaran
Hankam negara merupakan bagian dari kurikulum pendidikan tinggi dan sekolah dasar, dan
sekolah lanjutan serta pramuka. Selanjutnya, Kepolisian Republik Indonesia (Polri) yang
bertugas memelihara keamanan dan ketertiban di dalam negeri maka dengan UU No. 13 Tahun
1961 kedudukannya yang semula berada di bawah naungan Departemen Dalam Negeri ditarik
ke dalam naungan ABRI. Kemudian di bawah payung UU RI No. 14 Tahun 1962, dikeluarkan
Keputusan Presiden (Keppres) No. 55 Tahun 1972 dan No. 56 Tahun 197 2 tentang
pembentukan Pertahanan Sipil dan Perlawanan Rakyat (Hansip/ Wanra), yang kemudian
diperbarui dengan UU No. 20 Tahun 1982 tentang Pertahanan dan Keamanan Negara. Di
dalam UU RI No. 20 Tahun 1982 tentang Pertahanan dan Keamanan Negara. Komponen- ko
mponen bela negara terdiri dari:
1. P3TR berdasarkan UU RI No. 29 Tahun 1954 berubah menjadi Pendidikan Pendahuluan Bela
Negara yang diintegrasikan ke dalam kurikulum Pendidikan Sekolah Dasar sampai Perguruan
Tinggi. Di perguruan tinggi diwujudkan dalam bentuk mata kuliah Kewiraan dan sekarang
mata kuliah Kewiraan ini diganti Kewarganegaraan.
2. Wajib Latih Mahasiswa (UU RI No. 29 Tahun 1954), Hansip/Wanra (UU RI No. 14 Tahun
1962) digabungkan ke dalam rakyat terlatih (Ratih) yang mempunyai fungsi: ketertiban umum,
perlindungan rakyat, keamanan rakyat dan perlawanan rakyat (lihat Kegiatan Belajar 3 Polstra
Hankam tentang Sistem Pertahanan dan Keamanan Nasional).
3. APRI (UU RI No. 29 Tahun 1954) berubah menjadi ABRI, yang terdiri atas TNI dan
POLRI.
4. Cadangan APRI (UU RI No. 29/Tahun 1954) berubah menjadi Cadangan ABRI.
477677185.docx ______________________________________________ P a g e | 92
5. Perlindungan Masyarakat (LINMAS) Merupakan komponen khusus yang tidak digabungkan
dalam Kompon en Rakyat Terlatih, ABRI, Cadangan Nasional. Linmas adalah warga negara
yang memilih lingkungan ini sebagai tempat berbaktinya yang berfungsi menanggulangi akibat
bencana perang, bencana alam dan bencana lainnya. Namun demikian, sejalan dengan
perkembangan kemajuan bangsa dan aspirasi masyarakat dewasa ini mempersoalkan kedudukan
POLRI yang dimasukkan ke dalam ABRI. ABRI dalam hal ini Angkatan Darat, Laut, dan
Udara berbeda tugas dan fungsinya dengan Kepolisian. Angkatan Darat, Laut dan Udara
bertugas menghadapi atau menghancurkan musuh negara (pertahanan), sedangkan Kepolisian
sebagai aparat penegak hukum, keamanan dan ketertiban masyarakat (Kamtibmas).
Memasukkan Kepolisian ke dalam ABRI membuat perangainya berubah, seperti angkatan-
angkatan perang dan tidak selayaknya sebagai aparat penegak hukum serta tidak otonomi
dalam melaksanakan tugas dan fungsinya karena keterikatannya pada birokrasi ABRI komentar
berbagai kalangan.
Oleh karena itu, ada kecenderungan tuntutan masyarakat untuk memisahkan Kepolisian dari
komponen ABRI. Dalam pemisahan ini apakah Kepolisian kelak akan berdiri sendiri di bawah
Presiden (menjadi satu kementerian/departemen) atau berada di bawah Departemen Kehakiman
atau bisa pula di bawah Departemen Dalam Negeri. Semuanya ini perlu pengkajian dan
tergantung pada aspirasi rakyat Indonesia sendiri (DPR).
Jika dipisahkan Kepolisian dari ABRI, ini berarti UU RI No. 20 Tahun 1982 tentang
Pertahanan Keamanan Negara perlu disempurnakan lagi. Apa yang diutarakan adalah
pengalaman masa lalu kita sebagai bangsa Indonesia dalam penyelenggaraan “bela negara”.
