(B) tidak baik membuka kesalahan diri sendiri dan usahakan memperbaikinya
(C) lebih baik mengoreksi diri sendiri daripada membicarakan kejelekan orang
(E) kejelekan diri sendiri tidak pantas dibicarakan dengan orang lain
Kedua tangan Tamin yang besar itu terangkat, memegang kedua lengan ayahnya yang tinggal tulang dan
bibir yang tidak dapat ia berkata.
“Aku datang, Pak. Untuk merebut tanah itu kembali, untuk mengerjakanya seperti engkau pernah
bergulat bertahun-tahun dengan lumpurnya. Aku sedia memikul itu sebagai kewajiban seorang anak
terhadap orang tua!” Ia berhenti menanti jawaban, tetapi keheningan. Cuma, dan hujan telah tinggal
tetesanya yang terakhir menimpa atap.
”Tidaklah engkau percaya aku kuat untuk menunaikan kewajiban itu?” Tak ada suara jawaban. Dan hati
Tamin bertambah bergelora.
“Katakan, pak. Aku ingin mendengar suara bapak!” Akhirnya ia menangis lantaran itu. Ia tak dapat
menahan air matanya selama berkata. Lalu tangan tua itu terangkat ke atas kepala Tamin, membelai,
rambutnya pelan dengan penuh mesra. Dan ia mengerti, itu jawaban yang dinanti-nantikanya. Mesra
benar belaian itu, seperti hangatnya semua urat-urat dan sekujur tubuhnya.
“Ternyata benar dugaanku,” kata Arifin, yang sebelumnya secara khusus meminta agar Chaerul segera
datang ke Jakarta. “ Seperti pernah aku bilang, menjelang terkena stroke Papa sering bicara masalah
piutang, dan ternyata setelah tiga bulan tak sadar pun, Papa siuman lagi hanya untuk mengatakan yang
sama. Jelas ini sesuatu pertanda bahwa papa akan merasa tenang hanya setelah urusan piutang di
selesaikan.
Chaerul merasa keringat dingin membasahi seluruh badannya. “ bang Amri kemarin mengembalikan tiga
buah lukisan papa yang selama ini di pajang dirumahnya. Mbak Rosa mengembalikan dua almari antik
kesayangan Papa. Vina transfer dua puluh juta buat membayar utangnya waktu dia perlu membiayai
operasi usus buntu anaknya. Tinggal Bang Chaerul yang menutup biaya rumah sakit.”
3. Konflik dalam keluarga yang muncul dalam kutipan cerpen tersebut adalah …
“Bahkan ibu bersedia pergi kepada apa yang disebut orang-orang pintar, dari satu pulau lain. Padahal,
ibu begitu benci pada ilmu mistik. Ibu tidak percaya pada semua yang tidak masuk akal. Namun, banyak
yang menasehati ibu harus mencobanya menasehati juga. Maklumlah alam Timur masih penuh dengan
hal-hal gaib, termasuk hal-hal yang berkaitan dengan mistik. Semua itu ibu lakukan untuk mendapatkan
engkau Maniek. Betapa ibu mendambakan kelahiranmu, nduk.
Maka Baginda berangkat ke mahligai maka didapatkanya Tuan Putri lagi duduk diidapnya oleh mak Inang
pengasuhnya serta dayang-dayang biti-biti pewara sekalian lagi membicarakan perilaku arif bijaksana
Baginda itu. Maka Raja Syah Johan pun datang lalu duduk pada sisinya Tuan Putri itu seraya katanya,
“Sudahkah Tuan , nyawakakanda santap?” Maka sahut Tuan Putri sambil tersenyum seraya katanya
“Sudahkah kakanda, bukan juga beta santap karena lamalah beta akan menantikan kakanda belumjuga
kakanda datang itu.” Maka baginda itu pun duduklah dengan Tuan Putri sambil bersenda dan bergurau-
gurauan. Maka seketika ituhari pun malam, maka Baginda dan Tuan Putri itu pun masuklah ke peraduan.
"Bung, tolong matikan rokoknya, bus ini akan tambah pengap dengan asap rokok Bung!"
Akan tetapi, pemuda itu tenang-tenang saja. "Bung, tidak dengar, ya?" Pemuda itu menatap tajam.
"Peduli apa, Pak. Tak ada larangan merokok dalam bus ini. Apa harus minta permisi dulu untuk
merokok," katanya ketus.