Prediksi pada saat ditulis modul ini 1997 menjadi kenyataan. Undang-undang No. 20 Tahun 1
982 tentang Pertahanan dan Keamanan Negara disempurnakan dengan UU RI No. 3 Tahun
2002 tentang Pertahanan Negara dan merupakan wilayah kewenangan TNI. UU RI No. 28
Tahun 1997 Jo. UU RI No. 13 Tahun 1961 yang mas ih memacu kepada UU RI No. 20 Tahun
1982 tentang Kepolisian Negara Indonesia disempurnakan dengan UU RI No. 2 Tahun 2002
tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Dengan demikian pada awal tahun 2002 ABRI dilikuidasi menjadi TNI dan Kepolisian Negara
Indonesia dan masing-masing berdiri sendiri dengan dasar hukum yang berbeda pula.
Permasalahan ini sebagai upaya dalam menjalankan amanat MPR yang dituangkan dalam
Ketetapan MPR No.VI/MPR/2002 tentang pemisahan TNI dan Kepolisian Negara Indonesia,
dan Ketetapan MPR No. VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Peran Kepolisian Negara
Indonesia.
Dengan demikian, perihal bela negara mengacu kepada UU RI No. 3 Tahun 2002 tentang
Pertahanan Negara. Dalam Pasal 9 ayat (1) dinyatakan setiap warga negara berhak dan wajib
ikut serta dalam upaya “bela negara” ya ng diwujudkan dalam penyelenggaraan Pertahanan
Negara. Ayat (2) Keikutsertaan Warga negara dalam upaya ”bela negara” sebagaimana
dimaksudkan dalam ayat (1) diselenggarakan melalui:
1. Pendidikan Kewarganegaraan.
2. Pelatihan dasar kemiliteran secara wajib.
3. Pengabdian sebagai prajurit TNI secara suka rela atau secara wajib.
4. Pengabdian sesuai dengan profesi.
477677185.docx ______________________________________________ P a g e | 93
POLITIK SERTA STRATEGI PERTAHANAN KEAMANAN
Politik dan strategi pertahanan dan keamanan (Hankam) merupakan bagian integral dari politik
dan Strategi Nasional (Polstranas). Polstra Hankam bersifat saling mengisi, saling mendukung
dan saling memperkuat (Sinergi) dengan politik dan strategi bidang-bidang kehidupan lainnya
dalam Polstranas.
477677185.docx ______________________________________________ P a g e | 94
2. Asas-asas Dari pandangan hidup (falsafah) yang diuraikan bangsa Indonesia menemukan
asas-asas atau prinsip-prinsip dalam penyelenggaraan pertahanan keamanan seperti tersebut di
bawah ini.
a. Bangsa Indonesia berhak dan wajib membela serta mempertahankan kemerdekaan negara
yang telah diperjuangkan, meliputi segenap rakyat Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia yang tidak boleh jatuh ke angan bangsa asing, termasuk segala kekayaan yang
terkandung di dalamnya serta yang tercakup dalam yurisdiksi nasional.
b. Upaya pertahanan keamanan negara merupakan tanggung jawab dan kehormatan setiap
warga negara. Oleh sebab itu tidak seorang warga negara pun boleh menghindarkan diri dari
kewajiban ikut serta dalam pembelaan negara, kecuali ditentukan dengan undang-undang.
Selain itu, dalam prinsip ini terkandung pula pengertian bahwa upaya pertahanan keamanan
negara harus dilakukan berdasarkan asas keyakinan akan kekuatan sendiri dan tidak kenal
menyerah, serta tidak mengandalkan bantuan atau perlindungan negara atau kekuatan asing.
c. Bangsa Indonesia cinta perdamaian, tetapi lebih cinta kepada kemerdekaan dan kedaulatan.
Bagi bangsa Indonesia, perang adalah tindakan tidak berperikemanusiaan, tidak sesuai dengan
martabat manusia. Walaupun demikian, bangsa Indonesia menyadari bahwa struktur politik
dunia dengan berbagai kepentingan nasional dan ideologi yang saling bertentangan, tidak
sanggup secara pasti dan berlanjut untuk mencegah pecahnya perang, setidak-tidaknya untuk
jangka waktu yang lama.
Oleh karena itu, bangsa Indonesia menyadari hak dan kewajiban untuk ikut serta dalam setiap
usaha perdamaian. Dalam hubungan itu, penyelesaian pertikaian atau pertentangan yang
mungkin timbul antara Indonesia dan bangsa lain akan selalu diusahakan melalui cara-cara
damai. Bagi bangsa Indonesia perang adalah jalur terakhir dan hanya dilakukan apabila semua
usaha penyelesaian cara damai telah ditempuh dan ternyata tidak membawa hasil. Perang hanya
dilakukan dalam keadaan terpaksa untuk mempertahankan kemerdekaan, kedaulatan serta
kepentingan nasional dan sedapat mungkin diusahakan agar wilayah nasional tidak menjadi
ajang perang. Prinsip ini sekaligus memberi gambaran tentang pandangan bangsa Indonesia
tentang perang dan damai.
d. Bangsa Indonesia menentang segala macam penjajahan dalam berbagai bentuk dan
penampilan, menganut politik bebas aktif. Oleh karena itu, pertahanan keamanan negara ke luar
bersifat defensif aktif yang ber arti tidak agresif dan tidak ekspansif dan sejauh kepentingan
nasional tidak terancam, tidak akan mulai menyerang, sedangkan ke dalam bersifat preventif
aktif yang berarti sedini mungkin mengambil langkah dan tindakan guna mencegah dan
mengatasi setiap kemungkinan timbulnya ancaman dalam bentuk apa pun dari dalam negeri.
Atas dasar sikap dan pandangan ini bangsa Indonesia tidak membiarkan dirinya terikat atau
ikut serta dalam suatu ikatan pertahanan keamanan dengan negara lain. Kerja sama di bidang
pertahanan keamanan guna meningkatkan kemampuan dan keterampilan serta operasi
keamanan perbatasan tidak merupakan suatu ikatan pertahanan keamanan (Persekutuan Militer).
e. Bentuk perlawanan rakyat Indonesia dalam rangka membela serta mempertahankan
kemerdekaan bersifat kerakyatan dan kesemestaan, yang berarti melibatkan seluruh rakyat dan
segenap sumber daya nasional serta prasarana nasional yang bersifat kewilayahan, dalam arti
seluruh wilayah negara merupakan tumpuan perlawanan. Perlawanan rakyat semesta
dilaksanakan sesuai dengan perkembangan zaman.
477677185.docx ______________________________________________ P a g e | 95
3. Tujuan dan Fungsi Hankamnas Pertahanan Keamanan Nasional bertujuan menjamin tetap
tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 terhadap
segala ancaman baik dari luar negeri maupun dari dalam negeri dan tercapainya tujuan nasional.
Pertahanan Keamanan Nasional berfungsi untuk berikut ini.
a. Memelihara dan meningkatkan tannas dengan menanamkan serta memupuk kecintaan kepada
tanah air, kesadaran berbangsa dan bernegara Indonesia, penghayatan dan pengamalan
Pancasila dan UUD 1945 sehingga bangsa Indonesia memiliki sikap mental yang meyakini hak
dan kewajiban serta tanggung jawab sebagai warga negara yang rela berkorban untuk membela
bangsa dan negara serta kepentingannya.
b. Membangun, memelihara, dan mengembangkan secara terpadu dan terarah segenap
komponen kekuatan Hankamnas, dengan memantapkan kemanunggalan segenap komponen
kekuatan Hankamnas dengan seluruh rakyat Indonesia.
c. Mewujudkan seluruh Kepulauan Nusantara beserta yurisdiksi nasional sebagai suatu kesatuan
pertahanan keamanan nasional dalam rangka perwujudan Wasantara.
4. Sistem Pertahanan Keamanan Nasional
a. Upaya pertahanan keamanan negara, Upaya pertahanan keamanan negara diselenggarakan
melalui berikut ini) Upaya pertahanan, yaitu untuk menghadapi kemungkinan serangan ata u
invasi dari luar, dilakukan dengan membangun serta membina daya dan kekuatan tangkal negara
dan bangsa yang mampu meniadakan setiap ancaman dari luar negeri dalam bentuk dan wujud
apa pun.
2) Untuk menghadapi kemungkinan gangguan keamanan dari dalam negeri. Upayanya
ditujukan dalam bentuk memperkuat daya dan kekuatan tangkal negara dan bangsa yang
mampu meniadakan setiap ancaman dari dalam negeri dalam bentuk dan wujud apa pun. Upaya
pertahanan keamanan tersebut diwujudkan dalam sishankamrata dengan mendayagunakan
sumber daya nasional dan prasarana nasional secara menyeluruh, terpadu dan terarah, adil dan
merata serta dipersiapkan sedini mungkin.
b. Hakikat hankamnas kita adalah perlawanan rakyat semesta Hakikat Hankamnas kita adalah
perlawanan rakyat semesta. Sifat-sifat utama dari sistem ini adalah sebagai berikut:
1) Kerakyatan Dengan pengertian, yaitu keikutsertaan seluruh rakyat warga negara sesuai
dengan kemampuan dan keahlian dalam komponen kekuatan pertahanan keamanan nasional.
2) Kesemestaan Dengan pengertian, yaitu seluruh bangsa dan negara mampu memobilisasikan
diri dan lingkungan guna menanggulangi setiap bentuk ancaman yang datang dari dalam negeri
dan luar negeri.
3) Kewilayahan Dengan pengertian, yaitu seluruh wilayah negara merupakan titik tumpuan
perlawanan (benteng) dan setiap lingkungan didayagunaka n untuk mendukung setiap bentuk
perlawanan secara berlanjut. Cara mewujudkan perlawanan rakyat semesta adalah dengan
mempersenjatai rakyat secara psikis dengan ideologi Pancasila dan secara fisik dengan
keterampilan bela negara yang diselenggarakan oleh pemer intah. Di samping itu,
kemanunggalan ABRI - rakyat yang merupakan “ Conditio Sine qua non ” (syarat mutlak)
477677185.docx ______________________________________________ P a g e | 96
c. Berdasarkan UU RI No. Tahun 1998 Berdasarkan UU RI No. 20 Tahun 1988 tentang Pokok
Pertahanan dan Kekuatan Hankamnas dikelompokkan dalam 4 komponen, yaitu sebagai
berikut.:
1) Rakyat terlatih Rakyat terlatih merupakan salah satu bentuk keikutsertaan warga negara
dalam upaya bela negara secara wajib yang menunjukkan sifat kesemestaan dan keserbagunaan
dalam penyelenggaraan pertahanan keamanan negara. Pengikutsertaannya dilakukan secara
bergilir dan berkala guna menunaikan Wajib Prabakti dan Wajib Bakti. Setelah seseorang
warga negara selesai melakukan Wajib Prabakti (latihan), ia dimasukkan dalam organisasi yang
disebut Kesatuan Rakyat Terlatih. Rakyat terlatih ini dibina menurut lingkungan pendidikan,
lingkungan pemukiman atau lingkungan pekerjaan. Seorang anggota kesatua n Rakyat Terlatih
tetap berstatus sipil yang berhak tetap di dalam bidang pengabdian atau pekerjaan di samping
aktivitasnya sebagai anggota Rakyat Terlatih. Kesatuan Rakyat Terlatih ini merupakan sumber
personalia ABRI, untuk menjadi anggota militer suka rela atau militer wajib (cq cadangan
nasional). Rakyat terlatih sebagai komponen dasar bagi kesemestaan dan keserbagunaan
penyelenggaraan pertahanan keamanan negara mempunyai fungsi-fungsi sebagai berikut:
a) Ketertiban umum, yaitu memelihara ketertiban masyarakat, kelancaran roda pemerintahan
dan segenap perangkatnya serta kelancaran kegiatan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan
hidup.
b) Perlindungan rakyat, yaitu menanggulangi gangguan ketertiban hukum atau gangguan
ketenteraman masyarakat.
c) Keamanan rakyat, yaitu menanggulangi dan atau meniadakan gangguan keamanan
masyarakat atau subversi yang dapat mengakibatkan terganggunya stabilitas keamanan.
d) Perlawanan rakyat, yaitu menghadapi dan menghancurkan musu h yang hendak menduduki
atau menguasai wilayah atau sebagian wilayah Republik Indonesia.
2) Angkatan bersenjata/TNI ABRI (sekarang TNI) merupakan komponen utama kekuatan
pertahanan keamanan, dituntut kesiapsiagaannya dan ketanggapannya dalam menyelenggarakan
pertahanan keamanan negara. ABRI/TNI berfungsi selaku penindak dan penyanggah awal
terhadap setiap ancaman yang datang dari dalam dan atau luar negeri, dan berkewajiban untuk
melatih rakyat bagi pelaksanaan tugas pertahanan keamanan. Sumber ABRI/TNI adalah Rakyat
Terlatih yang masuk menjadi anggota ABRI/TNI secara suka rela atau wajib.
3) Perlindungan masyarakat (LINMAS) Perlindungan masyarakat merupakan komponen khusus
kekuatan pertahanan keamanan negara yang anggotanya adalah warga negara yang secara suka
rela memilih lingkungan ini sebagai tempat berbaktinya. Mereka itu tidak digabungkan dalam
komponen Rakyat Terlatih (RATIH), ABRI atau cadangan tentara nasional. Fungsi-fungsi
Linmas adalah menanggulangi akibat bencana perang, bencana alam dan bencana-bencana
lainnya serta memperkecil akibat malapetaka yang menimbulkan kerugian jiwa dan harta benda.
4) Sumber daya alam, sumber daya buatan, dan prasarana nasional Unsur-unsur yang
nonmanusia ini merupakan komponen pendukung kekuatan pertahanan keamanan negara yang
harus didayagunakan bagi peningkatan daya dan hasil guna serta kelancaran dan kelangsungan
upaya pertahanan keamanan. Berdasarkan UU No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara,
kekuatan pertahanan negara terdiri dari 3 komponen, yaitu:
477677185.docx ______________________________________________ P a g e | 97
a) Komponen Utama adalah TNI yang siap digunakan untuk melaksanakan tugas-tugas
pertahanan.
b) Komponen cadangan adalah sumber daya nasional yang telah disiapkan untuk dikerahkan
melalui mobilisasi guna memperbesar dan memperkuat kekuatan dan kemampuan komponen
utama.
c) Komponen pendukung adalah sumber daya nasional yang dapat digunakan untuk
meningkatkan kekuatan dan kemampuan komponen utama dan komponen cadangan. Dalam
konteks Undang-undang No. 3 Tahun 2002 ini, kepolisian negara yang merupakan alat negara
yang berperan memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, memberi
pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat tetap berperan dalam sistem Hankam dan
dapat dimasukkan ke dalam komponen cadangan. TNI dan kepolisian dapat saling memberikan
bantuan satu sama lain sesuai dengan ketetapan MPR No. VIII/MPR/2000
5) Konsep Pertahanan Keamanan Nasional Hakikat Hankamnas adalah perlawanan rakyat
semesta, dengan pengertian bahwa seluruh rakyat sesuai dengan bidang, kodrat, dan
kemampuannya masing-masing diikutsertakan dalam penyelenggaraan pertahanan keamanan.
Di bawah pimpinan pemerintah, seluruh potensi nasional dikerahkan dan digerakkan secara
terpimpin, terkoordinasi dan terintegrasi untuk menghadapi dan mengatasi segala macam dan
segala bentuk ancaman, baik yang datang dari dalam maupun dari luar. Ada dua konsep dasar
dalam mengimplementasikan Hankamnas, yaitu:
Konsep pertahanan, dan
konsep keamanan nasional.
a. Konsep pertahanan nasional, Konsep ini ditujukan kepada menggagalkan usaha rencana agresi
dan subversi dini musuh dengan jalan:
1) Menghancurkan dan melumpuhkan musuh di wilayahnya (kandangnya) sendiri.
2) Menghancurkan atau melumpuhkan musuh dalam perjalanan menuju Indonesia.
3) Menghancurkan atau melumpuhkan musuh di ambang pintu masuk wilayah perairan dan
udara Indonesia.
4) Menghancurkan atau melumpuhkan musuh jika musuh berhasil masuk wilayah perairan dan
udara Indonesia.
5) Menghancurkan atau melumpuhkan musuh jika musuh berhasil mengadakan aksi-aksi
pendaratan.
6) Menghancurkan atau melumpuhkan musuh jika musuh berhasil menduduki sebagian daratan
kita dengan serangan balas yang menentukan.
b. Konsep keamanan nasional, Konsep ini ditujukan kepada menggagalkan usaha-usaha dan
kegiatan- kegiatan musuh dalam bentuk-bentuk infiltrasi dan subversi di bidang -bidang
ideologi, politik, ekonomi, sosial-budaya dan militer di dalam negeri, baik yang ditimbulkan
oleh kekuatan-kekuatan asing maupun oleh kekuatan - kekuatan dalam negeri sendiri dengan
jalan melancarkan operasi-operasi keamanan secara gabungan. Bangsa Indonesia melaksanakan
Hankamnas atas dasar sishankamrata dengan menggunakan sistasos dan sistatek secara serasi
dan terpadu serta cara berperang yang bersifat konvensional dan tidak konvensional Dengan
477677185.docx ______________________________________________ P a g e | 98
terbitnya UU RI No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI maka konsep keamanan
berada di bawah kewenangan POLRI. Keamanan dan ketertiban masyarakat sebagai salah satu
prasyarat terselenggaranya proses pembangunan dalam rangka tercapainya tujuan nasional
yang ditandai dengan terjaminnya keamanan, ketertiban, dan tegaknya hukum serta terbinanya
ketenteraman yang mengandung kemampuan membina serta mengembangkan potensi dan
kekuatan masyarakat dalam menangkal, mencegah dan menanggulangi segala bentuk
pelanggaran hukum dan bentuk gangguan lainnya yang dapat meresahkan masyarakat.
B. POLITIK HANKAM
Politik Hankam ialah asas haluan, usaha, serta kebijaksanaan tindakan negara dalam bidang
Hankam tentang pembinaan (perencanaan, pengembangan, pemeliharaan, dan pengendalian),
serta penggunaan secara totalitas potensi nasional untuk mencapai tujuan nasional. Untuk
menjamin jalannya bangnas dalam rangka mencapai tujuan nasional maka diperlukan jaminan
keamanan nasional. Keamanan nasional (memelihara suasana aman dan damai) merupakan
prasyarat bagi kelancaran dan keberhasilan bangnas.
Tujuan pertahanan dan keamanan nasional (Hankamnas) ialah menjamin tercegah atau
teratasinya hal-hal yang langsung atau tidak langsung “ mengancam ” keamanan jalannya dan
keberhasilan bangnas. Ancaman tersebut dapat berupa gangguan keamanan dalam negeri,
ancaman terhadap kemerdekaan, kedaulatan dan integritas wilayah nasional , sedangkan
ancaman yang tidak langsung ialah “ keamanan Asia Tenggara atau negara tetangga lainnya
yang dapat berimplikasi terhadap keamanan dan kestabilan dalam negeri Indonesia”. Bangsa
Indonesia menyadari sepenuhnya bahwa kelangsungan hidup bangsa dan negara Indonesia
ditentukan oleh keberhasilan bangnas termasuk bidang hankam. Sehubungan dengan itu, dalam
pertimbangan-pertimban gan menentukan upaya dan cara mencapai tujuan Hankamnas
digunakan land asan pemikiran atau prinsip-prinsip yang dapat menjamin kelangsungan hid up
bangsa dan negara, yaitu sebagai berikut:
1. Jaminan terhadap Ketidakpastian, Ketidakpastian masa depan menuntut jaminan dalam
berbagai bentuk seperti berikut:
a. Perkembangan yang dapat melahirkan ancaman, harus dapat diketahui sedini mungkin. Untuk
itu, harus dimiliki kemampuan intelijen yang tinggi dan dapat mendeteksi sedini mungkin
perkembangan yang dapat berubah menjadi ancaman tersebut.
b. Persiapan-persiapan Hankamnas tidak dapat ditunda sampai munculnya ancaman secara
pasti. Perkembangan-perkembangan yang bersifat dadakan menuntut “ kekuatan ” yang siap
dan cukup. Jika perlu dalam waktu yang singkat dapat diperbesar lagi dengan mengaktifkan
kekuatan cadangan.
c. Peristiwa dalam berbagai bentuk dapat timbul di kemudian hari. Oleh karena itu, diperlukan
pengkajian yang mendalam terhadap gejolak- gejolak, kecenderungan-kecenderungan yang
mendekati setiap bentuk peristiwa di masa depan agar dapat diantisipasi sedini mungkin.
2. Bersandar Kepada Kemampuan Sendiri Kelangsungan hidup bangsa dan negara Indonesia di
dalam menghadapi ancaman peperangan dan segala bentuk gangguan keamanan, harus dapat
dijamin oleh kekuatan Hankam bangsa Indonesia sendiri, dan tidak ber sandar kepada
kemampuan bangsa lain.
477677185.docx ______________________________________________ P a g e | 99
Oleh karena itu, bangsa Indonesia tidak mengikatkan diri pada aliansi militer atau fakta militer
dan lebih menekankan kepada kemampuan diri sendiri. Selain itu bangsa Indonesia sesuai
dengan tujuan nasionalnya, yaitu “ ikut serta dalam perdamaian dunia .... ” maka bangsa
Indonesia wajib turut serta dalam upaya memelihara perdamaian dunia baik yang bersifat
regional (Asia Tenggara) maupun Internasional.
Sejarah dunia telah mencatat partisipasi Indonesia dalam memelihara perdamaian dalam
konflik, Arab - Israel, Kongo, Bosnia, Irak - Iran , Kamboja (Kampuchea) dan Filipina, dengan
dikirimnya kontingen-kontinge n “ Garuda ” . Sebagai suatu bangsa yang “ Cinta Damai ” ,
bangsa Indonesia lebih mengutamakan penyelesaian konflik (pertentangan) dengan jalan damai
(politik) daripada jalan kekerasan (militer). Kendatipun demikian kemampuan Hankamnas yang
berdiri dibelakangnya harus kuat, dan berper an dominan dalam mendukung kebijaksanaan
politik. Oleh karena itu, kek uatan Hankamnas harus profesional, modern dapat diandalkan dan
disegani pihak lain.
3. Politik Bebas Aktif Kepentingan nasional menuntut Indonesia menjalankan politik “ Bebas
– aktif ” . Bebas-aktif berarti tidak terikat oleh pihak mana pun dan selalu mengambil inisiatif
dalam upaya perdamaian dunia dan kesejahteraan umat manusia.
Politik bebas-aktif, kedalam menyangkut kebebasan dalam mengambil keputusan dan tindakan
dalam upaya pembangunan kesejahteraan dan keamanan nasional bangsa Indonesia tidak mau
dicampuri urusan dalam negerinya oleh bangsa lain dengan berbagai dalih atau alasan. Keluar
bangsa Indonesia juga tidak ingin terikat oleh kelompok-kelompok kekuatan yang bertentangan
di dunia, tetapi berdiri di atas kemampuan sendiri untuk turut serta dalam usaha mencapai dan
memelihara perdamaian dunia; umumnya keamanan dunia khususnya keamanan di Asia
Tenggara yang sangat besar pengaruhnya terhadap upaya pembangunan di Indonesia.
Politik bebas-aktif ini menghendaki bangsa Indonesia dapat menghadapi segenap ancaman yang
datang dari dalam atau dari luar dengan kemampuan Hankamnya sendiri.
4. Perdamaian Dunia Perdamaian dunia merupakan prakondisi (syarat mutlak) dalam menuju
kesejahteraan umat manusia. Tidak satu pun negara di dunia ini yang dapat memenuhi
kebutuhannya sendiri. Oleh karena itu, diperlukan kerja sama antarbangsa di negara yang saling
menguntungkan. Kerja sama yang saling menguntungkan itu tidak mungkin bisa berjalan dengan
baik apabila terjadi konflik/peperangan antarnegara, kendatipun kita tidak terlibat dalam
konflik/peperangan tersebut. Hal ini bisa terjadi jika kebutuhan yang kita perlukan diimpor dari
negara yang sedang perang tersebut atau sekurang- kurangnya perang tersebut akan menghambat
arus barang dan jasa yang kita perlukan dari negara lain. Oleh karena itu, sesuai dengan
falsafah bangsa Indonesia tentang dunia yang damai, bangsa Indonesia merasa wajib untuk
turut serta dalam upaya menciptakan dan memelihara perdamaian dunia.
5. Wawasan Nusantara (Wasantara) Wasantara sebagai wawasan Hankamnas berarti pula
bahwa sistem Hankamnas Indonesia harus dapat menjamin keutuhan wilayah nasional,
melindungi bangsa Indonesia dan sumber-sumber kekayaan alam yang ada. Lebih dari itu,
Wasantara mengamanatkan kesatuan dalam seluruh aspek kehidupan bangsa (Wawasan
Nasional) dan menjadi landasan dalam bangnas(Wawasan Pembangunan).
6. Pertahanan dan Keamanan Rakyat Semesta (Hankamrata) Dalam pertahanan dan keamanan
nasional setiap manusia Indonesia harus terlibat sebagai kekuatan pertahanan dan keamanan.
Oleh karena itu, harus dibekali kesadaran “ bela negara ” (dalam bidang Hankamnas)